Anda di halaman 1dari 44

“LAPORAN PJBL”

HARGA DIRI RENDAH (HDR)


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Blok Mental Health Nursing

Disusun oleh:
KELOMPOK 2

Arum Sekarini Cahyaningtias (155070200111015)

REGULER 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
MARET 2018
A. DEFINISI
 Harga diri rendah adalah penilaian subyektif individu terhadap
dirinya, perasaan sadar atau tidak sadar dan persepsi terhadap fungsi,
peran, dan tubuh (Kusumawati, 2010)
 Keliat B.A mendefinisikan harga diri rendah merupakan penilaian
tentang pecapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
sesuai dengan idela diri. Perasaan tidak berharga, tidak berarti, dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negative terhadap diri
sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
 Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) orang dengan harga diri
rendah akan berfikir buruk tentang diri sendiri, tidak memiliki tujuan
hidup yang jelas, cenderung pesimis akan masa depannya, mengingat
masa lalu mereka lenih negative, dan berubang dalam suasana hati
negative mereka dan lebih rentan terhadap depresi ketika mereka
menghadapi stress.
 Harga diri rendah adalah situasi yang terkadang memiliki kaitan
dengan adanya kecemasan social, La Greca dalam Fitria (2013)
menyatakan jika seseorang yang memiliki harga diri rendah akan
memiliki perasaan takut gagal ketika terlibat dalam hubungan social.

B. JENIS/MACAM
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak orang dan
diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai berat. Umumnya
disertai dengan evaluasi diri yang negative, membenci diri sendiri, dan menolak
diri sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah dapat terjadi secara (Makhripah
D & Iskandar, 2012) :
1. Situasional
Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya jika seseorang yang akan
dilakukan operasi, adanya kecelakaan, diceraikan suami, putus sekolah,
atau putusnya hubungan kerja. Pada pasien yang dirawat dapat terjadi
harga diri rendah karena privasi yang kurang diperhatikan. Seperti
pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat medis yang tidak
sopan, harapan akan fungsi struktur, bentuk, dan fungsi tubuh yang tidak
tercapai akibat dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak
menghargai.
2. Kronik
Yaitu perasaan negative terhadap diri sendiri yang telah berlangsung lama,
yaitu sebelum sakit/dirawat, karena dalam hal ini pasien telah memiliki
cara berfikir yang negative. Kejadian saat individu tersebut sakit/dirawat
akan menambah persepsi negative terhadap dirinya. Kondisi ini akan
mengakibatkan respon yang maladaptive. Kondisi ini akan dapat
ditemukan pada pasien yang memiliki gangguan fisik yang kronis atau
pada pasien dengan gangguan jiwa.

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala harga diri rendah menurut Carpenito (2003) antara lain :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan
terhadap penyakit
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3. Merendahkan martabat
4. Adanya gangguan pada hubungan social (menarik diri, tidak ingin bertemu
orang lain, lebih suka sendirian)
5. Kurang percaya diri
6. Sukar mengambil keputusan
7. Mencederai diri
8. Tidak ada kontak mata
9. Sering menduduk
10. Tidak atau jarang melakukan kegiatan sehari-hari
11. Kurang memperhatikan perawatan diri
12. Berpakaian tidak rapi
13. Selera makan berkurang
14. Bicara dengan lambat dan bernada lemah
D. FASE
Adapun rentang respon gangguan konsep diri : harga diri rendah transisi antara
respon konsep diri adaptif dan maladaptive. Data perilaku subyektif dan obyektif.
Perilaku yang berhubungan dengan harga diri yang rendah (Stuart dan Sudeen,
1995) dalam Muhammad Suhron (2017). Berikut rentang respon gangguan jiwa
konsep diri :
1. Perilaku yang adaptif :
 Syok psikologis : merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan
dan dapat terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan
sebagai reaksi terhadap ansietas. Mekanisme koping yang digunakan adalah
seperti mengingkari, menolak, dan proyeksi untuk mempertahankan diri.
 Menarik diri : klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari
kenyataan, tetapi karena tidak mungkin maka klien lari atau menghindar
secara emosional. Klien menjadi tergantung, pasif, tidak ada motivasi, dan
keinginan untuk berperan dalam perawatannya.
 Penerimaan atau pengakuan secara bertahap : setelah klien sadar akan
kenyataan, maka respon kehilangan atau berduka muncul. Setelah fase ini
klien mulai melakukan integrase dengan gambaran diri yang baru.
2. Perilaku yang maladaptive :
 Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
 Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh
 Mengurangi kontak social sehingga terjadi penarikan diri
 Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh
 Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang
 Mengungkapkan keputusasaan
 Mengungkapkan ketakutan ditolak
 Depersonalisasi
 Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh

E. PSIKOPATOLOGI/PROSES TERJADINYA MASALAH


Factor presdisposisi atau yang mencentuskan adanya masalah harga diri rendah
pada seseorang antara lain adanya penolakan dari orang tua, harapan orang tua
yang tidak realistis, kegagalan yang terjadi secara berulang kali, kurang adanya
rasa tanggung jawab personal, bergantung pada orang lain, dan ideal diri yang
tidak realistis. Sedangkan factor presipitasi dari yang dapat menimbulkan masalah
harga diri rendah adalah adanya trauma seperti kekerasan seksual, kekerasan
psikologis, atau menyaksikan kejadian yang mengancam kehidupan dan
ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dimana
individu mengalami frustasi.
Pada awalnya seseorang akan berfikir/merasa bahwa dirinya tidak lagi berharga
sehingga akan menimbulkan rasa ketidakamanan ketika harus berhubungan
dengan orang lain. Biasanya individu tersebut berasal dari lingkungan yang tidak
mendukung/penuh dengan permasalahan, ketegangan, kecemasan yang mana
keadaan-keadaan tersebut tidak memberikan kesemapatan untuk memberikan
kehangatan emosional dalam hubungan yang positif dan rasa aman dengan orang
lain. Seseorang tersebut semakin lama akan semakin menarik dirinya dari situasi
yang baru. Ia berusaha sebisa mungkin mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu
sendiri begitu menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman tersebut tidak
bisa tercapai. Dari keadaan tersebut, akan mengembangkan rasionalisasi dan
mengaburkan realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan
diri dengan kenyataan. Semakin seseorang menghindar dari kenyataan, semakin
mempersulit ia untuk berhubungan diri dengan orang lain serta semakin membuat
merasa bahwa dirinya tidak lagi penting dan mempersepsikan diri dengan
pandangan negative.

