Oleh:
dr. Stephanie Darda Susilowati
Pembimbing:
Dr. dr. I Gusti Ngurah Made Suwarba, Sp.A (K)
Dr. dr. Dewi Sutriani Mahalini, Sp.A
2. Penilaian mororik
Penilaian motoric meliputi tonus otot pasif, postur dan gerak otot aktif, kekuatan,
dan bentuk otot. Tonus otot pasif diartikan sebagai adanya tahanan pada otot yang
sedang istirahat dan diobservasi pada gerakan pasif. Gerakan otot aktif dinilai apakah
gerakan simetris dengan kualitas gerakan yang sama, termasuk pola berjalan, postur
tubuh, koordinasi, keseimbangan dan kekuatan otot. Pada anak usia 6-9 bulan sewajarnya
dapat duduk dan berdiri dengan berpegangan. Adanya koordinasi yang buruk atau
gerakan yang tidak memadai dari tangan dan kaki dapat ditemui pada anak usia dini dan
disebut dengan “soft neurological sign” yang dapat diartikan dengan abnormalitas
neurologi minimal yang sulit diinterpretasikan atau dideteksi. Tanda ini harus ditunjang
dengan temuan klinis dan dikonfirmasi dengan imaging kepala.
Hypertonia berhubungan dengan gangguan fungsi korteks dimana didapati
spastisitas dengan adanya resistensi pada gerakan pasif yang diikuti dengan tekanan
rendah seperti efek clasp-knife. Klonus merupakan kontraksi otot involunter yang
diinisiasi oleh reflex dan merupakan peningkatan reflex tendon dalam. Klonus sering
berhubungan dengan gangguan upper motor neuron (UMN) pada korteks serebral.
Klonus dapat dilihat dengan memfleksikan secara tiba-tiba dan cepat kaki keatas dan
melihat kontraksi pada pergelangan kaki. Klonus yang bertahan lama (lebih dari 5
hentakan) menggambarkan adanya gangguan kemampuan otak dalam mengontrol fungsi
tubuh yang berhubungan dengan batang otak dan saraf tulang belakang, contohnya
seperti gerakan mengunyah dan berjalan.1 Spastisitas brarti meningkatnya tonus saat
pemeriksa menggerakkan sendi lebih cepat. Rigiditas berarti tonus yang tetap meningkat
seberapapun kecepatan pergerakan sendi. Flasid berarti hilangnya tonus otot, pada
umumnya ditemukan pada kerusakan lower motor neuron (LMN).2
Kekuatan otot dinilai dengan angka 0-5 seperti pada orang dewasa 1 dimana nilai 0
merepresentasikan tidak adanya tonus otot, 1 adanya kontraksi otot tanpa pergerakan, 2
dapat bergerak kearah horizontal (tidak dapat melawan gravitasi), 3 dapat melawan
gravitasi tanpa tahanan, 4 dapat melawan gravitasi dengan tahanan ringan, 5 dapat
melawan gravitasi dengan tahanan kuat (kekuatan normal).2 Bentuk otot, seperti atrofi
otot juga harus dievaluasi, dibandingkan kanan dan kiri. Dokumentasi preferensi
penggunaan alat gerak tubuh dapat berguna. Adanya dominansi satu bagian tubuh pada
anak berusia kurang dari 1 tahun merupakan suatu kondisi patologis.1
Terdapat pemeriksaan spesifik untuk menilai kekuatan beberapa grup otot.
Pemeriksaan ini harus dibandingkan antara kanan dan kiri, proksimal dan distal,
ekstremitas atas dan bawah, kelemahan sebagian atau di seluruh bagian tubuh. Pada alat
gerak atas dapat diperiksa:
Pemeriksaan C7,C8,T1 (saraf ulnaris dan medianus)
Pemeriksaan C8, T1: otot aduktor policis (n. medianus), interosei palmaris, interosei
dorsalis (abduksi jari-jari-n.ulnaris)
Pemeriksaan C5-T1: otot pektoralis mayor dan latismus dorsi( saraf subscapularis).
Pemeriksaan otot seratus aterior ( C5-C7,saraf torakalis )
Pemeriksaan otot (L4,5 saraf peroneus dalam): dorsofleksi ankle. Apabila terjadi
kelemahan disebut: drop foot
Pemeriksaan otot fleksor digitorum longus, gastrocnemius, dan soleus ( S1, S2, saraf
tibialis, cabang dari n.sciaticus):fleksi ankle, plantar fleksi (berdiri dengan ujung jari
kaki), dan berditi dengan tumit (dorsofleksi)
3. Pemeriksaan sensoris
Pemeriksaan sensorik pada wajah termasuk dalam sistem saraf kranial. Jalur sensoris
pada alat gerak memiliki dua jalur yakni spinotalamikus dan kolumna dorsalis. Jalur
spinotalamikus mendeteksi nyeri, suhu, dan sentuhan kasar. Impuls dihantarkan melalui
saraf perifer ke traktus spinalis yang bersebrangan dari bagian tubuh dalam satu atau dua
tingkatan vertebrae ke hemisfer serebral yang bersebrangan dengan alat gerak tersebut.
jaras yang memlalui kolumna dorsalis mendeteksi adanya sensasi vibrasi, sentuhan
ringan dan propriosepsi (deteksi posisi). Impuls dihantarkan dari saraf perifer ke sisi
spinal yang sama diteruskan ke hemisfer serebral yang bersebrangan dengan bagian
tubuh. Pemeriksaan rangsang sensoris dapat diperiksa sesuai dermatome kulit untuk
memeriksa asal saraf yang terlibat dengan menggunakan kapas ketika mata tertutup,
pasien dapat menunjuk titik rangsangan. Pemeriksaan terhadap nyeri dapat menggunakan
ujung tumpul dan tajam pada palu reflex. Vibrasi dan suhu jarang dilakukan pada anak.
