Anda di halaman 1dari 37

Soal

1. Diagnossis dan penatalaksanaan dari skenario?


2. Apa penyebab menstruasi tidak teratur pada skenario?
3. Bagaimana fisiologi menstruasi dan hubunganya dengan sistem endokrin?
4. Bagaimana hubungan hipertensi dengan sindrom metabolik?
5. Apakah pada skenario bisa kembali normal?
6. Farmakodinamik dan farmakokinetik dari kortikosteroid serta efek samping yang
ditimbulkan?
7. Penggunaan terapi adrenokortikoid?
8. Gangguan yang berhubungan dengan korteks adrenal:
a. Sindrom Adhison
b. Sindrom Cushing
c. Konginetal adrenal hyperplasia
9. Epidemiologi , etiologi, tanda gejala dan prinsip manajemen (hasil lab) dari gangguan
korteks adrenal?
10. Patofisiologi dari disfungsi pendarahan uterus dan kapan dikatakan menstruasi normal
dan jelaskan siklus anovulasi ?
11. Organ apa saja yang mengalami perubahan saat menstruasi?
12. Pengobatan yang berhubungan dengan gangguan menstruasi (Analisis hormone)?
13. Jelaskan patofisiologi disfungsi perdarahan uterus dengan ketidakseimbangan
hormone estrogen dan progesteron?
Jawab

1. Dx : Sindrom Cushing
Sindrom cushing adalah keadaan glukokortikoid yang tinggi dan mencakuo kelebihan
glukokortikoid yang disebabkan oleh pemberian terapeutik kortikosteroid.
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolic
gabungan dari peninggian kadar glukokortikolid dalam darah yang menetap. Kadar
yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis farmakologik
senyawa-senyawa glukokortikoid.

Perangkat diagnostik :
- Riwayat dan pemeriksaan fisik yang baik akan membantu mendiagnosis kelebihan
glukokortikoid
- Pemeriksaan darah yang mengukur kadar CRH, ACTH, dan glukokortikoid yang
berbeda akan memungkinkan diagnosis kondisi dan lokalisasi masalah di tingkat
SSP atau kelenjar adrenal
- Hilangnya pola pelepasan kortisol diurnal normal (pagi hari)
- Hiperglikemia, hipernatremia, dan hipokalemia dapat terjadi karena sifat
glukokortikoid yang mirip aldosteron. Hal ini dapat menyebabkan hipertensi serta
gangguan saraf dan jantung
- Uji tantangan deksametason biasanya digunakan pada praktik klinis untuk
mengevaluasi keadaan berlebihan glukokortikoid. Pada individu yang sehat, dosis
deksametason yang rendah akan menekan sekresi ACTH; pada individu yang
mengalami sindrom Cushing, supresi tidak terjadi.

Etiologi :

Sindroma Cushing terjadi akibat adanya hormon kortisol yang sangat tinggi di
dalam tubuh. Kortisol berperan dalam berbagai fungsi tubuh, misalnya dalam
pengaturan tekanan darah, respon tubuh terhadap stress, dan metabolisme protein,
karbohidrat, dan lemak dalam makanan. Sindroma Cushing dapat diakibatkan oleh
penyebab di luar maupun di dalam tubuh. Penyebab sindroma Cushing dari luar tubuh
yaitu sindroma chusing latrogenik yaitu akibat konsumsi obat kortikosteroid (seperti
prednison) dosis tinggi dalam waktu lama. Obat ini memiliki efek yang sama seperti
kortisol pada tubuh.

Penyebab sindroma Cushing dari dalam tubuh yaitu akibat produksi kortisol di
dalam tubuh yang berlebihan. Hal ini terjadi akibat produksi yang berlebihan pada
salah satu atau kedua kelenjar adrenal, atau produksi hormon ACTH (hormon yang
mengatur produksi kortisol) yang berlebihan dari kelenjar hipofise. Hal ini dapat
disebabkan oleh :

1) Hiperplasia adrenal yaitu jumlah sel adrenal yang bertambah. Sekitar 70-
80% wanita lebih sering menderita sindroma chusing.
2) Tumor kelenjar hipofise, yaitu sebuah tumor jinak dari kelenjar hipofise
yang menghasilkan ACTH dalam jumlah yang berlebihan, sehingga
menstimulasi kelenjar adrenal untuk membuat kortisol lebih banyak.
3) Tumor ektopik yang menghasilkan hormon ACTH. Tumor ini jarang
terjadi, dimana tumor terbentuk pada organ yang tidak memproduksi
ACTH, kemudian tumor menghasilkan ACTH dalam jumlah berlebihan.
Tumor ini bisa jinak atau ganas, dan  biasanya ditemukan pada paru-paru
seperti oat cell carcinoma dari paru dan tumor karsinoid dari paru,
pankreas (tumor pankreas), kelenjar tiroid (karsinoma moduler tiroid), atau
thymus (tumor thymus).
4) Gangguan primer kelenjar adrenal, dimana kelenjar adrenal memproduksi
kortisol secara  berlebihan diluar stimulus dari ACTH. Biasanya terjadi
akibat adanya tumor jinak pada korteks adrenal (adenoma). Selain itu dapat
juga tumor ganas pada kelenjar adrenal (adrenocortical carcinoma).
5) Sindrom chusing alkoholik yaitu produksi alkohol berlebih, dimana akohol
mampu menaikkan kadar kortisol.
6) Pada bayi, sindrom cushing paling sering disebabkan oleh tumor
adrenokorteks yang sedang berfungsi, biasanya karsinoma maligna tetapi
kadang-kadang adenoma benigna.
Tanda dan Gejala :
Tanda dan gejala sindrom cushing bervariasi, akan tetapi kebanyakan orang dengan
gangguan tersebut memiliki obesitas tubuh bagian atas, wajah bulat, peningkatan
lemak di sekitar leher, dan lengan yang relatif ramping dan kaki. Anak-anak
cenderung untuk menjadi gemuk dengan tingkat pertumbuhan menjadi lambat.
Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita cushing syndrome antara lain :
a. Rambut tipis  
b. Moon face
c. Penyembuhan luka buruk
d. Mudah memar karena adanya penipisan kulit
e. Petekie
f. Kuku rusak
g. Kegemukan dibagian perut
h. Kurus pada ekstremitas
i. Striae  
j. Osteoporosis
k. Diabetes Melitus
l. Hipertensi
m. Neuropati perifer

Tanda-tanda umum dan gejala lainnya termasuk :

a. Kelelahan yang sangat parah


b. Otot-otot yang lemah
c. Tekanan darah tinggi
d. Glukosa darah tinggi
e. Rasa haus dan buang air kecil yang berlebihan
f. Mudah marah, cemas, bahkan depresi
g. Punuk lemak (fatty hump) antara dua bahu

Sindrom cushing dapat dibagi menjadi 2 jenis :

1. Tergantung ACTH (disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofisis yang


abnormal) :
a. Hiperfungsi korteks adrenal nontumor :
Sindrom ACTH ektopik
2. Tak tergantung ACTH (belum diketahui pasti hyperplasia akibat gangguan
pelepasan CRH (Cortisol Relasing Hormon)
a. Hiperplasia korteks adrenal otonom
b. Tumor dengan hiperfungsi korteks adrenal

Sumber :

a. Corwin, E.J, 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC : Jakarta


b. National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service, 2008
c. Guyton, Arthur C. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 11. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
d. Pierce A. Grace and Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah edisi 3.
Jakarta : EMS
e. Tortora, GJ, Derickson, Principles of Anatomy and Physiology, 13th edition,
Wiley and Sons : USA
f. Price, SA and Wilson LM, 2006. Patofisiologi. Edisi 6. EGC : Jakarta

2. Penyebab :
Gangguan pada siklus mensturasi dipengaruhi oleh gangguan pada fungsi
hormon, kelainan sistemik, stres, kelenjar gondok, dan hormon prolaktin yang
berlebihan. Gangguan dari stres mensturasi terdiri dari tiga, yaitu: siklus mensturasi
pendek yang di sebut dengan polimenore, siklus mensturasi panjang atau oligomenore
dan amenore jika mensturasi tidak datang dalam 3 bulan berturut – turut.
Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia
yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal
(stresor). Stresor dapat mempengaruhi semua bagian dari kehidupan seseorang,
menyebabkan stres mental, perubahan perilaku, masalah-masalah dalam interaksi
dengan orang lain dan keluhan-keluhan fisik salah satunya gangguan siklus
menstruasi.
Stres dapat mempengaruhi siklus menstruasi, karena pada saat stres, hormone
stres yaitu hormon kortisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang
disintesa pada zona fasikulata bisa mengganggu siklus menstruasi karena
mempengaruhi jumlah hormon progesterone dalam tubuh. Jumlah hormon dalam
darah yang terlalu banyak inilah yang dapat menyebabkan perubahan siklus
menstruasi (Tudoho, dkk.2014).
Menstruasi yang tidak teratur dan amenore akibat hipogonadisme. Jumlah
estrogen yang diproduksi ovarium harus meningkat diatas nilai kritis agar dapat
menciptakan siklus seksual yang ritmis. Akibatnya, pada hipogonadisme atau apabila
gonad menyekresi sejumlah kecil estrogen akibat faktor-faktor lain, seperti
hipotiroidisme, siklus ovarium sering tidak berlangsung normal. Sebaliknya,
menstruasi mungkin tidak datang selama beberapa bulan atau bahkan menstruasi
terhenti sama sekali (amenore). Siklus ovarium yang memanjang, yang berhubungan
dengan kegagalan ovulasi mungkin disebabkan oleh insufisiensi sekresi LH pada
waktu lonjakan LH praovulasi, yang diperlukan untuk ovulasi ( Guyton & Hall. 2012).
Siklus haid tidak teratur juga dapat disebabkan karena olahraga. Seiring
dengan meningkatnya keikutsertaan wanita dalam berbagi olahraga yang memerlukan
rejimen latihan berat, para penelitu mulai menyadari bahwa banyak wanita tersebut
mengalami perubahan siklus haid akibat partisipasi atletik tersebut. Perubahan-
perubahan ini disebut athletic menstrual cycle irregularity(AMI). Disfungsi siklus
haid dapat bervariasi keparahannya dari amenorea (penghentian siklus haid), hingga
oligomenorea (haid yang tidak teratur atau jarang) hingga siklus yang lamanya normal
tetap anovulatorik (tanpa ovulasi) atau fase lutealnya singkat atau inadekuat
(Sherwood L. 2013).
Sumber :
a. Guyon & Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC : Jakarta
b. Sherwood L. 2013. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 6. EGC : Jakarta
c. Toduho, Kundre, dkk. 2014. Hubungan Stress Psikologis Dengan Siklus
Menstruasi Pada Siswi Kelas 1 Di SMA Negeri 3 Tidore Kepulauan. Vol 2, No2
(2014). Program Studi Ilmu Keperawatan FK UNSRAT : Manado, diakses pada
06 April 2016, dari < http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/view/5306>

