Hiperemesis gravidarum adalah mual muntah berlebihan selama masa hamil karena
intensitasnya melebihi muntah normal dan berlangsung selama kehamilan trimester pertama
(Varney,2006).
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah berlebihan pada wanita hamil hingga
mengganggu aktivitas. Batasan mual dikatakan lebih dari 10 kali muntah dengan penurunan
keadaan umum ibu.
Hiperemesis gravidarum adalah gejala mual muntah pada ibu hamil trimester pertama yang
terjadi setiap saat (Wiknjosastro,2007).
Hiperemesis gravidarum (vomitus yang merusak dalam kehamilan) adalah nausea dan
vomitus dalam kehamila yang berkembang sedemikian luas sehingga terjadi efek sistemik,
dehidrasi dan penurunan berat badan. (Ben-zionMD,Hal : 232).
Hiperemesis diartikan sebagai muntah yang terjadi secara berlebihan selama kehamilan.
(Hellen Farrer, 1999, hal : 112)
4. Etiologi
Penyebab hiperemesis Gravidarum belum diketahui secara pasti, Frekuensi kejadian adalah
3,5 per 1000 kehamilan. Faktor-faktor predisposisi yang yang dikemukakan :
a. Faktor organik, yaitu karena masuknya vili khriales dalam sirkulasi maternal dan
perubahan metabolik akibat kehamilan serta resustensi yang menurunkan dari pihak
ibuterhadap perubahan-perubahan ini serta adanya alergi, yaitu merupakan salah satu respon
dari jaringan ibu terhadap janin.
b. Faktor psikologik.
Faktor ini memegang peranan penting pada penyakit ini. Rumah tangga yang retak,
kehilangan pekerjaan, takut terhadap kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggungan
sebagai ibu, dapat menyebabkan konflik mental yang dapat memperberat mual dan muntah
sebagai ekspresi tidak sadar terhadap keenggangan manjadi hamil atau sebagai pelarian
kesukaran hidup.
c. Faktor endikrin
Hopertiroid, diabetes, peningkatan kadar HCG dan lain-lain.
5. Patologi
Pada otopsi wanita meninggal karena hiperemesis Gravidarum diperoleh keterangan bahwa
terjadinya kelainan pada organ-organ tubuh adalah sebagai berikut :
a. Heper : pada tingkat ringan hanya ditemukan degenerasi lemak sentrilobuler tanpa
nekrosis.
b. Jantung : jantung atrofi, menjadi lebih kecil dari biasa. Kadang kala dijumpai perdarahan
sub-endokardial.
c. Otak : terdapat bercak-bercak perdarahan pada otak dan kelainan seperti pada ensepalopati
wirnicke.
d. Ginjal : ginjal tampak pucatdan degenerasi lem dapat ditemukan pada tubuli kontorti.
6. Patofisiologi
Perasaan mual adalah akibat dari meningkatnya kadar estrogen yang biasa terjadi pada
trimester I. Bila terjadi terus-menerus dapat mengakibatkan dehidrasi dan imbangnya
elektrolit dengan alkalosis hipokloremik.
Hiperemesis gravidarum ini dapat mengakibatkan cadangan korbohidrat dan lemak habis
terpakai untuk keperluan energi. Karena oksidasi lemak yang tak sempurnah, terjadilah
ketosis dengan tertimbunnya asam aseto-asetik, asam hidroksida bitirik, dan aseton dalam
darah. Muntah menyebabkan dehidrasi, sehingga cairan ekstraseluler dan plasma berkurang.
Natrium dan klorida darah turun. Selain itu, dehidrasi menyebabkan homokonsentrasi,
sehingga aliran darah kejaringan berkurang. Hal ini menyebabkan jumlah zat makanan dan
oksigen kejaringan berkurang pula tertimbunnya zat metabolik yang toksit. Disamping
dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, dapat terjadi robekan pada selaput lendir
esofagus dan lambung (sindroma mollary-weiss), dengan akibat perdarahan gastrointestinal.
b. Tingkat II ( Sedang )
1) Penderita tampak lemah dan apatis.
2) Turgor kulit mulai jelek.
3) Lidah mengering dan tampak kotor.
4) Nadi kecil dan cepat.
5) Suhubadan naik (dehidr asi).
6) Mata mulai ikteris
7) Berat badan turun dan mata cekung.
8) Tensi turun, hemokonsentrasi, oliguria, dan konstipasi.
9) Aseton tercium dari hawa pernafasan dan terjadi asetonuria.
8. Penanganan
a. Pencegahan
Pencegahan terhadap hiperemesis gravidarum diperlukan dengan jalan memberikan
penerapan tentang kehamilan dan persalinan sebagai suatu proses yang fisiologi. Hal itu
dapat dilakukan dengan cara :
1) Memberikan keyakinan bahwa mual dan muntah merupakan gejala yang fisiologik pada
kehamilan muda dan akan hilang setelah kehamilan berumur 4 bulan.
2) Ibu dianjurkan untuk mengubah pola makan sehari-hari dengan makana dalam jumlah
kecil tapi sering.
3) Waktu bangun pagi jangan segera turun dari tempat tidur, tetapi dianjurkan untuk makan
roti kering atau biskuit dengan teh hangat. Hindari makanan berminyak dan berbau lemak.
4) Makan makanan dan minuman yang disajikan jangan terlalu panas ataupun terlalu dingin.
5) Usahakan defekasi teratur.
b. Terapi obat-batan
Apabila dengan cara diatas keluhan dengan cara diatas keluhan dan gejala tidak berkurang
diperlukan pengaobatan :
1)Tidak memberikan obat yang teratogen.
2) Sedetiva yang sering diberikan adalah Phenobarbital.
3) Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6.
4) Anthistaminika seperti dramamin, avomin.
5) Pada keadaan berat, antiemetik seperti disiklomin hidrokloride atau khlorpromasin.
c. Hiperemesis gravidarum tingkatan II dan III harus dirawat inap dirumah sakit.
Adapun terapi dan perawatan yang diberikan adalah sebagai berikut :
1) Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, tetapi cerah, dan peredaran darah baik.
Jangan terlalu banyak tamu, kalau perlu hanya perawat dan dokter saja yang boleh masuk.
Kadang-kadang isolasi dapat mengurangi atau menghilangkan gejala ini tanpa pengobatan.
2) Terapi psikologik
Berikan pengertian bahwa kehamilan adalah suatu hal yang wajar, normal, dan fisiologis, jadi
tidak perlu takut dan khawatir.yakinkan penderita bahwa penyakit dapat disembuhkan dan
dihilangkan masalah atau konflik yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini.