F. PEMERIKSAAN DAN PENGKAJIAN


 Pemeriksaan
Harga diri dapat diukur dengan berbagai macam pengukuran menurut Robinson,
Shaver & Wrightsman (1991) yakni :
1. The Self-Esteem Scale (oleh Rosenberg tahun 1965)
Alat ini mengukur keberhargaan diri dan penerimaan diri individu secara
global. Alat ukur ini terdiri dari 10 item dengan menggunakan skala likert.
Instrument pengukuran self-esteem ini memiliki nilai koefisien reliabilitas
Alpha Cronbach sebesar 0.8054.
2. The Feeling Of Inadequacy Scale (oleh Janis & Field tahun 1959)
Alat ukur ini mengukur kesadaran diri, ketakutan sosial, dan perasaan
kekurangan yang ada pada diri individu. Alat ukur ini terdiri dari 32 item
dengan menggunakan skala likert.
3. Self-esteem Inventory (oleh Coopersmith tahun 1967)
Alat ukur ini mengukur harga diri secara global dari 4 domain yang ada :
 Domain harga diri akademis, mengukur rasa kepercayaan diri,
kemampuan dalam belajar, dan kepatuhan individu dalam kegiatan
di sekolah.
 Domain harga diri keluarga, mengukur seberapa besar kedekatan
anak dengan orang tua, dukungan orang tua kepada anak, dan
penerimaan orang tua terhadap anak.
 Domain harga diri sosial, mengukur kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain.
 Domain harga diri teman sebaya, mengukur penilaian individu
terhadap teman sebaya yang berada di lingkungannya. Alat ukur ini
terdiri atas 58 butir dengan pilihan jawaban iya dan tidak,
kebanyakan butir dapat disesuaikan dan digunakan dalam segala
usia.
4. Social Self-esteem (oleh Ziller, Hagey, Smith & Long tahun 1969)
Alat ukur ini mengukur kondisi harga diri ketika berada di bawah tekanan
dan berhubungan dengan hubungan sosial individu.

 Pengkajian
1. Identitas
2. Alasan masuk rumah sakit
3. Factor presdisposisi
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat kesehatan terdahulu
6. Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital
 BB/TB
 Gangguan fisik lain
 Psikososial
a. Konsep diri
 Gambaran diri, biasanya klien sering menyendiri, jarang
berinteraksi, menjawab pertanyaan dengan singkat.
 Peran, apa peran klien dalam lingkungannya saat itu dan apakah
ia sudah bisa menjalankan perannya dengan baik
 Ideal diri, klien akan nampak banyak menyendiri, berdiam diri,
kurang komunikasi, dan jarang berinterkasi dengan orang lain
 Harga diri, nampak sikap klien yang acuh akan lingkungannya,
berpakaian tidak rapi, afek datar, tidak memperdulikan
lingkungan sekitarnya
b. Hubungan sosial
Gali siapa saja yang berarti dalam hidup klien, apa peran serta
klien dalam masyarakat sebelum mengalami gangguan, apa yang
menghambat klien berhubungan dengan orang lain.
c. Spiritual
 Nilai dan keyakinan, bagaimana klien memandang keyakinan
dan agamanya.
 Kegiatan ibadah, bagaimana aktifitas ibadah klien sebelum dan
sesudah adanya gangguan.
 Status mental
a. Penampilan, biasanya klien akan berpakaian tidak rapi.
b. Pembicaraan, klien akan banyak diam, tidak mampu memulai
pembicaraan, menjawab dengan nadda pelan
c. Aktifitas motoric, jarang yang mengalami gangguan motorik
d. Afek dan emosi, biasanya afek tidak ada/datar
e. Interaksi selama wawancara, kontak mata antara pemeriksa dan
klien biasanya kurang
f. Persepsi, apakah klien mengalami halusinasi pendengaran,
penglihatan, perabaan, pengecapan, dan pembauan.
g. Proses pikir, lihat ada atau tidaknya gangguan proses pikir pada
klien selama wawancara/pengkajian.
h. Isi pikir, identifikasi isi pikir dari klien.
i. Tingkat kesadaran, kaji GCS dan tingkat kesadaran kualitatif dari
klien selama pengkajian.
j. Memori, kaji memori sekarang, jangka panjang, dan jangka
pendek klien.
k. Tingkat kosentrasi dan berhitung, bisanya klien tidak ada
gangguan dalam proses berhitung tetapi tak jarang terdapat
gangguan pada tingkat konsentrasinya.
l. Kemampuan penilaian, kaji apakah klien bisa menilai suatu hal
dari yang sederhana
m. Daya tilik diri, kaji apakah klien terus menolak kenyataan
sekarang atau klien tahu, sadar, dan menerima kenyataan pada saat
itu.
 Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan klien memahami/menyediakan makanan
b. Perawatan diri sehari-hari
c. Kemampuan klien
d. Pasien memiliki factor pendukung
 Terapi pengobatan
7. Pohon masalah
Perubahan persepsi sesori : halusinasi audiptorik

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

Koping individu tidak efekstif


8. Masalah keperawatan dan analisa data
9. Rencana Keperawatan
10. Menyusun SP (Strategi Pelaksanaan) dan SK (strategi Komunikasi)
G. DAFTAR PUSTAKA
Taylor, S.E., Peplau, L.A., & Sears, D.O. 2009. Social Psychology. 12th Ed.
London: Pearson Prentice Hall.
Fitria, I., Brouwer, R. J., Khan, S.U.R., Almigo, N. 2013. Does Self-esteem
Contribute Any Effect To Social Anxiety Among International
University Students. Malaysian Journal Of Research. Vo. 01 No. 1 Hal
: 10-19.
Iskanda, M.D. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Suhron, Muhammad. 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa Konsep Self Esteem.
Jakarta: Mitra Wacana Media. Hal : 7, Hal : 39-40.
“LAPORAN PJBL”
CITRA TUBUH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Blok Mental Health Nursing

Disusun oleh:
KELOMPOK 2

Arum Sekarini Cahyaningtias (155070200111015)

REGULER 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
MARET 2018
A. DEFINISI
 Menurut Honigman dan Castle (2007) citra tubuh adalah gambaran
mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana
seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian atas apa yang
dipikirkan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas
penilaian orang lain terhadap dirinya.
 Citra tubuh juga dapat diasumsikan sebagai proses maupun hasil, dan
citra tubuh seseorang mempengaruhi fungsi fisik dan psikologisnya
(Larsen & Lubkin, 2009)
 Dewi (2010) dalam Devina Triana & Dian Ratna (2015) juga
menambahkan bahwa citra tubuh adalah salah satu aspek dari konsep
diri yang merupakan kesadaran individu akan tubuhnya sendiri,
merupakan refleksi tubuh individu dan pengalaman individu dengan
tubuhnya sendiri.