3. Fisiologi Menstruasi
Fisiologis Siklus Menstruasi normal merupakan hasil interaksi antara
hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-perubahan terkait pada
jaringan sasaran pada saluran reproduksi normal.Ovarium menghasilkan hormon
steroid, terutama estrogen dan progesteron. Beberapa estrogen yang berbeda
dihasilkan oleh folikel ovarium, yang mengandung ovum yang sedang berkembang
dan oleh sel-sel yang mengelilinginya. Estrogen ovarium yang paling berpengaruh
adalah estradiol.Estrogen bertanggung jawab terhadap perkembangan dan
pemeliharaan organorgan reproduktif wanita dan karakteristik seksual sekunder yang
berkaitan dengan wanita dewasa. Estrogen memainkan peranan penting dalam
perkembangan payudara dan dalam perubahan siklus bulanan dalam uterus.
Progesteron juga penting dalam mengatur perubahan yang terjadi dalam uterus
selama siklus menstruasi. Progesteron merupakan hormon yang paling penting untuk
menyiapkan endometrium yang merupakan membran mukosa yang melapisi uterus
untuk implantasi ovum yang telah dibuahi.Pada umumnya menstruasi akan
berlangsung setiap 28 hari selama ±7 hari. Lama perdarahannya sekitas 3-5 hari.
Siklus menstruasi

Gambar 2.1 Siklus Menstruasi

Pada siklus haid terdapat tiga fase, antara lain :


a. Fase Haid
Fase haid adalah fase yang paling jelas yang ditandai oleh pengeluaran darah
dan sisa endometrium dari vagina. Hari pertama haid dianggap sebagai permulaan
siklus baru, saat ini juga bersamaan dengan pengakhiran fase luteal ovarium dan
dimulainya fase folikular. Turunnya kadar hormon ovarium merangsang
pembebasan suatu prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh-pembuluh endometrium, menghambat aliran darah ke endometrium.
Perdarahan yang terjadi melalui kerusakan pembuluh darah ini membilas ajringan
endometrium yang mati ke dalam lumen uterus.Prostaglandin uterus yang sama
juga merangsang kontraksi ritmik ringan mioometrium uterus. Kontraksi inin
membantu mengeluarkan darah dan sisa endometrium dari rongga uterus keluar
melalui vagina yang disebut darah haid.
b. Fase Proliferatif
Setelah itu, darah haid akan berhenti dan fase proliferatif siklus uterus dimulai
degan bagian terakhir fase folikular ovarium ketika endometrium mulai
memperbaiki diri dan berproliferasi di bawah pengaruh estrogen dari folikel-
folikel yang baru berkembang. Fase proliferatif di dominasi oleh estrogen yang
berlangsung dari akhir haid hingga ovulasi. Kadar puncak estrogen , memicu
lonjakan LH yang menjadi penyebab ovulasi.
c. Fase Sekretorik atau Progestasional
Setelah ovulasi, akan terbentuk korpus luteum baru, uterus masuk ke fase
sekretorik yang bersamaan dengan waktu luteal ovarium. Korpus luteum
mengeluarkan sejumlah besar progesteron dan estrogen. Progesteron mengubah
endometrium tebal yang telah di persiapkan estrogen menjadi jaringan yang kaya
vaskular dan glikogen. Jika pembahan dan implantasi tidak terjadi maka korpus
luteum berdegenerasi dan fase folikular dan fase haid baru di mulai kembali.

Sumber :

a. Sherwood, L, 2014, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, EGC : Jakarta


b. Corwin, E.J, 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC : Jakarta

4. Hubungan hipertensi dengan sindrom metabolic.


Sindrom metabolic adalah kumpulan faktor resiko yang terdiri dari obesitas sentral,
dislipidemia (meningkatnya trigliserida dan menurunnya kolesterol HDL), hipertensi dan
peningkatan glukosa darah puasa, dimana semua komponen dari faktor resiko saling berhubungan
satu sama lain. Disfungsi metabolik ini dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa
penyakit kardiovaskuler,diabetes mellitus tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati
non-alkoholik.

Menurut rekomendasi ATP III, dikatakan sindrom metabolik apabila ditemukan 3 atau
lebih komponen yang ada pada satu subjek. Berikut kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut
ATP III dan ATP III yang dimodifikasi. Selanjutnya klasifikasi ATP III mengalami modifikasi
khusus bagi orang Asia dimana lingkar pinggang dianggap terlalu besar untuk orang Asia dimana
lingkar pinggang orang Asia untuk laki-laki adalah ≥ 90 cm dan wanita ≥ 80 cm. Komponen
lainnya tetap sama sebagaimana ATP III. Namun, jika dilihat dari kriteria diagnosis WHO dan
NCEP ATP (the National Cholesterol Education Program Third Adult treatment panel )
digunakan glukosa darah puasa terganggu. Perkembangan resistensi insulin pada sindrom
metabolic disebabkan oleh banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang
dengan obesitas sentral.
Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan semakin
meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa yang
menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada system organ antara lain:
a. Jaringan Otot
Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)
b. Hati
Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)
c. Pankreas
Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel-β pancreas
d. Pembuluh Darah
Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah akibatpenurunan
Nitritoxide.
Resistensi insulin didefinisikan sebagai suatu kondisi dijumpainya produksi
insulin yang normal namun telah terjadi penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja
insulin, sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel
Beta. Resistensi insulin ini sering mendahului onset dari diabetes tipe 2 dan
mempunyai kontribusi dalam perkembangan terjadinya keadaan hiperglikemi.
Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan asam lemak bebas
yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai kofaktor dari trigliserid dan VLDL.
Pada hipertrigliseridemia terjadi penurunan isi ester kolesterol dari inti lipoprotein
menyebabkan penurunan isi kolesterol HDLdengan peningkatan beragam trigliserida
menjadikan partikel kecildan padat. Hal ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di
sirkulasi.
Hipertensi pada sindrom metabolik dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit
dipisahkan satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas.Adanya resistensi insulin
akan mengganggu produksi endothelial Nitric OxideSynthase (eNOS) sehingga menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah.

Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa


mekanisme berikut:
 Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dancardiac output
sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada individu obese yang dapat
menimbulkan kondisi hipertensi
 Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan sistem
saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor NecrosisFactor/TNF-α
danIntrleukin/IL6) sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance.
Disfungsi endotel dan menurunkan bioavailabilitas nitric oxide (NO) endotel.
Gangguan nitric oxide memediasi terjadinya resistensi insulin dan hipertensi. Pada
obesitas terjadi resistensi insulin dan gangguan fungsi endotel pembuluh darah yang
menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorpsi natrium di ginjal yang mengakibatkan
hipertensi. Telah dibuktikan oleh penelitian yang menyatakan retensi garam
berhubungan dengan hiperinsulinemia pada obesitas yang menyebabkan hipertensi.
Demikian juga insulin dapat meningkatkan produksi norepinephrine plasma yang
bermakna yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Peningkatan masa sel lemak menyebabkan peningkatan produksi
angiotensinogen di jaringan lemak, yang berperan penting dalam peningkatan tekanan
darah. Sel lemak juga membuat enzim konvertase angiotensin dan katepsin, yang
memiliki efek lokal pada katabolisme dan konversi angiotensin. Asam lemak dapat
meningkatkan stres oksidatif pada sel endotel dan proses ini diamplifikasi oleh
angiotensin. Telah dibuktikan bahwa renin angiotensin system(RAS) pada jaringan
lemak terlibat dalam patofisiologi obesitas dan penyakit yang berhubungan dengan
obesitas, termasuk hipertensi dan resitensi insulin.
Obesitas berhubungan dengan aktivitas renin-angiotensin, hiperinsulinemia
dan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatetik, dan semua ini berkontribusi pada
reabsorpsi natrium dan berhubungan dengan retensi cairan sehingga menyebabkan
hipertensi obesitas renal

Sumber :

a. Mahardyani, V. 2012. Sindrom Metabolik. Diakses 7 April 2016. From <


https://www.scribd.com/doc/98959169/sindrom-metabolik>
b. Tambunan & Haris, 2011. Hipertensi Pada Sindrom Metabolik. Diakses 7 April
2016. From < http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/11-4-6.pdf>
5. Prognosis dari skenario sindrom cushing yang tidak diobati akan fatal dalam beberapa
tahun karena gangguan kardiovaskulas dan sepsis.setelah dilakukan pengobatan
radikal makan akan lebih membaik tergantung apakah gangguan kerusakan
kardiovaskular irreveribel.untuk adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan
pembedahan mempunyai prognosis baik dan tidak mungkin kambuh lagi tetapi
tergantung pada efek jangka lama dari kelebihan kortisol sebelum pengobatan
terutama aterosklerosis dan osteoporosis tetapi dapat disembuhkan dengan
adrenalektomi.untuk pengobatan sindrom cushing dependen ACTH tidak sama,
tergantung pada sumber ACTH apakah hipofisis atau ektopik. Jika tumor hipofisis
sebaiknya reseksi tumor transfenoidal.jika hiperfungsi hipofisis tapi tumor tidak dapat
ditemukan dapat dilakukan radiasi kobalt pada kelenjar hipofisis. Obat – obat kimia
yang mampu menyekat (ketokonazol,aminoglutetimid) untuk merusak sel-sel korteks
adrenal penghasil kortisol(mitotane) obat ini juga dapat mengontrol kelebihan
kortisol. Bila bedah hipofisis,terapi radiasi dengan penghambat adrenal gagal,penyakit
ini dapat dikontrol dengan adrenalektomi total,dan diikuti pemberian kortisol dosis
fisiologik. Jika pengobatan sindrom chusing berhasil dengan baik, remisi manifestasi
klinis akan terjadi dalam 6-12 bulan setelah dimulainya terapi. Kalau pengobatan
sindrom ACTH ektopik berdasarkan :
 Reseksi neoplasma yang menyekresi ACTH
 Adrenalektomi atau supresi kimia.

Adapun juga obat untuk menekan sekresi kortisol karsinoma yaitu :

 Metyrapone
 Amino gluthemide
 O,p-DDD.

Obat ini digunakan untuk mengendalikan sydrome chusing dan untuk mengurangi
resiko operasi.

Sumber : Price, SA, Wilson LM., 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit, Edisi 6, volume 2, EGC:Jakarta

6. A. Farmakokinetik dan Farmakodinamik


a. Farmakodinamik: mempengaruhi metabolisme karbohidrat,protein dan lemak
dan juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem
saraf dan organ lain. pada metabolisme karbohidrat : bila dalam keadaan puasa
cadangan karbohidrat akan berkurang dengan cepat. glikogen hepar dan otot
akan berkurang sehingga terjadi hipoglikemia serta peningkatan sensistivitas
terhadap insulin. pemberian glukokortikoid dapat memperbaiki keadaan
tersebut; cadangan glikogen dihepar bertambah, glukosa darah tetap normal
pada keadaan puasa dan sensitivitas terhadap insulin kembali normal.
glukokortikoid dapat meningkatakna kadar glukosa darah sehingga
merangsang pelepasan insulin dan menghambat masuknya glukosa ke dalam
sel otot. selain itu merangsang lipase dan menyebabkan lipolisis. peningkatan
kadar insulin merangsang lipogenesis dan menghambat lipolisis sehingga
terjadi peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak dan
gliserol kedalam darah.
b. Farmakokinetik : kortisol dan analog sintetiknya pada pemberian oral
diabsorpsi cukup baik. untuk mencapai kadar tinggi dengan cepat dalam cairan
tubuh, ester kortisol dan derivat sintetiknya diberikan secara IV. untuk
mendapatkan efek yang lama diberikan secara IM. glukokortikoid dapat
diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. pada keadaan
normal 90% kortisol terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu globulin
pengikat kortikosteroid dan albumin. biotrasnformasi steroid terjadi di dalam
dan diluar hati. metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi
rendah. setelah penyuntikan IV steroid radioaktif sebagian besar dalam waktu
72 jam diekskresi dalam urin, sedangkan di feses dan empedu hampir tidak
ada. diperkirakan paling sedikit 70% kortisol yang diekskresi mengalami
metabolisme dihepar. masa paruh eliminasi kortisol sekitar 1,5 jam.
B. Efek samping
Efek samping kortikosteroid amat banyak dan dapat terjadi pada setiap cara
pemberian. Oleh sebab itu, kortikosteroid hanya diberikan apabila manfaat terapi
melebihi risiko efek samping yang akan terjadi (risk-benefit ratio). Dosis dan lama
terapi dengan kortikosteroid bersifat individual. Pemberian kortikosteroid
dianjurkan untuk dimulai dari dosis tinggi kemudian diturunkan secara perlahan
menurut tanda klinis inflamasi. Apabila kortikosteroid digunakan selama lebih
dari 2-3 minggu, penghentiannya harus dilakukan secara bertahap (tapering off).
Pertimbangan pemberian kortikosteroid harus dilakukan sejak awal terapi,
terutama menyangkut cara pemberian, dosis, dan lama pemberian. Ketiga hal
tersebut sangat mempengaruhi risiko terjadinya resistensi dan efek samping
kortikosteroid. Efek samping kortikosteroid beraneka ragam dan dapat terjadi pada
setiap cara pemberian. Oleh sebab itu, kortikosteroid sebaiknya hanya diberikan
atas dasar indikasi yang sesuai dengan mengutamakan risk-benefit ratio dan
keselamatan pasien.
Sumber :
a. Sitompul R. 2011. Kortikosteroid Dalam Tatalaksana Uveitis : Mekanisme Kerja,
Aplikasi Klinis, dan Efek Samping. Dept. Ilmu Kesehatan Mata FK UI : Jakarta. J
Indon Med Assoc, Vol 61, Nomor : 6, Juni 2011
b. Gunawan,S.G. 2012. Farmakologi dan terapi. Badan Penerbit FKUI : Jakarta

7. Hormon Adrenokortikoid
Hormon adrenokortikoid merupakan hormon steroid yang disintesis dari
kolesterol dan diproduksi oleh kelenjar adrenalis bagian korteks. Pengeluaran hormon
dipengaruhi oleh adreno cortico tropin hormon (ACTH) yang berasal dari kelenjar
pituitari anterior. Beberapa fungsi fisiologisnya berhubungan dengan kardiovaskuler
dari darah, sistem saraf pusat, otot polos dan stress .
Dari korteks adrenal dikenali lebih dari 30 jenis hormon steroid, namun hanya
dua jenis yang jelas fungsional, yaitu aldosteron sebagai mineralokortikoid utama dan
kortisol sebagai glukokortikoid utama. Aktivitas mineralokortikoid mempengaruhi
elektrolit (“mineral”) cairan ekstrasel, terutama natrium dan kalium. Sedangkan
glukokortikoid meningkatkan glukosa darah, serta efek tambahan pada metabolisme
protein dan lemak seperti pada metabolisme karbohidrat (Guyton and Hall, 2007).
Pemakaian klinik glukokortikoid :
a. Terapi pengganti pada penderita gagal adrenal ( misalnya penyakit addison).
b. Terapi anti inflamasi dan immunosupresif
- Asma (secara inhalasi ataupan pada kasus berat secara sisteamik)
- Secara topikal pada peradangan mata, kulit telinga atau hidung (misalnya
ekszema, konjungtivitis alergik, atau rhinitis alergik)
- Hipersensitivitas ( misalnya reaksi alergiberat terhadap obat atau bisa
serangga).
- Penyakit autoimmun dan inflamasi (rematoid artritis dan penyakit jaringan ikat
lainnya, hemolitik anameia, ITP).
- Mencegah graft-versus-host desease pada transplantasi organ atau sumsung
tulang.
c. Penyakit neoplastik.
- Kombinasi dengan obat sitotoksik pada pengobatan kegansaan spesifik
(misalnya penyakit hodgkin, acute lymphocytic leukimia).
- Mengurangi edema serebral pada penderita tumor otak primer maupun
metastatik.(digunakan deksametason).
- Antiemetik pada pengobatan kemoterapi.
Penggunaan glukokortikoid pada penyakit - penyakit non endocrine :
a. Glukokortikoid digunakan luas pada banyak kelainan-kelainan non endokrin
dengan variasi penggunaan yang besar baik dalam pemilihan obat maupun
dosisnya.
i. Penyakit – penyakit rheumatik/Collagen ( SLE, Polyarteritis nodusa )
ii. Penyakit ginjal ( sindroma nefrotik, glomerulonephritis membranous ).
Glukokortikoid ( prednisone ) pada sindroma nefrotik sangat
efektif dan banyak banyak digunakan. Predisone diberikan dengan
dosis 60 mg/m2/hari dalam dosis terbagi selama 4 minggu
kemudian dilanjutkan dengan 40 mg/m2/48 jam selang sehari
diberikan dengan dosis tunggal pada pagi hari selama 4
minggu.Pengobatan selanjutnya tergantung respons penderita
pakah terjadi remissi atau malah terjadi relaps
iii. Penyakit - penyakit allergi
Onset of action glukokortikoid lama ( 6 – 12 jam ) karena itu pada
reaksi alergi yang berat seperti reaksi anafilaksis yang paling
penting adalah pemberian larutan epinephrine. Pada reaksi alergi
yang lebih lambat seperti serum sickness, urticaria,reaksi obat,
sengatan lebah, angioneurotic edema dan hay fever glukokortikoid
dapat diberikan
iv. Asthma bronchiale
Pada asma bronchiale selain pemberian secara sistemik, pemberian
juga diberikan seacara inhalasi terutama pada pemberian jangka
lama. Pada kasus-kasus asma berat ( status asthmaticus )
glukokortikoid diberikan secara intravena,
v. Infeksi
Meskipun berlawanan dengan efek immunosupresi glukokortikoid
masih digunakan pada keadaan - keadaan tertentu dengan
perlindungan antibiotika, seperti pada meningitis yang disebabkan
oleh H.Influenzae tipe B dan penderita AIDS dengan pneumonia
karena Pneumocystis Carinii dengan hipoksia.
vi. Penyakit-penyakit mata
Pemberian topical glukokortikoid hanya diberikan pada kelainan-
dibagian luar mata serta pada segmen anterior mata, untuk
kelainan-kelainan pada segmen posterior diberikan glukokortikoid
sistemik. Pemberian topical glukokortikoid dapat meningkatkan
tekanan intraokular, oleh karena itu perlu pengawasan tekanan
intraokular pada pemakaian glukokortikoid lokal lebih dari dua
minggu.
vii. Penyakit kulit
Pada dasarnya pemakaian kortikosteroid topical pada kulit anak
tidak berbeda dengan dewasa, namun karena perbedaan sifat kulit
anak yang lebih tipis,kurang bertanduk, ikatan antar sel yang lebih
longgar mempermudah obat masuk kedalam kulit sehingga kita
tetap harus hati-hati memberikan glukokortikoid topical karena
bisa memberi efek sistemik yang tidak diinginkan. Kortikosteroid
topical yang aman pada anak adalah golongan kortikosteroid
intermediate, lemah antara lain prednikarbate krim,flucinolone
acetonide, methylprednisolone,triamcinolone acetonide
krim,desonide krim dexamethasone krim dan hydrocortisone krim.
Pemberian pemakaian yang lama dapat menyebabkan
atropi,teleangiectasia, striae, papula.
viii. Penyakit-penyakit gastrointestinal ( Colitis ulcerative chronis, Chron’s
disease )
ix. Penyakit-penyakit hati
Penggunaan glukokortikoid pada penyakit- penyakit hati masih
controversial, tetapi pada penyakit - penyakit subacute necrosis dan
autoimmune seperti chronic active hepatitis pemberian
glukokortikoid ( prednisone ) menunjukkan remissi secara
histologis pada 80% dari penderita. Pada penyakit hati yang berat
prednisolone lebih baik dari prednisone karena prednisone masih
harus dirubah menjadi bentuk aktif di hati .Penderita-penderita
chronic active hepatitis dengan positif HbSAg jangan diberi terapi
glukokortikoid karena akan memperlambat penyembuhan, lebih
sering terjadi komplikasi dan angka kematian lebih tinggi.
Pemberian glukokortikoid juga dipakai pada drug induce hepatitis
meskipun belum banyak penelitian mengenai efektivitasnya.
x. Pada kelainan-kelainan hematologi dan onkologi
Glukokortikoid dipakai pada kelainan-kelainan hematology seperti
trombositopenia purpura idiopatik (ITP ), anemia aplastik dan
autoimmune hemolytic anemia ( AIHA ) Udema otak
xi. Shock
Walaupun glukokortikoid banyak dipakai pada pengobatan shock,
tetapi indikasi pemberian glukokortikoid adalah pada shock dengan
defisiensi cortisol. Indikasi lain adalah pada septic shock meskipun
masih banyak silang pendapat mengenai hal tersebut.
xii. Penyakit-penyakit lain ( sarcoidosis, sindroma Guillain Barre )
xiii. Transplantasi organ
Pada transplantasi organ glukokortikoid diberikan dengan dosis
tinggi pada saat operasi diberikan bersama immunosupressif lain
kemudian diteruskan dengan dosis maintenance
xiv. Stroke dan trauma spinal cord
Penggunan klinik mineralokortikoid
Penggunaan klinik utama mineralokortikoid adalah sebagai terapi pengganti.
Mineralokortikoid yang paling sering digunakan adalah frudrokortison yang dapat
diberikan perolal
- Meningkatkan reabsorpsi natrium pada tubulus distalis dan meningkatkan
refluks kalium dan hidrogen ke dalam tubulus
- Mekanisme kerja sama dengan steroid lain
- Digunakan bersama glukokortikoid sebagai terapi hormon pengganti.

Sumber :
a. Staff Pengajar Departemen farmakologi FK Universitas Sriwijaya, 2009,
Kumpulan Kuliah Farmakologi, edisi 2, EGC, jakarta
b. Abdul Latief Azisold, 2011, Penggunaan kortikosteroid di klinik (The use of
corticosteroid in clinics) , from :<www.old.pediatrik.com/.../20060220-
uk51j3buletin.doc>

8. Gangguan yang berhubungan dengan korteks adrenal


1. Hipersekresi (Hiperfungsi) :
a. Sindrom Cushing
b. Aldosteronisme
2. Hiposekresi : Penyakit Addison
3. Kongenital : Hiperplasia adrenal
1. SINDROM CUSHING
Sindrom cushing adalah suatu keadaan yang diakibatkan oleh efek metabolic
gabungan dari peninggian kadar glukokortikolid dalam darah yang menetap. Kadar
yang tinggi ini dapat terjadi secara spontan atau karena pemberian dosis
farmakologik senyawa-senyawa glukokortikoid. Untuk memeahami manifestasi
klinik sindrom cushing akan dibahas efek metabolic dari glukokortikoid.
Kelebihan glukokortikoid menyebabkan perubahan pada :
a. Metabolisme protein dan karbohidrat
b. Distribusi jaringan adipose
c. Elektrolit
d. Sistem kekebalan
e. Sekresi labung
f. Fungsi otak
g. Eritropoesis
Selain itu hormone ini juga menekan peradangan.
Glukokortikoid mempunyai efek katabolic dan anabolic pada protein,
menyebabkan penurunan kemampuan sel-sel pembentuk protein untuk mensintesis
protein. Sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti pada
kulit, otot, pembuluh darah dan tulang. Secara klinis kulit mengalami atrofi dan
mudah rusak, luka-luka sembuh dengan lambat. Ruptura serabut-serabut elastis
pada kulit menyebabkan tanda regang berwarna ungu atau striae. Otot-otot juga
mengalami atrofi dan menjadi lemah. Penipisan dinding pembuluh darah dan
melemahnya penyokong perivascular sehingga mempermudah timbul luka memar
kadang bias parah hinga munculnya petekie atau ekimosis yang luas pada lengan
atas bila diukur tekanan darahnya. Tulang juga ikut terpengaruhi matriks protein
tulang menjadi rapuh dan menyebabkan keadaan osteoporosis. Keadaan ini bias
komplikasi secara serius bila kelebihan glukokortikoid karena menyebabkan tulang
menjadi rapuh dan terjadinya fraktur patologis. Osteoporosis sering pada vertebrae
dan menyebabkan kolaps vertebrae disertai nyeri punggung dan pengurangan tinggi
badan
Metabolisme karbohidrat juga dipengaruhi oleh kenaikan kadar glukokortikoid
yang tinggi. Glukokortikoid merangsang gluconeogenesis dan mengganggu kerja
insulin pada sel-sel perifer. Sehingga penderita menderita hiperglikemia. Pada
seseorang dengan kapasitas produksi insulin yang normal maka efek dari
glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatnya sekresi insulin sehingga
menormalkan toleransi glukosa .
Kadar glukokortikoid yang berlebihan juga mempengaruhi distribusi jaringan
adipose yang terakumulasinya didaerah sentral tubuh (obes sentral), wajah bulan
(moon face) memadatnya fosa supraklavikularis dan tonjolan servikodorsal.
Obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawah yang kurus akibat atrofi otot
memberi penampilan klasik cushingoid. Glukokortikoid memiliki efek miniman
pada elektrolit serum sehingga dapat menyebabkan retensi natrium dan
pembuangan kalium mengakibatkan edema hypokalemia dan alkalosis metabolic.
Glukokortikoid dapat menghambat respon kekebalan ada 2 tipe repon
kekebalan :
Pertama Pembentukan antibody humoral oleh sel plasma dan limfosit B akibat
rangsangan antigen yang lainnya tergantung pada reaksi-reaksi diperentarai
limmfosit T yang tersensitisasi. Glukokortikoid mengganggu pembentukan
antibody hummoral dan menghambat proliferasi pusat-pusat germinal limpa dan
jaringan limfoid pada respon primer terhadap antigen. Gangguan respon
imunologik ini dapat terjadi pada setiap tingkatan ini, Proses pengenalan antigen
sel system monosit makrofag, induksi proliferasi limfosit immunokompeten
produksi antibody dan reaksi peradangan.
Aktivitas sekresi lambung ditingkatkan oleh glukokortikoid oleh sekresi hcl ..
Selain hal diatas adanya gangguan sekresi kortisol yang berlebihan akibat
gangguan aksis hipotalamus hipofisis adrenal yang terjadi secara spontan.
Sindrom cushing iatrogenic dijumpai pada penderita atrhitis reumathoid, asma
limfoma danpenyakit kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai
agen anti inflamasi. Pada sindrom cushing spontan hiperfungsi dari korteks adrenal
terjadi akibat rangsangan berlebihan ACTH akibat patologi adrenal shinggan
produksinya abnormal.
Sindrom cushing dapat dibagi menjadi 2 jenis :
1) Tergantung ACTH (disebabkan oleh sekresi ACTH kelenjar hipofisis yang
abnormal) :
a. Hiperfungsi korteks adrenal nontumor :
Sindrom ACTH ektopik
2) Tak tergantung ACTH (belum diketahui pasti hyperplasia akibat gangguan
pelepasan CRH (Cortisol Relasing Hormon):
a. Hiperplasia korteks adrenal otonom
b. Tumor dengan hiperfungsi korteks adrenal
2. SINDROM ADDISON
Sekresi hormone korteks adrenal dapat menjadi tidak memadai untuk
mempertahankan keadaan normal karena :
a. Penyakit primer
b. Kekurangan skresi ACTH. Jika penyebab insufisiensi korteks adrenal
merupakan proses patologis yang dikenal dengan sindrom Addison.Pada
penyakit Addison seluruh bagian korteksnya terserang. Isifisiensi semua
sekresi kortex adrenal yaitu glukokortikoid, mineralokortikoid dan androgen.
Kadang-kadang pasien menderita defisiensi parsial sekresi hormone korteks
adrenal. Keadaan seperti ini terlihat hipo aldosteronisme yang hanya mengenai
zona glomerulosa dan mempengaruhi sekresi aldosterone saja, atau pada
sindroma androgenital dimana terjadi kelainan enzim parsial yang
menghambat sekresi kortisol. Gambaran klinis disebabkan kekurangan sekresi
aldosterone dan androgen sehingga hilangnya gluconeogenesis, berkurangnya
glikogen hati dan meningkatnya kepekaan sel terhadap kerja insulin.
Akibat lain dari isufisensi kortisol adalah meningkatnya sekresi
propiomelanokortin (POMC) turunan peptide termasuk ACTH dan MSH alfa dan
beta. Terjadi defisiensi aldosterone dengan peningkatan kehilangan natrium dan
peningkatan reabsorbsi kalium menyebabkan hipotensi. Aktivitas renin plasma juga
dipengaruhi oleh penyakit ini. Penurunan Volume plasma dan tekanan arteriol
menimbulkan perangsangan pelepasan renin dan peningkatan pembentukan
angiotensin II tetapi tidak mampu menstimulasi produksi aldosterone sehingga
tidak terjadi pengingkatan tekanan darah.
Defisiensi androgen dapat mempengaruhi pertumbuhan rambut pubis dan
aksila. Pada pria tidak nyata karena androgen testis memegang peranan utama
dalam metabolism androgenic sedangkan pada wanita rambut aksila dan
ekstremitas akan berkurang. Terdainya hiperpigmentasi sebagai tanda khan
ditemukan pada bagian-bagian distal.
3. KONGINETAL ADRENAL HYPERPLASIA
Hiperplasia adrenal kongenital adalah kelainan genetik yang diturunkan secara
autosomal resesif akibat defisiensi/defek dari salah satu enzim dari 5 tahapan
enzimatik yang diperlukan untuk biosintesis steroid adrenal. Defisiensi salah satu
enzim tersebut menyebabkan kadar kortisol rendah, dengan akibat mekanisme
umpan balik negatif, maka terjadi sekresi berlebihan hormon adrenokortikotropin
(ACTH) sehingga terjadi hiperplasia kelenjar adrenal.Bentuk tersering dari
kelainan ini adalah defisiensi enzim 21-hidroksilase ( 21-OH atau CYP21) yang
terdapat pada lebih dari 90% kasus HAK.
Ciri khas dari HAK adalah defisiensi kortisol (glukokortikoid), sedangkan
defisiensi aldosteron dapat terjadi atau tidak bergantung pada defek enzim yang
terjadi. Krisis adrenal merupakan kegawatan pada HAK. Faktor risiko untuk
terjadinya krisis adrenal pada HAK diantaranya keterlambatan pengobatan, dosis
obat tidak adekuat, ketidakteraturan dalam meminum obat dan keadaan stres/sakit
(demam, muntah, nyeri, hipoglikemia, hipotermi, operasi, zat anestesi contohnya
etomidate). Gejala kekurangan hormon adrenal bisa berupa kelemahan (99%),
pigmentasi kulit (98%), kehilangan berat badan (97%), nyeri perut (34%),
kecanduan garam (22%), diare (20%), konstipasi (19%), pingsan (16%),
kehilangan nafsu makan, mual, sdan muntah. Pada neonatus, kejadian krisis adrenal
dikenali dengan keadaan yang mengancam nyawa yang terjadi antara usia 6 dan 14
hari, kadang bisa baru terjadi pada usia 3 sampai 8 minggu.
Terdapat dua bentuk manifestasi klinis yang mengancam hidup pada bayi,
bentuk tersering yang pertama adalah letargi, mual, muntah, diare, tidak nafsu
makan (tidak mau menetek), penurunan berat badan, turgor kulit menurun,
dehidrasi, sesak napas, keringat berlebihan terutama di muka dan telapak tangan,
dan hipotensi yang disertai hemokonsentrasi, natriuresis, hiponatremia,
hiperkalemia, asidosis renal, peningkatan urea nitrogen darah dan hipoglikemia.
Bentuk kedua yang jarang terjadi adalah kematian mendadak tanpa gejala dehidrasi
dan gagal sirkulasi akibat aritmia dan henti jantung akibat hiperkalemia. Karena
manifestasi klinis yang sangat beragam dan tidak spesifik, sering pasien tidak
terdiagnosis atau didiagnosis sebagai penyakit lain seperti stenosis pilorus
hipertrofi, gastroenteritis atau kematian mendadak yang tidak diketahui
penyebabnya.

Sumber :

a. Tortora, GJ, Derickson, Principles of Anatomy and Physiology, 13th edition,


Wiley and Sons : USA
b. Price, SA and Wilson LM, 2006. Patofisiologi. Edisi 6. EGC : Jakarta

9. Epidemiologi , etiologi, tanda gejala dan prinsip manajemen


A. SINDROM ADDISON
a. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat kejadian penyakit Addison dilaporkan 5 atau 6
kasus per juta penduduk per tahun, dengan prevalensi 60-110 kasus per juta
penduduk. Tingkat kematian untuk penyakit Addison adalah 1,4 kematian per
juta kasus per tahun. Perkiraan ini sudah usang karena insiden TB terkait
penyakit Addison lebih besar ketika data ini dikumpulkan. Sebuah studi
Swedia melaporkan bahwa tingkat relatif dari kematian pada pasien penyakit
Addison adalah 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Keganasan,
penyakit menular, dan kejadian kardiovaskular adalah penyebab yang
bertanggung jawab atas meningkatnya angka kematian menjadi lebih tinggi.
Diabetes melitus tercatat pada 12% dari populasi ini, tetapi menyumbang
hanya dalam jumlah kecil dengan tingkat mortalitas secara keseluruhan lebih
tinggi.
Berdasarkan seks Rasio laki-perempuan adalah 1:1.5-3.5. Berdasarkan
umur Addison penyakit dapat terjadi pada orang dari segala usia, namun
paling sering terjadi pada orang berusia 30-50 tahun. Ekspresi antibodi korteks
adrenal (ACAs) pada pasien tanpa gejala penyakit Addison merupakan risiko
yang signifikan terhadap pengembangan insufisiensi adrenal. Risiko bervariasi
dengan usia, anak-anak memiliki risiko tinggi perkembangan dibandingkan
dengan orang dewasa, dimana ekspresi ACAs merupakan risiko 30% dari
pengembangan menjadi penyakit Addison.
b. ETIOLOGI
Ketidakmampuan memproduksi hormon kortisol yang adekuat disebut
juga insufisiensi adrenal terjadi karena berbagai hal. Keadaan tersebut
disebabkan oleh gangguan dikelenjar itu sendiri (insufisiensi adrenal primer)
atau gangguan sekresi hormon ACTH oleh kelenjar hipofisis (insufisiensi
adrenal sekunder).
c. INSUFISIENSI ADRENAL PRIMER
Sebagian besar penyakit addison disebabkan oleh detruksi korteks
adrenal yang disebabkan oleh sistem imun tubuh kita sendiri. Kira” 70% kasus
penyakit addison yang dilaporkan merupakan penyakit autoimun dimana
insufisiensi adrenal terjadi ketika detruksi korteks adrenal mencapai 90%.
Keadaaan ini menyebabkan kurangnya produksi hormon glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Kadang” hanya kelenjar adrenal yang terkena dikenal
sebagai insufiensi adrenal idiopatik atau kelenjar lainnya ikut terkena yang
dikenal dengan sindrom difisiensi poliendokrin. Di negara berkembang 20 %
kasus insufisiensi adrenal primer juga menderita TB. Dr thomas addison
mengidentifikasi insufisiensi adrenal pertama kali dan menemukan 70-90%
kasus TB dari otopsi yang dilakukan. Penyebab insufisiensi adrenal primer
lainnya adalah infeksi kronis, metastasis keganasan dan pengangkatan kelenjar
adrenal.
d. INSUFISIENSI ADRENAL SEKUNDER
Bentuk penyakit addison ini merupakan penanda kurangnya hormon
ACTH yang dapat disebabkan kurangnya produksi hormon kortisol kelenjar
adrenal tapi produksi hormon aldosteron normal. Bentuk temporer dari
insufisiensi adrenal sekunder dapat terjadi ketika seseorang mendapat asupan
hormon glukokortikoid misalnya prednison dalam jangka waktu yang lama
yang akan kembali normal bila pengobatan dihentikan. Penyebab lain
insufisiensi adrenal sekunder adalah pengangkatan kelenjar adrenal atau tumor
benigna kelenjar adrenal adanya hormon ACTH yang diproduksi oleh sel
tumor kelenjar hipofisis (sindroma cushing).
e. TANDA DAN GEJALA
Gejala dari penyakit addison tidak spesifik. Gejala yang muncul
biasanya berhubungan dengan kelelahan, kelemahan, anoreksia, nausea, nyeri
abdomen, gastroenteritis, diare dan labilitas mood. Pada orang dewasa dengan
penyakit addison dapat dijumpai penurunan berat badan 1 – 15 kg. Kelemahan
badan ini disebabkan karena gangguan keseimbangan air dan elektrolit serta
gangguan metabolisme karbohidrat dan protein sehingga didapat kelemahan
sampai paralisis oto bergaris. Di samping itu, akibat metabolisme protein,
terutama pada sel-sel otot menyebabkan otot-otot bergaris atropi, bicaranya
lemah. Gejala kelemahan otot ini berkurang setelah pemberian cairan, garam
serta kortikosteroid.
Nausea, Vomitus, dan nyeri abdomen difus dijumpai sekitar 90% dari
pasien dan biasanya merupakan inpending dari krisis addison. Diare kurang
umum daripada nausea, vomitus dan nyeri abdomen dan terjadi pada sekitar
20% pasien. Jika dijumpai diare, biasanya akan disertai dengan komplikasi
dehidrasi dan harus segera dihidrasikan. Gajala flu berulang telah dilaporkan
dalam beberapa kasus.
Gangguan mood termasuk depresi, iritabilitas, dan konsentrasi
menurun. Diagnosis mungkin tertunda karena depresi komorbid atau penyakit
kejiwaan lainnya. Temuan fisik termasuk hiperpigmentasi pada kulit dan
membran mukosa, berkurangnya rambut pubis dan aksila pada wanita, vitiligo,
dehidrasi, dan hipotensi. Membran mukosa oral hiperpigmentasi merupakan
patognomonik untuk penyakit ini. Pigmentasi pada penyakit Addison
disebabkan karena timbunan melanin pada kulit dan mukosa. Pigmentasi juga
dapat terjadi pada penderita yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang,
karena timbul insufisiensiadrenal dengan akibat meningkatnya hormon
adrenokortikotropik. Hormon adrenokortikotropik ini mempunyaiMSH-like
effect. Pada penyakit Addison terdapat peningkatan kadar beta MSH dan
hormon adrenokortikotropik.
Hiperpigmentasi pada kulit dianggap sebagai ciri khas penyakit
Addison dan dijumpai dalam 95% pasien dengan insufisiensi adrenal kronis
primer. Namun, hiperpigmentasi bukanlah tanda universal ketidakcukupan
adrenal. Tampilan kulit normal tidak menyingkirkan diagnosis penyakit
addison.
Kulit mungkin tampak normal, atau vitiligo mungkin hadir.
Peningkatan pigmentasi menonjol di daerah kulit seperti lipatan kulit.
Hiperpigmentasi ini juga menonjol pada puting, aksila, perineum. Wanita
mungkin kehilangan androgen yang menstimulus pertumbuhan rambut, seperti
rambut pubis dan aksila, karena androgen diproduksi di korteks adrenal. Pria
tidak memiliki kehilangan rambut karena androgen pada laki-laki diproduksi
terutama di testis.
f. PRINSIP MANAJEMEN
i. PEMERIKSAAN
Evaluasi pasien dengan penyakit Addison yang diduga
melibatkan diagnosis insufisiensi adrenal dan kemudian identifikasi
defek pada hipotalamus-hipofisis axis. Penyakit Addison adalah
insufisiensi adrenal primer dengan defek pada glandula adrenal.
Setelah insufisiensi adrenal diidentifikasi, etiologi dari insufisiensi
adrenal harus di temukan. Awalnya, elektrolit serum harus diperiksa
tetapi tingkat kalium normal tidak menyingkirkan penyakit Addison.
Akibat aldosteron tidak ada, inbalance elektrolit seperti hiponatremia,
dengan klorida rendah dan hiperkalemia sering dijumpai.
Hiponatremia adalah yang paling sering terjadi pada 90% pasien.
Hyperkalemia ditemukan pada 60-70% pasien. Hypercalcemia jarang
terjadi dan ditemukan pada sekitar 5-10% pasien.
Tes awal untuk insufisiensi adrenal adalah pengukuran kadar
kortisol serum dari sampel darah yang diperoleh di pagi hari,
meskipun beberapa lebih memilih untuk memeriksa tingkat
kortikotropin. Ini merupakan tes skrining sensitif. Karena variasi
dalam tingkat kortisol karena ritme sirkadian, darah harus diambil
ketika tingkat tertinggi, biasanya 6:00-8:00 Pagi. Pada pagi hari
kadar kortisol lebih besar dari 19 mcg / dL (referensi kisaran, 5-25
mcg / dL) dianggap normal, dan tidak ada pemeriksaan lebih lanjut
diperlukan. Nilai kurang dari 3 mcg / dL adalah diagnostik penyakit
Addison. Nilai dalam kisaran 3-19 mcg / dL yang tak tentu, dan
pemeriksaan lebih lanjut diperlukan.
Hipotalamus-hipofisis axis dapat dievaluasi dengan
menggunakan 3 tes: dengan rangsangan kortikotropin (Cortrosyn), uji
toleransi insulin, dan tes metyrapone. Sintetis adrenocorticotropin
124 dengan dosis 250 mcg bekerja sebagai uji dinamis. Peningkatan
kadar renin dan adrenocorticotropin memverifikasi keberadaan
penyakit. Cortrosyn adalah kortikotropin sintetis, melalui jalur
intravena dengan dosis 350 mg. Kadar kortisol serum diukur dari
sampel darah diambil setelah 30 dan 60 menit. Puncak tingkat
kortisol serum lebih dari 18 mcg / dL mengecualikan diagnosis
insufisiensi adrenal karena respon terhadap rangsangan dianggap
memadai pada tingkat ini. Kortisol tingkat 13-17 mcg / dL yang tak
tentu.Kadar kortisol kurang dari 13 mcg / dL menunjukkan
insufisiensi adrenal.
Tes toleransi insulin adalah sensitif untuk insufisiensi adrenal.
Tes ini melibatkan stres hipoglikemik untuk menginduksi produksi
kortisol. Tes memerlukan pemantauan ketat pasien dan merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan riwayat kejang atau penyakit
kardiovaskular. Tanggapan kortisol serum diukur puncak setelah
tantangan insulin 0,1-0,15 U / kg. Tingkat kortisol kurang dari 18
mcg / dL dan tingkat glukosa serum kurang dari 40 mg / dL
menunjukkan insufisiensi adrenal.
Tes metyrapone melibatkan gangguan jalur produksi kortisol
dengan menghambat 11 hidroksilase B-, enzim yang mengkonversi
11-deoxycortisol (11-s) untuk kortisol. Metyrapone (30 mg / kg)
disuntikkan intravena pada tengah malam, dan kortisol dan 11-s
tingkat diukur 8 jam sesudahnya. Sebuah respon normal adalah
peningkatan dalam serum 11-s tingkatan untuk lebih dari 7 mg / dL.
Tingkat 11-s yang kurang dari 7 mg / dL adalah diagnostik dari
ketidakcukupan adrenal.
Setelah diagnosis insufisiensi adrenal dikonfirmasi, bagian dari
defek dalam hipotalamushipofisis axis harus ditentukan dengan
menggunakan sampel kortikotropin, melalui pemeriksaan yang
disebut corticotropin provocation testing, atau corticotrophin-
releasing hormone (CRH) provocative test .Tingkat kortikotropin
serum lebih besar dari 100 pg / mL merupakan diagnostik dari
insufisiensi adrenal primer.
Setelah insufisiensi adrenal didiagnosa dan defek pada
hipotalamus-hipofisis-adrenal axis diidentifikasi, penyebab
insufisiensi adrenal dapat dievaluasi. Karena insufisiensi adrenal
primer telah menyebabkan banyak, pemeriksaan harus diarahkan
pada temuan klinis.
Computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging
(MRI) menunjukkan berkurangnya glandula adrenal pada pasien
dengan kerusakan autoimun dan pembesaran glandula adrenal pada
pasien dengan infeksi. CT memadai menunjukkan kalsifikasi yang
terjadi pada kegagalan adrenal disebabkan oleh tuberkulosis.
Kalsifikasi dapat terlihat dalam fase akut infeksi, tetapi biasanya
diakui dalam fase kronis infeksi. CT dan MRI mengungkapkan
perdarahan adrenal. MRI lebih unggul CT dalam membedakan massa
adrenal, tetapi MRI tidak dapat membedakan tumor dari proses
inflamasi.
Temuan histopatologi bervariasi berhubungan dengan
mekanisme perusakan. Kerusakan autoimun ditandai oleh limfositik
menyusup. Sel kortikal hidup menunjukkan peningkatan sitoplasma
dan nuklir atypia, yang diyakini hasil dari stimulasi yang
berkepanjangan oleh kortikotropin. Noncaseating granuloma
ditemukan ketika kehancuran adrenal adalah hasil dari sarkoidosis
atau keganasan.Granuloma kaseosa terlihat pada pasien dengan TB.
g. PENATALAKSANAAN
Pengobatan insufisiensi adrenal meliputi pergantian, substitusi hormon
yang tidak diproduksi lagi oleh kelenjar adrenal. Kortisol digantikan dengan
glukocorticoid sintetik seperti hidrocortisone, prednisone atau dexamethasone
oral 1-3 kali sehari, tergantung dari pengobatan yang dipilih. Jika hormon
aldostero juga kurang, maka diganti dengan mineraalokortikoid oral yang
dikenal dengan fludrocortisone acetate ( Florinef ) yang dikonsumsi 1 atau 2
kali sehari. Dokter biasanya menyarankan kepada pasien untuk menerima
terapi pengganti aldosteron untuk menigkatkan ambilan garam, karena pasien
dengan insufisiensi adrenal sekunder umumnya mempertahankan produksi
aldosteron. Kelompok ini tidak memerlukan terapi pengganti aldosteron.dosis
untuk setiap obat disesuaikan untuk masing-masing individu.
Selama krisis addison, tekanan darah rendah, kadar glukosa rendah dan
tinggi kadar kalium dapat mengancam kehidupan. Standar terapi melibatkan
pemberian glukocorticoid intravena dan sejumlah besar cairan dextrose
intravena. Pengobatan ini umumnya memberikan pemulihan yang cepat bagi
pasien.ketika pasien diberikan terapi cairan dan obat-obatan oral, jumlah
glukokorticoid akan menurun sampai dosis pemeliharaan tercapai. Jika kadar
aldosteron menurun, terapi pemeliharaan juga dengan pemberian
fludrocortisone acetate oral.
Karena kortisol merupakan hormon untuk mengatur keadaan-keadaan
yang menyebabkan stress pada tubuh, pasien dengan insufisiensi adrenal
kronik yang membutuhkan pembedahan dengan anastesi umum harus
ditangani dengan glukocorticoid intravena dan saline. Pengobatan intravena
dimulai sebelum pembedahan dan dilanjutkan hingga pasien sadar sadar penuh
setelah pembedahan dan setelah mampu mengkonsumsi obat oral. Dosis
hormon „stress‟ ini disesuaikan untuk masing-masing pasien pemulihan
hingga dosis pemeliharaan prebedah tercapai. Selain itu, pasien yang sedang
tidak menggunakanglukocortikoid tetapi telah menggunakan hormon
glukocortikoid selama setahun terakhir harus memberitahukan kepada
dokternya sebelum pembedahan. Pasien-pasien seperti ini mungkin memiliki
kadar ACTH yang normal, tetapi mereka memerlukan pengobatan intravena
untuk mengatasi stress pasca pembedahan.
B. SINDROM CUSHING
a. EPIDEMIOLOGI
Sindrom cushing dibagi menjadi 2 jenis. Yaitu dependen ACTH dan
independen ACTH. Pada jenis dependen ACTH, hormon kortisol yang
diproduksi secara berlebih oleh korteks adrenal disebabkan oleh sekresi ACTH
kelenjar hipofisis yang abnormal dan berlebihan. Keadaan ini juga disebut
sebagai penyakit cushing (Harvey Cushing, 1932). Pada 80% pasien ini
ditemukan adenoma hipofisis yang menyekresi ACTH. Sedangkan 20%
sisanya terdapat bukti-bukti histology hyperplasia hipofisis kortikotrop. Pada
kasus lain didapatkan kelebihan sekresi ACTH, hilangnya irama sirkadian
normal ACTH dan berkurangnya sensitivitas sistem control umpan balik ke
tingkat kortisol dalam darah.
Pada sindroma Cushing berupa sindroma ektopik ACTH lebih sering
pada laki-laki dengan rasio 3:1, pada insiden hiperplasia hipofisis adrenal
adalah lebih besar pada wanita daripada laki-laki, kebanyakan muncul pada
usia dekade ketiga atau keempat.
b. ETIOLOGI
Sindroma Cushing terjadi akibat adanya hormon kortisol yang sangat
tinggi di dalam tubuh. Kortisol berperan dalam berbagai fungsi tubuh,
misalnya dalam pengaturan tekanan darah, respon tubuh terhadap stress, dan
metabolisme protein, karbohidrat, dan lemak dalam makanan. Sindroma
Cushing dapat diakibatkan oleh penyebab di luar maupun di dalam tubuh.
Penyebab sindroma Cushing dari luar tubuh yaitu sindroma chusing latrogenik
yaitu akibat konsumsi obat kortikosteroid (seperti prednison) dosis tinggi
dalam waktu lama. Obat ini memiliki efek yang sama seperti kortisol pada
tubuh.
Penyebab sindroma Cushing dari dalam tubuh yaitu akibat produksi
kortisol di dalam tubuh yang berlebihan. Hal ini terjadi akibat produksi yang
berlebihan pada salah satu atau kedua kelenjar adrenal, atau produksi hormon
ACTH (hormon yang mengatur produksi kortisol) yang berlebihan dari
kelenjar hipofise. Hal ini dapat disebabkan oleh :
7) Hiperplasia adrenal yaitu jumlah sel adrenal yang bertambah. Sekitar 70-
80% wanita lebih sering menderita sindroma chusing.
8) Tumor kelenjar hipofise, yaitu sebuah tumor jinak dari kelenjar hipofise
yang menghasilkan ACTH dalam jumlah yang berlebihan, sehingga
menstimulasi kelenjar adrenal untuk membuat kortisol lebih banyak.
9) Tumor ektopik yang menghasilkan hormon ACTH. Tumor ini jarang
terjadi, dimana tumor terbentuk pada organ yang tidak memproduksi
ACTH, kemudian tumor menghasilkan ACTH dalam jumlah berlebihan.
Tumor ini bisa jinak atau ganas, dan  biasanya ditemukan pada paru-paru
seperti oat cell carcinoma dari paru dan tumor karsinoid dari paru,
pankreas (tumor pankreas), kelenjar tiroid (karsinoma moduler tiroid), atau
thymus (tumor thymus).
10) Gangguan primer kelenjar adrenal, dimana kelenjar adrenal memproduksi
kortisol secara  berlebihan diluar stimulus dari ACTH. Biasanya terjadi
akibat adanya tumor jinak pada korteks adrenal (adenoma). Selain itu dapat
juga tumor ganas pada kelenjar adrenal (adrenocortical carcinoma).
11) Sindrom chusing alkoholik yaitu produksi alkohol berlebih, dimana akohol
mampu menaikkan kadar kortisol.
12) Pada bayi, sindrom cushing paling sering disebabkan oleh tumor
adrenokorteks yang sedang berfungsi, biasanya karsinoma maligna tetapi
kadang-kadang adenoma benigna.
c. TANDA GEJALA

Tanda dan gejala sindrom cushing bervariasi, akan tetapi kebanyakan


orang dengan gangguan tersebut memiliki obesitas tubuh bagian atas, wajah
bulat, peningkatan lemak di sekitar leher, dan lengan yang relatif ramping dan
kaki. Anak-anak cenderung untuk menjadi gemuk dengan tingkat pertumbuhan
menjadi lambat. Manifestasi klinis yang sering muncul pada penderita cushing
syndrome antara lain :
a) Rambut tipis  
b) Moon face
c) Penyembuhan luka buruk
d) Mudah memar karena adanya penipisan kulit
e) Petekie
f) Kuku rusak
g) Kegemukan dibagian perut
h) Kurus pada ekstremitas
i) Striae  
j) Osteoporosis
k) Diabetes Melitus
l) Hipertensi
m) Neuropati perifer
Tanda-tanda umum dan gejala lainnya termasuk
a) Kelelahan yang sangat parah
b) Otot-otot yang lemah
c) Tekanan darah tinggi
d) Glukosa darah tinggi
e) Rasa haus dan buang air kecil yang berlebihan
f) Mudah marah, cemas, bahkan depresi
g) Punuk lemak (fatty hump) antara dua bahu
d. PRINSIP MANAJEMEN
Penatalaksanaan Chusing Syndrome
Penatalaksanaan Cushing Syndrome bergantung pada apa penyebab
hormon kortisol yang diproduksi secara berlebihan. Penatalaksanaan dapat
dilakukan secara pembedahan, radiasi, kemoterapi atau penggunaan obat untuk
menghambat kortisol. Jika penyebabnya adalah penggunaan jangka panjang
hormon glukokortikoid yang digunakan untuk mengobati gangguan lain,
dokter secara bertahap akan mengurangi dosis hingga mencapai dosis terendah
namun tetap cukup untuk mengendalikan gangguan itu. Setelah kontrol
berhasil dilakukan, dosis harian hormon glukokortikoid dapat ditingkatkan dua
kali lipat dan diberikan pada hari lain untuk mengurangi efek samping .
a) Hipofisis Adenoma
Pengobatan yang tersedia untuk penyakit Adenoma Hipofisis .
Cara yang paling  banyak digunakan adalah operasi pengangkatan
tumor , yang dikenal sebagai transsphenoidal adenomectomy. Cara
ini menggunakan mikroskop khusus dan instrumen yang sangat
halus, ahli bedah akan mendekati kelenjar pituitari melalui lubang
hidung atau pembukaan yang dibuat di bawah bibir atas. Tingkat
keberhasilan atau penyembuhan dari prosedur ini lebih dari 80
persen bila dilakukan oleh seorang ahli bedah yang
berpengalaman. Setelah operasi hipofisis, tingkat produksi ACTH
dua tetes di bawah normal. Hal ini merupakan penurunan yang
alami, namun untuk sementara klienakan diberi bentuk sintetis dari
kortisol ( seperti hydrocortisone atau prednisone).
Pada pasien yang mengalami gagal operasi transsphenoidal  ,
dapat dilakukan metode radioterapi. Radiasi ke kelenjar pituitari
diberikan selama 6. Hal ini memerlukan waktu  beberapa bulan
atau tahun sebelum klien merasa lebih baik. Namun demikian,
kombinasi dari radiasi dan obat Mitotane (Lysodren) dapat
membantu mempercepat pemulihan . Mitotane dapat menekan
produksi kortisol dan menurunkan kadar hormon plasma dan urin.
Tingkat keberhasilan dengan menggunakan pengobatan Mitotane
mencapai 30 sampai 40 persen. Obat lain yang digunakan tanpa
atau dengan kombinasi untuk mengontrol produksi kelebihan
kortisol diantaranya aminoglutethimide , metyrapone , trilostane
dan ketoconazole.
b) Ektopik ACTH Syndrome
Kelebihan produksi kortisol yang disebabkan oleh sindrom
ACTH ektopik dapat disembuhkan dengan menghilangkan semua
jaringan kanker yang mensekresi ACTH. Pilihan pengobatan
kanker - operasi, radioterapi, kemoterapi, imunoterapi, atau
kombinasi dari perawatan ini tergantung pada jenis kanker dan
seberapa jauh tumor tersebut telah menyebar. Karena ACTH, tumor
mensekresi ( misalnya, kanker paru-paru sel kecil) mungkin sangat
kecil dan bahkan telah menyebar luas pada saat diagnosis, obat
penghambat, seperti Mitotane, merupakan bagian penting dari
pengobatan. Pada beberapa kasus, jika operasi hipofisis tidak
berhasil, operasi pengangkatan kelenjar adrenal ( adrenalektomi
bilateral ) dapat menggantikan cara pengobatan.
c) Tumor Adrenal
Pembedahan adalah pengobatan utama untuk tumor kanker dari
kelenjar adrenal. Pada penyakit Primary Pigmented Micronodular
Adrenal operasi pengangkatan kelenjar adrenal mungkin
diperlukan.
e. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan dengan uji laboratorium dengan
memeriksa hormon metabolik, sel darah dan glukosa.
C. Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH)
a. EPIDEMIOLOGI
Sebuah studi menemukan bahwa sekitar satu anak di setiap 18.000
kelahiran di Inggris memiliki hiperplasia adrenal kongenital (CAH). Nomor
yang sama pada anak laki-laki dan perempuan terlihat secara klinis pada tahun
pertama kehidupan anak laki-laki, tetapi hadir dengan manifestasi yang lebih
parah, seperti Salt-losing.Salt-losing CAH menyumbang sekitar tiga perempat
dari kasus yang dilaporkan dan non salt losing CAH untuk satu triwulan.
Kejadian nonclassic diperkirakan sekitar 1 dalam 1000-2000 pada
populasi kulit putih. Nonclassic lebih sering pada populasi etnis tertentu,
seperti orang-orang Yahudi asal Eropa Timur. Bentuk nonclassic ringan adalah
penyebab umum dari hiperandrogenisme.
b. MANIFESTASI KLINIS CAH
Keparahan klinis tergantung pada derajat defisiensi 21-hidroksilase.
Bentuk klasik hadir dalam masa kanak-kanak dengan rendahnya produksi
ditandai glukokortikoid dan kelebihan androgen adrenal. Dalam bentuk yang
paling parah, defisiensi aldosteron menyebabkan hilangnya garam. Dalam
bentuk paling ringan, ada produksi kortisol cukup tetapi dengan
mengorbankan kelebihan androgen.
 Bayi perempuan dengan bentuk klasik: genitalia ambigu dengan
klitoris yang membesar dan sinus urogenital umum di tempat
uretra dan vagina yang terpisah. Organ kewanitaan internal
normal. Karena alat kelamin ambigu, gadis dengan bentuk salt-
losing biasanya didiagnosis sebelum mereka mengalami krisis
adrenal Salt-losing dalam periode neonatal. Sebuah sistem
pementasan (skala Prader 1-5) telah dikembangkan untuk
mengkategorikan tingkat keparahan kelainan genital pada anak
perempuan. Hal ini bermanfaat dalam menentukan apakah
operasi korektif harus dipertimbangkan.
 Anak laki-laki dengan bentuk klasik: tidak ada tanda-tanda saat
lahir, kecuali hiperpigmentasi halus dan kemungkinan
pembesaran penis. Usia saat diagnosis tergantung pada tingkat
keparahan defisiensi aldosteron.
 Anak laki-laki dengan bentuk salt-losing biasanya hadir pada 7-
14 hari hidup dengan muntah, penurunan berat badan, lesu,
dehidrasi, hiponatremia dan hiperkalemia dan dapat hadir
dalam shock.
 Anak laki-laki dengan-non salt losing-Salt losing bentuknya
yang sekarang dengan virilisasi dini pada usia 2-4 tahun.
 Pasien dengan nonclassic hiperplasia adrenal kongenital (CAH)
terlihat dengan hiperandrogenisme di masa kanak-kanak atau
kemudian pada masa dewasa awal. Pasien-pasien ini dapat
terlihat pada pubarche awal, atau wanita muda dengan
infertilitas, hirsutisme, oilgomenorrhea atau amenorea dengan
ovarium polikistik dan jerawat. Beberapa wanita dengan CAH
nonclassic tidak memiliki gejala klinis yang jelas dan banyak
orang dengan nonclassic CAH tetap bebas dari gejala.
 Sebuah studi menemukan perubahan perilaku peran gender,
seksualitas dan adaptasi psikososial pada wanita yang memiliki
CAH dibandingkan dengan kontrol.
Sumber :
A. Sindrom Addison
a) Bornstein SR. Predisposing Factors for Adrenal Insufficiency. Review article.
The new journal england medicine. 2011
b) Cooper MS. Stewart PM. Corticosteroid insufficiency in acutely ill patiens.
Review article. Vol 34 page; 348 The new journal england medicine. 2011
B. Cushing Syndrome
a) National Endocrine and Metabolic Diseases Information Service, 2008
b) Guyton, Arthur C. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Edisi 11. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC.
c) Pierce A. Grace and Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah edisi 3.
Jakarta : EMS
C. CAH
a) Khalid JM, Oerton JM, Dezateux C, et al. 2012. Incidence and clinical
features of congenital adrenal hyperplasia in Great Arch Dis Child
b) Trapp CM, Oberfield SE. 2012. Recommendations for treatment of nonclassic
congenital adrenal hyperplasia Steroids.

10. A. Patofisiologi dan disfungsi pendarahan uterus.


Etiologi
Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara
menarche dan menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai pada masa
permulaan dan pada mssa akhir fungsi ovarium. Pada usia perimenars, penyebab
paling mungkin adalah faktor pembekuan darah dan gangguan psikis.
Pada masa pubertas sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan
oleh gangguan atau terlambat proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa
pembuatan releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita
dalam masa premenopasuse proses terhentinya proses ovarium tidak selalu berjalan
lancar.
Patofisiologi
Schroder pada tahun 1915, setelah penelitian histopatologik pada uterus dan
ovarium pada waktu yang sama, menarik kesimpulan bahwa gangguan perdarahan
yang dinamakan metropatia hemoragika terjadi karena persistensi folikel yang tidak
pecah sehingga tidak terjadi ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Akibatnya,
terjadilah hiperplasi endometrium karena stimulasi estrogen yang berlebihan dan
terus-menerus.
Penelitian lain menunjukkan pula bahwa perdarahan disfungsional dapat
ditemukan bersamaan dengan berbagai jenis endometrium, yaitu endometrium atrofik,
hiperplastik, proliferatif dan sekretoris, dengan endometrium jenis non sekresi
merupakan bagian terbesar. Pembagian endometrium menjadi endomettrium sekresi
dan non sekresi penting artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan perdarahan
ovulatoar dari yang anovulatoar. Klasifikasi ini memiliki nilai klinik karena kedua
jenis perdarahan disfungsional ini memiliki dasar etiologi yang berlainan dan
memerlukan penanganan yang berbeda. Pada perdarahan disfungsional yang ovulatoar
gangguan dianggap berasal dari faktor-faktor neuromuskular, hematologi dan
vasomotorik, yang mekanismenya belum seberapa dimengerti, sedang perdarahan
anovulatoar biasanya dianggap bersumber pada gangguan endokrin.
Gambaran Klinik
a. Perdarahan ovulatoar
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan
disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang
(oligomenorea). Untuk menegakkan diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu
dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang
lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang
bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan
bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa adanya
sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologiya :
a) Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-
kadang bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus
dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan hasil
pemeriksaan panggul sering menunjukkan banyak persamaan antara
keduanya. Korpus luteum persisten dapat pula menyebabkan pelepasan
endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosa irregular
shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni
menurut Mc Lennon pada hari ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu
ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi disamping tipe
nonsekresi.
b) Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi
progesteron disebabkan oleh gangguan LH releasing factor. Diagnosis
dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok
dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari
siklus yang bersangkutan.
c) Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.
d) Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan
dalam  mekanisme pembekuan darah.
b. Perdarahan anovulatoar
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium.
Dengan menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul
perdarahan yang kadang-kadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak
teratur sama sekali.
Fluktuasi kadar estrogen ada sangkut-pautnya dengan jumlah folikel
yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan
estrogen sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel-
folikel baru. Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh terus, dan
dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi endometrium
bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang
diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan
bersifat anovulatoar.
Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu
dalam kehidupan menstrual seorang wanita, tapi paling sering pada masa
pubertas dan masa premenopause. Bila pada masa pubertas kemungkinan
keganasan kecil sekali dan ada harapan bahwa lambat laun keadaan
menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulatoar, pada seorang wanita
dewasa terutama dalam masa premenopasue dengan perdarahan tidak
teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor
ganas.
Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita
dengan penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit
umum yang menahun, tumor-tumor ovarium dan sebagainya. Disamping
itu stress dan pemberian obat penenang juga dapat menyebabkan
perdarahan anovulatoar yang bisanya bersifat sementara.
Diagnosis
Pembuatan anamnesis yang cermat penting untuk diagnosis. Perlu ditanyakan
bagaimana mulainya perdarahan, apakah didahului oleh siklus yang pendek atau oleh
oligomenorea/amenorea, sifat perdarahan (banyak atau sedikit-sedikit, sakit atau
tidak), lama perdarahan, dan sebagainya. Pada pemeriksaan umum perlu diperhatikan
tanda-tanda yang menunjuk kearah penyakit metabolik, endokrin, penyakit menahun,
dan lai-lain. Kecurigaan terhadap salah satu penyakit tersebut hendaknya menjadi
dorongan untuk melakukan pemeriksaan ginekologik perlu dilihat apakah tidak ada
kelainan-kelainan organik, yang menyebabkan perdarahan abnormal (polip, ulkus,
tumor, kehamilan terganggu).
Pada wanita dalam masa pubertas tidak perlu dilakukan kuretase untuk
penegakkan diagnosis. Pada wanita usia antara 20 dan 40 tahun kemungkinan besar
adalah kehamilan terganggu, polip, mikoma submukosum, dan sebagainya. Kerokan
dilakukan setelah dapat diketahui benar bahwa tindakan tersebut tidak mengganggu
kehamilan yan masih memeberi harapan untuk diselamatkan. Pada wanita dalam masa
premenopause, kerokan perlu dilakukan untuk menastikan ada tidaknya tumor ganas.
Sumber :
a. Mansjoer, A., et al., 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Media Aesculapius.
Jakarta.
b. Wiknjosastro, H., 2009. Ilmu Kandungan, Edisi 2. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirorahardjo. Jakarta.
c. Rosevear, S. K., 2002. Handbook of Gynaecoligy Management. Blackwell
Science. United Kingdom.