3) Terapi paretal
Berikan cairan parental yang cukup elektrolit, karbohidrat, dan protein dengan glukaosa 5%
dalam cairan garam fisiologik sebanyak 2-3 liter sehari. Bila perlu dapat ditambahkan kalium
dan vitamin, khususnya vitamin B kompleks dan vitamin C dan bila ada kekurangan protein,
dapat diberikan pula asam amino secara intravena. Buat dalam daftar kontrol cairan yang
masuk dan dikeluarkan. Berikan pula obat-obatan seperti yang disebutkan diatas.
4) Terminasi kehamilan
Pada beberapa kasus keadaan tidak menjadi baik, bahkan mundur. Usahakan mengadakan
pemeriksaan medik dan psikiatrik bila keadaan memburuk. Delirium, kebutaan, takhikardi,
ikterus, anuria, dan perdarahan merupakan manifestasi komplikasi organik. Dalam keadaan
demikian perlu dipertimbangkan untuk mengakhiri kehamilan. Keputusan untuk melakukan
abotus terapiutik sering sulit diambil, oleh karena di satu pihak tidak boleh dilakukan terlalu
cepat, tetapi dilain pihak tidak boleh menunggu sampai terjadi gejala irreversibel pada
organ vital.
Keluhan
● Muntah yang hebat
● Mual, muntah pada pagi hari dan setelah makan
● Nyeri epigastrik
● Merasa haus
● Tidak nafsu makan
● Muntah makanan/cairan asam
Faktor predisposisi
● Umur ibu < 20 tahun
● Multiple gestasi
● Obesitas
● Trofoblastik desease
Pemeriksaan fisik
● Asidosis metabolik yang ditandai dengan sakit kepala, disorientasi
● Takikardi, hypotensi, vertigo
● Konjungtiva ikterik
● Gangguan kesadaran, delirium
Tanda-tanda dehidrasi :
● Kulit kering, membran mukosa bibir kering
● Turgor kulit kembali lambat
● Kelopak mata cekung
● Penurunan BB
● Peningkatan suhu tubuh
● Oliguria, ketonuria
● Urin pekat
● Data laboratorium:
- Proteinuria
- Ketonuria
- Urobilinogen
- Penurunan kadar potasium, sodium, klorida, dan protein
- Kadar vitamin menurun
- Peningkatan Hb dan Ht
3. Intervensi keperawatan
a. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nausea dan vomitus yang
menetap.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
1) Klien akan mengkonsumsi asupan oral diet yang mengandung zat gizi yang adequat.
2) Klien tidak mengalami nausea dan vomitus.
3) Klien akan menoleransi diit yang telah di programkan.
4) Klien akan mengalami peningkatan berat badan yang sesuai selama hamil.
Intervensi Rasional
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan akibat vomitus dan asupan
cairan yang tidak adequat.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
1) Keseimbangan cairan dan elektrolit akan kembali ke kondisi normal, yang terbukti dengan
turgor kulit normal, membran mukosa lembab, berat badan stabil, tanda-tanda vital dalam
batas normal; elektrolit, serum, hemoglobin, hematokrit, dan berat jenis urin akan berada
dalam batas normal.
2) Klien tidak akan muntah lagi
3) Klien akan mengkonsumsi asupan dalam jumlag yang adequat.
Intervensi rasional
Intervensi Rasional
d. Gangguan rasa nyaman : nyeri (perih) berhubungan dengan muntah yang berlebihan,
peningkatan asam lambung.
Tujuan : nyeri hilang/berkurang.
Kriteria hasil :
1) Klien mengungkapkan secara verbal.
2) Nyeri hilang atau berkurang
3) pasien dapat beristirahat dengan tenang.
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
f. Resiko perubahan integritas kulit berhubungan dengan penurunan darah dan nutrisi
kejaringan-jaringan sekunder akibat dehidrasi
Tujuan : Tidak terjadi ganguan integritas kulit.
Kriteria hasil : mengidentifikasi dan menunjukkan perilaku untuk mempertahankan kulit
halus, kenyal, utuh.
Intervensi Rasional
Rasional
Intervens
a) Tingkatkan tirah baring/duduk. a) meningkatkan istirahat dan
Berikan lingkungan yang tenang; ketenangan.
batasi pengunjung sesuai keperluan. b) meningkatkan fungsi pernapasan
b) Ubah posisi dengan sering. dan meminimalkan tekanan pada
Berikan perawatan kulit yang baik. area tertentu untuk menurunkan
c) Tingkatkan aktivitas sesuai risiko kekurangan jaringan.
toleransi, bantu melakukan latihan c) tirah baring lama dapat
rentang gerak sendi pasif/aktif. menurunkan kemampuan. Ini dapat
terjadi karena keterbatasan aktivitas
d) Dorong penggunaan tekhnik yang mengganggu periode istirahat.
manajemen stress. Contoh relaksasi d) meningkatkan relaksasi dan
progresif, visualisasi, bimbingan penghematan energy, memusatkan
imajinasi. kembali perhatian dan dapat
e) Kolaborasi pemberian obat sesuai meningkatkan koping.
indikasi: sedatif, agen antiansietas, e) membantu dalam manajemen
contoh diazepam (valium); kebutuhan tidur.
lorazepam(ativan).
4. Implementasi
Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana
keperawatan dilaksanakan :
a. Mengkaji tanda-tanda adanya dehidrasi
1) Kulit kering dan turgor buruk, selaput lendir kering, mata cekung.
2) Urine jadi lebih pekat dan ologuri
3) Lemah, hypotensi, vertigo dan syncope
b. Memonitor tanda-tanda vital
c. Memberikan cairan sesuai program
d. Memberikan nutrisi porsi kecil tapi sering
e. Menimbang BB secara periodik
f. Mengobservasi tanda-tanda komplikasi asidosis metabolik.
g. Menganjurkan klieen untuk perbanyak istirahat.
h. Menyediakan ruangan yang sejuk.
i. Mengintervensipsikologis
j. Memp[ertahankan kebersihan mulut
k. Memberikan terapi anti emetik sesuai program.
5. Evaluasi
Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil yang diinginkandan
respon pasien terhadap dan keefektifan intervensi keperawatan. Kemudian mengganti rencana
perawatan jika diperlukan. Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan (Verney,
2005).
