Anda di halaman 1dari 35

KEWASPADAAN UNIVERSAL PRECAUTION

(Pencegahan Primer Klien Dengan HIV/AIDS Dan Penyalahgunaan


Napza)

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

DEVA LOLO PAYUNG C1814201062

FRISTI KEISTINA M. P C1814201069

LITVINDA DIS C1814201077

MARIANA C1814201084

YOHANA MARIA E.K R C1814201102

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

STELLA MARIS MAKASSAR

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang sangat


kompleks yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif
dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta
masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan,
konsekuen, dan konsisten. Meskipun dalam kedokteran sebagian besar narkoba
masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan
tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran di jalur ilegal akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun
masyarakat luas khususnya generasi muda. Indonesia saat ini tidak hanya
sebagai transit perdagangan gelap serta tujuan peredaran narkoba, tetapi juga
telah menjadi produsen dan pengekspor. (Kemenkes RI,2014)
Jumlah kasus narkoba berdasarkan penggolongannya yang masuk dalam
kategori narkotika terus mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir
sedangkan yang masuk dalam kategori psikotropika jumlah kasusnya kian
menurun, hal ini terlihat jelas pada tahun 2009 jumlah kasus psikotropika 8.779
kasus dan tahun 2010 jumlah kasus psikotropika menurun secara signifikan
menjadi 1.181 kasus.
Provinsi Jawa Timur dalam 3 tahun terakhir masih menempati urutan
pertama jumlah kasus narkona berdasarkan provinsi. Begitu pula halnya
menurut jumlah tersangka narkoba, Provinsi Jawa Timur menempati urutan
pertama yang jumlah tersangkanya paling banyak dan mengalami peningkatan
dari tahun 2010-2011, yang semula 6.395 tersangka di tahun 2010 meningkat
menjadi 8.142 tersangka di tahun 2012. (Kemenkes RI. 2014)
Berdasarkkan Kemenkes (2014) dalam menangani penyalahguna
narkoba saat ini melibatkan berbagai sektor, antara lain Rumah Sakit
khususnya Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) dan Rumah Sakit Jiwa
(RSJ), Panti Rehabilitasi Sosial Narkotika (PRSN), pesantren, lembaga

2
pemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam
bidang penanggulangan masalah penyalahgunaan narkoba.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika yang mengamanatkan pencegahan, perlindungan, dan penyalamatan
bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika serta menjamin pengaturan
upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika,
dimana pada pasal 54 menyebutkan bahwa “korban penyalahguna dan pecandu
narkotika wajib rehabilitas”. Undang-undang tersebut juga sudah mengatur
bahwa rehabilitasi adalah alternative lain dari hukuman penjara. Rehabilitasi
adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan nonmedis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang
menderita sindrom ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional
seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik,
mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki
tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2002)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pencegahan primer yang dapat dilakukan untuk klien dengan
HIV/AIDS ?
2. Apa yang dimaksud dengan NAPZA?
3. Apa penyebab penyalagunaan NAPZA?
4. Apa saja gejala klinis dari penyalagunaan NAPZA?
5. Apa saja komplikasi dari penyalgunaan NAPZA?
6. Apa saja penanggulangan NAPZA?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pencegahan primer yang dapat dilakukan untuk klien
dengan HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui tentang NAPZA
3. Untuk mengetahui penyebab penyalagunaan NAPZA
4. Untuk mengetahui klinis dari penyalgunaan NAPZA
5. Untuk mengetahui komplikasi dari penyalgunaan NAPZA
6. Untuk mengetahui penanggulangan NAPZA

3
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PENCEGAHAN PRIMER PADA KLIEN DENGAN HIV/AIDS

2.1 Defenisi

HIV ( Human Immunodeficicecy Virus ) adalah jenis virus yang dapat


menurunkan kekebalan tubuh ( BKKBN, 2007). Menurut Depkes RI ( 2008)
menyatakan bahwa HIV adalah sejenis retro virus-RNA yang menyerang
system kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah singkatan dari Aequored
Immunodeficiency Syindrome suatu kumpulan gejala penyakit yang dapat
akibat menurunya system kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV.
HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan
hasil akhir dari infeksi oleh HIV ( Sylvia & Wilson, 2005).

AIDS adalah kehilangan kekebalan tubuh manusia karena dirusak oleh


virus HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita aids mudah terkena
infeksi berbagai jenis infeksi , jamur, parasite, dan virus tertentu bersifat
oportunistik . selain itu penderita aids sering sekali menderita keganasan,
kususnya sarcoma kaposit dan linmpoma yang hanya menyerang otak
( juanda, 2007) .

Dari beberapa defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa hiv/aids adalah suatu
sindrom atau kumpulan tanda dan gejala akibat penurunan dari kekebalan
tubuh yang didapat atau tertular atau terinfeksi virus hiv/aids.

2.2 Pencegahan primer


Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV . hal ini
diberikan pada seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini
tidak bersifat terapeutik; tidak menggunakan tindakan yang terapeutik dan

4
tidak menggunakan identifikasi gejala penyakit. Pencegahan ini meliputi dua
hal, yaitu :
 Peningkatan kesehatan misalnya , dengan pendidikan kesehatan
reproduksi tentang HIV/AIDS , standarisasi nutrisi, menghindari seks bebas
, secreening , dan sebagainya.
 Prelindungan kusus , misalnya : imunisasi, kebersihan prinadi, atau
pemakaian kondom.