11. Organ apa saja yang mengalami perubahan saat menstruasi?


a. Rasa sakit yang terjadi pada hari-hari pertama menstruasi disebabkan oleh
otot-otot rahim yang mengalami kontraksi guna mendorong dan mengeluarkan
lapisan dinding rahim yang luruh menjadi darah menstruasi.
b. Luruhnya lapisan dinding rahim dikarenakan kadar estrogen dan progesteron
mengalami penurunan. Seiring dengan menurunnya estrogen dan progesteron
pada fase ini, hormon perangsang folikel (FSH) mulai sedikit meningkat,
peningkatan ini memancing berkembangnya beberapa folikel (kantong yang
berisi indung telur) di dalam ovarium. Dari beberapa folikel yang berkembang,
hanya akan ada satu folikel yang terus berkembang yang kemudian akan
memproduksi estrogen. Estrogen Anda sangat rendah pada awal menstruasi,
namun dengan berkembangnya folikel, hormon estrogen akan mulai
meningkat kembali.
c. gejala pramenstruasi (PMS), seperti perubahan emosi yang lebih sensitif dan
perubahan kondisi fisik, seperti nyeri pada payudara, pusing, cepat lelah, atau
kembung. Selain gejala tersebut, korpus luteum akan berdegenerasi dan
berhenti memproduksi progesteron. Dengan menurunnya kadar progesteron
dan estrogen karena tidak terjadi pembuahan, lapisan dinding rahim akan luruh
hingga menjadi darah menstruasi.
PMS (pre menstrual syndrome) atau gejala pre-menstruasi, dapat menyertai
sebelum atau saat menstruasi. Antara lain:
1. Perasaan malas bergerak, badan menjadi lemas, serta mudah merasa lelah.
2. Nafsu makan meningkat dan suka makan makanan yang rasanya asam.
3. Emosi menjadi labil. Biasanya kita mudah uring-uringan, sensitif, dan
perasaan-perasaan negatif lainnya.
4. Mengalami kram perut (dismenorrhoe).
5. Kepala nyeri.
6. Pingsan.
7. Berat badan bertambah, karena tubuh menyimpan air dalam jumlah yang
banyak.
8. Pinggang terasa pegal.
Sumber : Sherwood, L, 2014, Fisiologi Manusia, EGC : Jakarta
12. Gangguan Menstruasi
Gangguan daur haid mencakup (1) amenorea (tidak keluarnya haid), yang
mungkin merupakan amenorea primer (yi., tidak munculnya haid pada usia 16 tahun)
atau amenorea sekunder (yi., tidak timbulnya haid selama 6 bulan pada wanita ynag
sebelumnya mengalami haid normal); (2) dismenorea (nyeri) dan gejala lain yang
menyertai haid; dan (3) menoragia (perdarahan vagina berlebihan) atau metroragia
(perdarahan vagina berkepanjangan yang iregular atau abnormal) (McPhee & Ganong,
2012).
Gangguan menstruasi dan siklusnya khususnya dalam masa reproduksi dapat
digolongkan menjadi 4, antara lain : kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya
perdarahan pada Menstruasi (hipermenorea atau menoragia dan hipomenorea),
kelainan siklus (polimenorea, oligomenorea, dan amenorea), perdarahan diluar haid
(metroragia), dan gangguan lain yang ada hubungan dengan haid (premenstrual
tension, mittelschmerz, Dismenorea).
Adapun upaya untuk mengatasi terjadinya gangguan menstruasi tersebut
antara lain : memperbaiki keadaan kesehatan, termasuk perbaikan gizi, kehidupan
dalam lingkungan yang sehat dan tenang, serta pemberian estrogen dan progesteron
(Wiknjosastro.2012).

Penatalaksanaan Gangguan dalam menstruasi

a) Premenstrual Tension (Ketegangan Prahaid)


Terapi :
- Progesteron sintetik dosis kecil dapat diberikan selama 8 jam sampai 10 hari
sebelum haid
- Metiltestosteron 5mg sebagai tablet isap, jangan lebih dari 7 hari
- Pemberian diuretik selama 5 hari dapat bermanfaat
- Pemakaian garam dibatasi dan minum sehari-hari dikurang selama 7-10 hari
sebelum haid
- Psikoterapi suportif 
b) Disminorea
Terapi :
- Penerangan dan nasihat
Perlu dijelaskan kepada penderita bahwa disminore adalah gangguan yang
tidak  berbahaya untuk kesehatan. Hendaknya diadakan penjelasan dan diskusi
mengenai cara hidup, pekerjaan, kegiatan, lingkungan penderita. Nasihat-
nasihat mengenai makanan sehat, istirahat yang cukup, dan olahraga mungkin
berguna. Kadang-kadang diperlukan psikoterapi.
- Pemberian obat analgesik
Dewasa ini telah banyak beredar obat-obat analgesik yang dapat diberikan
sebagai terapi simptomatik. Jika rasa nyerinya berat, diperlukan istirahat di
tempat tidur dan kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi
penderitaan. Obat analgesik yang sering diberikan adalah preparat kombinasi
aspirin, fenasetin, dan kafein. Obat-obat paten beredar di pasaran ialah antara
novalgin, ponstan,acet-aminophen dan sebagainya.
- Terapi hormonal
Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi.Tindakan ini bersifat sementara
dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan benar-benar disminore
primer, atau untuk memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan penting
pada waktu haid tanpa gangguan.Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian
salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
- Terapi dengan obat nonstreoid antiprostaglandin
Memegang peranan yang makin penting terhadap disminore primer. Termasuk
disini indometasin, ibuprofen, dan naproksen dalam kurang lebih 70%
penderita dapat disembuhkan atau mengalami banyak perbaikan. Hendaknya
pengobatan diberikan sebelum haid mulai 1sampai 3 hari sebelum haid dan
pada hari pertama haid.
c) Perdarahan Uterus Abnormal
1. Hipermenore (Menorraghia)
Terapi :
Terapi spesifik untuk menorrhagia diberikan berdasarkan :
1) Umur dan riwayat kesehatan
2) Kondisi sebelumnya
3) Toleransi pada terapi pengobatan spesifik

Terapi untuk menorrhagia, yaitu :

 Suplemen zat besi (jika kondisi menorrhagia disertai anemia, kelainan


darah yang disebabkan oleh defisiensi sel darah merah atu
hemoglobin).
 Prostaglandin inhibitor seperti medications (NSAID), seperti aspirin
atau ibuprofen.
 Kontrasepsi oral (ovulation inhibitor)
 Progesteron (terapi hormon)
 Hysteroctomy (operasi untuk menghilangkan uterus)
2. Amenore
Terapi :
Pengobatan untuk kasus amenore tergantung kepada penyebabnya. Jika
penyebanya adalah penurunan berat badan yang drastis atau obesitas,
penderita dianjurkan untuk menjalani diet yang tepat. Jika penyebabnya
adalah olahraga yang berlebihan, penderita dianjurkan untuk menguranginya.
Jika seorang anak perempuan yang belum pernah mengalami menstruasi
(amenore primer ) dan selama hasil pemeriksaan normal, maka dilakukan
pemeriksaan setiap 3-6 bulan untuk memantau perkembangan pubertasnya.
Sumber :
a. McPhee SJ & Ganong WF. 2012 Patofisiologi Penyakit. Edisi 5. EGC :
Jakarta
b. Wiknjosastro H. 2012. Ilmu Kandungan. YBP Sarwono Prawirohardjo :
Jakarta
c. Kadarusman Y, Jacoeb TZ, Baziad A. Perdarahan uterus disfungsional kronis
pada masareproduksi: Aspek patofisiologi dan pengobatan dengan
progesterone. Diakses pada 06 April 2016, dari <
https://www.scribd.com/doc/144142674/Penatalaksanaan-Gangguan-Dalam-
Menstruasi>

13. Patofisiologi disfungsi perdarhan uterus


Perdarahan uterus disfungsional adalah perdarahan yang terjadi tanpa adanya
penyebab organic. kebanyakan pasien dengan perdarahan disfungsional memiliki
siklus anovulasi. Anovulasi terjadi sekunder karena gagalnya pematangan folikel
ovarium hingga mencapai ovulasi dan pembentukan korpus luteum. Penyebab jelas
anovulasi tidak diketahui secara pasti. Namun kemungkinannya adalah disfungsi aksis
hipotalamus hipofisis ovarium. Ini akan mengakibatkan produksi estrogen yang terus
menerus oleh folikel. Dan tanpa adanya korpus luteum, berarti progesterone tidak
diproduksi. Perubahan hormonal ini akan mengakibatkan perdarahan anovulatoir yang
bergantian dan biasanya sangat berat, serta amenore. Keadaan ini disebabkan oleh
perangsangan estrogen dalam derajat yang berbeda-beda terhadap endometrium, serta
derajat penurunan estrogen. Frekuensi episode perdarahan periodic bergantung pada
variasi jumlah folikel yang berfungsi. Beberapa folikel dapat menjadi aktif pada
waktu yang bersamaan, mengakibatkan produksi estrogen dalam kadar yang tinggi.
Dibawah pengaruh tingginya kadar estrogen dan tidak adanya progesterone,
endometrium akan mengalami proliferasi selama beberapa minggu atau bulan.
Terjadinya penurunan estrogen dapat disebabkan oleh degenerasi folikel
menyebabkan kadarnya semakin turun, atau semakin meningkatnya kebutuhan akan
estrogen dengan membesarnya jaringan endometrium sehingga produksinya tidak
mencukupi. Kedua keadaan ini mengakibatkan perdarahan karena penurunan estrogen
yang berbeda dalam hal saat terjadi, lama, dan jumlahnya.
Pada dewasa muda, perdarahan yang berlebihan, tak teratur, atau
berkepanjangan, biasanya berkaitan belum matangnya aksis hipotalamus hipofisis
ovarium, sehingga mengakibatkan siklus anovulatoir pada 20% kasus. Pada dua tahun
pertama setelah menarche insidens kasus anovulatoir sebesar 75% atau lebih. Dan
hampir 50% pada 2 tahun berikutnya. 40% kasus terjadi pada perempuan diatas 40
tahun. Pada keadaan ini terjadi pramenopause aksis hipotalamus hipofisis ovarium
terjadi dan menyebabkan siklus anovulatoir. Namun, pada perempuan yang lebih tua,
diberikan perhatian untuk menyingkirkan penyebab karena kemungkinan kanker
endometrium. Jika perdarahan sangat berat, dapat terjadi keadaan akut yang
membutuhkan penanganan yang tepat, karena dapat timbul hipovolemia dan anemia
akibat kehilangan darah.
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat, tidak adanya siklus ovulatori,
perubahan suhu tubuh, kadar progesterone serum yang rendah. Prosedur diagnosis
biasanya tidak diperlukan pada pasien-pasien yang mengalami perimenarke muda,
namun pemeriksaan pelvis harus dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan hamil
atau keadaan patologis. Pada perempuan perimenopause yang lebih tua, aspirasi
endometrium, kuretase, atau keduanya sebaiknya dilakukan untuk pemeriksaan
jaringan untuk menegakkan secara jelas bahwa anovulatori atau siklus yang tidak
sesuai merupakan penyebab dan menyingkirkan perubahan keganasan.
Pengobatan awal ditujukan untuk menghentukan proses dengan pemberian
terapi hormonal. Banyak regimen yang tersedia, termasuk estrogen yang diikuti oleh
progesterone, progesterone saja, atau kombinasi pil kontrasepsi oral. Estrogen
terkonjugasi dosis tinggi diberikan setiap hari hingga perdarahan terkontrol, biasanya
2-3 hari. Kemudian dosis rendah diberikan setiap hari selama siklus.
Medroksiprogesteron asetat harian diberikan dari hari ke 15 sampai 25 pada tiap
siklus untuk merangsang fase luteal. Hormone-hormon dihentikan pada hari ke 25.
Menstruasi seharusnya terjadi dalam waktu 3-4 hari. Pil-pil kontrasepsi oral saja 3-4
kali dengna dosis biasa dapat efektif dan lebih mudah dari pada hormone serial. Dosis
dikurangi bila perdarahan berkurang. Medroksiprogesteron asetat harian selama 10
hari dapat digunakan bila pemeriksaan biopsy memperlihatkan proliferative
endometrium. Tetapi dilanjutkan selama tiga hingga enam siklus kemudian
dihentikan. Evaluasi selanjutnya dibutuhkan bila siklus anovulatori berlanjut.

Sumber : Price, SA, Wilson LM., 2006, Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit, Edisi 6, volume 2, EGC:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai