Anda di halaman 1dari 14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Lokasi Penelitian


IV.1.1 Gambaran Umum Puskesmas Kecamatan Koja
Puskesmas Kecamatan Koja beralamat di jalan Mahoni Selatan nomor 9
Kelurahan Tugu Utara, Jakarta Utara. Puskesmas Kecamatan Koja melayani
pasien dengan menyediakan Poli Umum, Poli Anak, Poli Gigi, Poli Lansia, Poli
Gizi, Poli Kasih, Fisioterapi, Poli TB/Kusta, Poli Kia/KB, Rawat Inap Bersalin.
Selain itu Puskesmas Kecamatan Koja juga menyediakan Layanan Laboratorium,
Apotek, USG, EKG, Ruang Laktasi. Untuk Pelayanan Apotek, Laboratorium,
Layanan 24 jam, Rawat Inap Bersalin kami siap melayani 24 jam.

IV.1.2 Visi dan Misi Lokasi Penelitian


IV.1.2.1 Visi Puskesmas Kecamatan Koja
“Menjadi Puskesmas Terbaik Kebanggaan DKI Jakarta”

IV.1.2.2 Misi Puskesmas Kecamatan Koja


1. Meningkatkan Kualitas dan Kompetensi Sumber Daya Manusia Secara
Berkelanjutan
2. Meningkatkan Mutu Pelayanan Kesehatan Masyarakat Secara Menyeluruh
3. Meningkatkan Sarana dan Prasarana Tepat Guna
4. Menciptakan Suasana Kerja Yang Nyaman Dan Harmonis
5. Menjalin Dan Mengembangkan Kemitraan Dengan Lintas Sektor Dan
Instansi Terkait

IV.2 Hasil Penelitian


IV.2.1 Deskripsi Hasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Poli Lansia Puskesmas Kecamatan Koja
Jakarta pada 10 Februari – 03 Maret 2020. Pada pelaksanaan dilakukan
pengukuran berat badan, tinggi badan, pemberian kuesione, dan pengukuran
tekanan darah sesuai kriteria inklusi dan kriteria ekslusi. Data yang didapatkan
selanjutnya akan dianalisa secara univariat dan bivariat.

IV.2.2 Hasil Analisis Univariat

IV.2.2.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi usia, jenis kelamin, BMI, Hipertensi


terkontrol dan tidak terkontrol, tingkat kepatuhan minum obat, tingkat aktivitas
fisik. Kriteria jenis kelamin dibagi menjadi laki-laki dan perempuan. Usia
diklasifikasikan menjadi <70 tahun dan ≥70 tahun. Karakteristik tersebut dapat
dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Karakteristik Responden Penelitian

Usia N %
≤70 tahun 28 56%
>70 tahun 22 44%
Jenis Kelamin
Laki-Laki 25 50%
Perempuan 25 50%
Total 50 100%
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 7. menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia <70 tahun


yaitu sebanyak 28 orang (56%). Berdasarkan data jenis kelamin, jumlah
responden sama besar pada penelitian ini berjenis kelamin laki-laki sebanyak 25
orang (50%) dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang (50%).
Tabel 8. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) N %


Underweight 3 6%
Normal 23 46%
Overweight 16 32%
Obesitas 8 16%
Total 50 100%
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 8. Menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki indeks


massa tubuh normal sebanyak 23 orang (46%).

Tabel 9. Proporsi Terkontrolnya Tekanan Darah

Hipertensi N %
Tekanan Darah Terkontrol 22 44%
Tekanan Darah Tidak 28 56%
Terkontrol
Total 50 100%
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 9. menunjukkan bahwa sebagian besar responden hipertensi


memiliki tekanan darah yang tidak terkontrol sebanyak 28 orang (56%).

Tabel 10. Proporsi Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan N %
Tinggi 19 38%
Rendah 31 62%
Total 50 100%
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 10. menunjukkan bahwa sebagian besar responden paling banyak


memiliki kepatuhan minum obat yang rendah sebanyak 31 orang (62%).

Tabel 11. Proporsi Aktivitas Fisik

Aktivitas Fisik N %
Baik 34 68%
Buruk 16 32%
Total 50 100%
Sumber : Data Primer, 2020

Tabel 11. menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki


aktivitas fisik yang baik sebanyak 34 orang (68%).

IV.2.3 Hasil Analisis Bivariat


IV.2.3.1 Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Terkontrolnya Tekanan
Darah

Tabel 12. Tabulasi Silang Kepatuhan Minum Obat dengan


Terkontrolnya Tekanan Darah
Sumber : Data Primer, 2020
Tekanan Darah
Tidak
Terkontrol Nilai p
Terkontrol
n n
Kepatuhan Tinggi
14 5
Minum 0,001
Rendah 8 23
Obat
Total 22 28

Dari hasil Tabel 12. dapat dilihat bahwa dari 50 responden yang memiliki
kepatuhan minum obat tinggi paling banyak mendapati tekanan darah terkontrol.
Pada responden yang memiliki kepatuhan minum obat rendah paling banyak
mendapati tekanan darah darah tidak terkontrol.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai
prvalue = 0,001 yang artinya p<0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kepatuhan minum obat dengan terkontrolnya tekanan darah pada
pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja.

IV.2.3.2 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Terkontrolnya Tekanan Darah

Tabel 13. Tabulasi Silang Aktivitas Fisik dengan Terkontrolnya


Tekanan Darah
Tekanan Darah
Tidak
Terkontrol Nilai p
Terkontrol
N n
Aktivitas Baik 20 14
0,002
Fisik Buruk 2 14
Total 22 28
Sumber : Data Primer, 2020

Dari hasil Tabel 13. dapat dilihat bahwa dari 50 responden yang memiliki
aktivitas fisik baik paling banyak mendapati tekanan darah terkontrol. Pada
responden yang memiliki aktivitas fisik buruk paling banyak mendapati tekanan
darah darah tidak terkontrol.
Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai
prvalue = 0,002 yang artinya p<0,05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara aktivitas fisik dengan terkontrolnya tekanan darah pada pasien
rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja.

IV.3 Pembahasan Hasil Analisis Univariat


IV.3.1 Pembahasan Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia
Pada hasil penelitian dengan distribusi frekuensi berdasarkan usia pada
pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja didapatkan
hasil yang dominan pada kategori usia kurang dari sama dengan 70 tahun
sejumlah 33 responden (66%). Hal ini sesuai dengan rentang umur pasien rawat
jalan hipertensi yang sering melakukan kontrol tekanan darah di poli lansia
Puskesmas Kecamatan Koja karena sebagian besar pasien berusia kurang dari
sama dengan 70 tahun lebih memiliki tingkat kewaspadaan dan kesadaran yang
tinggi untuk melakukan kontrol tekanan darah. Mekanisme umum terjadinya
hipertensi yang dihubungkan dengan usia adalah karena immunosenescence dan
disregulasi redoks. Immunosenescence terjadi karena semakin bertambahnya usia
kemampuan untuk mengatasi inflamasi menjadi terganggu sehingga akan
menyebabkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan peningkatan resistensi
vaskular sistemik sehinggga memicu terjadi hipertensi (Buford, 2017). Hasil
penelitian ini sama dengan penelitian (Mahmudah dkk. 2015) bahwa prevalensi
hipertensi berada pada rentang umur 60 sampai 70 tahun sebanyak 64 responden
(73,6%) dan pada umur >70 tahun sebanyak 23 responden (26,4%).
IV.3.2.2 Pembahasan Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin
Pada hasil penelitian dengan distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin
pada pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja
didapatkan hasil yang sama laki-laki 25 responden (50%) dan perempuan 25
responden (50%). Hal ini sedikit berbeda dengan jenis kelamin pada pasien rawat
jalan hipertensi di poli lansia Puskesmas Kecamatan Koja dominan laki-laki
karena cenderung lebih peduli terhadap terkontrolnya tekanan darah. Saat usia di
batas 45 tahun setelah menopause wanita mengalami peningkatan risiko terjadinya
hipertensi karena kadar estrogen yang rendah. Fungsi estrogen adalah
meningkatkan kadar HDL yang memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan
pembuluh darah. Penurunan kadar estrogen pada wanita menopause akan
membuat HDL menurun. Ketidakseimbangan antara HDL dan LDL akan
membentuk plak arteriosklerosis. Plak ini akan membuat tekanan darah meningkat
(Sari & Susanti, 2016, hlm.264).
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian (Mahmudah dkk. 2015) bahwa
tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi.
Namun, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (2013)
bahwa setelah usia 65 tahun, prevalensi hipertensi pada perempuan lebih tinggi
dibanding laki-laki karena faktor hormonal. Hasil penelitian ini juga berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Arifin dkk. 2016, hlm.8) bahwa sebagian
besar hipertensi terjadi pada lansia berjenis kelamin perempuan karena faktor
hormonal yang menjadi faktor protektif.
IV.3.2.3 Pembahasan Distribusi Frekuensi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Pada hasil penelitian dengan distribusi frekuensi berdasarkan Indeks