B. JENIS/MACAM
Foland (2009) mengemukakan bahwa citra tubuh terbagi dalam 5 dimensi :
1. Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan)
Perasaan daya Tarik fisik seseorang mengenai menarik atau tidaknya
penampilan seseorang tersebut, serta memuaskan atau tidak memuaskan.
Penilaian dengan hasil tinggi sebagian besar positif dan merasa puas
terhadap penampilan mereka. Sedangkan penilaian hasil rendah memiliki
rasa ketidakbahagiaan dengan penampilan mereka.
Penilaian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui bagaimana dirinya,
mengenai kesesuaian diri terhadap apa yang sedang dialami individu baik
secara pribadi maupun berada di lingkungan masyarakat.
2. Appearance Orientation (Orientasi Penampilan)
Yaitu tingkat investasi dalam penampilan seseorang, hasil penilaian tinggi
berada pada peran lebih penting bagaimana mereka terlihat,
memperhatikan penampilan mereka, dan terlibat dalam perilaku perawatan
ekstensif. Hasil penilaian rendah tampak tidak sangat penting dan mereka
tidak menghabiskan banyak usaha untuk menjadi terlihat baik. Oerientasi
penampilan perlu dilakukan untuk memperbaiki citra tubuh individu,
karena orientasi tinggi merupakan usaha untuk mencapai citra tubuh yang
baik dan dapat membuat individu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
3. Body Areas Satisfaction (Kepuasan Terhadap Bagian Tubuh)
Hampir serupa dengan evaluasi penampilan, hasil penilaian tinggi pada
umumnya merasa puas dengan sebagian besar tubuh mereka. Hasil
penilaian rendah berarti memiliki ketidakpuasan dengan ukuran atau
penampilan diri mereka sendiri.
4. Overweight Preocupation (Kecemasan Menjadi Gemuk)
Hal ini merupakan kewaspadaan individu akan berat badannya, melakukan
diet ketat, dan membatasi pola makan. Individu akan memiliki kecemasan
terhadap bentuk tubuhnya yang bisa menjadi gemuk. Kewaspadaan ini
memberikan dampak terhadap peningkatan perhatian terhadap penampilan
diri individu.
5. Self-Clasified Weight (Persepsi terhadap Ukuran Tubuh)
Merupakan persepsi dan penilaian individu terhadap berat badannya, mulai
dari kekurangan berat badan sampai kelebihan berat badan. Penilaian ini
terjadi pada individu itu sendiri terhadap bagaiana keadaan dirinya sendiri
dan juga bagaimana keadaan dirinya dimata orang lain. Pandangan
individu terhadap proporsi tubuhnya sangat berpengaruh terhadap
kenyamanan dalam hidup bersosialisasi dihadapan masyarakat.

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Dalami (2009) tanda dan gejala gangguan citra tubuh adalah sebagai
berikut :
1. Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah
2. Tidak menerima perubahan yang telah terjadi/akan terjadi
3. Menolak penjelasan perubahan tubuh
4. Persepsi negative pada tubuh
5. Preokupasi dengan bagian tubuh yang hilang
6. Mengungkapkan keputusasaan
7. Mengungkapkan ketakutan

D. FASE

E. PSIKOPATOLOGI/PROSES TERJADINYA MASALAH


Gagguan citra tubuh biasanya melibatkan distorsi dan persepsi negatf akan
penampilan fisik mereka, adanya perasaan malu yang hebat, kesadaran diri dan
ketidaknyamanan sosial sering mengiringi adanya penafsiran ini. Pada akhirnya
reaksi negative ini dapat megganggu proses rehabilitasi dan berkontribusi untuk
meningkatkan isolasi sosial. Individu yang mempunyai gangguan bentuk tubuh
bisa tersembunyi atau tidak kelihatan atau dapat juga meliputi suatu bagian tubuh
yang berubah secara signifikan dalam bentuk struktur yang disebabkan oleh rasa
trauma atau penyakit.

F. PEMERIKSAAN DAN PENGKAJIAN


 Pemeriksaan
Ada beberapa jenis alat ukur untuk pengukuran citra tubuh, diantaranya :
1. BISS (The Body Image States Scale)
2. BIQ (The Body-Image Ideals Questionnaire)
3. SIBID (The Situational Inventory of Body-Image Dysphoria)
4. BIDQ (The Body Image Disturbance Questionnaire)
5. BIQLI (The Body Image Quality of Life Inventory)
6. ASI-R (The Appearance Schemas Inventory-Revised)
7. BICSI (The Body Image Coping Strategies Inventory)
8. MBSRQ-AS (The Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-
Appearance Scale)
Pada umumnya pengukuran citra tubuh menggunakan skala pengukuran
MBSRQ-AS, karena alat ukur ini dianggap lebih mudah dipahami dan bisa
digunakan untuk kelompok beresiko maupun remaja pada umumnya.
Dalam skala ini aka nada 5 dimensi yang akan diukur :
 Appearance Evaluastion (Evaluasi Penampilan), yang diukur akan
berhubungan dengan evaluasi penampilan dan keseluruhan tubuh.
Apakah menarik atau tidak, apakah memuaskan atau tidak.
 Appearance Orientation (Oerientasi Penampilan), tingkat perhatian
individu terhadap penampilannya sendiri dan usa untuk memperbaiki
dan meningkatkan penampilan diri adalah hal yang akan diukur dalam
dimensi ini.
 Body Area Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), akan
mengukur mengenai tingkat kepuasan individu terhadap bagian tubuh
secara spesifik seperti wajah, rambu, bagian tubuh bawah, bagian
tubuh tengah, bagian tubuh atas, dan penampilan secara keseluruhan.
 Overweight Preocupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), mengukur
kecemasan dan kewaspadaan individu terhadap berat badannya,
kecenderungan melakukan diet untuk membatasi berat badan dan
membatasi pola makan.
 Self-Classified Weight (Pengkategorian Ukuran Tubuh), mengukur
bagaimana individu mempersepsikan dan menilai berat badannya atau
ukuran tubuhnya. Apakah sangat kurus ataukah sangat gemuk.
9. BESAQ (The Body Exposure during Sexual Activity Questionnare)

