Anda di halaman 1dari 43

"Wali Songo Dari Periode Angkatan 1 Sampai 10"

Nama-nama Walisongo Menurut Periode Waktunya


Menurut Catatan dari Al-Habib Hadi bin Abdullah Al-Haddar dan As-Sayyid Bahruddin
Ba'alawi Al-Husaini, disebutkan bahwa:
Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 – 1435 M. Terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, [wafat 1419 M]
2. Maulana Ishaq,
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Maulana Malik Isra'il,[wafat 1435 M]
6. Maulana Muhammad Ali Akbar,[wafat 1435 M]
7. Maulana Hasanuddin,
8. Maulana 'Aliyuddin,
9. Syekh Subakir, atau Syaikh Muhammad Al-Baqir
Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1435 - 1463 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel, [tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim]
2. Maulana Ishaq, [wafat 1463]
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro,
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi,
5. Sunan Kudus, [tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il]
6. Sunan Gunung Jati, [tahun 1435 menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar]
7. Maulana Hasanuddin, [wafat 1462 M]
8. Maulana 'Aliyuddin, [wafat 1462 M]
9. Syekh Subakir, [wafat 1463 M]
Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 - 1466 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel,
2. Sunan Giri, [tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq]
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, [w.1465 M]
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, [w.1465 M]
5. Sunan Kudus, 6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang, [tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin]
8. Sunan Derajat, [tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin]
9. Sunan Kalijaga, [tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir]
Wali Songo Angkatan ke-4, 1466 - 1513 M, terdiri dari
1. Sunan Ampel, [w.1481]
2. Sunan Giri, [w.1505]
3. Raden Fattah, [pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra]
4. Fathullah Khan [Falatehan], [pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi]
5. Sunan Kudus,
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang,
8. Sunan Derajat,
9. Sunan Kalijaga, [wafat tahun 1513]
Wali Songo Angkatan ke-5, [1513 - 1533 M], terdiri dari
1. Syaikh Siti Jenar, wafat tahun 1517] [tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel]
2. Raden Faqih Sunan Ampel II [ Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri]
3. Raden Fattah, [wafat tahun 1518]
4. Fathullah Khan [Falatehan],
5. Sunan Kudus, [wafat 1550]
6. Sunan Gunung Jati,
7. Sunan Bonang, [w.1525 M]
8. Sunan Derajat, [w. 1533 M]
9. Sunan Muria, [tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga] Wali Songo
Angkatan ke-6, [1533 - 1546 M], terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Qahhar [Sunan Sedayu], [Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti
Jenar]
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak [Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih
Sunan Ampel II)
3. Sultan Trenggana [tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah]
4. Fathullah Khan [Falatehan], [wafat tahun 1573]
5. Sayyid Amir Hasan, [tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus]
6. Sunan Gunung Jati, [w.1569]
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan, [Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan
Bonang]
8. Sunan Pakuan, [Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat]
9. Sunan Muria, [w. 1551]
Wali Songo Angkatan ke-7, 1546- 1591 M, terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qahhar [Sunan Sedayu], [wafat 1599]
2. Sunan Prapen, [tahun 1570 menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak]
3. Sunan Prawoto, [ tahun 1546 Menggantikan ayahnya Sultan Trenggana]
4. Maulana Yusuf, [pada tahun 1573 menggantikan pamannya yaitu Fathullah Khan [Falatehan],
Maulana Yusuf adalah cucu Sunan Gunung Jati]
5. Sayyid Amir Hasan,
6. Maulana Hasanuddin, [pada tahun 1569 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Gunung Jati]
7. Sunan Mojoagung [tahun 1570 Menggantikan Sunan Lamongan]
8. Sunan Cendana, [tahun 1570 menggantikan kakeknya, yaitu Sunan Pakuan]
9. Sayyid Shaleh [Panembahan Pekaos], [tahun 1551 menggantikan kakek dari ibunya, yaitu
Sunan Muria. Sedangkan Sayyid Shaleh adalah Shaleh bin Amir Hasan bin Sunan Kudus]
Wali Songo Angkatan ke-8, 1592- 1650 M, terdiri dari
1. Syaikh Abdul Qadir [Sunan Magelang], asal Magelang, [wafat 1599], menggantikan Sunan
Sedayu
2. Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi, [1650 menggantikan Gurunya yaitu Sunan Prapen]
3. Sultan Hadiwijaya [Joko Tingkir], [tahun 1549 Menggantikan Sultan Prawoto]
4. Maulana Yusuf, asal Cirebon
5. Sayyid Amir Hasan, asal Kudus
6. Maulana Hasanuddin, asal Cirebon
7. Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani, [tahun 1650 Menggantikan Sunan Mojo Agung]
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri, [tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana] 9.
Sayyid Shaleh [PanembaHidayatullah. Wali Songo Angkatan ke 9, 1650 – 1750M, terdiri dari:
1. Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan [tahun 1750 menggantikan Sunan Magelang]
2. Syaikh Shihabuddin Al-Jawi [tahun 1749 menggantikan Baba Daud Ar-Rumi]
3. Sayyid Yusuf Anggawi [Raden Pratanu Madura], Sumenep Madura [Menggantikan, yaitu
Sultan Hadiwijaya / Joko Tingkir]
4. Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani, [tahun 1750 Menggantikan Maulana Yusuf, asal
Cirebon ]
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. [1740 menggantikan Gurunya, yaitu Sayyid Amir Hasan bin
Sunan Kudus]
6. Sultan Abulmufahir Muhammad Abdul Kadir [ tahun 1750 menggantikan buyutnya yaitu
Maulana Hasanuddin]
7. Sultan Abulmu'ali Ahmad [Tahun 1750 menggantikan Syaikh Syamsuddin Abdullah Al-
Sumatrani]
8. Syaikh Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri
9. Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan [tahun 1750 menggantikan ayahnya, Sayyid Shalih
Panembahan Pekaos]
Wali Songo Angkatan ke-10, 1751 – 1897
1. Pangeran Diponegoro [ menggantikan gurunya, yaitu: Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan] 2.
Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, [menggantikan Syaikh Shihabuddin Al-Jawi]
3. Kyai Mojo, [Menggantikan Sayyid Yusuf Anggawi [Raden Pratanu Madura]
4. Kyai Kasan Besari, [Menggantikan Syaikh Haji Abdur Rauf Al-Bantani]
5. Syaikh Nawawi Al-Bantani. …
6. Sultan Ageng Tirtayasa Abdul Fattah, [menggantikan kakeknya, yaitu Sultan Abulmufahir
Muhammad Abdul Kadir]
7. Pangeran Sadeli, [Menggantikan kakeknya yaitu: Sultan Abulmu'ali Ahmad]
8. Sayyid Abdul Wahid Azmatkhan, Sumenep, Madura [Menggantikan Syaikh Abdul Ghafur bin
Abbas Al-Manduri]
9. Sayyid Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek), Bangkalan, Madura, [Menggantikan kakeknya,
yaitu: Sayyid Ahmad Baidhawi Azmatkhan]
Tahun 1830 – 1900 [Majelis Dakwah Wali Songo dibekukan oleh Kolonial Belanda, dan banyak
para ulama’ keturunan Wali Songo yang dipenjara dan dibunuh]
Dari nama para Wali Songo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal
sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
• Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
• Sunan Ampel atau Raden Rahmat
• Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
• Sunan Drajat atau Raden Qasim
• Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq
• Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
• Sunan Kalijaga atau Raden Said
• Sunan Muria atau Raden Umar Said
• Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.

Wallohua'llam....

SANAD-SILSILAH NU (NAHDLATUL ULAMA) SAMPAI NABI ADAM AS.


1. Prof. DR. KH. Said Aqil Siradj.
2. KH. Hasyim Muzadi.
3. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
4. KH.Wahid Hasyim.
5. Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
6. Syaikh Mahfudz at-Termasi.
7. Syaikh Nawawi al-Bantani.
8. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
9. Imam Ahmad ad-Dasuqi.
10. Imam Ibrahim al-Baijuri.
11. Imam Abdullah as-Sanusi.
12. Imam ‘Abduddin al-‘Iji.
13. Imam Muhammad bin Umar Fakhrurrazi.
14. Imam Abdul Karim asy-Syahrastani.
15. Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.
16. Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini.
17. Imam Abubakar al-Baqillani.
18. Imam Abdullah al-Bahili.
19. Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari.
20. Abu Ali al-Juba’i.
21. Abu Hasyim al-Juba’i.
22. Abu al-Hudzail al-‘Allaf.
23. Ibrahim an-Nadzdzam.
24. Amr bin Ubaid.
25. Washil bin Atha’.
26. Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.
27. Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.
28. Sayyidina Rasulullah Muhammad Saw.
29. Malaikat Jibril As.
30. Allah Swt.
Nabi Muhammad Saw.
29. bin Syaikh Abdullah.
30. bin Abdul Muthalib (Syaibah).
31. bin Hasyim (Amr).
32. bin Abdu Manaf (al-Mughirah).
33. bin Qushay (Zaid).
34. bin Kilab.
35. bin Murrah.
36. bin Ka’ab.
37. bin Luaiy.
38. bin Ghalib.
39. bin Fihr (Quraisy).
40. bin Malik.
41. bin Nadhr (Qais).
42. bin Kinanah.
43. bin Khuzaimah.
44. bin Mudrikah (Amir).
45. bin Ilyas.
46. bin Mudhar.
47. bin Nizar.
48. bin Ma’ad.
49. bin ‘Adnan.
50. bin ‘Ad.
51. bin Udad.
52. bin Hamaisa’.
53. bin Salaman.
54. bin Banat.
55. bin Haml.
56. bin Qidrah.
57. bin Isma’il.
58. bin Ibrahim.
59. bin Târakh.
60. bin Nakhur.
61. bin Syarukh.
62. bin Arghu.
63. bin Falikh.
64. bin Abir.
65. bin Syalikh.
66. bin Arfakhsyad.
67. bin Sam.
68. bin Nuh.
69. bin Lamak.
70. bin Matusyalikh.
71. bin Akhnukh.
72. bin Idris.
73. bin Ilyarid.
74. bin Mihlayil.
75. bin Qinan.
76. bin Anusy.
77. bin Syits.
78. bin Adam As.
PBNU sudah menerbitkan dalam bentuk poster sanad-silsilah keilmuan ilmiah dari Hadhratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari

SANAD ILMU FIQIH NAHDLATUL ULAMA SAMPAI KEPADA RASULULLAH SAW #

Rasulullah SAW : Ilmu yg di akui (mu'tabar/aman dipakai tuk sampai kepada ALLAH SWT) yg
mana 1 per 1 Sanad Nya sampai Kepada Ku (Sayyidil Basyar).