Massa Tubuh pada pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan
Koja didapatkan hasil hasil yang dominan pada kategori IMT Normal sejumlah 23
responden (46%) dan diikuti oleh kategori IMT overweight sebanyak 16
responden (32%). Obesitas akan membuat jantung bekerja lebih keras untuk
memompa darah. Semakin besar indeks massa tubuh seseorang, maka semakin
banyak juga suplai darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan nutrisi ke
jaringan tubuh. Hal ini akan membuat volume darah meningkat, sehingga tekanan
pada dinding arteri menjadi lebih besar. Peran lain dari obesitas terhadap yaitu
akan merangsang aktivitas sistem saraf simpatis dan Renin Angiotensin
Aldosteron System (RAAS) oleh mediator-mediator adipokin, hormon, dan
sitokin. Hal ini akan membuat volume darah meningkat dan menyebabkan risiko
hipertensi (Ihkya dkk. 2018, hlm.5).
Menurut Kemenkes tahun 2013 bahwa pasien hipertensi sekitar 20-33%
memiliki berat badan berlebih (overweight). Hasil penelitian ini juga sejalan
dengan Supriati (2017) bahwa adanya hubungan yang signifikan antara IMT
dengan kejadian hipertensi dengan kekuatan sedang yang memiliki arah positif
artinya bahwa semakin tinggi skor IMT maka tekanan darah juga akan semakin
tinggi sehingga risiko terjadinya hipertensi akan semakin meningkat.

IV.3.2.4 Pembahasan Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat

Pada hasil penelitian dengan distribusi frekuensi berdasarkan kepatuhan


minun obat pada pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan
Koja didapatkan hasil yang dominan pada kategori kepatuhan yang rendah
sebanyak 31 responden (62%). Dari hasil wawancara terhadap responden selama
penelitian, reponden banyak yang memiliki kepatuhan rendah karena sering lupa
untuk minum obat, merasa jenuh dengan rutinitas minum obat, serta menunda
untuk datang ke tempat pelayanan kesehatan apabila obat antihipertensi telah
habis.
Terapi obat antihipertensi adalah metode kunci untuk kontrol jangka
panjang terhadap tekanan darah, sehingga kepatuhan pasien adalah yang paling
penting dalam pengobatan hipertensi. Kepatuhan yang rendah dengan pengobatan
yang ditentukan menjadi hambatan utama untuk mencapai kontrol tekanan darah
yang ditargetkan (Boratas & Kilic, 2018, hlm.959). Kepatuhan yang rendah dalam
minum obat antihipertensi akan meningkatkan risiko kejadian koroner dan
serebrovaskular (Vrijens dkk. 2017, hlm.4). Berdasarkan hasil Riskesdas (2018)
alasan pasien hipertensi yang tidak rutin minum obat dan tidak minum obat yaitu
59,8% karena sudah merasa sehat, 31,3% tidak rutin datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan, 14,5 % mengkonsumsi obat tradisional, 11,5% karena sering lupa,
8,1% tidak mampu untuk membeli obat secara rutin, 4,5% karena tidak tahan efek
samping obat, 2% karena obat tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan dan
12,5% karena alasan lainnya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan (Pramana dkk. 2019, hlm.54 ) yang
menyatakan bahwa tingkat kepatuhan minum obat antihipertensi pada anggota
prolanis sebagian besar memiliki kepatuhan minum obat yang rendah yang
disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya
minum obat antihipertesi.
IV.3.2.5 Pembahasan Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik

Pada hasil penelitian dengan distribusi frekuensi berdasarkan aktivitas


fisik pada pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja
didapatkan hasil yang dominan pada kategori aktivitas fisik baik sebanyak 34
responden (68%). Dari hasil wawancara terhadap responden selama penelitian,
reponden banyak yang memiliki aktivitas fisik baik karena sering melakukan
kegiatan seperti berjalan-jalan setiap 30 menit pada pagi hari, melakukan senam
sendiri di rumah setiap hari, membersihkan rumah, rutin melakukan ibadah dan
ada beberapa responden yang masih bekerja seperti menjaga warung dan bekerja
di bengkel. Aktivitas fisik dapat diartikan sebagai segala bentuk gerakan yang
terjadi karena kontraksi otot yang meningkatkan pengeluaran energi diatas level
istirahat. Aktivitas fisik merupakan aktivitas rutin yang dilakukan setiap hari
seperti mengerjakan tugas, pekerjaan rumah tangga, dan semua aktivitas yang
bertujuan untuk menjaga kesehatan (Diaz & Shimbo, 2013, hlm.659).
Aktivitas fisik dapat menurunkan tekanan darah dengan beberapa
mekanisme seperti penurunan sistem saraf simpatis, penurunan resistensi total
perifer vaskular, dan penurunan curah jantung sehingga akan membuat
peningkatan sensitivitas barorefleks dan penurunan volume plasma (Suharto dkk.
2020, hlm.44). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Suharto dkk. 2020)
bahwa sebagian besar pasien hipertensi pada lansia memiliki aktivitas yang baik
karena tetap melakukan aktivitas seperti berjalan setiap 30 menit.

IV.3.3 Pembahasan Analisis Bivariat


IV.3.3.1 Pembahasan Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan
Tekontrolnya Tekanan Darah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat dilihat pada
tabel 12. bahwa responden kepatuhan minum obat tinggi dengan tekanan darah
terkontrol sebanyak 14 orang, tekanan darah tidak terkontrol sebanyak 5 orang,
kemudian pada kepatuhan minum obat rendah dengan tekanan darah terkontrol
sebanyak 8 orang, tekanan darah tidak terkontrol sebanyak 23 orang
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi square didapatkan nilai
p= 0,001 (nilai p<0.05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara kepatuhan minum obat dengan terkontrolnya tekanan darah pada pasien
rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja. Dari hasil wawancara
yang telah peneliti lakukan sebagian besar responden memiliki kepatuhan minum
obat yang rendah, hal ini disebabkan karena responden sering lupa dengan jadwal
minum obat, merasa jenuh dengan jadwal minum obat, merasa sudah sehat
sehingga tidak minum obat, dan menunda untuk pergi ke tempat pelayanan
kesehatan walapun obat antihipertensi telah habis. Alasan ketidakpatuhan pasien
dalam minum obat karena kurangnya kesadaran dan motivasi mengenai
hipertensi.
Kepatuhan minum obat adalah proses dimana pasien minum obat sesuai
resep dan merupakan proses dinamis yang berubah seiring waktu (Vrijens dkk.
2017, hlm.1). Tujuan kepatuhan minum obat adalah untuk memaksimalkan
potensi manfaat dan meminimalkan risiko bahaya dari penyakit hipertensi.
Kepatuhan minum obat menjadi salah satu strategi untuk terkontrolnya tekanan
darah (Vrijens dkk. 2017, hlm.5). Ketidakpatuhan pasien dalam minum obat dapat
menimbulkan komplikasi, karena penyakit hipertensi merupakan salah satu
pencetus timbulnya plak aterosklerosis di arteri serebral dan arteriol, sehingga
dapat menyebabkan oklusi arteri, cedera iskemik dan stroke sebagai komplikasi
jangka panjang (Yonata & Pratama 2016, hlm.19).
Berbagai penelitian telah membuktikan adanya hubungan kepatuhan
minum obat dengan terkontrolnya tekanan darah. Hasil studi yang telah dilakukan
oleh (Piercefield dkk. 2016) membuktikan bahwa adanya hubungan kepatuhan
minum obat dengan terkontrolnya tekanan darah sehingga dapat menurunkan
risiko komplikasi serius dari penyakit hipertensi. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian dari Fani (2018) yang melakukan penelitian hubungan kepatuhan
minum obat antihipertensi terhadap tercapainya target terapi dengan hasil p=
0,005 (p<0,05) yang menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kepatuhan
dengan tercapainya target terapi.
Selain itu, penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Jhaj dkk. 2018) bahwa ada hubungan yang yang signifikan antara kepatuhan
pengobatan dan kontrol tekanan darah pada pasien hipertensi di India. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan Hairunisa (2014) bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kepatuhan minum obat p=0,000 (p<0,05) dengan tekanan darah
terkontrol. Hasil penelitian ini juga didukung oleh data Riskesdas tahun 2018
yang menyatakan bahwa sebagian besar pasien hipertensi memiliki kepatuhan
minum obat yang rendah sehingga saat ini hipertensi menjadi masalah utama baik
di Indonesia maupun di dunia karena menjadi faktor risiko penyakit jantung,
stroke, gagal ginjal, dan diabetes (Kemenkes, 2019).
IV.3.3.1 Pembahasan Hubungan Aktivitas Fisik dengan Tekontrolnya
Tekanan Darah