B. PENYALAGUNAAN NAPZA

2.3 Defenisi
Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lain ( NAPZA ) adalah bahan atau
zat atau obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi
tubuh terutama otak atau susunan sistem saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena
terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependdensi)
terhadap NAPZA.

Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang bersifat


patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya sehingga
menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial. Sebetulnya
NAPZA banyak dipakai untuk kepentingan pengobatan, misalnya
menenangkan klien atau mengurangi rasa sakit. Tetapi karena efeknya
“enak” bagi pemakai, maka NAPZA kemudian dipakai secara salah, yaitu
bukan utnuk pengobatan tetapi untuk mendapatkan rasa nikmat.
Penyalahgunaan NAPZA secara tetap ini menyebabkan pengguna merasa
ketergantungan pada obat tersebut sehingga menyebabkan kerusakan fisik
(Sumiati, 2009).

NAPZA sering disebut juga juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
bekerja pada otak sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan dan
pikiran. Ada kata lain yang berhubungan dengan NAPZA,yaitu NARKOBA
yang merupakan singkatan dari Narkotika dan Obat Berbahaya. Istilah ini
sangat popular dimasyarakat termasuk media massa dan aparat penegak

5
hukum yang sebenarnya mempunyai makna yang sama dengan NAPZA. Ada
juga yang menggunakan istilah ‘Madat’ untuk NAPZA. Namun istilah ini tidak
disarankan karena istilah tersebut hanya berkaitan dengan penggunaan jenis
narkotika turunan opium saja.

2.4 Rentang Respon Gangguan Penyalahgunaan Napza


Rentang respon gangguan penyalahgunaan NAPZA berfluktuasi dari
kondisi yang ringan sampai dengan yang berat. Indikator tentang respon ini
berdasarkan perilaku yang ditampakkan oleh pengguna penyalahgunaan
NAPZA, sebagai berikut :
a. Respon adaptif
b. Respon maladaptif
c. Eksperimental, rekreasional, situsional, penyalahgunaan dan
ketergantungan.

 Ekpresimental : kondisi pengguna tahap awal yang disebabkan


rasa ingin tahu dari pengguna, dimana hal ini timbul karena adanya
keinginan untuk mencari pengalaman yang baru dan biasa juga
dikenal dengan taraf coba-coba.
 Rekreasional : penggunaan zat akdiktif pada waktu berkumpul
dengan yang lain untuk bersosialisasi. Penggunaan ini mempunyai
tujuan rekreasi bersama dengan pengguna zat akdiktif lainnya.
 Situasional : penggunaan zat akdiktif mempunyai tujuan secara
individual yang sudah menjadi kebutuhan bagi dirinya sendiri.
Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk melarikan diri
atau mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Misalnya,
individu menggunakan zat tersebut pada saat sedang ada konflik,
sedang dalam keadaan stress dan frustasi.
 Ketergantungan : penggunaan zat yang sudah berat dan telah
terjadi ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan sisik
ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus obat.
Toleransi merupakan suatu kondisi dari individu yang mengalami
peningkatan dosis (jumlah zat) untuk dapat mencapai tujuan yang

6
biasa diinginkannya. Sedangkan sindroma putus obat merupakan
suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat akdiktif
secara rutin, pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang
digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan
kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan.

2.5 Jenis Napza


a. Heroin
Heroin berupa serbuk putih seperti tepung yang bersifat opioid yang dapat
menekan rasa nyeri dan memiliki sifat depresan (menekan) sistem saraf
pusat.
b. Kokain
Kokain diolah dari pohon coca yang mempunyai sifat halusionegenik.
c. Ganja
Ganja berisi zat kimia delta-9-tetra hidrokanbiolyang berasal dari daun
cannabis yang dikeringkan. Ganja dikomsumsi dengan cara dihisap
seperti rokoktetapi ganja dihisap melaui hidung.
d. Shabu-shabu
Shabu-shabu merupakan kristal yang berisi menthamphetamine, yang
dikomsumsi dengan menggunakan alat khusus yang disebut dengan bong
yang kemudian dibakar.
e. Ekstasi
Ektasi merupakan suatu zat dengan komponen kimiawi methylendioxy
menthamphetamine dalam bentuk tablet atau kapsul, yang mampu
meningkatkan ketahanan seseorang yang biasa digunakan untuk aktivitas
seksual dan aktivitas hiburan dimalam hari.
f. Diazepam, Nipam, Megadon
Merupakan jenis obat-obatan yang jika dikomsumsisecara berlebihan
dapat menimbulkan efek halusinogek.
g. Alkohol
Alkohol merupakan minuman yang berisi produk fermentasi yang
menghasilkan etanol dengan kadar diatas 40% yang mampu
menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Penggunaan alkohol dalam

7
dosis tinggi dapat memicu sirosis hepatik, hepatitis alkoholik maupun
gangguan sistem persarafan.

2.6 Golongan Napza


Berdasarkan undang-undang RI, NAPZA terbagi menjadi beberapa
golongan yang dibagi menjadi :
a. Narkotika ( Menurut UU RI nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika )
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mrngurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan
ketergantungan. Narkotika dibedakan kedalam golongan-golongan
berikut :
 Narkotika Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai
potensi sangat timbul untuk menimbulkan ketergantungan. Contoh:
heroin, kokain, ganja.
 Narkotika Golongan II
Narkotika yang bekhasiat dalam pengobatan.Digunakan sebagai
pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh :
morfin, patidine.
 Narkotika Golongan III
Narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: kodein
b. Psikotropika ( menurut UU RI no.5 tahun 1997 tentang psikotropika )
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang dapat menyebabkan khas pada aktivitas mental
dan perilaku.
Psikotropika dibedakan dalam golongan-golongan sebagai berikut :
8
 Psikotropika Golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai
potensi amat kuat untuk menimbulkan sindroma ketergantungan.
Contoh : ekstasi, shabu-shabu, Lysergic Acid Dyethylamide (LAD).
 Psikotropika Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat
digunakan untuk terapi dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat menimbulkan sindroma ketergantungan.
Contoh : amfetamin, metilfenidat, atau Ritalin
 Psikotropika Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat untuk pegobatan dan banyak
digunakan dalam terapi obat-obatan dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang untuk menimbulkan
sindroma ketergantungan. Contoh : penthobartial, flunitarzepam.
 Psikotropika Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan untuk menimbulkan sindroma
ketergantungan. Contoh : diazepam, bromazepam, fenobartial,
klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam (seperti pil BK, pil Koplo,
rohip, dum, MG)
c. Zat adiktif
Zat adiktif adalah suatu bahan atau zat yang apabila digunakan dapat
menimbulkan kecanduan atau ketergantungan.
d. Zat psikoaktif
Zat psikoaktif adalah golongan zat yang bekerja secar selektif
terutama pada otak, sehingga dapat menimbulkan perubahan pada
perilaku, emosi, kogntif,persepsi, dan kesadaran seseorang. Ada 2 jenis
psikoaktif yaitu:
1. Psikoaktif bersifat adiksi :
 Golongan opiodia : morfin, heroin(putauw), candu, kodein, petidine.
 Golongan cannabis : ganja (mariyuana), minyak hassish.
 Golongan kokain : serbuk kokain dan daun koka.
9
 Golongan alkohol : semua minuman yang mengandung ethyl
alkohol seperti brandy, wine, bir, cognac, brem, tuak, anggur orang
tua, dan sebagainya.
 Golongan sedatif hipnotik : BK, rohypnol, magadon, dumolid,
nipam, madrax.
 Golongan methylene dioxy amphetamine : ampthetamine
Benzedrine, Dexedrine.
 Golongan methylene dioxy meth empetahamine : ekstasi.
 Golongan halusinogen : LSD, meskaloin, mushroom, kecubung.
 Golongan solven dan inhalasia : aica aibon (glue), aceton, thiner,
N2O.
 Nikotin : tembakau
 Kafein : kopi dan the
 Dan Golongan Lainnya.
2. Psikoaktif Bersifat Non Adiksi
 Obat neuoroleptika untuk kasus gangguan jiwa psikotik, obat anti
depresi.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan, NAPZA dapat


digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu :

a. Golongan depresan (downer)


Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh.jenis ini membuat pemakainya merasa tenang, pendiam, dan
bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini
termaksuk opiodia (morfin, heroin, kodein), sedatif (penenang), hipnotik
(obat tidur), tranquilizer (anti cemas), dan lain-lain.
b. Golongan stimulant (upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi
aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk kedalam golongan ini
adalah amphetamine (shabu-shabu, ekstasi), kokain.
c. Golongan halusinogen

10
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda, sehingga seluruh perasaan dapat terganggu.
Golongan ini tidak digunakan untuk terapi medis.

2.7 Penyebab Penyalahgunaan Napza


Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat interaksi
berbagai factor, yaitu :

Menurut Soetjiningsih (2004), faktor risiko yang menyebabkan


penyalahgunaan NAPZA antara lain faktor genetik, lingkungan keluarga,
pergaulan (teman sebaya), dan karakteristik individu.
1. Faktor Genetik
Risiko faktor genetik didukung oleh hasil penelitian bahwa remaja dari
orang tua kandung alkoholik mempunyai risiko 3-4 kali sebagai peminum
alkohol dibandingkan remaja dari orang tua angkat alkoholik. Penelitian lain
membuktikan remaja kembar monozigot mempunyai risiko alkoholik lebih
besar dibandingkan remaja kembar dizigot.
2. Lingkungan Keluarga
Pola asuh dalam keluarga sangat besar pengaruhnya terhadap
penyalahgunaan NAPZA. Pola asuh orang tua yang demokratis dan terbuka
mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA lebih rendah dibandingkan
dengan pola asuh orang tua dengan disiplin yang ketat.
Fakta berbicara bahwa tidak semua keluarga mampu menciptakan
kebahagiaan bagi semua anggotanya. Banyak keluarga mengalami problem-
problem tertentu. Salah satunya ketidakharmonisan hubungan keluarga.
Banyak keluarga berantakan yang ditandai oleh relasi orangtua yang tidak
harmonis dan matinya komunikasi antara mereka.
Ketidakharmonisan yang terus berlanjut sering berakibat perceraian.
Kalau pun keluarga ini tetap dipertahankan, maka yang ada sebetulnya
adalah sebuah rumah tangga yang tidak akrab dimana anggota keluarga
tidak merasa betah. Orangtua sering minggat dari rumah atau pergi pagi dan
pulang hingga larut malam. Ke mana anak harus berpaling? Kebanyakan
diantara penyalahguna NAPZA mempunyai hubungan yang biasa-biasa saja

