Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN KELENJAR HIPOFISIS


Dosen Pengampuh : Serlina Sandi, S.Kep., NS., M.Kep.

DISUSUN OLEH KELOMPOK IX:

C1914201263 Maria Rosalia Y. Gosal


C1914201261 Zyatna Patattan
C1914201262 Delfianus Rober

(S1 KHUSUS TINGKAT 1A)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga kelompok dapat
menyelesaikan makalah Keperawtan Medikal Bedah: Endokrin dengan
judul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Kelenjar
Hipofisis”

Dalam makalah ini dijabarkan mengenai Konsep Dasar Medik,


Konsep Dasar Keperawatan, Pendidikan kesehatan, serta Peran dan
Fungsi Perawat dalam merawat pasien dengan gangguan kelenjar
hipofisis.

Dalam penyusunan makalah ini, kelompok mendapatkan banyak


pengarahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, kelompok mengucapkan terima kasih kepada narasumber, dosen
pengampuh, dan semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah
ini.

Makassar, April 2020

Kelompok IX

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR .......................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................... 1
C. Tujuan ...................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Kelenjar Hipofisis...................................................... 3
1. Definisi................................................................. 3
2. Anatomi Fisiologi ................................................. 3
3. Hormon-Hormon.................................................. 5
4. Embriologi ........................................................... 7
5. Mikrostruktur........................................................ 8
6. Gangguan-gangguan pada Kelenjar Hipofisis ..... 10
B. Konsep Dasar Medik Gangguan pada Hipofisis ....... 18
1. Definisi................................................................. 18
2. Etiologi................................................................. 19
3. Manifestasi Klinis ................................................. 20
4. Patofisiologi ......................................................... 21
5. Pemeriksaan Diagnostik ...................................... 23
6. Penatalaksanaan................................................. 24

ii
C. Konsep Dasar Keperawatan..................................... 26
1. Hiperpituitari ........................................................ 26
a. Pengkajian...................................................... 26
b. Diagnosa Keperawatan .................................. 28
c. Intervensi Keperawatan .................................. 28
2. Hipopituitari ......................................................... 32
a. Pengkajian...................................................... 32
b. Diagnosa Keperawatan .................................. 33
c. Intervensi Keperawatan .................................. 33
D. Pendidikan Kesehatan ............................................. 39
E. Peran dan Fungsi Perawat ....................................... 40
1. Peran Perawat..................................................... 40
2. Fungsi Perawat ................................................... 42
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 43
B. Saran ............................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelenjar hipofisis merupakan kelenjar yang sangat penting
bagi tubuh manusia. Kelenjar ini biasanya disebut dengan
penguasa karena hipofisis mengkoordinasikan berbagai fungsi
dari kelenjar endokrin lainnya. Beberapa hormone hipofisis
memiliki efek langsung, beberapa lainnya secara sederhana
mengendalikan kecepatan pelepasan hormonnya sendiri melalui
mekanisme umpan balik, oleh organ lainnya, dimana kadar
hormone endokrin lainnya dalam darah memberikan sinyal kepada
hipofisis untuk memperlambat atau mempercepat pelepasan
hormonnya. (Mackenna dan Callander, 1997)
Pada kelenjar hipofise terjadi hipersekresi maupun
hiposekresi hormone. Hal ini akan menyebabkan beberapa
kelainan yang perlu kita ketahui tanda dan gejala, diagnose dan
penatalaksanaannya. Hal ini kita pelajari karena sebagai seorang
perawat harus mengerti dan bisa mengaplikasikan dalam dunia
kerja nantinya. Oleh sebab itu, kelompok tertarik untuk menyusun
makalah mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
gangguan kelenjar hipofisis atau pituitary.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagi
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kelenjar Hipofisis?

1
2. Bagaimana Konsep Dasar Medik pada pasien dengan
gangguan kelenjar hipofisis?
3. Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan pada pasien dengan
gangguan kelenjar hipofisis?
4. Apa saja pendidikan kesehatan yang diberikan pada pasien
dengan gangguan kelenjar hipofisis?
5. Apa saja peran dan fungsi perawat pada pasien dengan
gangguan kelenjar hipofisis?

C. Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Mampu memahami tentang Kelenjar Hipofisis


2. Mampu mengetahui Konsep Dasar Medik pada pasien dengan
gangguan kelenjar hipofisis
3. Mampu mengetahui Konsep Dasar Keperawatan pada pasien
dengan gangguan kelenjar hipofisis
4. Mampu mengetahui apa saja pendidikan kesehatan yang
diberikan pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis
5. Mampu mengetahui apa saja peran dan fungsi perawat pada
pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KELENJAR HIPOFISIS
1. Definisi Hipofisis
Kelenjar Hipofisis disebut juga dengan Kelenjar PItuitari,
berukuran sebesar kacang dan terletak pada dasar otak besar
dalam kantong tulang yang disebut sela tursika (sella turcica).
Kelenjar hipofisis menghasilkan bermacam-macam hormone yang
mengatur kegiatan kelenjar lainnya dan mempengaruhi semua
proses metabolic (Mackenna dan Callander, 1997). Oleh karena
itu, kelenjar hipofisis disebut master of gland (kelenjar
induk/kelenjar ibu). Kelenjar ini dihubungkan dengan hipotalamus
oleh tungkai hipofisis (atau hipofisial).

2. Anatomi Fisiologi Kelenjar Hipofisis


Menurut Ethel Sloane (2004), Kelenjar hipofisis adalah
organ berbentuk oval, sebesar kacang berukuran kurang lebih
1cm dengan berat sekitr 0,5g. Organ ini melekat dibagian dasar
hipotalamus otak pada batang yang disebut infundibulum (batang
hipotalamus). Hipofisis terletak pada lekukan berbentuk pelana
ditulang sfenoid (sela tursika) dan terbungkus dalam
perpanjangan durameter.

3
Gambar 2.1 Kelenjar Hipofisis
Sumber:https://www.biology.co.id/hormon-kelenjar-hipofisis-dan-
fungsinya-lengkap/

Kelenjar hipofisis terdir atas 3 bagian yang masing-masing


menghasilkan hormone yang berbeda, yaitu sebagai berikut
(Greenstein dan Wood, 2010; Guyton dan Hall, 1997) :
a. Hipofisis anterior (adenohipofisis) yang menghasilkan:
1) Growth hormone (somatotropin) atau hormone
pertumbuhan;
2) Tirotropin atau thyroid stimulating hormone (TSH);
3) Kortikotropin (adrenokortikotropin hormone-ACTH);
4) Hormon gonadotropin (terdiri atas FSH dan LH);
5) Prolaktin/laktogenik (liteotropin);
b. Hipofisis intermedia, menghasilkan Melanocyte Stimulating
Hormone (MSH).
c. Hipofisis bagian posterior, yang menghasilkan antidiuretic
hormone (ADH) / vasopressin dan oksitosin
Kelenjar bagian anterior terbentuk dari jaringan yang
berasal dari atap mulut dan kadang-kadang disebut sebagai

4
adenohipofisis. Kelenjar posterior merupakan pertumbuhan
hipotalamus itu sendiri ke arah bawah, dan disebut sebagai
neurohipofisis. Semua hormon hipofisis dapat berupa peptide
maupun protein. Karena menyesuaikan dengan asal
perkembangannya, adenohipofisis dan neurohipofisis ini dikontrol
dalam cara berbeda-beda. Namun demikian, sifat utama dari
regulasi hormon-hormon ini adalah bahwa neuron hipotalamus
yang mengontrol hormon-hormon hipofisis diaktivasi oleh sinyal
neuronal dan melepaskan zat kimia dengan cara yang persis
sama seperti sel saraf lainnya, walaupun sinyal ini dilepaskan
kedalam aliran darah dan bukan ke celah sinaps.

3. Hormon-Hormon
a. Hormon – hormon hipofisis anterior
Hormon –hormon yang disekresi oleh hipofisis anterior
merupakan glikopeptida . Hormon-hormon ini antara lain:
1) Growth hormone (somatotropin) atau hormone
pertumbuhan;
2) Tirotropin atau thyroid stimulating hormone (TSH);
3) Kortikotropin (adrenokortikotropin hormone-ACTH);
4) Hormon gonadotropin (terdiri atas FSH dan LH);
5) Prolaktin/laktogenik (liteotropin).
Hormon – hormone yang disintesa oleh hipofisis anterior
ini akan dilepaskan kedalam sirkulasi sistemik.
Hormon ini bekerja dalam dua cara, yaitu:
1) Mengatur organ endokrin lainnya – TSH, ACTH, GH, LH,
dan FSH
2) Efek langsung pada organ jauh – prolactin

5
Gambar 3.1 Kelenjar Hipofisis (organ target)
Sumber:http://www.adelaideentspecialists.com.au/2016/01/pituitary-
gland-tumours-and-surgery/

b. Hormon-hormon pada hipofisis posterior


Terdapat dua hormone utama yang disintesis di
hipotalamus dan dilepaskan oleh hipofisis posterior ke sirkulasi
sistemik, yaitu:
1) Hormon anti diuretik ( ADH)
ADH utamanya bekerja pada duktus pengumpul
(kolektivus) pada ginjal untuk mencegah ekskresi air. ADH
juga memiliki efek vasokontraksi yang kuat pada dosis yang
tinggi; sesuai dengan namanya yaitu vasopressin. Volume
darah yang rendah yang dideteksi oleh baroreseptor perifer
akan menstimulasi ADH dalam jumlah yang besar untuk
meningkatkan tekanan darah. Sejumlah kecil ADH
dilepaskan ke vena portal, yang kemudian akan
menstimulasi kortikotropin di hipofisis anterior untuk

6
menyekresi ACTH. Aksi ini dimediasi melalui reseptor VIB
(juga dikenal dengan resptor V3).
2) Oksitosin
Saat bayi menghisap air susu ibu, reseptor regang
diputing payudara akan mengirim sinyal ke otak melalui
nervus sensorik. Sinyal ini akan mencapai neuron
paraventrikuler yang akan menyebabkan pelepasan
oksitosin dari hipofisis posterior. Oksitosin akan mencapai
sel-sel mioepitelial dari payudara yang kemudian akan
berkontraksi dan mendorong air susu ibu keluar dari
payudara.

4. Embriologi Hipofisis
Menurut Appleton, dkk (2015), Kelenjar hipofisis
mempunyai dua asal embriologi:
a. Bagian infundibulum dari diensefalon yang berkembang secara
inferior. Disusun oleh neuroektoderm dan membentuk
neurohipofisis. Neurohipofisis akan berhubungan langsung
dengan hipotalamus. Akson dari sel-sel neuroskretorik di
hipotalamus akan berkembang secara perlahan menjadi
batang hipofisis dan berakhir di kelenjar hipofisis posterior.
b. Merupakan pertumbuhan lanjutan dari rongga mulut primitive
yang dikenal sebagai kantung Rathke, yang akan berkembang
secara superior. Tersusun atas lapisan ectoderm dan akan
membentuk adenohipofisis. Hipofisis anterior tidak
berhubungan langsung dengan hipotalamus.

7
5. Mikrostruktur Hipofisis (Appleton, dkk. 2015)
a. Hipofisis anterior
Hipofisis anterior terdiri dari rangkaian yang berisikan sel-
sel sekretorik yang mengandung banyak kapiler penghubung.
Terdapat enam macam sel elektronik yang ada pada hipofisis
anterior, yaitu sebagai berikut:
1) Somatotropin – hormone pertumbuhan (growth hormone /
GH)
2) Gonadotropin – hormone luteinisasi (luteinizing hormone /
LH) dan hormone stimulasi folikel (follicle-stimulating
hormone / FSH)
3) Kortikotropin – hormone adrenokortikotropik
(adrenocorticotrophic hormone / ACTH)
4) Tirotropin – thyroid-stimulating hormone (TSH)
5) Laktotropin – prolaktatin
6) Kromofob – sel sekretorik inaktif

Hipofisis anterior dapat dibagi menjadi 3 bagian, yang


masing-masing memiliki fungsi sekretorik yang berbeda:
- Pars distalis : bagian anterior dari adenohipofisis.
Mencakup sebagian besar dari kelenjar hipofisis. Pada
bagaian ini disekresi GH, LH, FSH, ACTH, TSH dan prolktin
- Pars intermedia : merupakan suatu lapisan tipis dari sel
kortikotropik yang berada diantara pars distalis dan hipofisis
posterior. Bagian ini berkembang dengan tidak terlalu baik
pada manusia. Berfungsi menyekresi MSH pada fetus dan
selama kehamilan.
- Pars tuberalis : berada disekitar batang hipofisis.
Mengandung sejumlah sel gonadotropin.

8
Tabel 5.1 Hormon-hormon yang disintesis dan disekresi hipofisis anterior dan efeknya

Hormon Sinteisis oleh Dirangsang Dihambat Target organ Efek


oleh oleh
GSH Somatotropik GHRH GHIH dan Hepar Menstimulasi produksi IGF-1 yang
IGF-1 berlawanan kerjanya dengan insulin
TSH Tirotropik TRH T3 Kelenjar tiroid Menstimulasi pelepasan tiroksin
ACTH Kortikotropik CRH Glukokortikoid Korteks Menstimulasi pelepasan glukokortikoid
adrenal dan androgen
LH+FSH Gonadotropik HnRH, Prolaktin, Organ Menghasilkan steroid seks
steroid steroid seks reproduksi
seks
Prolaktin Laktotropik PRF dan Dopamin Kelenjar susu Menyokong pertumbuhan orgn-organ
TRH dan organ ini dan menginisiasi proses lktasi
reproduksi
MSH Kortikotropik - - Melanosit Menstimulasi sintesis melanin pada
pada kulit fetus selama kehamilan
Betaendorfin Kortikotropik - - Tidak Dapat terlibat dalam kontrol nyeri
diketahui
Sumber: Buku Crash Course Sistem Endokrin, Metabolisme dan Nutrisi

9
b. Hipofisis posterior
Hipofisis posterior dapat dibagi menjadi:
1) Pars nervosa – bagian terbesar dari hipofisis posterior
2) Batang hipofisis
3) Eminensia media

Hipofisis posterior tidak mengandung sel sekretorik,


tersusun atas dua macam sel, yaitu:

1) Akson yang tidak tereliminasi, yang berasal dari


hipotalamus
2) Pituisit, merupakan sel glial penyokong yang serupa
dengan astrosit

Didalam akson-akson terdapat mikrotubulus dan


mitokondria yang breperan dalam transport dari granula
neurosekretorik. Granula-granula ini berjalan dari hipotalamus
ke akson terminalis di hipofisis posterior, tempat mereka akan
disimpan sebelum dilepaskan. Akson terminalis berada didekat
pembuluh darah, dimana granula neurosekretorik ini kemudian
akan dilepaskan ke sirkulasi sistemik.