DAFTAR PUSTAKA
Ben-zion Taber, MD. Kapita selekta. Kedaruratan Obstetri & Ginecologi; Alih bahasa; Teddy
Supriyadi; Johanes Gunawan; Editor Melfiawati S, Ed 2, Jakarta, EGC.1994
Farrer, Helen. (1999). Perawatan Maternitas. Edisi 2 (Terjamahan dr. Andry Hartono &
Yasmin, S. Kp). Jakarta : EGC
Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi I.Jakarta. EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
POST PARTUM DENGAN BLUES
Postpartum blues merupakan gangguan suasana hati pascapersalinan yang bisa berdampak
pada perkembangan anak karena stres dan sikap ibu yang tidak tulus terus-menerus bisa
membuat bayi tumbuh menjadi anak yang mudah menangis, cenderung rewel, pencemas,
pemurung dan mudah sakit. Keadaan ini sering disebut puerperium atau trimester keempat
kehamilan yang bila tidak segera diatasi bisa berlanjut pada depresi pascapartum yang
biasanya terjadi pada bulan pertama setelah persalinan. Saat ini postpartum blues yang sering
juga disebut maternity blues atau baby blues diketahui sebagai suatu sindrom gangguan afek
ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan.
Postpartum blues (PPB) adalah kesedihan atau kemurungan setelah melahirkan yang dialami
oleh ibu yang berkaitan dengan bayinya atau disebut juga dengan baby blues, yang
disebabkan oleh perubahan perasaan yang alami oleh ibu saat hamil sehingga sulit menerima
keadaan bayinya perubahan perasaan ini merupakan respon alami terhadap rasa lelah yang
dirasakan. Selain itu, juga karena perubahan fisik dan emosional selama beberapa bulan
kehamilan. Perubahan ini akan kembali secara perlahan setelah ibu menyesuiakan diri dengan
peran barunya dan tumbuh kembali dalam keadaan normal (Ambarwati dan Wulandari,
2009).
2. Tujuan dilakukannya perawatan masa nifas secara umum
Dalam masa nifas ini penderita memerlukan perawatan dan pengawasan yang dilakukan
selama ibu tinggal di rumah sakit maupun setelah nanti keluar dari rumah sakit.
Adapun tujuan dari perawatan masa nifas adalah:
1. Menjaga kesehatan ibu dan bayi baik fisik maupun psikologi.
8 minggu Normal 30 gr
B. Perubahan Psikologi
Perubahan psikologi masa nifas menurut Reva- Rubin terbagi menjadi dalam 3 tahap yaitu:
a. Periode Taking In
Periode ini terjadi setelah 1-2 hari dari persalinan.Dalam masa ini terjadi interaksi dan
kontak yang lama antara ayah, ibu dan bayi. Hal ini dapat dikatakan sebagai psikis honey
moon yang tidak memerlukan hal-hal yang romantis, masing-masing saling memperhatikan
bayinya dan menciptakan hubungan yang baru.
b. Periode Taking Hold
Berlangsung pada hari ke – 3 sampai ke- 4 post partum. Ibu berusaha bertanggung jawab
terhadap bayinya dengan berusaha untuk menguasai ketrampilan perawatan bayi. Pada
periode ini ibu berkosentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya, misalnya buang air kecil
atau buang air besar.
c. Periode Letting Go
Terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Pada masa ini ibu mengambil tanggung jawab terhadap
bayi.( Persis Mary H, 1995: )
Sedangkan stres emosional pada ibu nifas kadang-kadang dikarenakan kekecewaan yang
berkaitan dengan mudah tersinggung dan terluka sehingga nafsu makan dan pola tidur
terganggu. Manifestasi ini disebut dengan post partum blues dimana terjadi pada hari ke 3-5
post partum
4. Etiologi
Etiologi atau penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum diketahui.
Namun, banyak faktor yang diduga berperan terhadap terjadinya postpartum blues, antara
lain:
1. Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen, progesteron,
prolaktin dan estradiol. Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh
pada gangguan emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim
monoamine oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi noradrenalin dan
serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.
2. Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
3. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
4. Latar belakang psikososial ibu
5. Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan post partum blues, diantaranya :
1. Lingkungan melahirkan yang dirasakan kurang nyaman oleh si ibu.
2. Kurangnya dukungan dari keluarga maupun suami.
3. Sejarah keluarga atau pribadi yang mengalami gangguan psikologis.
4. Hubungan sex yang kurang menyenangkan setelah melahirkan
5. Tidak ada perhatian dari suami maupun keluarga
6. Tidak mempunyai pengalaman menjadi orang tua dimasa kanak-kanak atau remaja.
Misalnya tidak mempunyai saudara kandung untuk dirawat.
7. Takut tidak menarik lagi bagi suaminya
8. Kelelahan, kurang tidur
9. Cemas terhadap kemampuan merawat bayinya
10. Kekecewaan emosional (hamil,salin)
11. Rasa sakit pada masa nifas awal
5.Patofisiologi
Sejarah kehamilan adalah faktor utama yang bisa menimbulkan terjadinya baby blues ini atau
biasa dikenal dengan post partum blues. Riwayat seperti kehamilan yang tidak di inginkan,
adanya problem dengan orang tua atau mertua, kurangnya biaya untuk persalinan, kurangnya
perhatin yang diberikan pada si ibu dan factor ari etiologi serta factor psikolog lainnya
merupakan penyebab utama. Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat
berpengaruh pada gangguan emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi
aktifitas enzim monoamine oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi
nonadrenalin dan serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.
Karena proses ini pula seorang ibu setelah melahirkan mengalami perubahan pada tingkat
emosional. Biasanya ibu akan mengalami kenaikan dalam resons psikologisnya, sensitive dan
lebih membutuhkan perhatian, kasih sayang dari orang di sekitarnya yang di anggap penting
baginya. Keabnormalitasan pada post partum blues ini mengakibatkan rasa tidak nyaman,
kecemasan yang mendalam pada diri ibu, tek jarang terkadang seorang ibu menangis tanpa
sebab yang pasti. Khawatir pada bayinya dengan kekhawatiran yang berlebihan.
6. Manifestasi Klinis
Gejala – gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap seorang ibu. Gejala
tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau 6 hari setelah melahirkan. Beberapa perubahan
sikap tersebut diantaranya, yaitu :
1. sering tiba-tiba menangis karena merasa tidak bahagia
2. tidak sabar
3. Penakut
4. tidak mau makan
5. tidak mau bicara
6. sakit kepala sering berganti mood
7. mudah tersinggung ( iritabilitas)
8. merasa terlalu sensitif dan cemas berlebihan
9. tidak bergairah
10. tidak percaya diri
11. khususnya terhadap hal yang semula sangat diminati
12. tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat keputusan
13. merasa tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja dilahirkan
14. merasa tidak menyayangi bayinya
15. insomnia yang berlebihan.
