Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hewan peliharaan yang dibuang begitu saja dapat menyebabkan pupulasi

hewan liar di masyarakat meningkat dan menjadi tidak terkontrol. Populasi hewan

liar yang tidak terkontrol dapat mempercepat penyebaran penyakit dan masalah

ini harus diselesaikan. Salah satu metode dalam pencegahan kebuntingan pada

hewan yaitu dengan menggunakan bahan alami. Bahan alami yang dapat dijadikan

kontrasepsi yang mudah didapat adalah ragi (Duwiri et al., 2019). Pemberian ragi

tape mempengaruhi perubahan histopatologi uterus tikus putih dilihat dari adanya

proliferasi sel epitel uterus. Selain adanya proliferasi sel epitel, juga ditemukan

adanya nekrosis ringan, sedang, dan berat (Duwiri et al., 2019).

Ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari spesies-spesies

genus Aspergilius, Saccharomyces, Candida, Hansenulla, dan bakteri Acetobacter

(Dwijoseputro, 1988). Genus tersebut hidup bersama-sama secara sinergis.

Aspergilius ini menghasilkan mikotoksin sebagai metabolitya. Aspergillus flavus

memiliki mitotoksin yang paling banyak ditemukan dan sangat berbahaya disebut

juga aflatoxin (Rahmanna & Taufiq, 2003). Aflatoksin dalam konsentrasi yang

tinggi dapat menyebabkan penyakit akut dan kematian, sedangkan konsentrasi

rendah dalam jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis pada sel hati dan ginjal

(Saad, 2001).

Aspergillus menyederhanakan tepung menjadi glukosa serta memproduksi

enzim glukoamilase yang akan memecah pati dengan mengeluarkan unit-unit

1
glukosa, sedangakan Saccharomyces, Candida, dan Hansenulla dapat

menguraikan gula menjadi alkohol dan bermacam-macam zat organik lain.

Sementara itu Acetobacter dapat merombak alkohol menjadi asam (Steinkraus,

1996). Menurut Oktaviana et al., (2015) mikroorganisme pada ragi dapat

mengubah karbohidrat (pati) menjadi gula (sukrosa) yang terlarut dalam air

menjadi gula sederhana yang terdiri atas glukosa dan fruktosa yang

selanjutnya menjadi alkohol dan karbondioksida. Alkohol, terutama etanol dan

metanol adalah produk sampingan fermentasi yang ditemukan hampir disemua

makanan fermentasi gula atau pati (Onyeka et al., 2015). Contoh ragi yang sering

digunakan pada fermentasi adalah Saccharomyces cerevisia, karena memiliki

daya konversi sangat tinggi, metabolismenya sudah diketahui, metabolit utama

berupa metanol, etanol, karbondioksida, air dan sedikit menghasilkan metabolit

lainnya (Usmana et al., 2012). Etanol yang dikonsumsi akan diabsorbsi oleh

lambung dan usus lalu terdistribusi dalam cairan tubuh. Etanol yang telah

dikonsumsi akan masuk ke dalam hepar. Penggunaan etanol secara berlebihan

akan menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan organ pada tubuh, termasuk

organ hepar.

Hepar merupakan organ yang mempunyai berbagai macam aktivitas

metabolisme (Salasia & Hariono, 2010). Salah satunya sebagai tempat utama

metabolisme obat. Hepar yang merupakan tempat utama metabolisme obat yang

disebut juga sebagai biotransformasi dan hasil akhir dari reaksi ini berupa

substansi yang tidak aktif dan lebih larut dalam air, sehingga cepat diekskresi

melalui empedu dan urin. Kerusakan sel-sel hepar dapat disebabkan antara lain

2
oleh obat, virus, dan berbagai senyawa kimia lain mempunyai daya hepatotoksik

(Puspitasari, 2010).

Penelitian mengenai ragi tape yang digunakan sebagai kontrasepsi alami

dengan menggunakan hewan coba tikus putih sudah ada. Namun, informasi

mengenai dampak ragi tape sebagai kontrasepsi terhadap organ hepar belum ada.

Karena itu, sangat menarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Perubahan

Histopatologi Hepar Tikus Putih (Rattus norvegicus) Yang Diberikan Ragi Tape”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka rumusan masalah yang dapat

diambil yaitu apakah hepar tikus putih mengalami perubahan histopatologi setelah

diberikan ragi tape pada pakannya.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui perubahan histopatologi

hepar pada tikus putih yang diberikan ragi tape.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan pengetahuan dan bukti mengenai ragi tape sebagai alternative

kontrasepsi yang aman terhadap organ hepar yang di uji coba pada tikus putih.

1.4.2 Manfaat Praktis

Dengan melihat histopatologis hepar tikus putih, maka ragi tape dapat

digunakan sebagai alternatif kontrasepsi pada hewan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting bagi

manusia untuk tujuan ilmiah karena memiliki daya adaptasi baik. Tikus yang

banyak digunakan sebagai hewan model laboratorium dan peliharaan adalah tikus

putih (Rattus novergicus). Tikus putih atau biasa dikenal dengan nama lain

Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat

(Sirois, 2005). Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini berkembang biak di Filipina,

Indonesia, Laos, Malaysia, dan Singapura (Adiyati, 2011). Taksonomi tikus putih

(Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut (Sharp & Villano, 2013).

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Famili : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Tikus mempunyai sifat yang membedakannya dari hewan percobaan lain

yaitu tikus tidak dapat muntah. Hal tersebut karena struktur anatomi yang tidak

lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tidak mempunyai

kantong empedu (Smith & Mangkoewidjojo, 1998). Selain itu, tikus putih

4
memiliki keuntungan sebagai model yang mencerminkan karakter fungsional dari

sistem tubuh mamalia. Tikus juga merupakan salah satu hewan eksperimental

yang populer dalam studi fungsi reproduksi. Salah satu keuntungannya adalah

memiliki waktu siklus reproduksi yang lebih singkat (Krinke, 2000). Tikus putih

memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di

antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari

mencit, dan mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih juga

memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih

panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik,

kemampuan laktasi tinggi, dan cukup tahan terhadap perlakuan. Biasanya pada

umur empat minggu tikus putih mencapai berat 35-40 gram, dan berat dewasa

rata-rata 200-250 gram (Akbar, 2010).

Tabel 2.1 Data fisiologi tikus putih (Wolfenshon dan Lloyd, 2013)

Nilai Fisiologis Kadar


Berat tikus dewasa Jantan 450-520 gram
Betina 250-300 gram
Kebutuhan makan 5-10g/100g berat badan
Kebutuhan minum 10 ml/100g berat badan
Jangka hidup 3-4 tahun
Temperatur rektar 36° C- 40° C
Detak jantung 250-450 kali/ menit
Tekanan darah
Sistol 84-134 mmHg
Diastol 60 mmHg
Laju pernafasan 70-115 kali/menit
Serum protein (g/dl) 5.6-7.6 g/dl
Albumin (g/dl) 3.8-4.8 g/dl
Globulin (g/dl) 1.8-3 g/dl
Glukosa (mg/dl) 50-135 mg/dl
Nitrogen urea darah (mg/dl) 15-21 mg/dl
Kreatinin (mg/dl) 0.2-0.8 mg/dl
Kolesterol (mg/dl) 40-130

5
Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-

galur tersebut antara lain : Wistar, Sparague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman.

Dalam penelitian ini digunakan galur Wistar. Tikus galur Wistar merupakan salah

satu galur tikus paling populer yang digunakan untuk penelitian laboratorium

yaitu sebagai model dalam penelitian biomedik (Johnson, 2012). Tikus galur

Wistar (albino) dikembangkan pertama kali di Wistar Institute Philadelphia pada

tahun 1906 dengan nama katalog WISTARAT® (Wistar Institute, 2016).

Karakteristik tikus galur Wistar adalah kepala tikus yang lebar, telinga panjang,

dan memiliki panjang ekor yang kurang dari panjang tubuhnya. Tikus galur

Wistar lebih aktif (agresif) dari pada jenis lain seperti tikus Sprague-Dawley

(Sirois, 2005).

Gambar 2.1 Tikus galur Wistar.


(Sumber: Rahmi, 2016)

2.2 Hepar

2.2.1 Anatomi Hepar

Hepar atau hati merupakan organ atau kelenjar terbesar di dalam tubuh

(Wibowo & Paryana, 2009), memiliki berat sekitar 1-2,3 kg (Waugh & Grant,

6
2011) atau sekitar 2,5% dari berat badan (Moore & Dalley, 2006). Hepar memiliki

struktur yang halus, lunak dan lentur, serta terletak di bagian atas rongga abdomen

yang menempati bagian terbesar regio hipokondrium (Waugh & Grant, 2011;

Snell, 2012). Sebagian besar hepar terletak di bawah arcus costalis kanan dan

diaphragma setengah bagian kanan, memisahkan hepar dari pleura, paru-paru,

perikardium dan jantung (Moore & Dalley, 2006). Hepar merupakan organ yang

mudah diraba dengan melakukan palpasi dinding abdomen di bawah arcus costalis

kanan, yaitu dengan memeriksa pada waktu inspirasi dalam sehingga tepi bawah

hepar dapat teraba (Wibowo & Paryana, 2009).

Hepar dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis yang tidak elastis yang disebut

capsula fibrosa perivascularis (Glisson) dan sebagian tertutupi oleh lapisan

peritoneum (Wibowo & Paryana, 2009). Lipatan peritoneum membentuk ligamen

penunjang yang melekatkan hepar pada permukaan inferior diaphragma (Waugh

& Grant, 2011). Dalam keadaan segar, hepar bewarna merah tua atau kecoklatan

yang disebabkan oleh adanya darah yang sangat banyak dalam organ ini (Leeson

et al., 1996).

Hepar memiliki 4 lobus. Dua lobus yang berukuran paling besar dan jelas

terlihat adalah lobus kanan yang berukuran lebih besar, sedangkan lobus kiri

berukuran lebih kecil dan berbentuk baji (Waugh & Grant, 2011). Diantara kedua

lobus tersebut terdapat vena portae hepatis, jalur masuk dan keluarnya pembuluh

darah, saraf, dan ductus. Lobus kanan terbagi menjadi lobus quadratus dan lobus

caudatus karena adanya vesical biliaris, fisurra untuk ligamentum teres hepatis,

vena cava inferior, dan fisurra untuk ligamentum venosum. Hilus hepatis atau

7
porta hepatis terdapat pada permukaan posteroinferior dan terletak di antara lobus

caudatus dan lobus quadratus. Bagian atas ujung bebas omentum minus melekat

pada pinggir porta hepatis dan terdapat ductus hepaticus dexter dan sinister,

cabang dextra dan sinistra arteria hepatica, vena porta, serabut-serabut saraf

simpatik dan para simpatik, serta beberapa kelenjar limfe hepar (Snell, 2012;

Junqueira & Carneiro, 2012).

Hepar banyak menghasilkan cairan limfe, sekitar sepertiga sampai setengah

dari jumlah seluruh cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan hepar dan

masuk ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta hepatis.

Pembuluh eferen berjalan ke nodi cocliaci. Beberapa pembuluh limfe berjalan dari

area nuda hepatis melalui diaphragma ke nodi lymphoid mediastinalis posterior.

Sistem persarafan hepar terdiri atas saraf simpatik dan para simpatik membentuk

plexus coeliacus. Truncus vagalis anterior mencabangkan banyak ramus hepaticus

yang berjalan langsung ke hepar (Snell, 2012).

Gambar 2.2 Anatomi Hepar


(Sumber : Netter, 2006)

2.2.2 Fungsi Hepar

8
Hepar sebagai kelenjar terbesar di dalam tubuh mempunyai fungsi yang

sangat bervariasi. Tiga fungsi dasar hepar adalah membentuk dan mensekresikan

empedu ke dalam saluran intestinal; berperan pada berbagai metabolisme yang

berhubungan dengan karbohidrat, lipid dan protein; menyaring darah,

menyingkirkan bakteri dan benda asing yang masuk ke dalam darah (Snell, 2012).

Hepar mensekresi cairan empedu sekitar 500 sampai 1000 mL setiap hari

(Price & Wilson, 2012). Cairan empedu dialirkan ke dalam saluran empedu yang

terdiri dari pigmen empedu dan asam empedu. Bilirubin dan biliverdin merupakan

pigmen empedu yang memberi warna tertentu pada feses, sedangkan asam

empedu yang dibentuk dari kolesterol membantu pencernaan lipid (Wibowo &

Paryana, 2009). Pengeluaran empedu dari hepar dan vesica biliaris terutama diatur

oleh hormon. Aliran empedu meningkat jika kolesistokinin dikeluarkan oleh sel

enteroendokrin mukosa yang dirangsang ketika lemak makanan dalam kimus

masuk ke duodenum. Hormon ini menyebabkan konstraksi otot polos di dinding

vesica biliaris dan relaksasi sfingter, sehingga empedu dapat masuk ke duodenum

(Eroschenko, 2012).

Hepar berperan penting dalam metabolisme 3 mikronutrien, yaitu

karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi

glikogen dan disimpan dalam hepar dalam bentuk glikogen (Price & Wilson,

2012). Glikogen hepar merupakan timbunan glukosa dan dimobilisasi jika kadar

glukosa darah menurun dibawah normal (Junqueira & Carneiro, 2012). Dari depot

glikogen ini, glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis)

untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam

9
jaringan untuk menghasilkan panas dan energi, sisanya diubah menjadi glikogen

dan disimpan dalam jaringan subkutan. Hepar juga mensintesis glukosa dari

protein dan lemak (glukoneogenesis) (Price & Wilson, 2012).

Peranan hepar dalam metabolisme sangat penting untuk kelangsungan

hidup. Semua protein plasma (kecuali gamaglobulin) disintesis oleh hepar, yaitu

albumin, yang diperlukan mempertahankan tekanan osmotik koloid, protrombin,

fibrinogen, dan faktor pembekuan lain. Sebagian besar degradasi asam amino

dimulai dalam hepar melalui proses deaminasi atau pembuangan gugus amino

(NH2) (Price & Wilson, 2012). Hepar juga berperan penting dalam sistem imun.

Antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma di lamina propria usus diserap dari

darah oleh hepatosit dan diangkut ke dalam canalikulus dan empedu serta antibodi

masuk ke lumen usus, tempat zat ini mengontrol flora bakteri usus (Eroschenko,

2012).

Hepar mensintesis heparin, sebuat zat antikoagulan dan mempunyai fungsi

detoksifikasi yang penting (Snell, 2012). Sebagai organ detoksifikasi, hepar

berperan dalam melindungi tubuh dari berbagai racun dan benda asing yang

masuk ke dalam tubuh dengan merubah semua bahan-bahan asing atau toksin dari

luar tubuh. Bahan-bahan asing atau toksin tersebut dapat berupa makanan, obat-

obatan dan bahan lainnya, dapat juga bahan dari dalam tubuh sendiri yang

menjadi bahan yang tidak aktif. Kemampuan detoksifikasi ini terbatas, sehingga

tidak semua bahan yang masuk dapat didetoksifikasi dengan sempurna, tetapi

ditimbun dalam darah dan dapat menimbulkan kerusakan hepatosit. Dalam

melakukan fungsi detoksifikasi, senyawa yang memiliki sifat meracuni sel-sel

10
tubuh diubah oleh enzim hepatosit melalui oksidasi, hidrolisis, atau konjugasi

(Price & Wilson, 2012) menjadi senyawa yang tidak lagi bersifat toksik, dan

kemudian dibawa oleh darah ke ginjal untuk diekskresi (Junquiera & Carneiro,

2012).

2.2.3 Histologi Hepar

Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel

makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel

hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar

1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus

ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin

dan busa. Celah diantara 14 lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang

disebut sinusoid hati (Gibson, 2003).

Gambar 2.3 Histologi normal hepar tikus.LiPa: liver parenchyma, PoTr: portal
triad, CeVe:central verin, BiDu: Biler duct, HeAr:hepatic arteri, PoVe:portal vein,
KuCe:kuffer cell, He: hepatocit, Si:sinusoid, (Anonim, 2004)

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya

tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh

11
3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer

yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik

yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks

ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal

vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran

pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung (Gibson, 2003). Traktus portal

terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah yang berasal dari

vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal terdiri dari

3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar adalah

venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat

arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri

hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain

ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira, 2000).

Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus

hepatik. Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal.

Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatik terminal, dimana darah

mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini

terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal

sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak

paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet

berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik

(Junqueira, 2000).

2.2.4 Histopatologi Hepar

12
Hepar merupakan organ yang berpotensi mengalami kerusakan akibat

berbagai bahan kimia maupun lingkungan karena fungsinya dalam proses

metabolisme dan detoksifikasi bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh.

Pemberian senyawa-senyawa yang bersifat toksik dapat menimbulkan perubahan-

perubahan seperti hemoragi, kongesti, degenerasi sampai nekrosis (Lu, 2010).

a. Kongesti

Kongesti ditandai dengan warna merah pada sel hal tersebut terjadi

karena adanya peningkatan darah di dalam pembuluh darah. Kongesti terjadi

akibat reaksi keradangan dan kerusakan bagian organ (Royan at al,. 2014).

Kongesti merupakan proses pasif yang disebabkan oleh menurunnya aliran

darah venous. Kongesti akan menunjukkan perubahan warna merah,

bergantung derajat oksigenasi darah. Kongesti juga merupakan gejala

patologis pertama dari kerusakan jaringan dan terjadi peningkatan jumlah

darah di dalam pembuluh darah sehingga akan ampak kapiler darah melebar

dan sinusoidsinusoid di hati terisi banyak eritrosit.

b. Degenerasi sel

Kerusakan hati ditandai dengan adanya kematian sel. Kematian sel-sel

hati diawali dengan adanya degenerasi sel pada hati. Degenerasi sel adalah

perubahan struktur sel normal sebelum terjadi kematian sel (Spector, 2006).

c. Nekrosis

Nekrosis adalah perubahan marfologi (Kematian) sel hepar atau

jarungan hepar diantara sel yang masih hidup. Tahapan nekrosis berkaitan

dangan tepi perubahan inti. Perubahan itu adalah piknosis, karyoreksis dan

13
keryolisis. Pada piknosis, inti sel menyusut dan tampak adanya “awan gelap”.

“Awan gelap” ini dikarenakan kromatin yang memadat. Pada karyoreksi

terjadi penghancuran inti dengan meninggalkan pecahan-pecahan yang

terbesar didalam inti. Sedangkan pada saat karyolisis inti menjadi hilang

(lisis) sehingga pada pengamatan tampak sebagai sel yang kosong (Price and

Lorraine, 2006).

Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi

sel (jejas reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa

gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan lokasinya

nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis

submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak

pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus

hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik (councilman)

yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan

sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga

pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel

radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada

regio-regio yang identik disemua lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif

merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering

menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis).

(Chandrasoma & Taylor, 2005).

14
Gambar 2.4 Gambaran histopatologi hepar tikus putih (HE. 400X).
Terlihat adanya hemoragi yang ringan pada hepar (A), kongesti yang ringan
pada sel hepatosit (B), degenerasi yang ringan pada sel hepatosit (C), dan
nekrosis yang ringan pada sel hepatosit (D). (Gunawan, 2019)
2.3 Ragi Tape

Ragi tape merupakan bibit atau starter membuat berbagai macam makanan

fermentasi, seperti tape, ketan atau singkong tape ubi jalar, brem cair atau padat

dan lainnya. Ragi tape umumnya terdiri dari kapang khamir dan bakteri. Ragi

yang mengandung mikroflora seperti kapang, khamir dan bakteri dapat berfungsi

sebagai stater fermentasi. Selain itu ragi juga kaya akan protein yakni sekitar 40 –

50% jumlah protein ragi tersebut tergantung dari jenis bahan penyusun (Susanto

& Saneto, 1994).

Ragi tape berwujud padat dengan bentuk bulat pipih berwarna putih,

sedangkan ragi tempe berbentuk bubuk. Ragi tape terdiri mikroba bibit atau

disebut juga starter untuk membuat berbagai macam makanan fermentasi, seperti

tape ketan atau singkong, tape ubi jalar, brem cair atau padat dan lainnya (Hidayat

et al., 2006).

Ragi tape merupakan zat yang dapat menyebabkan fermentasi. Ragi

biasanya mengandung mikroorganisme yang melakukan fermentasi dan media

biakan bagi mikroorganisme tersebut. Mikroorganisme yang digunakan di dalam

15
ragi umumnya terdiri atas berbagai bakteri dan fungi (khamir dan kapang) terdiri

dari genus Aspergilius, Saccharomyces, Candida, Hansenulla, dan bakteri

Acetobacter (Dwijoseputro, 1998). Genus tersebut hidup bersama-sama secara

sinergis. Aspergilius ini menghasilkan mikotoksin sebagai metabolitya

Aspergillus flavus memiliki mitotoksin yang paling banyak ditemukan dan sangat

berbahaya disebut juga aflatoxin (Rahmanna & Taufiq, 2003). Aflatoksin dalam

konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan penyakit akut dan kematian,

sedangkan konsentrasi rendah dalam jangka panjang dapat menyebabkan nekrosis

pada sel hati dan ginjal (Saad, 2001).

Aspergillus merupakan kapang amilolitik yang dapat menghidrolisis pati

menjadi gula-gula sederhana, sedangkan Saccharomyces, Candida dan Hansenula

dapat merombak gula menjadi alkohol. Bakteri Acetobacter dapat mengubah

alkohol menjadi asam asetat (Steinkraus,1996).

Mikroorganisme pada ragi dapat mengubah karbohidrat (pati) menjadi gula

(sukrosa) yang terlarut dalam air menjadi gula sederhana yang terdiri atas

glukosa dan fruktosa. yang selanjutnya menjadi alkohol dan karbondioksida

(Oktaviana et al., 2015). Alkohol, terutama etanol dan metanol adalah produk

sampingan fermentasi yang ditemukan hampir disemua makanan fermentasi gula

atau pati (Onyeka et al., 2015). Contoh ragi yang sering digunakan pada

fermentasi adalah Saccharomyces cerevisia, karena memiliki daya konversi sangat

tinggi, metabolismenya sudah diketahui, metabolit utama berupa metanol, etanol,

karbondioksida, air dan sedikit menghasilkan metabolit lainnya (Usmana at al.,

2012).

16
2.3.1 Etanol

Pada fermentasi terjadi proses pemecahan gula-gula sederhana menjadi

etanol dengan melibatkan enzim yang berasal dari mikrobia. Etanol memiliki

struktur kimia CH3CH2OH, memiliki sifat mudah menguap, tidak berwarna, dan

bersifat polar sehingga digunakan sebagai pelarut untuk berbagai senyawa

(Sebayang, 2006).

Etanol dapat dioksidasi menjadi asetaldehid dan dioksidasi lagi menjadi

asam asetat oleh aldehid dehidrogenase (ALDH). Baik etanol maupun asetaldehid

dapat bereaksi dengan biomolekul dalam tubuh membentuk berbagai senyawa

yang stabil. Akumulasi asetaldehid dapat menyebabkan berbagai penyakit hati

(Koivisto, 2007; Das, et al., 2008).

2.3.2 Metanol

Metanol adalah senyawa alkohol dengan 1 rantai karbon. Rumus Kimia

CH3OH, dengan berat molekul 32. Titik didih 640-650 C (tergantung kemurnian),

dan berat jenis 0,7920-0,7930 (juga tergantung kemurnian). Secara fisik metanol

merupakan cairan bening, berbau seperti alkohol, dapat bercampur dengan air,

etanol, chloroform dalam perbandingan berapapun, hygroskopis, mudah menguap

dan mudah terbakar dengan api yang berwarna biru (Spencer, 1988).

Metabolisme metanol sebagian besar terjadi di hepar, karena itu salah satu

organ yang mengalami kerusakan akibat metanol adalah hepar. Kerusakan pada

sel hepar disebabkan karena radikal bebas, formaldehid dan asam format.

Formaldehid meningkatkan lipid peroksidase yang dapat mengakibatkan

kerusakan sel membran dan kematian sel (Narayanaperumal at al., 2006)

17
2.4 Kerangka Konsep

Ragi tape adalah bahan yang dapat digunakan dalam pembuatan tape, baik

dari singkong maupun beras ketan. Menurut Dwijoseputro dalam Tarigan (1998)

ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari spesies-spesies genus

Aspergullis. Ragi tape merupakan populasi campuran yang terdiri dari spesies-

spesies genus Aspergilius, Saccharomyces, Candida, Hansenulla, dan bakteri

Acetobacter (Dwijoseputro, 1988). Dwidjoseputro (1976) berpendapat bahwa ragi

mengandung beberapa macam spesies fungi yang bergabung dan bekerja sama

dalam proses fermentasi alkohol.

Contoh ragi yang sering digunakan pada fermentasi adalah Saccharomyces

cerevisia, karena memiliki daya konversi sangat tinggi, metabolismenya sudah

diketahui, metabolit utama berupa metanol, etanol, karbondioksida, air dan sedikit

menghasilkan metabolit lainnya (Usmana et al., 2012). Etanol yang dikonsumsi

akan diabsorbsi oleh lambung dan usus lalu terdistribusi dalam cairan tubuh.

Etanol yang telah dikonsumsi akan masuk ke dalam hepar. Penggunaan etanol

secara berlebihan akan menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan organ pada

tubuh termasuk organ hepar.

Ragi tape selama ini telah digunakan di masyarakat sebagai alternatif

kontrasepsi pada anjing dan kucing. Pada saat ini belum ada informasi lebih lanjut

mengenai efek samping pemberian ragi tape terhadap organ tubuh lainnya, salah

satunya yaitu organ hepar.

18
Berikut skema kerangka konsep dan variable-variabel dalam bentuk

bagan:
Tikus Putih Betina Variabel bebas :
Ragi Tape

Variabel Kendali:
Umur
Berat Badan
Jenis kelamin
Lingkungan
Cara pembelian

Histopatologi Hepar

Keterangan : diteliti
tidak diteliti
2.5 Kerangka Konsep

2.5 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep di atas, hipotesis dari penelitian ini adalah

terjadi perubahan histopatologi organ hepar akibat pemberian ragi tape pada tikus

putih (Rattus norvegicus).

19
20
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1 Objek Penelitian

Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan coba berupa 24

ekor tikus putih betina berumur 4-5 bulan, dengan berat 100-200 gr. Hewan ini

diperoleh di Batu bulan, Gianyar. Hasil perhitungan jumlah objek berdasarkan

rumus Federer.

3.2 Bahan-bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pakan tikus, air,

Neutral Buffer Formalin (NBF) 10%, alkohol 70%, 80%, 90%, dan alkohol

absolut, toluena, paraffin, minyak kelapa sawit dan ragi tape.

3.3 Peralatan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang hewan

percobaan, tempat minum, glove, tissue processor, alas kandang, tempat pakan,

timbangan digital, object glass, mikroskop binokuler, staining jar, pewarna

Haematoksilin-Eosin.

3.4 Rancangan Penelitian

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan

rumus Federer yaitu (t-1) (n-1) ≥ 15, dimana t adalah jumlah perlakuan (4) dan n

adalah banyaknya ulangan tiap perlakuan (Abdullah, 2010). Jumlah objek dari

rumus diatas maka tiap perlakuan 6 ekor tikus.

Rancangan penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap

(RAL). Sampel dengan 4 kelompok perlakuan yang masing-masing terdiri dari 6

21
kali ulangan. Spesimen yang digunakan adalah organ hepar dan dilanjutkan

dengan pewarnaan menggunakan metode Harris Hematoxylyin-Eosin. Preparat

histopatologi diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x dilihat dengan

5 lapang pandang mikroskopik dan dicatat perubahan mikroskopis berdasarkan

variabel yang diperiksa.

3.5 Dosis Ragi Tape

Penelitian ini menggunakan Ragi tape dengan dosis bertingkat yaitu 100

mg/kg, 200 mg/kg, dan 300 mg/kg.

P0 = Pakan dan minum (kontrol).

P1 = Diberikan Ragi Tape dengan dosis 100 mg/kg

P2 = Diberikan Ragi Tape dengan dosis 200 mg/kg.

P3 = Diberikan Ragi Tape dengan dosis 300 mg/kg.

3.6 Variabel Penelitian

Variabel dalam penilitian ini adalah sebagai berikut.

- Variabel bebas : Ragi tape

- Variabel terikat : Gambaran histopatologi hepar tikus putih.

- Variabel terkendali : Umur, berat badan, jenis kelamin, lingkungan,

dan cara pemberian.

- Variabel Rambang: Variasi genetik tikus putih.

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Perlakuan objek

Tikus putih betina dibagi ke dalam empat kelompok secara acak yang terdiri

dari: kelompok kontrol (P0) yang diberi pakan dan minum saja. Kelompok (P1)

22
yang diberikan Ragi Tape melalui pakan dengan dosis 100 mg/kg BB. Kelompok

(P2) yang diberikan Ragi Tape melalui pakan dengan dosis 200 mg/kg BB.

Kelompok (P3) yang diberikan Ragi Tape melalui pakan dengan dosis 300 mg/kg

BB. Ragi pada pakan dicampur dengan cara mengahaluskan pakan dan ragi

berdasarkan dosis perlakuan per kelompok. Lalu pakan dan ragi dicampurkan

dengan minyak kelapa sawit dan dibentuk menjadi bulatan-bulatan kecil.

3.7.2 Pengambilan Sampel Hepar

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ hepar dari 24 ekor

tikus putih betina galur wistar yang berumur 4-5 bulan dengan berat badan 100-

200 gram. Selanjutnya diberikan perlakuan selama 21 hari, dan dinekropsi pada

hari ke 22, lalu organ heparnya diambil dan dibuat preparat.

Skema perlakuan:

24 ekor tikus putih betina

kontrol P3 P2 P3

Tikus putih betina diadaptasi selama 7 hari dan perlakuan dilakukan selama 30
hari

Tanpa Ragi Tape Ragi Tape


diberi Ragi 200 300
rahi (air Tape 100 mg/kgBB mg/kgBB
munum mg/kgB setiap hari setiap hari
+ pelet

Hari ke-21 pembuatan preparat Histopatologi

Gambar 2.6 Skema Alur Penelitian.

23
3.7.3 Pembuatan preparat histologi

Pada pembuatan preparat, empat kelompok tikus yang telah diberikan

perlakuan selama 21 hari, pada hari ke-22 dinekropsi dan diambil heparnya, lalu

dilakukan pembuatan preparat dengan teknik pewarnaan Hematoksilin-Eosin

(HE).

Hepar yang digunakan sebagai spesimen dipotong dengan ukuran 1x1x1

cm lalu difiksasi menggunakan Netral Buffer Formalin (NBF) 10%. Spesimen

hepar selanjutnya diperkecil lagi dengan irisan tipis dan disimpan dalam tissue

cassette, lalu difiksasi dalam larutan (NBF) selama 18-24 jam. Setelah fiksasi

selesai, dilakukan proses dehidrasi dan clearing dengan satu sesi larutan yang

terdiri dari: alkohol 70 %, alkohol 80 %, alkohol 90 %, alkohol 96 %, alkohol

absolut, toluene, dan parafin, secara bertahap dan dalam waktu satu hari.

Spesimen diblocking dengan embedding set yang dituangi parafin cair lalu

didinginkan.

Blok yang sudah dingin dipotong menggunakan microtome dengan

ketebalan ± 4 – 5 mikron. Selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histopatologi

dengan metode pewarnaan Hematoxylin-Eosin dan mounting media. Preparat

histopatologi diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x dan dicatat

perubahan mikroskopik yang ditemukan pada 5 lapang pandang (Kiernan, 1990).

3.8 Variabel Penelitian

Variabel yang diamati adalah perubahan mikroskopik organ hepar, dimana

masing-masing diperiksa pada 5 lapang pandang. Pemeriksaan histopatologi

menggunakan metode modifikasi scoring Manja Roeningk, yaitu:

24
1. Kongesti

Skor 0 : Tidak ada kongesti

Skor 1 : Ada kongesti fokal (Ringan)

Skor 2 : Ada kongesti multifokal (Sedang)

Skor 3 : Ada kongesti difusa (Berat)

2. Degenerasi sel

Skor 0 : Tidak ada degenerasi sel

Skor 1 : Ada degenerasi sel fokal (Ringan)

Skor 2 : Ada degenerasi sel multifokal (Sedang)

Skor 3 : Ada degenerasi sel difusa (Berat)

3. Nekrosis

Skor 0 : Tidak ada nekrosis

Skor 1 : Ada nekrosis fokal (Ringan)

Skor 2 : Ada nekrosis multifokal (Sedang)

Skor 3 : Ada nekrosis difusa (Berat)

3.9 Analisis Data

Data hasil pengamatan histopatologi hepar tikus putih pada masing-masing

dosis yang diberikan dikumpulkan dan dianalisis secara statistik non parametrik

menggunakan uji Kruskal-Wallis. Jika ada perbedaan nyata (P < 0,05) dilanjutkan

dengan uji Mann-Whitney (Steel & Torrie, 1991).

25
3.10 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret 2020 di Laboratorium

Farmakologi dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Udayana.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2010. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Adiyati PN. 2011. Ragam jenis ektoparasit pada hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.

Akbar B. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi


Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.

Anonim,2004.http://www.ctrgenpath.net/static/atlas/mousehistology/Windows/ly
mphati/heart4.html diakses tanggal 28 Februari 2020 pukul 20.00 WITA.

Chandrasoma, P., Taylor, C. R. 2005. Kelainan Vaskular Degeneratif. Dalam:


Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta: EGC. Hal: 290.

Das SK, Dhanya L, Vasudevan DM. 2008. Biomarkers of Alcoholism: an updated


review. The Scandinavian Journal of Clinical & Laboratory Investigation.
Informa healthcare 68: 81-92.

Duwiri Christine Valeri, Samsuri, I Ketut Berata. 2019. Perubahan Histopatologi


Uterus pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Akibat Pemberian Ragi Tape.
Denpasar. Indonesia Medicus Veterinus. 8(3): 338-346.

Dwidjoseputro. 1978. Dasar- Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Dwidjoseputro D. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Erlangga.

Dwidjoseputro D. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Erlangga.

Eroschenko, VP. 2012. Atlas Histologi difiore: dengan korelasi fungsional Ed.11.
EGC. Jakarta.

Gibson J. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern.Jakarta: EGC.

Gunawan Made Dodi, I Made Merdana, I Made Kardena, Ketut Budiasa. 2019.
Histopatologi Hepar Tikus Putih Setelah Pemberian Ekstrak Sarang Semut
yang Diinduksi Paracetamol Dosis Toksik. Buletin Veteriner Udayana.
Volume 11 No. 1: 14-20.

Hidayat at all., (2006). Mikrobiologi Industri. Yogyakarta: C.V Andi Offset.

Johnson Mary. 2012. Labome: Laboratory Mice and Rats.

27
Junquiera, LC and Carneiro, J 2012. Histologi dasar, Edisi 10. trans. A Dharma,
EGC, Jakarta.

Junqueira LC. 2000. Histologi Dasar Jakarta: EGC.

Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. 2nd ed. Canada:
Pergamen Pr.

Koivisto H. 2007. Biomarkers for Assessing Ethanol Consumption and the


Development of Alcoholic Liver Disease: Immune Responses against
Ethanol Metabolites, Cytokine Profiles and Markers of Fibrogenesis.
Dissertation Faculty of Medicine University of Tampere.

Krinke GJ. 2000. The Handbook of Experimental Animals: The Laboratory Rat.
London: Academic Press.

Lu F. 2010. Toksikologi Dasar. Jakarta. UI-Press.

Malole, M.B.M., Pramono C.S.U., 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan


di Laboratorium. Bogor : PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Malole MBM, Pramono SU. 1999. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di


Laboratorium. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB.

Moore, KL and Dalley, AF 2006, Clinically oriented anatomy, 5th Ed, Lippincott
Williams and Wilkins, Philadelphia, Pp. 289.

Netter, Frank MD. 2006. Atlas of Human Anatomy. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Oktaviana, Y.A., Dadang, S., Endang, S. 2015. Pengaruh Ragi Tape terhadap pH,
Bakteri Asam Laktat dan Laktosa Yogurt. Fakultas Pertanian, Universitas
Bengkulu.

Onyeka A.V, Nwaehujor C. O , Ukagwu A. L, Nwogwu I. C. 2015. Effects of


Chronic Alcohol Ingestion on Visceral Organs in Albino Mice
Experimentally Challenged with Escherichia coli Strain 0157:H7. Nigeria.
American Journal of Pharmacological Sciences. 3 (1) : 25-32.

Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta: EGC.

Price, SA., Wilson, LM. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Edisi
6 Vol.1. trans. H. Pendit, M. Wulansari. EGC. Jakarta.

Puspitasari ika. 2010. Jadi Dokter Untuk Diri Sendiri. Yogyakarta:B First.

28
Rahmanna dan A. Taufiq. 2003. Aflatoksin: senyawa racun pada biji kacang
tanah. Bulletin Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Royan, F., S. Rejeki dan A. H. C. Haditomo. 2014. Pengaruh salinitas yang


berbeda terhadap profil darah ikan nila. Journal of Aquaculture
Management and Technology. 3(2) : 109-117.

Saad, N. 2001. Aflatoxin Occurence and Health Risk. An undergraduate student


Cornell University for The AS625 Class. Animal Science at Cornell
University. USA.

Salasia, S. I. O dan B. Hariono. 2010. Patologi klinik veteriner. Samudra


Biru.Yogyakarta.

Sebayang, F. 2006. Pembuatan Etanol dari molase secara fermentasi


Menggunakan Sel Saccharomyces cerevisiae Yang Termobilisasi Pada
Kalsium Alginat. Jurnal Technologi Proses 5 (2) Juli 2006 : 68 – 74. ISSN
1412 – 7814. Departemen Kimia Fakultas MIPA Universitas Sumatera
Utara. Medan.

Sharp P, Villano J, 2013, The Laboratory Rat Second Edition (The Laboratory
Animal Pocket Reference Series), CRC Press, Taylor and Francis Group,
6000 Broken Sound Parkway NW Suite 300, USA. pp 6-7.

Sirois M. 2005. Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures. United


States of America: Mosby Inc.

Smith, B. J. B dan S. Mangkoewidjojo. 1998. Pemeliharaan Pembiakan dan


Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia.
Jakarta. Hlm. 228 – 233;

Snell, RS. 2012. Anatomi klinis berdasarkan sistem, trans. L Sugiharto, EGC,
Jakarta, Hal. 122-127.

Spector. 2006. Pengantar Patologi Umum. Yogyakarta: Gadjah mada university.

Spencer, N.D. 1988. Direct Oxidation of Methane. Journal of catalysis, 109,187.


Narayanaperumal at al., 2006. Methanol-Induced Oxidative Stress in Rat
Lymphoid Organs. Journal of Ocupational Health. 48:20-27.

Steinkraus, K.H. 1996. Handbook Of Indigenous Fermented Foods. Second


Edition, Revised And Expanded. Marcel Dekker, Inc New York.

Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik (Terjemahan: Bambang Sumantri). Jakarta: PT.
Gramedia.

29
Susanto, T. dan B. Saneto, 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina
Ilmu, Surabaya.

Usmana, A.S., Rianda, S., & Novia. 2012. Pengaruh volume enzim dan waktu
fermentasi terhadap kadar etanol (Bahan baku tandan kosong kelapa sawit
dengan pretreatment alkali). Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, 18(2), 17-25.

Waugh, A., Grant, A. 2011. Dasar-dasar anatomi dan fisiologi, trans. E


Nurrachmah and R Angriani, Salemba Medika, Jakarta, Hal. 192-196.

Wibowo, DS., Paryana, W. 2009, Anatomi tubuh manusia, Graha Ilmu, Bandung,
Hal. 345-352.

Wistar Institute. 2016. Our History Philadelphia: The Wistar Institute.

30

Anda mungkin juga menyukai