Anda di halaman 1dari 14

PERKAWINAN BELIA

DALAM PERSPEKTIF TEORI DRAMATURGI

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Tri Marheini Puji Anstuti, M. Hum


Mata Kuliah : Metode Penelitian Sosial

Disusun oleh :
Suhadi

NIM: 0301510058

PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010

1
A. Latar Belakang

Studi ini akan mengkaji tentang perilaku “perkawinan belia” pada masyarakat desa
Tegaldowo kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Istilah pernikahan belia
penulis pinjam dari istilah yang digunakan oleh Abdurrahman Wahid dalam artikelnya di harian
umum Kompas terbit 20 November 1997. Ketertarikan penulis untuk mengkaji perkawinan belia,
berangkat dari percakapan di tempat kerja yang tidak jauh dari lokasi yang disinyalir marak
praktik perkawinan belia. Terlebih ketertarikan penulis pada hal tersebut ketika percakapan
mengarah pada pola perilaku orang tua anak perkawinan belia yang lebih bangga jika anaknya
janda, daripada anaknya yang akan lulus SD belum dilamar laki-laki calon suami gadis belia
tersebut.
Pasca percakapan itu, segera penulis konsultasikan kepada dosen antropologi program pasca
sarjana Unnes, yaitu Prof. Dr. Tri Marheni Puji Astuti. Dalam konsultasi singkat sembari berjalan
menuju tempat parkir mobil seusai perkuliahan Metode Penelitian Sosial yang diiringi hujan
rintik-rintik pada akhir tahun 2010, Prof Heni (sapaan akrap beliau) memberi masukan yang
intinya bahwa penelitian yang menyangkut tentang masalah-masalah sosial budaya selalu aktual.
Masalah-masalah sosial budaya yang masih ada di masyarakat itu salah satunya adalah
perkawinan belia, ungkapnya. Dari percakapan singkat itu, penulis lanjutkan dengan browsing di
internet yang berhubungan dengan perkawinan belia di lokasi yang akan dieksplorasi bahan
tambang dan materialnya untuk bahan baku pabrik PT. Semen Gresik.
Searching segera penulis lakukan dengan search engine Google. Pelacakan dokumen
tentang perkawinan belia di desa Tegalowo tidaklah sulit. Beberapa portal webiste yang
menyediakan informasi tentang perkawinan belia diantarnya dari wikipedia Indonesia, harian
Kompas, website pemerintah kabupaten Rembang, dan beberapa blogging. Berikut ulasan singkat
tentang pelacakan dokumen yang bersangkutan.
Ulasan yang memuat perkawinan belia di desa Tegaldowo dari wikipedia Indonesia:
“Sering orang tua tidak mempedulikan apakah anak gadisnya mau dinikahkan atau tidak. Anak
gadis usia belia di Tegaldowo banyak yang sudah menjanda, dan menurut tradisi di sana lebih
diterima ketimbang menjadi perawan tua. Sebelum reformasi, cukup banyak terjadi anak
perempuan usia di bawah usia 12 tahun dinikahkan dengan pria berusia 20 tahun lebih. Namun,
sejak abad 21, tradisi menikahkan anak di bawah usia SD sudah amat jarang. Hanya pernikahan
anak usia SLTP yang masih sering terjadi. Menurut data dari KUA Gunem, antara bulan januari
2008 sampai Juni 2009 tercatat 21 pernikahan di bawah usia 16 tahun. Hal ini terkait dengan
kepercayaan yang mereka anut, yaitu bahwa jika orang tua memiliki anak perempuan dan
ditanyakan atau diminta seorang pria untuk dinikahi harus diterima. Jika menolak, maka dipercaya
anak itu takkan menemui jodoh kembali di kemudian hari”
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tegaldowo,_Gunem,_Rembang).
Perilaku perkawinan belia di Tegaldowo juga menjadi perhatian program pemerintah
setempat. Pernyataan Bupati Rembang Jawa Tengah, Mochamad Salim dalam harian Kompas
mengatakan:

"Kami sudah awali kegiatan sosialisasi dengan homestay KRR di Desa Tegaldowo, Kecamatan
Gunem, kemarin. Kami pilih desa tersebut untuk sosialisasi pertama karena cukup banyak kasus
pernikahan dini yang ditemukan. Berdasarkan data dari kantor urusan agama (KUA) kecamatan
setempat, dalam kurun waktu tahun 2009-2009, jumlah kasus pernikahan dini sebanyak 21 kasus”
(HU. Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010).

2
Publikasikan dalam blogspot Radio-Rock Semarang dari wawancara yang dilakukan Noni
Arni dengan seorang informan (pelaku dan pencatata nikah) pada bulan November 2009 juga
memuat tentang perkawinan belia. Berikut transkip wawancaranya:

Noni: ”Dijodohin sama ibu..?”


Informan: “iya..”
Noni: “Setelah tahu dijodohkan?”
Informan: “Saya masih kecil jadi biasa saja, belum ada pikiran saya suka dengan pasangan saya.
Saya belum mengerti, karena waktu itu masih kelas 4 SD saya mulai di jodohkan. Dua kali
dijodohkan gagal dan perjodohan ketiga baru saya dinikahkan. Waktu menikah saya belum lulus
SD ”
(http://bersamasuara.blogspot.com/2009/11/belenggu-tradisi-pernikahan-dini.html).
Ulasan perkawinan belia dalam transkip hasil wawancara Noni dengan Suwandi, seorang
pegawai pencacat nikah di Tegaldowo:

