Anda di halaman 1dari 19

A.

PENGERTIAN ILMU AKHLAK

Ada dua tipe pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu
pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk
infinitive), akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wazan)
t’sulasimajidaf’’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti al-sajiyah (perangai)b, ath-thabi’ah
(kelakuan, tabiat, watakdaasar), al-‘adat (kebiasaan, kelaziman), al-sin (agama).

Linguistic akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak
memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya. Kata akhlak
adalah jamak dari kata khilqun atau khuluqun yang artinya sama dengan arti akhlak
sebagaimana telah disebutkan diatas. Baik kata akhlaq atau khulqun kedua-duanya
dijumpai pemakaiannya baik dalam al-quran maupun dalam hadist, sebagaiberikut :

“ Dan sesungguhnya kamubenar-benar berbudi pekerti yang agung” (Q.S.Al-Qalam, 68:4)

(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan yang dahulu (Q.S.Al-Asyura, 26:137)

Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang sempurna
budipekertinya (H.R.Tirmidzi)

Dengan demikian merujuk kepada ayat diatas kata akhlak atauk hulqun secara
kebahasan berarti budi pekerti, adat kebisaan, atau perangai muru’ah atau segala sesuatu
yang sudah menjaditabiat.

Keseluruhan definisi akhlak tersebut diatas tampak tidak ada yang bertentangan,
melainkan memiliki kemiripan. Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansi saling
tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapatmelihat lima ciri yang
terdapatdalamperbuatanakhlak, yaitu :
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakuakan dengan mudah dan
tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya.

Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang
yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.

Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbutaan yang dilakukan dengan


sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.

Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang
baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan
karena ingin dipuji atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.

B. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU AKHLAK

Ilmu akhlak adalah membahas tentang perbuatan-pebuatan manusia, kemudian


menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau
perbuatan yang buruk. Ilmu akhlak berkaitan dengan norma
ataupenilaianterhadapsuatuperbuatan yang dilakukanolehseseorang. Akhlak sebagai
suatu disiplin ilmu agama sudah sejajar dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir,
tauhid, fiqh, sejarah islam, dll.

Pokok-pokok masalah yang dibahas dalam ilmua khlak pada intinya adalah
perbuatan manusia. Perbuatan tersebut selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik
atau buruk. Dalam hubungan ini Ahmad Amin mengatakansebagaiberikut :
Bahwa objek ilmu akhlak adalah membahas perbuatanmanusia yang selanjutnya perbuatan
tersebut ditentukan baik atau buruk.

Kemudian menurut Muhammad Al-Ghazali akhlak menurutnya bahwa kawasan


pembahsaan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebgai individu
maupun kelompok. Dalam masyarakat Barat kata akhlak sering diidentikkan dengan etika,
walaupun pengidentikkannya ini tidak sepenuhnya tepat. Mereka yang mengidentikkan
antar aakhlak dengan etika mengatakan bahwa etika adalah penyelidikan tentang tingkah
laku dan sifat manusia. Namun perlu ditegaskan kembali bahwa yang dijadikan objek
kajian Ilmu Akhlak disini adalah perbuatan akhlak yang memiliki ciri-ciri dilakukan atas
kehendak dan kemauan, sebenarnya mendarah daging dan telah dilakukan secara
kontinyu atau terus-menerus dalamk ehidupannya.

Dapat disimpulkan yang dimaksud dengan ilmu akhlak adalah ilmu yang mengkaji
suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dalam keadaan sadar, kemauan sendiri,
tidak terpaksa, dan sungguh-sungguh, bukan perbuatan yang pura-pura.

C. MANFAAT MEMPELAJARI ILMU AKHLAK

Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan
sebgaai berikut :

Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat
menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian
perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat
zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk
perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.

Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati menjadi
suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.
Seseorang yang memmpelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang criteria
perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang
baik dan perbuatan yang buruk.

Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai
berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK
yang majudisertaiakhlak yang mulia, niscayailmupengetahuaan yang Ia miliki itu akan
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang
memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan,
namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan
disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.

Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan
ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha
menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai
perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.

Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk
memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan
yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya,
dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.

A. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU TASAWUF

Para ahli Ilmu Tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama
tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf
ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari
perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan
demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu
berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang
digunakan. Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio
atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau
pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia,
hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari
takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan
akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang (hijab) yang membatasi manusia
dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya
mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi,
akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang
demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena
terpaksa.
Hubungan antara Ilmu Akhlak dengan Ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian
yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari Tasawuf ternyata pula
bahwa al-Qur’an dan al-hadis mementingkan akhlak. Al-Qur’an dan al-hadis
menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong
–menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar,
pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin,
mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang
muslim, dan dimasukkan kedalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketauhi bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena
bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa,
haji, zikir, dan lain sebagainya, yangsemuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat
hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut
mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan
akhlak. Ibadah dalam al-Qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti
melaksanakan perintah tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat
baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi
munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencega orang dari hal-hal yang tidak baik.
Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution
lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya
membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi
disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti
Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki
Allah.
B. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU TAUHID
Ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu
yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang
terpinting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu
Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam
selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena masalah yang pokok
dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-
keyakinan, dan buku-buku yang menguppas tentang keyakinan-keyakinan diberi judul
al-Aqa’id (ikatan yang kokoh).
Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu
tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang
dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam al-Qur’an, dan masalah ini pernah
menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di
abad ke sembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan dan
penganiayaan terhadap sesama muslim.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka yang
dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat
lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid maka kita dapat memperoleh
kesan yang mendalam bahwa Ilmu tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya
memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga
termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu rukun Iman.
Nah, bagaimana hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu tauhid? Sekuang-kurangnya dapat
dilihat melalui tiga analisis sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya.
Ilmu tauhid membahas masalah masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-
Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan
untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-
mata karena Allah SWT. Dan utuk mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlsan
ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Alla SWT. Berfirman:
       
    • 
  
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”.
(QS. Al-Bayyinah, 98:5).
2. Dilihat dari segi fungsinya.
Ilmu tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan
menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting
adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subyek yang
terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percapa bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang
mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu. adapun
rukun iman yang harus dibina itu adalah:
a. Beriman kepada Allah
Jika seorang beriman kepada Allah dan percaya kepada sifat-sifatnya yang sembilan
puluh sembilan itu maka Asmaul Husna itu harus dipraktekkan dalam kehidupan.
Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap
pembentukan akhlak yang mulia.
b. Beriman kepada malaikat
Yang dimaksud disini adalah agar manusia meniru sifat-sifat terpuji yang terdapat pada
malaikat, seperti jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh pelaksanaan segala
yang diperintahkan Tuhan.
c. Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan (Al-Qur’an)
Secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan al-Qur’an sebagai wasit, hakim
serta imam dalam kehidupan. Secara tidak sengaja maka kita mengikuti akhlak yang
sesuai dengan akhlak yang terdapat dalam al-Qur’an.
d. Beriman kepada Rasul-rasul Allah.
Dalam diri para rasul terdapat akhlak yang mulia. Khususnya pada diri Rasulullah
Muhammad SAW. Kita sebagai manusia diperintahkan untuk mecontoh akhlak yang ada
pada diri Rasul Allah tersebut.
Dengan cara demikian beriman kepad para rasul akan mneimbulkan akhlak yang mulia.
Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cra meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yanitu
sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan
perintah Allah), dan fathanah (cerdas).
e. Beriman kepada hari akhirat
Dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa selama amal perbuatan
yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya nanti.
Kebahagiaan hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan
sebanyak-banyaknya akan mendorong sesseorang memiliki etos kerja untuk selalu
melakukan perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini.
f. Beriman kepada qada’ dan qadar
Agar orang yang percaya kepada qada’ dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur
terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang
demikian merupakan perbuatan akhlak yang mulia.
3. Dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali kita jumpai di dalam Al-Qur’an
maupun hadis. Misalnya:
       
       
  
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).
       
     
    
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami
mendengar, dan Kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-
Nur, 24: 51).
      
     
     
     
     
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-
orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”.
(QS. Al-Anfal, 8: 2-4).
Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secra seksama akan tampak bahwa ayat-ayat
tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia.
Ayat-ayat tersebut memberi petunjuknya dengan akhlak yang mulia. Ayat-ayat tersebut
dengan jelas bahwa keimanan harus dimaifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam
bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan nabi terhadap perkara yang
diperselisihkan di antara manusia, patut dan tunduk terhadap keputusan Allah dan
rasulnya, bergetar hatinya jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertawakkal, melaksanakan
shalat dengan khusyu’, berinfaq di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada
gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah. Maka
disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan Ilmu Akhlaq. Dari
uraian yang agak panjang lebar di atas, dapat dilihat dengan jelas hubungan antara
keimanan yang dibahas dalam Ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam Ilmu
Akhlak. Ilmu tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu
akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari Ilmu Tauhid.
Tauhid tampa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid
maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak
memberi isi terhadap arahan tersebut.
C. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN ILMU JIWA
Dilihat dari segi bidang garapannya, Ilmu Jiwa membahas tentang gejala-gejala kejiwaan
yang tampak dalam tingkah laku. Melalui ilmu jiwa dapat diketahui psikologis yang
dimiliki seseorang. Jiwa yang bersih dari dosa dan maksiat serta dekat dengan Tuhan,
misalnya akan melahirkan perbuatan sikap yang enangpula, sebaliknya jiwa yang kotor,
banyak berbuat kesalahan dan jauh dari Tuhan akan melahirkan perbuatan yang jahat,
sesat dan menyesatkan orang lain.
Dengan demikian ilmu jiwa mengarahkan pembahasannya pada aspek batin manusia
dengan cara penginterpretasikan perilakunya yang tampak. Melalui bantuan informasi
yang diberikan ilmu jiwa, atau potensi kejiwaan yang diberikan al-Qur’an, maka secara
teoritis ilmu Akhlak dapat dibangun dengan kokoh. Hal ini lebih lanjut dapat kita jumpai
dalam uraian mengenai akhlak yang diberikan Quraish Shihab, dalam buku terbarunnya,
Wawasan al-Qur’an. Ia mengatakan bahwa: “Kita dapat berkata bahwa secara nyata
terlihat dan sekaligus kita akui bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga
sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia memiliki kedua potensi tersebut”. Lebih lanjut
mengutip ayat yang berbunyi:
 •
“Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)nya dua jalan mendaki mendaki (baik dan
buruk)”. (QS. Al-Balad, 90:10).
Namun demikian dalam kesimpulannya, Quraish Shihab berpendapat bahwa walaupun
kesua potensi ini (baik dan buruk) terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan
isyarat-isyarat dalam al-Qur’an bahwa kebajikan lebih dahulu menghias diri manusia
daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan.
Selain itu di dalam ilmu jiwa juga terdapat informasi tentang perbedaan psikologis yang
diaami seseorang pada setiap jenjang usianya. Gejala psikologis yang dialami anak usia
di bawah 5 tahun (balita), kanak-kanak (5-6 tahun), anak-anak (7-12tahun), remaja (13-
19 tahun), dewasa (20-40 tahun), orang tua (41-60 tahun), lanjut usia (61-seterusnya)
ternyata berlainan.
Banyak hasil pembinaan akhlak yang telah dilakukan para ahli dengan mempergunakan
jasa yang diberikan ilmu jiwa, seperti yang dilakukan para psilolog terhadap perbaikan
anak-anak nakal, berperlaku menyimpang dan lain sebaginya.
D. HUBUNGAN ILMU JIWA DENGAN ILMU PENDIDIKAN
Ilmu pendidikan sebagai dijumpai dalam berbagai literatur banyak berbicara mengenai
berbagai aspek yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan pendidikan. Dalam
ilmu ini antara lain dibahas tentang rumusan tujuan pendidikan, materi pelajaran
(kurikulum), guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, bimbingan, proses
belajar-mengajar, dan lain sebagainya.
Semua aspek pendidikan ditujukan pada tercapainya tujuan pendidikan. Tujuan
pendidikan ini dalam pandangan Islam banyak berhubungan dengan kualitas mansuia
yang berakhlak. Ahmad D. Marimba misalnya mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah identik dengan tujuan hidup seorang muslim, yaitu menjadi hamba Allah yang
mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya. Sementara itu
Mohd. Athiyah al-Abrasyi, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti adalah adalah
jiwa dari pendidikan islam, dan islam telah menyimpulkan bahwa pendidikan budi
pekerti dan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam. Mencapai suatu akhlak yang sempurna
adalah tujuan sebenarnya dari pendidikan. Selanjutnya al-Attas mengatakan bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Kemudian Abdul fatah jalal
mengatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai
hamba Allah.
Jika rumusan dari keempat tujuan pendidikan Islam itu dihubungkan antara satu dengan
yang lainnya. Maka dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
terbentuknya seorang hamba Allah yang patut dan tunduk melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangannya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang
mulia. Rumusan ini menggambarkan bahwa antara Pendidikan Islam dan Ilmu Akhlak
ternyata sangat berkaitan erat. Pendidikan Islam merupakan sarana yang mengantarkan
anak didik agar menjadi orang yang berakhlak.
E. HUBUNGAN ILMU AKHAK DENGAN FILSAFAT
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai
ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat
mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan
hakikatnya.
Di antara filsafat obyek pemikiran filsafat yan erat kaitannya dengan Ilmu Akhlak adalah
tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-
1111 M) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya
tentang jiwa.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa
dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan
lebih lanjut menjadi konsep Ilmu Akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara pendekatan dalam
menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang
demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat
dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam pemikiran
Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhlik budaya yang kesempurnaannya
baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ia
menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan
manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri
sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia yang
terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat berguna
dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia,
memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Engan cara demmikian
akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang
aman dan damai.
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut,
maka seseorang yang akan memperdalam Ilmu Akhlak, perlu pula melengkapi dirinya
dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu urian tersebut di
atas menunjukkan dengan jelas bahwa Ilmu Akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau
berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia.

a. Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan
linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive)
dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu
if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat
(kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas,
sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka
timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau
isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang
sudah demikian adanya.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai
pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal
sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan
bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam
(pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang
dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah
sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling
dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita
dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah
menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa
perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya,
tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena
bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak
yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan
karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]

b. Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu
pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa
etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-
beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu
yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi
yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah,
dan sebagainya.

Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan
empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya
membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika
bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat
mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan,
kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas
perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan
sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika
lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia.
Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi
sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.

Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik
atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik
atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.
Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran
manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah
laku yang dihasulkan oleh akal manusia.

c. Moral

Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos
yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral
adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat
dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang
digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik
atau buruk, benar atau salah.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat
mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama
membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau
buruk.

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama,
kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk
menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang
digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep,
sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku
manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.

Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral
atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian system nilai yang ada.

Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut
conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam
kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan
tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif,
yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang
objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap
waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran
moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.

Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih
mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh
masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan
memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang
berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai
tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran
moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan
tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.

d. Karakteristik dalam ajaran Islam

Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam
atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal
menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja,
mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya
yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan
akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan
social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.

Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai
universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal
sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini,
bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun
etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama
(akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara
sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika
digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan
sepenuhnya oleh etika atau moral.

Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri,
khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup
berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).

3. Penutup

Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan
akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia
untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki
terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga
sejahtera batiniah dan lahiriyah.

Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang
dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk
berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang
berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan
baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.

Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan
pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih
banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral
dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral
dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.

Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan.
Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari
produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan
baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan
yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila
berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai