Anda di halaman 1dari 7

Halal-Haram Bisnis Online

Anda yang mencari rezeki di dunia mata (online), ketahulah bahwa ada
model bisnis online yang melanggar syariat. Agar tidak terjerumus ke
kubangan harta haram, ketahuilah batasan penting agar bisnis online Anda
berada di zona halal.

Oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi*


Kemajuan teknologi informatika juga merambat ke perdagangan. Dulu,
transaksi niaga hanya dapat dilakukan dengan menghadirkan kedua belah
pihak yang bertransaksi dalam satu majelis. Sekarang, dengan jaringan
Internet, jarak tidak lagi menjadi kendala untuk bertransaksi.

Transaksi seperti itu populer disebut jual-beli online. Transaksi dengan


jaringan Internet ini berlangsung pada jual-beli barang/jasa, penukaran
mata uang, penarikan uang tunai, pengiriman uang dan seabreg transaksi
lainnya. Perbankan memanfaatkan kemajuan teknologi informatika untuk
melayani para nasabahnya dengan lebih mudah, cepat dan nyaman.
Para ulama sepakat, transaksi barang dan uang yang disyaratkan secara
tunai tidak boleh dilakukan melalui Internet, seperti jual-beli emas atau
perak. Karena itu, tidak sah membeli emas atau perak melalui Internet
dengan cara transfer uang ke rekening penjual, kemudian emas diterima
pembeli beberapa waktu setelah uang ditransfer. Transaksi semacam ini
termasuk riba nasi’ah (tukar-menukar barang ribawi yang ‘illatnya sama,
dengan cara tidak tunai).

Dari Ubadah abin Shomit, Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wa


sallam bersabda: “(jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) dengan sya’ir, kurma
dengan kurma, garam dengan garam, harus sama beratnya dan tunai.”—
HR Muslim
Berdasarkan hadits tersebut, seperti kita ketahui bersama, barang ribawi
ada enam: emas, perak, kurma, gandum kasar, gandum halus, dan garam.
Keenam barang ini dikelompokkan menjadi dua berdasarkan illatnya
(fungsinya). Emas dan perak dianggap satu kelompok, karena fungsinya
sama: alat tukar. Sedangkan empat sisanya masuk kelompok dua, dengan
fungsi sama: bahan makanan. Tukar- menukar barang ribawi yang sama
fungsinya, seperti emas dengan perak, atau uang, harus dilakukan tunai.
Jika ada penundaan penyerahan, terjebak dalam larangan riba nasi’ah.
Namun jika barang dapat diserah-terimakan saat itu juga, diperbolehkan,
seperti; penukaran mata uang asing melalui anjungan tunai mandiri (ATM).

Untuk mempermudah pemahaman, kita ilustrasikan: A memiliki tabungan


berbentuk rupiah di salah satu bank di Indonesia. Saat A di luar negeri, ia
membutuhkan dolar Amerika. A menarik uang tunai dolar AS dengan
kartu ATM-nya di salah satu mesin ATM sebuah bank di negeri ia berada.
Transaksi yang dilakukan A diperbolehkan dan tidak termasuk
riba bai’ (jual-beli), karena yang terjadi penukaran rupiah dengan dolar,
secara tunai.

Berdasarkan keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh Organisasi


Kerjasama Islam/OKI) keputusan No. 52 (3/6) 1990, setelah menjelaskan
kaidah dalam transaksi menggunakan sarana komunikasi modern,
“Kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas tidak dapat diterapkan untuk
akad nikah karena disyaratkan harus ada saksi, juga tidak dapat diterapkan
untuk sharf (tukar-menukar mata uang, atau jual-beli emas dan perak)
karena disyaratkan harus serah-terima barang dan uang secara tunai”.—
Jurnal Majma’ Al Fiqh Al Islami edisi VI jilid II hal 785

Untuk barang yang tidak disyaratkan serah terima secara tunai dalam
transaksi, yaitu seluruh jenis barang, selain emas, perak dan mata uang,
bisa di-transaksikan melalui internet. Hukumnya ini ditakhrij (diturunkan)
dari kasus jual-beli melalui surat-menyurat.
Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fiqh OKI) keputusan No. 52 (3/6) 1990—
dalam Jurnal Majma’ Al Fiqh Al Islami edisi VI jilid II hal 785, juga
memutuskan: “Apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan, tidak
berada dalam satu majelis dan satu dengan lainnya tidak saling melihat
atau mendengar, sedangkan media perantara antara mereka adalah
tulisan atau surat atau orang suruhan, sebagaimana hal ini dapat
diterapkan pada faksmili, teleks dan layar komputer (Internet). Dalam hal
ini akad berlangsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-
masing pihak yang bertransaksi“.

Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fiqh OKI) keputusan No. 52 (3/6) 1990 juga
menyebutkan, Bila transaksi berlangsung dalam satu waktu sedangkan
kedua belah pihak berada di tempat yang berjauhan, seperti yang
diterapkan pada transaksi melalui telepon ataupun telepon seluler, maka
akad ijab dan qabul yang terjadi adalah langsung, karena seolah-olah
keduanya berada dalam satu tempat”.

Dalam transaksi online, penyediaan aplikasi permohonan barang oleh


pihak pemilik situs (penjual) merupakan ijab. Sedangkan pengisian dan
pengiriman aplikasi yang telah diisi oleh pembeli merupakan qabul.
Penjelasan di atas masih meninggalkan satu masalah, bagaimana dengan
status fisik barang yang diperjual-belikan, yang tidak dapat disaksikan
pembeli langsung, namun hanya berupa gambar beserta spesifikasinya.
Apakah ini mempengaruhi keabsahan jual-beli online?

Terkait masalah pembeli yang tidak dapat melihat barang secara


langsung, namun hanya kriteria dan spesifikasi, masih diperselisihkan para
ulama. Sistem transaksi semacam ini dianalogikan dengan bai’ alghaib ala
shifat. Yaitu jual-beli barang yang tidak dihadirkan pada majelis akad, atau
tidak dapat disaksikan langsung, seperti membeli barang dalam
kardus/kotak yang isinya hanya dijelaskannya melalui keterangan.
Agar lebih sistematis mengupas hukum bai’ alghaib ala shifat pada
transaksi online, kita perlu lebih dulu membedakan antara menjual barang
milik sendiri dan menjualkan barang milik orang lain (makelar).
Menjual Barang Milik Sendiri

Ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menjual barang milik pribadi


secara online, yang sejatinya merupakan perselisihan mengenai
hukum bai’ alghaib ala shifat.

Pendapat pertama: Tidak sah jual-beli barang yang tidak dihadirkan pada
saat akad, sekali pun barang tersebut ada. Pendapat ini merupakan
mazhab Syafi’i.
An Nawawi dalam Minhajut Thalibin, jilid II, hal 12 menulis, “Pendapat yang
kuat dalam mazhab bahwa tidak sah bai’ alghaib ala shifat“. Pendapat ini
berpegang pada riwayat dari Abu Hurairah bahwa “Nabi melarang jual beli
Gharar.”—HR Muslim
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung
unsur gharar, dan jual-beli barang yang tidak terlihat oleh mata.
Sementara menjual dengan sekadar penjelasan melalui keterangan
termasuk jual-beli gharar, karena objeknya tidak jelas.

Tanggapan: Tidak benar bai’ alghaib ala shifat termasuk jual-


beli gharar. Karena sebuah objek barang bisa menjadi jelas melalui indera
mata (melihat langsung), atau melalui indera yang lain. Adanya penjelasan
spesifikasi barang melalui keterangan, baik dalam bentuk tulisan atau pun
lisan tidaklah dianggap menyembunyikan barang. Sementara syariat
menghukumi sama antara mengetahui sesuatu dan melihat langsung atau
pun dengan sekadar uraian keterangan.

Allah berfirman, (yang artinya): “Maka setelah datang kepada mereka apa
yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya“.—Al-Baqarah:
89. Dalam ayat di atas, Allah menghukumi orang Yahudi sebagai kafir
karena keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Padahal mereka telah mengetahui sifat-sifatnya dari
penjelasan kitab mereka. Allah menghukumi sama antara pengetahuan
melalui uraian keterangan dengan menyaksikan langsung.

Begitu juga sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang


wanita yang bergaul dengan wanita lain, kemudian ia menceritakan ciri-
ciri tubuh wanita tersebut kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat
langsung wanita yang dia ceritakan”.—HR Bukhari
Hadits ini sangat tegas menyatakan sama antara penjelasan melalui
keterangan dan cerita dengan melihat langsung.

Dengan demikian, penjelasan spesifikasi barang melalui keterangan


dihukumi sama dengan melihat langsung dan tidak ada unsur gharar,
karena barang sudah jelas, demikian dikemukakan Dr. Adil Syahin,
dalam aqdut taurid; haqiqatuhu wa ahkamuhu fil fiqhil Islami jilid I, hal 296.