11
dengan orang tuanya. Mereka jarang menghabiskan waktu luang dan
bercanda dengan orang tuanya (Jehani, dkk, 2006).
3. Pergaulan (teman sebaya)
Di dalam mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA, teman
kelompok sebaya (peer group) mempunyai pengaruh yang dapat mendorong
atau mencetuskan penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang. Menurut
Hawari (2006) perkenalan pertama dengan NAPZA justru datangnya dari
teman kelompok. Pengaruh teman kelompok ini dapat menciptakan
keterikatan dan kebersamaan, sehingga yang bersangkutan sukar
melepaskan diri. Pengaruh teman kelompok ini tidak hanya pada saat
perkenalan pertama dengan NAPZA, melainkan juga menyebabkan
seseorang tetap menyalahgunakan NAPZA, dan yang menyebabkan
kekambuhan (relapse).
Bila hubungan orangtua dan anak tidak baik, maka anak akan terlepas
ikatan psikologisnya dengan orangtua dan anak akan mudah jatuh dalam
pengaruh teman kelompok. Berbagai cara teman kelompok ini memengaruhi
si anak, misalnya dengan cara membujuk, ditawari bahkan sampai dijebak
dan seterusnya sehingga anak turut menyalahgunakan NAPZA dan sukar
melepaskan diri dari teman kelompoknya.
4. Karakteristik Individu
1) Umur
Berdasarkan penelitian, kebanyakan penyalahguna NAPZA adalah
mereka yang termasuk kelompok remaja. Pada umur ini secara kejiwaan
masih sangat labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan sedang
mencari identitas diri serta senang memasuki kehidupan kelompok. Hasil
temuan Tim Kelompok Kerja Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba
Departemen Pendidikan Nasional menyatakan sebanyak 70%
penyalahguna NAPZA di Indonesia adalah anak usia sekolah (Jehani,
dkk, 2006).
2. Pendidikan
Menurut Friedman (2005) belum ada hasil penelitian yang menyatakan
apakah pendidikan mempunyai risiko penyalahgunaan NAPZA. Akan
tetapi, pendidikan ada kaitannya dengan cara berfikir, kepemimpinan,
pola asuh, komunikasi, serta pengambilan keputusan dalam keluarga.
12
3. Pekerjaan
Hasil studi BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
tahun 2009 di kalangan pekerja di Indonesia diperoleh data bahwa
penyalahguna NAPZA tertinggi pada karyawan swasta dengan prevalensi
68%, PNS/TNI/POLRI dengan prevalensi 13%, dan karyawan BUMN
dengan prevalensi 11% (BNN, 2010).

Beberapa aspek yang timbul sebagai akibat langsung penyalahgunaan


NAPZA antara lain :
a. Secara fisik
Penggunaan NAPZA akan mengubah metabolism tubuh seseorang. Hal
ini terlihat dari peningkatan dosis yang semakin lama semakin besar dan
gejala putus obat. Keduanya menyebabkan seseorang untuk terus
menerus menggunakan NAPZA.
b. Secara psikis
Berkaitan dengan berubahnya beberapa fungsi mental, seperti rasa
bersalah, malu dan perasaan nyaman yang timbul dari mengkomsumsi
NAPZA. Cara yang kemudian ditempuh untuk beradaptasi dengan
perubahan mental itu adalah dengan mengkomsumsi NAPZA lagi.

c. Secara sosial
Dampak sosial yang memperkuat pemakaian NAPZA. Proses ini biasanya
diawali dengan perpecahan didalam kelompok sosial terdekat seperti
keluarga, sehingga muncul konflik, dengan orang tua, teman-teman, pihak
sekolah atau pekerjaan. Perasaan dikucilkan oleh pihak-pihak ini
kemudian menyebabkan si penyalahguna bergabung dengan kelompok
orang –orang serupa, yaitu para payalahguna NAPZA.

2.8 Gejala Klinis Penyalahgunaan Napza


a. Perubahan fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung dari jenis zat yang digunakan, tapi
secara umum dapat digolongkan sebagai berikut :
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo

13
(cadel), apatis, mengantuk, agresif, curiga.
Bila overdosis : napas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit
teraba dingin, napas lambat atau berhenti (meninggal).
Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau) : mata dan hidung berair,
menguap terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air
hingga malas mandi, kejang, kesadaran menurun.
Pengaruh jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak peduli
terhadap penampilan dan kebersihan, gigi tidak terawatt dan
keropos, terdapat bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh
lain (pada para pengguna jarum suntik).
b. Perubahan sikap dan perilaku
Prestasi sekolah ataupun kerja menurun, sering tidak mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan, membolos, pemalas, kurang
bertanggung jawab.
Pola tidur berubah, begadang, sulit bangun dipagi hari,mengantung
disiang hari.
Sering berpergian hingga larut malam, kadang tidak pulang tanpa
memberi tahu terlebih dahulu,
Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar
bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.
Sering mendapat telepon dan didatangi oleh orang yang tidak
dikenal oleh keluarga, kemudian menghilang.
Sering berbohong dan meminta banyak uang dengan berbagai alas
an yang tidak jelas penggunaannya, mengambil dan menujual
barang berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlihat
tindak kekerasan atau berurusan dengan polisi.
Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar,
sikap bermusuhan, tertutup dan penuh rahasia.