Sensasi diskriminasi pada anak yang dapat berbicara dapat dilakukan tes sebagai
berikut3:
A. Stereognosis: pengenalan obyek melalui indra peraba. Misalkan koin, kunci
B. Graphestesia: kemampuan menilai melalui bentuk dan jumlah benda di telapak
tangan (kemampuan spasial dan propriosepsi)
C. Perbedaan dua titik: membedakan spasial pada tubuh. Cara: menyentuh kulit pelan
pada dua titik dengan jarak dekat, kemudian menyentuh satu titik. Anak
menyebutkan apakah ada satu atau dua titik (untuk anak >5 tahun)
4. Pemeriksaan fungsi koordinasi
Fungsi koordinasi sekalian menilai gait/ pola berjalan. Anak diminta untuk
berjalan, diperhatikan panjang langkah,lebar kedua telapak kaki, dan pola berjalan.
Apakah ada Gower sign (anak merambat memengang tumit sampai paha untuk mulai
berdiri) yang menunjukkan Duchene muscular dystrophy. Tes Tandem dilakukan dengan
anak berjalan pada garis lurus dengan ujunb jari bersetuhan dengan tumit kaki
berlawanan, bergantian. Dilihat apakan anak sempoyongan atau jatuh ke satu sisi. Ter
Romberg dilakukan dengan pasien berdiri dengan kedua tumit bertemu, positif bila
cenderung jatuh saat mata tertutup. Pada umumnya anak jatuh kearah lesi. Tes koordinasi
lainnya antara lain: dysdiadokokinesia (supinasi pronasi cepat), tes telunjuk-hidung,
telunjuk-telunjuk, hidung-telunjuk-hidung, tumit-lutut-ibu jari kaki, dan tes rebound
(posisi seperti beradu panco kemudian dilepaskan mendadak-dilihat apakah dapat
menghentikan rebound). Uji koordinasi berkaitan dengan fungsi serebelum dan pusat
koordinasi lain yakni di telinga. Pada pasien dengan cerebral palsy memiliki gambaran
khas yaitu cara berjalan bersifat tidak stabil dan sering terjatuh walaupun telah
menggunakan tangan untuk mempertahankan keseimbangan. Hal ini disebut ataksia
serebral karena adanya gangguan koordinasi otot dan hilangnya keseimbangan. Pada lesi
sereberal primer terjadi spastisitas dan atetosis tanpa disertai gangguan intelegensi. Anak
yang menderita tipe ataksia mengalami kesulitan ketika mulai duduk atau berdiri. Lesi
biasanya mengenai serebelum, sehingga intelegensia tidak terganggu
tes Webber
(sensorineural) dan Rinne
(konduksi)
music box
IX: mengaplikasika observasi mengaplikasikan spatula observasi reflek
glosofaringeus n spatula lidah reflek lidah pada bagian tengah muntah,
pada bagian muntah, lidah, anak bersuara lihat arah uvula
tengah lidah pergerakan “aahhh” (uvula bergerak
ludah, berlawanan
kekuatan indra perasa pada 1/3 dengan sumber
lidah posterior lidah parese), pastikan
tidak ada abses
peritonsilar
X: vagus observasi saat nilai: serak, menilai kualitas suara nilai: serak, pitch
anak menangis pitch tangisan, stridor
tangisan,
stridor anak dapat
menelan dengan
baik
XI: asesorius anak tidur kepala anak mengangkat pundak pundak terangkat
terlentang, dapat melawan tahanan saat simetris
gerakkan kepala kembali ke menoleh ke kanan dan dapat melawan
ank ke satu sisi posisi kiri tahanan saat
semula menoleh
XII: observasi saat bayi dapat pergerakan lidah observasi
hipoglosus bayi menyusu menghisap menjulurkan lidah fasikulasi,
dan menelan mendorong pipi kanan atrofi/tidak,
terkoordinas dan kiri a/simetris,
i pergerakan lidah
jepit hidung (arah lidah sesuai
lidah letak parese),
terjulur di kekuatan lidah
tengah
d. Reflek Gonda: memfleksikan jari ke-4 pedis kemudian dilepaskan dengan cepat
e. Reflek Oppenheim: menggososk tulang tibia menggunakan jari telunjuk dan jari
tengah
f. Reflek Schaefner: menekan/mencubit tendon achiles dengan ibu jari dan telunjuk
g. Reflek Hoffman
h. Reflek Tromner
DAFTAR PUSTAKA
1. Swaiman KF dan Philips J. Neurologic Examination after the Newborn Period Until 2
Years of Age.2071p14-20
2. Baus SSB dan Robinson MV. Review: Pediatric neurologic exam. Elsevier;
2011:119-206.
3. Duderstadt K.G. An Illustrated Handbook: Pediatric Physycal Examination. 2 nd Ed.
Elsevier.2014:200-309.
4. Diambil dari: https:// cdn.ymaws.com/www.azosteo.org/resource/resmgr/convention
_handouts/2018/Thoracic_Outlet_Syndrome-Lab.pdf. Diunduh pada tanggal 18
Febrari 2020.
5. Goldberg C. UCSD's Practical Guide to Clinical Medicine. UCSD School of
Medicine and VA Medical Center, San Diego, California. 2018.diambil dari
https://meded.ucsd.edu/clinicalmed/neuro2.htm. Diunduh pada 20 Februari 2020.
6. Case Western Reserve University. The Neurological Examination of Infant and
Child.2004. Diambil dari http:// casemed.case.edu/ clerkships/ neurology/
NeurLrngObjectives/ Peds%20Exam.htm#TABLE_2. Diunduh pada 24 Februari
2020.