Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama
kematian pada balita di dunia. Data WHO tahun 2005 menyatakan bahwa proporsi
kematian balita karena saluran pernafasan di dunia adalah sebesar 19-26%. Pada tahun
2007 diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari
total 9 juta kematian pada anak. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, Pneumonia adalah penyebab kematian kedua pada balita
setelah Diare.1
Target Millenium Development Goal (MDG) 4 adalah menurunkan angka
kematian padaa balita pada tahun 2015 duapertiga dari tahun 1990. Salah satu upaya
menurunkan angka kematian balita adalah dengan menurunkan angka kematianj balita
akibat Pneumonia sebagai penyebab utama kematian pada balita. Agar target ini
tercapai, diperlukan upaya pengendalian pneumonia pada balita yang komperhensif,
inovatif, dan terpadu dengan melibatkan semua faktor terkatit10
Sindrom Down merupakan salah satu kelainan genetik yang sering terjadi pada
bayi baru lahir. Prevalensi kejadian bayi lahir dengan sindrom Down adalah 1 dari 800
kelahiran. Berdasarkan penelitian awal yang dilakukan, di Amerika Serikat terdapat
lebih dari 400,000 orang menderita sindrom Down, dengan jumlah kelahiran bayi
yang mendapat sindroma tersebut mencapai 3,400 bayi dalam setahun11
Hampir setengah dari bayi dengan sindrom Down akan mendapat kelainan
jantung. Kelainan jantung dapat ringan dan dapat diterapi dengan obat, dan ada juga
kelainan berat yang memerlukan pembedahan. Setiap bayi yang lahir dengan sindrom
Down harus diperiksa oleh dokter kardiologi anak. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan dengan echocardiogram atau ultrasound pada jantung setelah usia
dua bulan12.

1
BAB II
KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : An. I Gede Arya Wiguna
 Tanggal Lahir :14-12-2018
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Agama : Hindu
 Alamat :Nusa Penida
 No. RM : 254360
 Tanggal MRS : 24-09-2016
2.2 Anamnesa
2.2.1 Keluhan utama
Sesak Nafas
2.2.2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke UGD RSUD Klungkung dengan keluhan sesak sejak
sekitar 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dikatakan terus menerus dan
semakin memberat hingga 1 hari sebelum akhirnya dibawa ke IGD RSU
Klungkung. Berdasarkan keterangan ibu pasien, tidak ada yang meringankan
keluhan, namun anak terlhat lebih nyaman jika posisi tidur agak ditinggikan.
Sesak diperberat terutama saat anak batuk dan tidur terlentang, anak dikatakan
tampak gelisah dan tidak nyaman, sesaknya semakin memberat sehingga ketika
bernafas tampak cekungan diperut akibat tarikan dada.
Sebelumnya pasien pertamakali dirawat di RS Kasih Ibu akibat
keluhan tersebut selama 4 hari, dan sempat pulang dari rumah sakit, namun
sesak kembali memberat, sehingga keluarga membawa pasien ke RS Pratama
Gema Santi dan akhirnya dirujuk ke RS Klungkung dengan diagnosis
Pneumoni Berat dan Down Syndrome.
Sebelum keluhan sesak muncul, pasien mengalami batuk pilek sejak 7
hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Batuk pilek dikatakan terus menerus dan
memberat sehingga mulai terlihat anak agak sulit nafas dan menjadi sesak.
Tidak ada yang meringankan dan memeprberat keluhan batuk, pasien sempat
diberi obat namun tidak kunjung sembuh.

2
Keluhan lain berupa demam sejak 1 hari sebelum dibawa ke IGD RSU
Klungkung, demam dikatakan tinggi 39C namun membaik dengan obat
penurun panasyang diberikan dari rumah sakit. Demam tanpa disertai kejang,
menggigil, penurunan kesadaran, meranyau, serta mengigau.
Keluarga pasien menyangkal adanya mual ataupun muntah, pasien
masih bisa minum susu, nafsu makan pasien masih baik meskipun sedikit
menurun, BAK (+) dan BAB (+).

2.2.3 Riwayat Penyakit dahulu


Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama saat usia 5 dan 7 bulan.
Riwayat Down Syndrome, Penyakit jantung (-).

2.2.4 Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada yang memiliki atau mengalami hal serupa, Asma (-), Penyakit Down
Syndrom (-), Riwayat Alergi (-)

2.2.5 Riwayat Pribadi dan Sosisal


Pasien anak ke-5, tinggal bersama orang tua, lingkungan rumah bersih.

2.2.6 Riwayat Pengobatan


Paracetamol drops 3 x 0,6 ml., antibiotik syrup (ibu pasien lupa nama dan dosis
obat)

2.2.7 Riwayat Persalinan


Pasien lahir SC (prolong fase laten + resti), BBL 3300 gram, lahir langsung
menangis.

2.2.8 Riwayat Nutrisi


 ASI 0-6 ASI
 6-9 ASI dan bubur susu

2.2.9 Riwayat Perkembangan


1) Menegakkan kepala : 4 bulan
2) Membalikkan badan : 5 bulan
3) Duduk : 6 bulan
4) Merangkak : 8 bulan

3
2.2.10 Riwayat Imunisasi
1) Hb 0 : 1 kali
2) BCG : 1 kali
3) Polio : 3 kali
4) Hepatitis b : 1 kali
5) DPT : 3 kali
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Tanda Vital
1) Keadaan umum : Sakit Sedang
2) Kesadaran : E4 V5 M6 / Compos Mentis
3) Nadi : 151x/menit, isi cukup, kuat angkat, reguler
4) Respiratory Rate : 58 x/menit
5) Temperatur : 37,4˚C
6) SpO2 : 79% tanpa O2, 96% setelah nebul dan dengan O2
7) Berat Badan : 6,8 kg
8) Tinggi Badan : 67,5 cm
2.3.2 Status Generalis
1) Kepala : Normocephali, mongol face, wajah dismorfik.
2) Mata : Konjungtiva anemis (-) sklera ikterus (-), Reflek pupil (+/+)
isokor, mata cowong (-)
3) Hidung : secret (+/+), nafas cuping hidung (-),
4) Telinga : sekret (-/-), discharge (-/-).
5) Tenggorokan : faring hiperemis (+), Tonsil T1/T1
6) Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran thyroid (-), massa (-)
7) Thoraks :
Paru-Paru : Inspeksi : Bentuk dan pergerakan dada simetris
Palpasi : Vokal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), Ronkhi (+/+), Wheezing (-/-)
Jantung : Inspeksi : Pulsasi iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas : ICS II parasternal sinistra
Batas kiri : ICS V midklavikula sinistra
Batas kanan : ICS IV parasternal dextra

4
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
8) Abdomen : Inspeksi : Datar
Auskultasi: Bising usus (+) normal 8x/menit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani di semua lapang abdomen
9) Ekstremitas: CTR <2” akral Hangat Edema

2.3 Status Gizi (WHO)


Anak laki-laki usia 9 bulan, BB : 6,8 kg, PB : 67,5 cm
BB/U : -3 SD
PB/U : -2SD
PB/BB : - 2 SD
BBI : 7,7 kg
Status gizi baik (≥ - 2 SD s/d < + 2 SD)
2.4Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap (24-9-2019)
Hematologi Hasil Nilai Rujukan

WBC 14,6 3,5 – 10


LYM 2,2 0,5 – 5,0
RBC 4,46 3,50 – 5,50
HGB 12,7 11,5 – 16,5
MCH 28,5 25,0 – 38,0
MCHC 33,3 31,0 – 38,0
RBC 4,56 3,50 – 5,50
MCV 65,4 75,0 – 100
HCT 38,1 35,0 – 55,0
PLT 309 100 – 400

Gula Darah Sewaktu (24-9-2019)


Pemeriksaan NILAI NILAI
RUJUKAN
GLUCOSE 81 70-199

Radiologi Rontgen Thoraks

5
2.5 Diagnosa Kerja
Pneumoni Berat
Down Syndrome
2.6 Penatalaksanaan
1) IVFD D5 ¼ NS 36 tetes/menit makro
2) O2 2 LPM
3) Nebul Ventolin 0,7 ml + NaCl 0,9% 4ml @ 2jam
4) Ceftriaxone 2 x 500 mg (iv)
5) Dexamethasone 7mg bolus (iv)
6) Amikacin 2 x 50 mg (iv)
2.7 Follow Up
Tanggal Follow Up
25-9-2019 S: sesak (+),batuk (+), demam (+)
O: KU : lemah
TD : -
Suhu : 36,7 ºC
Nadi: 120 x/menit
RR: 32x/menit
SpO2: 96%
A: Pneumoni Berat
Down Syndrome

6
P : IVFD D5 ¼ NS 36 tetes/menit makro
O2 2 LPM
Nebul Ventolin 0,7 ml + NaCl 0,9% 4ml @ 2jam
Ceftriaxone 2 x 500 mg (iv)
Dexamethasone 7mg bolus (iv)
Amikacin 2 x 50 mg (iv)
26-9-2019 S: sesak (+),batuk (+), demam (+)
O: KU : lemah
TD : -
Suhu : 36, ºC
Nadi: 120 x/menit
RR: 25x/menit
SpO2: 94%
A: Pneumoni Berat
Down Syndrome
P : IVFD D5 ¼ NS 36 tetes/menit makro
O2 2 LPM
Nebul Ventolin 0,7 ml + NaCl 0,9% 4ml @ 2jam
Ceftriaxone 2 x 500 mg (iv)
Dexamethasone 7mg bolus (iv)
Amikacin 2 x 50 mg (iv)
27-9-2019 S: sesak (+),batuk (+), demam (+)
O: KU : lemah
TD : -
Suhu : , ºC
Nadi : x/menit
RR : x/menit
SpO2: %
A: Pneumoni Berat
Down Syndrome
P: IVFD D5 ¼ NS 36 tetes/menit makro
O2 2 LPM
Nebul Ventolin 0,7 ml + NaCl 0,9% 4ml @ 2jam
Ceftriaxone 2 x 500 mg (iv)

7
Dexamethasone 7mg bolus (iv)
Amikacin 2 x 50 mg (iv)

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 PNEUMONIA
3.1.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Walaupun banyak
pihak yang sependapat bahwa pneumonia adalah suatu keadaan inflamasi, namun sangat
sulit untuk merumuskan satu definisi tunggal yang universal. Pneumonia adalah penyakit
klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, dan perjalanan
penyakitnya. Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit
respiratorik yang ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronki basah halus, dengan
gambaran infiltrat pada foto otot polos dada.1

3.1.2 Epidemiologi
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-
anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa.
Di Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih
tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5
tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada
umur 9 tahun dan remaja.4
Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi
juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncakpada umur
1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh
bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di
negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari
data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebeb kematian pada
anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang.8
Pneumonia yang disebabkan oleh infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di
negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di
negara tropis pada musim hujan.9

9
3.1.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain mislanya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid
substances)/benda teraspirasi.2
Pola kuma penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur
pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai penyebab tersering
adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza virus, influenza virus, dan
adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze, Staphylococcus aureus, Streptococcus
group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.2
Pada masa neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes
merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak
pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu,
Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial.
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering
didapatkan pada anak diatas 5 tahun.4

3.1.4 Faktor Resiko


Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), belum lengkapnya
imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok
secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya
pneumonia Faktor predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya
kelainan anatomi kongenital (contoh fistula nakeaesofagus, penyakit jantung bawaan),
gangguan fungsi imun (penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang gangguan sistem
imun berkaitan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular,
kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik,
aspirasi benda asing atau disfungsi silier.1

3.1.5 Patogenesis
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekundcr dari viremia/bakterimia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam
keadaan normal saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal
adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier

10
anatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier
anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung; pencegahan aspirasi
dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah
kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal
imunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin alveolar makrofag dan cell mediated immunity.3
Pneumonia tejadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan
sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi patogen
penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang
berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya.4
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy
dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia
epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi
sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN
akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah
debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka
akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan
diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli.
Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang
terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya
denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke
intersitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan
predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa.6
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-
kadang terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia
tergantung dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika
bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan
dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap
oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon
imunologis penjamu akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini
akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman
akan dilisis melalui perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada
infeksi oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika
mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas

11
fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon
inflamasi. Hal ini akan meagakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas,
dan hal ini merupkan karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan
dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn
(the pores of Kohn). Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan
membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin sel-sel lekosit
PMN) dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi
merah).7
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif
oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi
enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotokslk terhadap semua sel-sel
paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru.7
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan
lekosit PMN meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan membersihkan
debris. Sepanjang struktur retikular paru masih intak (tidak terjadi keterlibatan instertitial),
parenkim paru akan kembali sempuma dan perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi
berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru milimal.7
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan
disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan
Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding sel
dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektin, kolagen
dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan
faktor-faktor virulensi yang berbeda pula dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu
atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh penjamu,
melokalisir infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai
toksin yang mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus
aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi dengan
opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan Staphylococcus aureus yang
memproduksi koagulase. Produksi koagulase atau clumping factor akan menyebabkan
plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting
dalam melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain
Staphylococcus aureus akan membentuk beberapa enzim seperti catalase (meng-
nonaktifkan hidrogen peroksida, meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penicillinase

12
atau β lactamase (mengnonaktifkan penisilin pada tingkat molekular dengan membuka
cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase.8
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat
kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume
ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan
frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda
inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi
tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha
meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu
dengan berkurangnya vohme paru secara fingsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat
terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.8

3.1.6 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab,
usiapasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat
yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala
dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala
pulmonal, pleural dan ekstra pulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam,
menggigil,sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan
gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut.4
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung
Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek gejala nafas cuping hidung, takipnea,
dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas interkostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa
batuk. Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan pneumonia viral atau
mikoplasma seperti yang ditemukan pada anak-anak dengan asma atau bronkiolitis.4
Keradangan pada pleura biasa ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri
dadapada daerah yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan
dindingdada selama inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut.5
Gejala ekstra pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit
atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus
aureus. Otitis media, konjuntivitis, sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena

13
Streptococcus pneumoniae atau Haemophillus influenza. Sedangkan epiglotitis dan
meningitis khususnya dikaitkan dengan pneumonia karena Haemophillus
influenza.Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit.Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana
pneumonia. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur.
WHO bahkan telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak
dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat dari normal serta
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing), WHO
menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan
perawatan di Rumah Sakit untuk pemberian antibiotik.5
Kriteria takipnea menurut WHO
Umur Laju nafas normal Takipnea (frekuensi/menit)
(frekuensi/menit)
0-2 bulan 30-50 =60
2-12 bulan 25-40 =50
l-5 tatun 20-30 =40
>5 tahun 15-25 =20
Perkusi toraks tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainan patologinya
menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi
suara nafas yang melemah sering kali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan
mengeras (suara bronkial) bila ada proses konsolidasi. Ronki basah halus yang khas untuk
pasien yang lebih besar, mungkin tidak akan untuk bayi. Pada bayi dan balita kecil karena
kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit di identifikasi.9
Secara klinis pada anak sulit membedakan antara bakterial dan pneumonia viral.
Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa bacterial awitannya cepat, batuk
produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan
radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.5
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir
atauascending dari infeksi intrauterin. Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group
BStreptococcus) selain kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa respirtory distress
yaitu merintih, nafas cuping hidung retraksi dari sianosis. Sepsis akan terjadi dalam
hitungan jam, hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama
kehidupan. Pada bayi prematur, gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai gambaran
RDS (Respiratory Distress Syndrome).4

14
3.1.7 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan
fotopolos dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disarnping untuk melihat luasnya
kelainan palologi secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan lateral (L)
diperlukan untuk menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan
kemungkinan adanya komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum,
pneumatokel, abses paru dan efusi pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai,terutama
pada pasien bayi. Pernbesaran kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena
haemophiltus influenza dan Staphylococcus aureus, tapi jarang pada pneumonia karena
Streptococcus pneumoniae. kecurigaan ke arah infeksi Staphylococcus aureus apabila pada
foto polos dada dijumpai adanya gambaran pneumatokel, abses paru, empiema dan
piopneumotoraks serta usia pasien di bawah 1 tahun. Foto polos dada umunnya akan
normal kembali dalam 34 minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara rutin
kecuali jika ada pneumatokel, abses, efusi pleura, empiema, pneumotoraks atau komplikasi
lain. Sebagaimana manifestasi klinis, pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan
perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri.Pneumonia virus umumnya
menunjukkan gambaran infiltratintersitial difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada
sindroma aspirasi, infiltrat akan tampak di lobus superior kanan pada bayi, tetapi pada anak
yang lebih besar akan tampak di bagian posterior atau basal paru.Menurut WHO terdapat
kesulitan dalam interpretasi foto polos dada sehingga dikembangkan cara standarisasi
kriteria pneumonia untuk kepentingan aspek epidemiologis. Sistem ini membagi gambaran
foto torak dalam normal torak, infiltrat atau akhir proses konsolidasi (end stage
consolidation) yang didefinisikan sebagai "significantamount of alveolar type
conslidation". Seringkali panas dan takipnea sudah timbul sebelum terlihat perubahan pada
foto torak.2
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif tidak perlu dilakukan, tetapi
pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam memprkirakan mikroorganisme
penyebab. Lekositosis >15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi netrofil pada hitung
jenis atau adanya pergeseran ke kiri menurunkan bakteri sebagai penyebab. Lekosit
>30.000/UL dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus dan
stafilokokus.3
Laju endap darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan indikator inflamasiyang
tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah
kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan

15
pneumonia alveolar dibandingkan pasien dengan pneumonia intersitialis. Begitu pula pada
kasus pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae akan menunjukkan
kadar CRP yang lebih tinggi secara signifikan dibanding nonpneumococcal pneumonia.4
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif
pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu
padapenanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan
pneumokokus yang tidak menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal. Kultur
darah juga direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang
dari 3 bulan.5
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat mtuk diagnosis
Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma. Pemeriksaan PCR mahal, tidak
tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal pneumonia
sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan.5
Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunofluoresen virus dan
deteksi antigen virus akan membaatu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya
mempunyai sedikit pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini mempunyai
sensitifitas yang tinggi dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV.6
Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan
hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah,normal
atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis
metabolik dan gagal nafas.6

3.1.8 Diagnosis
Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksaan
guna mencari etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemerlksaan sputum, secret
nasofaring bagian posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, perkutaneus
lung aspiration dan biopsi paru bila diperlukan. Tetapi pemeriksaan ini banyak kendalanya
baik dari segi teknis maupun biaya. Secara umum kuman penyebab spesifik hanya dapat
diidentifikasi kurang darr 50% kasus. Dengan demikian pneumonia didiagnosis terutama
berdasarkan manifestasi klinis dibantu pemeriksaan penunjang yang lain seperti foto
rontgen dada.4
Tetapi tanpa pemeriksaan mikrobiologi kesulitan yang lebih besar adalah
membedakan kuman penyebab; bakteri, virus atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih

16
sering mengenai bayi dan balita dibandingkan anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial
biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai menggigil dan
sesak memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan pasien tidak
tampak sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah secara bertahap.
Infeksi virus biasanya melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus).
Semakin banyak organ terlibat, makin besar kemungkinan virus sebagai penyebab.9
Pneumonia oleh karena mikoplasma pneumonia mungkin menunukkan gejala
wheezing dan batuk sehingga infeksi oleh karena mikoplasma pneumonia dapat
dipertimbangkan pada anak dengan kecurigaan asma yang tidak respon dengan
pengobatan. Infeksi mikoplasma seringkali disertai juga dengan nyeri perut atau nyeri
dada. Nyeri perut juga bisa disebabkan oleh pneumonia bakterial yang mengiritasi
diafragma.10

3.1.9 Penatalaksanaan
Idealnya penatalaksanaan pneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya.
Namunkarena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia
diberikan antibiotika secara ernpiris. Walaupun pneumonia viral dapat ditatalaksana tanpa
antibiotika, tetapi pasien diberikan antibiotika karena kesulitan membedakan infeksi virus
dengan bakteri, kesulitan diagnosis virologi dan kesulitan dalam isolasi penderita,
disamping itu kemungkinan infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.4
Golongan beta laktam (Penisilin, sefalosporin, karbapenem dan monobaktam)
merupakan jenis-jenis antibiotika yang sudah dikenal cukup luas. Biasanya digunakan
untuk terapi pneumonia yang disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenza dan Staphylococcus aureus. Pada kasus yang berat diberikan
golongan sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabaya belum diketahui.
Sedangkan pada kasus yang ringan, sedang, dipilih golongan penisilin.4
Streptokokus dan pneumokokus merupakan kuman gram positif yang dapat
dicakup oleh ampisilin, sedangkan hemofilus sebagai kuman gram negatif dapat dicakup
oleh ampisilin dan kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai
antibiotika lini pertama untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien
pneumonia yang community acquired, umumnya ampisilin dan kloramfenikol masih
sensitif. Pilihan berikutnya adalah obat golongan sefalosporin.8
Penanganan pneumonia pada neonatus serupa dengan penanganan infeksi neonates
pada umumnya. Antibiotika yang diberikan harus dapat mencakup kuman kokus gram

17
positif terutama Streptococcus group B dan batang gram negatif. Penisilin dan derivatnya
merupakan pilihan utama untuk gram positif sedangkan untuk kuman gram negatif
terutama Escherichia coli dan Proteus mirabilis digunakan golongan aminoglikosida
Kombinasi kloksasilin dan gentamisin efektif untuk terapi pneumonia dibawah 3 bulan
karena dapat mencakup kuman Staphylococcusaureus.Umur kehamilan berat badan lahir
dan umur bayi akan menentukan dosis dan frekuensi pemberian obat khususnya untuk
golongan aminoglikosida. Sefalosporin generasi 3 dapat digunakan jika ada kecurigaan
penyebab bakteri batang gram negatif.8
Mengenai penggunaan makrolid pada preumonia atipik yang diduga disebabkan
oleh klamidia dan mikoplasma, telah banyak dilaporkan. Pemberian azitromisin dan
klaritomisin sama efektifnya dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik.Pemberian
azitromisin tolerabilitasnya cukup baik serta efek sampingnya minimalbila dibandingkan
dengan amoksisilin asam klavulanik. Pemberian azitromisin sekali sehari selama 3 hari
efektifitasnya setara dengan pemberian amoksisilin asam klavulanik selama 10 hari.
Penggunaan klaritromisin secara multisenter pada pneumonia mendapatkan hal yang cukup
baik dalam hal efektifitas dan efek samping. Efek samping gangguan gastrointestinal
seperti mual, muntah, nyeri abdomen didapatkan pada sebagian kecil pasien yang tidak
berbeda bermakna dengan antibiotika lain.10
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 48-72 jam. Bila tidak ada perbaikan klinis
dilakukan perubahan pemberian antibiotik sampai anak dinyatakan sembuh. Lama
pemberian antibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita hasil laboratoris, foto
rontgen dada dan jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah stafilokokus
diperlukan pemberian terapi 6-8 minggu secara parenteral, Jika penyebab Haemophyllus
influenza atau streptococcus pneumoniae pemberian terapi secara parenteral cukup 10-14
hari. Secara umum pengobatan antibiotik untuk pneumonia diberikan 10-14 hari.10
Pada keadaan imunokompromais (gizi buruk, penyakit jantung bawaan, gangguan
neuromuskular, keganasan, pengobatan kortikosteroid jangka panjang,fibrosis kistik,
infeksi HIV), pemberian antibiotik harus segera dimulai saat tanda awal pneumonia
didapatkan dengan pilihan antibiotik : sefalosporin generasi 3. Dapat dipertimbangkan juga
pemberian:
- Kotrimoksasol pada Pneumonia Pneumokistik Karini
- Arti viral (Asiklovir, gansiklovir) pada pneumonia karena sitomegalovirus
- Anti jamur (amphotericin B, ketokenazol, flukonazol) pada pneumonia karena jamur
- Pemberian imunoglobulin