2.9 Komplikasi Dari Penyalahgunaan Napza


Komplikasi yang bisa terjadi pada pengguna NAPZA antara lain : infeksi
Human Immunodeficieny Virus (HIV), hepatitis B, hepatitis C, gastritis,
penyakit kulit dan kelamin, bronchitis, chirosis hepatis. Masalah kesehatan
yang muncul yaitu depresi sistem pernapasan, depresi pusat pengatur
14
kesadaran, kecemasan yang sangat berat sampai panik, perilaku agresif,
gangguan daya ingat, gangguan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
dan kebersihan diri, gangguan sistem musculoskeletal misalnya nyeri sendi
dan otot, serta perilaku mencederai diri.

2.10 Penanggulangan (Pencegahan) NAPZA

Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2004) :


1) Pencegahan primer
Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka,
individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi
terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar
individu, kelompok, dan masyarakat waspada serta memiliki ketahanan
agar tidak menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak
anak berusia dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh
kembang anak dapat diatasi dengan baik.
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang
sudah menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka
tidak menggunakan NAPZA lagi.
3) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi
penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi
untuk menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap
penyalahgunaan NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan
melakukan pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi
masalah perilaku adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan
rehabilitasi kembali.
1. Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala
putus zat, dengan dua cara yaitu:
1) Detoksifikasi Tanpa Subsitusi

15
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat
yang mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan
gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus
zat tersebut berhenti sendiri.
2) Detoksifikasi dengan Substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat
misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna
sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya
diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis
secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian
substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejala
simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat
tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut
(Purba, 2008).
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para
mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti sehat fisik,
psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan
mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya
sehari-hari.
Menurut Hawari (2006) jenis-jenis rehabilitasi antara lain :
1) Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahgunaan
NAPZA benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program
rehabilitasi medik ini ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak
cukup diberikan gizi makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan
olahraga yang teratur disesuaikan dengan kemampuan masing-masing
yang bersangkutan.
2) Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang
semula bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga
mereka dapat bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya
maupun personil yang membimbing atau mengasuhnya.

16
Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah psikoterapi/konsultasi
keluarga yang dapat dianggap sebagai “rehabilitasi” keluarga terutama
bagi keluarga-keluarga broken home. Konsultasi keluarga ini penting
dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian
anaknya yang terlibat penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara
menyikapinya bila kelak ia telah kembali ke rumah dan upaya
pencegahan agar tidak kambuh.
3) Rehabilitasi Psikososial
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta
rehabilitasi dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan
sosialnya, yaitu di rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja.
Program ini merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh
karena itu, mereka perlu dibekali dengan pendidikan dan keterampilan
misalnya berbagai kursus ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan
di pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila mereka telah
selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali ke
sekolah/kuliah atau bekerja.
4) Rehabilitasi Psikoreligius
Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama
dalam rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti
penting dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka
terima akan memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan
keimanan. Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau
keimanan ini akan menumbuhkan kekuatan kerohanian pada diri
seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat
kembali dalam penyalahgunaan NAPZA.
5) Forum Silaturahmi
Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca rehabilitasi)
yaitu program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna
NAPZA (yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan
keluarganya. Tujuan yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi ini
adalah untuk memantapkan terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah
yaitu keluarga yang harmonis dan religius, sehingga dapat memperkecil
kekambuhan penyalahgunaan NAPZA
17
6) Program Terminal
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah
menjalani program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi,
mengalami kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi
pelajar dan mahasiswa yang karena keterlibatannya pada
penyalahgunaan NAPZA di masa lalu terpaksa putus sekolah menjadi
pengangguran; perlu menjalani program khusus yang dinamakan program
terminal (re-entry program), yaitu program persiapan untuk kembali
melanjutkan sekolah/kuliah atau bekerja

18
ETIOLOGI

PREDISPOSISI PRESIPITASI

genetik lingkungan Pendidikan pergaulan


Usia
(remaja)
Sifat genetik  Tekanan/ancaman
L. keluarga L. masyarakat
Kurangnya  Ingin diterima
 Keingintahuan Diturunkan dari pengetahuan kelompok
 Kejiwaan yang DNA orang tua  Mencafri jati diri
masih labil  Kurang harmonis  Ekonomi tdk
 Keinginan diterima  Kekerasan pada mendukung
Keinginan untuk
klmpk anak  Lingkungan
mencoba hal
 Mencari kenikmatan  Kurang perhatian penyalahguna
baru
 Orang tua
pengguna NAPZA

DX : Stress Kemudahan
mendapatkan NAPZA

PENGGUNAAN NAPZA

NAPZA
Narkotika Psikotropika Zat adaktif (alkohol,
(heroin, kokain,ganja, (ekstasi, shabu, LSD, tembakau)
morfin, petudin, kodein) ampethamine, fenibarbital,
diazepam)

Melalui saluran pernapasan Melalui saluran pencernaan Melalui aliran darah


(tembakau, heroin,ganja, kokain) (alkohol, amfetamin,pil (heroin,morfin,amfetamin)
ekstasi,shabu)

Dihirup dan masuk ke Dimakan/dimnum masuk ke slrn. Penggunaan jarum suntik


slrn.prnapsan cerna

Jantung-seluruh tubuh Secara


Mulut-tenggorokan-lambung-usus bergantian
Tenggorokan,bronkus,alveolus
halus
Aliran darah keotak
Resiko terkena
Di absorbsi di usus halus HIV
Diserap PD kapiler Mengganggu transmisi
Hati-jantung-seluruh tubuh neurotransmiter

Jantung – seluruh tubuh mlalui


darah

Transmisi
neurotransmiter
terganggu

Stimulasi laju neurotransmiter Depresan /laju neurotransmiter Halusinogen (mendistrosi laju


dipercepat (kafein, kokain, sabu, ekstasi) diperlambat (opioda) neurotransmiter (marijuana)
20
Halusinasi
Pe kerja fungsi tubuh Pe kerja fungsi tubuh

Pemakanan berulang
Sayatan untuk Dx: resiko bunuh
Opiat diri
pengguna obat
Penumpukan zat dan
kerusakan sel Amfetamine
Euforia, Mengantuk, bicara
cadel, penurunan kesadaran
Selalu terdorong untuk
Keracunan & over dosisi bergerak berkeringat,
gemetar, depresi, paranoid,
cemas
Dx: Gangguan pola
tidur
Intoksikasi NAPZA
Dx: Ansietas

Merangsang SSP Gangguan fungsi diensefalon Pusat pengaturan nafsu makaan


Pengaturan suhu tubuh terganggu
terganggu
Inhibisi pada batang otak Disfungsi otak tengah
Suhu tubuh me kulit teraba hangat
Anoreksia, pe BB

Pusat respirasi terganggu/rusak Disfungsi medula dan pons


DX :Hipertermi
DX : Ketidakseimbangan
nutrisi : kurang dari
CO2 menekan pusat pernafasan Konfusi bicara tidak jelas
kebutuhantubuh
21
Resiko jatuh
Takipnea, dispnea, sianosis, gagal nafas
DX : Ketidakefektifan pola napas

22
BAB 3

PENUTUP

1. Kesimpulan

Masalah penyalahgunaan narkoba / NAPZA khususnya pada remaja


adalah ancaman yang sangat mencemasakan bagi keluaga khususnya dan
bagi bangsa dan negara pada umumnya. Pengaruh narkoba sangatlah buruk,
baik dari segi kesehatan, maupun dampak sosial yang ditimbulkan.
Secara garis besar faktor yang menyebabkan terjadianya
penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja terdiri dari faktor internal dan
faktor eksternal yakni yang berasal dari dalam diri sendiri baik yang berasal
dari lingkungan.

2. Saran

Dalam mencegah penyalahgunaan narkoba pihak yang bertanggung jawab


bukan hanya pemerintah penegak hukum ataupun pelayanan kesehata saja namun
diharapkam peran orang tua dalam mengawasi dan membimbing anggota keluarganya
harus lebih baik, serta lebih meluangkan waktunya untuk selalu berada disisi anak-
anaknya dalam kondisi apapun, sehingga remaja tidak terjerumus melakukan hal-hal
yang menyimpang terutama melakukan penyalahgunaan narkoba.

23
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Salemba Medika:
Jakarta
Simangsong Jimmy. 2015. Penyalahgunaan Nrkoba di Kalangan Remaja. Daiakses
pada tanggal 1 November 2016
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, 2009.
Asa Mandiri. Jakarta
Departemen Kesehatan. 2002. Keputusan Menteri Kesehatan RI Tentang Pedoman
Penyalahgunaan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan
Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (Napza).
Jakarta
Herdman, T Heather & Kamitsuru, Shigemi 2018-2020. Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda NIC-NOC edisi 11. Jakarta: EGC.

24
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
PENYALAGUNAAN NAPZA

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
a. Nama : Tn. A
b. Umur : 19 Tahun
c. Jenis kelamin : laki-laki
d. Agama : kristen
e. Alamat : jln. Datu Museng no 09

2. Alasan masuk rumah sakit

Biasanya karena timbul gejala-gejala penyalahgunaan NAPZA. Alasan


masuk tanyakan pada keluarga klien.

3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Tanyakan pada klien apakah pernah menggunakan narkotika,
psikotropika atau zat adiktif lainnya sebelumnya
b. Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum: klien dengan pengguna napza biasanya akan
dijumpai kondisi yang disebut intoksikasi (teler) yang menyebabkan
perubahan memori, perilaku, kognitif, alam perasaan dan kesadaran
c. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit
keturunan

Pemeriksaan Fisik

25
a. Keadaan umum: klien dengan pengguna napza biasanya akan dijumpai
kondisi yang disebut intoksikasi (teler) yang menyebabkan perubahan
memori, perilaku, kognitif, alam perasaan dan kesadaran.
b. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : hipotensi/normal
Nadi : takikardi
Suhu : meningkat, berhubungan dengan gangguan keseimbangan cairan
elektrolit
Pernafasan : sesak nafas, nyeri dada
Berat badan : mengalami penurunan akibat nafsu makan menurun
Keluhan fisik : nyeri sendi, otot dan tulang

4. Pola fungsi kesehatan

1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Biasanya klien mengalami halusinasi


2. Pola nutrisi dan metabolisme
Selera makan pasien menurun
3. Pola eleminasi
Biasanya pasien mengalami diare berat
4. Pola aktivitas/latihan

Aktivitas klien terganggu karena terdapat Keluhan fisik : nyeri


sendi, otot dan tulang. aktivitas sekolah atau kuliah yang menurun sampai
berhenti, pekerjaan terhenti..

5. Pola istrahat dan tidur

Pola tidur berubah, misalnya pagi susah dibangunkan dan malam


suka begadang

6. Pola Kognisi Dan Persepsi Sensori

Kelambatan : hipoaktifitas (lesu), katalepsi (gangguan kesadaran)

26
Peningkatan : gelisah, TIK, grimasen (gerakan otot muka yang berubah-
ubah, tidak dapat dikontrol), tremor, kompulsif (kegiatan yang dilakukan
berulang)

7. Pola Konsep Diri

klien dengan penyalahgunaan NAPZA biasanya memiliki emosi


yang berubah-ubah (cepat marah, depresi, cema, eforia)

8. Pola Peran dan hubungan

Banyak mengurung diri dalam kamar, menghindari bertemu anggota


keluarga lainnya karena takut ketahuan, dan menolak makan bersama.
Bersikap tidak ramah, kasar terhadap anggota keluarga lainnya, dan mulai
suka berbohong
9. Pola seksualitas
Penurunan libido, kebingungan dalam identitas seksual

10. Pola mekanisme koping


Biasanya pasien kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan,
tidak bisa menerima kenyataan dan mengalami stress yang berlebihan.
Mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah menerima
tanggungjawab

11. Pola nilai dan kepercayaan


Nilai dan keyakinan : Menurut masyarakat, NAPZA tidak baik untuk
kesehatan.
Kegiatan ibadah : Tidak menjalankan ibadah selama menggunakan NAPZA

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko bunuh diri b/d gangguan psikiatris
2. Stress berlebihan b/d stresor
3. Ketidakefektifan pola napas b/d geangguan neurologis
4. Ansietas b/d penyalagunaan zat
5. Gangguan pola tidur b/d pola tidur yang tidak menyehatkan

27
6. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan
psikososial

28
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC NIC


1. Resiko bunuh diri b/d Tingkat depresi Teknik Menenangkan
gangguan psikiatris  Perasaan depresi - Identifikasi orang-orang terdekat klien
 Perasaan tidak berharga yang bisa membantu klien
 Pikiran bunuh diri duduk dan bicara dengan klien
 Keputusasaan - Berada disisi klien
 Penggunaan - Berikan waktu dan tempat untuk
menyendiri jika diperlukan
Keseimbangan alam perasaan - Instruksikan klien untuk menggunakan
 Euforia metode kecemasan:
- Berikan obat anti kecemasan jika
 Niat bunuh diri
diperlukan
 Depresi
Manajemen Alam Perasaan
Tingkat stres
- Monitor fungsi kognitif
 Depresi - Monitor dan dukung kepatuhan pasien
 Kecemasan dalam berobat
 Memisahkan - Monitor status fisiologis dan mental
 Peningkatan penggunaan obat segera setelah diberikan ECT
psikotropika - Bantu perawatan diri sesuai kebutuhan
- Bantu pasien untuk bisa mengatur
Keparahan ketagihan zat siklus tidur/bangun yang normal
 Depresi misalnya jadwal waktu istirahat dan
 Perubahan tanda-tanda vital teknik relaksasi
 Halusinasi - Ajarkan koping baru dan keterampilan
 Kejang membuat keputusan
 Kadar zat dalam darah - Berikan pengobatan stabilisasi amal
perasaan misalnya antidepresan

29
Pencegahan Bunuh Diri
- Identifikasi kebutuhan keamanan
segera saat bernegoisasi untuk tidak
membahayakan diri atau kontrak
keamanan
- Monitor efek samping pengobatan dan
outcome yang diinginkan
- Implemntasikan tindakan yang
diperlukan untuk menurunkan distress
individu saat melakukan negoisasi
untuk tidak membahayan diri atau
melakukan kontrak keamanan.
- Atasi dan tangani penyakit psikiatrik
atau gejala-gejala yang mungkin
menempatkan pasien pada resiko
bunuh diri
- Berikan informasi menganai sumber-
sumber di komunitas dan program-
program penjangkauan/outreach
programs yang tersedia.
- Berikan pengobatan untuk menurunkan
kecemasan, agitasi, atau psikosis dan
mestabilkan alam perasaan dengan
tepat.
- Rujuk pasien pada penyedia perawatan
kesehatan mental

Dukungan Kelompok

- Identifikasi kelompok-kelompok
pendukung yang telah ada sebagai
pilihan kepada pasien

30
- Bantu kelompok melalui semua tahap
dalam proses, mulai dari orientasi
sampai terbangun kedekatan antar
anggota
- Ciptakan suasana yang menyenangkan
- Rujuk pasien ke dokter spesialis
2. Stress berlebihan b/d Tingkat stres Pengurangan Kecemasan
stresor  Depresi
 Kecemasan - Gunakan pendekatan yang tenang dan
 Memisahkan diri menyakinkan
 Peningkatan penggunaan obat - Kaji untuk tanda verbal dan non verbal
psikotropika kecemasan
- Puji/kuatkan perilaku yang baik secara
Tingkat Kecemasan tepat
 Tidak dapat beristirahat
 Perassan gelisah Peningkatan koping
- Berikan suasana penerimaan
 Menarik diri
- Dukung kemampuan mengatasi situasi
 Gangguan tidur
secara berangsur-angsur
 Perubahan pada pola makan - Dukung aktivitas dalam komunitas
- Instruksikan pasien untuk
Menahan Diri Dari Bunuh Diri menggunakan teknik relaksasi sesuai
 Menahan diri dari percobaan bunuh diri dengan kebutuhan
 Mendapatkan pengobatan untuk - Dukung penggunaan sumber-sumber
kecanduan zat spiritual
 Menggunakan kelompok dukungan - Dorong keluarga untuk mendampingi
sosial klien dengan cata yang tepat
 Merencanakan masa depan - Atur penggunaan obat-obatan untu
mengurangi kecemasan secara tepat

Dukungan emosional
- Eksplorasi apa yang memicu emosi

31
pasien
- Rangkul dan sentuh pasien dengan
penuh dukungan
- Bantu pasien untuk mengnali perasaan
seperti marah, cemas atau sedih
- Dengarkan/ dorog ekspresi keyakinan
dan perasaan
- Dorong untuk berbicara atau menangis
sebagai cara untuk menurunkan respon
emosi
- Berikan bantuan dalam pembuatan
keputusan
- Rujuk untuk konseling sesuai
kebutuhan
3. Ketidakefektifan pola Tingkat kecemasan Terapi oksigen
napas b/d geangguan  Tidak dapat beristirahat - Monitor kecemasan pasien yang
neurologis  Perassan gelisah berkaitan dengan kebutuhan
 Menarik diri mendpatakan terapi oksigen
 Gangguan tidur - Sediakn oksigen ketika pasien
 Perubahan pada pola makan dibawa/dipindahkan
- Anjurkan pasien untuk mendapatkan
oksigen tambahan sebelum perjalanan
udara atau perjalanan ke dataran tinggi
dnegan cara yang tepat
- Konsultasikan dengan tenaga
kesehatan lain mengenai penggunaan
oksigen tambahan selama kegiatan
dan/atau tidur

32
Monitor neurologi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor ttv
- Hindari kegiatan yang bisa
meningkatkan teanan intrakranial
- Beritahu dokter mengani perubahan
kondisi pasien
- Mulailah melakukan tindakan
pencegahan sesuai peraturan, jika
perlu

4. Ansietas b/d Tingkat kecemasan: Penguranggan kecemasan:


penyalagunaan zat  Distress  Kaji untuk tanda verbal dan nonverbal
 Perasaan gelisah kecemasan
 Masalah perilaku  Identifikasi pada saat terjadi perubahan
 Kesulitan berkonsentrasi tingkat kecemasan
 Penurunan produktivitas  Piji/kuatkan perilaku tang baik secara
 Penurunan prestasi sekolah tepat
 Gangguan tidur  Dorong keluarga untuk mendampingi
klien dengan cara yang tepat
 Atur penggunaan obat-obatan untuk
mengurangi kecemasan secara tepat

Peningkatan koping:
 Dukung sikap pasien terkait dengan
harapan yang realistis sebagai upaya
untuk mengatasi perasaan
ketidakberdayaan
 Kenali latar belakang budaya/spiritual
pasien
 Turunkan stimulus yang dapat diartikan

33
sebagai suatu ancaman dalam suatu
lingkungan tertentu
5. Gangguan pola tidur b/d Tidur: Peningkatan tidur:
pola tidur yang tidak  Jam tidur  monitor pola tidur pasien dan catat
menyehatkan  Pola tidur kondisi fisik misalnya ketidaknyamanan
 Kualitas tidur  monitor makanan sebelum tidur dan
 Perasaan segar setelah tidur intake minuman yang dapat
 Tempat tidur yang nyaman memfasilitasi/mengganggu tidur
 sesuaikan lingkungan misalnya cahaya,
kebisingan, suhu dan tempat tidur
 bantu untuk menghilangkan situasi
stress sebelum tidur
 ajarkan pasien dan orang terdekat
mengenai faktor yang berkonstribusi
terjadinya gangguan pola tidur
misalnya fisiologis atau psikologis
 sesuaikan jadwal pemberian obat untuk
mendukung tidur/siklus bangun pasien
6. Ketidakseimbangan Status nutrisi: Manajemen nutrisi:
nutrisi: kurang dari  Asupan gizi  Monitor kalori dan asupan makanan
kebutuhan tubuh b/d  Asupan makanan  Monitor kecenderungan terjadinya
gangguan psikososial  Asupan cairan penurunan berat badan
 Energi  Tawarkan makanan ringan yang padat
gizi
 Anjurkan keluarga untuk membawa
makanan faforit pasien sementara
pasien berada di rumah sakit atau
fasilitasi perawatan yang sesuai
 Tentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi
yang dibutuhkan untuk memenuhi
persyaratan gizi

34
Manajemen cairan:
 monitor tanda-tanda vital
 berikan cairan dengan tepat
 dukung pasien dan keluarga untuk
membantu dalam pemberian makan
dengan baik
 berikan terapi IV, seperti yang
ditentukan

35

Anda mungkin juga menyukai