Pengertian
Pembesaran Prostate
Penyempitan lumen
posterior TURP
(Tranurethral Resection Of
obstruksi Prostat)
Nyeri akut
Luka
Saraf Aferen
Cortex cerebri
Nyeri akut
D. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa
Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri.
Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi
dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi
dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi
prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif
maka semua defek pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan
pernafasan biasanya menyertai penderita BPH karena usianya yang sudah
tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan harus dikaji.
Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis
leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena,
USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume
BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu urin. Dari foto polos dapat
dilihat adanya batu pada traktus urinarius, pembesaran ginjal atau buli-
buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastase dari
keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika
urinaria, residu urin. Dari USG dapat diperkirakan besarnya prostat,
memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin dan batu ginjal.
4. BNO /IVP
Untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat
bayangan radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat
/mengetahui fungsi ginjal apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli
dapat dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikencingkan.
Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor, divertikel. Selagi
kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
E. Penatalaksanaan
1. Medis
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat
ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak
mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra
(trans uretra)
c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika,
retropubik dan perineal.
d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok
melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau
pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif
dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa.
Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti
androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan
pada BPH dapat dilakukan dengan:
a) Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol
keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b) Medikamentosa
Mengharnbat adrenoreseptor α
Obat anti androgen
Penghambat enzim α -2 reduktase
Fisioterapi
c) Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel
batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar
prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan
malalui uretra.
Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang
dibuat pada kandung kemih.
Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui
sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui
sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra
dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker
prostat.
d) Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced
Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
F. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Klien
Kaji nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan,
kebangsaan, suku, pendidikan, no register, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Kaji keluhan pasien yang menyebabkan ia datang ke pelayanan
kesehatan. Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat
beraktivitas / mobilisasi pada daerah fraktur tersebut.
c. Riwayat Penyakit
1) Riwayat Penyakit Sekarang.
Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses
perjalanan penyakit sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja
yang memperberat dan meringankan keluhan. Pada klien fraktur /
patah tulang dapat disebabkan oleh trauma / kecelakaan,
degeneratif dan pathologis yang didahului dengan perdarahan,
kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak,
kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
2) Riwayat Penyakit Dahulu.
Tanyakan masalah kesehatan yang lalu yang relavan baik yang
berkaitan langsung dengan penyakit sekarang maupun yang tidak
ada kaitannya. Kaji apakah pada klien fraktur pernah mengalami
kejadian patah tulang atau tidak sebelumnya dan ada / tidaknya
klien mengalami pembedahan perbaikan dan pernah menderita
osteoporosis sebelumnya.
3) Riwayat Penyakit Keluarga.
Kaji apakah pada keluarga klien ada / tidak yang menderita
osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang
sifatnya menurun dan menular.
d. Pola Fungsi Kesehatan.
1) Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Kaji frekuensi/porsi makan, jenis makanan, tinggi badan, berat
badan, serta nafsu makan. Pada umumnya tidak akan mengalami
gangguan penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas dan Latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
6) Pola Hubungan Peran
Pola hubungan dan peran akan mengalami gangguan karena
keterbatasan dalam beraktivitas.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Kaji adanya ketakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
body image).
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
9) Pola Stres Adaptasi
Masalah fraktur femur dapat menjadi stres tersendiri bagi klien.
Dalam hal ini pola penanggulangan stress sangat tergantung pada
sistem mekanisme klien itu sendiri misalnya pergi kerumah sakit
untuk dilakukan perawatan / pemasangan traksi. Kaji cara pasien
untuk menangani stress yang dihadapi.
10) Pola reproduksi dan seksual
Bila klien sudah berkeluarga dan mempunyai anak maka akan
mengalami gangguan pola seksual dan reproduksi, jika klien belum
berkeluarga klein tidak akan mengalami gangguan. Selain itu juga,
perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum: kesadaran, tanda – tanda vital, sikap, keluhan
nyeri
2) Kepala: bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan atau
lesi
3) Mata: bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil,
konjungtiva,dll
4) Hidung: adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara
napas tambahan, dll
5) Telinga: kebersihan, keadaan alat pendengaran
6) Mulut: kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lendir,
keadaan gigi, keadaan lidah
7) Leher: pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk,
pergerakan leher
8) Thoraks: bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu
pernapasan, adanya suara napas tambahan
9) Jantung: bunyi, pembesaran
10) Abdomen: bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada
perabaan, distensi
11) Ekstremitas: kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya
edema
12) Alat kelamin : Kebersihan, kelainan
13) Anus : kebersihan, kelainan
G. Daftar Masalah Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan tampak merisngis.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan
organisme pathogen lingkungan.
3) Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
dibuktikan dengan merasa khawatir dengan akibat dari kondisi
yang dihadapi.
H. Intervensi Keperawatan
Pemberian Analgetik
(I.08243)
Observasi
1. Identifikas
i
karakterist
ik nyeri
( mis:
pencetus,
Pereda,
kualitas,
lokasi,
intensitas,
frekuensi,
durasi)
2. Identifikas
i riwayat
alergi obat
3. Identifikas
i
kesesuaia
n jenis
analgetik
(mis:
narkotika,
non
narkotik
atau
NSAID)
dengan
tingkat
keparahan
nyeri
4. Monitor
tanda-
tanda vital
sebelum
dan
sesudah
pemberian
analgetik
5. Monitor
efektivitas
analgetik
Terapeutik
1. Diskus
ikan
jenis
analge
tik
yang
disuka
i untuk
menca
pai
analge
sial
optima
l, jika
perlu
2. Pertim
bangk
an
pengg
unaan
infus
contin
ue,
atau
bolus
oploid
untuk
memp
ertaha
nkan
kadar
dalam
serum
3. Tetapk
an
target
efektif
itas
analge
tik
untuk
mengo
ptimal
akan
respon
pasien
4. Doku
menta
sikan
respon
terhad
ap
efek
analge
tik dan
efek
yang
tidak
diingi
nkan
Edukasi :
1. Jelask
an
efek
terapi
dan
efek
sampi
ng
obat
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian
dosis dan
analgetik,
sesuai indikasi
Referensi
Carpenito, L. J., (2000), Buku saku diagnosa keperawatan, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Corwin, E. J., (2009), Buku saku pathofisiologi. Edisi 3. EGC: Jakarta.
DeLaune & Ladner. (2002). Fundamental of nursing: Standards and practice. New York:
Delmar.
Komisi Nasional Lanjut Usia (Komnas Lansia). (2010). Profil penduduk lansia 2009.
Komnas Lansia: Jakarta
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Wilkinson M. Judith & Ahern R. Nancy. 2011. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi
9. EGC : Jakarta
Gianyar, …………. 2020
……………………………….…… …………………………
NIP. NIM.
Nama Pembimbing / CT
...................................................................
NIP.