18
WHO menyarankan untuk pengobatan pneumonia (adanya nafas cepat tanpa
penarikan dinding dada/chest indrawing) sebaiknya dirawat secara poliklinis dengan
antibiotik oral. Pilihan antibiotik yang digunakan adalah amoksisilin, ampisilin
trimetoprim/sulfametoksazol atau penisilin prokain selama 5 hari. Tetapi ketika didiagnosis
dengan pneumonia berat (didapatkan chestindrawing) maka pasien dirawat inapkan dan
diberikan antibiotika secara parenteral seperti benzylpenisilin atau ampisilin.
Kloramfenikol juga dapat diberikan, dimana pada beberapa daerah tertentu dapat diberikan
secara intramuskular. Pada bayi berumur kurang dan 2 bulan, WHO merekomendasikan
pemberian penisilin dan gentamisin. Dengan penerapan kriteria WHO ini, terjadi
penurunan angka kematian karena infeksi saluran nafas di negara-negara berkembang.9
British Thoracic Society (BTS) merekomendasikan bahwa antibiotik secara
parenteral diberikan pada anak-anak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak bisa
menerima antibiotika oral.
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat:
 Penderita tampak toksik
 Umur kurangdari 6 bulan
 Distres pernafasan berat
 Hipoksemia (safurasi oksigen kurang dari 93-94% pada kondisi ruangan)
 Dehidrasi atau muntah
 Terdapat efusi pleura atau abses paru
 Kondisi imunokompromais
 Ketidakmampuan orangtua untuk merawat
 Didapatkan penyakit penyerta lain, misalnya penyakit jantung bawaan
 Pasien membutuhkan pemberian antibiotika secara parenteral10
Terapi suportif yang diberikan kepada penderita pneumonia.
1) Pemberian oksigen melalui kateter hidung atau masker. Jika penyakitnya berat
dan sarana tersedia alat bantu napas mungkin diperlukan terutama bila terdapat
tanda gagal nafas.
2) Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan rumatan yang diberikan
mengandung gula dan elektrolit yang cukup. Jumlah cairan sesuai berat badan
kenaikan suhu dan status hidrasi. Pasien yang mengalami sesak yang berat dapat
dipuasakan, tetapi bila sesak sudah berkurang asupan oraldapat segera diberikan.
Pemberian asupan oral diberikan bertahap melalui NGT (selang nasogastrik)

19
drip susu atau makanan cair. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari
kebutuhan rumatan untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH
(Syndrome of InrapropriateAnti Diuretic Hormone).
3) Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normaluntuk
memperbaiki transpor mukosiliar.
4) Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi misalnya hipoglikemi
asidosis metabolic.
5) Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare dan lainnya serta
komplikasi bila ada.10
3.1.10 Komplikasi
1. Efusi pleura
Jika terjadi efusi pleura kemungkinan disebabkan oleh infeksi stafilokokus.
Jika efusi minimal dan respon pasien baik terhadap pemberian antibiotika maka
pemberian antibiotika tetap diteruskan. Jika efusi cukup banyak maka
perludilakukan pungsi cairan pleura (pleura tap) untuk diagnostik (pemeriksaan
makroskopik, pengecatan gram, jumlah sel, kultur). Penentuan antibiotika
selanjutnya dapat didasarkan dari hasil kultur.4
Indikasi pemasangan pleural drain:
 Perjalanan klinis berlangsung progresif
 Efusi pleura bertambah walaupun sudah mendapat antibiotik
 Distres nafas berat
 Terjadi pergeseran mediastinum (mediastinal shift)
 Didapatkan cairan yang purulen saat dilakukan pungsi pleura
2. Abses paru
Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling banyak tetapi
jugaterdapat kemungkinan infeksi oleh karena kuman anaerob. Pemberian
antibiotikaparenteral diteruskan sampai 7 hari bebas demam, dilanjutkan pemberian
oralantibiotik sampai lamaterapi mencapai minimal4 minggu.8
3. Empiema
Seringkali disebabkan oleh Staphylococcus aureus, streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae dan Streptococcus group A. Selain itu
terdapat juga kemungkinan infeksi kuman anaerob. Selain pemberian antibiotika
yang optimal sesuai dugaan kuman penyebab, diindikasikan juga pemasangan

20
pleural drain. Tujuan akhir perawatan adalah mengeliminasi infeksi dan
komplikasi, mengembangkan kembali paru-paru serta menurunkan waktu
perawatan.8
4. Sepsis
Sepsis sebagai komplikasi dari pneumonia tenrtama disebabkan oleh
Staphyllococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae. Penanganan dengan
antibiotika yang sesuai dan terapi suportif lainnya.10
5. Gagal nafas
Pada kondisi gagal nafas, perlu dilakukan intubasi dan pemberian bantuan
ventilasi mekanik.10

3.1.11 Pencegahan
Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan
pneumonia. Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis
danvarisela sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut
akan membantu menurunkan insiden pneumonia. Pneumonia yang disebabkan oleh
Haemophillus influenza dapat juga dicegah dengan pemberian imunisasi Hib.9
Pencegahan lain dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap
rokokdan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan
membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita,
menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI,
menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.10

3.2SINDROM DOWN
3.2.1 Definisi Sindrom Down
Sindrom Down merupakan kelainan genetik yang dikenal sebagai trisomi, karena
individu yang mendapat sindrom Down memiliki kelebihan satu kromosom. Mereka
mempunyai tiga kromosom 21 dimana orang normal hanya mempunyai dua saja.
Kelebihan kromosom ini akan mengubah keseimbangan genetik tubuh dan
mengakibatkan perubahan karakteristik fisik dan kemampuan intelektual, serta
gangguan dalam fungsi fisiologi tubuh.11

21
3.2.2 Epidemiologi
Sindrom down merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak
terjadi pada manusia. Kejadian sindrom down di perkirakan 1 per 800 sampai 1 per
1000 kelahiran. Pada tahun 2006 pusat pengendalian dan pencegahan penyakit
memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai 1 per 733 kelahiran hidup di Amerika
Serikat ( 5429 kasus baru pertahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah trisomi 21.
Sindrom down terjadi pada semua kelompok etnis dan diantara semua golongan tingkat
ekonomi.12
Kebanyakan anak dengan sindrom down dilahirkan oleh wanita yang berusia
diatas 35 tahun. Sindrom down dapat terjdi ada semua ras. Angka kejadian pada kulit
putih lebih tinggi dari kulit hitam. Sumber lain mengatakan bahwa angka kejadian 1,5
per 1000 kelahiran, terdapat pada penderita retardasi mental sekitar 10%, Secara
statistik lebih banyak dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 30 tahun, prematur
dan pada ibu yang usia terlalu muda.12

3.2.3 Klasifikasi
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler,translokasi dan
mosaik.
1) Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler. Kesemua sel dalam tubuh akan
mempunyai tiga kromosom 21. Sembilan puluh empat persen dari semua kasus
sindrom Down adalah dari tipe ini16
2) Tipe yang kedua adalah translokasi. Pada tipe ini, kromosom 21 akan
berkombinasi dengan kromosom yang lain. Seringnya salah satu orang tua yang
menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini tidak menunjukkan karakter
penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total kasus.16
3) Tipe ketiga adalah mosaik. Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang
mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua persen adalah penderita tipe mosaik
ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan.16

3.2.4 Etiologi
Sindroma Down disebabkan oleh trisomi 21, autosomal trisomi yang paling
sering pada bayi baru lahir. Tiga tipe abnormalitas sitogenik pada fenotipe Sindroma
Down adalah: trisomi 21 (47, +21), di mana terdapat sebuah salinan tambahan pada
kromosom 21, diperkirakan 94%. Translokasi Robertsonian pada kromosom 21,

22
sekitar 3-4%. Translokasi Robertsonian adalah penyusunan seluruh lengan pada
kromosom akosentrik (kromosom manusia 13-15, 21, dan 22) dan juga bisa berupa
sebuah translokasi antara kromosom 21 (atau ujung 21q saja) dan sebuah kromosom
nonakrosentrik. Trisomi 21 mosaikisme (47, +21/46), terjadi pada 2-3% kasus. Pada
bentuk ini, terdapat dua kelompok sel: sebuah sel normal dengan 46 kromosom dan
kelompok lain dengan trisomi 21.12
Salinan tambahan pada kromosom 21 biasanya disebabkan oleh nondisjunction,
sebuah kesalahan selama meosis. Nondisjunction adalah kegagalan kromosom
homolog untuk pemisahan selama meosis I atau meosis II. Oleh karena itu, satu anak
sel menurunkan tiga kromosom pada kromosom yang terkena dan menjadi trisomi,
sedangkan anak sel lainnya menurunkan satu kromosom yang menyebabkan
monosomi.12
Kesalahan dalam meosis yang menyebabkan non disjunction sebagian besar
diturunkan dari ibu; hanya sekitar 5% terjadi selama spermatogenesis. Kesalahan pada
meosis meningkat seiring dengan pertambahan usia ibu. Kesalahan yang diturunkan
dari ibu paling sering terjadi pada meosis I (76-80%) dan terjadi pada 67-73% pada
kasus trisomi 21. Kesalahan yang diturunkan dari ibu lainnya terjadi pada meosis II
dan mungkin diakibatkan oleh kegagalan pemisahan pasangan kromatid. Mereka
terjadi pada 18-20% kasus trisomi 21. Nondisjunction yang diturunkan dari ayah
biasanya terjadi pada meosis II.13
Mekanisme nondisjunction masih belum jelas. Hal itu mungkin berhubungan
dengan kegagalan pada rekombinasi, di mana proses alami pemecahan dan
penggabungan kembali susunan DNA selama meosis untuk membentuk kombinasi
baru pada gen agar menghasilkan variasi genetik.11
Pada beberapa studi, peningkatan risiko pada nondisjunction meosis telah
dihubungkan dengan polimorfik maternal pada gen yang mengkode enzim yang
memetabolisme folat, methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) dan methionine
synthase (MTRR).13
Diperkirakan 5% kasus kromosom ekstra 21 muncul diakibatkan oleh kesalahan
pada mitosis. Kasus ini tidak berkaitan dengan meningkatnya umur ibu.
Translokasi trisomi 21, yaitu ketidakseimbangan translokasi Robertsonian,
seluruh lengan panjang pada sebuah kromosom ditranslokasikan ke lengan panjang
pada sebuah kromosom akosentrik melalui penggabungan sentral. Pada Sindroma
Down, bentuk yang paling umum adalah translokasi yang mengenai kromosom 14 dan

23
21. Individu yang memiliki 46 kromosom, tetapi kromosom 14 mengandung lengan
panjang kromosom 14 dan 21. Hal ini memberikan tiga salinan pada lengan panjang
kromosom 21 (dua berasal dari kromosom 21 dan yang ketiga berasal dari lengan
panjang yang ditranslokasikan dari kromosom 14).
Mayoritas translokasi Robertsonian yang mengakibatkan trisomi 21 adalah
mutasi yang baru. Mereka hampir selalu berasal dari ibu dan terjadi terutama selama
oogenesis. Sindroma Down yang disebabkan oleh mekanisme ini tidak berhubungan
dengan umur ibu12
Sejauh ini, tidak ditemukan hubungan antara Sindroma Down dan diet, obat-
obatan, ekonomi, status, ataupun gaya hidup. Risiko Sindroma Down juga tidak
meningkat meskipun memiliki saudara dengan Sindroma Down. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa Sindroma Down sedikit lebih umum terjadi pada keluarga
dengan penyakit Alzheimer dalam satu atau lebih anggota keluarga yang lebih tua13

Gambar 2.1 Kelebihan Kromosom 21 Pada Penderita Sindrom Down

3.2.5 Faktor Risiko


Risiko untuk mendapat bayi dengan sindrom Down didapatkan meningkat dengan
bertambahnya usia ibu saat hamil, khususnya bagi wanita yang hamil pada usia di atas
35 tahun. Walau bagaimanapun, wanita yang hamil pada usia muda tidak bebas
terhadap risiko mendapat bayi dengan sindrom Down.11
Harus diingat bahwa kemungkinan mendapat bayi dengan sindrom Down adalah
lebih tinggi jika wanita yang hamil pernah mendapat bayi dengan sindrom Down, atau
jika adanya anggota keluarga yang terdekat yang pernah mendapat kondisi yang sama.
Walau bagaimanapun kebanyakan kasus yang ditemukan didapatkan ibu dan
bapaknya normal.11

24
3.2.6 Patofisiologi
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan
menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proseshidup yang signifikan
secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan
morbiditas prenatal dan postnatal.Anak–anak yang terkena biasanya mengalami
keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan
gigiyang lambat.15
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik
yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada
ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular
menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21 bertanggungjawab
menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara
gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi
mental dan defek jantung.16
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme thiroid dan
malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem
imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk
hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap
proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain
yang abnormal. Sebagai contoh, anak – anak dengan sindrom Down yang menderita
leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik
menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi
terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada
penderita Sindrom Down.16
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia,
seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan AcuteMegakaryocytic Leukemia.
Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia
terjadi akibat mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia
pada anak – anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi
GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum
diketahui pasti.14

25
3.2.7 Manifestasi Klinis
Sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat dengan
mudah mengenalinya. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan berbagai
gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai
berikut:11
1) Pertumbuhan: tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja
2) Sistem saraf pusat: retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85
(rata-rata 50). Hipotonia meningkat sejalan dengan umur. Gangguan
artikulasi. Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran napas
atas ke paru mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal itu sering
mengakibatkan hipoksemia atau hiperkarbia.Gangguan kejang: spasme
infantil sering terjadi pada masa bayi, sedangkan kejang tonik-klonik sering
pada pasien yang lebih tua.
3) Tulang tengkorak: brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput
datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic suture,
tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus maksilaris.
4) Mata: fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus
(44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis, kongenital katarak
(3%), pseudopapiledema, kekeruhan lensa yang didapat (30-60%), dan
keratokonus pada orang dewasa.
5) Hidung: tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar.
6) Mulut dan gigi: mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang bercelah,
pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang merekah,
angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi, malformasi gigi,
erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%) pada pertumbuhan gigi
primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi gigi, dan maloklusi.
7) Telinga: telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media
kronis dan hilang pendengaran sering terjadi.
8) Leher: atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan
ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas yang
melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid berpindah
ke belakang, mengakibatkan kompresi medula spinalis.

26
9) Penyakit jantung bawaan: penyakit jantung bawaan sering terjadi (40-50%);
hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down yang berada
di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering terjadi pada kasus
ini pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung bawaan yang sering
terjadi adalah endocardial cushion defect (43%), ventricular septal defect
(32%), secundum atrial septal defect (10%), tetralogy of Fallot (6%), dan
isolated patent ductus arteriosus (4%). Sekitar 30% pasien mengalami cacat
jantung yang berat. Lesi yang paling sering adalah patent ductus arteriosus
(16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar 70% dari semua endocardial
cushion defects berhubungan dengan Sindroma Down.11
 Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya
kelainan anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak
sempurna sewaktu tahap embrio. Kelainan yang sering di hubungkan dengan
AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of the aorta, atrial septal
defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonaryvenous return.
Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya
berada dalam kondisi asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan
masalah akan mula timbul pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Pasien
akan mula mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang akhirnya
akan menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti
akan terjadi gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain takipnu
dan penurunan berat badan.12
 Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk
kepadakondisi dimana adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel.
Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali primer, dengan atau tanpa defek
kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan seperti Tetralogy
of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defect stransposition of
great arteries, dan corrected transpositions.12
 Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau
jaluryang menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau

27
sebaliknya, melalui septum interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum
ini, darah arterial dan darah venous akan bercampur, yang bisaatau tidak
menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah inijuga disebut
sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebihberbahaya.12
 Tetralogy of Fallot (TOF)
Terdapat empatabnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertamaadalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan
padakatup pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka
kearahluar dari ventrikel kanan. Ini akan menimbulkan restriksi pada aliran
darahakan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat yang akhirnya
akanmenimbulkan hipertrofi pada ventrikel.Kedua adalah ventricular septal
defect. Pada kondisi ini, adanyalubang pada dinding yang memisahkan dua
ventrikel, akan menyebabkandarah yang kaya oksigen dan darah yang kurang
oksigen bercampur.Akibatnya akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar
ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis.Ketiga
adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve stenosis.
Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi karena darah
masih lagi bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat,
darah yang sampai ke paru adalah lebih sedikit maka sianosis akan menjadi
lebih berat12
 Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anakgagal
menutup dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising
jantung. Simptom yang terjadi antara lain adalah nafas yang pendek dan
aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal jantung kongestif.
Semakin besar PDA, semakin buruk status kesehatan penderita (Amik K,
2008).
10) Sistem saluran cerna (12%): Kelainan pada sistem gastrointestinal pada
penderita sindrom Down yang dapat ditemukan adalah atresia atau stenosis,
Hirschsprung disease (<1%),TE fistula, Meckel divertikulum, anus
imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan
Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom
Down adalah sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu
spesifik pada human leukocyte antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga
28
DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat antara hipersensitivitas dan
spesifikasi yang jelek (Livingstone, 2006).
11) Saluran urin dan kelamin: malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis, dan
kriptorkoidisme.
12) Skeletal: tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari ke lima dengan
lipatan fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak
antara dua jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
13) Sistem endokrin: tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme
adalah gangguan tiroid yang paling sering didapat pada pasien Sindroma
Down. Diabetes dan menurunnya kesuburan juga dapat terjadi.
14) Sistem hematologi: anak dengan Sindroma Down memiliki risiko untuk
mengalami leukemia, termasuk leukemia limfoblastik akut dan leukemia
mieloid. Risiko relatif leukemia akut pada umur 5 tahun 56 kali lebih besar
daripada anak tanpa Sindroma Down. Transient Myeloproliferative Disease
(TMD) adalah abnormalitas hematologi yang sering mengenai bayi Sindroma
Down yang baru lahir. TMD dikarakteristikkan dengan proliferasi mieoblas
yang berlebihan di darah dan sumsum tulang. Diperkirakan 10% bayi dengan
Sindroma Down mengalami TMD.
15) Imunodefisiensi: pasien Sindroma Down memiliki risiko 12 kali untuk
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia, karena kerusakan imunitas
seluler.
16) Kulit: xerosis, lesi hiperkeratotik terlokalisasi, serpiginosa elastosis, alopesia
areata, vitiligo, dan infeksi kulit berulang 13

