Anda di halaman 1dari 19

A.

Pengertian

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) dapat didefinisikan sebagai


pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas, ke dalam kandung
kemih, yang menghambat aliran urin, serta menutupi orifisium uretra
(Smeltzer & Bare, 2003). Secara patologis, BPH dikarakteristikkan dengan
meningkatnya jumlah sel stroma dan epitelia pada bagian periuretra prostat.
Peningkatan jumlah sel stroma dan epitelia ini disebabkan adanya proliferasi
atau gangguan pemrograman kematian sel yang menyebabkan terjadinya
akumulasi sel (Roehrborn, 2011).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit
yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.
B. Tanda dan gejala

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat


digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena
overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas
otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi),
terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang
mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4
stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan
urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan
urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150
cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa Tanda dan
gejala dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun
dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine
terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah
ini :
a) Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
 Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam
rectum.
 Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam
rectum.
 Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam
rectum.
 Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam
rectum.
 Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam
rectum.
b) Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,
disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
 Normal : Tidak ada sisa
 Grade I : sisa 0-50 cc
 Grade II : sisa 50-150 cc
 Grade III : sisa > 150 cc
 Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
C. Pohon Masalah

Estrogen dan Sel prostate umur Prolikerasi


Factor Usia
testosterone panjang abnormal sel
tidak seimbang strem
Sel stroma Sel yang kurang mati Produksi sel stroma
pertumbuhan terpacu dan epitel berlebihan

Pembesaran Prostate

Penyempitan lumen
posterior TURP

(Tranurethral Resection Of
obstruksi Prostat)

Nyeri akut

Iritasi mukosa kandung Kurangnya informasi


Pemasangan DC
kemih terputusnya jaringan terhadap pembedahan

Luka

Rangsangan saraf diameter Tempat masuknya


Ansietas
kecil mikroorganisme

Gate control terbuka Resiko Infeksi

Saraf Aferen

Cortex cerebri

Nyeri akut
D. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah
tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
4. BNO /IVP
Untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
E. Penatalaksanaan

1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra
(trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan
pada BPH dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol
keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b) Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel
batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
 TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan
malalui uretra.
 Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
 Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
 Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
 Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
 Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
 Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
 Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
F. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Klien
Kaji nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan,
kebangsaan, suku, pendidikan, no register, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Kaji keluhan pasien yang menyebabkan ia datang ke pelayanan
kesehatan. Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut.
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang.
Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses
perjalanan penyakit sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja
yang memperberat dan meringankan keluhan. Pada klien fraktur /
patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan,
degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan,
kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak,
kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu.
Tanyakan masalah kesehatan yang lalu yang relavan baik yang
berkaitan langsung dengan penyakit sekarang maupun yang tidak
ada kaitannya. Kaji apakah pada klien fraktur pernah mengalami
kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan ada / tidaknya
klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita
osteoporosis sebelumnya.
3) Riwayat Penyakit Keluarga.
Kaji apakah pada keluarga klien ada / tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang
sifatnya menurun dan menular.
d. Pola Fungsi Kesehatan.
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Kaji frekuensi/porsi makan, jenis makanan, tinggi badan, berat
badan, serta nafsu makan. Pada umumnya tidak akan mengalami
gangguan penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas dan Latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
6) Pola Hubungan Peran
Pola hubungan dan peran akan mengalami gangguan karena
keterbatasan dalam beraktivitas.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Kaji adanya ketakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
9) Pola Stres Adaptasi
Masalah fraktur femur dapat menjadi stres tersendiri bagi klien.
Dalam hal ini pola penanggulangan stress sangat tergantung pada
sistem mekanisme klien itu sendiri misalnya pergi kerumah sakit
untuk dilakukan perawatan / pemasangan traksi. Kaji cara pasien
untuk menangani stress yang dihadapi.
10) Pola reproduksi dan seksual
Bila klien sudah berkeluarga dan mempunyai anak maka akan
mengalami gangguan pola seksual dan reproduksi, jika klien belum
berkeluarga klein tidak akan mengalami gangguan. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: kesadaran, tanda – tanda vital, sikap, keluhan
nyeri
2) Kepala: bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan atau
lesi
3) Mata: bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil,
konjungtiva,dll
4) Hidung: adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara
napas tambahan, dll
5) Telinga: kebersihan, keadaan alat pendengaran
6) Mulut: kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lendir,
keadaan gigi, keadaan lidah
7) Leher: pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk,
pergerakan leher
8) Thoraks: bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu
pernapasan, adanya suara napas tambahan
9) Jantung: bunyi, pembesaran
10) Abdomen: bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada
perabaan, distensi
11) Ekstremitas: kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya
edema
12) Alat kelamin : Kebersihan, kelainan
13) Anus : kebersihan, kelainan
G. Daftar Masalah Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan tampak merisngis.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan
organisme pathogen lingkungan.
3) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
dibuktikan dengan merasa khawatir dengan akibat dari kondisi
yang dihadapi.
H. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Rasional