 Pengkajian
1. Identitas
2. Alasan masuk rumah sakit
3. Factor presdisposisi
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat kesehatan terdahulu
6. Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital
 BB/TB
 Gangguan fisik lain
 Psikososial
a. Konsep diri
 Gambaran diri, biasanya klien sering menyendiri, jarang
berinteraksi, menjawab pertanyaan dengan singkat.
 Peran, apa peran klien dalam lingkungannya saat itu dan apakah
ia sudah bisa menjalankan perannya dengan baik
 Ideal diri, klien akan nampak banyak menyendiri, berdiam diri,
kurang komunikasi, dan jarang berinterkasi dengan orang lain
 Harga diri, nampak sikap klien yang acuh akan lingkungannya,
berpakaian tidak rapi, afek datar, tidak memperdulikan
lingkungan sekitarnya
b. Hubungan sosial
Gali siapa saja yang berarti dalam hidup klien, apa peran serta
klien dalam masyarakat sebelum mengalami gangguan, apa yang
menghambat klien berhubungan dengan orang lain.
c. Spiritual
 Nilai dan keyakinan, bagaimana klien memandang keyakinan
dan agamanya.
 Kegiatan ibadah, bagaimana aktifitas ibadah klien sebelum dan
sesudah adanya gangguan.
 Status mental
a. Penampilan, biasanya klien akan berpakaian tidak rapi.
b. Pembicaraan, klien akan banyak diam, tidak mampu memulai
pembicaraan, menjawab dengan nadda pelan
c. Aktifitas motoric, jarang yang mengalami gangguan motoric
d. Afek dan emosi, biasanya afek tidak ada/datar
e. Interaksi selama wawancara, kontak mata antara pemeriksa dan
klien biasanya kurang
f. Persepsi, apakah klien mengalami halusinasi pendengaran,
penglihatan, perabaan, pengecapan, dan pembauan.
g. Proses pikir, lihat ada atau tidaknya gangguan proses pikir pada
klien selama wawancara/pengkajian.
h. Isi pikir, identifikasi isi pikir dari klien.
i. Tingkat kesadaran, kaji GCS dan tingkat kesadaran kualitatif dari
klien selama pengkajian.
j. Memori, kaji memori sekarang, jangka panjang, dan jangka
pendek klien.
k. Tingkat kosentrasi dan berhitung, bisanya klien tidak ada
gangguan dalam proses berhitung tetapi tak jarang terdapat
gangguan pada tingkat konsentrasinya.
l. Kemampuan penilaian, kaji apakah klien bisa menilai suatu hal
dari yang sederhana
m. Daya tilik diri, kaji apakah klien terus menolak kenyataan
sekarang atau klien tahu, sadar, dan menerima kenyataan pada
saat itu.
 Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan klien memahami/menyediakan makanan
b. Perawatan diri sehari-hari
c. Kemampuan klien
d. Pasien memiliki factor pendukung
 Terapi pengobatan
7. Pohon masalah
Isolasi sosial

harga diri rendah

Gangguang citra tubuh

ansietas

Koping individu tidak efekstif

8. Masalah keperawatan dan analisa data


9. Rencana Keperawatan
10. Menyusun SP (Strategi Pelaksanaan) dan SK (strategi Komunikasi)
G. DAFTAR PUSTAKA
Devi, T.P.S., Dian, R.S. 2015. Hubungan Antara Citra Tubuh Dengan
Pengungkapan Diri Pada Remaja Awal Kelas VII. Jurnal Empati, April 2015 Vol.
4(2). Semaranag: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Hal : 15
“LAPORAN PJBL”
ISOLASI SOSIAL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Blok Mental Health Nursing

Disusun oleh:
KELOMPOK 2

Arum Sekarini Cahyaningtias (155070200111015)

REGULER 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
MARET 2018
A. DEFINISI
 Isolasi sosial adalah kemunduran fungsi sosial yang dialami seseornag
atau suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu sama sekali atau
mengalami penurunan dalam berinterkasi dengan orang lain
disekitarnya dimana pasien tersebut akan mengalami perilaku tidak
Jmenghindari orang lain (Yosep & Sutini 2014 dalam Eyvin, dkk
2016)
 Isolasi sosial adalah suatu pengalaman menyendiri dari seseorang dan
perasaan segan terhadap orang lain sebagai sesuatu yang negaif atau
keadaan yang mengancam (NANDA, 2005 dalam Sri Nyumirah,
2013)
 Isolasi sosial adalah pengalaman menyendiri dan perasaan segan
seseorang terhadap orang lain dimana dapat disebabkan karena
seseorang tersebut menilai dirinya rendah, sehingga muncul perasaan
malu/segan ketika akan berinteraksi dengan orang lain. Dimana jika
tidak diberikan tindakan keperawatan yang berkelanjutan akan dapat
menyebabkan perubahan persepsi sensori dan beresiko untuk
menciderai diri sendiri, orang lain, bahkan lingkungan sekitarnya
(Fitria, 2009 dalam Retty Octi Syafrini, dkk, 2015)

B. JENIS/MACAM

C. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala pasien dengan isolasi sosial menurut Dermawan D dan Rusdi
(2013) adalah sebagai berikut :
a. Gejala subyektif
1. Klien menceritakan perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
3. Respon verbal kurang atau singkat
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
7. Klien merasa tidak berguna
8. Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
9. Klien merasa ditolak
b. Gejala obyektif
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara
2. Tidak mengikuti kegiatan
3. Banyak berdiam diri di kamar
4. Klien mnyendiri dan tidak mau berinterkasi dengan orang terdekat
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal
6. Kontak mata kurang
7. Kurang spontan
8. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
9. Ekspresi wajah kurang berseri
10. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
11. Mengisolasi diri
12. Tidak atau kutang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
13. Pemenuhan makan dan minum terganggu
14. Retensi urin dan feses
15. Akifitas menurun
16. Kurang energy
17. Rendah diri
18. Postur tubuh berubah

D. FASE
Menurut Stuart G.W (2007) isolasi sosial disebabkan oleh beberapa factor antara
lain :
a. Factor presdisposisi
1. Factor tumbuh kembang, dimana tugas perkembangan pada fase
tumbuh kembang tidka terselesaikan
2. Factor komunikasi dalam keluarga
3. Factor sosial budaya, isolasi sosial yang disebabkan oleh norma-norma
yang salah dianut keluarga
4. Factor biologias

b. Factor presipitasi
1. Factor eksternal : stressor sosial budaya
2. Factor internal : stressor psikologis
Dapat pula tergolong dalam respon adaptif dan maladaptive
a. Berikut sikap yang tergolong respon adaptif :
1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial
3. Bekerja keras, kemampuan individu untuk saling membutuhkan
4. Interdependen, saling ketergantungan antar individu dengan orang lain
dalan menjalin hubungan interpersonal
b. Beikut sikap yang tergolong respon maladaptive :
1. Menarik diri, individu akan sulit membangun hubungan secara terbuka
dengan orang lain
2. Ketergantungan, individu gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga bergantung pada orang lain
3. Manipulasi, akan mengganggu orang lain sebagai objek individu
sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara mendalam
4. Curiga, seseorang telah gagal mengembangkan rasa percaya pada
orang lain.