Gejala – gejala itu mulai muncul setelah persalinan dan pada umumnya akan menghilang
dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa hari. Namun jika masih berlangsung
beberapa minggu atau beberapa bulan itu dapat disebut postpartum depression.
7. Pemeriksaan Penunjang
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood / depresi sudah merupakan acuan pelayanan
pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner
dengan sebagai alat bantu.
Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang
teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin.
Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan
bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-partum blues, Kuesioner ini
terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan memiliki 4 (empat) pilihan
jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai dengan gradasi perasaan
yang dirasakan ibu pasca salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-
rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai skoring
lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk
mendiagnosis kejadian post-partum blues . EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa
negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan
dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi pengisiannya
2 (dua) minggu kemudian.
8.Penatalaksanaan
Para ibu yang mengalami post-partum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya.
Para ibu ini membutuhkan dukungan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini
membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga
dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan
mereka dari situasi yang menakutkan.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di tingkat perilaku,
emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan melibatkan
lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya.
Cara mengatasi gangguan psikologi pada nifas dengan postpartum blues dilakukan dengan
cara pendekatan komunikasi terapeutik, Tujuan dari komunikasi terapeutik adalah
menciptakan hubungan baik antara bidan dengan pasien dalam rangka kesembuhannya
dengan cara :
1. Mendorong pasien mampu meredakan segala ketegangan emosi
2. Dapat memahami dirinya
3. Dapat mendukung tindakan konstruktif.
4. Dengan cara peningkatan support mental, Beberapa cara peningkatan support mental yang
dapat dilakukan keluarga diantaranya :
1. Sekali-kali ibu meminta suami untuk membantu dalam mengerjakan pekerjaan rumah
seperti :membantu mengurus bayinya, memasak, menyiapkan susu dll.
2. Memanggil orangtua ibu bayi agar bisa menemani ibu dalam menghadapi kesibukan
merawat bayi
3. Suami seharusnya tahu permasalahan yang dihadapi istrinya dan lebih perhatian terhadap
istrinya
4. Menyiapkan mental dalam menghadapi anak pertama yang akan lahir
5. Memperbanyak dukungan dari suami
6. Suami menggantikan peran isteri ketika isteri kelelahan
7. Ibu dianjurkan sering sharing dengan teman-temannya yang baru saja melahirkan
8. Bayi menggunakan pampers untuk meringankan kerja ibu
9. mengganti suasana, dengan bersosialisasi
11. Suami sering menemani isteri dalam mengurus bayinya
Selain hal diatas, penanganan pada klien postpartum blues pun dapat dilakukan pada diri
klien sendiri, diantaranya dengan cara :
12. Belajar tenang dengan menarik nafas panjang dan meditasi
13. Tidurlah ketika bayi tidur
14. Berolahraga ringan
15. Ikhlas dan tulus dengan peran baru sebagai ibu
16. Tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi
17. Bicarakan rasa cemas dan komunikasikan
18. Bersikap fleksibel
19. Kesempatan merawat bayi hanya datang 1 x
20. Bergabung dengan kelompok ibu
9. Upaya Preventif
Berikut ini beberapa kiat yang mungkin dapat mengurangi resiko Postpartum Blues yaitu :
1. Pelajari diri sendiri
Pelajari dan mencari informasi mengenai Postpartum Blues, sehingga Anda sadar terhadap
kondisi ini. Apabila terjadi, maka Anda akan segera mendapatkan bantuan secepatnya.
3. Olahraga
Olahraga adalah kunci untuk mengurangi postpartum. Lakukan peregangan selama 15 menit
dengan berjalan setiap hari, sehingga membuat Anda merasa lebih baik dan menguasai emosi
berlebihan dalam diri Anda.
4. Hindari perubahan hidup sebelum atau sesudah melahirkan
Jika memungkinkan, hindari membuat keputusan besar seperti membeli rumah atau pindah
kerja, sebelum atau setelah melahirkan. Tetaplah hidup secara sederhana dan menghindari
stres, sehingga dapat segera dan lebih mudah menyembuhkan postpartum yang diderita.
5. Beritahukan perasaan
Jangan takut untuk berbicara dan mengekspresikan perasaan yang Anda inginkan dan
butuhkan demi kenyamanan Anda sendiri. Jika memiliki masalah dan merasa tidak nyaman
terhadap sesuatu, segera beritahukan pada pasangan atau orang terdekat.
8. Senam Hamil
senam hamil akan sangat membantu Anda dalam mengetahui berbagai informasi yang
diperlukan, sehingga nantinya Anda tak akan terkejut setelah keluar dari kamar bersalin. Jika
Anda tahu apa yang diinginkan, pengalaman traumatis saat melahirkan akan dapat dihindari.
9. Lakukan pekerjaan rumah tangga
10. Dukungan emosional
Dukungan emosi dari lingkungan dan juga keluarga, akan membantu Anda dalam mengatasi
rasa frustasi yang menjalar. Ceritakan kepada mereka bagaimana perasaan serta perubahan
kehidupan Anda, hingga Anda merasa lebih baik setelahnya.
Sedangkan Pengkajian Dasar data klien menurut Marilynn E. Doenges ( 2001 ) Adalah :
1. Aktivitas / istirahat Insomnia mungkin teramati.
2. Sirkulasi, Episode diaforetik lebih sering terjadi pada malam hari.
3. Integritas Ego,Peka rangsang, takut / menangis ( " Post partum blues " seringterlihatkira –
kira 3 hari setelah kelahiran ).
4. Eliminasi, Diuresis diantara hari ke-2 dan ke-5.
5. Makanan / cairan, Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan mungkin hari – hari ke-3.
6. Nyeri/ketidaknyamanan, Nyeri tekan payudara / pembesaran dapat terjadi diantara hari ke-
3 sampai ke-5 pascapartum.
7. Seksualitas
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien postpartum blues menurut Marilynn E.Doenges ( 2001 )
Adalah :
1. Nyeri akut / ketidaknyamanan berhubungan dengan trauma mekanis,
edema/ pembesaran jaringan atau distensi, efek – efek hormonal.
2. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan biokimia, fungsi regulator (misalnya ;
hipotensi ortostatik, terjadinya eklamsia ), efek – efek anestesia ; tromboembolisme ; profil
darah abnormal ( anemia, sensitivitas rubella, inkompabilitas Rh )
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan dan
kerusakan kulit, penurunan Hb, prosedur invasif atau peningkatan pemajanan lingkungan,
ruptur ketuban lama, malnutrisi.
4. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan
penurunan masukan / penggantian tidak adekuat, kehilangan cairan berlebihan ( muntah,
diaforesis, peningkatan haluaran urin, dan kehilangan tidak kasat mata meningkat, hemoragi )
5. Risiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
setelah kelahiran plasenta, ketidaktepatan penggantian cairan, efek – efek infus oksitosin.
6. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot ( diastasis recti ) efek – efek
progesteron, dehidrasi, kelebihan analgesia atau anestesia, nyeri perineal / rectal.
7. Risiko tinggi terhadap perubahan menjadi orang tua berhubungan dengan kurang dukungan
diantara / dari orang terdekat, kurang pengetahuan, ketidakefektifan dan tidak tersedianya
model peran, harapan tidak realistis untuk diri sendiri / bayi / pasangan, tidak terpenuhinya
kebutuhan maturasi sosial / emosional dari klien / pasangan, adanya stresor ( misalnya ;
finansial, rumah tangga , pekerjaan )
8. Resiko tidak efektif koping individual berhubungan dengan krisis
maturasional dari kehamilan / mengasuh anak dan melakukan peran ibu dan menjadi orang
tua ( atau melepaskan untuk adopsi ), kerentanan personal, ketidakadekuatan sistem
pendukung, persepsi tidak realistis.
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan Respon hormonal dan
psikologis ( sangat gembira, ansietas, kegirangan ), nyeri / ketidaknyamanan, proses
persalinan dan kelahiran melelahkan.
10. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal
sumber – sumber.
11. Potensial terhadap pertumbuhan koping keluarga berhubungan dengan kecukupan
pemenuhan kebutuhan – kebutuhan individu dan tugas – tugas adaptif, memungkinkan tujuan
aktualisasi diri muncul ke permukaan.
C. Intervensi Keperawatan
2. Resiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan biokimia, fungsi regulator (misalnya ;
hipotensi ortostatik, terjadinya eklamsia ), efek – efek anestesia ; tromboembolisme ; profil
darah abnormal ( anemia, sensitivitas rubella, inkompabilitas Rh )
Tujuan : mendemonstrasikan perilaku untuk menurunkan faktor – faktor risiko / melindungi
diri, bebas dari komplikasi.
Intervensi :
1. Tinjau ulang kadar hemoglobin ( Hb ) darah dan kehilangan darah pada waktu melahirkan
Rasional : Anemia atau kehilangan darah mempredisposisikan pada sincope klien karena
ketidakadekuatan pengiriman oksigen ke otak.
2. Catat efek – efek magnesium sulfat ( MgSO4 ), bila diberikan.
Rasional : Tidak adanya refleks patela dan frekuensi pernafasan dibawah 12x / mnt
menandakan toksisitas dan perlunya penurunan atau penghentian terapi obat.
3. Inspeksi ekstrimitas bawah terhadap tanda – tanda trombloflebitis ( misalnya ; kemerahan,
kehangatan, nyeri tekan ).
Rasional : Peningkatan produk split fibrin ( kemungkinan pelepasan dari sisi placenta ),
penurunan mobilitas, trauma, sepsis, dan aktivasi berlebihan dari pembekuan darah setelah
kelahiran memberi kecenderungan terjadinya tromboembolisme pada klien.
4. Evaluasi status rubella pada grafik pranatal
Rasional : Membantu efek – efek teratogenik pada kehamilan selanjutnya.
5. Concent untuk vaksinasi setelah meninjau ulang efek samping, risiko – risiko, dan
perlunya untuk mencegah konsepsi selama 2-3 bulan setelah vaksinasi.
Rasional : Periode inkubasi 14-21 hari, anafilaktik alergi atau respon hipersentifitas
dapat terjadi.
5. Risiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan berhubungan dengan perpindahan cairan
setelah kelahiran plasenta, ketidaktepatan penggantian cairan, efek – efek infus oksitosin.
Tujuan : Menunjukkan TD dan nadi dalam batas normal, bebas dari edema dan gangguan
penglihatan, dengan bunyi nafas bersih.
Intervensi :
1.Tinjau ulang terhadap riwayat hipertensi karena kehamilan ( HKK ) pranatal dan
intrapartal, perhatikan peningkatan TD, proteinuria, dan edema.
Rasional : Membantu menentukan kemungkinan komplikasi serupa yang menetap /
terjadi pada periode pascaprtum.
2. Pantau masukan dan haluaran urin ; ukur berat jenis.
Rasional : Menandakan kebutuhan cairan / keadekuatan terapi.
3. Kaji adanya, lokasi, dan luasnya edema
Rasional : Bahaya eklamsia atau kejang ada selama 72 jam, tetapi dapat terjadi secara aktual
selambat – lambatnya 5 hari setelah kelahiran.
4. Kolaborasi dalam pemberian furosemid sesuai indikasi
Rasional : Meningkatkan haluaran urin dan menghilangkan edema pulmonal.
6. Konstipasi berhubungan dengan penurunan tonus otot ( diastasis recti ) efek – efek
progesteron, dehidrasi, kelebihan analgesia atau anestesia, nyeri perineal / rectal.
Tujuan : Melakukan kembali kebiasaan defekasi yang biasanya / optimal dalam 4 hari setelah
kelahiran.
Intervensi :
1. Auskultasi adanya bising usus ; perhatikan kebiasaan pengosongan normal atau diastaksis
rekti
2. Rasional : Mengevaluasi fungsi usus
3. Kaji terhadap adanya hemoroid
4. Rasional : Menurunkan ukuran hemoroid, menghilangkan gatal dan ketidaknyamanan, dan
meningkatkan vasokonstriksi lokal.
5. Anjuran peningkatan tingkat aktifitas dan ambulasi, sesuai toleransi
Rasional : Membantu meningkatkan peristaltik gastrointestinal.
6. Kolaborasi dalam pemberian laksatif, pelunak feses, supositoria, atau enema
Rasional : Mungkin perlu untuk meningkatkan kembali ke kebiasaan defekasi normal dan
mencegah mengejan atau stres perinal selama pengosongan.
7. Risiko tinggi terhadap perubahan menjadi orang tua berhubungan dengan kurang dukungan
diantara / dari orang terdekat, kurang pengetahuan, ketidakefektifan dan tidak tersedianya
model peran, harapan tidak realistis untuk diri sendiri / bayi / pasangan, tidak terpenuhinya
kebutuhan maturasi sosial / emosional dari klien / pasangan, adanya stresor ( misalnya ;
finansial, rumah tangga , pekerjaan )
Tujuan : Mengungkapkan masalah dan pertanyaan tentang menjadi orang tua, mendiskusikan
peran menjadi orang tua secara realistis, secara aktif mulai melakukan tugas perawatan bayi
baru lahir dengan tepat, mengidentifikasi sumber – sumber.
Intervensi :
1. Kaji kekuatan, kelemahan, usia, status perkawinan, ketersediaan sumber pendukung dan
latar belakang budaya.
Rasional : Mengidentifikasi faktor – faktor risiko potensial dan sumber – sumber
pendukung, yang mempengaruhi kemampuan klien / pasangan untuk menerima tantangan
peran menjadi orang tua.
2. Perhatikan respons klien / pasangan terhadap kelahiran dan peran menjadi orang tua
Rasional : Kemampuan klien untuk beradaptasi secara positif untuk menjadi orang tua
mungkin dipengaruhi oleh reaksi ayah dengan kuat.
3. Evaluasi sifat dari menjadi orangtua secara emosi dan fisik yang pernah dialami klien /
pengalaman selama kanak – kanak
Rasional : Peran menjadi orang tua dipelajari, dan individu memakai peran orang tua
mereka sendiri menjadi model peran.
4. Tinjau ulang catatan intrapartum terhadap lamanya persalinan, adanya komplikasi, dan
peran pasangan pada persalinan
Rasional : Persalinan lama dan sulit, dapat secara sementara menurunkan energi fisik dan
emosional yang perlu untuk mempelajari peran menjadi ibu dan dapat secara negatif
mempengaruhi menyusui.
5. Evaluasi status fisik masa lalu dan saat ini dan kejadian komplikasi pranatal, intranatal,
atau pascapartal
Rasional : Kejadian seperti persalinan praterm, hemoragi, infeksi, atau adanya
komplikasi ibu dapat mempengaruhi kondisi psikologis klien.
6. Evaluasi kondisi bayi ; komunikasikan dengan staf perawatan sesuai indikasi
Rasional : Ibu sering mengalami kesedihan karena mendapati bayinya tidak seperti bayi
yang diharapkan.
7. Pantau dan dokumentasikan interaksi klien / pasangan dengan bayi
Rasional : Beberapa ibu atau ayah mengalami kasih sayang bermakna pada pertama kali ;
selanjutnya , mereka dikenalkan pada bayi secara bertahap.
8. Anjurkan pasangan / sibling untuk mengunjungi dan menggendong bayi dan berpartisipasi
terhadap aktifitas perawatan bayi sesuai izin
Rasional : Membantu meningkatkan ikatan dan mencegah perasaan putus asa.
9. Kolaborasi dalam merujuk untuk konseling bila keluarga beresiko tinggi terhadap masalah
menjadi orang tua atau bila ikatan positif diantara klien / pasangan dan bayi tidak terjadi.
Rasional : Perilaku menjadi orang tua yang negatif dan ketidakefektifan koping
memerlukan perbaikan melalui konseling, pemeliharaan atau bahkan psikoterapi yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN PENDAHULUAN
GANGGUAN REPRODUKSI HISTEREKTOMI
Histerektomi adalah operasi ginekologi utama yang paling lazim dan prosedur pembedahan
utama kedua yang terbanyak digunakan, dapat dilakukan lewat perut atau vagina.
(Hacker/Moore, 2001)
Histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat rahimyang dilakukan oleh ahli
kandungan. (Rasjidi, 2008)
3. Indikasi histerektomi
a. Keadaan akut
1) bencana kehamilan (misalnya, perdarahan yang hebat)
2) infeksi yang hebat (misalnya ruptural abses ovarium-tubo)
3) komplikasi operatif (misalnya perforasi rahim)
b. Penyakit benigna
1) leiomiomata, simtomatik (misalnya perdarahan, tekanan),asimptomatik (> ukuran 12
minggu, mengacaukan evaluasi adneksa)
2) endometriosis (endometriosis yag berbeda, tak memberi respon terhadap penekanan
hormonal atau pembedahan konservatif)
3) adenomiosis
4) infeksi kronik (misalnya, penyakit radang pelvis yang berulang)
5) massa adneksa (misalnya, neoplasma ovarium)
c. Kanker/penyakit pra-ganas yang bermakna
1) penyakit infasif pada organ reproduksi
2) penyakit pra infasif yang bermakna pada rahim (CIN-3+ atau hiperplasia adenomatosa
pada endometrium dengan atipia sel)
3) kanker pada organ yang bersebelahan atau jauh (gastrointestinal, genitourinarius atau
kanker payudara)
Komplikasi intraoperatif yang paling lazim pada histerektomi perut atau vagina adalah
perdarahan, dari infundibulopelvis atau pedikel ovarium-utero, pedikel rahim, atau susdut
vagina. Bila terjadi perdarahan pasca pembedahan, perdarahan dari sudut vagina kadang-
kadang dapat dikenali dan dikendalikan lewat vagina. Tetapi, kalau perdarahan cukup untuk
menyebabkan hipotensi, laparotomi mungkin dibutuhkan untuk mengikat predikel pembuluh
darah yag mengalami perdarahan.
Infeksi sering terjadi pada kedua prosedur dan ditunjukkan oleh demam dan nyeri perut
bagian bawah. Pemeriksaan sering mengungkapkan nyeri tekan dan indurasi pada daerah
vagina, yang menunjukkan suatu selulitis pelvis. Ini biasanya dapat diterapi dengan terapi
anntibiotika. Bila ada pembentukan seroma atau hematoma, abses pelvis atau hematoma
pelvis yang terinfeksi dapat terjadi. Ini akan ditunjukkan oleh suatu massa yang panas dan
nyeri dengan pemeriksaan rektovagina.pasien semacam itu membutuhkan drainase yang tepat
pada bahan yang terinfeksi melalui puntung vagina, selain pemberikan antibiotik parenteral.
Sefalosforin profilaksis secara intraoperatif dan selama 24jam pasca operasi ternyata
bermanfaat untuk mengendalikan infeksi pada histerektomi vagina yang dilakukan pada
pasien pra-menopause.
Cedera ureter adalah komplikasi yang paling berbahaya dari histerektomi dan biasanya terjadi
selama prosedur perut terutama selama diseksi yang sukar pada penyakit radang pelvis,
endometriosis, atau kanker pelvis. Tempat cedera yang paling lazim adalah tempat di bagian
lateral serviks;tempat kedua yang paling banyak ditemukan adalah dibawah ligamen
infundibulopelvis. Suatu jahitan dapat dilakukan pada ureter, atau ini dapat dicepit dan
dipotong. Sebelum melakukan ligasi dan insisi ligamen infundibulopelvis ureter perlu
dikenali. Pasca operasi, pasien akan mengalami demam dan nyeri pinggang, dan fistula
uterovaginalis atau urinoma dapat terjadi 5 sampai 21 hari pasca operasi. Kalau cairan mulai
bocor dari vagina, suatu pemeriksaan termasuk sistoskopi dan pielografiintravena,
diperlukan. Fistula uterovaginal membutuhkan reimplantasi ureter ke dalam kandung kemih,
tetapi biasanya menunggu beberapa bulan agar reaksi radang mereda.
Cedera intraoperatif pada kandung kemih atau usus dapat terjadi dan kalau diketahui harus
diperbaiki dengan segera. Kalau diperlukan perbaikan kandung kemih, diperlukan 7 hari
drainase pasca pembedahan dengan kateter foley untuk memungkinkan penyembuhan yang
optimal.
5. Klasifikasi histerektomi
a. Histerektomi total adalah pengangkatan unterus, serviks, dan ovarium.(brunner &
Suddarth, vol 2, edisi 8)
b. Histerektomi sub total adalah mempertahankan serviks.(Hacker/Moore, 2001)
c. Histerektomo ekstrafasial adalah membuang rahim besrta lapisan fasial sebelah luarnya
secara utuh. (Hacker/Moore, 2001)
d. Histerektomi intrafasial adalah bahwa bagian tengah serviks dibuang dan lapisan fasial
sebelah luar (endopelvis) di biarkan melekat pada kandung kemih.(Hacker/Moore, 2001)
e. Histerektomi radikal (wertheim) adalah pengangkatan uterus, adneksa, vagina proksimal,
dan nodus limfe bilateral melalui insisi abdomen.(Brunner & Suddarth, vol 2, edisi 8)
f. Histerektomi vaginal radikal (schauta) adalah pengangkatan vagina uterus, adneksa, dan
vagina proksimal.(Brunner & Suddarth, vol 2, edisi 8)
6. Manifestasi Klinis
Menurut Rasjidi (2008), manifestasi klinis post histerektomi meliputi:
1.Berhenti menstruasi dan tidak akan bisa punya anak
2.Angka leukosit tinggi
3.Angka eritrosit rendah
4.Nyeri perut
5.Mual
6.Tidak nyaman menggunakan kateter
7.Sulit berkemih atau buang air kecil
8.Keluar cairan atau perdarahan vagina
9.Rasa lelah dan kelemahan
10.Konstipas
7. Data Penunjang
a. Pap smear: dysplasia seluler menunjukkan kemungkinan/adanya kanker.
b. Ultrasound/ CT Scan: membantu mengidentifikasi ukuran atau lokasi massa.
c. Laparoskopi: dilakukan untuk melihat tumor, perdarahan, perubahan endometrial.
Laparatomi mungkin dilakuakn untuk membuat tahapan kanker atau untuk mengkaji efek
kemoterapi.
d. D & K dengan biopsy (endometrial/servikal): memungkinkan pemeriksaan histopatologis
sel untuk menentukan adanya/lokasi kanker.
e. Tes Schiller (bercak serviks dengan iodin): berguna dalam identifikasi sel abnormal.
f. Hitung darah lengkap: penurunan Hb dapat menunjukkan anemia kronis, sementara
penurunan Ht menduga kehilangan darah aktif. Peningkatan SDP dapat mengindikasikan
proses inflamasi/infeksi.
Karena posisi selama pembedahan, edema pasca operatif dan immobilitas, pasien beresiko
mengalami trombosis vena profunda dan embolus pulmonal. Untuk meminimalkan resiko ini,
stoking elastis digunakan, selain itu pasien didorong dan dibantu untuk mengubah posisi
dengan sering, meski tekanan dibawah lutut harus dihindari. Perawat membantu pasien untuk
ambulasi dini dalam periode pasca operatif dan pasien didorong untuk melakukan latihan
pada tungkai serta kakinya. Ketika ia sedang ditempat tidur. Selain itu perawat mengkaji
terhadap adanya trombosis vena profunda (nyeri pada tungkai, tanda homan positif). Karena
pasien mungkin dipulangkan dalam satu atau dua hari setelah pembedahan diinstrusikan
untuk menghindari duduk di kursi dalam waktu lama dengan tekanan pada lutut, duduk
dengan tungkai disilang, dan immobilitas.
Disfungsi kandung kemih, karena kemungkinan kesulitan dalam berkemih secara pasca
operatif dapat dipasang sebelum pembedahan dan dibiarkan dalam periode singkat setelah
pembedahan, jika kateter terpasang maka kateter tersebut biasanya dilepaskan segera setelah
pasien ambulasi. Setelah kateter terlepas, haluran urine pasien dipantau selain itu, abdomen
dikaji terhadap distensi.
(Smeltzer & Bare, 2002 : 1563).
9. Komplikasi histerektomi
a. Hemoragi
Himoragi pasca operasi timbul biasanya karena ikatannya terlepas atau oleh karena usaha
penghentian darah kurang sempurna. Perdarahan yang mengalir keluar mudah diketahui,
yang sulit diketahui adalah perdarahan dalam rongga perut.
(Hanifa, 1999 : 670)
b. Trombosis Vena Profunda
karena posisi selama pembedahan, edema post operasi dan imobilitas pasien resiko untuk
mengalami trombosis vena profunda dan embolus pulmonal.
(Smeltzer & Bare, 2002 : 1564)
c. Disfungsi Kandungan Kemih
Karena kemungkinan kesulitan dalam berkemih posca operasi.
(Smeltzer & Bare, 2002 : 1564)
b. Diagnosa keperawatan
1) Ansietas berhubungan dengan diagnosis kanker, takut akan rasa nyeri, kehilangan
femininitas dan perubahan bentuk tubuh.
2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan seksualitas, fertilitas, dan hubungan
dengan pasangan dan keluarga.
3) Nyeri berhubungan dengan pembedahan dan terapi tambahan lainnya.
4) Perubahan eliminasi urinarius berhubungan dengan trauma mekanis, manipulasi bedah,
adanya edema jaringan lokal, hematoma,paralisis saraf.
5) Resiko tinggi terhadap konstipasi/diare berhubungan dengan faktor fisik (bedah
abdominal, dengan manipulasi usus, melemahkan otot abdominal), nyeri/ketidaknyamanan
abdomen atau area perineal, perubahan masukan diet.
6) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia,
penurunan/penghentian aliran darah (kongesti pelvis, inflamasi jaringan pascaoperasi, stasis
vena), trauma intraoperasi/tekanan pada pelvis/pembuluh betis/posisi litotomi selama
histerektomi vagina.
7) Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh/fungsi (contoh, memendeknya kanal vaginal; perubahan kadar hormon, penurunan
libido), kemungkinan perubahan pola respon seksual (contoh,tak adanya irama kontraksi
uterus selama orgasme; ketidaknyamanan/nyeri vagina(dispareunia)).
8) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi, tidak mengenal sumber
informasi.
c. Perencanaan (Intervensi)
1) Ansietas berhubungan dengan diagnosis kanker, takut akan rasa nyeri, kehilangan
femininitas dan perubahan bentuk tubuh.
Intervensi :
a) Berikan penjelasan tentang persiapan fisik sepanjang periode praoperatif.
b) Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaannya pada seseorang yang dapat memahami
dan membantunya.
2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan seksualitas, fertilitas, dan hubungan
dengan pasangan dan keluarga.
Intervensi :
a) Berikan waku untuk mendengar masalah ketakutan pasien dan orang terdekat. Diskusiakan
persepsi dari pasien sehubungan dengan antisipasi perubahan dan pola hidup khusus.
b) Kaji stres emosi pasien. Identifikasi kehilangan pada pasien/orang terdekat. Dorong pasien
untuk mengekspresikan dengan tepat.
c) Berikan informasi akurat, kuatkan informasi yang diberikan sebelumnya.
d) Ketahui kekuatan individu dan identifikasi perilaku koping positif sebelumnya.
e) Berikan lingkungan terbuka kepada pasien untuk mendiskusikan masalah seksualitas.
f) Perhatikan perilaku menarik diri, menganggap diri negatif, penggunaan penolakan, atau
terlalu memasalahkan perubahan aktual/yang ada.
g) Kolaborasi dengan rujuk konseling profesional sesuai kebutuhan.
2. POST OP HISTEREKTOMI
a. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan feminitas, efek hubungan seksual
2) Retensi urine berhubungan dengan trauma mekanis
3) Resiko tinggi terhadap konstipasi / diare berhubungan dengan bedah abnominal
4) Resiko tinggi terhadap perubahan perfungsi jaringan berhubungan dengan inflamasi
jaringan pasca operasi
5) Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur
tubuh/fungsi.
6) Kurang pengetahuan mengenai kondisi tindakan berhubungan dengan kurangnya sumber
informasi.
b. Rencana Keperawatan
1) Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan feminitas, efek hubungan seksual
Tujuan : Menyatakan penerimaan diri pada situasi dan adaptasi terhadap perubahan pada citra
tubuh
Intervensi / Tindakan :
a) Berikan waktu mendengar masalah dan ketakutan pasien dan orang terdekat
b) Kaji stres emosi pasien, identifikasi kehilangan pada pasien/orang terdekat
c) Berikan informasi akurat, kuatkan informasi yang diberikan sebelumnya
d) Ketahui kekuatan individu dan identifikasi perilaku koping positif sebelumnya
e) Berikan lingkungan terbuka pada pasien untuk mendiskusikan masalah seksualitas
f) Perhatikan perilaku menarik diri menganggap diri negatif atau terlalu memasalahkan
perubahan aktual yang ada
g) Rujuk konseling profesional sesuai kebutuhan
4) Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan inflamasi jaringan
pasca operasi
Intervensi / Tindakan :
a) Pantau tanda vital, palpasi nadi perifer dan perhatikan pengisian kapiler, kaji
keluaran/karakteristik urine. Evaluasi perubahan mental
b) Inspeksi balutan dan pembalut perineal. Timbang pembalut dan bandingkan dengan berat
kering. Bila pasien mengalami perdarahan hebat.
c) Ubah posisi pasien dan dorong batuk sering dan latihan nafas dalam
d) Hindari posisi fowler tinggi dan tekanan dibawah lutut atau menyilangkan kaki
e) Bantu/instruksikan latihan kaki dan telapak dan ambulasi sesegera mungkin
f) Periksa tanda hormon, perhatikan eritema, pembengkakan ekstremitas, atau keluhan nyeri
dada tiba-tiba pada dispnea
g) Berikan cairan IV, produk darah sesuai indikasi
h) Pakaikan stoking anti emboli
5) Resiko tinggi terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh /
fungsi.
Tujuan : Menyatakan pemahaman perubahan anatomi / fungsi seksual mengindentifikasi
kepuasaan / praktik seksual yang diterima
Intervensi / Tindakan :
a) Mendengarkan pernyataan pasien / orang terdekat
b) Kaji informasi pasien/orang terdekat tentang anatomi/fungsi seksual dan pengaruh
prosedur pembedahan
c) Identfikasi faktor budaya / nilai dan adanya konflik
d) Bantu pasien untuk menyadari / menerima tahap berduka
e) Dorong pasien untuk berbagai pikiran masalah dengan teman
f) Solusi pemecahan masalah terhadap masalah potensial, contoh menunda coitus seksual saat
kelelahan, lanjutkan dengan ekspresi alternatif, posisi yang menghindari tekanan pada insisi
abdomen, menggunakan minyak vagina
g) Diskusikan sensasi / ketidaknyamanan fisik, perubahan pada respons seperti individu
biasanya
h) Rujuk ke konselor / ahli seksual sesuai kebutuhan
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, M. F., Witjaksono, J., & Rasjidi, I. (2008). Panduan Pelayanan Medik : Model
Interdisiplin Penatalksanaan Kanker Serviks dengan Gangguan Ginjal.Jakarta: EGC.
Brunner and Suddarth, Buku Ajar keperawatan Medical bedah, Edisi 8, Jakarta: EGC,2002
Hacker dan Moore, Esensial Obstetri dan Ginekologi, Edisi 2, Jakarta: Hipokrates,2001.
Smeltzer & Bare (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2 eed 8. Jakarta:EGC