6. Gangguan pada Kelenjar Hipofisis


Gangguan pada kelenjar hipofisis atau pituitary dapat berupa:
a. Gangguan pada Hipofisis Anterior
1) Hiperfungsi atau Hiperpituitari
Hiperpituitarisme di definisikan sebagai sekresi
berlebihan satu atau lebih hormone yang di sekresi oleh
kelenjar pituitary (Polaski dan Tatro, 1996).

10
Menurut Saputra (2012) hiperpituitarisme adalah
penyakit kronik progresif yang di tandai oleh disfungsi
hormonal yang mengakibatkan pertumbuhan skeletal yang
berlebihan.
2) Hipofungsi atau Hipopituitari
Hipopituitarisme adalah sekresi beberapa hormone
hipofisis anterior yang rendah. Panhipopituitarisme adalah
sekresi semua hormone hipofisis anterior yang rendah
(Cowin,2009).

Tabel 6.1 Hormon hipofisis anterior dan gangguan yang timbul


akibat defisiensidan peningkatannya
Hormon Hiposekresi Hipersekresi
GH Dwarfisme pada Sangat jarang namun
anak-anak atau dapat menyebabkan
sindrom defisiensi infertisitas
hormone
pertumbuhan pada
dewasa
LH dan Insufisiensi gonadal Sangat jarang namun
FSH (penurunan steroid dapat menyebabkan
seks) infertisitas
ACTH Insufisiensi Penyakit Cushing
adrenokortikal (peningkatan kortisol
(penurunan kortisol dan androgen adrenal)
dan androgen
adrenal)
TSH Hipotiroidisme Sangat jarang namun

11
(penurunan hormone dapat menyebabkan
tiroid) hipertiroidisme
(peningkatan hormone
tiroid)
Prolaktin Hipoprolaktinemia Hiperprolaktinemia
(kegagalan laktasi (impotensi pada pria,
postpartum) amnorea pada wanita
dan penurunan libido)
Sumber: Buku Crash Course Sistem Endokrin, Metabolisme dan
Nutrisi

a) Dwarfisme (pertumbuhan kerdil)


Dwarfisme adalah kondisi yang mengakibatkan
pertumbuhan tulang yang lebih pendek daripada
umumnya. Kependekan ini dapat terjadi pada tangan,
kaki atau batang tubuh. Orang yang menderita
dwarfisme seringkali disebut sebagai orang kerdil atau
cebol. Dilansir dari Mayoclinic, dwarfisme dapat ditandai
dengan batang tubuh berukuran pendek, lengan dan
kaki pendek, jari pendek, mobilitas terbatas pada siku,
kepala yang besar dan tidak proporsional.
Perkembangan progresif busur kaki, perkembangan
progresif dari punggung bawah yang melengkung, dan
tinggi rata-rata sekitar 4 kaki 10 inci (147 cm).
Dwarfisme dapat terjadi karena banyak kondisi medis.
Dilansir dari Healthline, ada dua jenis kondisi utama
yang menyebabkan Dwarfisme, proporsional dan tidak
proporsional. Dwarfisme proporsional merupakan
kondisi ketika kepala, badan, dan anggota badan

12
semuanya proporsional satu sama lain, namun
berukuran lebih kecil dari orang rata-rata. Kekurangan
hormon seringkali menjadi penyebab kondisi kerdil ini
dan dapat diobati dengan suntikan hormon saat anak
masih tumbuh. Sementara dwarfisme tidak proporsional
ditandai dengan kondisi bagian tubuh yang tidak
proporsional satu sama lain. Beberapa bagian tubuh
kecil, dan lainnya berukuran rata-rata atau di atas rata-
rata sehingga menghambat perkembangan tulang.
Dwarfisme tidak proporsional merupakan jenis yang
paling umum terjadi. Sebagian besar penyebabnya
adalah kondisi genetik seperti Achondroplasia, sindrom
turner, kekurangan hormon pertumbuhan,
hipotiroidisme, dan retardasi pertumbuhan intrauterin.
Achondroplasia merupakan kondisi genetik penyebab
kerdil yang paling umum terjadi. Hal ini membuat lengan
dan kaki terlihat lebih pendek dibandingkan dengan
kepala dan badan. Pasangan yang memiliki kondisi
dwarfisme memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk
melahirkan anak dengan dwarfisme. Wanita dengan
dwarfisme membutuhkan proses persalinan secara
sesar karena ukuran dan bentuk panggul yang tidak
memungkinkan untuk persalinan normal. Di samping itu,
wanita yang mengalami kondisi dwarfisme juga dapat
mengalami masalah pernapasan selama kehamilan.
Dwarfisme dapat didiagnosis sejak baru lahir. Tanda-
tanda kerdil yang tidak proporsional sering muncul pada
masa bayi.

13
Gambar 6.1 Achondroplasia
Sumber:https://quizlet.com/247835490/2017-11-28-3-
nonneoplastic-orthopedic-path-flash-cards/

b) Gigantisme (pertumbuhan raksasa)

Gambar 6.2 Gigantisme


Sumber: https://www.sehatq.com/penyakit/gigantisme

14
Gigantisme adalah kondisi seseorang yang
kelebihan pertumbuhan, dengan tinggi dan besar yang
diatas normal. Gigantisme disebabkan oleh kelebihan
jumlah hormon pertumbuhan. Tidak terdapat definisi
tinggi yang merujukan orang sebagai "raksasa." tinggi
dewasa.
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang
berlebihan. Keadaan ini dapat diakibatkan tumor
hipofisis yang menyekresi GH atau karena kelainan
hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH
secara berlebihan. Gigantisme dapat terjadi bila
keadaan kelebihan hormone pertumbuhan terjadi
sebelum lempeng epifisis tulang menutup atau masih
dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan
produksi hormone pertumbuhan terutama adalah tumor
pada sel-sel somatrotop yang menghasilkan hormone
pertumbuhan.

c) Akromegali

Gambar 6.3 Arkomegali


Sumber: https://ahlitulang.com/ciri-ciri-penyakit-akromegali

15
Akromegali adalah penyakit akibat produksi GH
yang berlebihan. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh
adenoma kelenjar hipofisis, suatu bentuk tumor jinak
yang baru terjadi setelah usia dewasa. Pasien dengan
Arkomegali telah dilaporkan menigkatkan morbiditas
dan mortalitas, terutama bila terjadi persisten GH.
Adenoma hipofisis yang menjadi penyebab arkomegali,
dapat memproduksi hormone secara berlebihan,
sehingga sering juga disebut secretory pituitary
adenomas. Umumnya gejala arkomegali yang
ditemukan disebabkan oleh ketidakseimbangan
hormonal dengan manifestasi klinis seperti keringat
berlebih, pembesaran jari dan tangan, kaki, dan
pembesaran tulang wajah yang abnormal seperti tulang
pipi dan tulang dagu. Gejala lain yang sering menyertai
adalah hipertensi, pembesaran jantung, kelemahan otot
jantung hingga gagal jantung dan gagal nafas. Penyakit
yang mirip dengan arkomegali adalah gigantisme, yang
juga disebabkan oleh sekresi berlebihan dari hormone
pertumbuhan (GH). Namun gigantisme terutama
ditemukan pada uisa muda sedangkan arkomegali baru
terjadi setelah usia dewasa.

b. Gangguan Hipofisis Posterior


1) Gangguan sekresi Vasopresin
Vasopressin adalah hormone antidiuretic yang di
hasilkan oleh otak di kelenjar yang di namakan

16
hipotalamus dan di simpan di kelenjar hipofisis.
Hormone ini bertugas dalam membantu ginjal untuk
mengatur kadar air di dalam tubuh. Untuk mengurangi
frekuensi buang air kecil, mengontrol rasa haus dan
menjaga asupan air yang di butuhkan oleh penderita
diabetes insipidus vasopressin sintetis tersedia dalam
bentuk suntikan. Diabetes insipidus merupakan kondisi
yang jarang terjadi ditandai dengan tubuh kehilangan
banyak pasokan air sehingga mengakibatkan
kekurangan cairan (dehidrasi).
Gangguan sekresi AVP termasuk diabetes
insipidus (DI) dan sindrom ketidak padanan sekresi
ADH (SIADH). Gangguan ini dapat terjadi akibat
dekstrusi nucleus hipotalamik yaitu tempat vasopressin
disintesis (DI sentral) atau sebagai akibat tidak
responsifnya tubulus ginjal terhadap vasopressin (DI
nefrogenik) walaupun kadar hormone ini sangat tinggi.
2) Diabetes insipidus(DI)
Diabetes insipidus di tandai dengan kurangnya
ADH sekunder terhadap lesi yang menghancurkan
hipotalamus, stalk hipofise atau hipofise posterior.
Kondisi ini dapat di sebabkan oleh tumor, infeksi atau
meningen, hemoragik intracranial,atau trauma yang
,mengenai tulang bagian dasar tengkorak. Klien dengan
diabetes insipidus mengeluarkann urine hipotonik dalam
jumlah yang besar(5-6 liter/hari).
Diabetes insipidus di kelompokkan menjadi
nefrogenik (adalah diabetes insipidus yang terjadi
secara herediter dimana tubulus ginjal tidak berespon

17
secara tepat terhadap ADH, sementara kadar hormone
dalam serum normal). Primer (DI yang disebabkan oleh
gangguan pada hipofise), dan tumor sekunder
metastasis dari paru-paru dan payudara, dan DI yang
berkaitan dengan obat-obatan diakibatkan oleh
pemberian litium karbonat (eskalith, lihthobid,carbolith)
dan demeclocyline. Obat-obatan ini dapat
mempengaruhi respon tubulus ginjal terhadap air.

Tabel 6.2 Hormon hipofisis posterior dan gangguan


yang timbul akibat defisiensidan peningkatannya
Hormon Hiposekresi Hipersekresi
ADH Diabetes insipidus Syndrome of
(polyuria, hipotensi) inappropriate ADH
secretion (SIADH)
Oksitosin Kegagalan kemajuan Tidak ada efek
persalinan dan
kesulitan saat
menyusui
Sumber: Buku Crash Course Sistem Endokrin, Metabolisme
dan Nutrisi

B. KONSEP DASAR MEDIK GANGGUAN PADA KELENJAR


HIPOFISIS
1. Definisi
Gangguan pada kelenjar hipofisis dapat berupa:
a. Hiperpituitarisme
Sering disebut juga hiperfungsi yaitu suatu kondisi
patologis yang terjadi akibat tumor atau hiperplasi hipofise

18
sehingga menyebabkan peningkatan sekresi salah satu
hormone hipofise atau lebih.
Menurut Saputra (2012) hiperpituitarisme adalah penyakit
kronik progresif yang di tandai oleh disfungsi hormonal yang
mengakibatkan pertumbuhan skeletal yang berlebihan.

b. Hipopituitarisme
Menurut Nur Aini & Ledy Martha Aridiana (2016),
Hipopituitarisme adalah defisiensi salah satu atau lebih
hormone hipofisis atau diakibatkan oleh berbagai penyebab.
Defisiensi hormone hipofisis bisa kongenital atau didapat.
Defisiensi gonadotropin atau GH saja sering terjadi. Defisiensi
ACTH temporer sebagai konsekuensi terapi glukokortikoid
jangka panjang juga sering terjadi, tetapi defisiensi ACTH atau
TSH saja jarang terjadi (Isselbacher dkk, 2000).
Hipopituitarisme merupakan kegagalan total atau parsial pada
keseluruhan enam hormone pertumbuhan, dan prolactin
(Kowalak, dkk, 2011)

2. Etiologi
a. Hiperpituitari
Hiperfungsi dapat terjadi akibat malfungsi kelenjar
hipofise atau hipotalamus. Penyebab mencakup:
1) Adenoma primer salah satu jenis sel penghasil hormone,
biasanya sel penghasil GH, ACTH atau prolakter.
2) Tidak ada umpan balik kelenjar sasaran, misalnya
peningkatan kadar TSH terjadi apabila sekresi HT dan
kelenjar tiroid menurun atau tidak ada.
(Elisabet, Endah P, 2000)

19
b. Hipopituitari
1) Bersifat primer
a) Tumor hipofisa
b) Berkurangnya aliran darah ke hipofisa (akibat
perdarahan hebat, bekuan darah, anemia)
c) Infeksi dan peradangan
d) Pengangkatan kelenjar hipofisa melalu pembedahan
2) Bersifat sekunder
a) Tumor hipotalamus
b) Peradangan
c) Cedera kepala
d) Kerusakan pada hipofisa, pembuluh darah maupun
saraf akibat pembedahan.
3. Manifestasi Klinis
a. Hiperpituitarisme
1) Perubahan bentuk dan ukuran tubuh serta organ-organ
dalam (seperti tangan, kaki, jari-jari tangan, lidah, rahang,
kardiamegali)
2) Impotensi
3) Nyeri kepala
4) Perubahan siklus menstruasi (pada klien wanita)
5) Libido seksual menururn
6) Kelemahan otot, kelemahan dan letargi
(Hotman Rumahrdo, 2000 : 39)

b. Hipopituitarisme
1) Defisiensi GH

20
a) Pasien mengalami gagal pertumbuhan pada masa
anak-anak
b) Pada pasien dewasa terdapat keriput disekitar mata dan
mulut, jika pasien DM maka terjadi peningkatan
sensitivitas pada insulin
2) Defisiensi Gonadotropin
a) Amnorea
b) Infertilitas pada perempuan
c) Defisiensi testosterone
d) Penurunan libido
e) Berkurangnya cambang dan bulu badan
f) Menetapnya garis rambut kepala anak laki-laki
3) Defisiensi TSH
a) Kelelahan
b) Intoleransi dingin
c) Kulit yang lunak tanpa adanya struma
4) Defisiensi ACTH
a) Kelelahan
b) Penurunan selera makan
c) Kehilangan berat badan
d) Penurunan pigmentasi kulit dan puting
e) Respon abnormal terhadap stress (demam, hipotensi
dan angka mortalitas tinggi)
5) Defisiensi kombinasi ACTH dan gonadortropin mengalami
rambut ketiak dan pubis akan hilang
6) Defisiensi GH dan kortisol mengalami hipoglikemia
7) Defisiensi AVP mengalami diabetes insipidus dengan
polyuria dan rasa haus.

21
(Nur Aini & Ledy Martha Aridiana, 2016 : 274)

4. Patofisiologi
a. Hiperpituitarisme
Hiperfungsi hipofise dapat terjadi dalam beberapa bentuk
bergantung pada sel mana yang mengalami hiperfungsi. Kelenjar
biasanya mengalami pembesaran, disebut adenoma makroskopik
bila diameternya lebih dari 10mm, yang terdiri atas satu jenis sel
atau beberapa jenis sel. Kebanyakan adalah tumor yang terdiri atas
sel-sel laktotropik (juga dikenal sebagai prolaktinomas).
Prolaktionoma (adenoma laktotropin) biasanya adalah tumor kecil,
jinak, yang terdiri atas sel-sel pensekresi prolactin. Gejala yang khas
pada kondisi ini sangat jelas pada wanita usia reproduktif dan
dimana terjadi (tidak menstruasi, yang bersifat primer dan sekunder),
galaktorea (sekresi ASI spontan yang tidak ada hubungannya
dengan kehamilan), dan interfilitas.

b. Hipopituitari
Penyebab hipofungsi hipofise dapat bersifat primer dan
sekunder. Primer bila gangguannya terdapat pada kelenjar
hipofise itu sendiri, dan sekunder bila gangguan terdapat pada
hipotalamus. Penyebab tersebut termasuk diantaranya :
- Defek perkembangan kongenital, seperti pada dwarfisme
pituitari atau hipogonadisme.
- Tumor yang merusak hipofise (mis: adenoma hipofise
nonfungsional) atau merusak hipotalamus (mis:
kraniofaringioma atau glioma).
- Iskemia, seperti pada nekrosis postpartum (sindrom
sheehan’s).

22
Diagnosis insufisiensi hipofise dapat diduga secara klinik
namun harus ditegakan melaui uji biokimia yang sesuai, yang
akan menunjukan defisiensi hormon.

Panhipopitutarisme, pada orang dewasa dikenal sebagai


penyakit simmonds yang ditandai dengan kelemahan umum,
intoleransi terhadap dingin, napsu makan buruk, penurunan
berat badan, dan hipotensi. Wanita yang terserang penyakit ini
tidak akan mengalami menstruasi dan pada pria akan
menderita impotensi dan kehilanngan libido. Insufisiensi
hipofise pada masa kanak-kanak akan mengakibatkan
dwarfisme.

5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Hiperituitarisme
1) Pemeriksaan Radiologi : rontgenologis Sella Tursika
2) CT Scan / MRI untuk mengetahui gambar kelenjar hipofisis
3) Angiografi selebral
4) Kadar prolaktatin serum : ACTH, GH
5) Tes darah untuk mengetahui kadar hormone dan apakah
hipofisis merupakan sumber dari jumlah hormone yng
berlebihan.
6) Pemeriksaan neurologi
b. Hipopituitarisme
1) Radiologi hipofisis
Sinar-X kepala lateral dan posterior konvensional dapat
memperlihatkan kontur sela tursika. Abnormalitas yang
dapat diidentifikasi pada film ini adalah pembesaran, erosi
hiperotosis dan klasifikasi di region sela. Pencitraan MRI

23
merupakan pemeriksaan citra pilihan untuk abnormalitas
hipofisis dan hipotalamus
2) Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendiagnosis defisiensi GH, stimulus GH yang
paling dapat dipercaya adalah hipoglikemia yang diinduksi
insulin dengan gula darah menurun sampai kurang dari 2,2
pmol/L (40 mg/dL). Tes stimulus ACTH cepat mungkin
merupakan tes penyaring yang paling aman dan paling
nyaman untuk menentukan adekuat tidaknya aksis hipofisis
adrenal.
(Nur Aini & Ledy Martha Aridiana, 2016 : 274)

6. Penatalaksanaan
a. Hiperpituitarisme
1) Terapi pembedahan (hipofisektomi melalui nasal atau jalur
transkranial)
Tindakan pembedahan adalah cara pengobatan utama.
Dikenal dua macam pembedahan tergantung dari besarnya
tumor yaitu: bedah makro dengan melakukan pembedahan pada
batok kepala (TC atau trans kranial ) dan bedah mikro (TESH
atau trans ethmoid sphenoid hypophysectomy). Pada pasien
dengan gangguan fungsi tiroid atau ACTH, operasi ditangguhkan
2-3mg sampai pasien mendapat terapi tiroid atau pasien
mendapat terapi pengganti hidrokortison.
2) Terapi radiasi
Radiasi adalah sebagai terapi pilihan secara tunggal. Jika
tindakan operasi tidak memungkinkan, dan menyertai tindakan
pembedahan kalau masih terdapat gejala akut setelah terapi
pembedahan dilaksanakan, radiasi memberikan manfaat
penegcilan tumor, menurunkan kadar GH, tetapi dapat pula

24
mempengaruhi fungsi hipofisis. Tujuan terapi radiasi adalah
untuk mengurangi atau mengontrol ukuran tumor. Indikasi terapi
ini adalah pada pasien lanjut usia dengan kesehatan yng tidak
stabil, pada pasien post-operasi dengan residual tumor yang
besar atau tumor yang tumbuh kembali. Dosis 4.000-5.000 c Gy
selama 5-6 minggu. Komplikasi terapi radiasi dapat
menyebabkan nekrosis jaringan dan selanjutnya timbul
gangguan penglihatan yang progresif dan gangguan fungsi
endokrin yang progresif sampai panhipopituitarisme yang
memerlukan terapi hormonal oleh seorang endokrinologis. Pada
keadaan tumor menginvasi ke dural, pada kebanyakan kasus,
tanpa terapi radiasi berfokus seperti Gamma Knife, Proton beam,
dan Linac acceleration sudah dilakukan dan hasilnya masih
belum dapat ditemukan. (Japardi, 2015)
3) Terapi obat
Ada beberapa obat yang digunakan untuk tumor hipofisis,
bergantung pada fungsi hormone yang terganggu akibat tumor.
a) Agonis dopamine, seperti bromocriptine atau cabergoline
digunakan unutk mengontrol produksi prolactin. Obat ini
dapat mengurangi ukuran tumor dan menormalkan jumlah
prolaktin yang diproduksi oleh kelenjar hipofisi. Sebagian
besar pasien dengan adenoma bersekresi prolaktin
membutuhkan terapi jangka panjang untuk mengontrol
ukuran tumor. Umumnya bila pengobatan dihentikan, kadar
prolaktin akan kembali meningkat.
b) Analog somatostatin, seperti octreotide (sandostatin,
sandostatin LAR, atau lanreotide) dapat mengurangi kadar
hormone dan mengurangi gejala. Obat ini digunakan untuk
mengontrol produksi TSH pada tumor tirotropik.
c) Antagonis reseptor growth hormone, yang disebut dengan
pegvisomant (somavert), dapat menormalkan secara efektif

25
protein IGF-I yang ditemukan meningkat pada orang dengan
arkomegali. Obat ini dapat digunakan ketika terapi lainnya
seperti operasi, radiasi, atau analog somatostatin tidak
berhasil.
d) Ketokonazol (nizoral) digunakan untuk mengobati adenoma
bersekresi ACTH yang dapat menyebabkan sindrom
Cushing. Obat ini menurunkan produksi kortisol, tetapi tidak
mengurangi ukuran tumor atau menghambat aktivitasnya dan
cocok untuk pengobatan jangka panjang. (Nur Aini & Ledy
Martha Aridiana, 2016 : 293)

b. Hipopituitarsme

Menurut Nur Aini & Ledy Martha Aridiana (2016 : 275),


berbagai hormone harus diberikan pada pasien dengan
hipopituirtari, namun pemberian kortisol adalah yang paling
penting. Prednisolone dipilih karena mudah dan murah.
Prednisolone (5-7mg) atau kortison asetat (20-37,5 mg) dapat
diberikan pada pasien dengan dosis tunggal tiap pagi hari.
Sementara ada pula yang memerlukan dosis terbagi (dua
pertiga pada jam 8 pagi, sepertiganya pada jam 3 sore).

Pasien hipofisis mungkin memerlukan dosis glukokortikoid


yang lebih rendah daripada pasien yang menderita penyakit
Addison dan tidak memerlukan penggantian mineralokorikoid.
Pada situasi stress atau saat mempersiapkan pasien tersebut
untuk pembedahan hipofisis, dosis glukokortikoid yang tinggi
harus diberikan (misal untuk bedah mayor, hidrokortison
hemisuksinat 50-75mg IM/IV setiap 6 jam atau metil
prednisolone suksinat 15mg IM/IV setiap 6 jam). (Isselbacher
dkk, 2000)

26
C. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Hiperpituitarisme
a. Pengkajian
1) Identifikasi pasien
2) Keluhan utama :
- Perubahan ukuran dan bentuk tubuh serta organ-organ
tubuh seperti jari-jari, tangan, dsb.
- Perubahan tingkat energy, kelelahan dan letargi.
- Nyeri kepala, kaji PQRST
- Gangguan penglihatan seperti kurangnya ketajaman
penglihatan, penglihatan ganda, dan sebagainya
- Kesulitan dalam hubungan seksual
- Libido menurun
- Impotensia
3) Riwayat kesehatan
4) Pemeriksaan Fisik :
- Amati bentuk wajah, khas pada hipersekresi GH seperti
bibir dan hidung besar, tulang supraorbita menjolok.
- Kepala, tangan/lengan dan kaki juga bertambah besar,
dagu menjorok kedepan.
- Amati adanya kesulitan mengunyah dan geligi yang
tidak tumbuh dengan baik.
- Pemeriksaan ketajaman penglihatan akibat kompresi
saraf optikus, akan dijumpai penurunan visus.
- Amati perubahan pada persendian di mana klien
mengeluh nyeri dan sulit bergerak. Pada pemeriksaan
ditemukan mobilitas terbatas.
- Peningkatan perspirasi pada kulit menyebabkan kulit
basah karena berkeringat.

27
- Suara membesar karena hipertropi laring.
- Pada palpasi abdomen, didapat hepatomegali dan
splenomegali.
- Hipertensi
- Disfagia akibat lidah membesar.
- Pada perkusi dada dijumpai jantung membesar

b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
2) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
3) Keletihan berhubungan dengan fisiologis: status penyakit

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosa NOC NIC


Keperawatam
Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri:
berhubungan keperawatan, diharapkan 1. Kaji nyeri secara
dengan agen nyeri terkontrol dengan comprehensive.
cedera biologis kriteria hasil: 2. Observasi respon nonverbal
1. Mengenali faktor klien yang menunjukan rasa
pemnyebab ketidaknyamanan.
2. Mengenali onset 3. Yakinkan pasien dengan
3. Menggunakan metode penuh perhatian bahwa dia
pencegahan untuk akan dilakukan perawatan
mengurangi nyeri untuk mengurangi nyeri.
4. Menggunakan analgesic 4. Gunakan komunikasi
sesuai dengan terapeutik untuk mangkaji

28
kebutuhan pengalaman nyeri dan
5. Menggunakan metode bagaimana respon nyeri
nonanalgesik sesuai pasien.
dengan kebutuhan 5. Kaji efek dari nyeri (terhadap
6. Mencari bantuan tenaga pola tidur, nafsu makan,
kesehatan aktivitas, kognisi, mood, dan
7. Melaporkan gejala pada hubungan).
petugas kesehatan 6. Kaji faktor yang dapat
8. Mengenali gejala-gejala memperburuk nyeri yang
nyeri dialami pasien
9. Melaporkan nyeri yang 7. Evaluasi pengalaman nyeri
sudah terkontrol pasien sebelumnya
8. Bantu pasien untuk
mendapatkna dukungan dari
keluarga
9. Berikan informasi tentang sakit
kepala yang disebabkan
karena penyakit, jelaskan
patofisiologinya, jelaskan
berapa lama hal ini akan
terjadi, dan cara
mengantisipasinya.
10. Kontrol lingkungan yang
mengakibatkan pasien tidak
nyaman (temperature ruangan,
pencahayaan, dan bau)
11. Kurangi faktor yang dapat
meningkatkan nyerinya

29
(ketakutan, kelelahan, dan
kurang pengetahuan)
12. Pilih dan implementasikan
strategi mengurangi nyeri
(farmakologis,
nonfarmakologis dan
interpersonal)
13. Ajarkan pasien cara
mengelolah nyeri
14. Ajarkan pasien cara
menggunakan tekhnik
nonfarmakologi
15. Kolaborasi dengan dokter
pemberian analgetik
Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan Peningkatan citra tubuh:
tubuh keperawatan, diharapkan 1. Tentukan harapan pasien akan
berhubungan citra tubuh meningkat citra tubuhnya sesuai dengan
dengan penyakit dengan kriteria hasil: tahap perkembangannya.
1. Gambar diri internal 2. Gunakan panduan antisipatif
meningkat unutk mempersiapkan pasien
2. Adanya kesesuaian dalam menerima perubahan
antara realitas tubuh, citra tubuhnya
tubuh ideal, dan 3. Kaji adanya perasaan tidak
presentasi tubuh suka pada beberapa bagian
3. Pasien dapat tubuhnya yang dapat berakibat
mendeskripsikan bagian terhambatnya hubungan sosial
tubuh yang bermasalah pada pasien remaja
4. Pasien menunjukan 4. Bantu pasien untuk

30
kepuasan dengan mendiskusikan perubahan
penampilan tubuhnya pada tubuhnya yang
5. Pasien dapat disebabkan oleh penyakit
menunjukan sindrom Cushing.
penyesuaian diri dengan 5. Bantu asien memisahkan
perubahan status antara penampilan fisik yang
kesehatan ada dengan perasaan
personal
6. Bantu pasien membahas
stress yang mempengaruhi
citra tubuh karena kondisi
penyakit sindrom Cushing.
7. Kaji persepsi pasien dan
keluarga tentang citra tubuh
berhubungan dengan
keruksakan yang terjadi pada
bagian tubuhnya.
8. Indentifikasi strategi koping
yang digunakan oleh pasien/
keluarga dalam menaggapi
perubahan yang terjadi.
Keletihan Setelah dilakukan tindakan Manajemen energy:
berhubungan keperawatan, diharapkan 1. Kaji status fisiologis pasien
dengan fisiologis: tingkat keletihan berkurang yang mengakibatkan kelelahan
status penyakit dengan kriteria hasil: dalam konteks usia dan
1. Tidak terdapat perkembangan
kelelahan/ keletihan 2. Dorong pasien untuk
2. Tidak terdapat mengungkapkan perasaan