E. PSIKOPATOLOGI/PROSES TERJADINYA MASALAH


Individu yang mengalami isolasi sosial sering kali beranggapan bahwa
sumber/penyebab isolasi sosial tersebut berasal dari lingkungannya. Padahalnya
rangsangan primer adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik terhadap
kejadian traumatic sehubungan rasa bersalah, marah, sepi, dan takut dengan orang
yang dicintai, tidak dapat dikatakan segala sesuatu yang dapat mengancam harga
diri dan kebutuhan keluarga dapat meningkatkan kecemasan. Untuk dapat
mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan ansietas diperlukan suatu
mekanisme koping yang adekuat. Sumber-sumber koping meliput ekonomi,
kemampuan menyelesaikan masalah, teknik pertahanan, dukungan sosial, dan
motivasi. Sumber koping dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang
berhasil. Semua orang meskipun memiliki gangguan pada perilakunya akan tetap
memiliki kelebihan personal. Dukungan sosial dan peningkatan respon
psikofisiologis yang adaptif, motifasi berasal dari dukungan keluarga ataupun
individu sendiri sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan diri pada
individu untuk bisa berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Stuart & Sudeen,
1998)

F. PEMERIKSAAN DAN PENGKAJIAN


 Pemeriksaan
1. MMPI (Minnesolla Multiphasic Personality Inventpry)
Suatu bentuk pengujian yang dilakukan psikiater dan psikolog dalam
menentukan kepribadian seseorang yang terdiri dari 556 pertanyaan benar
atau salah.
2. EEG (Elektroensedalografik)
Suatu pemeriksaan dalam psikiatri untuk membantu membedakan antara
etiologi fungsional dan organic dalam kelainan mental.
3. Tes laboratorium
Tes kromosom darah untuk mengetahui apakah gangguan disebabkan oleh
genetic.
4. Rontgen Kepala
Rontgen kepala untuk mengetahui apakah gangguan jiwa disebabkan oleh
kelainan struktur anatomi tubuh.
 Pengkajian
1. Identitas
Beberapa informasi dalam identitas dapat menjadi factor untuk terjadinya
isolasi sosial
2. Alasan masuk rumah sakit
Alasan yang paling umum bisanya kontak mata kurang, sering terlihat
duduk sendiri sambil menunduk, menjawab pertanyaan singkat,
menghindari orang lain, kemunikasi yang kurang atau bahkan tidak ada,
menolak interaksi dengan orang lain, dan tidak melakukan kegiatan sehari-
hari.
3. Faktor presdisposisi
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat kesehatan terdahulu
6. Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital
 BB/TB, cenderung berat badan menurun
 Gangguan fisik lain, biasanya mengalami gangguan pola makan dan
tidur yang mengakibatkan penurunan BB. Biasanya klien tidak
memperdulikan kersihan dirinya.
 Psikososial
e. Konsep diri
 Citra tubuh, menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang
berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi
atau yang akan terjadi. Menolak menjelaskan perubahan tubuh,
persepsi negative tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian
tubuh yang hilang, mengungkapkan keputusasaan, dan
mengungkapkan ketakutan.
 Identitas diri, ketidakpasitian memandang diri, sukar
menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan
 Peran, adakah peran dan fungsinya berubah atau terhenti karena
adanya gangguan
 Ideal diri, mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya,
mengungkapkan keinginan yang terlalu tinggi
 Harga diri, perasaan alu terhadap diri sendiri, rasa bersalah,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, dan kurang
percaya diri.
f. Hubungan sosial
Klien akan mengalami gangguan pada hubungan sosial dengan
orang lain seperti tidak merasa memiliki teman dekat, tidak pernah
melakukan kegiatan kelompok/masyarakat dan mengalami
hambatan dalam pergaulan
g. Spiritual
 Nilai dan keyakinan, bagaimana klien memandang keyakinan
dan agamanya.
 Kegiatan ibadah, bagaimana aktifitas ibadah klien sebelum dan
sesudah adanya gangguan.
 Status mental
a. Penampilan, biasanya klien akan berpakaian tidak rapi tetapi
penggunaan pakaian sesuai dengan keadaan serta klien tidak
mengetahui kapan dan dimana harus mandi.
b. Pembicaraan, klien akan banyak diam, tidak mampu memulai
pembicaraan, jika diajak bicara yang dibicarakan tidak jelas, dan
terkadang menolak untuk diajak bicara.
c. Aktifitas motoric, klien tampak lesu, tidak bergairan saat
beraktifitas, kadang gelisah dan monar-mandir
d. Afek dan emosi, biasanya datar
e. Interaksi selama wawancara, kontak mata antara pemeriksa dan
klien biasanya kurang dan terkadang menolak untuk bicara dengan
orang lain.
f. Persepsi, biasanya klien mengalami halusinasi pendengaran, klien
biasanya mendengar suara-suara yang cenderung mengancam
sehingga klien sering menyendiri dan melamun
g. Proses pikir, lihat ada atau tidaknya gangguan proses pikir pada
klien selama wawancara/pengkajian. Biasanya tiba-tiba blocking
serta inkoherensi dalam proses pikir.
h. Isi pikir, biasanya klien akan mengalai waham terutama waham
curiga.
i. Tingkat kesadaran, kaji GCS dan tingkat kesadaran kualitatif dari
klien selama pengkajian.
j. Memori, kaji memori sekarang, jangka panjang, dan jangka pendek
klien.
k. Tingkat kosentrasi dan berhitung, bisanya klien tidak ada gangguan
dalam proses berhitung dan tingkat konsentrasi
l. Kemampuan penilaian, kaji apakah klien bisa menilai suatu hal dari
yang sederhana.
m. Daya tilik diri, kaji apakah klien terus menolak kenyataan sekarang
atau klien tahu, sadar, dan menerima kenyataan pada saat itu.
 Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan klien memahami/menyediakan makanan
b. Perawatan diri sehari-hari
c. Kemampuan klien
d. Pasien memiliki factor pendukung
 Terapi pengobatan

