Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan orientasi tubuh dengan
lingkungan sekitarnya. Pada manusia, kemampuan ini diatur oleh input yang bersifat kontinu dari
sistem vestibular, proprioseptif, dan visual. Kemudian impuls tersebut akan diintegrasi dan
dimodulasi di batang otak, serebelum, dan serebral. Apabila terdapat lesi pada salah satu sistem
maka akan timbul gangguan keseimbangan atau dizziness.1
Dizziness merupakan sebuah istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalam 4 subtipe
yaitu vertigo vestibular, vertigo nonvestibular, presyncope, dan disequilibrium. Pada tinjauan
pustaka ini akan dibahas lebih lanjut mengenai vertigo vestibular dan nonvestibular. Vertigo
adalah ilusi ketika seseorang merasa dirinya bergerak (berputar) terhadap sekitarnya atau
lingkungan yang bergerak terhadap dirinya.1
Berdasarkan lokasi lesi penyebab vertigo, dapat diklasifikasikan menjadi vertigo perifer, dan
vertigo sentral, serta kondisi lain. Sebuah penelitian menyatakan bahwa 93% pasien di layanan
kesehatan primer mengalami BPPV, acute vestibular neuronitis, atau menire disease.2
Pada umumnya pasien vertigo seringkali sulit menggambarkan gejala yang dirasakan dengan
jelas, sehingga hal ini menyulitkan pemeriksa untuk menentukan penyebab. Oleh karena itu,
diperlukan pengetahuan dari kunci anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
dalam menegakkan diagnosis dengan tepat, serta pemberian terapi yang sesuai untuk pasien.

Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, penegakkan diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis, serta meningkatkan
pengetahuan penulis mengenai vertigo.

Kepaniteraan Klinik Geriatri


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Vertigo merupakan ilusi ketika seseorang merasa dirinya bergerak (berputar) terhadap sekitarnya
atau lingkungan yang bergerak terhadap dirinya.1 Selain proses patologis, vertigo juga dapat
terjadi akibat proses fisiologis, seperti saat berada di komedi putar, mabuk perjalanan, atau
gangguan visual.1 Proses patologis pada terjadinya vertigo dapat disebabkan oleh sistem
vestibularis, maupun nonvestibularis (visual, proprioseptif).

Epidemiologi
Vertigo dapat memengaruhi pria dan wanita tetapi sekitar dua pertiga terjadi lebih sering pada
wanita daripada pria. Hal ini dikaitkan dengan berbagai komorbiditas, seperti depresi dan
penyakit kardiovaskular. Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia dan bervariasi
tergantung pada diagnosis yang mendasarinya. Berdasarkan survei populasi umum, prevalensi
vertigo 1 tahun adalah sekitar 5%. Untuk Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV),
prevalensi satu tahun yaitu sekitar 1,6%, dan kurang dari 1% untuk migrain vestibular. Dampak
vertigo tidak boleh diremehkan karena hampir 80% responden survei melaporkan gangguan
dalam kegiatan sehari- hari, termasuk pekerjaan dan membutuhkan perhatian medis.3

Klasifikasi
Berdasarkan lokasi lesinya, maka vertigo dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Vertigo perifer  lesi terdapat di telinga dalam dan nervus vestibularis
2. Vertigo sentral  lesi di batang otak, serebelum, serebrum

Etiologi
Keseimbangan dikendalikan oleh serebelum yang mendapat informasi tentang posisi tubuh dari
organ keseimbangan di telinga tengah dan mata. Penyebab umum dari vertigo dipaparkan
sebagai berikut:5
1. Keadaan lingkungan :seperti pada mabuk darat atau mabuk laut.
2. Zat dan obat-obatan : contohnya alkohol, gentamisin.
3. Kelainan telinga : adanya endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di
telinga bagian dalam dapat menyebabkan gangguan keseimbangan, yaitu benign
paroxysmal positional vertigo (BPPV), selain itu, infeksi telinga bagian dalam karena
bakteri, labirintis, ataupun penyakit maniere. Adanya peradangan saraf vestibuler yang
dapat disebabkan oleh herpes zoster, juga dapat menyebabkan vertigo.
4. Kelainan Neurologis : Tumor otak yang menekan saraf vestibularis, sklerosis multipel,
dan patah tulang otak yang disertai cedera pada labirin, persyarafannya atau keduanya.
5. Kelainan sirkularis : Gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran darah
ke salah satu bagian otak (transient ischemic attack) pada arteri vertebral dan arteri
basiler.
Penyebab vertigo dapat berasal dari perifer yaitu dari organ vestibuler sampai ke inti nervus VIII,
sedangkan kelainan sentral dari inti nervus VIII sampai ke korteks. Berbagai penyakit atau
kelainan dapat menyebabkan vertigo. Berikut ini penyebab vertigo berdasarkan lokasi lesi :6
A. Vertigo Perifer
1. Labirin, telinga dalam
- vertigo posisional paroksisimal benigna (BPPV)
- pasca trauma
- penyakit menierre
- labirinitis (viral, bakteri)
- toksik (misalnya oleh aminoglikosid, streptomisin, gentamisin)
- oklusi peredaran darah di labirin
- fistula labirin
2. Nervus Vestibulocochlearis (N.VIII)
- neuritis iskemik (misalnya pada DM)
- infeksi, inflamasi (misalnya pada sifilis, herpes zoster)
- neuritis vestibular
- neuroma akustikus
- tumor lain di sudut serebelo-pontin
3. Telinga luar dan tengah
- Otitis media
- Tumor
B. Vertigo Sentral
1. Supratentorial
- Trauma
- Epilepsi
2. Infratentorial
 Insufisiensi vertebrobasilar
Insufisiensi vertebrobasilar merupakan keadaan dimana aliran darah yang tidak adekuat
melalui sirkulasi posterior otak, yang disuplai oleh 2 arteri vertebra yang bergabung
membentuk arteri basilar.7 Keadaan ini juga sering disebut sebagai transient ischemic
attacks in the vertebrobasilar territory. Arteri vertebrobasilar memberikan suplai
darah ke serebelum, medula, otak tengah, dan korteks oksipital. Keparahan gejala
yang ditampilkan pun bervariasi, mulai dari asimptomatik sampai hendaya berat
bahkan kematian. Insufisiensi vertebrobasilar lebih mudah terdiagnosis ketika
pasien datang dengan gangguan neurologis yang terkait dengan pusing. Namun,
sering pula dijumpai pasien yang datang ke instalasi gawat darurat, dengan keluhan
gangguan keseimbangan ringan dimana gejala mirip seperti labyrinthitis, neuritis
vestibular, dan Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). Oleh karena itu
penting untuk dapat mendiagnosis insufisensi vertebrobasilar.7,8
Penelitian menunjukkan bahwa sekitar seperempat dari kejadian stroke dan TIA
terjadi pada area yang diperdarahi arteri vertebrobasilar. 7 Prevalensi insufisiensi
vertebrobasilar (VBI) hampir sama seperti penyakit aterosklerotik lainnya yaitu,
VBI lebih banyak terjadi pada pasien lansia, terutama pada usia sekitar 70 - 80
tahun, dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Sebanyak 25% dari populasi lansia memiliki gangguan keseimbangan dan
peningkatan risiko jatuh sebagai konsekuensi dari VBI.
Faktor predisposisi terjadinya VBI yang utama ialah faktor yang memicu
aterosklerosis, seperti: merokok, hipertensi, usia, jenis kelamin, riwayat keluarga
dan genetika, serta hiperlipidemia. Selain itu, pasien dengan riwayat penyakit arteri
koroner atau penyakit arteri perifer berisiko lebih tinggi. Penyebab lainnya yang
dapat menyebabkan VBI yaitu kardioemboli seperti fibrilasi atrium, endokarditis,
diseksi arteri vertebral, dan keadaan hiperkoagulasi sistemik.7
Patofisiologi VBI yang terjadi dapat disebabkan oleh 2 proses iskemia :7
1. Insufisiensi hemodinamik
Penurunan perfusi merupakan penyebab terbanyak VBI, terutama pada
kelompok lansia dan penderita diabetes yang memiliki kontrol simpatis yang
buruk. Gejala cenderung terjadi singkat dan berulang, serta jarang menyebabkan
infark. Faktor lain yang menyebabkan penurunan perfusi antara lain: obat anti-
hipertensi, aritmia jantung, malfungsi alat pacu jantung/pacemaker, dan
vaskulitis. Selain itu, adanya sumbatan pada pembuluh darah lain, seperti
subclavian steal syndrome dapat menjadi penyebab VBI.
2. Emboli
VBI yang disebabkan oleh emboli melalui arteri vertebralis jarang terjadi. Situs
donor untuk emboli mungkin termasuk arkus aorta atau arteri subklavia
proksimal. Emboli dapat terjadi akibat lepasnya plak aterosklerotik kemudian
terbawa sirkulasi dan menyumbat. Selain itu emboli juga dapat terjadi sebagai
akibat defek intimal akibat trauma, kompresi, dan pada sebagian kecil kasus
dari displasia, aneurisma, atau diseksi fibromuskular.
Gejala yang tampak pada VBI merupakan gambaran akibat iskemia pada berbagai
bagian otak yang disuplai oleh sirkulasi posterior. Gejala yang dapat timbul antara lain:
 Vertigo/pusing (gejala yang paling sering)  60% pasien VBI, setidaknya
pernah mengalami satu kali episode pusing
 “Drop attacks”  pasien tiba-tiba merasa kaki lemas dan terjatuh
 Diplopia/gangguan penglihatan
 Parestesia
 Disfagia/disartria
 Nyeri kepala
 Penurunan kesadaran
 Ataxia
 Kelemahan motorik kontralateral
 Inkontinensia
Pada pemeriksaan perlu disingkirkan kemungkinan penyebab yang lebih ringan seprti
BPPV, labyrinthitis, atau vestibular neuritis. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan gejala sebagai berikut:
 Perubahan tingkat kesadaran
 Hemiparesis
 Perubahan ukuran pupil
 Kelumpuhan nervus kranialis (biasanya nervus abdusen)
 Ocular bobbing  kedua mata bergerak cepat ke bawah, diikuti oleh
kembalinya ke posisi garis tengah mata secara perlahan.
 Vertical gaze palsy  lesi N. III
 Horizontal gaze palsy  lesi N. VI
 Paralisis N.VII
 Bulbar palsy  dysarthria, dysphonia, dysphagia, dysarthria, facial weakness
 Hemianopia kontralateral dengan macular normal  keterlibatan arteri cerebral
posterior
 Ipsilateral penurunan suhu dan nyeri wajah, Horner syndrome  medullary
syndrome
Pemeriksaan penunjang pencitraan arteri vertebralis dan basilar penting dilakukan untuk
diagnosis dan manajemen VBI. Pemeriksaan CTA atau MRA noninvasif dapat digunakan
untuk memvisualisasikan sistem vertebra-basilar untuk menentukan stenosis atau oklusi.
Pemeriksaan ini menghasilkan gambaran yang bagus baik pembuluh intrakranial maupun
ekstrakranial.7
3. Obat  Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan
hilangnya pendengaran. Obat tersebut antara lain aminoglikosid, diuretik loop,
antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina.
Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan
kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang
dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol
dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik,
penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan karena jusrtru menghambat
pemulihan fungsi vestibluer. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson
dapat menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo.
Gejala dan Tanda
Dalam menegakkan diagnosis vertigo, perlu dibedakan antara vertigo sentral dan perifer, yang
dapat terlihat dari tampilan gejala klinis. Salah satu tanda penting untuk membedakan lokasi lesi
vertigo, yaitu nistagmus. Pada vertigo sentral, dapat terjadi nistagmus bidireksional, vertikal dan
rotatoar, sedangkan vertigo perifer hanya unidireksional. Selain itu, berikut di bawah ini
perbedaan klinis antara vertigo sentral dan perifer:1
Gejala & Tanda Perifer Sentral
Gejala vertigo Berat Ringan
Mual & muntah Berat Ringan
Gangguan pendengaran Sering Jarang
Defisit neurologis - Sering
Nistagmus Unidireksional Bidireksional, vertikal, rotatoar
Head impulse test Positif Negatif

Pada vertigo fase akut, dimana deficit neurologis tidak ditemukan, maka dapat dilakukan
pemeriksaan HINTS:

1. Head impulse test  pada vertigo sentral: negative


2. Nistagmus
3. Test of skew  positif

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan antara vertigo sentral dan perifer. Oleh karena
itu, pemeriksaan yang dapat dilakukan sebagai berikut:4
1. Pemeriksaan telinga:
 dilakukan dengan menggunakan otoskop, yang bertujuan untuk melihat keadaan
membrane timpani. Sebagai contoh, pada infeksi Herpes zoster dapat ditemukan
vesikel atau terdapat kantong retraksi pada kolesteotoma. Selain itu, pada kelainan
fistula perilimfatik, vertigo dipicu dengan mendorong tragus atau dengan manuver
Valsava.
 Penilaian pendengaran harus dilakukan.
2. Pemeriksaan neurologis  Dilakukan penilaian terhadap:
 Nervus vestibulocochlearis (N. VIII) dapat dilakukan: tes Romberg,
Romberg dipertajam, Fukuda test (Stepping test)
 Serebelar, dapat dinilai dengan pemeriksaan: tes disdiadokokinesis, tes telunjuk-
hidung, tes tumit-lutut
 Penilaian gaya berjalan.
 Tes proprioseptif (kinesthesia)  tes posisi
3. Pemeriksaan mata: dilakukan pemeriksaan untuk menilai adanya nistagmus dan
papilledema. Nistagmus adalah gerakan mata yang cepat, tersentak, dan tidak disengaja.
Nistagmus vertikal hanya terlihat jika penyebabnya adalah vertigo sentral. Nistagmus
karena vertigo sentral juga dapat berupa horizontal, rotasi atau vertikal, dan tidak hilang
saat memperbaiki pandangan. Sedangkan, nistagmus pada vertigo perifer menghilang
dengan fiksasi pandangan.
4. Tes Kalori
Tes ini membutuhkan peralatan yang sederhana. Kepala penderita diangkat ke
belakang (menengadah) sebanyak 60º. (Tujuannya ialah agar bejana lateral dilabirin
berada dalam posisi vertikal, dengan demikian dapat dipengaruhi secara maksimal
oleh aliran konveksi akibat endolimf). Tabung suntik berukuran 20 mL dengan
ujung jarum yang dilindungi oleh karet ukuran no 15 diisi dengan air bersuhu 30ºC
(kira- kira 7º di bawah suhu badan) air disemprotkan ke liang telinga dengan
kecepatan 1 mL/detik, dengan demikian gendang telinga tersiram air selama kira-
kira 20 detik.
Bola mata penderita segera diamati terhadap adanya nistagmus. Arah gerak
nistagmus ialah ke sisi yang berlawanan dengan sisi telinga yang dialiri (karena air
yang disuntikkan lebih dingin dari suhu badan) Arah gerak dicatat, demikian juga
frekuensinya (biasanya 3-5 kali/detik) dan lamanya nistagmus berlangsung
dicatat.Lamanya nistagmus berlangsung berbeda pada tiap penderita. Biasanya
antara
½ - 2 menit. Setelah istirahat 5 menit, telinga ke-2 dites.

Hal yang penting diperhatikan ialah membandingkan lamanya nistagmus pada


kedua sisi, yang pada keadaan normal hampir serupa. Pada penderita sedemikian 5
mL air es diinjeksikan ke telinga, secara lambat, sehingga lamanya injeksi
berlangsung ialah 20 detik. Pada keadaan normal hal ini akan mencetuskan
nistagmus yang berlangsung 2-2,5 menit. Bila tidak timbul nistagmus, dapat
disuntikkan air es 20 mL selama 30 detik. Bila ini juga tidak menimbulkan
nistagmus, maka dapat dianggap bahwa labirin tidak berfungsi.
Tes ini memungkinkan kita menentukan apakah keadaan labirin normal hipoaktif
atau tidak berfungsi.
5. Pemeriksaan kardiovaskular: dilakukan dengan mengukur frekuensi denyut nadi, tekanan
darah, detak jantung dan ritme harus diperiksa. Pemeriksaan karotis untuk
mengidentifikasi bruit (dalam kasus CVA) juga diperlukan. Pencitraan lebih lanjut untuk
mengesampingkan CVA dapat dilakukan jika ini diduga secara klinis.
6. Head impulses test
Dimulai dengan pemeriksa menolehkan kepala pasien ke salah satu sisi pelan-pelan
setelah itu pemeriksa menolehkan kepala pasien sisi lainnya horizontal 20 o dengan cepat.
Pada orang yang normal tidak ada saccades mengindikasikan pandangan mereka terfiksasi
di objek.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai
indikasi.
2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik).
3. Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem
Auditory Evoked Potential (BAEP).
4. Pencitraan CT- scan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI).

Tatalaksana

1. Farmakologi
Nama Obat Dosis Obat
Dimenhidrinat 50 mg/ 4-8 jam
Prometazin 25 mg/ 4-8 jam
Cinarizin 25 mg /8 jam
Diazepam 2-5 mg/ 8 jam
Klonazepam 0,5 mg / 8 jam
Haloperidol 0,5-2 mg mg/ 8 jam
Betahistin 24 mg/ 12 jam
Flunarizine 5-10 mg/ 12 jam
4- Aminopiridin 5-10 mg/8-12 jam
Antiepilepsi
Karbamazepin Paroksimal vestibular
200-600 mg/hari
Epilepsy vestibular
800-2000mg/hari
Topiramat Migren Vestibular
50-150 mg/hari
Asam Valproat Migren Vestibular
600-1500 mg/hari
2. Terapi Non- Farmakologi

 Manuver Epley

1. Manuver Dix-Hallpike

2. Bila positif, pertahankan 30 detik

3. Putar kepala 90o ke arah berlawanan lalu pertahankan 30 detik

4. Putar kepala 90o ke arah bawah (wajah menghadap ke lantai), lalu pertahankan 30
detik

5. Pasien kembali ke posisi duduk

 Manuver Semont

1. Pasien duduk di tepi tempat tidur

2. Memutar kepala pasien sebangak 45o ke sisi telinga yang sehat

3. Tubuh pasien diputar 90o ke sisi telinga yang sakit, tetap berbaring selama 1
menit.

4. Secara cepat diikuti posisi tubuh 180o ke sisi telinga yang sehat, dan tetap
berbaring selama 1 menit.
 Latihan Brandt-Daroff

1. Latihan dilakukan dengan kedua mata terbuka

2. Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur, dengan kedua kaki tergantung

3. Kepala diarahkan 45o ke kiri, lalu baringkan tubuh dengan cepat kea rah kanan,
pertahankan posisi selama 30 detik.

4. Duduk kembali seperti posisi awal selama 30 detik.

5. Kepala kembali diarahkan 45o ke kanan, lalu baringkan tubuh dengan cepat ke
arah kiri, pertahankan posisi selama 30 detik

6. Pasien duduk kembali

7. Latihan ini dapat dilakukan


3 set per hari. Masing
masing 5 siklus kekiri dan
ke kanan selama 2 minggu.
Diagnosis Banding

(Muncie Jr HL, Sirmans SM, James E. Dizziness: approach to evaluation and management.
American family physician. 2017 Feb 1;95(3):154-62.)
Prognosis
Pada kasus vertigo spesifik seperti BPPV Prognosis setelah dilakukan CRP (Canalith
Repositioning Procedure) biasanya baik. Remisi daat terjadi spontan dalam 6 minggu,
meskipun dalam beberapa kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi
sekitar 10-25%. CRP/Epley manuver terbukti efektif dalam mengontrol gejala BPPV dalam
waktu lama. Pada beberapa kasus dapat terjadi remisi dan rekurensi yang tidak dapat diprediksi
dan rata-rata rekurensi ± 10-15% per tahun.
Penyakit Meniere belum dapat disembuhkan dan bersifat progresif, tapi tidak fatal dan
banyak pilihan terapi untuk mngobati gejalanya. Beberapa pasien mengalami remisi spontan
dalam jangka waktu hingga tahun.
BAB III
KESIMPULAN

Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau


seolah- olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai
dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa
saat atau bisa berlanjut sampai beberapa jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih
baik jika berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak
bergerak sama sekali.
Vertigo diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan saluran vestibular
yang mengalami kerusakan, yaitu vertigo periferal dan vertigo sentral. Vertigo periferal
terjadi jika terdapat gangguan di saluran yang disebut kanalis semisirkularis, yaitu telinga
bagian tengah yang bertugas mengontrol keseimbangan. Gangguan kesehatan yang
berhubungan dengan vertigo periferal antara lain penyakit penyakit seperti benign
parozysmal positional vertigo (gangguan akibat kesalahan pengiriman pesan), penyakit
meniere (gangguan keseimbangan yang sering kali menyebabkan hilang pendengaran),
vestibular neuritis (peradangan pada sel-sel saraf keseimbangan), dan labyrinthitis
(radang di bagian dalam pendengaran).
Sedangkan vertigo sentral terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di dalam
otak, khususnya di bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah percabangan otak dan
serebelum (otak kecil).
DAFTAR PUSTAKA

1. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi jilid 1. Jakarta: Departemen Neurologi


Fakultas Kedokteran Indonesia; 2013.
2. Lempert, T, Neuhauser, H. Epidemiology of vertigo, migraine and vestibular migraine.
Journal Nerology; 2009.
3. Labuguen RH. Initial evaluation of vertigo. Am Fam Physician. 2006.
4. American Family Physician. An approach to vertigo in general practice. Am Fam
Physician. 2016. Available from: https://www.racgp.org.au/afp/2016/april/an-approach-
to-vertigo-in-general-practice/
5. Marril KA. Central Vertigo [Internet]. WebMD LLC. 2011. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a0217
6. Turner, B, Lewis, NE. Symposium Neurology: Systematic Approach that Needed for
establish of Vetigo. The Practitioner. 2010.
7. Pirau L, Liu F. Vertebrobasilar insuffiency. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2020 Jan. available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482259/
8. Neto ACL, Bittar R, Gattas GS, et al. Pathophysiology and diagnosis of vertebrobasilar
insufficiency: a review of the literature. Int Arch Otorhinolaryngol. 2017 Jul; 21(3): 302–
307. available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5495592/
9. Setiawati M, Susianti S. Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. Jurnal Majority. 2016 Oct
1;5(4):91-5.
10. Radtke A, Von Brevern M, Tiel-Wilck K, Mainz-Perchalla A, Neuhauser H, Lempert T.
Self-treatment of benign paroxysmal positional vertigo: Semont maneuver vs Epley
procedure. Neurology. 2004 Jul 13;63(1):150-2.
11. McGee S. Evidence-based physical diagnosis e-book. Elsevier Health Sciences; 2012 Mar
19.
12. Muncie Jr HL, Sirmans SM, James E. Dizziness: approach to evaluation and
management. American family physician. 2017 Feb 1;95(3):154-62.

Anda mungkin juga menyukai