Anda di halaman 1dari 3

TEGUHKAN SRADHA MELALUI PENGENDALIAN PIKIRAN

Om Swastyastu,
Om  Annobadrahkrtavoyantu Visvatah

Duhkheşw anudwigna-manāh sukheşu wigata-spŗhah


Wīta-rāga-bhaya-krodhah sthita-dīhr munir ucyate

Artinya :

Ia yang pikirannya tidak terusik di tengah-tengah kesedihan dan terbebas dari hasrat
keinginan di tengah-tengah kesenangan, yang nafsu, rasa takut, dan kemarahannya telah
lenyap, ia di sebut muni (orang bijak) yang teguh iman.

( Bhagawad Gita, II. 56 )

(Eka)

Umat sedharma yang berbahagia,


Manusia pada hakekatnya disebut sebagai makhluk yang paling sempurna karena
memiliki pikiran. Pikiran merupakan faktor intern yang akan mendorong manusia untuk
memiliki keinginan dan melakukan suatu aktivitas dalam kehidupannya. Dari pikiran itu akan
menimbulkan perbuatan yang bersifat dualisme, yaitu baik dan buruk. Secara psikologis
manusia selalu ingin memenuhi keinginannya (nafsu) agar tercipta suatu kebahagiaan dalam
dirinya. Semua itu dicapai dengan cara melakukan aktivitas kerja (karma). Sesungguhnya
keinginan atau nafsu itu sangat penting dalam hidup ini. Tanpa keinginan dan nafsu, tidak
akan ada sesuatu yang bisa dikerjakan oleh seseorang dalam hidupnya. Keinginan atau nafsu
itu menimbulkan suatu karya, kreativitas yang menjadi dharma bagi setiap orang. Bila nafsu
atau keinginan orang hilang, maka tidak ada suatu kegiatan apapun yang terjadi dalam hidup
ini, identitas manusia akan lenyap. Oleh karena itu keinginan atau nafsu adalah motor
penggerak di dalam hidup ini yang membawa kegairahan dan prestasi terhadap seseorang.
(Trisna Agustini)

Keinginan atau nafsu itu memerlukan pemuasan, dan akan membawa malapetaka bagi
seseorang apabila keinginan-keinginan itu tidak dapat memuaskan dirinya. Pemuasan nafsu
mempunyai wilayah yang disebut wisaya. Wisaya juga merupakan objek keinginan atau
objek untuk pelampiasan nafsu. Jika segala nafsu atau keinginan itu di cegah, maka akan
terjadi keguncangan-keguncangan dalam diri seseorang. Cenderung timbul ketidakbaikan
apabila keinginan-keinginan itu bersikeras melawan pertimbangan akal sehat dan kegelapan
menyelubungi pikiran seseorang. Sebaliknya akan timbul hal-hal yang baik jika pemuasan-
pemuasan keinginan itu menuruti pertimbangan akal sehat (wiweka). Alat untuk memenuhi
segala keinginan atau nafsu adalah indriya. Indriya merupakan pintu gerbang alam pikiran
yang menghubungkan segala yang bersifat kejiwaan dengan dunia. Persentuhan indriya
dengan dunia menimbulkan berbagai interaksi, yang kemudian menjadi aspek-aspek
kehidupan manusia (Wahyuna)

Pikiran merupakan sumbernya indriya, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik
dan buruk. Pikiran seringkali mempengaruhi tingkat keimanan seseorang, karena pikiran
dapat terkontaminasi oleh segala bentuk kesenangan dan kesedihan, yang dapat
menenggelamkan kehidupan seseorang dalam keduniawian. Menurut Svami Vivekananda,
mengendalikan pikiran itu sangat sulit, ibarat memasukkan kera kedalam karung. Bagaimana
gejolak dan ributnya kera-kera itu di dalam karung, deikianlah digambarkan pikiran yang
hendak dikendalikan itu. Karena pikiran itu harus dilatih, dikendalikan, diarahkan ke hal-hal
yang bersifat baik dan suci. Orang yang berhasil mengendalikan pikirannya akan dapat
merasakan kebahagiaan, baik sekarang ataupun nanti. Perbuatan yang nampaknya baik, kata-
kata yang halus, tidak ada gunanya apabila di dalam hatinya jahat. Lebih buruk orang yang
jahat hatinya daripada orang yang kasar kata-katanya. Karena itulah manusia harus memiliki
Manacika Parisudha yaitu pikiran yang baik dan suci (Widha Erpani)

Dalam ajaran yoga, alam pikiran disebut citta, yang merupakan hasil pertama dari
prakerti. Dalam Yoga Ada lima macam keadaan pikiran yang ditentukan oleh intensitas
sattwam, rajas, dan tamas , antara lain :

1. Ksipta, artinya tidak diam-diam.


2. Mudha, artinya lamban dan malas
3. Wiksipta, artinya bingung, kacau
4. Ekagra, artinya terpusat
5. Niruddha, artinya terkendali

Dalam Yoga Sutra Patanjali I.1 disebutkan “Yogascitta Vritti Niroddhah” artinya Yoga
adalah pengendalian gelombang-gelombang pikiran. Ajaran Yoga menuntun seseorang tahap
demi tahap untuk mengendalikan pikiran dan dirinya sehingga dapat mencapai ketenangan
guna sampai pada Tuhan. Cara untuk mengendalikan diri dalam Yoga disebut dengan “
Astangga Yoga” yang terdiri dari : (Eli Puspita)
1. Yama, artinya pengendalian diri yang harus dilakukan setiap orang dalam usaha
untuk meningkatkan kualitas hidup
2. Nyama, artinya pengendalian diri dalam aspek mental.
3. Asanas, artinya mengatur sikap duduk dan disiplin untuk menenangkan pikiran
4. Prana, artinya pengendalian nafas
5. Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan semua indriya sehingga dapat
melihat sinar-sinar suci.
6. Dharana, artinya mengikat pikiran pada suatu objek, agar supaya ia menetap dan
tidak goyah.
7. Dhyana, artinya pikiran yang terlatih dan tetap terpusat pada suatu objek di dalam
atau diluar diri dan kemudian mengalir arus kekuatan yang tak terpecah-pecah.
8. Samadhi, artinya luluhnya pikiran dengan atma (Titi Rahayuni)

Sebagai makhluk berfikir, sesuai dengan eksistensinya manusia harus mampu


mengendalikan pikirannya itu, sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya (mental
power), sehingga apa yang diucapkannya dalam kata-kata dan apa pula yang diwujudkannyaa
dalam perbuatannya selalu baik dan suci serta dapat mencerminkan sebagai makhluk yang
mulia dan utama. Kesucian pikiran tidak akan terusik di tengah-tengah kesedihan dan
terbebas dari hasrat keinginan di tengah-tengah kesenangan, jika seseorang sudah mampu
mengendalikan pikiran dalam keadaan apapun baik itu susah ataupun senang. Semua keadaan
itu harus dihadapi dengan ketenangan dan keteguhan iman. Ibarat sungai gangga, ketika
seorang brahmana menaburkan bunga kedalamnya ia tetap mengalir tenang. Ketika seekor
sapi membuang kotoran kedalamnnya, ia juga tetap mengalir dengan tenang (Wayan Sucita)

Demikian yang dapat kami sampaikan pada kesempatan yang berbahagia ini. Semoga
dengan belajar mengendalikan pikiran, kita dapat dijauhakan dari segala rasa keterpurukan,
utamanya dalam menghadapi virus corona covid-19. Apabila ada hal – hal yang kurang
berkenan mohon dimaafkan, “Tan Hana Wwang Swasty Hayu Nulus”  tidak ada manusia
yang sempurna. (Trisna Agustini)

Om Santih, Santih, Santih Om 

Anda mungkin juga menyukai