Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

LANDASAN TEORI

A. Psychological Well Being


Definisi Psychological Well Being Psychological well being merupakan kemampuan
individu untuk menerima dirinya apa adanya (self acceptance). Membentuk hubungan yang
hangat dengan orang lain (positif relations with others). Memiliki kemandirian dalam
menghadapi tekanan social (autonomy), mengontrol lingkungan eksternal (environmental
mastery), memiliki tujuan dalam hidupanya (purpose in life), serta mampu merealisasikan
potensi dirinya secara berkelanjutan (Personal growth) (Ryff, 1989) Psychological well being
didefinisikan sebagai suatu evaluasi positif mengenai kehidupan seseorang yang di asosiakan
dengan diperolehnya perasaan menyenangkan (Stock, 1986 & Pinquart & Sorensin, 2000).
Sedangkan Harlock (1999) mendefinisiakn psychological well being sebagai sebuah
kebutuhan untuk memenuhi ketiga kebahagiaan yaitu penerimaan, kasih sayang dan
pencapaian. Springer dan Hauser (2006) menemukan dukungan empiris sangat sedikit untuk
konsep multidimensionalitas konseptual psychological well being. Mereka mengamati bahwa
ada korelasi variable laten tertinggi secara konsisten di antara tujuan dalam kehidupan,
penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan perumbuhan pribadi. Individu yang memiliki
psychological well being yang tinggi adalah yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi
emosional yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat
menghasilkan kondisi. emosional negatif, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain,
mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan orang lain, mengontrol
kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan
dirinya sendiri (Ryff, 1989). Dari beberapa penjelasan diatas disimpulkan psychological well
beingadalah keadaan individu yang mampu menerima diri apa adanya, mampu membentuk
hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan social,
mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti dalam hidupnya serta mampu
merealisasikan potensi diri secara berkelanjutan. emosional negatif, memiliki hubungan yang
positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa bergantung dengan
orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan
mampu mengembangkan dirinya sendiri (Ryff, 1989). Dari beberapa penjelasan diatas
disimpulkan psychological well beingadalah keadaan individu yang mampu menerima diri
apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki
kemandirian terhadap tekanan social, mampu mengontrol lingkungan eksternal, memiliki arti
dalam hidupnya serta mampu merealisasikan potensi diri secara berkelanjutan.

B. Dimensi-dimensi psychological well being


Ryff mengembangkan konsep psychological well being dengan mengemukakan enam
dimensi dimana setiap dimensinta mencerminkan perbedaan setiap individu di dalam
memenuhi tugas masa dewasanya (Ryff, 1989). Menurut Ryff dasar menggunakan untuk
memperoleh kesejahteraan psikologis adalah individu yang secara psikologis dapat berfungsi
secara positif. Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif antara
lain adalah :
1. Penerimaan diri (Self Acceptence) Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan
seseorang menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa lalunya.
Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu yang memahami dan
menerima berbagai aspek diri termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat
mengaktualisasikan diri, berfungsioptimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang
dijalaninya. Sebaliknya, individu yang menilai negatif diri sendiri menunjukkan adanya
ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi
pada kehidupa masa lalu, bermaslah dengan kualitas personalnya dan ingin menjadi
orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima apa adanya (Ryff, 1995)
2. Hubungan positif dengan orang lain (Positive relations with others) Hubungan positif
yang dimaksud adalah kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang
lain di sekitarnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini ditandai dengan mampu
membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu,
individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat
menujukkan empati, afeksi serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam
hubungan antar pribadi. Sebaliknya, individu yang rendag dalam dimensi hubungan
positif dengan orang lain, terisolasi dan merasa frtustasi dalam membina hubungan
interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahaknkan hubungan
dengan orang lain (Ryff, 1995)
3. Otonomi (autonomy)Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk bebas
namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki
otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri
(self-determination) dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan
terhadap tekanan sosial, mampu mengevalua si diri sendiri, dan mampu mengambil
keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah
dalam dimensi otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan
evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk mmembuat
keputusan penting, serta mudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan
bertingkah laku dengan cara-cara te rtentu (Ryff, 1995).
4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Penguasaan lingkungan digambarkan
dengan kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan
yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan
kebutuhan.Individu yang tinggi dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki
keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan aktivitas
eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi
kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu
memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya
individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan
dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau
meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang
dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya (Ryff, 1995)
5. Tujuan hidup (Purpose in life)Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki
pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa
individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya, dan mera sa bahwa pengalaman hidup
di masa lampau dan masa sekarang memiliki makna. Individu yang tinggi dalam dimensi
ini adalah individu ya ng memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam
hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yangmemberikan
tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang rendah
dalam dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak
jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu,
serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan
(Ryff,1995).
6. Pertumbuhan pribadi (Personal Growth) Individu yang tinggi dalam dimensi
pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang
berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu ya ng selalu tumbuh
dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan
dalam menyadari potensi diri ya ng dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi
pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi ya ng
lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang
memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan dirinya mengalami stagnasi, tidak
melihat peningkatan dan pengembangan diri, mera sa bosan dan kehilangan minat
terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan
tingkah laku yang baik (Ryff,1995).

Psychological well being sangat berkaitan dengan perkembangan masa dewasa madya.
Bila dalam perkembangannya dapat berjalan dengan baik, para dewasa madya tersebut
seharusnya akan memiliki tingkat psychologicalwell being ya ng b aik pula. Begitu pada
dewasa madya, dalam hal ini i bu yang telah berada pada fase sangkar kosong yang
ditandai dengan emosi yang kompleks akan memberikan dampak pada kesejahteraan
psikologisnya. Untuk itu dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui dinamika
psychological wellbeing dalam kaitannya dengan keadaan “kekosongan” para ibu usia
dewasa madya ya ng berada pada fase sangkar kosong, serta mengenai factor apa saja
yangmempenharuhi psychological well being mereka

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being


1. Usia Ryff & Keyes (dalam Ryff & Keyes, 1995; Snyder & Lopes, 2002) menjelaskan
bahwa terdapat pernedaan tingkat psychological well being didasarkan pada perbed aan
usia. Perbedaan usia ini terbagi dalam tigafase kehidupan masa dewasa yakni dewasa
muda, dewasa madya dan dewasa akhir. Individu-individu yang berada di masa dewasa
madya dapat menunjukkan psychological well being ya ng lebih tinggi dibandingkan
mereka yang berada di masa dewasa awal dan dewasa akhir pada beberapa dari dimensi
psychological well being Ryff dan keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan
lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia.
Terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Sedangkan dimensi tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia. Penurunan
ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diei selama usia dewasa muda
hingga dewasa akhir.
2. Jenis Kelamin Wanita cenderung lebih memiliki kesejahteraan psikologis dibandingkan
laki-laki. Hal ini dikaitkan dengan pola pikir yang berpengaruh terhadao strategi coping
yang dilakukan, serta aktivitas sosial yang dilakukan, dimana wanita memiliki
kemampuan interpersonal yang lebih baik daripada laki-laki oleh Ryff & Singer (dalam
Ryff, 1989; Synder & Lopes, 2002; Papalia et al, 2002). Selain itu wanita lebih mampu
mengekspresikan emosi dengan bercerita kepada orang lain, dan wanita juga lebih senang
menjalin relasi sosial dibanding laki-laki Wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada
dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (Ryff & Keyes, 1995)
3. Status sosial ekonomi Penelitian Ryff dan koleganya (1999) menjelaskan bahwa status
sosial ekonomi yang meliputi: tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan keberhas ilan
pekerjaan memberikan pengaruh tersendiri pada psychological well being, dimana
individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan memiliki pekerjaan yang baik
akan menunjukkan tingkat psychological wellbeing ya ng lebih tinggi pula. Ryff (1999)
juga menjelaskan bahwa status ekonomi berhubungan dengan dimensi dari penerimaan
diri, tujuan dalam hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbihan pribadi. Beberapa
peneliian juga mendukun pendapat ini (Ryan & Deci, 2001), dimana individu-individu
yang memfokuskan pada kebutuhan materi dan finansial sebagai tujuannya menunjukkan
tingkat kesejahteraaan yang rendah. Hal ini sejalan dengan status sosial atau kelas sosial
yang dimiliki individu akan memberikan pengaruh berbeda pada psychological well
being seseorang.
4. Faktor dukungan sosial Dukungan sosial termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi
psychological well being seseorang. Dukungan sosial atau jaringan sosial berkaitan
dengan aktivitas sosial yang d iikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan-
pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas ya ng dilakukan, dan dengan
siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).
5. Religiusitas Ellison (1991) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara ketaatan
beragam (religiosity) dengan psychological well being. Selain itu menurut Royce (dalam
Krause, 2006) menjelaskan bahwa salah satu yang dapat meningkatkan keimanan dan
spiritual (religiusitas) seseorang adalah ketika seseorang tersebut dapat menghadapi stress
dengan sebaik mungkin. Menurut Fabricatore dkk (2000), sejumlah literature
menujukkan peran faktor religious sebagai penyanggah terhadap stress. Saat individu
dengan religiusitas yang kuat menunjukkan tingkat psychological well being yang lebih
tinggi dan lebih sedikit mengalami pengalaman traumatik.
6. Kepribadian Kepribadian islami dalam (Mujib, 2017) memiliki arti serangkaian perilaku
orang atau umat islam yang rumusnya digali dari penelitian perilaku kesehariannya.
Rumusan kepribadian muslim di sini bersifat induktif-praktis, karena sumbernya dari
hasil penelitian terhadap perilaku keseharian orang atau umat islam. Abdul mujib (2017)
menjelaskan bahwa uraian-uraian yang ditampilkan berdasarkan ajaran normative islam
yang harus dilakukan oleh muslim. Karena normatif sifatnya maka buku teori kepribadian
islam ini menampilan kepribadian yang “seharusnya” bukan “apa adanya” dari perilaku
umat islam. Terdapat beberapa jenis kepribadian islami dan salah satunya adalah sabar
(Mujib, 2017).

D. Pengukuran Psychological Well Being


Terdapat beberapa pengukuran psychological well being yang dikembangkan oleh Ryff,
diantaranya adalah:
1. cale Psychological Well BeingSkala ini digunakan untuk remaja yang berisikan beberapa
item. Pada saat pengukuran peserta diminta untuk menunjukkan seberapa akurat setiap
item yang menggambarkan diri mereka sendiri dengan memberi peringkat pada skala
Likert 5 poin mulai dari "paling tidak suka saya" hingga "paling suka saya"
2. Ryff Scale Psychological Well Being Skala Ryff tentang kesejahteraan psikologis adalah
instrument yang didasarkan secara teoritis dan secara khusus berfokus pada pengukuran
beberapa dimensi psychological well beingyaitu penerimaan diri, hubungan positif
dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan
pribadi. Pada skala ini responden diminta untuk menunjukkan seberapa akurat item-item
tersebut menggambarkan diri mereka, pada skala likert 5 poin mulai dari “setuju” hingga
“sangat tidak setuju”. Peneliti mengukur psychological well being dalam penelitian ini
mengggunakan Ryff Scale Psychological Well being

E. Dukungan Sosial
Definisi dukungan social Dalam definisi mengenai dukungan sosial terdapat beberapa
teori diantaranya adalah teori Uchino yang menjelaskan bahwa: “social support to comfort,
caring, esteem or help available to a person from others people or group” (Uchino, 2004
dalam Sarafino, 2011: 81). Berdasarkan definisi di atas, dijelaskan bahwa dukungan sosial
adalah penerimaan seseorang dari orang lain atau kelompok berupa kenyamanan. kepedulian,
penghargaan ataupun bantuan lainnya yang membuat individu mera sa bahwa ia disayangi,
diperhatikan, dihargai dan ditolong. Selain itu Albrecht menjelaskan bahwa dukungan sosial
adalah komunikasi verbal dan nonverbal antara penerima dan pemberi dalam menurunkan
ketidakpastian mengenai situasi, dirinya, orang lain atau hubungan dan berfungsi untuk
meningkatkan persepsi kontrol individu dalam suatu pengalaman hidupnya (Albrecht, 1987 :
182). Gottlieb (dalam Sarafino, 2011) juga menjelaskan mengenai dukungan sosial yaitu
berupa informasi atau nasehat verbal dan non verbal, berupa bantuan nyata atau suatu
tindakan yang diberikan oleh suatu jaringan sosial yang akrab atau didapat karena kehadiran
jaringan sosial tersebut dan mempunyai manfaat emosional atau manfaat perilaku bagi pihak
penerima. Dari beberapa definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial
adalah ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang
diperoleh melalui pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh
orang lain, dan merupakan anggota dalam suatu kelompok yang memiliki kepentingan
bersama melalui verbal atau non verbal behavior.

F. Dimensi Dukungan Sosial


Menurut (Cutrona & Gardner, 2004; Uchino, 2004 dalam Sarafino, 2011) Ada empat
jenis dukungan sosial :
1. Emotional or Esteem Support Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan sehingga individu mera sa nyaman, aman, juga mera
sa dicintai saat individu sedang mengalami tekanan atau dalam keadaan stres.Dukungan
ini ada ketika seseorang memberikan penghargaan positif kepada orang yang sedang
mengalami stres, dorongan atau persetujuan terhadap ide ataupun perasaan individu,
ataupun melakukan perbandingan positif antara individu dengan orang lain. Dukungan ini
dapat menyebabkan individu yang menerima dukungan membangun rasa menghargai
dirinya, percaya diri, dan mera sa bernilai. Dukungan jenis ini akan sangat berguna ketika
individu mengalami stres karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan
yang dimilikinya.
2. Tangible or Instrumental SupportDukungan yang berupa bantuan secara langsung dan
nyata seperti berupa materi atau jasa. Misalnya memberi atau meminjamkan uang atau
membantu meringankan tugas orang yang sedang mengalami stres. Dengan adanya
bantuan yang mengacu pada ketersediaan peralatan, materi atau jasa dapat membantu
mengatasi permasalahan-permasalahan yang bersifat praktis.
3. Informational Support Mencakup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau
umpan sehingga dapat mengarahkan bagaimana individu memecahkan yang dihadapi.
4. Companionship Support Mengacu pada ketersediaan orang lain untuk menghabiskan
waktu bersama orang itu, sehingga memberi perasaan keanggotaan dalam sekelompok
orang yang berbagi minat dan kegiatan sosial.

G. Pengukuran Dukungan Sosial


Dari penelitian membaca literature tentang penelitian-penelitian mengenai dukungan
sosial, peneliti memperoleh beberapa instrument untuk mengukur dukungan sosial, diantara
nya:
1. Assesing Social Support: The Social Support Ques tionaire (SSQ). Pada awalnya SSQ
dibentuk pada tahun 1983 oleh Sarason, Levine dan Basbha berjumlah 27 item dari dua
aspek (persepsi akan jumlah orang dan tingkat kepuasan dari dukungan yang diberikan oleh
lingkungan sosial mereka). Kemudian pada tahun 1987 dirubah menjadi 6 item dan dikenal
dengan Social Support Ques tionaire Short Form (Sarason, 1983).
Infentory of Socially Supportive Behaviors (ISSB) yang dikembangkan oleh Barrera,
Sandler, dan Ramsay (1981). Terdiri dari 40 item dengan menggunakan skala likert dengan
poin sebagai berikut: 1 (tidak sama sekali), 2 (sekali atau dua kali), 3 (sekali dalam
seminggu), 4 ( beberapa kali), 5( setiap hari). Peneliti mengukur social support dalam
penelitian ini dengan mengkonstruk alat ukur berdasarkan bentuk social support dari Uchino
(dalam) arafino, 2011), yaitu emotional or esteem support, tangible or instrumental support,
informational support dan companionship support karena bentuk social support yang dibuat
Uchino (dalam sarafino, 2011) merupakan teori paling terbesar mengenai social support, dan
juga mewakili bentuk-bentuk social support dari teori- teori terdahulu.

H. Stress
1. Definisi Stress
Istilah 'stres' berarti banyak hal bagi banyak orang yang berbeda. Orang awam
dapat mendefinisikan stress hal tekanan, ketegangan, kekuatan eksternal yang tidak
menyenangkan atau respons emosional. Psikolog telah mendefinisikan stres dalam
berbagai cara berbeda. Definisi stres kontemporer menganggap stres lingkungan eksternal
sebagai stressor (misalnya masalah di tempat kerja), respons terhadap stressor sebagai
stres atau tekanan (misalnya perasaan ketegangan), dan konsep stres sebagai sesuatu itu
melibatkan perubahan biokimia, fisiologis, perilaku dan psikologis. (Ogden;2007; Health
Psychology).
Royce (dalam Krause, 2006) percaya bahwa stress jangan dihindari melainkan
harus dihadapi, karena stress juga diperlukan untuk meningkatkan keimanan dan spir
itual individu. Stress adalah suatu kondisi dimana sesuatu ya ng diinginkan tidak sesuai
dengan kenyataan (Sarafino, 2006). Psikolog yang mempelajari stres atau melakukan
terapi untuk membantu orang mengelolanya menganggap bahwa jumlah stres
pengalaman seseorang meningkat dengan stressor frekuensi, intensitas, dan durasi
(Sarafino & Ewing, 1999).
Menurut Lazarus & Folkman (1984) stres menekankan pada hubungan antara
orang dengan lingkungannya, yang mempertimbangkan catatan karakteris tik orang yang
satu sisi, dan di sisi lain sifat dari peristiwa li ngkungan. Stress bukanlah benda asing bagi
banyak orang. Sebagian besar hidup kita selalu berhadapan dengan stress, baik disadari
atau tidak. Kondisi fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup kita pada masa sekarang
ini sangat sarat dengan sumber-sumber stres, ditambah dengan kecenderungan
menurunnya kemampuan individu dalam mentolerir stres yang dialami. Stres juga dapat
menghinggapi siapa saja, baik pria maupun wanita. Bukan hal yang mengherankan pula
bahwa nampaknya wanita lebih banyak mengalami stres karena berbagai peran yang
disandangnya sangat potensial untuk mengalami stress (Hurlock, 1990).
Usia dewasa madya adalah masa stress. Ini merupakan salah satu dari ketiga ciri
usia madya. Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah,
khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak
homoestatis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stress, suatu masa bila
sejumlah penyesuaian yang pokok harus dilakukan di rumah dan aspek kehidupan
mereka. Terdapat beberapa kategori stress dewasa madya yaitu stress somatik, stress
budaya dan stress psikologis. Stress somatik merupakan stress yang disebabkan oleh
keadaan jasmani yang menunjukan usia tua. Stress budaya yang berasal dari penempatan
nilai yang tinggi pada kemudaan, keperkasaan dan kesuksesan oleh kelompok budaya
tertentu. Stress psikologis yang mungkin diakibatkan oleh kematian suami atau isteri,
kepergian anak dari rumah baik itu untuk pendidikan atau memulai rumah tangga,
kebosanan terhadap perkawinan atau hilangnya masa muda dan mendekati ambang
kematian (Hurlock, 1990). Menurut jurnal Psychological Review ya ng dipublikasikan
tahun 2000 dan ditulis oleh Shelley E. Taylor dan beberapa koleganya dari University of
California, Los Angeles rupanya menarik perhatian banyak ahli, peneliti dan pengamat
masalah stress. Tim peneliti tersebut menyodorkan sebuah paradigma baru dalam
mengkaji respon terhadap stres yang s ecara spesifik hanya dimiliki oleh wanita, yang
diberi istilah dengan “tend-and-befriend”.
Menurut Selye (dalam Schneiderman, et al 2005) bahwa istilah “stres” d i g u n a
k a n untuk mewakili efek dari apapun yang mengancam secara serius homeostasi s.
Sebenarnya dugaan ancaman terhadap suatu organisme disebut sebagai “penekan” dan
responsnya kepada stressor disebut “respons stres.” Meskipun tanggapan stres berevolusi
sebagai proses adaptif, S elye mengamati bahwa respon stres yang parah dan
berkepanjangan dapat terjadi menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit. Selain itu
Menurut Lovibond & Lovibond (1995) konsep stress sendiri merupakan respon yang
muncul karena adanya tekanan dalam hidup yang dirasakan individu. Berdasarkan uraian
yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik menggunakan teori yang dijabarkan oleh
Lovibond & Lovibond (1995) bahwa konsep stress sendiri merupakan respon yang
muncul karena adanya tekanan dalam hidup yang dirasakan individu. Lovibond &
Lovibond (1995) menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami stress sulit untuk
tenang, lebih mudah marah, menjadi tidak sabar, dan gelisah

I. Dimensi Stress
Berdasarkan skala DASS (Depression Anxiety Stress Scale) oleh Lovibond Lovibond
(1995) dengan lima dimensi:
1. Difficulty relaxing (kesulitan untuk santai) Ketika menghadapi masalah, individu
mera sa panik, gelisah, dan tidak bisa diganggu.
2. Nervous arousal (gugup) Berkeringat menghadapi stress, merasakan ketegangan, dan
jantung berdetak dengan cepat.
3. Early Upset/Agitated (gelisah) Keadaan dimana individu sulit untuk menenangkan
dirinya ketika stress.
4. Irittabele/over-reactive (pemarah atau respon berlebihan) Ketika dalam keadaan stress
reaksinya berlebihan dan menjadi lebih mudah marah.
5. Impatient (tidak sabar) Merupakan orang-orang yang tidak suka pekerjaannya
diganggu dan dihentikan selain itu tidak sabar menunggu untuk sesuatu.
J. Pengukuran Stress
Terdapat beberapa literature mengenai stress, peneliti memperoleh beberapa instrument
untuk mengukur stress diantaranya:
1. The Persceived Stress Scale (PSS) Alat ukur PSS dibentuk pada tahun 1994 oleh Sheldon
Cohen yang berjumlah 10 item pertanyaan mengenai kondisi individu selama sebulan
terakhir. Dalam setiap lasus, responden ditanya seberapa sering mereka merasakan suatu
cara tertentu.
2. Standar Stress Scale (SSS) Alat ukur SSS dibentuk pada tahun 2014 dikembangkan oleh
Christiane Gross. 35 pertanyaan mengenai situasi kehidupan yang penuh tekanan
3. Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) Depression Anxiety Stress Scale 42 atau
yang disingkat Depression Anxiety Stress Scale 21 (DASS 21) yang dikembangkan oleh
lovibond & lovibond tahun 1995. Psychometric Properties of the Depresion Anxiety
Stress Scale adalah seperangkat skala subjektif yang dibentuk untuk mengukur status
emotional negative dari depresi, kecemasan dan stress. Peneliti mengukur stress dalam
peneliti ini menggunakan instrument yang dikembangkan oleh lovibond &lovibond yaitu
Depression Anxiety Stress Scale 2

Daftar Pustaka

Albrecht, T.L., & Adelman, M.B (1987). Commucicating social support: A theoretical
perspective.In T.L Albrecht & M.B Adelman (Eds.),Journal Of Communicating
social support. 29 (22), 149-153
Aneshensel, C. S. (1992). Social Stress: Theory and Research. Annual Review of
Sociology,18,15-38. Doi:10. 1146/annurev.so.18.080192.000311Attar, B.K.,
Guerra, N.G., & Tolan, P.H (1994).

Neighbourhood disadvantage, stressful life, and adjustment in urban elementary-scholl


children. Journal of Clinical Child Psychology, 23, 391-400

Brim, O. G., Ryff, C. D, & Kessler, R. C. (2004). How healthy are we?: A national study
of well being at midlife. The University Chicago Press

Chaplin, J.P (1985). Dictionary of psychology, (2nd edition). New York: Dell Publishing
company

Chen Yixin & Feelay, H.T (2013). Social Support, social strain, loneliness and well-
being among older adults: An analysis of the Health and Retirement study. Journal
Of socialand personal Relationship. 31 (2) 141-161

Cohen.S, & Wills.A.T (1985) Stress, social support, and the Buffering Hypothesis.
Psychological Bulletin. 98(2).390-397.

Cohen, Seldon (2004). Social Relationships and Health. November 2004. American
psychologist. Desiningrum , R. (2010). Family’s Social support and Psychological
Well Being of the Elderlyin Tembalang.

Anima, Indonesian Psychological Journal2010, 26(1), 61-68 Gayatri, B. (2007). Stressful


life events and behavioral problems among preuniversity students.Ditemukan
kembali dari http://etd.uasd.edu/ft/th9576.pdf

Glenn, D (1975). Psychological Well-Being in the postparental Stage: Same Evidance


from National Surveys. Journal of Marrige and family, 37(1), 105-110

Fabricatore, A.N., Handal, P.J., & Fenzel L.M (2000). Personal spirituality as a
moderator of the relationship between stressors and subjective well-being. Journal
of Psychology and Theology, 28(3), 221-228 Fieldman, Robert (2011). Life Span
Development a tropical Approach. United Stated of Amerika

Anda mungkin juga menyukai