Anda di halaman 1dari 3

BAYU ADJI AL FAHREZI

XI AGAMA

FIKIH

RESUME TENTANG JUAL BELI ONLINE

jual beli online adalah persetujuan saling mengikat melalui internet antara penjual sebagai
pihak yang menjual barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang
dijual.

Di manapun dunia ini, setiap orang pasti membutuhkan bantuan orang lain baik dalam rangka
menyelesaikan kewajibannya maupun menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari. Manusia
tidak dapat hidup sendiri, termasuk dalam urusan jual beli, sebuah rutinitas sederhana sehari-
hari. Pernah dengar berita seorang penjual membeli barang jualannya sendiri? Kalau tidak
hoaks, pasti itu permainan kotor ekonomi.

Sebagai Muslim yang memedomani Alquran dan Hadis-Sunnah Nabi, ternyata urusan jual
beli telah diatur Islam untuk kemaslahatan komunitas Muslim. Syarat dan rukun jual beli atau
bisnis yang benar menurut aturan Islam disayangkan masih terbatas di kalangan cendekia
saja.

Sebelum terlalu jauh, kita semua perlu tahu pengertian jual beli. Secara harfiah, jual beli yang
dalam bahasa Arab sepadan kata al-bay’ berarti menjual, menukar, atau mengganti sesuatu
dengan sesuatu lain. Dalam istilah ekonomi, jual beli adalah tukar menukar sesuatu yang
diinginkan dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat (Afandi, 2009: 53).

Jual beli, secara sosial, berhukum sah. Namun, adakalanya naluri keculasan membuat
manusia rakus dan merusak hubungan dengan orang lain melalui kecurangan dalam jual beli.
Ragamnya banyak, dari mulai mengurangi timbangan, menukar jenis, menjual yang cacat,
dan bahkan jualan barang palsu. Di masanya, permainan kecurangan mungkin ‘dianggap’
sebagian orang sebagai kelumrahan hingga pada akhirnya Alquran menegur dan menegaskan
bahwa jual beli tidak sama dengan riba (lihat QS 2:275). Yang pertama halal, yang kedua
diharamkan Allah.

Allah mengharamkan umat Muslim memakan harta sesama dengan jalan batil seperti
mencuri, merampok, merampas, korupsi, dan dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh Allah.
Jalan perniagaan atau jual beli wajib didasari rasa suka sama suka dan saling menguntungkan
(Shobirin, 2015: 243).

Rukun (rukn, bahasa Arab) secara harfiah berarti prinsip awal atau elemen dasar (yang harus
dipenuhi). Rukun secara istilah adalah sesuatu yang wajib adanya, mendasar, dan bisa batal
keseluruhan satu atau rangkaian kegiatan karena tidak dilaksanakannya suatu rukun. Adapun
syarat (syarth, bahasa Arab) adalah prakondisi dan ketentuan. Syarat secara istilah adalah
sesuatu yang dengan ketiadaannya mengakibatkan tidak adanya suatu hukum.

Rukun jual beli dalam Islam, lebih tepatnya ‘rumusan’ jumhur ulama, antara lain: (1) adanya
penjual dan pembeli, (2) ada akad atau shigat resmi berupa iijaab wa qabuul, (2) ada barang
yang akan dibeli, dan (4) ada nilai tukar pengganti barang (Shobirin, 2015:245). Sementara
syarat jual beli antara lain: (1) barang yang diperjualbelikan harus suci, (2) kedua pihak yang
berakad harus baligh, berakal, dan lebih dari satu orang, (3) barang yang diperjualbelikan
harus bermanfaat, berwujud, dan hak milik, serta (4) adanya barang yang diserahkan pada
waktu akad.

Persoalan disrupsi (kacau balaunya) keadaan di era globalisasi sekarang ini memungkinkan
rukun dan syarat jual beli tidak lagi ‘relevan’ mengingat beragamnya pola jual beli di tengah
masyarakat. Dari mulai jual beli gaya inden, jual beli online dengan akad semi-khiyar, dan
lain sebagainya.

JUAL BELI ONLINE

Jual beli online adalah praktik jual beli melalui jaringan internet dalam skala nasional,
regional benua, maupun ke seluruh penjuru dunia. Dijalankan secara efisien dan masif
melalui jaringan internet, praktik ini memudahkan proses transaksi pihak penjual dan
pembeli. Penjual tak perlu bertatap muka dengan pembeli, tidak ada proses menyaksikan-
langsung barang yang dijual, serta pembayaran dilakukan melalui pihak ketiga. Meski sekilas
dirasa serba abu-abu dari kaca mata rukun dan syarat jual beli yang ada, jual beli online di
seluruh dunia terus berkembang pesat dan makin bervariasi baik sistem transaksi maupun
jenis barang jualannya.

Meski sekilas mengarah pada ketidakbolehannya, ada baiknya menengok kaidah fikih yang
disepakati jumhur ulama (kecuali Abu Hanifah): al-ashlu fii al-asyyaai al-ibaahah hattaa
yadulla al-daliil ‘alaa al-tahriim. Pada dasarnya, semua hal (termasuk muamalah jual
beli online) diperbolehkan hingga ada dalil yang mengharamkannya. Lebih-lebih jika hal
dimaksud nyata memberi manfaat bagi manusia.

Jual beli online yang tidak memungkinkan transaksi fisik cenderung tidak bisa diterima, salah
satunya karena mengandung unsur mengakhirkan pembayaran. Maksudnya, sekalipun
aplikasi berstatus ‘menerima’ notifikasi pembelian, namun uangnya hadir belakangan. Tidak
dilihatnya-langsung material barang jualan dan samarnya shighat akad makin membuat kita
pesimis ia dapat diterima.

Bukannya ramai-ramai dijauhi, jual beli online malah tumbuh pesat yang bahkan membuat
seorang CEO Amazon, start-up terbesar jual beli, menjadi 3 besar orang terkaya dunia.
Paradoks ini membuat kita semua berpikir keras, “Mungkinkah rukn dan syarth jual beli versi
Muslim diubah, dengan mempertimbangkan globalisasi dan disrupsi pola interaksi manusia
modern?”

Jadi, menilai sah dan tidaknya jual beli tidak lagi melalui dipenuhi
tidaknya rukn dan syarth yang ada, namun melalui prinsip-prinsip dasarnya. Kita semua
tahu, rukn dan syarth jual beli ala Muslim yang kita kenal lahir di zaman di mana kemajuan
tekonologi masih jauh panggang dari api. Selama prinsip dasar jual beli dijalankan, misalnya
tidak mengandung unsur penipuan dan bukan ditujukan untuk sesuatu yang manipulatif,
hemat kami tidak diharamkan dan sah-sah saja.

Anda mungkin juga menyukai