11. Pohon masalah


Resiko Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

Mekanisme koping individu tidak efekstif

12. Masalah keperawatan dan analisa data


Masalah keperawatan :
1. Isolasi sosial
2. Harga diri rendah kronik
3. Resiko gangguan persepsi sensori : halusinasi
13. Rencana Keperawatan
14. Menyusun SP (Strategi Pelaksanaan) dan SK (strategi Komunikasi)
G. DAFTAR PUSTAKA
Berhimpong, Eyvin, dkk. 2016. Pengaruh Latihan Keterampilan Sosialisasi
Terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial Di RSJ Prof.
Dr. V. L. Ratumbuysang Manado. E-Journal Keperawatan (EKP) Vol.
4 No. 1. Manado: Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Nyumirah, Sri. 2013. Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial (Kognitif, Afektif,
dan Perilaku) Melalaui Penerapan Terapi Perilaku Kognitif Di RSJ
Amino Gondhoutomo Semarang. Jurnal Keperawatan Jiwa Vol. 1, No.
2, November 2013. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Syafrini, Retty Octi, dkk. 2015. Efektifitas Implementasi Asuhan Keperawatan
Isolasi Sosial Dalam MPKP Jiwa Terhadap Kemampuan Klien. Jurnal
Ners Vol. 10, No. 1, April 2015. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
“LAPORAN PJBL”
PERILAKU KEKERASAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Blok Mental Health Nursing

Disusun oleh:
KELOMPOK 2

Arum Sekarini Cahyaningtias (155070200111015)

REGULER 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
MARET 2018
A. DEFINISI
 Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku agresi atau
kekerasan yang ditunjukkan secara verbal, fisik, atau keduanya yang
ditunjukkan secara verbal, fisik, atau keduanya kepada suatu objek,
orang, atau diri sendiri yang mengarah pada potensial untuk destruktif
atau seara aktif menyebabkan kesakitan, bahaya, dan penderitaan
(Djatmiko, 2008; Bernstein & Saladino, 2007 dalam Dyah
Wahyuningsih, dkk, 2011)
 Perlaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana sesorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
(Stuart & Sudeen, 2006 dalam Sulistyowati & Prihantini, 2015)

B. JENIS/MACAM
Tingkat kekerasan menurut Jeffrey, dkk (2006) :
1. Ringan
Merupakan perilaku kekerasan yang diperlihatkan pasien dengan
gangguan jiwa hanya sebatas intimidasi terhadap orang-orang
disekitarnya. Pasien belum melakukan verbal tetapi sudah menunjukkan
kekerasan emosional. Bentuknya merupakan emosional verbal seperti
mata melotot, melihat dengan ataja, atau mengepalkan tangan.
2. Menengah
Merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan pasien tetapu tidak
mengakibatkan cedera yang berarti. Pasien dengan gangguan jiwa sudah
menyerang dengan intensitas yang rendah, misalnya memukul tapi dengan
jenis pukulan yang tidak terlalu keras.
3. Berat, merupakan perilaku kekerasan yang benar-benar dilakukan pasien
dengan gangguan jiwa dengan intesitas yang berat. Biasnaya akan
mengakibatkan codera yang serius pada orang yang diserangnya.
C. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala yang ditemui pada pasien melalui observasi atau wawancara
tentang perilaku kekerasan menurut Keliat (2009) adalah :
1. Wajah merah dan tegang
2. Mengepalkan tangan
3. Jalan mondar-mandir
4. Mengancam secara verbal ataupun fisik
5. Melempar atau memukul benda/orang lain
6. Merusak barang
7. Tidak memiliki kemampuan mencegah/mengendalikan eprilaku kekerasan
yang dapat menimbulkan resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungannya
Sedangkan tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Erick dan Sally (2009)
adalah :
1. Adanya sikap membenci baik yang diekspresikan dalam kata-kata atau
tidak
2. Marah
3. Terlibat dalam pertengkaran
4. Mengutuk, mencaci, memaki, menertawakan, dan menuduh secara jahat
5. Perbuatan berkelahi dalam rangka mempertahankan diri atau
mempertahankan objek yang dicinta
6. Membalas dendam terhadap penghinaan
7. Membalas kepada orang yang melakukan penyerangan
8. Anti sosial
9. Perbuatan menyerang
10. Melukai
11. Berkelahi tanpa alasan
12. Membalas secara brutal dengan pengrusakan yang berlebihan
13. Menantang petugas medis
14. Dan perilaku kekerasan secara seksual
D. FASE
Perilaku atau respon kemarahan dapat berfluktuatif dalam rentang adaptif sampai
maladaptive. Rentang respon marah menurut Stuart (2006), dimana amuk
(perilaku kekerasan) dan agresif berada pada rentang maladaptive.
1. Asestif, ungkapan rasa tidak setuju atau kemarahan yang dinyatakan atau
diungkapkan tanpa menyakiti orang lain sehingga akan memberikan
kelegaan dan tidak menimbulkan masalah.
2. Frustasi, respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang tidak
realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan.
3. Pasif, merupakan kelanjutan dari frustasi, dalam keadaan ini individu tidak
menemukan alternative ;ain penyelesaian masalah sehingga terlihat pasif
dan tidak mampu mnegungkapkan perasaannya.
4. Agresif, perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak destruktif tapi masih terkontrol. Perilaku yang tampak berupa
muka masam, bicara kasar dan menuntut.
5. Amuk (perilaku kekerasan), perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
disertai kehilangan kontrol diri, sehingga individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitarnya.

E. PSIKOPATOLOGI/PROSES TERJADINYA MASALAH


Stress, cemas, dan marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3
cara yaitu : secara verbal, menekan, dan menantang. Kemarahan diawali oleh
adanya stressor yang berasa dari internal atau eksternal. Stressor internal seperti
penyakit, hormonal, dendam, dan kesal. Sedangkan stressor eksternal bisa berasal
dari ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggususran,
bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau
gangguan pemaknaan dari individu pada setiap kejadian yang menyedihkan atau
menjengkelkan menjadi hal terpenting.
F. PEMERIKSAAN DAN PENGKAJIAN
 Pemeriksaan
1. CT- Scan
Untuk melihat adanya kelainan atau abnormalitas pada otak
2. MRI
Untuk memberikan gambaran otak 3D dan dapat memperlihatkan
gambaran yang kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus temporal
3. PET (Positron Eission Tomography)
Untuk mengukur aktifitas metabolic dari area spesifik otak dan dapat
menyatakan aktifitas metabolic yang rendah terutama dari prefrontal dari
korteks
4. RCBF (Regional Cerebral Blood Flow)
Memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas aktivitas pada daerah
orang yang bervariasi
5. BEAM (Brain Electrical Activity Mapping)
Menunjukkan respon gelombang otak terhadap rangsangan yang bervariasi
disertai dengan respon yang terhambat dan menurun
6. ASI (Addiction Severity Index)
Untuk mengetahui masalah ketergantungan yang mungkin dapat dikaitkan
dengan penyakit mental
7. EEG
Menunjukkan adanya perluasan kerusakan organic pada otak.

