Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Reptil adalah hewan vertebrata yang terdiri dari ular, kadal cacing, kadal, buaya, Caiman,
buaya, kura-kura, penyu dan tuatara. Ada sekitar 7900 spesies reptil hidup sampai saat ini yang
mendiami berbagai tipe habitat beriklim sedang dan tropis termasuk padang pasir, hutan, lahan
basah air tawar, hutan bakau dan laut terbuka. Ular termasuk dalam Kelas Reptilia, merupakan
hewan yang hidupnya melata, dan kebanyakan hidup di terestrial, dan termasuk dalam
Ordo Squamata karena tubuhnya dikelilingi oleh sisik. Dalam penggolongan Subordo, ular
masuk dalam kategori Ophidia  (Serpentes) atau hewan tidak berkaki. Berikut adalah klasifikasi
ilmiah dari ular :

Kingdom: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Reptilia

Ordo: Squamata

Subordo: Serpentes

Untuk penggolongan dalam Familia ular dibagi atas 3 kelompok, yaitu :

1. Elaphidae (ular beracun yang tersebar di lima benua, kecuali Benua Eropa) contoh ular yang
terkenal dari Familia ini adalah Cobra yang banyak tersebar di Asia Tenggara, di Benua
Afrika (Mamba snake), di Benua Amerika (Coral snake). 
2. Hydrophidae  (ular beracun yang hidup di perairan laut, tersebar di Asia Selatan dan
Amerika tengah) ciri khusus yang dimiliki oleh ular ini adalah bentuk ekor yang menyerupai
dayung. Ular ini memiliki panjang mulai dari 3 kaki (1 meter) seperti (Laticauda laticauda)
hingga panjang 10 kaki (3 meter) seperti (Hydrophis spiralis). Ular laut ini jarang menyerang
manusia, karena mereka memangsa ikan.
3. Boidae  (ular tidak beracun, tersebar di dunia lama dan baru seperti Afrika, India, Indochina,
dan Australia) contoh dari familia ini adalah Reticulatus atau Python  pada
umumnya. Boa dan juga Anaconda (Amerika Tengah dan Selatan), dengan kata lain Familia
ini merupakan kelompok Famili  ular-ular terbesar di dunia.

Berdasarkan anatominya, di bawah sisik-sisik, daging, dan tulang terdapat organ-organ


tubuh yang menopang kehidupan ular. Sebagian besar organ dalam seekor ular berukuran
panjang dan ramping, sehingga muat di dalam tubuhnya yang memanjang. Organ-organ yang
berpasangan, misalnya ginjal, ovarium, dan paru-paru terletak bersebelahan seperti pada
kebanyakan hewan. Paru-paru kirinya sangat kecil dan kurang berguna sedangkan paru-paru
yang kanannya yang besar digunakan untuk bernafas.
Gambar : Anatomi Ular

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui cara nekropsi ular sesuai prosedur yang benar
1.2.2 Untuk melakukan pengamatan pada organ dalam ular secara patologis
1.2.3 Untuk mendiagnosa penyakit yang menyerang ular berdasarkan pengamatan organ
secara patologis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Metode Nekropsi Reptil
Metode nekropsi pada reptil terutama ular adalah dimulai dari meletakkan ular pada meja
nekropsi dengan posisi rebah dorsal. Selanjutnya dilakukan berbagai macam pemeriksaan fisik
yang meliputi mukosa, mata, nasal, oral cavity, kulit termasuk sisik, kloaka dan lain sebagainya
untuk memeriksa adanya abnormalitas yang menjurus kepada suatu penyakit. Selanjutnya
dipersiapkan alat yang digunakan yakni scissors baik TaTa maupun TaTu, serta blade untuk
membuat insisi pada jaringan ular. (Yusmidar, 2004)
Nekropsi dimulai dengan cara memotong salah satu bagian dari oral cavity bisa dexter
maupun sinister. Selanjutnya insisi dilanjutkan sampai menuju kloaka, pemotongan dilakukan
pada batas antara sisik dorsal dan sisik ventral sehingga pemotongan dilakukan di bagian tubuh
lateral ular. Dilakukan insisi pada sisik luar ular, kulit dan musculus sehingga organ dalam dapat
langsung terlihat dan dikuakkan. (Yusmidar, 2004)
Selanjutnya dilakukan penguakkan muskulus dari ular menuju ke lateral dan dilakukan
penjepitan, dapat menggunakan jarum atau sejenisnya untuk menahan agar dapat mempermudah
pengamatan dan pengkoleksian organ. Masing-masing organ diamati mulai dari sistem
pernapasan, sistem sirkulasi, sistem pencernaan, sistem reproduksi dan lain sebagainya. Untuk
mengamati intestine dari ular dapat dilakukan penguakkan hepar yang berada tepat dibagian
ventral dari intestine. Untuk organ berongga atau berlumen dapat dilakukan insisi untuk
memeriksa terjadinya abnormalitas pada organ lumen tersebut. Selanjutnya dilakukan koleksi
organ yang mengalami abnormalitas untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
(Yusmidar, 2004)
2.2 Penyakit pada Ular
2.2.1 Mouth rot
Mouth rot atau stomatitis ulseratif merupakan infeksi awal oleh bakteri dari lingkungan
atau bakteri komensal dari saluran pencernaan yang terjadi akibat kelemahan dan ketahanan
tubuh yang menurun saat stress (Ackerman 1995). Ketahanan tubuh yang menurun dapat pula
diakibatkan oleh infeksi virus. Hal ini telah dibuktikan melalui suatu kajian histopatologi mouth
rot pada sanca hijau (Chondropython viridis) dengan ditemukannya badan inklusi intranuklear
pada sel epitel mukosa mulut (Yusmidar 2004). Mouth rot juga dapat merupakan infeksi
sekunder dari abrasi mulut yang tidak dibersihkan atau merupakan kejadian yang mengikuti
pneumonia (Boyer 1993).

Bakteri menyebabkan peradangan awal pada bagian lunak mulut yang menimbulkan
gejala klinis berupa adanya ptekhi di ginggiva dan mukosa disertai peningkatan produksi mukus.
Selain itu, terdapat akumulasi jaringan mati membentuk perkejuan (plak) di ronga mulut dan
mulut yang bau. Penetrasi lebih dalam pada infeksi yang berkelanjutan dapat langsung menuju
mata dan menyebabkan abses seperti pada gambar atau menuju gigi dan tulang rahang yang
menyebabkan osteomyelitis dan deformitas tulang rahang sehingga mengalami pembesaran
kemudian menyebar ke seluruh tengkorak (Boyer 1993).
Menurut Draper et al. (1981) isolat bakteri yang didapatkan dari mulut ular yang
mengalami mouth rot, adalah golongan bakteri gram negatif sebanyak 80,3 % terutama
Pseudomonas, Aeromonas dan Proteus. Oleh karena itu, antibiotik yang digunakan adalah dari
golongan aminoglikosida secara topikal yaitu gentamisin (Garamicyn). Ular yang menunjukan
gejala sepsis diberi antibiotik sistemik menggunakan amikasin atau enrofloksasin.
2.2.2 Infeksi Saluran Pernapasan (Pneumonia)
Pneumonia dapat merupakan kelanjutan dari mouth rot (Boyer 1993) atau merupakan
penyakit primer yang disebabkan oleh temperatur lingkungan yang terlalu rendah untuk PBT
ular, kelembapan suboptimal dan defisiensi vitamin A. Kondisi ini mengakibatkan sel epitel
saluran pernapasan mengalami metaplasia dan peningkatan produksi mukus sehingga ular
menjadi suseptibel terhadap infeksi mikroba. Pada ular ketahanan tubuh yang melemah akibat
stress juga mengakibatkan infeksi awal pada saluran pernafasan (Mader 1996).
Infeksi dapat berupa bakteri dari lingkungan maupun mikroflora normal, virus, parasit,
dan jamur (Mader 1996). Bakteri patogen yang menyebabkan pneumonia terutama adalah
Pseudomonas, Aeromonas, Salmonella, Klebsiella dan Proteus (Hilf et al. 1990). Virus yang
menyebabkan pneumonia adalah famili Paramyxovirus (Ophidian Paramyxovirus, OPMV)
(Murray 1996), sedangkan parasit penyebab pneumonia adalah cacing nematoda genus Rhabdia
spp.. (cacing paru) dan golongan cacing pentastomum (cacing lidah) (Ackerman 1995).
Pneumonia akibat jamur (mycotic pneumonia) bukan merupakan kasus yang umum dan hanya
terjadi pada ular dengan keadaan imunitas yang sangat buruk akibat stress dan penggunaan
antibiotik yang berlebihan. Jamur tersebut umumnya Aspergillus, Candida, Mucor, Geotrichum,
Rhizopus dan Penicillium (Junge dan Miller 1992)
Ular yang mengalami pneumonia bernapas menggunakan mulut dan nafas berbunyi
seperti mendengkur, terdapat banyak eksudat mukus di rongga mulut dan mulut menjadi bau.
Posisi kepala ditegakkan membentuk sudut 45-90 derajat dengan tubuh untuk memudahkan
bernafas. Mulut ular selalu terbuka dan ular mengalami anoreksia.
Menurut Klingenberg (1993), kultur bakteri dari mukosa mulut dan trakhea harus
dilakukan untuk mendiagnosa jenis bakteri penyebab pneumonia agar dapat menentukan
antibiotik spesifik yang sensitif terhadap bakteri tersebut. Ackerman (1995) menganjurkan
melakukan penghitungan dan diferensiasi sel darah terutama leukosit untuk mengetahui tingkat
kejadian infeksi. Peningkatan jumlah azurofil dapat memperkirakan kejadian kronis atau tingkat
keparahan. Pemeriksaan feses dan swab dari glotis juga harus dilakukan untuk memastikan agen
penyebab pneumonia adalah parasit.
Mader (1996) mengatakan bahwa pada kultur bakteri yang diisolasi dari ular yang
mengalami pneumonia, sebagian besar selalu merupakan bakteri gram negatif aerob. Sehingga
drug of choice terhadap penyakit ini adalah antibiotik dari golongan aminoglikosida yaitu
gentamisin dan amikasin atau golongan sefalosporin generasi ke tiga yaitu seftazidim. Ketiga
antibiotik ini sangat aktif terhadap Pseudomonas. Gentamisin dan seftazidim dapat digunakan
sambil menunggu hasil kultur bakteri. Amikasin digunakan jika terdapat indikasi bakteri resisten
terhadap gentamisin dan seftazidim (Klingenberg 1993), atau dapat langsung digunakan sebagai
pengobatan awal terutama sebagai drug of choice pada pneumonia Klebsiella karena bakteri
Klebsiella kebanyakan sensitif terhadap gentamisin namun beberapa telah menjadi resisten
(Yohana 2007). Enrofloksasin juga dijadikan salah satu antibiotik pilihan karena merupakan
antibiotik spektrum luas yang sangat kuat terhadap hampir semua bakteri gram negatif aerob
terutama Aeromonas spp dan Pseudomonas aeruginosa, golongan bakteri gram positif dan semua
bakteri patogen enterik lain (Ackerman 1995). Apabila pada hasil kultur bakteri terdapat bakteri
anaerob maka penggunaan antibiotik diganti dengan metronidazol (Mader 1996).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil

NO ORGAN KETERANGAN
1 Kulit Normal
2 Bawah sisik Ada cacing
3 Peritoneum Ada cacing
4 Trakea Normal
5 Hepar Normal
6 Intestine Normal
7 Lambung Normal
8 Lien Normal
9 Pulmo Normal
10 Ren Normal
11 Jantung Normal

Gambar hasil nekropsi :

Gambar : Cacing di musculus Gambar : Cacing di rongga Gambar : Cacing di rongga


peritoneum peritoneum

Gambar : Cacing di intestine Gambar : Vesica velea normal Gambar : Trakea dan
esofagus normal
Gambar : Intestine normal Gambar : Cacing di musculus Gambar : Cacing di
Peritoneum
4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil temuan nekropsi pada ular dengan panjang 1.5 m ditemukan adanya
infeksi cacing bersegmen atau cestoda pada daerah luar organ berlumen yakni pada peritoneum
dan muskulus ular. Sedangkan dalam organ rongga berlumen yakni intestine, ditemukan cacing
nematoda dengan ukuran sekitar 2-3 cm. Berdasarkan hasil temuan diatas, dapat disimpulkan
bahwa ular tersebut terinfeksi helminthiasis dengan jenis yang berbeda yakni nematoda dan
cestoda.
Umumnya infestasi cacing pada ular adalah jenis cacing yang dapat bermigrasi ke
seluruh organ. Mader (1996) mengatakan, infestasi cacing pencernaan yaitu oleh golongan
nematoda yang terdiri atas: cacing dewasa Kalichepalus spp., larva dari cacing ini bermigrasi ke
seluruh organ dan subkutaneus; Strongyloides spp. yang menyebabkan gastritis dan enteritis
hemoragika; serta Ascaridia yang menyebabkan diare. Infestasi cacing pernafasan dapat berasal
dari golongan nematoda yaitu Rhabdias spp. (cacing paru) dan larva cacing kalichepalus yang
bermigrasi ke paru-paru; golongan artrophoda yaitu pentastomum (cacing lidah) yang
menyebabkan pentastomiasis pada ular, yang terdiri atas genus Armillifer pada Python dan
Viper, Kirichepalus pada famili Elaphidae (kobra) dan Porochepalus pada Boa dan subfamili
Crotalinae (ular derik) (Hendrix dan Robinson 2006); Jenis cacing cestoda yang menyebabkan
sparganosis di daerah muskular dan subkutan yaitu tahap pleurosercoid (sparganum) dari genus
Spirometra dan Botridium (Lane dan Mader 1996).
Semua jenis endoparasit ini ditularkan dari tikus, mencit dan katak kepada ular dan
sebagiannya dapat ditularkan lagi kepada manusia. Pada ular, luka akibat gigitan dan migrasi
endoparasit hampir selalu diikuti infeksi mikroba. Berkaitan dengan hal tersebut maka
manajemen keamanan pakan dan sanitasi kandang sangatlah penting sebagai salah satu tindakan
preventif terhadap parasit. Pemeriksaan feses secara berkala perlu dilakukan karena semua
stadium cacing (telur, larva dan dewasa) dapat diketahui dari feses. Swab pada mukosa trakhea
dan ruang mulut sebaiknya juga dilakukan karena larva beberapa jenis cacing juga terdapat di
daerah tersebut.
Obat cacing yang dapat digunakan adalah mebendazol 150 mg dan pirantel pamoat 100
mg dengan dosis 1-2 tablet untuk ular dengan berat 5-10 kg dan 4 tablet untuk ular dengan berat
lebih dari 10 kg. Deworming secara injeksi menggunakan ivermektin 1% dengan dosis 1cc/ 50kg
pada 1/3 bagian belakang tubuh sampai kloaka secara subkutan di daerah lateral. Deworming
dilakukan dengan menggunakan kombinasi albendazol-metronidazol.
Tablet obat dimasukan ke dalam daging mangsa yang akan diberikan atau melalui
pencekokan. Menurut Klingenberg (1993), antiparasit yang dapat mengontrol 99% endoparasit
pada reptil adalah fenbendazol (Panacur®), praziquatel (Droncit®), metronidazol (Flagyl®),
sulfadimetoksin, 2,2-diklorvinil dimetilfosfat (No-pest®strip), triklorvon konsentrat(Neguvon®)
dan ivermectin (Ivomec®).

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ular merupakan salah satu jenis reptil yang tidak memiliki ekstremitas baik cranial
maupun caudal. Pada praktikum ini dilakukan bedah bangkai atau nekropsi pada ular setelah
dilakukan euthanasi menggunakan ketamine dosis lethal. Berdasarkan hasil nekropsi ular pada
praktikum kali ini, ditemukan adanya infeksi cacing cestoda pada musculus dan diluar rongga
berlumen atau peritoneum. Selain itu, ditemukan pula cacing nematoda dalam organ berlumen
yakni pada organ saluran pencernaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ular tersebut
mengalami infeksi cacing atau sering disebut helminthiasis.
5.2 Saran
Sebaiknya praktikan diberi buku petunjuk praktikum agar tidak bingung saat mempelajari
materi untuk pretest dan ujian praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
Ackerman L. 1995. The Biology, Husbandry and Health Care of Reptiles. USA; TFH
Publications

Boyer TH. 1993. A Practicioner’s Guide to Reptilian Husbandry and Care. USA; American
Animal Hospital Association

Draper CS, Walker RD, Lawler HE. 1981. Patterns of Oral Bacterial infections in Captive
Snakes. Journal of the American Veterinary Medical Association.

Hilf M, Wagner RA, Yu FL. 1990. A Prospective Study of Upper Airway Flora, in Healty Boids
Snakes and Snakes with Pneumonia. Journal Zoo Wildlife Med 21.

Junge RE, Miller RE. 1992. Reptile Respiratory Disease dalam Kirk RW: Current Veterinary
Therapy XI. Philadelphia; WB Saunders.

Klingenberg RJ. 1993. Understanding Reptile Parasite, a Basic Manual For Herpetoculturist
and Veterinarians. USA; Advanced Vivarium Systems

Mader DR. 1996. Reptil Medicine and Surgery. California; W. B. Saunders Company

Murray MJ. 1996. Pneumonia and Normal Respiratory Disease dalam Mader RD. Reptil
Medicine and Surgery. California; W. B. Saunders Company

Yusmidar. 2004. Kajian Patologi Penyakit Mouth rot pada Ular. [Skripsi]. Bogor. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Anda mungkin juga menyukai