31
kelemahan/ kelesuhan tentang keterbatasan
3. Tidak terdapat aktivitasnya
penurunan mood 3. Kaji persepsi pasien penyebab
4. Tidak terdapat kelelahan
kehilangan napsu makan 4. Konsultasi dengan ahli gizi
5. Tidak terdapat tentang cara-cara untuk
penurunan libido meningkatkan asupan
6. Tidak terdapat makanan energy tinggi sesuai
kerusakan konsentrasi dengan status penyakit
7. Tidak terdapat 5. Pantau respon kardiorespirasi
penurunan motivasi terhadap aktivitas (takikardia,
disritmia, dyspnea,
diaphoresis, pucat,
hemodinamik, dan jumlah
respirasi)

2. Hipopituitarisme
a. Pengkajian
1) Identifikasi pasien
2) Keluhan utama : Tanda dan gejala dari Hipopituitari (lihat
halaman 11)
3) Riwayat kesehatan : adakah penyakit atau trauma pada
kepala pernah diderita klien, serta riwayat radiasi pada
kepala. Sejak kapan keluhan dirasakan, apakah keluhan
terjadi sejak lahir
4) Pemeriksaan Fisik:
a) Kaji TTV

32
b) Amati bentuk dan ukuran tubuh, ukuran BB dan TB,
amati bentuk dan ukuran buah dada, pertumbuhan
rambut aksila dan pubis, dan pada klien pria, amati pula
pertumbuhan rambut di wajah (jenggot dan kumis)
c) Palpasi kulit, pada wanita biasanya menjadi kering dan
kasar
d) Tergantung pada penyebab hipopituitari, perlu juga
dikaji data lain sebagai data penyerta seperti bila
penyebabnya adalah tumor maka perlu dilakukan
pemeriksaan terhadap fungsi serebrum dan fungsi
nervus karnialis dan adanya keluhan nyeri kepala.
e) Kaji dampak perubahan fisik terhadap kemampuan klien
dalam memenuhi kebutuhan dasarnya

b. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit
2) Disfungsi seksual berhubungan dengan proses penyakit
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan faktor biologis
4) Resiko harga diri rendah situasional dengan faktor resiko
penyakit fisik dan gaangguan citra tubuh

c. Intervensi

Diagnosa NOC NIC


Keperawatan

Gangguan citra Setelah dilakukan tindakan Peningkatan citra tubuh:


tubuh berhubungan keperawatan, diharapkan 1. Tentukan harapan pasien

33
dengan penyakit citra tubuh meningkat akan citra tubuhnya sesuai
dengan kriteria hasil: dengan tahap
1. Gambar diri internal perkembangannya.
meningkat 2. Gunakan panduan antisipatif
2. Adanya kesesuaian unutk mempersiapkan pasien
antara realitas tubuh, dalam menerima perubahan
tubuh ideal, dan citra tubuhnya
presentasi tubuh 3. Kaji adanya perasaan tidak
3. Pasien dapat suka pada beberapa bagian
mendeskripsikan bagian tubuhnya yang dapat
tubuh yang bermasalah berakibat terhambatnya
4. Pasien menunjukan hubungan sosial pada pasien
kepuasan dengan remaja
penampilan tubuhnya 4. Bantu pasien untuk
5. Pasien dapat mendiskusikan perubahan
menunjukan pada tubuhnya yang
penyesuaian diri dengan disebabkan oleh penyakit
perubahan status sindrom Cushing.
kesehatan 5. Bantu asien memisahkan
antara penampilan fisik yang
ada dengan perasaan
personal
6. Bantu pasien membahas
stress yang mempengaruhi
citra tubuh
7. Kaji persepsi pasien dan
keluarga tentang citra tubuh
berhubungan dengan

34
keruksakan yang terjadi pada
bagian tubuhnya.
8. Indentifikasi strategi koping
yang digunakan oleh pasien/
keluarga dalam menaggapi
perubahan yang terjadi.
9. Informasikan pada keluarga
pentingnya respon positif
mereka terhadap perubahan
tubuh pasien dan
penyesuaian terhadap masa
depan.
10. Bantu pasien mengidentifikasi
tindakan yang dapat
meningkatkan penampilan.
Disfungsi seksual Setelah dilakukan tindakan Konsultasi seksual:
berhubungan keperawatan, diharapkan
1. Bangun hubungan terapeutik,
dengan proses fungsi seksual adekuat
berdasarkan kepercayaan
penyakit dengan kriteria hasil:
dan rasa hormat
1. Dapat mencapai gairah 2. Berikan privasi dan jamin
seksual kerahasiaan pasien
2. Mampu menyesuaikan 3. Informasi kepada pasien
tekhnik berhubungan bahwa seksualitas adalah
seksual yang bagian penting dari
diperlukan kehidupan.
3. Mampu 4. Dorong pasien untuk
mengekspresikan mengungkapkan secara
verbal ketakutan dan dorong

35
konsep diri pasien untuk mau bertanya
tentang fungsi seksual
5. Mulailah ke topik-topik sensitif
dan lanjutkan kelebih sensitif
6. Pantau stress, kecemasan,
dan depresi yang dialami
pasien dan pemahaman
tentang seksualitas secara
umum.
7. Berikan informasi tentang
fungsi seksual
8. Diskusikan pengaruh
kesehatan dan penyakit
9. Bantu pasien untuk
mengekspresikan kesedihan
dan kemarahan tentang
perubahan dalam fungsi
seksual
10. Perkenalan pasien dengan
masalah yang sama dan yang
telah berhasil menaklukan
masalah seksual yang sama.
11. Memberikan arahan atau
konsultasi dengan tim
kesehatan lain (psikolog)
12. Rujuk pasien ke terapi seks
yang sesuai.

36
Ketidakseimbangan Setekah dilakukan tindakan Pengelolaan Nutrisi:
nutrisi kurang dari keperawatan, diharapkan
1. Kaji status nutrisi pasien dan
kebutuhan status nutrisi adekuat
kemampuan unutk memenuhi
berhubungan dengan kriteria hasil:
kebutuhan nutrisi
dengan faktor
1. Intake nutrisi baik 2. Identifikasi alergi makanan
biologis
2. Intake makanan baik pada pasien
3. Asupan cairan cukup 3. Kaji makanan pilihan pasien
4. Energi meningkat 4. Tentukan jumlah kalori dan
5. Berat badan normal tipe nutrien unutk memenuhi
6. Hidrasi adekuat kebutuhan nutrisi
5. Sediakan lingkungan yang
mendukung saat
mengkonsumsi makanan
6. Anjurkan atau bantu pasien
untuk membersihkan mulut
sebelum dan seseudah
makan
7. Dukung keluarga untuk
memberikan makanan
kesukaan pasien untuk
memfasilitasi selama proses
perawatan di rumah sakit.

Pemantauan Nutrisi:

1. Timbang berat badan pasien


2. Pantau pertumbuhan dan
perkembangan
3. Ukur indeks massa tubuh

37
(BMI)
4. Pantau penurunan dan
peningkatan berat badan
5. Pantau turgor kulit dan tingkat
mobilitas pasien
6. Pantau adanya mual muntah
7. Pantau eliminasi pasien
8. Pantau kalori dan intake
makanan

Resiko harga diri Setelah dilakukan tindakan Peningkatan harga diri:


rendah situasional keperawatan, diharapkan
1. Pantau pernyataan pasien
dengan faktor harga diri meningkat
tentang harga dirinya
resiko penyakit fisik dengan kriteria hasil:
2. Kaji pendapat pasien tentang
dan gaangguan
1. Mampu kepercayaa pada dirinya
citra tubuh
mengungkapkan secara 3. Anjurkan pasien untuk
verbal penerimaan mengidentifikasi kekuatan
dirinya yang ada dalam dirinya
2. Mampu menerima 4. Bantu pasien untuk dapat
keterbatasan dalam menerima dirinya
dirinya 5. Anjurkan pasien untuk dapat
3. Bersedia menjaga menjaga kontak mata ketika
kontak mata berinteraksi dengan orang
4. Mampu lain
mendeskripsikan 6. Beri pujian pada kelebihan
tentang dirinya yang dimiliki pasien
5. Mampu berkomunikasi 7. Hindari membicarakan
secara terbuka pengalaman yang dapat

38
6. Mampu menurunkan kepercayaan diri
mendeskripsikan pasien
kebanggaan pada 8. Bantu pasien untuk dapat
dirinya mengatasi gangguan/ ejekan
7. Merasa bahwa dirinya 9. Eksplorasi bersama pasien
berharga akan keberhasilan yang
pernah diraih sebelumnya
10. Fasilitasi aktivitas dan
lingkungan yang dapat
meningkatkan harga dirinya
11. Informasikan pada keluarga
akan pentingnya memberi
dorongan pada
perkembangan pasien dan
memberikan harga diri yang
positif.
12. Selalu buat pernyataan positif
tentang pasien.

D. PENDIDIKAN KESEHATAN
Pasien bersama keluarga membutuhkan penyuluhan kesehatan
dan dukungan tentang perubahan pada citra tubuh, kecemasan,
disfungsi seksual, intoleransi aktivitas dan obat yang diteruskan
dirumah. Pasien pascareseksi transfenoidal perlu diberitahu untuk
menhindari kegiatan yang bisa mengakibatkan peningkatan tekanan
intracranial, misalnya: membungkuk, bersin, batuk dan manuver

39
valsava (ekspirasi paksa) ketika defekasi. Pasien perlu menghindari
konstipasi. Pasien memerlukan bantuan ketika melakukan aktivitas
hidup sehari-hari karena ia cepat merasa lelah.

Biasanya pendidikan kesehatan juga dilakukan sebelum


tindakan pembedahan dilaksanakan. Setelah tindakan hipofisektomi
transsphenoidal, perawat menjelaskan agar klien menghindari
aktivitas yang dapat menghambat penyembuhan seperti mengejan,
batuk, dll. Juga jelaskan agar klien mengindahkan faktor-faktor yang
dapat mencegah obstipasi.

Klien dianjurkan untuk tidak menyikat gigi satu sampai dua


minggu sampai penyembuhan sempurna, cukup berkumur setiap kali
setelah makan. Jelaskan bahwa sensasi hilang rasa pada daerah
insisi adalah biasa, dapat berlangsung 3-4 bulan. Oleh karena itu
anjurkan klien memeriksa gusinya untuk mengetahui adanya lesi dan
perdarahan dengan menggunakan cermin setiap hari.

Setelah operasi, pemberian hormon diperlukan untuk


mempertahankan keseimbangan cairan. Jelaskan penggunaan obat -
obatan dan jelaskan pula perlunya tindak lanjut secara teratur.

E. PERAN DAN FUNGSI PERAWAT


1. Peran Perawat
Menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan tahun 1989, peran
perawat terdiri dari:
a. Sebagai pemeberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan
keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui

40
pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan
keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan
kompleks
b. Sebagai Advokat klien
Peran ini dilakuakan perawat dalam membantu klien dan
keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari
pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga
berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
meliputi:
- Hak atas pelayanan sebaik-baiknya
- Hak atas informasi tentang penyakitnya
- Hak atas privacy
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri
- Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian
c. Sebagai Edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit
bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan
perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
d. Sebagai Koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan,
merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan
dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien
e. Sebagai Kolaborator
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim
kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-
lain dengan berupayah mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan

41
f. Sebagai Konsultan
Perawat berperan sebagai tempat konsulatasi dengan
mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang
sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan
g. Sebagai Pembaharu
Perawat megadakan perencanaan, kerjasama, perubahan
yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.

2. Fungsi Perawat

a. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang
lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan
secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan
tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
b. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan
kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain
sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya
dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau
dari perawat primer ke perawat pelaksana
c. Fungsi Interdependen
Merupakan fungsi yang dilakukan dalam kelompok tim yang
bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan tim
lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan
membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan.
Keadaan ini tidak dapat diatasai dengan tim perawata saja
melainkan juga dari dokter ataupun spesialis lainnya.

42
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kelenjar Hipofisis disebut juga dengan Kelenjar PItuitari,
berukuran sebesar kacang dan terletak pada dasar otak besar
dalam kantong tulang yang disebut sela tursika (sella turcica).
Kelenjar hipofisis disebut master of gland (kelenjar induk/kelenjar
ibu).
2. Hipofisis terdiri dari 2 lobus, yaitu lobus anterior (adenohipofise)
dan lobus posterior (neurohipofise)
3. Gangguan pada kelenjar hipofisis terbagi atas 2, yaitu hiperfungsi
atau dikenal dengan hiperpituitari dan hipofungsi atau hipopituitari
4. Penegakan diagnosis harus meliputi anamnesa , manifestasi
klinis, pemeriksaan diagnostic sehingg bisa dilakukan terapi yang
tepat.
5. Prognosis tergantung pada faktor penyebab.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, kelompok mengharapkan
agar para pembaca khususnya para tenaga kesehatan, mampu
menjalankan tugas dan kewajibannya dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar hipofisis
dengan sebaik-baiknya, dan juga mampu mempraktekan peran dan
fungsi perawat secara komprehensif untuk menigkatkan mutu
pelayanan kesehatan dan demi kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain itu, semoga makalah ini juga dapat membantu para
mahasiswa keperawatan dalam meningkatkan ilmu pengetahuan
terkait sistem endokrin khususnya pada kelenjar pituitary.

43
DAFTAR PUSTAKA

Appleton, dkk. 2015. Crash Course Sistem Endokrin, Metabolisme, dan


Nutrisi. Edisi Indonesia pertama. Singapore:Elsevier Ltd

Bulechek, Gloria M, dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC)


6th Indonesian edition. Singapore : Elsevier Mocomedia

Heardman, Heather. 2015. NANDA – I Diagnosis Keperawatan: Definisi


dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:EGC

Hurst, Marlene. 2015. Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah


volume 2 Edisi Bahasa Indonesia.Jakarta : EGC

Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) 5th


Indonesian edition. Singapore : Elsevier Mocomedia

Nur Aini & Lady Martha A. 2016. Asuhan Keperawatan pada Sistem
Endokrin dengan Pendekatan NANDA NIC NOC. Jakarta Selatan :
Salemba Medika

Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan


Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: EGC.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula Edisi Bahasa
Indonesia. Jakarta : EGC

Syaiffudin. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.


Jakarta: EGC.

44

Anda mungkin juga menyukai