”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau
tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Percaya hal seperti itu masyarakat di sini. Entah
nantinya jodoh atau tidak tetep di terima. Habis saya terima nikahnya..terus besoknya sudah
pulang itu banyak. Bisa diartikan dipaksa. Angka perceraianpun tinggi masalahnya kayak gitu”
(http://bersamasuara.blogspot.com/2009/11/belenggu-tradisi-pernikahan-dini.html).
Berdasarkan pelacakan dokumen tentang perkawinan belia di Tegaldowo, penulis
berpandangan bahwa keputusan perkawinan belia cenderung didominasi oleh orang tua anak,
bukan pasangan perkawinan belia. Terlebih melihat adanya orientasi kebutuhan sosial orang tua
dalam bentuk nilai sosial dimana anak memiliki nilai tukar yang berharga dalam keluarga, ketika
anak tersebut telah dikawini oleh laki-laki. Namun pandangan orang tua seolah-olah tidak
mengedepankan masa depan kelangsungan hubungan perkawinan anak itu sendiri. Bahkan dalam
pelacakan dokumen di atas dapat dilihat, bahwa orang tua tidak terbebani dengan status janda
atau duda karena perkawinan belia memiliki pondasi hubungan yang labil. Jelas pandangan ini
berseberangan dengan pandangan umum, dimana orang tua akan terbebani ketika anak-anaknya
gagal dalam membangun hubungan keluarga.
Pandangan umum yang sama juga terlihat pada alasan medis dalam memandang
perkawinan belia, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ikatan Dokter Anak untuk
menghentikan kebiasaan kawin muda yang dilansir dalam http://stat.k.kidsklik.com pada hari
Senin, 3 November 2008:

"Secara medis anak perempuan usia di bawah 16 tahun masih dianggap belum matang secara
seksual karena organ reproduksinya belum mengalami menstruasi sehingga tidak dianjurkan untuk
menikah," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak (IDAI) DR Rahmat Sentika di Jakarta”.
Resiko perkawinan belia memiliki dampak biologis dan psikologis pada pihak perempuan.
Dampak biologis nikah belia yang dilansir oleh Suryadi Danuwisastra, Kepala Bidang KB dalam
Pikiran Rakyat mengatakan:

“Angka kematian ibu melahirkan terkait dengan usia ibu melahirkan, bisa karena terlalu muda,

3
terlalu banyak, atau terlalu sering melahirkan. Ibaratnya, remaja sedang tumbuh lalu harus
mengandung janin yang juga perlu ia beri makan. Rebutan dalam perkembangan, walaupun
mungkin selamat, namun kualitas anak yang dilahirkan remaja tentu akan berbeda dengan yang
dilahirkan perempuaan dewasa yang memang sudah siap untuk melahirkan” (HU. Pikiran Rakyat;
21 Maret 2007; 01).
Adapun dampak psikologis dalam perkawinan belia dilansir oleh dr. H.M. Zainie Hassan
A.R., Sp.K.J. (ahli jiwa) dalam harian Pikiran Rakyat mengatakan:

“Usia remaja menimbulkan persoalan dari berbagai sisi seperti pendidikan yang mungkin belum
lulus SMA. Karena minim pendidikan, pekerjaan semakin sulit didapat dan berpengaruh pada
pendapatan ekonomi keluarga,” ujarnya. Terlebih jika menikah muda karena ketelanjuran
berhubungan seks. Ada penolakan keluarga yang terjadi akibat malu. “Ini bisa menimbulkan stres.
Ibu hamil usia muda mempunyai risiko bunuh diri lebih tinggi, khususnya jika mereka hamil di
luar nikah dan tanpa didukung keluarga” (HU. Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01).
Dengan demikian menurut penulis perlu dilakukan studi dalam upaya melihat perilaku
perkawinan belia menurut sudut pandangan masyarakat Tegaldowo. Upaya ini penting dilakukan
karena biasanya perilaku perkawinan belia dipandang dari perspektif etik (peneliti perkawinan
belia) saja dan bukan dilihat dari perspektif emik (pelaku perkawinan belia). Tentunya untuk
memahami perkawinan belia di Tegaldowo dengan baik, maka perlu memahami perkawinan belia
dari perspektif emik.

B. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan memahami perilaku
perkawinan belia dari perpektif pelaku perkawinan belia. Dalam hal ini penulis tertarik mengkaji
dan memahami bagaimana masyarakat Tegaldowo dalam melihat perkawinan belia. Nilai apa
yang diinterpretasikan dalam melakukan tindakan perkawinan belia.
Dalam mengkaji dan memahami perilaku perkawinan belia, penulis akan menggunakan
beberapa konsep dari perspektif teori Dramaturgi dari Erving Goffman (1959) sebagai berikut:
1. perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat, dan khalayaknya;
2. dalam setiap perilaku manusia terdapat dua arena yaitu panggung depan (front stage) dan
panggung belakang (back stage); dan
3. perilaku manusia dalam berinteraks-i akan menghasilkan makna.

C. Tujuan Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui;
1. karakteristik masyarakat Tegaldowo dalam perilaku perkawinan belia
2. perspektif perkawinan belia pada masyarakat Tegaldowo
3. peranan masyarakat dan pemerintah dalam memandang perkawinan belia

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi bagi pelaku pembangunan bidang
kesejahteraan sosial terutama bagi mereka yang terlibat di dalam pembinaan generasi muda dan
pembinaan keluarga muda. Diharapkan dari penelitian ini nantinya dapat memberikan gambaran
tentang masalah perkawinan belia. Oleh kerena itu nantinya hasil penelitian ini dapat dipahami

4
oleh pelaksana program untuk lebih menyempurnakan dan lebih mengoptimalkan pelaksanaan
program pembangunan bidang kesejahteraan sosial.

2. Manfaat Teoritis
Memberikan masukan terhadap penulis dalam upaya memahami perilaku perkawinan belia
dari sudut pandang pelaku perkawinan belia dengan menggunakan perspektif teori Dramaturgi
dari Erving Goffman. Hal ini penting dipahami oleh para penulis tentang perilaku perkawinan
belia yang terjadi di masyarakat.

E. Kajian Pustaka
E.1. Studi Terdahulu
Studi tentang perkawinan belia telah dilakukan oleh beberapa penulis sebelumnya.
Beberapa studi terdahulu tentang perkawinan belia telah dilakukan dalam perspektif hukum,
sosial, budaya, kesehatan/ biologis, ekonomi, pendidikan, psikologi, agama, geografis, dan
perspektif kependudukan. Studi terdahulu tentang perkawinan belia ini dipaparkan dengan tujuan
untuk mengetahui posisi dari studi perkawinan belia ini dilakukan. Dengan demikian studi
perkawinan belia yang dilakukan penulis ini tetap memiliki derajat manfaat praktis dan teoritis.
Studi pendahuluan ini juga dimaksudkan dalam bagian dari bahan penyusunan instrumen
penelitian.
Studi terdahulu tentang perkawinan belia secara tematik sebagian besar didominasi pada
faktor-faktor yang mendorong dan dampak dari perilaku perkawinan belia. Studi tersebut memuat
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan belia dari sisi tradisi, sosial, budaya,
psikologis, fertilitas, dan usia kawin.
Studi terdahulu perkawinan belia juga telah dilakukan dari perspektif hukum. Studi hukum
yang telah dilakukan diantaranya mengkaji tentang dokumen (undang-undang) tentang
perkawinan belia, perbedaan masalah kawin pada wanita yang usia muda dan usia ideal, tiga
sistem hukum yang melandasi perkawinan, dan asas-asas perkawinan perspektif hukum adat.
Selanjutnya dalam perspektif demografi telah dilakukan yaitu tentang perkawinan muda di
sepanjang pantura, dan kematian balita dalam keluarga nikah belia. Perkawinan belia juga telah
dilakukan dalam fokus di bidang kesehatan (biologis dan psikologis) khususnya tentang dampak
biologis dan psikologis nikah belia.
Dalam perspektif pendidikan, studi yang telah dilakukan mengkaji tentang pendidikan
mempengaruhi sikap terhadap besarnya keluarga ideal dan nilai anak, serta perbedaan jumlah
anak pada wanita dengan tingkat pendidikan menengah dan sekolah dasar. Begitu pula dalam
perspektif agama, studi terdahulu diantaranya tentang legalisasi agama dalam perkawinan belia.
Kemudian yang terakhir dalam perspektif sosial budaya, studi yang pernah dilakukan yaitu
tentang nilai anak dalam keluarga, dan reproduksi makna nikah belia. Berdasarkan studi
terdahulu tentang perkawinan belia dan sepengatahuan penulis, studi perkawinan belia dengan
menitikberatkan pada perspektif sosial budaya dengan menggunakan pendekatan teori
Dramaturgi, belum dilakukan. Dengan demikian studi yang akan dilakukan penulis ini memiliki
posisi teoritis dan implikasi simpulan yang menarik. Berikut ulasan dari beberapa studi terdahulu
tentang perkawinan belia.
Studi perkawianan belia dilakukan Puspitasari tahun 2006. Dalam studi tersebut mengkaji
tentang faktor- faktor apa saja yang mendorong perkawinan usia muda, bagaimana dampak yang
dialami oleh mereka yang melangsungkan perkawinan usia muda, serta bagaimana bentuk pola
asuh keluarga pasangan usia muda di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten
Tasikmalaya.
5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab terjadinya perkawinan di usia muda
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor-faktor yang mendorong mereka untuk melangsungkan
perkawinan di usia muda diantaranya; faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor orang tua, faktor
diri sendiri, serta faktor adat setempat. Terjadinya perkawinan usia muda di Desa Mandalagiri
Kecamatan Leuwisari Kabupaten Tasikmalaya ini mempunyai dampak tidak baik terhadap
mereka yang telah melangsungkan pernikahan juga berdampak pada anak-anak yang
dilahirkannya serta masing-masing keluarganya.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua pekawinan di usia muda berdampak
kurang baik bagi sebuah keluarga karena sedikit dari mereka yang telah melangsungkan
perkawinan diusia muda dapat mempertahankan dan memelihara keutuhannya sesuai dengan
tujuan dari perkawinan itu sendiri. Hasil temuan dilapangan bahwa pola asuh demokratis lebih
mendorong anak menjadi mandiri dan berprestasi di bandingkan dengan anak diasuh dengan cara
otoriter. Hasil pola asuh pada pasangan muda ini untuk masing-masing pengasuh adalah pola
asuh demokratik. Dengan pola asuh demokratik ini orang tua tidak mengekang pada anak-
anaknya dan memaksakan kehendaknya pada anak-anaknya, sebaliknya mereka memberikan
kepercayaan penuh terhadap anak-anaknya untuk bisa menjalani kehidupan dimasa yang akan
datang.
Penelitian Wahyudi tahun 2004 mengulas tentang bagimana sesungguhnya pelaksanaan
perkawinan pada masyarakat adat suku Sasak Lombok. Dalam penelitiannya, Wahyudi
menitikberatkan pada faktor-faktor yang menyebabkan perceraian dan akibat-akibat hukum yang
ditimbulkan dari tradisi kawin cerai.
Dalam penelitian Wahyudi menemukan bahwa faktor penyebab kawin cerai terdapat enam
faktor. Pertama, faktor kebudayaan dengan adanya tradisi merari'. Tradisi merari' yaitu apabila
seorang laki-laki ingin melakukan perkawinan maka perempuan yang mau diajak kawin harus
dilarikan terlebih dahulu dan hal ini merupakan tindakan yang legal secara adat. Dari data yang
ditemukan hampir 58% perkawinan yang di lakukan di bawah tangan sehingga perkawinan
mereka tidak dicatatkan. Hal ini juga didorong oleh adanya kawin musiman yaitu saat panen tiba
banyak melakukan perkawinan tapi saat musim paceklik tiba banyak .juga yang melakukan
perceraian. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat yang sangat kurang. Dari basil penelitian
masyarakat yang banyak melakukan perceraian adalah mereka yang pendidikannya rendah
bahkan tak pernah sekolah. Ketifa, tingkat kawin muda yang cukup tinggi jumlahnya. Empat,
yaitu faktor agama yang mempermudah perceraian yaitu cukup dengan menyatakan keinginan
bercerai oleh pihak si laki-laki kepada pihak si wanita maka jatuhlah talak mereka. Kelima, faktor
ekonomi masyarakat Lombok banyak yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) keluar negeri
sehingga isteri yang tak tahan menunggu kawin lagi dengan orang lain.
Dalam studi Boedirochminarni tahun 2001 tentang faktor-faktor yang berhubungan
terhadap perkawinan wanita muda usia di pedesaan. Penelitian Boedirochminarni ini bertujuan
untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari kehidupan sosial
budaya. Faktor sosial budaya yang dikaji diantaranya meliputi pendidikan, adat istiadat, dan
norma agama. Penelitian ini juga untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di
pedesaan ditinjau dari faktor ekonomi; meliputi: tingkat kemiskinan orang tua, jenis pekerjaan
orang tua. 3) Untuk mengetahui perkawinan pada wanita muda usia di pedesaan ditinjau dari
faktor fisiologis; meliputi usia pertama menstruasi. 4) Untuk mengetahui perkawinan pada wanita
muda usia di pedesaan ditinjau dari faktor psikologis. Adapun faktor psikologis yang dikaji
meliputi usia pertama tertarik dengan lelaki pujaan. Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini
menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan terhadap perkawinan wanita muda usia di
pedesaan, khususnya di desa Sumberejo adalah faktor ekonomi sebanyak 14 (35 %); kedua
6
adalah faktor sosial budaya sebanyak 12 (30 %), ketiga adalah faktor fisiologis sebanyak 7 (17,5
%), dan keempat adalah faktor psykologis sebanyak 5 (12,5 %).
Dalam studi yang dilakukan oleh Hidayati tahun 2007 tentang faktor-fakotr yang
berhubungan dengan perkawinan usia muda dengan pendekatan komparasi hasil dengan studi
meta analisis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa 50,6% responden kawin muda, mayoritas
hanya berpendidikan dasar, berpengetahuan baik tentang perkawinan, tidak bekerja sebelum
menikah, memiliki pendapatan kurang dari rata-rata pendapatan responden, dan dibesarkan
dilingkungan yang rata-rata usia kawin kurang dari 20 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa
ada hubungan pengetahuan (X2=7,177, p value 0,007), status bekerja responden (X2=5,733, p
value 0,017), status bekerja suami responden (X2=4,901, p value 0,027), dan adat istiadat
(X2=4,729, p value 0,030) dengan perkawinan wanita usia muda, sementara tidak ada hubungan
pendidikan dan pendapatan keluarga dengan perkawinan wanita usia muda. Dari meta analisis
diperoleh hasil 75% pendidikan berhubungan, 100% pengetahuan berhubungan, 100% status
bekerja responden berhubungan, 25% pendapatan keluarga berhubungan, 50% adat istiadat
berhubungan dengan perkawinan usia muda.
Banyak faktor yang terkait dengan fertilitas, terutama di Indonesia, terdapat tiga faktor
yang harus mendapat perhatian, yaitu : (1) penggunaan kontrasepsi modern, (2) praktek
pembatasan kelahiran secara tradisional, dan (3) perubahan pola perkawinan (Singarimbun,
1986:2).
Studi tentang faktor yang mempengaruhi usia kawin juga dilakukan oleh Widiyastutik pada
tahun 2005 di kecamatan Gunungpati kota Semarang. Dalam studi Widiyastutik dengan
pendekatan kuantitatif ini menyimpulkan bahwa dilihat dari segi umur, mereka menikah sesuai
dengan Undang-Undang Perkawinan, sementara itu mereka menikah pada umur 23 tahun bagi
laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. Dilihat dari segi pendidikan sebagian besar pendidikan
suami dan istri adalah tamat Sekolah Dasar (SD). Dilihat dari segi pendapatan, rata-rata
pendapatan keluarga yaitu sebesar Rp 901.614 per bulan. Pandangan orang tua terhadap usia
kawin laki-laki adalah 28 tahun dan perempuan adalah 22 tahun.
Kajian pernikahan belia juga dilakukan oleh Hasibuan tahun 2010. Hasibuan mengkaji
bagaimana peran UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam mencapai tujuan pernikahan
itu, dan bagaimana pula UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyikapi hak-hak
anak yang tidak terpenuhi. Dalam kajian dokumentatif, Hasibuan menemukan suatu kejelasan
dan sinkronisasi di antara UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak maupun UU yang terkait dengan penetapan umur pernikahan ini,
maka tujuan pernikahan bisa tercapai serta tanpa mengesampingkan juga hak-hak anak. Idealnya,
menurut Hasibuan, dalam melakukan perkawinan itu sudah mempunyai tiga unsur yaitu
kemampuan biologis, ekonomis dan psikis. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera.
Dalam penelitian Yuliana tahun 2006 tentang beberapa masalah yang timbul antara wanita
yang kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Dalam penelitian tersebut, Yuliana
menemukan beberapa perbedaan antara lain; masalah kelahiran anak pertama, masalah sosial
ekonomi, dan masalah perceraian antara wanita yang kawin muda dengan wanita yang kawin di
usia ideal. Penelitian tersebut tidak menemukan adanya perbedaan masalah baik dari sisi
kelahiran anak pertama, masalah sosial ekonomi, dan masalah perceraian antara wanita yang
kawin muda dengan wanita yang kawin di usia ideal. Hanya saja Yulina dalam akhir laporan
7
memberikan rekomendasi dalam peelitian lanjutan diadakannya penelitian pada usia perkawinan
yang lebih lama yaitu lebih dari tiga tahun serta menambahkan variabel masalah kependudukan.
Studi yang dilakukan oleh Purnami tahun 1992 tentang perkawinan usia muda dan
kaitannya dengan kematian balita. Studi kuantitatif ini dilakukan di desa Cermo kecamatan
Sambi kabupaten Boyolali. Dalam studi itu ditemukan bahwa ada kaitan antara perkawinan usia
muda, kondisi sosial ekonomi, kecuali lama pendidikan responden, program pelayanan kesehatan
ibu dan anak, serta perilaku budaya, berkaitan dengan kematian balita.
Studi dokumentatif tentang tinjauan hukum Islam terhadap faktor-faktor penyebab
perkawinan usia muda dan implikasinya. Studi ini dilakukan di masyarakat Bulungihit kabupaten
Labuhan Batu, Sumatra Utara. Hasil penelitian yang penyusun temukan bahwa kasus perkawinan
usia muda yang terjadi di masyarakat Bulungihit kebanyakan disebabkan oleh faktor adat, tradisi
dan budaya setempat. Adapun akibat perkawinan usia muda lebih banyak menimbulkan dampak
yang negatif dari pada positif.
Dalam studi yang dilakkan Pamungkas dkk tahun 2006 tentang perkawinan usia muda
dengan fokus penelitian tentang jumlah anak dan fertilitas pada masyarakat nelayan Kalisari,
Surabaya. Beberapa pasangan menikah pada usia muda dan telah dikaruniai anak, namun
demikian mereka yang memilih kawin usia muda, baik karena keinginan sendiri ataupun karena
perintah orang tua, telah sadar bahwa sekarang sudah bukan jaman “banyak anak banyak rejeki”
seperti dulu lagi. Mereka telah sadar bahwa anak memberikan manfaat yang lebih ke arah positif
dan untuk pemenuhan kebutuhan sangat sulit. Tanpa dapat dipungkiri bahwa biaya membesarkan
dan pemeliharaan anak sangat mahal, bukan dengan maksud bahwa anak adalah beban finansial.
Proses modernisasi menyadarkan bahwa kebutuhan anak bukan hanya makan dan rumah, akan
tetapi juga pemenuhan kebutuhan sosial.
Menarik apa yang dilakukan Nazaruddin tahun 1998 dalam penelitiannya tentang makna
kawin muda dan perceraian upaya memahami masalah sosial dan perspektif penyandang
masalah. Dalam penelitian tersebut Nazaruddin mengkaji sejauh mana peristiwa kawin muda dan
perceraian terjadi di Indramayu serta mengapa daerah Indramayu kerapkali diidentikkan dengan
daerah kawin cerai, serta untuk mengetahui apakah perkawinan usia muda dan perceraian
menurut masyarakat Indramayu adalah merupakan masalah sosial atau bukan masalah.
Dalam penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masalah sosial kawin muda dan perceraian
ditafsirkan oleh informan sebagai suatu masalah sosial yang perlu dihindari. Akan tetapi terdapat
informan yang menafsirkan makna kawin dan bercerai di usia muda sebagai suatu
solusi/alternatif pemecahan masalah. Konsekuensinya di antara mereka ada yang melaksanakan
perkawinan dan perceraian di usia muda. Walaupun demikian perkawinan usia muda dan
perceraian itu sendiri bukanlah kebiasaan atau bahkan budaya mereka karena peristiwa itu
hanyalah hasil kompromi anggota masyarakat yang menjadi informan dengan masalah yang
dihadapi pada saat itu. Oleh karena itu makna kawin muda dan perceraian itu sendiri terus
menerus disempurnakan sesuai dengan dinamika kemampuan berpikir mereka.