 Pengkajian
1. Identitas
2. Alasan masuk rumah sakit
Biasanya klien masuk akibat aanya perilaku/amarah yang tidak apat
dikontrol sehingga mengancam baik orang diskeitarnya dan lingkungan di
dekatnya.
3. Faktor presdisposisi
Adakah gangguang kejiwaan sebelumnya, apakah pengobatan yang
dijalani sebelumnya berhasil, adakah trauma
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Riwayat kesehatan terdahulu
6. Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital
 BB/TB
 Gangguan fisik lain, biasanya tidak ditemukan adanya gangguan fisik
lainnya
 Psikososial
a. Konsep diri
 Citra tubuh, menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang
berubah atau tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi
atau yang akan terjadi. Menolak menjelaskan perubahan tubuh,
persepsi negative tentang tubuh. Preokupasi dengan bagian
tubuh yang hilang, mengungkapkan keputusasaan, dan
mengungkapkan ketakutan.
 Identitas diri, ketidakpasitian memandang diri, sukar
menetapkan keinginan dan tidak mampu mengambil keputusan
 Peran, adakah peran dan fungsinya berubah atau terhenti karena
adanya gangguan.
 Ideal diri, mengungkapkan keputusasaan karena penyakitnya,
mengungkapkan keinginan diri.
 Harga diri, perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah,
gangguan hubungan sosial.
b. Hubungan sosial
Biasanya tidak terdapat hambata atau gangguan hubungan sosial
antara klien dengan orang lain.
c. Spiritual
 Nilai dan keyakinan, bagaimana klien memandang keyakinan
dan agamanya.
 Kegiatan ibadah, bagaimana aktifitas ibadah klien sebelum dan
sesudah adanya gangguan.
 Status mental
a. Penampilan, biasanya klien akan berpakaian rapid an
berpenampilan sesuai
b. Pembicaraan, klien akan cenderung inkoherensi, lambat, dan tidak
bisa memulai pembicaraan
c. Aktifitas motoric, klien tampak lesu tapi akan berespon baik jika
diajak mengobrol
d. Afek dan emosi, datar hingga mengeksresikan kemarahan
e. Interaksi selama wawancara, kontak mata antara pemeriksa dan
klien biasanya kurang dan terkadang menolak untuk bicara
dengan orang lain.
f. Persepsi, biasanya klien tidak mengalami halusinasi
g. Proses pikir, lihat ada atau tidaknya gangguan proses pikir pada
klien selama wawancara/pengkajian. Biasanya tiba-tiba blocking
serta inkoherensi dalam proses pikir.
h. Isi pikir
i. Tingkat kesadaran, kaji GCS dan tingkat kesadaran kualitatif dari
klien selama pengkajian.
j. Memori, kaji memori sekarang, jangka panjang, dan jangka
pendek klien.
k. Tingkat kosentrasi dan berhitung, bisanya klien tidak ada
gangguan dalam proses berhitung dan tingkat konsentrasi
l. Kemampuan penilaian, kaji apakah klien bisa menilai suatu hal
dari yang sederhana.
m. Daya tilik diri, kaji apakah klien terus menolak kenyataan
sekarang atau klien tahu, sadar, dan menerima kenyataan pada
saat itu.
 Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan klien memahami/menyediakan makanan
b. Perawatan diri sehari-hari
c. Kemampuan klien
d. Pasien memiliki factor pendukung
 Terapi pengobatan

7. Pohon masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Perilaku Kekerasan : Amuk

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


Mekanisme koping individu tidak efekstif

8. Masalah keperawatan dan analisa data


Masalah keperawatan :
1. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan

9. Rencana Keperawatan
10. Menyusun SP (Strategi Pelaksanaan) dan SK (strategi Komunikasi)
G. DAFTAR PUSTAKA
Wahyuningsih, Dyah, dkk. 2011. Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Klien
Skizofrenia Dengan Assertiveness Training (AT). Jurnal Keperawatan
Indonesia, Vil. 14, No. 1, Maret 2011. Depok: Fakultas Ilmu
Keperawatan Unversitas Indonesia.
Sulistyowati, Dwi Ariani., Prihantini, E. 2015. Pengaruh Terapi Psikoreligi
Terhadap Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan,
Vol. 4, No. 1, Mei 2015. Surakarta: Jurusan Keperawatan
Kementerian Kesehatan Politeknik Kesehatan.
“LAPORAN PJBL”
HALUSINASI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Blok Mental Health Nursing

Disusun oleh:
KELOMPOK 2

Arum Sekarini Cahyaningtias (155070200111015)

REGULER 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
MARET 2018
A. DEFINISI
 Halusinasi adalah suatu bentuk persepsi atau pengalaman indera yang
tidak terdapat stimulus terhadap responnya. Jika halusinasi tidak apat
ditangani dengan baik maka dapat menimbulkan resiko terhadap
keamanan diri pasien, orang lain, dan lingkungannya (Dunn &
Birchwood, 2009 dalam Wahyuni, Sri Eka, dkk, 2011)

B. JENIS/MACAM
1. Halusinasi pendengaran : mendengar suara, sering mendengar suara
orang membicarakan dirinya, suara-suara tersebut bisanya familiar.
Halusinasi ini paling sering dialami.
2. Halusinasi penglihatan : melihat bayangan yang sebenarnya tidak
ada
3. Halusinasi penciuman : mencium bau-bauan di tempat tersebut
padahal tidak ada bau. Tipe ini sering ditemukan pada klien dengan
gangguan cerebrovaskuler
4. Halusinasi sentuhan : perasaan nyeri, nikmat/tidak nyaman
padahal tidak ada rangsangan
5. Halusinasi pengecapan : termasuk rasa yang tidak hilang pada
mulut, perasaan adanya rasa makanan dan berbagai zat lainnya yang
dirasakan oleh indra pengecap klien.