Sanad Ilmu Fiqih Nahdlatul Ulama – Sanad Imam Syafi’i (w. 204 H) kepada Rasulullah Shalla
Allahu Alaihi wa Sallam memiliki 2 Jalur, Jalur Imam Malik dan Jalur Imam Abu Hanifah.
1. Jalur Imam Malik
Imam Malik bin Anas (w. 179 H, Pendiri Madzhab Malikiyah) berguru kepada ① Ibnu Syihab
al-Zuhri (w. 124 H), ② Nafi’ Maula Abdillah bin Umar (w. 117 H), ③ Abu Zunad (w. 136 H),
④ Rabiah al-Ra’y (w. 136H), dan ⑤ Yahya bin Said (w. 143H)Kesemuanya berguru kepada
① Abdullah bin Abdullah bin Mas’ud (w. 94H), ② Urwah bin Zubair (w. 94 H), ③ al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar(w. 106 H), ④ Said bin Musayyab (w. 94 H), ⑤ Sulaiman bin
Yasar (w. 107 H), ⑥ Kharihaj bin Zaid bin Tsabit (w.100 H), ⑦ dan Salim bin Abdullah bin
Umar (w.106 H). Kesemuanya berguru kepada ① Umar bin Khattab (w. 22 H), ② Utsman bin
Affan (w. 35 H),③ Abdullah bin Umar (w.73 H), ④ Abdullah bin Abbas (w. 68 H), dan ⑤
Zaid bin Tsabit (w. 45 H). Kesemua Sahabat dari Rasulullah ShallaAllahu Alaihi wa Sallama

2. Jalur Imam Abu Hanifah


Imam Syafii berguru kepada Muhammad bin al-Hasan (w. 189 H), berguru kepada Abu Hanifah
(w. 150 H, Pendiri Madzhab Hanafiyah), berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H).
Berguru kepada ① Ibrahim bin Yazid al-Nakhai (w. 95 H), ② al-Hasan al-Basri(w. 110 H), dan
③ Amir bin Syarahbil (w.104 H). Kesemuanya berguru kepada ① Syuraihbin al-Haris al-Kindi
(w. 78 H), ② Alqamah bin Qais al-Nakhai (w. 62 H), ③ Masruq bin al-Ajda’ al-Hamdani (w.
62 H), ④ al-Aswad bin Yazid bin Qais al-Nakhai (w. 95 H).Kesemuanya berguru kepada ①
Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H) dan ② Alibin Abi Thalib (w. 40 H). Kesemua Sahabat dari
Rasulullah ShallaAllahu Alaihi wa Sallama Madzhab Syafiiyah terdiri dari beberapa generasi
(Thabqah). Murid-murid Imam Syafi'i :

Thabqah I : Abdullah bin Zubair, Abu Bakar al-Humaidi (w. 219 H), Abu Ya’qub Yusuf bin
Yahya al-Buwaithi (w. 231 H), Ishaq bin Rahuwaih (w. 238 H), Abu Utsman al-Qadhi,
Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H, Pendiri Madzhab Hanbali),
Harmalah bin Yahya bin Abdullah al-Tajibi (w. 243 H), Abu Ali al-Husain bin Ali bin Yazid al-
Karabisi (w.245 H), Abu Tsaur al-Kulabi al-Baghdadi (w. 246 H), Ahmad bin Yahya bin Wazir
bin Sulaiman al-Tajibi (w. 250 H), al-Bukhari (w. 256 H), al-Hasan bin Muhammad bin al-
Shabbah al-Za’farani (w. 260 H).

Thabqah II : Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H), Ahmad bin al-Sayyar (w. 268
H), al-Rabi’ bin Sulaiman (w. 270 H), AbuDawud (w. 275 H), Abu Hatim (w. 277 H), al-Darimi
(w. 280 H), Ibnu Abi al-Dunya (w. 281 H), Abu Abdillah al-Marwazi (w. 294 H), Abu Ja’far al-
Tirmidzi (w. 295 H), Al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H).

Thabqah III : Al-Nasai (w. 303 H), Ibnu Suraij (w. 306 H), Ibnu al-Mundzir (w. 318 H), Abu
Hasan al-Asy’ari (w. 324 H, Imam Ahlissunah Dalam Aqidah), Ibnu al-Qash(w. 335 H), Abu
Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), al-Mas’udi (w. 346 H), Abu Ali al-Thabari (w. 350 H), al-Qaffal
al-Kabir al-Syasyi (w. 366 H), Ibnu Abi Hatim (w. 381 H), Al-Daruquthni (w. 385 H).

Thabqah IV : Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H), Ibnu al-Mahamili (w. 415 H),
Mahmud bin Sabaktakin (w. 422 H), AbuMuhammad al-Juwaini (w. 438 H), al-Mawardi (w. 458
H), Ahmad bin Husain al-Baihaqi (w. 458 H), al-Qadhi al-Marwazi (w. 462 H), Abu al-Qasim
al-Qusyairi (w. 465 H), Abu Ishaq al-Syairazi (w. 476 H), Imam al-Haramain (w. 478 H), Al-
Karmani (w. 500 H).
Thabqah V : Al-Ghazali (w. 505 H), Abu Bakar al-Syasyi (w. 507 H), al-Baghawi (w. 516 H),
al-Hamdzani (w. 521 H), al-Syahrastani (w. 548 H), al-Amudi (w. 551 H), Ibnu Asakir (w. 576
H), Ibnu al-Anbari (w. 577 H), Abu Syuja’ al-Ashbihani (w. 593 H).

Thabqah VI : Ibnu al-Atsir (w. 606 H), Fakhruddin al-Razi (w. 606 H), Aminuddin Abug al-
Khair al-Tibrizi (w. 621 H), al-Rafii (w. 623 H), Ali al-Sakhawi (w. 643 H), Izzuddin bin
Abdissalam (w. 660 H), Ibnu Malik (w. 672 H), Muhyiddin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), Al-
Baidhawi (w. 691 H).

Thabqah VII

Ibnu Daqiq al-Id (w. 702 H), Quthbuddin al-Syairazi (w. 710 H), Najmuddin al-Qamuli (w. 727
H), Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H), Tajuddin al-Subki (w. 771 H), Jamaluddin al-Asnawi (w.
772 H), Ibnu Katsir (w. 774 H), Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H), al-Zarkasyi (w. 780 H).

Thabqah VIII

Sirajuddin al-Bulqini (w. 805 H), Zainuddin al-Iraqi (w. 806 H), Ibnu al-Muqri (w. 837 H),
Syihabuddin al-Ramli (w. 844 H), Ibnu Ruslan (w. 844 H), Ibnu Zahrah (w. 848 H), Ibnu Hajar
al-‘Asqalani (w. 852 H), Jalaluddin al-Mahalli (w. 864 H), Kamaluddin Ibnu Imam al-Kamiliyah
(w. 874 H).

Thabqah IX

Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H), al-Qasthalani (w. 923 H), Zakariya al-Anshari (w. 928 H),
Zainuddin al-Malibari (w. 972 H), Abdul Wahhab al-Sya’rani (w. 973 H), Ibnu Hajar al-Haitami
(w. 974 H), al-Khatib al-Syirbini (w. 977 H), Ibnu al-Qasim al-Ubbadi (w. 994 H).

Thabqah X

Syamsuddin al-Ramli (w. 1004 H), Abu Bakar al-Syinwani (w. 1019 H), Syihabuddin al-Subki
(w. 1032 H), Ibnu ‘Alan al-Makki (w. 1057 H), al-Raniri (w. 1068 H), Syihabuddin al-Qulyubi
(w. 1070 H), Muhammad al-Kaurani (w. 1078 H), Ibrahim al-Maimuni (w. 1079 H), Ali al-
Syibramalisi (w. 1078 H), Abdurrauf al-Fanshuri (w. 1094 H).

Thabqah XI

Najmuddin al-Hifni (w. 1101 H), Ibrahim al-Kaurani (w. 1101 H), Ilyas al-Kurdi (w. 1138 H),
Abdul Karim al-Syarabati (w. 1178 H), Jamaluddin al-Hifni (w. 1178 H), Isa al-Barmawi (w.
1178 H), Athiyah al-Ajhuri (w. 1190 H), Ahmad al-Syuja’i (w. 1197 H).

Thabqah XII

Abdushomad al-Palimbani (w. 1203 H), Sulaiman al-Jamal (w. 1204 H), Sulaiman al-Bujairimi
(w. 1221 H), Arsyar al-Banjari (w. 1227 H), Muhammad al-Syinwani (w. 1233 H), Muhammad
al-Fudhali (w. 1236 H), Khalid al-Naqsyabandi (w. 1242 H), Abdurrahman Ba’alawi al-
Hadhrami (w. 1254 H), Khatib al-Sanbasi (w. 1289 H), Ibrahim al-Bajuri (w. 1276 H).

Thabqah XIII

Zaini Dahlan (w. 1303 H), al-Bakri Muhammad Syatha (w. 1310 H), Nawawi al-Bantani (w.
1315 H), Shalih Darat (w. 1321 H), Muhammad Amin al-Kurdi (w. 1332 H), Ahmad Khatib al-
Minangkabawi (w. 1334 H), Mahfudz al-Tarmasi (w. 1338 H), Ahmad Khalil al-Bangkalani (w.
1345 H), Yusuf bin Ismail al-Nabhani (w. 1350 H).

Thabqah XIV

KH Hasyim Asy’ari (w. 1367 H), Pendiri Jamiyah Nahdlatul Ulama

Ditandatangani Oleh:
Rais Am Dr. KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz
Ketua Umum Dr. KH. Said Aqil Siraj

Diterbitkan Oleh Pengurus Pusat Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama

Referensi:
1. Muhammad Abu Zahrah “al-Syafi’i”
2. Hadlari Bik “Tarikh Tasyri”
3. Sirajuddin Abbas “Tabaqat al-Syafi’iyah”

Sumber: Aswaja NU Center Jatim.

Tulisan berjudul Sanad Ilmu Fikih Nahdlatul Ulama Sampai Kepada Rasulullah terakhir
diperbaharui pada Wednesday 30 March 2016 oleh Pejuang Ahlussunnah di Ngaji Yuk! - Kajian
Ceramah Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Sholawat Habib Ali bin Muhammad Bin Husein Al Habsyie (Pengarang Maulid Simthudduror)

Didalam sholawat yang indah ini, Habib Ali al-Habsyie mengajarkan pada kita untuk memohon
pada Allah agar jasad, hati, ruh, sir(rahasia), ilmu, amaliyah, akhlaq, niat, khusu'nya hati, tujuan
kita menyambung dan mendapatkan berkah dari kanjeng Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam dan semoga berkahnya shalawat ini kembali pada kita, anak-anak kita, teman-teman
kita, murid-murid kita dan umat zaman ini.
(Bagus digunakan wiridan untuk mentirakati keturunan kita)

،‫ َوقَ ْلبِي ِم ْن قَ ْلبِه‬، ‫صاَل ةً تُ ِم ُّد بِهَا ِج ْس ِم ْي ِم ْن ِج ْس ِمه‬


َ ،‫ بِاللِّ َسا ِن ْال َجا ِم َعة في ْالـ َحضْ َر ِة ْال َوا ِس َعة‬، ‫ص ِّل َو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬
َ ‫اللَّهُ َّم‬
‫ووجْ هَتِي من‬ ُ ُ ْ ْ
ِ ،‫ ونِيَّتِي من نِيَّتِه‬،‫ و ُخلقِي من ُخلقِه‬،‫ و َع َملِي من َع َملِه‬،‫ َو ِعل ِمي ِم ْن ِعل ِمه‬،‫ َو ِسرِّي ِم ْن ِسرِّ ه‬،‫َورُو ِحي ِم ْن رُو ِحه‬
،‫ يا نُور يا نُور يانور‬،‫ وعلى أَ ْه ِل َعصْ ِري‬،‫ َو َعلَى أَصْ َحابي‬،‫ي وعلى أَوْ ال ِدي‬ َّ ‫ وتَعُو ُد بَ َركاتُها عل‬،‫ وقَصْ ِدي من قَصْ ِده‬،‫ِوجْ هَتِه‬
ُّ
‫ق النور‬ ً ُ ْ
ِّ ‫اجْ َعلني نورا بِح‬

Allohumma solli wasallim 'alaa sayyidina Muhammadin billisaanil jaami'ah filhadhrotil


waasi'ah, sholatan tumiddu biha jismii min jismihi, waqolbii min qolbihi, waruuhi min ruhihi,
wasirrii min sirrihi wa'ilmii min 'ilmihi, wa'amalii min 'amalihi, wakhuluqii min khuluqihi,
waniyyatii min niyyatihi, wawijhatii min wijhatihi, waqoshdii min qoshdihi, wata'uudu
barokaatuha 'alayya wa'ala aulaadi wa'ala Ashabi wa'ala ahli 'ashri Ya Nuur Ya Nuur Ya Nuur,
ij'alnii nuron bihaqqinnuur.