E.2. Perkawinan Dalam Perspektif


Perkawinan memiliki berbagai variabel, yaitu: (1) jenis perkawinan; (2) usia kawin; (3)
hidup selibat; (4) hidup menjanda; dan (5) perceraian dan perpisahan (McDonald, 1990:79-91).
Setiap varibel perkawinan memiliki pengaruh, baik langsung maupun tidak, terhadap fertilitas.
Langkah-langkah pertama kali memasuki masa perkawinan di dasari oleh perasaan
berikut:

8
A. rasa tertarik;
B. rasa ingin bersama;
C. saling memelihara (meliputi rasa saling membagi dan membutuhkan);
D. kerukunan; dan
E. cinta (Shelton dan Thrrick 1992).

Ada alasan tersendiri di balik berlangsungnya suatu perkawinan menurut Hauck (1995), :
a. Alasan neurotik:
1. untuk menjengkelkan orang tua (terutama oleh para remaja);
2. untuk mengatasi rendah diri;
3. untuk menjadi terapis pasangan (biasanya karena ada pihak yang lemah, sakit,
kekanak-kanakan);
4. takut menjadi perawan tua dan jejaka tua;
5. takut untuk tidak tergantung;
6. takut melukai perasaan orang lain; dan
7. karena anda telah jatuh cinta.
b. Alasan bijaksana dengan kedewasaan dan rasional
1. keberhasilan;
2. kehidupan seks yang aman dan menyenangkan;
3. perkawinan masih merupakan institusi terbaik untuk membesarkan anak; dan
4. untuk mencapai gaya hidup yang unik.

Konsumsi perkawinan ditunda sampai sang gadis mengalami haid. Seperti yang terlihat dalam
tabel berikut:
Tabel 1. Penundaan Hubungan Seks Setelah Menikah dan Usia Kawin.
Penundaan Umur kawin pertama
Hubungan Seks <15 15-17 18-20 21= Jumlah
(n=140) (n=295) (n=222) (n=115) (n=772)
Tidak ditunda 26,6 67,8 84,0 85,2 67,6
Tertunda 0-2 tahun 13,6 9,8 5,0 0 7,7
Tertunda >2th 22,3 5,8 0,5 0 6,4
Tak pernah hub. Seks 37,5 16,6 10,5 14,8 18,2
100 100 100 100 100

9
Sumber: Singarimbun, diolah
Pernikahan dianjurkan karena dapat memenuhi tujuan-tujuan sosial tertentu (Caldwell,
2000:356). Secara tradisional, menikah merupakan suatu alasan logis dan 'diwajibkan' untuk
memperolah keturunan yang sah dan diakui oleh masyarakat. Perkawinan merupakan cara yang
dianggap ideal dalam berbagai hal, seperti penguasaan seksualitas, legitimasi dan legalitas atas
anak-anak, dan terpenting adalah pembagian hal da kewajiban antara suami dan istri (Allan,
2000: 611-2).
Menurut Hilman Hadikusuma (1983) asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah
sebagai berikut:
1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah-tangga dan hubungan kerabat
yang rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus syah dilaksanakan menurut agama atau kepercayaan, tetapi
juga harus mendapat persetujuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai istri yang
kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan anggota kerabat, masyarakat
adat dapat menolak kedudukan istri atau suami yang tidak diakui oleh masyarakat adat
setempat.
Menurut Hawthorn ([1970:42] dalam Lucas, 1990:69) bahwa dalam semua
masyarakat kesadaran akan pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar belakang
daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan atau penghasilan. Pendidikan yang kuat
pengaruhnya terhadap variabel-variabel pengaruh lainnya seperti sikap terhadap besarnya
keluarga ideal dan nilai anak.
Menurut Hull dan Hull ([1977] dalam Lucas, 1990:69) bahwa wanita yang tidak
berpendidikan dan berpendidikan tingkat menengah mempunyai rata-rata anak lebih sedikit
daripada yang berpendidikan sekolah dasar. Norma yang menunjukkan bahwa dari golongan
status ekonomi yang lebih rendah mempunyai fertilitas yang relatif lebih tinggi, hampir dapat
dikatakan sebagai suatu hukum sosial ekonomi ([Wrong, 1977:81] dalam Lucas, 1990:68).

E.3. Perspektif Teori Dramaturgi


Erving Goffman, lahir di Alberta, Canada pada 11 Juni 1922. Mendapat gelar S1 dari Univ.
Toronto menerima gelar doctor dari Univ. Chicago. Beliau wafat pada tahun 1982 ketika sedang
mengalami kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjadi professor dijurusan sosiologi
Univ. Calivornia Barkeley serta ketua liga Ivy Univ. Pennsylvania. Erving Goffman, dianggap
sebagai pemikir utama terakhir Chicago asli (Travers, 1922: Tselon, 1992); Fine dan Manning
(2000) memandangnya sebagai sosiolog Amerika paling berpengaruh di abad 20. Antara 1950-an
dan 1970-an Goofman menerbitkan sederetan buku dan esai yang melahirkan analisis dragmatis
sebagai cabang interaksionisme simbolik. Walau Goffman mengalihkan perhatiannya di tahun-
tahun berikutnya, ia tetap paling terkenal karena teoridramtugisnya.
Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman
menyatakan perilaku manusia sangat bergantung pada waktu, tempat, dan khalayaknya. Teori ini
berasumsi bahwa ketika manusia berinteraksi dengan orang lain, ia ingin mengelola kesan yang
ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya. Untuk itu, mereka melakukan pertunjukkan
bagi orang lain. Berkenaan dengan itu, Goffman menyebut dunia ini sebagai sebuah panggung

10
sandiwara, tempat orang-orang bermain teater.
Goffman kemudian membagi arena dalam kehidupan ini menjadi dua bagian utama yaitu
panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung depan adalah
tempat pertunjukkan dilaksanakan, di mana ada aktor dan khalayak.
Banyak pihak mengkritik teori dramaturgi Goffman karena menganggap dramaturgi selalu
memandang negatif perilaku manusia sebagai sesuatu yang memiliki tujuan dibaliknya. Di luar
kritik tersebut, teori ini memang sangat dibutuhkan untuk menganalisis perilaku komunikasi
manusia, terutama berkaitan dengan pengelolaan kesan yang saat ini dilakukan oleh banyak
pihak.
Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung
belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi
pertunjukan. Front stage dibagi menjadi 2 bagian, Setting yaitu pemandangan fisik yang harus
ada jika sang actor memainkan perannya. Dan Front Personal yaitu berbagai macam
perlengkapan sebagai pembahasa perasaan dari sang actor. Front personal masih terbagi menjadi
dua bagian, yaitu Penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status
social actor. Dan Gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan actor dalam
situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang dimana disitulah berjalan scenario
pertunjukan oleh “tim” (masyarakat rahasia yang mengatur pementasan masing-masing aktor)
Dalam interaksi, terkadang orang menampilkan kondisi ideal (positif) didepan umum dan
menyembunyikan keburukan (negatif) dengan alasan:
1. Aktor ingin mengubur kebiasaan buruk masa lalu yg bertentangan dg prestasi masa kini.
2. Aktor ingin menyembunyikan kesalahan yg telah dilakukan dan menyiapkan tindakan
untuk memperbaiki kesalahannya tersebut.
3. Aktor mmberikan gambaran hasil akhir yang baik dan menyembunyikan proses yang
terlibat dan menghasilkannya.
4. Aktor merasa perlu menyembunyikan keterlibatan “tindakan kotor” dalam upaya
menghasilkan pertunjukan.
5. Aktor mungkin menyelipkan standar lain dalam melakukan sesuatu.
6. Aktor mungkin menyembunyikan penghinaan atasnya atau setuju dihina asalkan
kegiatannya dapat terus berjalan. Aktor juga terkadang melakukan mistifikasi dg membuat
jarak antara diri mereka dg penonton utk menjaga kredibilitasnya

Menurut Erving Goffman, susunan interaksi terdiri dari beberapa bagian, diantaranya; seni
pengelolaan kesan, jarak peran (role distance), stigma, dan frame analisis.

E.3.1. Seni pengelolaan kesan


• Melakukan tindakan yang dapat menciptakan loyalitas dramaturgis agar penonton
tidak mengetahui pribadi aktor.
• Melakukan disiplin dramaturgis menjaga kesadaran, pengendalian diri, pengaturan
ekspresi muka dan suara.
• Melakukan kehati-hatian dramaturgis dg melakukan skenario pertunjukan terlebih
dahulu sebelum pementasan.
Pengelolaan kesan ini dilakukan dengan metode serta teknik-teknik yang paling disukai oleh
seorang aktor atau pelaku sosial

E.3.2. Role distance (jarak peran)

11
Role distance Adalah jarak peran dari seseorang dalam lingkungan sosialnya. Goffman
memberikan gambaran bahwa orang yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding orang lain, maka
ia akan lebih sering menunjukkan atau membangun jarak sosialnya dengan orang lain yang
memiliki status sosial lebih rendah darinya. Orang yang berstatus lebih rendah akan cenderung
lebih bertahan dalam menunjukkan jarak peran yang dimiliki atau terjadi di lingkungan sosialnya.

E.3.3. Stigma
Definisi baku (rigid) atas peran atau tindakan seseorang Goffman memberikan garis
pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan seseorang (identitas sosial virtual) dengan apa
yang sebenarnya dilakukan seseorang (identitas sosial aktual) Ini menyebabkan terjadinya
discreditable stigma yang perbedaannya tidak dirasakan oleh penonton.

E.3.4. Frame Analysis


Goffman bergeser dari cara pandang interaksionisme simbolik menuju studi struktur
kehidupan sosial berskala kecil. Ia melakukan kajian atas sekian banyak struktur yang tidak
terlihat dalam masyarakat yang membangun kejadian atau tindakan manusia yg bermakna.
Kerangka (frame) adalah prinsip organisasi yg memberi definisi atas pengalaman kita. Frame
memberikan asumsi mengenai apa yang sedang kita lihat dalam kehidupan sosial.

F. Metode Penelitian
F.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu sebuah pendekatan
yang dirasa relevan untuk meneliti fenomena yang terjadi di masyarakat, yang menempatkan
pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subyektif dan selalu berusaha memahami
pemaknaan individu (subjective meaning) dari subyek yang ditelitinya.

F.2 Lokasi Penelitian


Studi perkawinan belia ini akan dilakukan di desa Tegaldowo kecamatan Gunem
Kabupaten Rembang. Tegaldowo menjadi lokasi terpilih karena ada beberapa alasan;
− berdasarkan laporan dari Kantor Urusan Agama rembang, desa Tegaldowo masyarakatnya
kerap melangsungkan perkawinan belia
− berdasarkan laporan dari Kantor Urusan Agama kabupaten Rembang, desa Tegaldowo
masyarakatnya terdapat janda dalam usia belia
− dalam akan melaksanakan studi perkawinan belia, penulis memiliki ruang gerak yang
terjangkau karena tempat kerja penulis dengan lokasi studi terpilih dengan jarak tempuh
dan transportasi relatif terjangkau
Dengan demikian penelitian ini akan menggunakan sebagian besar dari informan. Informan
adalah orang-orang yang diharapkan mengetahui tentang hal-hal yang menjadi fokus penelitian
(Dyson, 1997:5).

F.4. Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data


Penelitian ini akan Untuk itu dalam pengumpulan datanya digunakan tiga cara yaitu
wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan (observasi), dan penelusuran data tertulis
(dokumenter) dan dokumentasi. Konsep observasi yang dimaksud yaitu pengamatan yang
bertujuan melihat perilaku nyata atau faktual dan keadaan lingkungan serta benda-benda fisik
(Dyson, 1997:4). Selanjutnya konsep pengamatan yang dimaksud yaitu Pengamatan merupakan

12
suatu metode yang pertama-tama digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah, yang pada
mulanya diarahkan kepada usaha untuk memperoleh sebanyak mungkin pengetahuan mengenai
lingkungan alam manusia (Bachtiar, 1994:109-110). Berikutnya adalah konsep wawancara yang
dimaksud yaitu suatu teknik wawancara menurut Lincoln dan Gulba, dimaksudkan untuk
mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan,
kepedulian dan lain-lain (Moleong, 1993:135).

F.5. Keabsahan Data


Keabsahan data pada penelitian ini di gunakan teknik triangulasi, menurut Moleong
(2004:178), teknik triangulasi digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data dengan cara
memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data. Teknik triangulasi yang digunakan terdiri dari lima tahap.
Tahap pertama, membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara dari
informan. Tahap kedua, membandingkan apa yang dikatakan informan pendukung. Tahap ketiga,
membandingkan apa yang dikatakan oleh informan saat penelitian. Tahap keempat,
membandingkan keadaan dan perspektif informan dengan konsep-konsep atau kerangka teoritis
dari para ahli. Tahap kelima, membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
terkait.

F.6. Metode Analisis Data


Data tentang perkawinan belia akan dianalisis dengan teori Dramaturgi Erving Goffman.

F.7. Instrumen Penelitian


Terlampir

H. Daftar Pustaka
Bachtiar, H.W. 1994 "Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian” dalam Metode Penelitian
Masyarakat, Koentjaraningrat (ed). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Boedirochminarni. 2001. Faktor-faktor yang Berhubungan Terhadap Perkawinan Wanita Muda
Usia di Pedesaan (Studi: Desa Sumberejo, kecamatan Pagak, kabupaten Malang ). Dept.
Of Economic and Development Studies. Universitas Muhamadiyah Malang.
Caldwell, J.C. 2000. "Fertility (fertilitas)" dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Adam Kuper dan
Jessica Kuper (ed.). Jakarta: RajaGrafindo Persada
Dyson, L. 1997. Metodelogi Penelitian Etnografi & Penelitian Antropologi bagi Guru-guru
seGerbangkertosusilo. Surabaya: Fisip dan LPKM Universitas Airlangga
Erving Goffman, 1959. The presentation of Self in everiday life.
Hauck, P. 1995. Psikologi Populer, Membina Perkawinan Bahagia. Jakarta: Arcan
Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni.
Hasibuan, Muhammad Rajab . 2010. Penetapan Umur Dalam Rangka Mencapai Tujuan
Pernikahan (Perbandingan Antara UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan UU No.
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak). Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Hidayati, Widi. 2007. Analisis Beberapa Faktor Yang Berhubungan Dengan Perkawinan Wanita
Usia Muda (Komparasi Hasil Dengan Studi Meta Analisis). Undergraduate thesis,
Diponegoro University.
Lucas, D. 1990.. "Fertilitas" dalam Pengantar Kependudukan, David Lucas [et. al]. Yogyakarta:
Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada dan Gadjah Mada
13
University Press. Hlm. 53-78.
McDonald, P. 1990. "Perkawinan dan Nupsialitas" dalam Pengantar Kependudukan, David
Lucas [et. al]. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah
Mada dan Gadjah Mada University Press. Hlm. 79-93.
Moeleong, L.J. 1993. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nazaruddin, Pepen. 1998. Makna Kawin Muda dan Perceraian Upaya Memahami Masalah Sosial
dan Perspektif Penyandang Masalah: Studi di Kecamatan Kandanghaur Kabupaten DT II
Indramayu Propinsi Jawa Barat. UNSPECIFIED thesis, UNSPECIFIED.
Pamungkas, Ani dkk. 2006. Perkawinan Usia Muda: Jumlah Anak dan Fertilitas. Di ajukan
Sebagai Laporan Akhir Kuliah Lapangan Antropologi Kependudukan di Kawasan
Nelayan Kalisari, Kelurahan Mulyosari, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Jurusan
Antropologi . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Airlangga.
Puspitasari , Fitra. 2006. Perkawinan Usia Muda: Faktor-faktor Pendorong dan Dampaknya
terhadap Pola Asuh Keluarga (Studi Kasus di Desa Mandalagiri Kecamatan Leuwisari
Kabupaten Tasikmalaya). Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan
Universitas Negeri Semarang. Skripsi.
Purnarni. 1992. perkawinan usia muda dan kaintannya dengan kematian balita.
Sarwono, Solita dan Santo Koesoebjono. 2004. Paradoks Program KB. Jumlah anak turun, lansia
bertambah (Family planning paradox: fewer children, more elderly). Suara Pembaruan 12
November, d a l a m http://home.planet.nl/~koeso002/articles/ Paradoks%20KB.htm
Singarimbun, M. 1980. Faktor-Faktor Sosial dan Kebudayaan yang Mempengaruhi Fertilitas dan
Mortalitas. Seri Kertas Kerja No. 17. Cetakan kedua. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan
Studi Kependudukan Universitas Gajah Mada.
Singarimbun, M. 1986. Perubahan Perilaku Fertilitas di Sriharjo. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Wahyudi, Hamzan. 2004. Tradisi Kawin Cerai Pada Masyarakat Adat Suku Sasak Lombok Serta
Akibat Hukum Yang Ditimbulkannya (Studi Di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten
Lornbok Timur). Masters Thesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Yuliana, 2006. Perbedaan Beberapa Masalah Yang Timbul Antara Wanita Yang Kawin Muda
Dengan Wanita yang Kawin di Usia Ideal. Fakultas Kesehatan Masyarakat. UNAIR.
Mudanya kawin Telah Dituliskan Maret 21, 2007 Dalam http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2006/022006/05/hikmah/utama01.htm
Ikatan Dokter Anak: Hentikan Kebiasaan Kawin Muda. Dalam http://stat.k.kidsklik.com/.
Diunduh pada tanggal 03 Januari 2011
Harian Umum Pikiran Rakyat; 21 Maret 2007; 01
Harian Umum Kompas; Sabtu, 31 Juli 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Tegaldowo,_Gunem,_Rembang
http://bersamasuara.blogspot.com/2009/11/belenggu-tradisi-pernikahan-dini.html
http://stat.k.kidsklik.com

14

Anda mungkin juga menyukai