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dapat dilihat pada
tabel 13. bahwa responden aktivitas fisik baik dengan tekanan darah terkontrol
sebanyak 20 orang, tekanan darah tidak terkontrol sebanyak 14 orang, kemudian
pada aktivitas fisik buruk dengan tekanan darah terkontrol sebanyak 2 orang,
tekanan darah tidak terkontrol sebanyak 14 orang.
Dari hasil uji statistik dengan menggunakan uji Exact test didapatkan nilai p=
0,002 (nilai p<0.05) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara aktivitas dengan terkontrolnya tekanan darah pada pasien rawat jalan
hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja. Dari hasil wawancara yang telah
dilakukan oleh peneliti sebagian besar responden memiliki aktivitas baik karena
responden masih melakukan aktivitas fisik walaupun usia semakin tua. Aktivitas
fisik yang dilakukan oleh responden yaitu mencuci piring, menyapu rumah,
mengepel lantai, berjalan-jalan saat pagi hari, melakukan ibadah, dan lain-lain.
Aktivitas fisik merupakan gerakan tubuh yang dilakukan oleh seseorang.
Fungsi dari aktivitas fisik adalah untuk meningkatkan penggunaan energi dan
kalori. Aktivitas fisik yang buruk seperti bermalas-malasan akan menjadi faktor
risiko terjadinya penyakit hipertensi. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan
curah jantung sehingga tahanan perifer akan meningkat. (Rayanti dkk. 2020,
hlm.91). Aktivitas fisik yang baik dan dilakukan secara rutin akan melatih otot
jantung dan tahanan perifer. Hal ini akan mencegah peningkatan tekanan darah
melalui pelebaran pembuluh darah, sehingga tekanan darah terkontrol. Aktivitas
fisik juga akan membantu membakar lemak yang ada di pembuluh darah jantung,
sehingga aliran darah menjadi lancar (Maskanah dkk. 2019, hlm.98). Penurunan
tekanan darah akibat aktivitas fisik mungkin disebabkan oleh respon
neurohormonal dan struktural sehingga akan menurunkan aktivitas saraf simpatis
dan terjadi peningkatan diameter pembuluh arteri (Hedge & Solomon, 2015,
hlm.2). Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi kadar
norepinefrin sekitar 30%, hal ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah.
Mekanisme penurunan tekanan darah lainnya melalui aktivitas fisik adalah
pelepasan zat vasodilatasi seperti endorfin (Borjesson dkk. 2016, hlm.4).
Berbagai penelitian telah membuktikan adanya hubungan aktivitas fisik
dengan terkontrolnya tekanan darah. Hasil studi yang dilakukan oleh (Rijanaz &
Bytyqi, 2017, hlm 186) membuktikan bahwa adanya hubungan aktivitas fisik
dengan terkontrolnya tekanan darah. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
Iswayuni (2017) yang menyatakan bahwa ada hubungan aktivitas fisik dengan
tekanan darah pada lansia, hal ini disebabkan karena sebagian besar responden
melakukan aktivitas fisik seperti mengasuh cucu, membersihkan rumah,
berkebun, dan bersepeda.
IV.4 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan yang terdapat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini menggunakan kuesioner Morisky Medication Adherence


Scale-8 dan Physical Activities Scale for the Elderly dalam pengambilan
data sehingga ketepatan data dipengaruhi pemahaman subjek terhadap
pertanyaan kuesioner dan kejujuran dalam pengisian. Keterbatasan ini
diminimalisir dengan menjelaskan tata cara pengisian kuesioner secara
lisan dan tertulis, adanya informed consent atau lembar persetujuan
penelitian dan penjaminan kerahasiaan identitas maupun data. Peneliti
juga membantu responden dalam pengisian kuesioner dengan
membacakan setiap pertanyaan yang ada di kuesioner dikarenakan banyak
responden yang mengalami kesulitan untuk melihat kuesioner.
b. Penelitian ini dilakukan satu orang sedangkan variabel yang dibutuhkan 2
primer dan satu sekunder, sehingga penelitian membutuhkan waktu lebih.
c. Pada penelitian ini hanya meneliti kepatuhan dan aktivitas fisik sehingga
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tekanan darah dapat
mempengaruhi hasil dari pengukuran tekanan darah seperti stress, dan diet
garam.
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Maka dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

a. Distribusi frekuensi berdasarkan usia paling banyak pada usia kurang lebih
sama dengan 70 tahun sejumlah 33 responden (66%), jenis kelamin
didapatkan hasil yang sama yaitu laki-laki dengan jumlah 25 responden
(50%) dan perempuan dengan jumlah 25 responden (50%), dan indeks
massa tubuh sebagian besar berada pada kategori normal sejumlah 23
responden (46%) pada pasien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas
Kecamatan Koja.
b. Distribusi frekuensi berdasarkan kepatuhan minum obat pada pasien rawat
jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja sebagian besar
berada pada kategori kepatuhan rendah sejumlah 31 responden (62%).
c. Distribusi frekuensi berdasarkan aktivitas fisik pada pasien rawat jalan
hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja sebagian sebagian besar
berada pada kategori ativitas fisik baik sejumlah 34 responden (68%).
d. Terdapat hubungan kepatuhan minum obat dengan terkontrolnya tekanan
darah pada psien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan
Koja dengan nilai p=0,001 (p<0,05).
e. Terdapat hubungan aktivitas fisik dengan terkontrolnya tekanan darah
pada psien rawat jalan hipertensi lansia di Puskesmas Kecamatan Koja
dengan nilai p=0,002 (p<0,05).
V.2 Saran
a. Bagi pasien hipertensi diharapkan dapat memiliki kepatuhan minum obat dan aktivitas
fisik yang baik sehingga tekanan darah tetap terkontrol.
b. Bagi pasien hipertensi diharapkan dapat mengikuti kegiatan senam yang menjadi
bagian program dalam poli lansia di Puskesmas Kecamatan Koja setiap 1 minggu
sekali.
c. Bagi pasien hipertensi yang mengalami kesulitan dalam mengingat jadwal minum obat
sebaiknya meletakkan obat di tempat yang mudah terlihat seperti di meja ruang tamu,
meja makan, atau kamar dan membuat catatan yang ditempelkan di dinding sehingga
dapat mengurangi kesulitan dalam jadwal minum obat.
d. Bagi tempat penelitian mungkin dapat terus memberikan edukasi, motivasi, dan
dukungan baik kepada pasien maupun keluarga pasien mengenai tatalaksana baik
farmakologi dan nonfarmakologi.
e. Bagi tempat penelitian mungkin dapat membuat buku khusus untuk mencatat tekanan
darah dan aktivitas fisik.
f. Bagi tempat penelitian mungkin dapat dilakukan follow up kepada pasien seperti
menelepon pasien atau keluarga pasien untuk mengingatkan jadwal minum obat dan
jadwal senam bersama pasien lansia lainnya.
g. Bagi tempat penelitian mungkin dapat dilakukan kegiatan berkumpul bersama setiap
satu minggu sekali untuk memberikan penyuluhan tentang hipertensi dan memberikan
kesempatan bagi pasien rawat jalan hipertensi lansia untuk berbagi pengalaman satu
sama lain sehingga diharapkan melalui kegiatan ini ada dukungan bersama untuk tata
laksana hipertensi.
h. Bagi peneliti lain dapat melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terkontrolnya tekanan darah, seperti stress, diet garam, merokok, dan
yang lainnya. Sehingga dapat diketahui lebih lanjut mengenai hal apa saja yang dapat
mempengaruhi terkontrolnya tekanan darah pada lansia.

Anda mungkin juga menyukai