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Townsend (2005) tanda dan gejala pada klien halusinasi adalah :
1. Menarik diri
2. Duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu titik tertentu
3. Tersenyum, tertawa, atau berbicara sendiri
4. Gelisah
5. Melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu
6. Bingung
7. Mendengar, melihat, merasakan stimulus yang tidak nyata
8. Menggerak-gerakkan bibir
9. Melakukan aktifitas yang tidak normal
10. Perilaku mengisolasi diri
11. Berbicara dengan mengatakan “mereka”
12. Berbicara danya halusinasi
13. Ketakutan
14. Kecemasan
15. Tidak dapat mana yang nyata dan tidak
16. Tidak dapat berkonsentrasi
17. Pembicaraan kacau kadang tidak masuk akal
18. Sikap curiga dan perasaan bermusuhan
19. Sulit membuat keputusan
20. Tidak mampu melakukan ADL
21. Sering menyalahkan diri sendiri atau orang lain
22. Wajah marah kadang pucat
23. TD dan nadi kadang meningkat
24. Nafas terengah-engah
25. Banyak keringat

D. FASE
1. Fase I
Yaitu fase awal seseorang sebelum munculnya halusinasi. Klien mrasa
banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang
lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah semakin terasa sulit karena
berbagai stressor terakumulasi. Klien menganggap lamunan-lamunan awal
tersebut sebagai pemecah masalah
2. Fase II
Yaitu halusinasi secara umumnya terima sebagai sesuatu yang alami,
pasien mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya rasa cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutakan, dan mencoba memutuskan
pikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggap pengalam pikiran dan
sensorinya bisa ia kontrol bila kecemasan diatur. Dalam tahap ini ada
kecenderungan klien merasa nyaman dengan halusinasinya.
3. Fase III
Yaitu secara umum halusinasi sering mendatangi klien. Pengalaman
sensori klien sering datang dan mengalami bias. Klien merasa tidak
mampu mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya
dengan objek yang dipersepsikan klien. Mulai menarik diri dari
lingkungan dengan intensitas waktu yang lama.
4. Fase IV
Yaitu fungsi sensori menjadi tidak relevan dengan kenyataan, klien
mencoba melawan sensori abnormal yang datang. Klien dapat merasa
kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan
psikotik.
5. Fase V
Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya. Pengalaman
sensorinya terganggu, klien merasa terancam dengan datangnya suara-
suara terutama bila klien tidak dapat menuruti ancaman atau perintah yang
ia dengan dari halusinasi. Dapat berlangsung minimal 4 jam per hari. Bila
klien tidak mendapat komunikasi teraupetik akan menimbulkan gangguan
psikotik berat.

E. PSIKOPATOLOGI/PROSES TERJADINYA MASALAH


Proses terjadinya halusinasi belum diketahui secara pasti, banyak teori yang
menekankan terhadap pentingnya factor-faktor psikologik, fisiologik, dan lainnya.
Bila input (stimulus) yang masuk ke otak lemash atau tidak ada sama sekali, maka
materi-materi yang ada dalam unconsicious/precounscious bisa dilepaskan dalam
bentuk halusinasi. Adapula yang berpendapat lain, yang menyebutkan bahwa
halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang depressi ke unconsicious dank
arena beberapa factor (retaknya kepribadian, rusaknya daya menilai realita) maka
keinginan tadi diproyeksikan dalam bentuk stimulus eksternal.

F. PEMERIKSAAN DAN PENGKAJIAN


 Pemeriksaan
 Pengkajian
1. Identitas
2. Alasan masuk rumah sakit
Umumnya karena keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu
adanya perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah
sehingga klien dibawa ke RS untuk mendapatkan perawatan.
3. Faktor presdisposisi
 Kaji factor perkembangan yang terlambat
 Factor komunikasi dalam keluarga yang kurang baik
 Factor sosial budaya, seperti adanya tuntutan lingkungan yang terlalu
tinggi
 Factor psikologis, seperti mudah kecewa, cemas yang tinggi, menutup
diri, ideal diri tinggi.
 Factor biologis, adanya kejadian pada fisik
 Factor genetic
4. Factor presipitasi
5. Validasi informasi mengenai halusinasi yang diperlukan, meliputi :
 Isi halusinasi
 Waktu dan frekuensi
 Situasi pencetus halusinasi
 Respon klien
6. Riwayat kesehatan keluarga
7. Riwayat kesehatan terdahulu
8. Pemeriksaan fisik
 Tanda-tanda vital
 BB/TB
 Gangguan fisik lain, biasanya tidak ditemukan adanya gangguan fisik
lainnya
 Psikososial
a. Konsep diri
 Citra tubuh
 Identitas diri
 Peran
 Ideal diri.
 Harga diri
b. Hubungan sosial
c. Spiritual
 Nilai dan keyakinan, bagaimana klien memandang keyakinan
dan agamanya.
 Kegiatan ibadah, bagaimana aktifitas ibadah klien sebelum dan
sesudah adanya gangguan.
 Status mental
a. Penampilan, biasanya klien berpenampilan tidak rapid an tidak
serasi
b. Pembicaraan, klien bisa saja terorganisir atau berbelit-belit
c. Aktifitas motoric, klien aktifitas motoriknya bisa menurun dan
meningkat
d. Afek dan emosi, sesuai atau maladaptive seperti tumpul, datar,
labil, dan ambivalen
e. Interaksi selama wawancara, kontak mata antara pemeriksa dan
klien biasanya kurang dan bisa jadi selama wawancara klien akan
lebih focus pada halusinasinya
f. Persepsi, tidak mampu menginterpretasikan stimulus yang ada
sesuai dengan informasi
g. Proses pikir, proses informasi yang diterima tidak berfungsi
dengan baik sehingga dapat mempengruhi proses pikir
h. Isi pikir, berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistik
i. Tingkat kesadaran, kaji GCS dan tingkat kesadaran kualitatif dari
klien selama pengkajian.
j. Memori, kaji memori sekarang, jangka panjang, dan jangka
pendek klien.
k. Tingkat kosentrasi dan berhitung
l. Kemampuan penilaian, kaji apakah klien bisa menilai suatu hal
dari yang sederhana.
m. Daya tilik diri, kaji apakah klien terus menolak kenyataan
sekarang atau klien tahu, sadar, dan menerima kenyataan pada
saat itu.
 Kebutuhan persiapan pulang
a. Kemampuan klien memahami/menyediakan makanan
b. Perawatan diri sehari-hari
c. Kemampuan klien
d. Pasien memiliki factor pendukung
 Terapi pengobatan
9. Pohon masalah
Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Gangguan sensori/persepsi : halusinasi

Isolasi sosial

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

Mekanisme koping individu tidak efekstif

10. Masalah keperawatan dan analisa data


Masalah keperawatan :
1. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
2. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
3. Isolasi sosial : menarik diri
4. Inoleransi aktifitas
5. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
6. Deficit perawatan diri
11. Rencana Keperawatan
12. Menyusun SP (Strategi Pelaksanaan) dan SK (strategi Komunikasi)
G. DAFTAR PUSTAKA
Wahyuni, Sri Eka, dkk. 2011. Penurunan Halusinasi Pada Klien Jiwa Melalui
Cognitive Behaviour Theraphy. Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol.
14, No. 3, November 2011. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai