Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah patah tulang, yang biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan

jaringan disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu

lengkap atau tadak lengkap. (Prince dan Wilson, 2006 dalam Helmi, 2012).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012

terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur

akibat kecelakaan lalu lintas. Fraktur merupakan suatu kondisi dimana terjadi

diintegritas tulang. Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu

kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa

terjadi akibat faktor lain seperti proses degenerative dan patologi (Depkes RI,

2005 dalam Fadliyah, 2014).

Dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas

bawah akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara

fraktur lainnya yaitu sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur

ekstremitas bawah akibat kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada

tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami

fraktur tibia, 970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan

336 orang mengalami fraktur fibula (Depkes RI, 2011)

Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang

pangkal paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan

1
kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Kebanyakan

fraktur ini terjadi pada pria muda yang mengalami kecelakaan bermotor atau

jatuh dari ketinggian. (Muttaqin, 2008).

Pada saat terjadi fraktur atau patah tulang, jaringan sekitarnya juga akan

terpengaruh dimana akan terjadi edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan

sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh

darah. Dampak dari fraktur ini dapat menyebabkan nyeri, terganggunya

mobilitas fisik, selain itu dalam waktu panjang dapat mengakibatkan ansietas,

karena fraktur yang tidak kunjung sembuh, sehingga dapat terjadi dilakukannya

amputasi bagian tubuh tertentu. Selain itu memungkinkan terkontaminasi oleh

mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. (Muttaqin, 2008).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Yuanita et al “Efektifitas Relaksasi

Nafas Dalam Dan Distraksi Baca Menurunkan Nyeri Pasca Operasi Pasien

Fraktur Femur” (2014), ini menggunakan desain Pra Eksperimental (satu

kelompok pre-post tes). Pengambilan sampel dengan purposive sampling

didapatkan 20 pasien pasca operasi fraktur femur tertutup, dimana 10 pasien

dilakukan teknik relaksasi nafas dalam dan 10 pasien distraksi membaca. Data

diambil dengan kuesioner dan observasi, kemudian data dianalisis

menggunakan Wilcoxon Test dengan tingkat signifikansi ≤ 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan ada beda efektifitas antara teknik relaksasi

nafas dalam dengan nilai p = 0,005 dan distraksi membaca nilai p = 0,025. Hal

ini menunjukkan relaksasi nafas dalam lebih efektif daripada distraksi

membaca. Teknik relaksasi nafas dalam lebih efektif dibanding distraksi

2
membaca dalam hal kemudahan untuk digunakan dan tanpa memerlukan alat

bantu. Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi tidak membutuhkan alat

lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu dan dapat

digunakan dalam jangka waktu relatif lebih lama. Teknik relaksasi nafas dalam

digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot sehingga

didapatkan penurunan denyut jantung, penurunan respirasi serta penurunan

ketegangan otot sehingga nyeri akan berkurang, teori lain menyebutkan dengan

merelaksasikan otot-otot yang mengalami spasme yang disebabkan peningkatan

prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan

meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik

(Prasetyo, 2010).

Data dari rekam medis RSU Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara di

dapatkan kasus fraktur femur dari tahun 2015-2017 mengalami peningkatan

setiap tahunnya, dimana data yang di dapatkan pada tahun 2015 terdapat 46

kasus, pada tahun 2016 terdapat 50 kasus, sedangkan pada tahun 2017 terjadi

peningkatan yang cukup tinggi dimana pasien dengan kasus fraktur femur

mencapai 88 orang/tahun. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan yang

salah satunya berfokus pada sistem musculoskeletal memiliki peran dalam

pemenuhan kebutuhan rasa nyaman yang merupakan salah satu kebutuhan

dasar manusia dan merupakan tujuan diberikannya asuhan keperawatan pada

seseorang di tempat pelayanan kesehatan seperti : Rumah Sakit, Puskesmas dan

lain-lain.

3
Peran lain seorang perawat yaitu perawat juga membantu seseorang yang

dalam keadaan fraktur itu tetap termotivasi dan tetap berupaya dalam

pemulihan kembali bagian yang fraktur, selain itu perawat juga diharapkan bisa

mengurangi kecemasan jika pasien akan dilakukan tindakan tertentu dan oleh

karena itu perawatan yang baik dapat mencegah terjadinya komplikasi

(Smeltzer & Bare, 2010).

Perkembangan ilmu keperawatan telah memberikan kontribusi terhadap

munculnya berbagai metode untuk mengurangi rasa nyeri, metode yang

digunakan seperti relaksasi dan distraksi dapat digunakan dalam teknik

penanganan nyeri pasien post operasi. Oleh karena itu berdasarkan latar

belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan studi kasus dengan judul

“Penerapan Tehnik Relaksasi dan Distraksi Terhadap Intensitas Nyeri Pada

Pasien Post Operasi Fraktur Femur”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perumusan masalah pada

penelitian ini adalah “Bagaimana pengaruh dari penerapan tehnik relaksasi dan

distraksi terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur femur?”

1.3 Tujuan Studi Kasus

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh dari penerapan tehnik relaksasi dan

distraksi terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur femur

dan agar mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien fraktur

femur.

4
1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengaruh penerapan tehnik relaksasi dan distraksi

untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur

femur.

2. Menganalisis perubahan yang terjadi setelah diberikan tehnik

relaksasi dan distraksi pada pasien post operasi fraktur femur.

3. Dapat melakukan pengkajian pada pasien dengan fraktur femur dan

dapat mengetahui masalah yang dihadapi oleh klien.

4. Dapat Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien sesuai

dengan data-data yang berhasil didapatkan selama pengkajian.

5. Dapat Menentukan perencanaan keperawatan pada pasien dengan

fraktur femur.

6. Dapat mengimplementasikan tindakan keperawatan yang

direncanakan sesuai dengan kebutuhan klien.

7. Dapat mengevaluasi sejauh mana keberhasilan dalam penerapan

asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien dengan

fraktur femur.

1.4 Manfaat Studi Kasus

1.4.1 Masyarakat

Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang cara menurunkan

nyeri dengan tehnik relaksasi dan distraksi.

5
1.4.2 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keperawatan

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam prosedur menurunkan nyeri dengan teknik non farmakologi

dengan penerapan tehnik relaksasi dan distraksi.

1.4.3 Penulis

Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan tehnik relaksasi

dan distraksi terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur

femur.

6
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Fraktur Femur

1.1.1 Pengertian Fraktur Femur

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik. Kekuatan dan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan

tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan

apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur

lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur

tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Price dan

Wilson, 2006 Dalam Helmi 2012).

Fraktur femur atau patah tulang paha merupakan rusaknya

kontiunitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma

langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti degenerasi tulang

atau osteoporosis. Fraktur tulang femur dapat terjadi mulai dari

proximal sampai distal. Untuk mematahkan batang femur pada orang

dewasa, diperlukan gaya yang besar. Secara klinis, fraktur femur terdiri

atas pada tulang paha terbuka dan pada tulang paha tertutup (Mutaqqin,

2008).

Fraktur femur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak ditembus

oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh

lingkungan. Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan

7
dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak dapat

terbentuk dari dalam atau dari luar (Mutaqqin, 2008).

1.1.2 Klasifikasi

Ada dua tipe dari fraktur femur, yaitu :

1. Fraktur Intrakapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi,

panggul dan melalui kepala femur (capital fraktur):

a. Hanya di bawah kepala femur

b. Melalui leher dari femur

2. Fraktur Ekstrakapsuler.

a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang

lebih besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.

b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih

dari 2 inci di bawah trokanter kecil.

1.1.3 Etiologi

Menurut (Padila 2012), etiologi fraktur adalah sebagai berikut :

1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di

tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya

benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).

2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, yaitu apabila trauma

dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Misalnya

penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi

fraktur pada pegelangan tangan.

8
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila

tulang itu sendiri rapuh/ ada “underlying disesase” dan hal ini

disebut dengan fraktur patologis.

1.1.4 Patofisiologi

Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma. Hantaman yang keras

akibat kecelakaan yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang

menjadi patah dan fragmen tulang tidak beraturan atau terjadi

discontinuitas di tulang tersebut. Pada fraktur femur jarang terjadi

dibanding fraktur tulang pendek lainnya karena periost yang melapisi

tulang femur lebih tebal dibandingkan tulang pendek lainnya, terutama

pada daerah depan yang dilapisi kulit lebih tebal sehingga tulang ini

tidak mudah patah dan karena trauma dari luar sehingga dapat terjadi

fraktur pada tulang femur.

1.1.5 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala dari fraktur femur (Mutaqqin, 2008). Yaitu:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai tulang

dimobilisasi.

2. Deformitas (terlihat maupun teraba).

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya

karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah lokasi

fraktur.

9
4. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

dengan yang lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

1.1.6 Pemeriksaan penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang pada kasus fraktur femur yaitu:

a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma

b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur,

juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan

lunak.

c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi)

atau menurun (pendarahan sel darah putih adalah respon stress

normal setelah trauma).

e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien

ginjal.

f. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,

tranfusi atau cedera. (Bararah, T. dan Jauhar, M, 2013)

1.1.7 Penatalaksanaan Pada Fraktur Femur

Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu reduksi

dan imobilisasi:

10
1. Reduksi

Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya atau rotasi anatomis. Reduksi tertutup,

mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling

berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang

digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi

terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam

bentuk pin, kawat, sekrup, plat, dan paku.

2. Imobilisasi

Imobilisasi dapat digunakan dengan metode eksterna dan interna

mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler

selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan.

Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyambungan

tulang yang mengalami fraktur adalah sekitar 3 bulan.

1.2 Konsep Asuhan Keperawatan Fraktur Femur

1.2.1 Pengkajian

Manifestasi klinis fraktur femur hampir sama dengan manifestasi

klinis fraktur umum tulang panjang, seperti nyeri, hilangnya fungsi,

deformitas, pemendekan ekstremitas bawah karena kontraksi otot yang

melekat di atas dan di bawah tempat fraktur, krepitasi, pembengkakan,

dan perubahan local pada warna kulit akibat trauma dan perdarahan

pada fraktur. Tanda-tanda tersebut baru terjadi beberapa jam atau

11
beberapa hari setelah cedera. Adapun pengkajian pada fraktur femur

meliputi:

1. Anamnesis

a. Identitas klien

Pada identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat,

agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan,

pekerjaan, golongan darah, nomor register, tanggal dan jam

masuk rumah sakit (MRS), dan diagnosa medis.

b. Keluhan utama

Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah

rasa nyeri yang hebat. Untuk memperoleh pengkajian yang

lengkap mengenai rasa nyeri klien, perawat dapat menggunakan

PQRST.

1) Provoking Incident : hal yang menjadi faktor presipitasi

nyeri adalah trauma pada bagian paha.

2) Quality of pain : klien merasakan nyeri yang bersifat

menusuk, tumpul atau tersayat.

3) Region, radiation, relief : nyeri terjadi dibagian paha yang

mengalami patah tulang. Nyeri dapat redah dengan

imobilisasi atau istrahat.

4) Severity (scale) of pain : secara subjektif, nyeri yang

dirasakan klien antara 2-4 pada rentang skala pengukuran

0-4.

12
5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

c. Riwayat penyakit sekarang.

Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah

tulang paha, pertolongan apa yang telah didapatkan, dan apakah

sudah berobat kedukun patah. Dengan mengetahui mekanisme

terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka

kecelakaan yang lain.

d. Riwayat penyakit dahulu.

Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget

menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit

menyambung.

e. Riwayat penyakit keluarga.

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang paha

adalah factor predisposisi terjadinya fraktur, seperti

osteoporosis.

f. Riwayat psikososial spiritual.

Kaji respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya,

peran keluarga dalam keluarga dan masyarakat, serta respons

atau pengaruhnya dalam kehidupan seharihari, baik dalam

keluarga maupun dalam masyarakat.

13
Dalam tahap pengkajian, perawat juga perlu mengetahui pola-pola

fungsi kesehatan dalam proses keperawatan klien fraktur femur, seperti :

Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat, pola persepsi dan konsep

diri, pola sensori dan kognitif, pola penanggulangan stress, pola tata

nilai dan keyakinan.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum

(status general) untuk untuk mendapatkan gambaran umum dan

pemeriksaan setempat (lokal). Meliputi :

a. Keadaan umum, keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda

yang perlu dicatat adalah kesadaran klien: (apatis, sopor, koma,

gelisah, kompos mentis yang tergantung pada keadaan klien),

kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang,

berat, dan pada kasus fraktur biasanya akut), tanda-tanda vital

tidak normal karena ada gangguan lokal, baik fungsi maupun

bentuk.

b. B1 (Breathing).

Pada pemeriksaan sistem pernapasan, didapatkan bahwa klien

fraktur femur tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada

palpasi thoraks, didapatkan taktik fremitus seimbang kanan dan

kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas tambahan.

14
c. B2 (Blood).

Inspeksi: tidak ada iktus jantung. Palpasi: nadi meningkat, iktus

teraba. Auskultasi: suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada murmur.

d. B3 (Brain).

1) Tingkat kesadaran, biasanya kompos mentis.

a) Kepala : tidak gangguan, yaitu normosefalik, simetris

dan tidak ada penonjolan, tidak ada sakit kepala.

b) Leher : tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak

penonjolan, refleks menelan ada.

c) Wajah : wajah terlihat menahan sakit dan bagian wajah

yang lain tidak ada perubahan fungsi dan bentuk. Wajah

simetris, tidak ada lesi dan edema.

d) Mata : tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak

anemis (pada klien dengan patah tulang tertutup karena

tidak terjadi perdarahan). Klien fraktur terbuka dengan

banyaknya perdarahan yang keluar biasanya mengalami

konjungtiva anemis.

e) Telinga : tes bisik atau weber dalam keadaan normal.

Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

f) Hidung : tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan

cuping hidung.

g) Mulut dan Faring: tidak ada pembesaran tonsil, gusi

tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

15
2) Pemeriksaan fungsi serebral.

Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku klien.

Biasanya status mental tidak mengalami perubahan.

3) Pemeriksaan saraf kranial:

a) Saraf I. Pada klien fraktur femur, fungsi saraf 1 tidak ada

kelainan. Fungsi penciuman tidak ada kelaianan.

b) Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan

dalam kondisi normal.

c) Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan

mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.

d) Saraf V. Klien fraktur femur umumnya tidak mengalami

paralisis pada otot wajah dan refleks kornea tidak ada

kelainan.

e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan

wajah simetris.

f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan

tuli persepsi.

g) Saraf IX dan X. kemampuan menelan baik.

h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleimastoideus dan

trapezius.

i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi

dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.

16
4) Pemeriksaan refleks.

Biasanya tidak didapatkan refleks-refleks patologis.

5) Pemeriksaan sensorik.

Daya raba klien fraktur femur berkurang terutama pada

bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan

kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu, timbul

nyeri akibat fraktur.

e. B4 (Bladder)

Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan

karakteristik urine, termasuk berat jenis urine. Biasanya klien

fraktur femur tidak mengalami kelainan pada sistem ini.

f. B5 (Bowel)

Inspeksi abdomen: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

Palpasi: turgor baik, tidak ada defans maskular dan hepar tidak

teraba. Perkusi: suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.

Auskultasi: peristastik usus normal ±20 kali/menit. Inguinal-

genitalia-anus: tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe,

dan tidak ada kesulitan BAB.

g. B6 (Bone)

Adanya fraktur pada femur akan mengganggu secara lokal, baik

fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah.

17
h. Look

Pada sistem integument terdapat eritema, suhu di sekitar daerah

trauma meningkat, bengkak, edema, dan nyeri tekan. Perhatikan

adanya pembengkakan yang tidak biasa (abnormal) dan

deformitas.

i. Feel

Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah

paha.

j. Move

Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan

dengan menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat mencatat

apakah keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan rentan gerak

ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum

dan sesudahnya.

1.2.2 Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan utama pada fraktur femur, baik fraktur

terbuka maupun tertutup adalah sebagai berikut :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot,

gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan

traksi.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuscular, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).

18
3. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, imunitas tubuh primer

menurun, prosedur invasive (pemasangan traksi).

4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, status ekonomi,

dan perubahan fungsi peran.

1.2.3 Intervensi

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot,

gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan

traksi

a. Tujuan perawatan : nyeri berkurang, hilang, atau teratasi.

b. Kriteria hasil : secara subjektif, klien melaporkan nyeri

berkurang atau dapat diatasi, mengidentifikasi aktifitas yang

meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah.

Skala nyeri 0-1 atau teratasi.

c. Intervensi :

1) Mandiri

a) Kaji nyeri dengan skala 0-4

Rasional : Nyeri merupakan respons subjektif yang

dapat dikaji dengan menggunakan skala nyeri. Klien

melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.

b) Atur posisi imobilisasi pada paha

Rasional : Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi

pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama

penyebab nyeri pada daerah paha.

19
c) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.

Rasional : Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan,

ketegangan, suhu, distensi kandung kemih, dan

berbaring lama.

d) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan

pereda nyeri nonfarmakologi.

Rasional : Pendekatan dengan menggunakan teknik

relaksasi dan nonfarmakologi lainnya efektif dalam

mengurangi nyeri

e) Ajarkan relaksasi nafas dalam : teknik-teknik

mengurangi ketegangan otot rangka yang dapat

mengurangi intensitas nyeri.

Rasional : Teknik ini akan melancarkan peredaran

darah sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi

dan nyeri berkurang.

f) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut

Rasional : Mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri

ke hal-hal yang menyenangkan.

g) Berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur.

Rasional : Istirahat merelaksasi semua jaringan

sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

20
h) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri

dan hubungkan dengan beberapa nyeri yang akan

berlangsung.

Rasional : Pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri

membantu mengurangi nyeri. Hal ini dapat membantu

meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana

terapeutik.

i) Observasi tingkat nyeri dan respon motoric klien 30

menit setelah pemberian obat analgetik untuk

mengkaji efektivitasnya dalam 1-2 jam.

Rasional : Dengan pengkajian yang optimal, perawat

akan mendapatkan data yang objektif untuk mencega

kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi

yang tepat.

2) Kolaborasi

j) Pemberian analgetik.

Rasional : Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga

nyeri akan berkurang.

k) Pemasangan traksi kulit atau traksi tulang.

Rasional : Traksi yang efektif akan memberikan

dampak pada penurunan pergeseran fragmen tulang

dan memberikan posisi yang baik untuk pengatuan

tulang.

21
l) Operasi untuk pemasangan fiksasi internal.

Rasional : Fiksasi internal dapat membantu imobilisasi

fraktur femur sehingga pergerakan fragmen berkurang.

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka

neuromuscular, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).

a. Tujuan perawatan : klien mampu melaksanakan aktivitas fisik

sesuai dengan kemampuannya

b. Kriteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan,

tidak mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah,

dan klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan

mobilitas.

c. Intervensi :

1) Mandiri

a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya

peningkatan kerusakan. Kaji secara teratur fungsi

motorik.

Rasional : Mengetahui tingkat kemampuan klien

dalam melakukan aktivitas.

b) Atur posisi imobilisasi pada paha.

Rasional : Imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi

pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama

penyebab nyeri pada paha

22
c) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada

ekstermitas yang tidak sakit.

Rasional : Gerakan aktif memberikan massa, tonus,

dan kekuatan otot, serta memperbaiki fungsi jantung

dan pernapasan.

d) Bantu klien melakukan latihan ROM dan perawatan

diri sesuai toleransi.

Rasional : Untuk mempertahankan fleksibilitas sendi

sesuai kemampuan.

2) Kolaborasi

e) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik

klien.

Rasional : Kemampuan mobilisasi ekstermitas dapat

ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim fisioterapi

3. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma,imunitas tubuh primer

menurun, prosedur invasive (pemasangan traksi).

a. Tujuan perawatan: infeksi tidak terjadi selama perawatan

b. Kriteria hasil : klien mengenal faktor-faktor resiko, mengenal

tindakan pencegahan/mengurangi factor resiko infeksi, dan

menunjukan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk

meningkatkan lingkungan yang aman.

23
c. Intervensi :

1) Mandiri

a) Kaji dan pantau luka operasi setiap hari.

Rasional : Mendeteksi secara dini gejala-gejala

inflamasi yang mungkin timbul sekunder akibat

adanya luka pascaoperasi.

b) Lakukan perawatan luka secara steril.

Rasional : Teknik perawatan luka secara steril dapat

mengurangi kontaminasi kuman.

c) Pantau atau batasi kunjungan.

Rasional : Mengurangi resiko kontak infeksi dari

orang lain.

d) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai

toleransi. Bantu program latihan.

Rasional : Menunjukan kemampuan secara umum,

kekuatan otot, dan merangsang pengembalian sistem

imun.

2) Kolaborasi

e) Berikan antibiotik sesuai indikasi

Rasional : Satu atau beberapa agens diberikan yang

bergantung pada sifat pathogen dan infeksi yang

terjadi.

24
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, status ekonomi, dan

perubahan fungsi peran.

a. Tujuan perawatan: ansietas hilang atau berkurang.

b. Kriteria hasil : klien mengenal perasaannya, dapat

mengidentifikasi penyebab atau factor yang memengaruhinya,

dan menyatakan ansietas hilang atau berkurang

c. Intervensi :

1) Mandiri

a) Kaji tanda verbal dan nonverbab ansietas, damping

klien, dan lakukan tindakan bila klien menunjukkan

perilaku merusak.

Rasional : Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan

rasa agitasi, marah dan gelisah.

b) Hindari konfrontasi.

Rasional : Konfrontasi dapat meningkatkan rasa

marah, menurunkan kerjasama, dan mungkin

memperlambat penyembuhan.

c) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas.

Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh

istrahat.

Rasional : Mengurangi rangsangan eksternal yang

tidak perlu.

d) Tingkatkan control sensasi klien.

25
Rasional : Control sensasi klien dengan cara

memberikan informasi tentang keadaan klien,

menekankan penghargaan terhadap sumber-sumber

koping yang positif, membantu latihan relaksasi dan

teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan

balik yang positif.

e) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur

operasi dan aktivitas yang diharapkan.

Rasional : Orientasi tahap-tahap prosedur operasi

dapat mengurangi ansietas.

f) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan

ansietasnya.

Rasional : Dapat menghilangkan ketegangan terhadap

kekhawatiran yang tidak diekspresikan.

g) Berikan privasi kepada klien dan orang terdekat.

Rasional : Memberi waktu untuk mengekspresikan

perasaan, menghilangkan ansietas, dan perilaku

adaptasi. Adanya keluarga dan tema-teman yang

dipilihklien untuk melakukan aktivitas dan pengalihan

perhatian.

26
1.2.4 Implementasi

Implementasi merupakan langkah keempat dari proses keperawatan

dimana pada tahap ini tindakan yang telah direncarakan oleh perawat di

laksanakan dalam membantu pasien mencegah, mengurangi dan

menghilangkan dampak atau respon yang ditimbulkan oleh masalah

keperawatan dan kesehatan.

1.2.5 Evaluasi

Hasil asuhan keperawatan yang diharapkan adalah nyeri teratasi,

terpenuhinya pergerakan/mobilitas fisik, terhindar dari resiko infeksi

pasca operasi dan ansietas berkurang.

1.3 Konsep Tindakan Fraktur Femur

1.3.1 Tehnik Relaksasi

1. Pengertian Tehnik Relaksasi

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien

bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan

inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas

secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik

relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Tujuan dan Manfaat Tehnik Relaksasi

Menurut National Safety Council (2004), bahwa teknik

relaksasi nafas dalam saat ini masih menjadi metode relaksasi yang

27
termudah. Metode ini mudah dilakukan karena pernafasan itu

sendiri merupakan tindakan yang dapat dilakukan secara normal

tanpa perlu berfikir atau merasa ragu.

Sementara Smeltzer dan Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan

dari teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan

ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi

paru, meningkatkan efisiensi batuk mengurangi stress baik stress

fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan

menurunkan kecemasan. Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan

oleh klien setelah melakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah

dapat menghilangkan nyeri, ketenteraman hati, dan berkurangnya

rasa cemas.

3. Patofisiologi Tehnik Relaksasi Terhadap Nyeri


Sumber: Prasetyo 2010
Pembedahan
Tehnik
Relaksasi Hormon
Nafas Dalam Rasa Nyeri Adrenalin
Post Operasi

Memberikan rasa
Meningkatkan tenang
konsentrasi

Oksigen Mengurangi
dalam darah detak jantung
Mempermudah
mengatur
pernafasan Tekanan
Nyeri
darah

(Gambar)

28
4. Prosedur Tehnik Relaksasi

Bentuk pernafasan yang digunakan pada prosedur ini adalah

pernafasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah

diafragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran

abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama

inspirasi (Priharjo, 2003).

Lebih lanjut Priharjo (2003) menyatakan bahwa adapun

langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai

berikut :

a. Usahakan rileks dan tenang.

b. Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan

1,2,3, kemudian tahan sekitar 5-10 detik.

c. Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan.

d. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskannya

lagi melalui mulut secara perlahan-lahan.

e. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa

berkurang.

f. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5

kali.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tehnik Relaksasi

Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan

intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu (Smeltzer dan Bare,

2002):

29
a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami

spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin

sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan

meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme

dan iskemik.

b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang

tubuh untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan

enkefalin.

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh

teknik relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang

melakukan relaksasi nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang

dirasakan, maka tubuh akan meningkatkan komponen saraf

parasimpatik secara stimulan, maka ini menyebabkan terjadinya

penurunan kadar hormon kortisol dan adrenalin dalam tubuh yang

mempengaruhi tingkat stress seseorang sehingga dapat

meningkatkan konsentrasi dan membuat klien merasa tenang untuk

mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini akan mendorong

terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan akan menurunkan kadar

pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah

(Handerson, 2005).

30
1.3.2 Tehnik Distraksi

1. Pengertian Tehnik Distraksi

Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain

sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan

meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prasetyo, 2010).

2. Tujuan dan Manfaat Tehnik Distraksi

Tujuan penggunaan teknik distraksi dalam intervensi

keperawatan adalah untuk pengalihan atau menjauhkan perhatian

klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya rasa nyeri.

Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar

seseorang yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai,

dan merasa berada pada situasi yang lebih menyenangkan

(Widyastuti, 2010).

3. Prosedur Tehnik Distraksi

Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, yaitu antara

lain:

a. Distraksi visual

Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran,

melihat pemandangan, dan gambar (Prasetyo, 2010).

b. Distraksi pendengaran

Mendengarkan musik yang disukai, suara burung, atau

gemercik air. Klien dianjurkan untuk memilih musik yang

disukai dan musik yang tenang, seperti musik klasik. Klien

31
diminta untuk berkosentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien

juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh mengikuti

irama lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki

(Tamsuri, 2007).

c. Distraksi pernafasan

Cara pertama, yaitu bernafas ritmik. Anjurkan klien untuk

memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata, lalu

lakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan satu

sampai empat (dalam hati), kemudian menghembuskan nafas

melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai

empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada

sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi

ketenangan, lanjutkan teknik ini hingga terbentuk pola

pernafasan ritmik. Cara kedua, yaitu bernafas ritmik dan

massase, instruksikan klien untuk melakukan pernafasan ritmik

dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada bagaian

tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau

gerakan memutar di area nyeri (Widyastuti, 2010).

d. Distraksi intelektual

Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan mengisi teka-teki

silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (ditempat tidur),

seperti mengumpulkan perangko atau menulis cerita. Pada

32
anak-anak dapat pula digunakan teknik menghitung benda atau

barang yang ada di sekeliling.

e. Teknik sentuhan

Distraksi dengan memberikan sentuhan pada lengan,

mengusap, atau menepuk-nepuk tubuh klien. Teknik sentuhan

dapat dilakukan sebagai tindakan pengalihan atau distraksi.

Tindakan ini dapat mengaktifkan saraf lainnya untuk menerima

respons atau teknik gateway control. Teknik ini memungkinkan

impuls yang berasal dari saraf yang menerima input sakit atau

nyeri tidak sampai ke medula spinalis sehingga otak tidak

menangkap respons sakit atau nyeri tersebut. Impuls yang

berasal dari input saraf nyeri tersebut diblok oleh input dari

saraf yang menerima rangsang sentuhan karena saraf yang

menerima sentuhan lebih besar dari saraf nyeri (Widyastuti,

2010).

33
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

3.2 Subyek Studi Kasus

3.3 Fokus Studi Kasus

3.4 Definisi Operasional Fokus Studi

3.5 Instrumen Studi Kasus

3.6 Metode Pengumpulan Data

3.7 Lokasi dan Waktu Studi Kasus

3.8 Analisis Data dan Penyajian Data

3.9 Etika Studi Kasus

34

Anda mungkin juga menyukai