Ya Allah, Anugerahi sholawat dan Salam yang berlimpah, dengan lidah yang merangkul dan
menjangkau semuanya, di hadapan ilahi khususnya pada Nabi Muhammad,
di mana jasad kami menggapai bantuan dari jasadnya,
hati kami dari hatinya,
jiwa kami dari jiwanya,
rahasia kami dari rahasianya,
ilmu kami dari ilmunya ,
amalan kami dari amalannya,
akhlak kami dari akhlaknya,
niat kami dari niatnya,
khusu'nya hati kami dari khusu' nya hatinya,
aspirasi langsung kami dari aspirasi langsungnya.
Semoga kami mendapatkan berkah dari sholawat ini, bersama dengan anak-anak kami,
teman kami, murid-murid kami dan ummat zaman ini.
Ya Nur Ya Nur Ya Nur
Jadikan Kami bercahaya dengan lantaran haqnya dzat yang mempunyai nur.

Siapa yg sudah sampai ksni atau tinggal dekat sni ?

"Wali Yang Di Pejara Dalam Air"...

Syekh Abdul Hamid atau sering kita sebut Datu Abulung...pasti dibenak kita terkenang akan
seorang ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham wihdatul
wujudnya,sepak terjang beliau memang tak banyak yang mengetahui karna beliau tidak ada
meninggalkan kitab karangan seperti ulama ulama lainnya,keilmuan beliau cuma dapat kita
ketahui secara lisan dari mulut kemulut atau dari pewaris para murid beliau,banyak pendapat
yang berbeda tentang kisah beliau ada yang menyatakan bahwa ilmu beliau salah atau manyalah
(bahasa banjar) tapi sebagian masyarakat banjar bahkan hampir seluruhnya menyatakan bahwa
datu abulung ini adalah seorang wali Allah,terlepas dari segala kontropersi yang ada riwayat
beliau sangat dicari oleh sebagian masyarakat banjar.
Dalam sejarah pemikiran keagamaan dikalimantan pada abad ke 18 setidaknya ada tiga tokoh
ternama dikerajaan banjar selain Datu Suban dan para muridnya yang sakti mandraguna,pada
masa itu para ulama banjar memang sangat terkenal dengan segala karamah dan
kesaktiannya,diantara tiga orang tokoh ternama dan terkenal tersebut adalah
1.Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau Datu Kalampayan
2.Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari atau Datu Nafis
3.Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu abulung
Dan sosok Datu Abulung inilah yang penuh misteri hingga saat ini,pada masa itu pemerintahan
kerajaan diperintah oleh sultan Tahlilullah, saat itu lah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan
Syekh Abdul Hamid muda diberangkatkan oleh kerajaan banjar untuk menuntut ilmu dengan
biaya kerajaan dengan harapan nantinya bisa membawa sinar terang bagi kerajaan banjar,mereka
diberangkatkan keTanah Suci Makkah Al-Mukarramah,tercatat Datu Kalampayan belajar kepada
beberapa orang guru (baca riwayat Datu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari),sedangkan Datu
abulung juga belajar kepada beberapa orang guru yang sayangnya tidak tercatat karena tidak
adanya karangan beliau yang biasanya merujuk kepada guru guru pengarang,sepulangnya dari
menuntut ilmu ditanah suci Datu Syekh Abdul Hamid mulai mengajarkan ilmu yang didapatnya
dari guru gurunya di Mekkah kepada masyarakat sekitarnya,diantara yang beliau ajarkan adalah
ilmu Tasawuf,namun ilmu tasawuf yang beliau ajarkan kepada orang awam ini sangat berlainan
dengan pelajaran tasawuf yang selama ini dikenal masyarakat,Datu Abulung mengajarkan
bahwa;
Tiada yang maujud hanya Dia
Tiada maujud lain-Nya
Tiada aku melainkan Dia
Dia adalah aku
aku adalah Dia
Dalam pelajaran Syekh Abdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa Syariat yang diajarkan
selama ini adalah kulit belum sampai kepada isi (hakikat),sedangkan pelajaran yang selama ini
diyakini masyarakat umum yaitu Tiada yang berhak dan patut disembah selain Allah ,Allah
adalah Khalik dan selainnya adalah makhluk,tiada sekutu bagi-Nya,ajaran Datu Abulung ini
kurang lebih seperti ajaran Abu Yazid Al-Bustami,husein bin Mansyur Al-Hallaj yang kemudian
memasuki Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syamsuddin disumatera dan Syekh Siti Jenar
di pulau Jawa.
Mendengar fatwa Datu Abulung yang berbeda dari kebanyakan paham masyarakat pada waktu
itu,maka gemparlah masyarakat yang menerima ajaran tersebut,bahkan ajaran yang beliau
sampaikan menjadi pembicaraan masyarakat umum yang mana akhirnya samapi ketelinga
Sultan,sebelum Datu Abulung dipanggil sultan terlebih dahulu minta pendapat syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari (satu riwayat mengatakan tanpa diketahui Syekh Muhammad
Arsyad) tentang ajaran Datu abulung tersebut.setelah menelaah beberapa kitab kemudian diambil
kesimpulan bahwa ajaran yang dibawa Datu Abulung yang diajarkan kepada orang awam
tersebut bisa menyesatkan masyarakat dan bisa merusak kehidupan beragama,adalah kewajiban
Ulama dan Umara melindungi keagamaan rakyatnya dari unsur unsur yang membahayakan,jika
tidak dapat dengan jalan damai maka lebih baik menyingkirkan nya , Menolak mafsadah
(keburukan)lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat.Melenyapkan seseorang untuk
menyelamatkan orang banyak dibolehkan menurut hukum malah terkadang wajib (Zafri Zam
Zam,Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,1979,hal 13)berdasarkan keputusan tersebut maka
dipanggillah Datu abulung,salah seorang prajurit kerajaan disuruh untuk mendatangi Datu
Abulung setelah sampai ditempat Datu Abulung lalu dipanggillah beliau,satu riwayat
menceritakan pemanggilan tersebut,prajurit itu berkata Hai Syekh Abdul Hamid ..anda dipanggil
baginda Sultan ,kemudian dijawab oleh Datu Abulung "Syekh Abdul Hamid tidak ada yang ada
hanya Allah...mendengar hal tersebut prajurit tersebut dan mengadukan kepada sultan,kemudian
sultan menyuruh kembali dan memanggil "Allah "tersebut,setelah sampai ditempat Datu
Abulung prajurit itu kembali berkata "hai Allah anda dipanggil baginda Sultan"yang kemudian
dijawab kembali oleh Datu Abulung "Allah tidak ada yang ada hanya Nur Muhammad"
mendengar hal itu prajurit kemali kekerajaan dan mengatakan hal tersebut kepada Baginda
Sultan..kemudian sultan berkata panggil ketiganya Syekh Abdul Hamid,Allah dan Nur
Muhammad ,barulah setelah prajurit tersebut memanggil seperti dipesankan sultan barulah Datu
Abulung berkunjung keistana,ditengah perjalanan menuju istana dipasanglah perangkap yang
apabila terpijak maka melesatlah sebilah tombak tajam yang akan menghujam ketubuh orang
yang menginjaknya,saat itu terbukti kebenaran ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung,ketika beliau
menginjak perangkap tersebut tombak tajam itu memang melesat dengan cepatnya diudara dan
berhenti tepat dibelakang Datu Abulung dan jatuh ketanah tanpa beliau mengetahuinya,setelah
sampai diistana dan terjadi tanya jawab,sultan ingin bukti kebenaran ajaran Datu
Abulung,kemudian beliau berucap'Ashadu alla ilahaillallah' tiba tiba tubuh beliau
menghilang,kemudian terdengar lagi suara "wa ashadu anna muhammadarrasulullah'' timbullah
kembali badan beliau,semua orang kagum melihat hal tersebut,tapi dengan menimbang untuk
keselamatan orang awam yang lebih banyak maka dihukumlah Syekh Abdul Hamid Abulung
dengan didimasukkan kedalam kerangkeng yang ukurannya hanya muat tubuh beliau dan hanya
cukup untuk berdiri,dengan kurungan seperti itu akhirnya beliau ditenggelamkan disungai lok
buntar,maka akhirnya tenggelamlah sampai kedasar sungai.
Tanpa diketahui oleh semua orang suatu keanehan terjadi apabila tiba waktu sholat fardhu maka
kerangkeng tersebut akan timbul dari permukaan sungai,dan beliau kemudian keluar dari
kerangkeng tersebut dan melakukan sholat,setelah selesai sholat maka secara perlahan
kerangkeng tersebut tenggelam kembali kedasar sungai,pada suatu malam menjelang subuh
sepuluh orang pencari ikan yang sampai pada sekitar tenggelamnya Syekh Abdul Hamid lamat
lamat mereka mendengar suara azan,perlahan lahan mereka mendekati sumber suara azan
tersebut dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan Datu Abulung tersebut,sejak saat
itu mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka,dari beliau mereka belajar berbagai ilmu
agama islam,karena jumlah mereka sepuluh maka dinamakan orang sepuluh atau sekarang orang
menyebutnya Datu Sepuluh,setelah selesai belajar orang sepuluh ini menjadi pegawai kerajaan
Setelah direndam dalam air Datu Abulung tidak juga mati dan akhirnya diketahui kerajaan maka
akhirnya Datu Abulung kembali dibawa kekerajaan,dihadapan sultan akhirnya Datu abulung
megatakan bahwa beliau tidak bisa dibinasakan dengan alat apapun kecuali dengan senjata yang
ada didinding rumah beliau dan menancapkannya didalam daerah lingkaran yang beliau
tunjukkan dibelikat beliau,setelah sholat dua rakaat ,senjata tersebut ditancapkan dibelikat beliau
sudah ditandai tersebut maka memancarlah darah segar dari tempat itu dan anehnya darah
tersebut membentuk kalimat ''LAA ILAAHA ILLALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH"'
innaa Lillaahi wa Innaa ILaihi Rajiuun.
setelah sekian lama kubur beliau akhirnya ditemukan oleh masyarakat atas petunjuk dari
Alm.Tuan Guru H.Muhammad nor Tangkisung yang juga diyakini adalah seorang Kekasih Allah
dan merupakan keturunan ke 5 dari Syeikh Abdul Hamid Abulung sendiri ,maqbarah beliau
letaknya sebelah hilir dari Kampung Dalam Pagar,dan sekarang dipelihara makamnya oleh
warga setempat,selain itu keanehan makam yang terletak dipinggir sungai itu berapa kali
tergeros air sungai dan turun kebawah tp setelah itu makam itu naik dengan sendirinya dan tanah
dibawahnya juga mengikuti makam tersebut....walllahu a'lam....

Kalau ada kekurangan dan kesalahan al faqir mohon maaf sebesar besarnya kepada saudara
saudaraku semua,wabillahi taufik wal hidayah assalamualaikum warahmatullahi wabarakuh....
(ditulis oleh fy )
oleh Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan pada 26 Februari 2011 pukul 18:13 ·
sumber:~Datu Datu Terkenal kalimantan

Di sebuah dusun yang tenang dan damai, bernama Brunosari, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah, tinggal seorang kakek berusia hampir seabad. Ia merupakan sedikit di antara murid
langsung Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari – sang  pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia – yang kini masih tersisa.

Dalam suasana Hari Lahir (Harlah) NU ke-94 pada 16 Rajab 1438 H. ini, reporter Ahmad Naufa Khoirul
Faizun dan juru kamera Ahmad Nasuhan menemuinya, dan mengulasnya khusus untuk Anda, pembaca
setia NU Online.

Untuk menuju kediamannya, kita akan disuguhi pemandangan hijau nan asri. Perbukitan yang tak henti-
hentinya bergandeng-gandeng mesra begitu menyejukkan mata. Juga pemandangan para petani yang
mengolah sawah, pencari rumput ternak dan suasana alam pedesaan yang jauh dari ingar-bingar kota.
Dengan memakai sepeda motor, kediamannya dapat ditempuh satu jam perjalanan dari kota.

Sebelum menemukan alamat pastinya, kami menemui Kiai Mahmud Ali, mantan Ketua GP Ansor Anak
Cabang Bruno, yang kebetulan sedesa dengan beliau. “Daya ingatnya masih luar biasa, tak seperti orang
seumurannya,” ungkap Mahmud Ali, berkomentar tentang sosok santri Kiai Hasyim Asy’ari. Setelah
diberi informasi, kami bergerak menuju rumahnya.

Ketika kami menemuinya, sang kakek yang bernama KH Abdullah Bajuri itu datang sendiri ke ruang
tamu, tanpa dipapah. Ia memakai kopiah putih, batik dan sarung cokelat. Di usianya yang renta,
kesehatan fisiknya seakan lebih muda dari umurnya. Usai bersalaman – mencium  tangannya – kami
disilakan duduk kembali. Dengan nada datar, ia menanyakan maksud dan tujuan kedatangan kami. “Di
hari ulang tahun Nahdlatul Ulama ini, kami ingin menggali lebih dalam tentang sosok KH Hasyim
Asy’ari,” jawab kami.

Setelah kami berkenalan ala kadarnya, kemudian ia memperkenalkan diri dan bercerita tentang sosok
gurunya. “Saya lahir tahun 1921, Mas, masuk Pesantren Tebuireng tahun 1938 sampai keluar pas zaman
kemerdekaan (1945). Namun saya sempat berhenti setahun, pulang, ketika Jepang masuk,” ujarnya,
mengenang masa silam. Kini usia kakek yang ada dihadapan kami ini 95 tahun, hampir genap 96 tahun,
sebuah usia yang panjang untuk ukuran sekarang.
“Kiai Hasyim itu orangnya sabar, tak pernah marah. Kalaupun harus marah karena ada santri yang
berbuat kesalahan, beliau marah sambil ternyum,” tutur Kiai Bajuri.

Beliau pun melanjutkan cerita. “Pada awalnya, Kiai Hasyim setiap Pon (salah satu nama lekatan hari
dalam penanggalan Jawa – pen) pergi ke pasar untuk jualan sapi, ngajinya libur. Sampai-sampai, kalau
libur, santri-santri menamainya dengan istilah Pon. Namun ketika saya disana, Kiai Hasyim sudah kaya,
mobilnya sudah dua. Padahal ketika itu orang Jawa masih jarang yang punya mobil,” terang Kiai
Abdullah. “Uang beliau pun banyak, seakan datang sendiri tiap kali panen. Uangnya belum seperti
sekarang, tapi berbentuk koin, ditaruh di kaleng-kaleng. Uang-uang itu, yang menghitung sekitar lima
santri, dihamparkan di serambi rumah ketika dihitung. Saya melihatnya sendiri. Beliau sukses dalam
bertani gabah, jagung dan ketela. Santri, jika ingin, tinggal ambil sendiri,” kenangnya.

“Pada waktu itu (1938), santri mukim (yang metetap-pen) di Pesantren Tebuireng baru sekitar 1500-an.
Ada santri khusus kiai yang jumlahnya 600-700 tiap bulan Rajab sampai 25 Ramadhan. Sedangkan 15
Sya’ban sampai 15 Syawwal libur, diisi santri luar dari seluruh Indonesia. Ada dari Madura, Bawean,
Lombok, Bima dll. Yang dibaca adalah kitab Shahih Bukhori-Muslim,” ungkap Kiai Bajuri.

“Kiai-kiai se-Nusantara yang 600-700 itu, urusannya tidak hanya ngaji kitab Bukhori - Muslim. Kalau siang
ngaji, dan malamnya dikumpulkan secara bergiliran 150-150, karena aula atas tidak muat waktu itu.
Rapatnya tertutup, dijaga oleh beberapa santri. Yang memimpin Mbah Wahab Chasbullah dan diisi oleh
Mbah Hasyim. Ini dilakukan selama saya di sana, sampai Indonesia merdeka (1938 – 1945). Mungkin
sebelum saya disana juga sudah seperti itu. Acaranya doa bersama, mujahadah, istighosah dan shalat
tahajjud,” terangnya, membuat kami semakin penasaran.

Mendengarnya ada ritual tersebut, saya jadi teringat paparan Kiai Muwaffiq dalam Mukernas BEM PTNU
di Jogjakarta, 2009 silam. “Mbah Hasyim Asy’ari, ketika membikin Nahdlatul Ulama, meyakinkan dirinya,
untuk shalat hajat selama hidup, sampai meninggal, dengan shalat hajat dua rakaat, demi NU dan umat.
Jadi, tiap malam dulu beliau shalat dua rakaat dan mendoakan. Cuma rakaat pertama yang dibaca 41x
Surat at-Taubah, dan rakaat kedua yang dibaca 41x Surat al-Kahfi. Ini untuk ngetes: sanggup nggak
dirinya kalau memperjuangkan Islam,” tuturnya. Apakah ritual bersama para kiai ini yang Gus Muwaffiq
maksud, atau yang Mbah Hasyim lakukan sendiri dikamar, saya belum mendapat kejelasan.

Sesekali, kakek yang menurut Mahmud Ali setiap jumat masih rajin mengisi pengajian rutin di Masjid
Ismailiyyah – yang tak jauh dari kediamannya – ini menyilakan kami minum teh dan hidangan yang
disajikan di meja. Sambil merekan dan mencatat, kami bertanya: apa isi forum tertutup dalam suasana
penjajahan itu, selain berdoa? Beliau kembali mengingatnya.

“Lima orang santri berjaga di jalan dan pintu. Semua serba tertutup. Karena penasaran, suatu ketika
sewaktu berjaga, saya pernah pura-pura tiduran: menempelkan telinga dibawah pintu. Saya mendengar
Mbah Hasyim berpidato di depan para kiai se-Nusantara itu: ‘Jika Indonesia tidak merdeka, Islam tidak
akan subur’. Selain itu, saya tidak berani lagi menguping, takut ketahuan, bisa dihukum karena itu sangat
rahasia,” terangnya. Ternyata, selain usaha batin, melangitkan doa, juga ada propaganda anti-
penjajahan, memupuk spirit islam dan nasionalisme sebagai perlawanan. Semakin nyatalah, bahwa
semenjak dahulu, para ulama NU berjuang untuk kemerdekaan Indonesia – baik secara lahir maupun
batin – tak mempertentangkan Islam dengan nasionalisme, seperti yang marak dewasa ini.

“Tokoh-tokoh pergerakan nasional sering sowan kepada Mbah Hasyim. Saya pernah mengetahui Bung
Karno sowan tiga kali. Kalau Bung Tomo nggak bisa dihitung, saking seringnya. Ketika hendak
menurunkan bendera Jepang di Gedung Agung Surabaya, Bung Tomo sebelumnya juga sowan,” katanya.

“Beliau meniatkan diri berjihad, mengunggulkan dan meneruskan agama. Meski dipenjara oleh penjajah
Belanda, dan paling lama Jepang, beliau tetap ayem (tenang), sabar, tidak bersedih hati,” tutur Kiai
Bajuri, mengenang sosok gurunya. “Yang bagian mengeluarkan (Kiai Hasyim dari penjara) adalah Mbah
Wahab,” katanya.

Dalam buku Antologi NU, dijelaskan bahwa pada tahun 1942, karena menolak Saikere, Kiai Hasyim
dipenjara oleh fasisme Jepang selama empat bulan, dengan waktu berpindah-pindah: dari penjara
Jombang, Mojokerto, hingga Bubutan Surabaya, membaur dengan tawanan Sekutu. Beliau dipenjara Dai
Nippon itu akhir April 1942 sampai 18 Agustus 1942.

Dari kesaksian saksi sejarah ini menginformasikan banyak hal: bahwa Kiai Hasyim sosoknya tetap
tenang, sabar dan tak sedih, meskipun dipenjara dan di siksa, keyakinan dan prinsipnya kokoh, tak takut,
tak goyah melawan musuh. Dan entah mengapa, saya kemudian teringat sebuah ayat Al-Quran, yang
intinya bahwa para wali Allah itu tak pernah memiliki rasa takut, tidak pula bersedih hati: Alaa inna
auliyaallah la khaufun ‘alaihim walaa hum yahzanuun (QS. Yunus: 62).

KH Hasyim Asy’ari, menurut Kiai Bajuri, pengaruhnya sangat besar, baik di kalangan umum maupun kiai.
“Beliau jadi ketua apa-apa tidak pernah yang namanya pemilihan, istilah sekarang aklamasi, termasuk
ketika berdirinya NU. Kalau sudah ada Mbah Hasyim, semua sudah tidak berani. MIAI (NU,
Muhammadiyah, PSII dll) juga aklamasi, dua kali berturut-turut. Kemudian Masyumi,” terangnya.

Pesan-Pesan Mbah Hasyim


Kemudian saya penasaran, adakah pesan-pesan tertentu Kiai Hasyim kepada para santrinya, khususnya
yang pernah di dengar oleh santri beliau ini? Jawabannya ada. Diantara pesannya kepada para santri
adalah himbuan untuk tidak kebanyakan jajan dan makan. “Koe ning kene lak ngaji, luru ilmu. Nek balik
lak ditakokke. Ngerti yo? (Kamu disini ngaji, menuntut ilmu. Ketika pulang kan akan ditanyakan. Tahu ya
maksud saya?,” ungkapnya, menirukan nasehat Kiai Hasyim.

“Beliau juga sering berpesan: ‘Nek moco kitab ati-ati, sing ngarang sinten (Kalau baca kitab hati-hati,
lihat siapa pengarangnya)’”, imbuhnya. Pesan ini nampak sederhana, namun masih sangat relevan
sampai sekarang, dimana banyak orang (ter) sesat karena membaca tulisan di internet, buku atau kitab
yang salah, tergiur judul atau sampulnya, lebih-lebih tak ada arahan dari guru.

Ada lagi:”Kowe suk luruo duit nggo ngangkat derajat agomo, ojo agomo nggo luru duit (kamu kelak
carilah uang untuk mengangkat derajat agama, jangan jadikan agama untuk mencari uang) ”. Dewasa ini,
kita tentu banyak menyaksikan wanti-wanti Kiai Hasyim ini, dimana industri motivasi, spiritual dan ayat-
ayat tumbuh bak jamur di musim hujan.

Diberbagai kesempatan, menurut beliau, Kiai Hasyim juga sering berpesan untuk senantiasa takut,
bertaqwa kepada Allah. Terakhir, pesan yang masih direkam oleh beliau, sosok yang diberi gelar
Pahlawan Nasional oleh Bung Karno itu berpesan: “Sregepo nuduhke wong-wong marang barang kang
mbejaake dunyo lan akhirat (jadilah orang yang memberitahukan orang lain pada hal-hal yang memberi
kemanfaatan di dunia dan akhirat)”.

Dalam kesempatan itu, beliau juga bercerita suasana politik pasca-kemerdekaan, dimana Indonesia diuji
oleh berbagai pemberontakan, salah satunya PKI di Madiun.

“Peristiwa 48 itu yang dibunuh pertama kali kiai, dari Madura sampai Termas (Pacitan). Kiai Termas ada
6 yang dibunuh. Saya tahu, karena guru saya termasuk: Gus Habib Termas. Orang  beliau itu tidak apa-
apa kok dibunuh, padahal kita tidak sedang perang terbuka atau perang tentara. Saya empat kali ikut
perang melawan PKI. Yang ampuh ketika itu menantu Mbah Hasyim, Kiai Idris Cirebon. Di tubuhnya,
pedang tidak mempan,” ungkapnya, memberi kesaksian.

Paham NU Tidak Radikal


Kemudian kami menanyakan sosok Kiai Hasyim ketika ada di mimbar. Tentang hal ini, Kiai Bajuri punya
jawaban tersendiri. “Mbah Hasyim tidak bisa ceramah, dalam artian tidak seperti orator ulung yang
disukai para jamaah. Beliau orangnya lugu, lempeng, lurus kalau berceramah. Seperti khotbah jumat. 
Meski begitu, tiap kali beliau dipanggil ke panggung, semua orang langsung fokus, yang sedang ngopi di
warung ditinggal untuk mengikuti pengajian beliau,” tuturnya.

Tak hanya itu, Kiai Bajuri juga menginformasikan ayat yang sering dikutip oleh Sang Kiai dalam forum-
forum ulama pesantren. “NU itu tidak radikal. Mbah Hasyim sering mengutip surat Ali Imrān sebagai
pedomannya,” tuturnya, dilanjutkan melafaldkan dengan fasih barisan kalam Tuhan yang berusia lebih
dari 14 abad lalu.

Fabimā rahmatim minallāh linta lahum, walau kunta fadzdzann ‘ghalidzal qalbi la angfaddhuu min
chaulika, fa’fu ‘anhum wastaghfirlahum wasyāwirhum fil amri, faizā ‘azamta fatawakkal ‘alallāh,
innallāha yuhibbul mutawakkiliin;

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu
maafkanlah mereka dan mohonlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah.
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal. (Ali Imrān: 159)

“Kalau dakwahnya keras, orang bisa lari. Walau disalahkan-salahkan seperti apa, Mbah Hasyim tidak
jengkel. Mereka (yang menyalah-nyalahkan) kan tidak atau belum tahu,” tegasnya.

Kalau dalam pidato-pidato untuk orang umum di lapangan besar seperti di Jombang, Kediri, Pare, beliau
sering mengutip Surat Al-A’raf.
Walau anna ahlal qurāā āmanuu wattaqauu lafatahnā ‘alaihim barakātim minassamāāi wal ardli walākin
kazzabuu faakhadznāhum bimā kānuu yaksibuun.

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa
mereka seseuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf: 96)

Tak terasa, sudah satu jam setengah kami bertamu di sore itu. Kami baru menyadari, diluar sudah
terdengar gemuruh hujan. Meski begitu, tak enak jika terlalu lama dengan beliau yang telah berusia
senja. Kami pamit, mohon undur diri meski membelah hujan yang mengguyur jalanan. Sebelum kami
pulang, beliau sempat berpesan, entah itu menerjemahkan pemikiran Kiai Hasyim, pesan untuk kami
atau menyoroti fenomena jihad dewasa ini, kami tidak tahu. Dari dan untuk ntuk siapapun pesan itu,
yang penting kami tulis disini.

“Jihad itu bi amwa likum (dengan harta kalian) dan angfusikum (diri, pertaruhan jiwa kalian). Jihad nabi
dulu membawa pedang, jihad hari ini pedangnya pena,” pungkasnya(Red: Abdullah Alawi)

Waliyullah Tanpa Nama Tanpa Gelar Tapi


Setingkat Wali Qutub
Artikel, Ilmu, Inspirasi Leave a comment 4,683 Views

Suatu hari, aku bertemu dengan orang gila (al-majnuni murokkab) tak jauh dari makam seorang
wali, ia ngoceh tidak jelas seperti sedang bicara dengan seseorang. Dia berbicara seperti ini:.

“Andaikan mereka tahu bahwa ada wali “tanpa nama tanpa gelar” yang memiliki kemampuan
seperti wali Qutub, niscaya mereka akan datang berbondong-bondong mencium tangan wali
tanpa nama tanpa gelar tersebut minta dido’akan hajatnya. Jika wali tanpa nama tanpa gelar itu
telah wafat niscaya mereka akan berlama-lama dipekuburannya berdzikir, berdo’a dan
bermuhasabah diri meminta ampun kepada Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa mereka
selama ini. Andaikan mereka tahu jika mereka sami’na wa atho’na kepada wali tanpa nama
tanpa gelar niscaya Allah SWT akan angkat derajatnya, Namun sayang sekali karena wali
tersebut tanpa nama dan tanpa gelar kewalian, maka ia seringkali dilupakan dan diabaikan setiap
orang”

Aku yang dengar ocehannya kaget dan bergumam, “Hah? Ada wali tanpa nama tanpa gelar yang
kemampuannya seperti wali Qutub? Siapakah wali tersebut?”

Dengan sedikit rasa takut, aku dekati dia karena penasaran ingin tahu siapa sebenarnya wali
tanpa nama tanpa gelar tersebut? Lalu terjadi dialog:
Aku: Maaf Mbah, tadi saya dengar mbah ada mengoceh panjang lebar dan berbicara tentang wali
tanpa nama tanpa gelar, siapakah sebenarnya wali tersebut mbah? Mengapa sedemikian hebatnya
wali tanpa nama tanpa gelar tersebut hingga kemampuan dan derajatnya hampir menyamai wali
Qutub?

Orang gila tersebut menoleh ke arahku dan matanya sedikit melotot lalu berkata: “Sampeyan
siapa? Kamu nguping omonganku yah? Apa pentingnya kamu perlu merasa tahu tentang wali
tanpa nama,” ucapnya dengan nada agak tinggi. Mendengar ucapan suaranya yang agak bernada
tinggi terkesan kasar membuat aku sedikit takut dan gentar,

“Maaf Mbah, bukan maksud saya menyinggung mbah, nama saya Bolank. Saya seorang
muhibbin pecinta para wali-wali Allah. Kadang-kadang saya dan teman-teman seperti M Darjo
Huda Naja Suluk Ahmad Nawan Nyel berziarah ke makam para wali. Saya penasaran dan
tertarik dengan wali tanpa nama tanpa gelar yang Mbah sebutkan, kalau boleh tahu siapakah wali
tersebut mbah,” tanyaku kemudian, memberanikan diri.

Orang gila itu tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha ha ha…..dasar bocah goblog, namanya juga
wali tanpa nama tanpa gelar, tentu saja aku tidak tahu nama wali tersebut dan apa gelar
kewaliannya. Kamu ini tampang keliatan pintar tapi ternyata goblog yah, ha ha ha ha ha..”

Jleb, terasa menusuk sekali perkataannya. Dia menyebut aku anak bodoh dan goblog, wajahku
merah padam menahan sedikit emosi. Sepertinya aku salah sangka. Kukira orang gila tersebut
orang yang bisa diajak dialog, tapi nyatanya dia sebut aku bocah goblog.

Aku memang goblog. Namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar, jadi siapa yang tahu nama
wali tersebut? Siapa yang tahu gelar wali tersebut sedangkan wali tersebut tanpa gelar? Ah,
sudahlah. Sebaiknya kutinggalkan saja dia. Aku pun mulai membalikkan badan dan membuang
muka dengan wajah masam hendak meninggalkan orang gila tersebut.

“Hai Fikri, mau kemana sampeyan. Sampeyan ini bagaimana, sudah datang tidak mengucapkan
salam, malah pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Baru diejek begitu saja sudah bermuka
masam. Apakah mursyidmu yang seorang wali Qutub tidak mengajarkanmu untuk mengucapkan
salam saat datang dan pergi? Apakah mursyidmu yang seorang wali tidak mengajarkanmu untuk
bisa bersabar menahan celaan dan hina an?”

Langkahku terhenti, astaghfirullah! Betul sekali, aku tadi lupa mengucapkan salam sebelum
memulai obrolan, dan aku juga pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Dan tak kusangka,
dia menyebut mursyidku seorang wali Qutub, sepertinya dia mengenal mursyidku.

Kemudian aku kembali menghampirinya dan berkata “Assalammu’ alaikum wr. wb. mbah,
mohon maaf mbah atas kelancangan saya karena datang dan pergi tanpa mengucapkan salam,
sekali lagi saya mohon maaf” (sambil mencoba meraih tangannya untuk menyalami dan
mencium tangannya). Tapi orang gila itu menepis tanganku seraya berkata'”.

Aku jadi salah tingkah. Tiba-tiba suasana hening sejenak beberapa menit. Aku diam dan dia pun
diam. Suasana serasa seperti di kuburan, “ngapain kamu masih disini?”
Tiba -tiba suaranya memecah keheningan. Aku agak kaget lalu berkata, “Maaf, anu mbah…anu”.
Orang gila itu menyela kalimatku, “anu … anu …. anu-anu apa? Ngomong yang jelas, jangan
ngomong jorok, itu anu mu ada di situ, mau pamer dan adu anu? Ayo sini aku ladenin, mana
anumu? ayo tunjukkan”.

Annccuuur mukaku rasanya, merah padam, merasa salah tingkah dan bodoh dihadapan orang
gila tersebut. Dengan rasa sedikit menahan malu, aku tetap memberanikan diri untuk bertanya,
“maksud saya bukan anu mbah. Maksud saya adalah ingin tahu siapa sebenarnya wali tanpa
nama tanpa gelar yang mbah katakan saat saya mencuri dengar”

Orang gila bertanya, “kamu ini nggak pinter pinter juga, sudah berapa lama kamu belajar
tassawwuf/spritual?”

Aku menjawab, “sudah sekitar hampir 7 tahun, mbah”

Lalu orang gila itu berkata sambil menepuk pahanya, “sudah 7 tahun masa kamu ora mudeng dan
tidak tahu wali tanpa nama dan tanpa gelar, memangnya gurumu tidak mengasih tahu?”

“Saya sering membaca dan mendengar suhbah dari guru saya mbah. Aapi saya belum tahu dan
belum pernah dengar ada wali tanpa nama dan tanpa gelar. Dan guru saya pun tidak pernah
menyebutkan siapa wali tersebut,” jawabku.

Orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh, “sebenarnya gurumu ada menyebutkannya bahkan
berulang-ulang kali menyebutkannya. Hanya saja kamu aja yang tidak paham-paham atas
maksud gurumu. Lagipula sebutannya wali tanpa nama dan tanpa gelar, jelas gurumu tidak tahu
nama wali tersebut dan tidak tahu gelar wali tersebut tapi kamu sendiri tahu siapa wali tersebut,
bahkan wali tersebut begitu dekat denganmu”.

Aku bergumam dalam hati, “Apaaa? Aku mengenal wali tersebut? Siapa dia?”

“Maaf mbah, siapakah yang mbah maksud? Mbah katakan aku mengenal wali tanpa nama dan
tanpa gelar tersebut, bahkan mbah mengatakan wali tersebut dekat denganku, siapakah yang
mbah maksud?”

Orang gila itu lagi-lagi tertawa terkekeh-kekeh, “he .. he … he … wali tanpa nama dan tanpa
gelar itu adalah orangtuamu sendiri. Nah sekarang aku tanya kamu memangnya aku kenal siapa
nama orangtuamu dan gelar orangtuamu? Yah aku mana tahu”

Aku jadi tambah bingung lalu semakin bertanya-tanya, “Orangtuaku? Maksud mbah orangtuaku
adalah wali tanpa nama dan tanpa gelar? Mengapa bisa begitu mbah?”

Orang gila itu mulai menatap mataku dengan tajam, lalu bangkit dari duduknya lalu berkata:

“Apakah kau tidak tahu tentang Uwaisy al Qarni, salah satu sahabat yang tidak pernah bertemu
Nabi secara fisik dan juga seorang wali? Apa yang menyebabkan dia memiliki derajat yang
begitu agung hingga namanya terkenal di langit walau di bumi tak ada seorang pun
mengenalnya? Kau tahu!! Sahabat Uwaisy al Qarni berkata bahwa ibunya pernah berkata dan
mendo’akannya ‘anakku Uwaisy aku tahu hatimu begitu sangat mencintai dan menginginkan
dapat bertemu Nabi Muhammad SAW, namun kini kau datang padaku dengan wajah dirundung
sedih karena tak berhasil menemui Rasulullah SAW dan kau memilih segera pulang karena
memikirkan dan mengkhawatirkan aku. ibumu ini, Nak, dan aku ridho padamu, Ya Allah, Kau
Maha Tahu, saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah ridha pada anakku, maka terimalah
ridhoku ya Allah dan ridhoilah anakku Uwaisy‘,
dan apa kau tidak kau tahu bahwa Sulthanul Aulya Syeikh Abdul Qadir Jailani di masa kecilnya
ketika dirampok malah berkata jujur tentang kantung emas yang ia bawa, perampok itu heran
mengapa ia malah jujur mengatakan kantung emas yang dibawanya padahal setiap orang yang
mereka rampok selalu berbohong tentang bawaannya dan berusaha menyembunyikannya dari
mereka, lalu kau tahu apa kata Syeikh Abdul Qadir Jailani? beliau berkata ‘ketika aku hendak
bepergian menuntut ilmu, ibuku berpesan: anakku, bila engkau bertemu dengan siapa pun, maka
jujurlah jangan berbohong, sungguh ibu lebih ridho bila engkau jujur sekalipun engkau harus
kehilangan harta dan perbekalanmu daripada kau harus kehilangan kejujuranmu”.

Aku tersentak kaget, wajahku mulai pucat pasi. Teringat olehku salah satu hadist yang
menyatakan bahwa kita harus berbuat baik dan berbakti pada orangtua kita sendiri. Bahkan
Rasulullah SAW sampai tiga kali menyebut kata, “ibumu, ibumu, ibumu, lalu ayahmu”.

Tak kusangka, ternyata aku tertipu oleh nafsu dan egoku sendiri hingga aku tak tahu bahwa
selama ini wali tanpa nama yang memiliki kemampuan layaknya wali Qutub adalah orangtuaku
sendiri.

Lalu orang gila berkata lagi:

“Lihatlah ibumu, berapa lama dia menanggung dirimu dalam perutnya? Apakah kau sanggup
menahan perih dan pedih seperti dirinya hanya untuk menginginkan kau lahir di dunia hingga
bertaruh nyawa agar kau terlahir sehat dan selamat? Bahkan ketika dalam kondisi darurat ia lebih
rela menerima kematian agar kau tetap hidup, apakah kau pernah memikirkan hal ini? Kekuatan
apa yang membuat ibumu sekuat dan setabah itu sebagaimana kekuatan awliya yang sanggup
menerima dan menanggung beban yang berat? Itu kekuatan Allah SWT yang dianugerahkan
kepada ibumu melalui Rahman dan Rahim-nya. Ini adalah sumber kekuatan para auliya”.

Aku diam seribu bahasa rasa hati ini ingin menangis sejadi-jadinya, aku serasa dihakimi dalam
hari perhitungan.

Lalu orang gila itu berkata lagi dan lagi, “kau bangga dan takjub dengan karomah para wali tapi
pernahkah kau banggakan dan takjub dengan karomah ibumu yang Allah SWT anugerahkan
kepadamu? Pernahkah kau bangga dan takjub dengan karomah ibumu yang mengajarkan
berkata-kata ketika masih bayi? Tidurnya sedikit karena kau selalu nangis dan rewel
sebagaimana para auliya yang tidurnya sedikit karena memikirkan umat Nabi Muhammad SAW
yang banyak berkeluh kesah dan merengek, air susunya seakan-akan tak pernah habis setiap kali
kau merengek ingin netek, apakah kau tak tahu kalau itu adalah bukti karomah ibumu? Tidakkah
kau pernah mendengar kalimat ini:
ridho orangtua adalah ridho nya ALlah. Para auliya, mereka menjadi wali Qutub dikarenakan
ridho dari orangtua mereka. Tidakkah kau sadar bahwa doa dan harapan kedua orangtuamu
hampir setara dengan wali Qutub?”

Astaghfirullah, ampuuunnn! Mendengar celotehan orang gila tersebut seakan petir menyambar
seluruh tubuhku. Badanku rasanya hancur binasa, ingin sekali aku rasanya menangis sekuat-
kuatnya.

Orang gila itu berdiri lalu berkata sambil menunjuk ke arahku, “lihat dirimu, kelak kau akan jadi
seorang bapak, apakah kau tahu karomah bapakmu selama ini? Lihat tangannya, lihat
punggungnya lihat kulitnya, setiap hari ia membanting tulang agar kau tetap bisa makan, tetap
bisa tertawa, tetap tersenyum, bekerja siang dan malam hanya untuk mengabulkan segala macam
pinta dan rengekmu. Ketika kau kecil, dirimu melakukan kesalahan, dialah orang yang paling
depan membelamu. Ketika kau dalam bahaya, dia rela menghadapi bahaya itu untuk
menyelamatkanmu, dia tanggung bebanmu dan ibumu di pundaknya, walau kian rapuh, dia tetap
berusaha menopang. Tidakkah kau sadari bahwa bapakmu itu seorang Mujahid fi Sabilillah?
Yang setiap hari berjuang menafkahi kehidupanmu bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Dia,
bapakmu adalah uujahidin kebanggaanmu”.

Ya Rabb, aku seperti hancur lebur mendengar ocehan orang gila tersebut. Bahkan ternyata
selama ini aku yang gila, bukan dia. Aku melupakan siapa sesungguhnya orangtuaku sendiri.
Aku melupakan semua yang mereka beri padaku. Bahkan aku sering takjub akan pesona dan
karomah wali tapi aku tak pernah sadar dengan orangtuaku sendiri yang merupakan wali tanpa
nama dan tanpa gelar kewalian.

Sesaat kemudian, orang gila itu berlalu meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Aku mengikuti
dia dari belakang ingin tahu ke mana dia pergi. Ternyata dia mendatangi dua gundukan tanah,
dan dia duduk di sana.

Mulutnya komat kamit seperti orang yang berdialog dan berbicara, namun karena dia
menggunakan bahasa daerah yang tidak kumengerti, aku tidak tahu apa yang dia ucapkan,
kemudian dia tertawa kebahak-bahak sambil senyam senyum di hadapan dua gundukan tanah
yang ternyata itu tanah kuburan.

Aku tak tahu kuburan siapa itu, namun aku berhusnudzon mungkin itu kuburan seorang wali
besar, karena dari celoteh orang gila itu sepertinya dia tahu betul tentang wali. Jadi aku pikir, itu
kuburan seorang wali.

loading...

Tiba-tiba, setelah selesai tertawa, dia diam, suasana menjadi hening. Kemudian kulihat dia mulai
menangis, meneteskan airmata dengan suara terisak-isak. Tangisan begitu pilu sampai serasa
menyayat hatiku untuk turut menangis.

Aku tak tahu apa yang diucapkannya dalam logat daerah. Ucapannya seperti sedang curhat pada
kuburan tersebut sambil tangannya mengelus-elus kuburan itu. Tangisan kian jadi bahkan
meraung. Aku sedih bercampur bingung karena tak mengerti dengan bahasa yang diucapkannya,
namun akhirnya aku mengerti mengapa dia meraung-raung menangis di kuburan yang
kusangkakan seorang wali.

Di tengah isak tangisnya, aku mendengar dia mengucapkan kalimat “Mbok …”, lalu pada
kuburan yang sebelahnya dia berkata “Mbah…”. Aku jadi ingin menangis sejadi-jadinya.
Ternyata itu kuburan orangtuanya. Ternyata, itu kuburan seorang wali tanpa nama tanpa gelar.

Kini aku baru paham mengapa orang-orang mulai menganggap gila. Sebab dia sering tertawa,
menangis, meraung dan bercakap-cakap sendiri di kuburan. Seandainya aku jadi dia, mungkin
aku akan sama dengannya, menjadi gila karena ditinggal pergi oleh kedua orang yang paling
disayangi.

Aku membalikkan badanku, bergegas ingin pulang ke rumah untuk menemui kedua orangtuaku
yang masih hidup. Aku merasa beruntung masih memiliki wali tanpa nama tanpa gelar yang
masih hidup. Sepanjang jalan aku berdoa, allahumma firlana dzunubanna waliwalidayya
warhamhumma kama robbaya nishagiro!

NB:
Aku pernah bertengkar dan melawan kepada kedua orangtuaku dulu. Tapi ketika aku sadar
mereka berdua adalah wali tanpa nama tanpa gelar aku akhirnya sadar merekalah yang selama ini
yang melindungi, mengawasi, membimbing, dan berusaha memenuhi kebutuhanku. Tanpa
mereka, aku bukan siapa siapa dan bukan apa-apa. Aku bersyukur, kesadaranku datang sebelum
mereka meninggalkanku. Buat teman-temanku, jika “wali tanpa nama tanpa gelar”mu telah tiada,
kunjungilah mereka. Kunjungi dan datanglah pada mereka. Bawalah hadiah berupa doa dan
hadiah pahala bacaan Al-Qur’an. Orang tua kita mungkin bukanlah sosok ternama dan tidak
dikenal. Mungkin tak pernah sekolah dan tak punya gelar, namun mereka adalah wali kalian
“wali tanpa nama dan tanpa gelar”.

KH. RIDLWAN ABDULLAH


Pencipta lambang Jam'iyah NU
NAHDLATUL ULAMA

Para Kiai memberi syarat kriteria lambang NU. Hadlratusy Syaikh KH Hasyim Asyari dawuh:
"Membuat lambang NU harus 1. Tidak meniru lambang lain. Dan 2 lambang tersebut harus
punya Haibah, tidak membosankan sampai kapan pun".

Jangan kita anggap mudah di masa itu dengan membandingkannya di masa digital sekarang.
Syarat pertama tadi karena sebelum berdirinya NU sudah ada Muhammadiyah dan Persis,
lambang keduanya memiliki kesamaan. Lambang NU tidak boleh meniru.

Beberapa lambang telah beliau buat, beliau ajukan ke beberapa kiai, selalu ditolak dan tidak
diterima. Seolah beliau sudah habis inspirasinya, maka beliau shalat Istikharah meminta petunjuk
kepada Allah, maka pada jam 3 sebelum Subuh setelah beliau merebahkan tubuh, beliau
bermimpi ada bumi yang dikelilingi 9 bintang. Beliau langsung terperanjat dan menulisnya
secara sederhana di atas kertas. Setelah salat Subuh beliau sempurnakan gambar tersebut.
Paginya, beliau menghaturkan kepada beberapa Kiai, termasuk Rais Akbar. Hampir semua kiai
bertanya kepada Kiai Ridlwan: "Gambar ini buatan sampean sendiri?". Kiai Ridlwan menjawab:
"Bukan Kiai, hasil Istikharah". Di lain pihak, Kiai Nawawi Sidogiri juga mendapat Istikharah
Surat Ali Imran 103, yaitu Tali Allah, yang oleh Kiai Wahab diilustrasikan dengan 2 tali terikat
di bawah. Maka saat Congres pertama di Peneleh Surabaya lambang NU telah sempurna
(Gambar bawah berwarna hijau tua dan kecoklatan)
Ada riwayat setelah gambar selesai oleh kyai hasyim asyari disuruh menunjukkan kepada kyai
nawawi sidogiri sehingga kyai nawawi sidogiri mendapat isyaroh untuk menambah tali yg
melingkari bumi, dan kyai nawawi sidogiri dawuh selagi tali ini melingkari bumi sampai kiamat
NU tetap hidup.
Kiai Ridlwan menyebut indikator kedua tentang lambang NU. Setelah malam didirikan, para kiai
meminta Kiai Ridlwan membuat lambang NU. Mengapa Kiai Ridlwan yang ditunjuk?

Cucu beliau, Gus Saiful Halim menceritakan bahwa setelah mondok di Syaikhona Kholil
Bangkalan, Kiai Ridlwan pernah bekerja di rumah orang Belanda. Pemilik rumah tersebut adalah
pelukis. Suatu ketika tanpa disengaja Kiai Ridlwan menumpahkan tinta di kanvas lukisannya.
Kiai Ridlwan gugup dan sedih, namun beliau memberanikan diri memperbaiki lukisan tersebut
sebisa beliau. Dan ternyata si tuan Belanda tersebut tidak marah karena hasil lukisan Kiai
Ridlwan bagus. Maka sejak itulah bakat seni melukis Kiai Ridlwan terlihat.

Pada syarat kedua kita menyaksikan hingga kini, lambang NU selalu sedap dipandang dan
dipajang, dengan model apapun. Luar biasa para pendiri NU.
#HarlahNU
Saya bangga menjadi NU
Kisah ini disampaikan oleh Gus Solahuddin Azmi putra Kiai Mujib putra Kiai Ridlwan.

Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di
Tanah Pasundan

BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah Pasundan atau tatar
Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat,
maka mesti berbicara tentang tokoh penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda
tersebut. Menurut sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama penyebar
Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja Pajajaran, yaitu Pangeran
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu Kian Santang.

Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang meragukan keberadaan dan peran
dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya
nama yang ditujukan kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah nasional
disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan dengan Syarif Hidayatullah.
Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita babad), dua nama tersebut merupakan dua nama
berbeda dari dua aktor sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam
proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).

Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor lainnya yang mengakibatkan
munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan
sumber yang hanya mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau
juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis sejarah dalam beberapa
sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin
mencoba merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.

Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan ini akan mencoba
mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan, fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam
proses Islamisasi di tanah Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan
sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang sampai saat ini
dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi awal bagi para
peminat dan peneliti tentang sejarah Islam di tanah Pasundan.

Sumber-sumber Sejarah

SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai bagaimana proses
penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan. Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber
lisan, tulisan, dan artefak (bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar
dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya tentang cerita “Kian
Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi
Maung Bodas” dan lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak
yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah tersebut berada di
Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di
daerah-daerah tertentu di wilayah Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di
antara naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon,
naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.

Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui proses perkembangan Islam di
tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para
wali, dan pondok pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah
Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan
Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang),
dan Syeikh Qura (Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan
naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam atau dakwah yang
telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-
Qur’an yang tulisannya merupakan tulisan tangan.

Tokoh Cakrabuana

BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif
Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah
Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga
Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga
ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak.
Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang.
Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana
dan kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak
Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede
Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi
belum menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau Manahrasa dan hanya
menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan
kerajaan Galuh Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa Niskala.
Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua:
Sunda) Prabu Susuk Tunggal.

Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang telah memeluk Islam
dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf
Siddiq, ulama terkenal di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian
Selatan). Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada ekspedisi
Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti Ming pada tahun 1405 M.
Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia
mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran
Islam Madzhab Hanafiah.

Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan lembaga pendidikan
Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian setelah itu muncul pondok pesantren di
Amparan Jati daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal
dunia, pondok pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi,
seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab Syafi’iyyah.

Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan
oleh anak keturunannya, di antaranya adalah Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa,
cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang
yang termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).

Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah, maka Cakrabuana yang
pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya Nyai Lara Santang memiliki niat untuk
menganut agama ibunya daripada agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil
pilihan untuk tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan
bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta izin kepada
ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi raja bawahan di Sindangkasih
untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran
Walangsungsang dan Nyai Lara Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba
pengetahuan Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang
menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru kepada Syeikh Nurjati
di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru
kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).

Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang Alang membuka
pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di daerah pesisir. Pemukiman baru itu
dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1
Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama
Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau bahasa Sunda, dari
kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah
satu mata pencaharian penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk
dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng
Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar Pangeran
Cakrabuana atau Cakrabumi.

Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi
kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk
pesisir Cirebon berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak
196 orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2 orang, Persia 2
orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6 orang. Agama yang dianut seluruh
penduduk pesisir Cirebon ini adalah Islam.

Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran Cakrabuana (Walangsungsang
atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama
Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan mesjid
pertama di tatar Sunda dan didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih
terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan
nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan
pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas
Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Ketika di
Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah,
seorang penguasa (sultan) kota Mesir pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis,
merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.

Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai
Mas Lara Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat
gelar Haji Abdullah Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah
Muda’im. Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan
Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi mukimin selama tiga bulan.
Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah
lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab Hanafi,
Syafi’i, Hambali, dan Maliki.

Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak
ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di
Singapura (Mertasinga). Yang menjadi pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana.
Akan tetapi, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura
(Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir Cirebon. Dengan modal harta
warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon
Pesisir. Keraton tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton
Pakungwati berarti berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Kerajaan
Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi nama Nagara Agung
Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng
Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata
(atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia mengutus Tumenggung Jayabaya untuk
melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati
Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda
atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau
tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa Prabu Siliwangi tidak
anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana
terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang pertama sukses
menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang
atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan
Kian Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan demikian, ia
merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di
Gunung Sembung dan makamnya berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan
Gunung Jati.

Tokoh Kian Santang

SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh
yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan
(kependekaran) di wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris
dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang terkenal dengan
sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah
dakwah Islam di tatar Sunda bagian pedalaman.

Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak
jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber
sejarah yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat
semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil
kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak sumber-sumber sejarah yang
dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah
lisan, tulisan, maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang di
Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok Pakenjeng Garut.
Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan tugas sejarawan untuk
memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh
mitologi tidak ada cerita sejarah yang sebenarnya.

Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang
sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1)
cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la
Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat
mengenai perjalanan dakwah Kian Santang, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding
kekuatan gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat
yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca kalimat
Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang adalah putera raja Pajajaran
yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji
Lumajang. Cerita lainnya lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan
menyebarkan agama Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra
raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan tidak lagi menganut
agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran, bahwa ia akhirnya pergi ke Campa
sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.

Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian
Santang sebagai salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita
tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah
Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data yang lainya seperti
Babad tanah Cirebon dan lainnya.

Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama tersebut bukanlah
menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M, melainkan seorang syekh (guru) tarekat
tertentu atau pengajar tertentu di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka
itulah suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah mitos, tahayul, dan
tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia Sunda.

Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang
sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah
seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti
fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau Arab) yang
berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan
satu kandaga (kanaga, peti) yang berada di Godog Karangpawitan Garut.

Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke
Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun
yang menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama
menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen
Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden
Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7)
Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem
Pangerjaya.

Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian Santang merupakan salah
seorang putra Pajajaran, yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar
agama Islam di Pajajaran. Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan
oleh P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran
membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di
antaranya adalah kerajaan Sindangkasih (Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja
(atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata
menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang
pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di
pesantren inilah ia bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak
dipersunting dan menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan Pangeran
Kian Santang.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang
penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan
agama Islam pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga
Maharaja alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah Cirebon
(Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi raja bawahan Pajajaran, ia
melarikan diri dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op
groundgebied. Limbangan merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda
(khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara
sudah ada yang menganut Islam sebagai hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan
India.

Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang
terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer (Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-
1575). Raja yang satu ini merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu
Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi. Dengan demikian
Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan kepada Sunan
Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an
la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh
Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.

Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung diIslamkan oleh Kian Santang di
antaranya, ialah (1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat
makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan Batuwangi
yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak oleh Kian Santang dan
sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di Tasikmalaya.

Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan. Kemudian
setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti
Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah
(Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan,
Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di
Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut).

Tokoh Syarif Hidayatullah

SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas
Larasantang dinikahkan oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang
penguasa kota Mesir dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul Alim
atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal Abidin (buyut Fadhilah
Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat
atau Sunan Ampel (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim
Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan puteri
penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah (puteranya) menjadi penguasa (wali
kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk. Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi
Mas Larasantang melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang
lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir.

Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya
ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut
terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua tahun.
Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk
berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu
menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati.

Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah


menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia
singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia
mempunyai murid, yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan
pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di
Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam
bersama saudaranya Syeikh Sayyid Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid
Rakhmatullah (Ali Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya
menyebarkan Islam di sana.

Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama Islam bersama Syeikh
Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu, Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan
Galuh dengan rajanya adalah Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif
Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak
merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat
menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam
“kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke
arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai gelisah, kemudian ia
memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan
Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya
Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda, puteri Susuk
Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran
(Bogor) bahkan mempersatukan kembali Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa
Niskala, ayah Prabu Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi
Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).

Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan
Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan
Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak,
akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap ini mengundang
kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih kembali Cirebon. Namun
penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa
Prabu Jaya Dewata mendapatkan nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang
menyatakan bahwa tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi pula
berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu
Pengeran Cakrabuana.

Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan
Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya.
Sebagai penggantinya adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M
dengan gelar Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi melakukan perjanjian
kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M,
berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara
Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa
tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan
bahwa ia merupakan seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan
diplomatik dengan orang-orang Eropa.

Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi
kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak
mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai
Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran. Strategi ini diambil
agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad
atahun 1527 M Portugis datang ke Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan
benteng di Muara Kali Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul
mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.

Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah,
Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal
dari Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif Hidayatullah.
Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun (Demak), ia juga menikah
dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di
Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka
Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah,
ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat
menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika
Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah, mengundurkan diri
dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar
Islam di tatar Sunda bagian utara dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran
Pasarean.

Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh
Ratu Bagus Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten.
Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni hanya
berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M. Ia dimakamkan satu
komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia
kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu.

Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran Cakrabuana, Kian
Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses penyebaran Islam di tanah Pasundan yang
sekarang menjadi tiga wialyah, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian
di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat dijadikan bahan
rujukan untuk penelitian selanjutnya.

Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah pesisir utara Cirebon adalah
Pangeran Walangsungsang atau Adipati Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau
Syeikh Abdul Iman, yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari
Syarif Hdiayatullah.

Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyi Subang
Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir
Sunan Gunung Jati dan Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di
Godog, Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman tatar Sunda. Ia
merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya
dari Kerajaan Sindangkasih (Majalengka).

Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama tokoh yang berbeda dengan
Faletehan. Keduanya memiliki peran yang berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di
tanah Pasundan
Ketahuilah, hal-hal dibawah ini sdh dilakukan NU sejak sebelum orang lain memikirkan keselamatan
NKRI, yaitu:
1. Ketika Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin, NU telah mendiskusikan bentuk negara yang
cocok untuk Indonesia merdeka. Ketika itu ada 2 bentuk negara yang diwacanakan, yaitu: Darul Islam
dan Darus Salam. Tetapi NU lebih memilih Darus Salam yang kelak terejawantah menjadi NKRI
2. Ketika terjadi perdebatan sengit antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis di dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengenai bentuk negara apakah Islam atau Pancasila, NU—
yang keanggotaannya di PPKI diwakili KHA Wahid Hasyim—menawarkan jalan tengah yaitu Pancasila
yang dijiwai Islam. Maka lahirlah dasar pancasila yang sila pertamanya berbunyi; ”Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syareat islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kelak dikenal dengan Piagam
Jakarta
3. Sehari setelah UUD 1945 disahkan sebagai dasar negara Indonesia (18 Agustus 1945), masyarakat
wilayah timur (19 Agustus 1945) melakukan demonstrasi menolak Piagam Jakarta dan jika tidak diganti
mereka mengancam akan mendirikan negara sendiri. Saat Presiden Soekarno mengumpulkan tokoh-
tokoh bangsa untuk membahas tuntutan itu, KH A Wahid Hasyim berpendapat; “Dalam pengertian
aqidah kami bahwa Ketuhanan itu adalah tauhid, sudah cukup menggugurkan kewajiban mendirikan
negara berdasar syareat. Maka tidaklah ada kemaslahatan barang sedikitpun memaksakan kehendak
dengan mengabaikan kewajiban bersatu”. Atas pendapat Kyai Wahid itu para tokoh bangsa akhirnya
bersepakat menghapus Piagam Jakarta sehingga sila pertama Pancasila berbunyi; “Ketuhanan Yang
Maha Esa”
4. Ketika pada September 1945, Belanda datang kembali untuk menjajah Indonesia, KHM Hasyim Asy’ari
mengeluarkan Fatwa Jihad yang kemudian pada 22 Oktober 1945 dikukuhkan oleh Resolusi Jihad NU
yang diantara isinya menyatakan bahwa kaum muslimin yang berada dalam radius 94km dari kedudukan
musuh wajib melawan penjajah dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indoensia.
Nah, setelah tahu ini masihkah anda menganggap NU tidak Peduli Nasib Bangsa hanya gara-gara NU
tidak menganggap serius kasus penistaan agama oleh Ahok? Ah yang benar saja!

Biografi Pendiri
BIOGRAFI

KH. ABDUL HANNAN MA’SHUM


Pendiri dan Pengasuh “Pesantren Fathul ‘Ulum” Kwagean Krenceng Kepung Kediri

Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Fathul ‘Ulum Kwagean

Beliau dilahirkan di Boto Putih Kecamatan Canggu (± 5 Km Sebelah utara Dusun Kwagean).
Dengan nama Hanan dari pasangan Bapak Ma’sum asal Boto Putih dan Ibu Siti Nu’amah (Wafat
pada hari Sabtu Malam Ahad tanggal 7 Agustus 2005 atau 2 Jumadil Akhiroh 1426 H.) asal
Krecek Pare. Beliau adalah putra ke-4 dari 12 bersaudara, yaitu:

1. Bapak Khozin (Boto Putih)


2. Ibu Binti ( Mangiran Pare)
3. Agus Khodim (wafat pada usia 2 tahun)
4. KH. Abdul Hannan Ma’shum (Pengasuh Pondok PFU)
5. Agus Shohib (wafat pada umur 1 tahun)
6. Ning Umaiyah (wafat pada umur setengah tahun)
7. Agus Kholil (wafat pada umur 1 tahun)
8. Ibu Istiqomah (Bringin Pare)
9. Bapak Habib (Boto Putih)
10. K. Romdli Anwar (Kebon Sari)

Sedang dua diantaranya sudah meninggal dan belum diketahui namanya oleh penyusun. Ayah
beliau sebagai buruh tani dan penjual kelapa. Sedangkan Ibu beliau sebagai penjahit kecil-
kecilan dengan sebuah mesin jahit yang sudah usang serta berjualan onde-onde di Pasar. Karena
dilahirkan dan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kesederhanaan, beliau rela menjadi
buruh menanam singkong di kebun orang lain dengan upah beberapa singkong saja, ini
dilakukan hingga beliau tamat SR (Sekolah Rakyat).

Berbudi luhur, tawadlu’ dan ketekunan beliau sudah terlihat sejak kecil, bahkan kalau bicara
dengan orang lain beliau selalu menggunakan bahasa halus (Kromo Inggil). Sehingga orang yang
bertemu langsung mengenal bahwa ini adalah Hanan Putra bapak Ma’sum. Masa kecil beliau
tidak seperti anak kecil lainnya yang hanya suka bermain, akan tetapi lebih suka membantu
orang tua dengan menggembala kambing, merumput, memelihara hewan peliharaan, seperti: itik,
ayam dan lain-lain, walaupun demikian beliau juga suka mecari burung.

PERJALANAN MENCARI ILMU

Seperti kebiasaan anak-anak pada masa itu, beliau juga sekolah di Sekolah Rakyat  (sekarang
SD) dengan guru Bapak Jendol. Kemudian beliau meneruskan di Madrasah Wajib Belajar
(MWB) sampai tingkat MTT (Madrasah Tingkat Tinggi). Ditambah selama 8 tahun dan tamat
pada tahun 1965 M.

Dengan tekad yang kuat dan penuh. Pada umur sekitar 12 tahun beliau melangkahkan kaki ke-
PP. Roudlotul ‘Ulum Kencong (sebelah timur Kwagean) yang diasuh oleh KH. Ahmadi dan KH.
Zamroji Syaerozi.

Di pesantren inilah beliau banyak menimba ilmu kurang lebih 15 th. Sebelum mondok di
Pesantren tersebut beliau memang sudah dikenalkan dengan pengajian-pengajian didesanya
layaknya pengajian salaf di Pondok Pesantren oleh Kyai didesanya, beliau sudah pernah mengaji
“Sullam At-taufiq”, Tashrif istilahi dan lughowi bahkan beliau menghafalnya, disamping itu juga
beliau sudah pernah mendapatkan ijazah serta mengamalkan Sholawat Nariyah 4444 x dalam
satu majelis. Dari barokah sholawat tersebut, pernah beliau dicari teman-temannya, akan tetapi
tidak bisa menemukannya, padahal beliau hanya dikamar itu. Setelah yang mencari gurunya
yang memberi amalan tersebut (Mbah Dul) barulah mereka bisa menemukanya. Karena keadaan
ekonomi keluarga yang paspasan beliau jarang sekali mendapatkan kiriman dari orang tua, hanya
kadang kala dua atau tiga bulan sekali dikirim beras dari rumah sekitar 10 Kg. dan 4/5 butir
kelapa.
Dengan rasa penuh semangat adik beliau (K. Romdli Anwar) selalu mengantarkan kiriman
tersebut ke-Pondok tersebut. Itupun hanya berjalan sekitar 6 tahun. Tepatnya pada Th.1971 M.
.beliau dipanggil oleh Ibunda tercinta perasaan sedih dan kasihan ibunda berkata ”Nak..! Wes,
koe muliho wahe, Mak wes ora kuat ngragati maneh, gentenan karo adikmu” (Nak…! Sekarang
pulang saja, ibu sudah tidak mampu membiayaimu lagi, gantian dengan adikmu. Red.). Dengan
mantap dan tanpa rasa takut sedikitpun beliau menjawab “Mak, kulo nyuwun pangestune
mawon” (Sudahlah Bu, saya minta do’a restunya saja, Red.). Bekal beliau hanyalah tekad dan
niat yang teguh. Dengan meneruskan belajarnya lagi ± 9 tahun. Dengan tekad yang kuat segala
usahapun dilakukan demi kesejahteraannya di-Pondok tanpa menggantungkan pada orang tua,
dalam masa itu beliau menjadi buruh menulis  Kitab Alfiyah serta keteranganya, ± 100 buku
pernah ditulisnya demi memenuhi kebutuhanya.

Selain usaha dzohir juga usaha batinpun dilakukannya, bermacam-macam riyadhohpun beliau
jalani demi cita-cita, antara lain :

 Puasa ngrowot ( makanan selain beras ) selama 41 hari berturut-turut + 10 Th.


 Puasa tarkudziruh ( makanannya tidak berasal dari hewani ).
 Puasa mutih selama 41 hari berturut-turut.
 Tidak pulang selama 3 Th.
 Sholat jamaah dengan menemui takbirotul ihromnya Imam ( + 3 Th).
 Khidmah. (Membantu dipesantren dan ndalem kyai )

Dengan semangat dan didasari kecintaan pada ilmu beliau juga dapat menghafal Alfiyah 1002
bait dan ‘Uqudul juman 1010 Bait. Pendidikan keras dan santun yang diajarkan sang guru
membentuk karakter beliau menjadi seorang yang demokratis dalam berfikir. Beliau pernah
dipanggil oleh pengasuh (KH. Zamroji) dan dinasehati :

1) Saiki totonen kitabmu mulai cilik nganti gedhe (sekarang tatalah kitabmu mulai yang kecil
sampai yang besar, red).

2) Orausah poso-posoan, selagi iseh kuat bancik orausah mangan (tidak perlu berpuasa, selagi
masih kuat berdiri jangan makan, red).

3) Nek dijalu’i ngaji sopowae gelemo, senajan jam 12 bengi (ketika dimintai mengaji siapa saja,
terimalah meskipun jam 12 malam, red ).

Beliau merupakan orang yang mandiri dan tekun, sebagai Abdul Hanan muda yang hormat dan
sangat ta’zhim pada sang guru. Beliau menunjukkan itu semua tak ketinggalan jiwa sosialnya,
baik pada teman/kawan santri maupun pada Pesantren yang membimbing dan mendidiknya
diantaranya sebagai tukang sapu, penimba kolah, pengajar Al-Qur’an dan juga merangkap
sebagai bendahara.

Dengan didasari ketekunan dan keseriusan, beliau ditunjuk sebagai Kepala Madrasah dan Dewan
Hakim, disamping mengurus lampu-lampu untuk penerangan Pondok Pesantren.

Dari Pesantren kepelaminan.


Atas dukungan sang guru beliau dan persetujuan orang tua dan keluarga dalam usia  27 tahun
bulan Maulud  Thn. 1980 M. beliau dinikahkan  oleh KH. Zamroji dengan dara ayu dari Dusun
Kwagean bernama Miftahul Munawaroh yang waktu itu masih berusia 16 Tahun, putri semata
wayang dari pasangan H. Anwar dan Hj. Asmurah.

Setelah melangsungkan pernikahan, beliau pindah dari Pondok kerumah mertua di-Kwagean
barat. Dengan tanpa meninggalkan belajarnya selama 22 tahun  di Pondok Kencong. Dari hasil
pernikahan beliau itu, beliau dikaruniai putra dan putri yaitu :

1. Agus Muhammad Miftahuddin Mukhtar


2. Ning Nur Habibah (Almh.) wafat pada 11 Desember 1999
3. Agus Muhammad Muhdlor
4. Agus Muhammad Muslim
5. Ning Rif’atul Hasanah Ulya
6. Agus Muhammad Barizi
7. Ning Zakiyyatul Millah
8. Agus Muhammad Idris
9. Agus Muhammad Baha’uddin
10. Ning Dzurrotul Wafiyyah.
11. Ning Fa’idatus Sirriyah.
12. Agus Ahmad Muhammad

Selain mengaji di Pondok yang diasuh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji, beliau juga pernah
mengaji tabarrukan Bulanan di-Pondok lain seperti :

1. Ponpes Bathoan asuhan KH. Jamal.


2. Ponpes Mranggen asuhan KH. Muslih.
3. Ponpes Lirboyo asuhan KH. Mahrus Ali.
4. Ponpes Sarang, Dll.

EMBRIO PONDOK PESANTREN “FATHUL ‘ULUM“

Setelah melaksanakan pernikahan ± 15 hari beliau mengadakan pengajian dirumah mertua


dengan peserta ± 96 peserta yang rata-rata usianya lebih tua daripada beliau. Pada waktu itu ada
diantara santri yang bernama Imam Mawardi, KH. Masruri (Banyumas) dan Abdul Qodir
(Bekasi) yang membuat brosur/plakat (surat edaran) tanpa sepengetahuan beliau, sebanyak 45
kitab yang dikhatamkan dalam 11 bulan, yang waktu itu beliau menetap dirumah mertuanya ± 11
bulan.

Dengan bertambahnya santri dan kurangnya sarana dan prasarana yang mamadai, akhirnya
beliau berinisiatif untuk pindah ke-Kwagean bagian utara. Karena sudah pisah dari orang tuanya
dan mertua, beliau harus berjuang mandiri baik tehadap sandang, papan, dan pangan keluarga
juga terhadap rutinitas pengajian bagi para santri.
Untuk bisa menopang semua kebutuhannya dan keluarga, disamping berjuang tetap menjalankan
rutinitas pengajian, beliau menjalankan usaha kecil-kecilan dengan berjualan singkong goreng,
dengan hasil yang sangat minim beliau berusah mengumpulkan labanya untuk modal usaha lain
yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga, akhirnya beliau mencoba membudi dayakan ayam
kampung, dengan penuh kesabaran usaha tersebut berlanjut sampai-sampai beliau dapat membeli
ayam ± 400 ekor untuk dijadikan bibit. Dengan usaha seperti itulah beliau jalani tanpa rasa
bosan, akhirnya laba dari penjualan sedikit demi sedikit beliau kumpulkan untuk membeli
sebidang tanah yang akhirnya menjadi Pondok Pesantren tercinta ini.

Anda mungkin juga menyukai