Intervensi
No Keperawatan Hasil
(SIKI)
(SDKI) (SLKI)
1 Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
keperawatan selama ……. (I.08238) Mengidentifikasi dan
X …… maka nyeri akut Observasi mengelola
menurun dengan kriteria 1. Identifikasi pengalaman sensorik
hasil : lokasi, atau emosional yang
1. Keluhan nyeri karakteristik, berkaitan dengan
menurun durasi, kerusakan jaringan
2. Meringis menurun frekuensi, atau fungsional
3. Sikap protektif kualitas, dengan onset
menurun intensitas mendadak atau
4. Gelisah menurun nyeri lambat dan
5. Kesulitan tidur 2. Identifikasi berintensitas ringan
menurun skala nyeri hingga berat dan
6. Menarik diri 3. Identifikasi konstan
menurun respon nyeri
7. Berfokus pada diri non verbal
sendiri menurun 4. Identifikasi
8. Diaforesis menurun faktor yang
9. Perasaan depresi memperberat
(tertekan) menurun dan
10. Perasaan takut memperingan
mengalami cidera nyeri
berulang menurun 5. Identifikasi
11. Anoreksia menurun pengetahuan
12. Frekuensi nadi dan keyakinan
membaik tentang nyeri
13. Pola nafas 6. Identifikasi
membaik pengaruh
14. Tekanan darah budaya
membaik terhadap
15. Proses berpikir repson nyeri
membaik 7. Identifikasi
16. Fokus membaik pengaruh
17. Fungsi berkemih nyeri terhadap
membaik kualitas hidup
18. Perilaku membaik 8. Monitor
19. Nafsu makan keberhasilan
membaik terapi
20. Pola tidur membaik komplementer
yang sudah
diberikan
9. Monitor efek
samping
penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan
teknik non
farmakologis
untuk
mengurangi
rasa nyeri
(mis : TENS,
hypnosis,
akupresure,
terapi music,
biofeedback,
terapi pijat,
aromaterapi,
teknik
imajinasi
terbimbing,
kompres
hangat atau
dingin, terapi Pemberian Analgesik
bermain) Menyiapkan dan
2. Kontrol memberikan agen
lingkungan farmakologis untuk
yang mengurangi atau
memperberat menghilangkan rasa sakit
rasa nyeri
(mis : suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi
istirahat dan
tidur
4. Pertimbangka
n jenis dan
sumber nyeri
dalam
pemeliharaan
strategi
meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan
penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan
strategi
meredakan
nyeri
3. Anjurkan
memonitor
nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan
menggunakan
analgetik
secara tepat
5. Ajarkan
teknik
nonfarmakaol
ogis untuk
mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
6. Memberikan
analgetik jika
perlu

Pemberian Analgetik
(I.08243)
Observasi
1. Identifikas
i
karakterist
ik nyeri
( mis:
pencetus,
Pereda,
kualitas,
lokasi,
intensitas,
frekuensi,
durasi)
2. Identifikas
i riwayat
alergi obat
3. Identifikas
i
kesesuaia
n jenis
analgetik
(mis:
narkotika,
non
narkotik
atau
NSAID)
dengan
tingkat
keparahan
nyeri
4. Monitor
tanda-
tanda vital
sebelum
dan
sesudah
pemberian
analgetik
5. Monitor
efektivitas
analgetik
Terapeutik
1. Diskus
ikan
jenis
analge
tik
yang
disuka
i untuk
menca
pai
analge
sial
optima
l, jika
perlu
2. Pertim
bangk
an
pengg
unaan
infus
contin
ue,
atau
bolus
oploid
untuk
memp
ertaha
nkan
kadar
dalam
serum
3. Tetapk
an
target
efektif
itas
analge
tik
untuk
mengo
ptimal
akan
respon
pasien
4. Doku
menta
sikan
respon
terhad
ap
efek
analge
tik dan
efek
yang
tidak
diingi
nkan
Edukasi :
1. Jelask
an
efek
terapi
dan
efek
sampi
ng
obat
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian
dosis dan
analgetik,
sesuai indikasi

2 Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi


keperawatan selama … x (I.14539) Mencegah infeksi dengan
… jam, maka risiko Observasi menjaga agar
infeksi menurun dengan  Monitor tanda mikroorganisme tidak
kriteria hasil: dan gejala mudah menyebar.
Risiko Infeksi (L.14137) infeksi local
 Kebersihan tangan dan sistemik
meningkat Terapeutik
 Kebersihan badan  Cuci tangan
meningkat sebelum dan
 Kemerahan sesudah kontak
menurun dengan pasien
 Nyeri menurun dan
 Bengkak menurun lingkungan
 Kultur area luka pasien
membaik  Pertahankan
Teknik aseptic
pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
 Jelaskan tanda
dan gejala
infeksi
 Anjurkan cara
mencuci
tangan dengan
benar
 Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan
meningkatkan
asupan cairan
3 Ansietas Setelah dilakukan asuhan Terapi Relaksi Perawatan Integritas
keperawatan selama … x (I.09326) Kulit
… jam, maka ansietas Observasi Mengurangi kecemasan
menurun dengan kriteria  Identifikasi dengan rileksasi
hasil: penurunan
Ansietas (L.09093) tingkat energi,
 Perilaku elisah ketidakmampu
menurun an
 Perilaku tegang berkonsentrasi,
menurun atau gejala lain
 Tekanan darah yang
menurun mengganggu
 Konsentrasi kemampuan
membaik kognitif
 Pola tidur membaik Terapeutik
 Kontak mata  Gunakan
membaik pakaian
 Pola berkemih longgar
membaik  Gunakan nada
suara lembut
dengan iramaa
lambat dan
berirama
Edukasi
 Anjurkan
mengambil
posisi nyaman

Referensi

Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New York:
Delmar.
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi
9. EGC : Jakarta
Gianyar, …………. 2020

Nama Pembimbing / CI Nama Mahasiswa

……………………………….…… …………………………

NIP. NIM.

Nama Pembimbing / CT

...................................................................

NIP.

Anda mungkin juga menyukai