Pendapat kedua: bai’ alghaib ala shifat hukumnya sah. Pendapat ini
merupakan mazhab mayoritas para ulama: Hanafi, Maliki dan Hanbali
dalam Al Mausu’ah al Kuwaitiyah jilid IX, hal 16.
Dalil pendapat kedua adalah nash-nash yang menjelaskan bahwa hukum
jual-beli pada dasarnya adalah boleh/halal. Seperti firman Allah, yang
artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli”.—Al-Baqarah: 275
Bai’ alghaib ala shifat termasuk jual-beli. Sementara hukum asal jual-beli
adalah halal. Dengan demikian, bai’ alghaib ala shifat hukumnya halal.
Juga tidak ada hal-hal yang menyebabkan jual-beli ini menjadi haram
sehingga hukumnya tetap pada kaidah dasar yaitu halal.

Wallahu a’lam, insyaaAllah pendapat kedualah yang lebih kuat, karena


tidak ada hal yang mengubah hukumnya dari halal menjadi haram. Hanya
saja perlu diingat, penjelasan spesifikasi haruslah jelas. Jika tidak, seperti
seorang penjual mengatakan kepada pembeli: “Saya jual baju yang ada
dalam kotak ini,” tanpa menjelaskan warna, ukuran, model, jenis dan hal-
hal lain yang mempengaruhi harga barang, maka hukumnya haram karena
termasuk jual beli gharar.
Penjual Online Tidak Memiliki Barang yang Ia Tampilkan
Para ulama sepakat, tidak sah hukum jual-beli jika pemilik situs tidak
memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya.

Sebagai ilustrasi, ada tiga pihak yang terlibat: A, pemilik barang X, B


sebagai penjual online, dan C pembeli melalui Internet. Mula-mula C
mengirim aplikasi permohonan barang X. B langsung menghubungi A,
yang sesungguhnya sebatas untuk konfirmasi keberadaan barang tanpa
melakukan akad jual-beli. Setelah B yakin barang ada, dia meminta C
mentransfer uang ke rekeningnya. Setelah uang diterima, barulah B
membeli barang X dari A, lalu mengirimkannya kepada C.
Akad jual-beli semacam itu tidak sah. Karena ia menjual barang yang
bukan miliknya, dan hal ini mengandung unsur gharar. Sebab dia belum
bisa memastikan pada saat akad berlangsung, apakah barang dapat
dikirim kepada pembeli atau tidak?

Hal tersebut berdasarkan hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam,
dia berkata, “Wahai Rasulullah!Seseorang datang kepadaku untuk membeli
suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah
boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang dia inginkan
dari pasar? Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Jangan
engkau jual barang yang belum engkau miliki!” –HR Abu Daud;
dishahihkan al-Albani

Untuk menghindari hal di atas dan agar jual-beli menjadi sah, pemilik situs
dapat melakukan langkah-langkah berikut:
1. Penjual (B) memberi tahu kepada setiap calon pembeli (C) bahwa
penyediaan aplikasi permohonan barang bukan berarti ijab dari
penjual (B).
2. Setelah calon pembeli mengisi aplikasi dan mengirimkannya, B tidak
boleh menerima akad jual-beli langsung, akan tetapi dia beli terlebih
dahulu barang tersebut dari si A dan diantar ke tempat B, kemudian
baru B dibolehkan menjawab permohonan C dan memintanya untuk
transfer uang ke rekeningnya, lalu mengirimkan barang ke pembeli
(C).
3. Untuk menghindari kerugian akibat pembeli via Internet
membatalkan niatnya selama masa tunggu, sebaiknya
penjual online (B) meminta syarat kepada pemilik barang (A) bahwa
ia berhak mengembalikan barang selama tiga hari sejak barang
dibeli, ini yang dinamakan khiyar syarat.— http://www.islamqa.com
Jika langkah-langkah di atas diikuti, jual-beli menjadi sah dan
keuntungannya pun halal. Wallahu’alam.***

*Penulis adalah doktor Ushul Fiqh lulusan Fakultas Syariah Universitas


Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, KSA; aktif menulis, memberikan
seminar, kajian, ceramah dan diskusi ilmiyah tentang Fiqh Muamalat di
berbagai media

Read more https://pengusahamuslim.com/5769-halal-haram-bisnis-


online.html

Anda mungkin juga menyukai