Gambar 2.4 Penampakan Fisik Penderita Sindrom Down

29
Gambar 2.5 Tanda dan Gejala Pada Anak Dengan Sindrom Down

20) Gangguan Psikologis


Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri
atau prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risikomen dapat
gangguan psikis. Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder,
gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrumAutisme.13

3.2.8 Pemeriksaan Penunjang


1) Hematologi
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuk Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10%
bayi yang lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang
berasal dari progenitor myeloid padahati yang mempunyai karekter mutasi pada
GATA1, yang terlokalisir pada kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini
dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient Myeloproliferative Disease
(TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM)15
2) Skrining
Selama 20 tahun terakhir, teknologi baru telah meningkatkan metode
deteksi kelainan janin, termasuk sindrom Down. Dalam deteksi sindrom Down
dapart dilakukan deteksi dini sejak dalam kehamilan. Dapat dilakukan tes
skrening dan tes diagnostik.Dalam tes diagnostik, hasil positif berarti
kemungkinan besar pasien menderita penyakit atau kondisi yang memprihatinkan.

30
skrining, tujuannya adalah untuk memperkirakan risiko pasien yang memiliki
penyakit atau kondisi. Tes diagnostik cenderung lebih mahal dan memerlukan
prosedur yang rumit; tes skrining cepat dan mudah dilakukan.Namun, tes skrining
memiliki lebih banyak peluang untuk salah: ada “false-positif”  (test menyatakan
kondisi pasien ketika pasien benar-benar tidak) dan “false-negatif” (pasien
memiliki kondisi tapi tes menyatakan dia / dia tidak). 15
3) Maternal Serum Screening
Darah ibu diperiksa kombinasi dari berbagai marker: alpha-fetoprotein
(AFP), unconjugated estriol (uE3), dan human chorionic gonadotropin (hCG)
membuat tes standar, yang dikenal bersama sebagai “tripel tes.”Tes ini merupakan
independen pengukuran, dan ketika dibawa bersama-sama dengan usia ibu
(dibahas di bawah), dapat menghitung risiko memiliki bayi dengan sindrom
Down.Selama lima belas tahun terakhir, ini dilakukan dalam kehamilan 15 sampai
minggu ke-18
Baru-baru ini, tanda lain yang disebut Papp-A ternyata bisa berguna bahkan
lebih awal.
 Alpha-fetoprotein dibuat di bagian rahim yang disebut yolk sac dan di hati
janin, dan sejumlah AFP masuk ke dalam darah ibu. Pada sindrom Down, AFP
menurun dalam darah ibu, mungkin karena yolk sac dan janin lebih kecil dari
biasanya.
 Estriol adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, menggunakan bahan yang
dibuat oleh hati janin dan kelenjar adrenal. estriol berkurang dalam sindrom
Down kehamilan.
 Human chorionic gonadotropin hormon yang dihasilkan oleh plasenta, dan
digunakan untuk menguji adanya kehamilan. bagian yang lebih kecil tertentu
dari hormon, yang disebut subunit beta, adalah sindrom Down meningkat pada
kehamilan.
 Inhibin A adalah protein yang disekresi oleh ovarium, dan dirancang untuk
menghambat produksi hormon FSH oleh kelenjar hipofisis. Tingkat inhibin A
meningkat dalam darah ibu dari janin dengan Down syndrome.
 PAPP-A , yang dihasilkan oleh selubung telur yang baru dibuahi. Pada
trimester pertama, rendahnya tingkat protein ini terlihat dalam sindrom Down
kehamilan.

31
Pertimbangan yang sangat penting dalam tes skrining adalah usia janin
(usia kehamilan). Analisis yang benar komponen yang berbeda tergantung pada
usia kehamilan mengetahui dengan tepat. Cara terbaik untuk menentukan bahwa
adalah dengan USG.15
4) Ultrasound Screening (USG Screening)
Kegunaan utama USG (juga disebut sonografi) adalah untuk
mengkonfirmasi usia kehamilan janin (dengan cara yang lebih akurat daripada
yang berasal dari ibu siklus haid terakhir). Manfaat lain dari USG juga dapat
mengambil masalah-masalah alam medis serius, seperti penyumbatan usus kecil
atau cacat jantung. Mengetahui ada cacat ini sedini mungkin akan bermanfaat
bagi perawatan anak setelah lahir. Pengukuran Nuchal fold juga sangat
direkomendasikan.
Ada beberapa item lain yang dapat ditemukan selama pemeriksaan USG
bahwa beberapa peneliti telah merasa bahwa mungkin memiliki hubungan yang
bermakna dengan sindrom Down. Temuan ini dapat dilihat dalam janin normal,
tetapi beberapa dokter kandungan percaya bahwa kehadiran mereka
meningkatkan risiko janin mengalami sindrom Down atau abnormalitas
kromosom lain. echogenic pada usus, echogenic intracardiac fokus, dan
dilitation ginjal (pyelctasis). Marker ini sebagai tanda sindrom Down masih
kontroversial, dan orang tua harus diingat bahwa setiap penanda dapat juga
ditemukan dalam persentase kecil janin normal. Penanda yang lebih spesifik
yang sedang diselidiki adalah pengukuran dari hidung janin; janin dengan Down
syndrome tampaknya memiliki hidung lebih kecil USG dari janin tanpa kelainan
kromosom. masih belum ada teknik standar untuk mengukur tulang hidung dan
dianggap benar-benar dalam penelitian saat ini.
Penting untuk diingat bahwa meskipun kombinasi terbaik dari temuan
USG dan variabel lain hanya prediksi dan tidak diagnostik. Untuk benar
diagnosis, kromosom janin harus diperiksa.15
5) Amniosentesis
Prosedur ini digunakan untuk mengambil cairan ketuban, cairan yang ada
di rahim. Ini dilakukan di tempat praktek dokter atau di rumah sakit. Sebuah
jarum dimasukkan melalui dinding perut ibu ke dalam rahim, menggunakan
USG untuk memandu jarum. Sekitar satu cairan diambil untuk pengujian. Cairan
ini mengandung sel-sel janin yang dapat diperiksa untuk tes kromosom.

32
Dibutuhkan sekitar 2 minggu untuk menentukan apakah janin sindrom Down
atau tidak.
Amniocentesis biasanya dilakukan antara 14 dan 18 minggu kehamilan;
beberapa dokter mungkin melakukannya pada awal minggu ke-13. Efek samping
kepada ibu termasuk kejang, perdarahan, infeksi dan bocornya cairan ketuban
setelah itu. Ada sedikit peningkatan risiko keguguran: tingkat normal saat ini
keguguran kehamilan adalah 2 sampai 3%, dan amniosentesis meningkatkan
risiko oleh tambahan 1/2 sampai 1%. Amniosentesis tidak dianjurkan sebelum
minggu ke-14 kehamilan karena risiko komplikasi lebih tinggi dan kehilangan
kehamilan.
Rekomendasi saat ini  wanita dengan risiko memiliki anak dengan sindrom
Down dari 1 dalam 250 atau lebih besar harus ditawarkan amniosentesis. Ada
kontroversi mengenai apakah akan menggunakan risiko pada saat penyaringan
atau perkiraan resiko pada saat kelahiran. (Risiko pada saat skrining lebih tinggi
karena banyak janin dengan Down syndrome membatalkan secara spontan
sekitar waktu penyaringan atau sesudahnya.15
6) Chorionic Villus Sampling (CVS) Chorionic Villus Sampling (CVS)
Dalam prosedur ini, bukan cairan ketuban yang diambil, jumlah kecil
jaringan diambil dari plasenta muda (juga disebut lapisan chorionic). Sel-sel ini
berisikromosom janin yang dapat diuji untuk sindrom Down. Sel dapat
dikumpulkan dengan cara yang sama seperti amniosentesis, tetapi metode lain
untuk memasukkan sebuah tabung ke dalam rahim melalui vagina.
CVS biasanya dilakukan antara 10 dan 12 minggu pertama kehamilan.
Efek samping kepada ibu adalah sama dengan amniosentesis (di atas). Risiko
keguguran setelah CVS sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan amniosentesis,
meningkatkan risiko keguguran normal 3 sampai 5%. Penelitian telah
menunjukkan bahwa dokter lebih berpengalaman melakukan CVS, semakin
sedikit tingkat keguguran.15
3.2.9 Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk
mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga
dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun
kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian
penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta

33
kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan
kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya.
Walaupun secara jumlah meningkat, namun penderita down syndrome lebih
banyak yang berprestasi dan hidup lebih lama dibanding orang dengan kehidupan
yang lebih berkecukupan. Dengan kata lain, harapan hidup dan mutu kehidupan para
penderitadown syndrome jauh meningkat beberapa tahun terakini. Perbaikan kualitas
hidup pengidap down sindrom dapat terjadi berkat perawatan kesehatan, pendekatan
pengajaran, serta penanganan yang efektif.
1) Stimulasi Dini
Stimulasi sedini mungkin kepada bayi yang DS, terapi bicara, olah tubuh,
karena otot-ototnya cenderung lemah. Memberikan rangsangan-rangsangan
dengan permainan-permainan layaknya pada anak balita normal, walaupun
respons dan daya tangkap tidak sama, bahkan mungkin sangat minim karena
keterbatasan intelektualnya. Program ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi
orang tua untuk memberi lingkunga yang memeadai bagi anak dengan syndrom
down, bertujuan untuk latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak
mampu berbahasa. Selain itu agar ankak mampu mandiri sperti berpakaian,
makan, belajar, BAB/BAK, mandi,yang akan memberi anak kesempatan.Pada
umumnya kelebihannya adalah penurut, periang, rajin, tepat waktu. Untuk anak
yang sudah mendapat pendidikan atau terapi, mereka sangat menyenangi hal-hal
yang rutin. Jadi, mereka lebih disiplin dari anak-anak biasa sehingga bila sudah
diberikan suatu jadwal kegiatan tiap hari, mereka akan sangat ngotot untuk
melakukan jatahnya, walaupun orang tua berusaha untuk menjelaskan, kadang-
kadang malah membuatnya sedih dan ngambek. Ini juga karena intelektual anak
yang kurang sehingga belum mempunyai pengertian yang baik.13
2) Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi
adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat
meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya
leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga
penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi
yang adekuat.14

3) Fisioterapi

34
Penanganan  fisioterapi menggunakan tahap perkembangan
motorik kasar untuk mencapai manfaat yang maksimal dan menguntungkan
untuk tahap perkembangan yang berkelanjutan. Tujuan dari fisioterapi disini
adalah membantu anak mencapai perkembangan terpenting secara maksimal
bagi sang anak, yang berarti bukan untuk menyembuhkan penyakit down
syndromenya. Dan ini harus dikomunikasikan sejak dari awal antara fisioterapis
dengan pengasuhnya supaya tujuan terapi tercapai.
Fisioterapi pada Down Syndrom adalah membantu anak belajar untuk
menggerakkan tubuhnya dengan cara/gerakan yang tepat (appropriate ways).
Misalkan saja hypotonia pada anak dengan Down Syndrome dapat menyebabkan
pasien berjalan dengan cara yang salah yang dapat mengganggu posturnya, hal
ini disebut sebagai kompensasi.
Tanpa fisioterapi sebagian banyak anak dengan Down Syndrome
menyesuaikan gerakannya untuk mengkompensasi otot lemah yang dimilikinya,
sehingga selanjutnya akan timbul nyeri atau salah postur.
Tujuan fisioterapi adalah untuk mengajarkan pada anak gerakan fisik yang
tepat. Untuk itu diperlukan seorang fisioterapis yang ahli dan berpengetahuan
dalam masalah yang sering terjadi pada anak Down syndrome seperti low
muscle tone, loose joint dan perbedaan yang terjadi pada otot-tulangnya.
Fisioterapi dapat dilakukan seminggu sekali untuk terapi, tetapi terlebih
dahulu fisioterapi melakukan pemeriksaan dan menyesuaikan dengan kebutuhan
yang dibutuhkan anak dalam seminggu. Disini peran orangtua sangat diperlukan
karena merekalah nanti yang paling berperan dalam melakukan latihan dirumah
selepas diberikannya terapi. Untuk itu sangat dianjurkan untuk orangtua atau
pengasuh mendampingi anak selama sesi terapi agar mereka mengetahui apa-apa
yg harus dilakukan dirumah.14
4) Terapi Perilaku Kognitif
a) Terapi Wicara. Suatu terapi yang di perlukan untuk anak DS yang mengalami
keterlambatan bicara dan pemahaman kosakata.
b)Terapi Okupasi. Terapi ini diberikan untuk melatih anak dalam hal
kemandirian, kognitif/pemahaman, kemampuan sensorik dan motoriknya.
Kemandirian diberikan kerena pada dasarnya anak DS tergantung pada orang
lain atau bahkan terlalu acuh sehingga beraktifitas tanpa ada komunikasi dan

35
tidak memperdulikan orang lain. Terapi ini membantu anak mengembangkan
kekuatan dan koordinasi dengan atau tanpa menggunakan alat.
c) Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
kemampuan akademis dan yang dijadikan acuan terapi ini adalah bahan-
bahan pelajaran dari sekolah biasa
d)Terapi Sensori Integrasi. Sensori Integrasi adalah ketidakmampuan mengolah
rangsangan / sensori yang diterima. Terapi ini diberikan bagi anak DS yang
mengalami gangguan integrasi sensori misalnya pengendalian sikap tubuh,
motorik kasar, motorik halus dll. Dengan terapi ini anak diajarkan melakukan
aktivitas dengan terarah sehingga kemampuan otak akan meningkat.
e) Terapi Tingkah Laku (Behaviour Theraphy) mengajarkan anak DS yang sudah
berusia lebih besar agar memahami tingkah laku yang sesuai dan yang tidak
sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat.15
3.2.10 Prognosis
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun.
Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan
fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya
ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang
memperburuk prognosis.Sebesar 44% penderita sindroma Down hidup sampai 60
tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko terkena
leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit
Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44
tahun.14
3.2.11 Komplikasi
Anak-anak dengan sindrom Down bisa mempunyai berbagai komplikasi, ada
yang menjadi lebih menonjol sesuai dengan umur yang semakin meningkat, antara
komplikasi yang timbul termasuk:16
1) Komplikasi Pada Jantung dan Sistem Vaskular
Walapupun lahir secara normal, asimptomatik dan tidak dijumpai murmur, anak
penderita sindrom Down tetap mempunyai risiko mendapat defek pada jantung.
Apabila resistensi pada vaskular pulmonari dapat dideteksi, kemungkinan
terjadinya shunt dari kiri ke kanan dapat dikurangi, sehingga dapat mencegah
terjadinya gagal jantung awal. Apabila tidak dapat dideteksi, keadaan ini akan
menyebabkan hipertensi pulmonal yang persisten dengan perubahan pada

36
vaskular yang ireversibel. Umumnya tatalaksana operatif untuk memperbaiki
defek pada jantung dilakukan setelah anak cukup besar dan kemampuan
bertahan terhadap operasi yang dilakukan lebih baik. Biasanya tindakan operasi
dilakukan apabila anak sudah berusia 6-9 bulan. Saat ini, hasil operasi sudah
lebih baik dan anak yang dioperasi mampu hidup lebih lama
2) Leukemia. Anak-anak dengan sindrom Down lebih cenderung menderita
leukemia. Hal ini berdasarkan pengamatan bahawa leukemia tertentu dapat
berhubungan dengan defek pada kromosom 21.
3) Penyakit menular. Disebabkan sistem imun yang terganggu, penderita sindrom
Down lebih mudah terkena serangan penyakit menular seperti radang paru-paru.
4) Demensia. Resiko untuk terkena demensia di waktu tua, tanda dan gejala
demensia sering muncul sebelum berumur 40 tahun. Mereka yang menderita
demensia juga mempunyai kecenderungan yang tinggi menderita kejang.
5) Apnea tidur. Disebabkan oleh perubahan pada sel jaringan dan tulang yang
menyebabkan penyempitan pada jalan pernafasan, risiko untuk terjadinya sleep
apneu tinggi.
6) Obesitas. Penderita sindrom Down mempunyai kecenderungan yang lebih
besar untuk menjadi obes daripada penduduk umum.
7) Lain-lain. Sindrom Down juga bisadikaitkan dengan keadaan kesehatan yang
lain, termasuk masalah gastrointestinal, masalah tiroid, menopause awal,
kehilangan pendengaran, penuaan dini, masalah tulang dan masalah penglihatan.
Sekitar 20% janin sindrom Down mengalami abortus spontan antara masa
kehamilan 10-16 minggu. Banyak janin tidak berimplantasi pada endometrium atau
ibu mengalami keguguran sebelum usia kehamilan 6-8 minggu.16

3.2.12 Pencegahan
1. Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan
sangat membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.
2. Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan “ gene targeting “ atau yang dikenal
juga sebagai “ homologous recombination “ sebuah gen dapat dinonaktifkan.
3. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan.
Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down
atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau

37
perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan
sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS
merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh
kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak
diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia
ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa
dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan
CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12
minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16
minggu.17

38
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan Kasus


Diagnosis Pneumonia didapatkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pasien sesak nafas yang memberat sejak 3 hari sebelum dibawa ke Rumah Sakit.
Sesak awalnya muncul satu minggu yang lalu, tetapi lama kelamaan setiap hari
muncul tanpa dipengaruhi oleh waktu. Sesak biasanya didahului oleh batuk. Batuk
sudah terjadi satu minggu yang lalu (bersamaan dengan sesak). Demam muncul
bertahap, semakin hari demam semakin panas, tanpa disertai kejang, menggigil,
penurunan kesadaran, meranyau, serta mengigau. Pada pemeriksaan juga ditemukan
adanya tanda-tanda sesak napas yakni frekuensi napas yang meningkat dan terlihat
retraksi pada daerah subcostalis dan intercostalis pada kedua regio thorax pasien. Pada
pemeriksaan foto rontgen thoraks tampak corakan bronchovascular meningkat, tampak
infiltrat di parahiller kanan
Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan
kematian karena pneumonia, yaitu status gizi kurang dan gizi buruk memperbesar
risiko. Pengobatan pada pada pasien ini pada awalnya di beri O2 dengan nasal kanul 2-
3 lpm, diberikan antibiotik sebagai terapi kausatif setelah itu diberi obat-obatan
bronkodilator untuk mengatasi keluhan sesak yang dirasakan pasien seperti nebulasasi
Ventolin
Pada pasien diberikan kortikosteroid Dexamethasone, kortikosteroid sebagai
terapi adjuvant pada pasien anak yang mengalami pneumoni juga sudah diterapkan di
beragam rumah sakit. Inflamasi yang berlebihan dapat memperburuk keadaan pasien
dan berujung pada rusaknya lung parenchyma, bahkan di beberapa kasus yang parah
dapat menyebabkan gagal napas dan syok sepsis. Penggunaan kortikosteroid, salah
satunya dexamethasone, pada anak-anak yang menjalani rawat inap akibat pneumoni
menunjukkan bahwa secara umum durasi rawat inap bagi anak-anak yang mendapat
kortikostreoid lebih pendek jika dibandingkan dengan anak-anak yang hanya
mendapatkan antibiotik.
Gejala klinis pada anak dengan sindrom down ini sangat mirip satu dengan
yang lainnya, retadarsi mental sangat menonjol, kemampuan berfikir dapat
digolongkan pada idiot. Wajah anak sangat khas, kepala agak kecil dan brakisefalik
dengan daerah oksipital yang mendatar. Mukanya lebar, tulang pipi tinggi, hidung

39
pesek, mata letaknya berjauhan serta sipit miring ke atas dan samping (seperti
mongol). Iris mata menunjukan bercak-bercak (bronsfield spots). Lipatan epikantus
jelas sekali. Telinga agak aneh, bibir tebal dan lidah besar, kasar dan bercelah-celah
(scrotal tongue). Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkok
ke dalam. Jarak antara jari I dan II, baik pada tangan maupun kaki agak besar.
Gambaran telapak tangan tampak tidak normal, yaitu terdapat satu garis besar
melintang (simian crease).
Diagnosis dari pasien Sindrom Down terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis akan didapatkan riwayat sering
menderita ISPA, Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Fluorescence
In Situ Hybridization (FISH): digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21 secara cepat,
baik pada masa prenatal maupun masa neonatal. Selain itu dapat juga dilakukan
pemeriksaan Thyroid-stimulating hormone (TSH) and Thyroxine (T4): untuk menilai
fungsi kelenjar tiroid. Dilakukan segera setelah lahir dan berkala setiap tahun.
Tidak ada pengobatan untuk memperbaiki Sindrom Down. Prinsip pengobatan
medis digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia
penderita dengan cara : pencegahan terhadap infeksi, rehabilitasi medis, alat bantu
pendengaran bila didapatkan gangguan pendengaran, hormon tiroid diberikan bila
didapatkan tanda-tanda hipotiroid.

40
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Pasien anak laki laki berusia 9 bulan didiagnosis dengan Pneumoni berat dan Down
Syndrome. Pneumonia adalah penyakit infeksi menular yang merupakan penyebab utama
kematian pada balita di dunia. Selain pemberian obat-obatan, penting bagi pasien untuk
menghindari faktor-faktor predisposisi terjadinya penyakit tersebut. Permasalahan dalam
hygiene pribadi dan keluarga, ekonomi dan lingkungan sekitar perlu diatasi. Pemberian
edukasi mengenai penyakitnya yang meliputi penyebab, faktor predisposisi, cara penularan
dan pencegahan serta pengobatannya harus diberikan pada pasien ini. Selain itu. Edukasi
dan motivasi kepada pihak keluarga sangat dibutuhkan guna mencegah terjadinya kejadian
berulang serta meningkatkan kesadaran kesehatan di dalam keluarga.
Sindroma Down adalah kumpulan gejala atau kondisi keterbelakangan
perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kelainan sindroma Down terjadi karena kelebihan jumlah kromosom pada
kromosom nomor 21 sehingga kelainan ini disebut trisomi 21. Anak yang menyandang
sindroma Down ini akan mengalami keterbatasan kemampuan mental dan intelektual,
retardasi mental ringan sampai sedang, atau pertumbuhan mental yang lambat. Selain itu,
penderita seringkali mengalami perkembangan tubuh yang abnormal, pertahanan tubuh
yang relatif lemah dan berbagai masalah kesehatan lain

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief Abdul, Napitupulu Partogi,et al.,1985, Ilmu Kesehatan Anak 2,Infomedika,


Jakarta.
2. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga, Jilid 1; editor Arif Mansjoer dkk ; Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta 2001.
3. Guyton, Arthur C. MD. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III
Cetakan IV ; Alih Bahasa, Petrus Andrianto ; EGC Penerbit Buku Kedokteran :
Jakarta 1995.
4. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. EGC. Jakarta 1999
5. Buku Digital Ilmu Kesehatan Anak. Klikdokter.com. dr. Abdul Rochman.
6. Current Pediatrics Diagnosis & Treatment, 18th Edition ; editor, William W. Hay,
Jr., MD dkk ; The McGraw-Hill Companies, Inc.United States of America, 2007.
7. Price, Sylvia A. Dkk. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
VI. Cetakan I ; Alih Bahasa, Pendit, dr. Brahm U dkk ; EGC Penerbit Buku
Kedokteran : Jakarta 2005.
8. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah sakit. Cetakan I ; Alih Bahasa, Tim
Adaptasi Indonesia. World Health Organization 2005.
9. Pedoman Diagnosis dan Terapi, Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke 3./
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Surabaya, 2008.
10. Pneumoni Pada Anak
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp/q1980415144310
11. Asokan S, Muthu MS, Sivakumar N. Dental caries prevalence and treatment
needs of Down syndrome children in Chennai, India. Indian J Dent Res 2008;
19(3): 224-9.
12. Palupi J. Down syndrome dan terapi gen. http://www.fk.unair.ac.id/
13. Suryo. Abnormalitas akibat kelainan kromosom dalam Genetika manusia,
Universitas Gadjah Mada press, cetakan ke 6 tahun 2001. Hal 259-270
14. Adkinson R.L, Brown M.D. Disorders of gender differentiation and sexual
development in Elsevier’s Integrated Genetics 2007. p 17-20
15. Reed E.P. medical genetics. Current medical diagnosis and treatment, McGraw-
Hill Companies. 44th ed. 2005. p 1670..

42
16. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down
Syndrome. Mental Retardation And Developmental Disabilities Research
Reviews. 2007; 13: 221 – 227.
17. Chen H. genetics of Down syndrome. eMedicine. Feb 4, 2011. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/943216-overview#a0104.

43

Anda mungkin juga menyukai