Anda di halaman 1dari 16

TUGAS AKHIR

(Perbaikan)
Etnopedagogi di Gorontalo
(Suatu Upaya Mengimplementasikan Praktek Pendidikan
“Kearifan Lokal” di Sekolah)

MATA KULIAH     :  Teori dan Konstruk Ilmu Pendidikan


PRODI/SEM            :  S3 ILMU PENDIDIKAN/ II
PENYUSUN              :  FAIZAL FATAH SN.TULI,
DOSEN MK              :  Dr. Arwildayanto, M.Pd
                                                    

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


PROGRAM STUDI S3 ILMU PENDIDIKA
Etnopedagogi Di Gorontalo
(Suatu Upaya Mengimplementasikan
Praktek Pendidikan “Kearifan Lokal” di Sekolah)
I.    Pendahuluan
             Fenomena munculnya istilah etnopedagogi  kiranya setara dengan munculnya varian dari
istilah yang melekatkan kata pedagogi, misalnya ecopedagogy,
etnofilosofis, etnopsikologi, etnomusikologi, etnopolitik dan sebagainya (Alwasilah dalam Tatang
Suratno, 2010: 519).  Oleh Tatang Suratno (2010: 516) istilah etnopedagogi dapat dipandang
sebagai suatu pesan terkait dengan istilah budaya-karakter (aspek  etno, dan pendidikan-
keguruan (aspek pedagogi)
.Menurut Alwasilah dalam Priadi Surya ( 2011),  etnopedagogi merupakan praktik
pendidikan berbasis pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Etnopedagogi
memandang pengetahuan atau kearifan lokal (indigenous knowledge, local wisdom) sebagai
sumber inovasi dan ketrampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sejalan dengan pendapat yang tersebut, oleh Rustaman dalam Albaiti (2015: 15), dikemukakan
etnopedagogi merupakan praktik pendidikan berbasis kearifan lokal dan bersumber dari nilai –
nilai kultural suatu etnis dan menjadi standar perilaku.
Pembicaraan tentang kearifan lokal akhir – akhir ini mendapatkan perhatian terutama
dalam mendukung kemajuan bangsa. Berbagai analisis yang menyakinkan bahwa kearifan lokal
memiliki kontribusi dalam menentukan kemajuan suatu bangsa.
Menurut Djailani Haluty ( 2014: 213), menggali kearifan lokal merupakan upaya strategis
dalam membangun karakter bangsa di era global.  Banyak negara yang berhasil mencapai
kemajuan dengan kearifan lokal yang dimilikinya. Contohnya Jepang mencapai kemajuannya
dengan berkat keberhasilannya dalam menginternalisasikan semangat Bushido  yang digali dari
semangat nenek moyangnya (samurai). Korea Selatan menjadi bangsa yang diakui di kawasan
Asia, bahkan dunia berkat keberhasilannya menggali nilai – nilai luhur yang tercermin dalam
semangat semaul undong. Demikian juga Cina dengan semangat confusianisme, dan Jerman
dengan prostestan ethicsnya.
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ratusan suku memiliki berbagai kearifan lokal
(local wisdom) atau nilai – nilai luhur kebudayaan. Hal ini disebabkan karena Indonesia
merupakan negara yang terdiri dari berbagai pulau dan ribuan pulau kecil serta didukung oleh
faktor ragam suku, ras, agama dan budaya. Kebudayaan lokal Indonesia yang sangat beraneka
ragam menjadi suatu kebanggaan sekaligus tantangan untuk mempertahankan dan mewariskan
kepada generasi selanjutnya.    
            Tantangan tersebut adalah kuatnya arus globalisasi, yang telah menghilangkan batas –
batas budaya setiap bangsa. Di era globalisasi, kondisi bangsa Indonesia mengalami krisis
kebudayaan. Krisis kebudayaan tersebut ditandai dengan terjadinya pergeseran budaya dari
kebudayaan lokal ke kebudayaan luar.
            Fenomena globalisasi telah mengkhawatirkan terutama bagi generasi muda bangsa.
Karena permasalahannya akan menyebabkan krisis multidimensional, yang berujung pada krisis
moral, dan krisis kepercayaan diri. Hal itu ditunjukkan dengan sikap generasi bangsa yang malu
dan enggan menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Akibatnya krisis ini, lambat laun
Indonesia akan mengalami “miss cultural” atau “kepunahan budaya”.
            Untuk itu dalam mengangkat kembali nilai – nilai kearifan lokal sebagai sumber inovasi
dalam bidang pendidikan, diperlukan cara dan upaya dalam melakukan pemberdayaan melalui
adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterprestasi nilai – nilai kearifan lokal, dan
revitalisasinya. Selain itu, diperlukan kerjasama yang kuat antara pemerintah daerah, perguruan
tinggi dan budayawan dalam mengembangkan konsep – konsep akademik dan uji coba model –
model praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam pembelajaran.
            Dalam persfektif pendidikan dikatakan bahwa pendidikan merupakan  transformatif
sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain dalam suatu proses masyarakat.
Tilaar (2009: 56 ) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan “proses  pembudayaan”.
            Dalam konteks lembaga pendidikan di Gorontalo, bahwa sekolah memiliki tanggung
jawab besar dalam mewariskan kearifan lokal atau kebudayaan. Dan itu sangat didukung
Gorontalo sebagai daerah di Nusantara yang masyarakatnya terkenal akan kaya khazanah nilai –
nilai moral, budaya dan kearifan lokal.
II.      Pembahasan
A.     Kearifan Lokal Gorontalo
1.      Pengertian Kearifan Lokal
            Kearifan lokal pertama kali diperkenalkan oleh Quaritch Wales tahun 1948 -1849.
Kearifan lokal dipandang sebagai kemampuan dari budaya tertentu dalam menjaga pengaruh
budaya asing ketika mereka saling berhubungan (Rosidi dalam Setiyadi, 2013: 294).   
             Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat
(local wisdom) dan pengetahuan setempat (local knowledge) atau juga kecerdasan setempat
(local genius). Kearifan lokal dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran yang
dimaksud adalah pemikiran yang dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal – hal
positif. Kearifan lokal dalam arti diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam,
tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia (Wagiran, 2012: 330)
             Naritoom dalam Wagiran (2012: 330) merumuskan local wisdom dengan definisi
sebagai berikut :
                 “Local wisdom is the knowledge that discovered or acquired by lokal people througs
the accumulation of experiences ini trials and integrated with the understanding of surrounding
nature and culture. Local wisdom is by function of created local wisdom and cooected to the
global situasion”
             Definisi kearifan lokal demikian, paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu (1)
kearifan lokal adalah sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan, sebagai petunjuk perilaku
seseorang, (2) kearifan lokal tidak lepas dar lingkungan pemiliknya, (3) kearifan lokal itu bersifat
dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan jamannya. Konsep demikian juga
sekaligus memberikan gambaran bahwa kearifan lokal selalu terkait dengan kehidupan manusia
dan lingkungannya. Kearifan lokal muncul sebagai penjaga atau filter terhadap iklim global yang
melanda kehidupan manusia (Djailani Haluty, 2014: 214)
             Dalam pengertian lain, sebagaimana dikemukakan oleh Greetz  (1973), kearifan lokal
adalah sebagai berikut :
“Local wisdom is part of culture. Local wisdom is tradisional culture element that deeply
rooted in human lofe and community that related with human resources, source of culture,
economi, security and laws, lokal wisdom can be viewed as a tradition that related with farming
activities, livestock, bulid house etc”
             Pengertian tersebut menjelaskan bahwa kearifan lokal bagian dari budaya. Kearifan lokal
adalah proses dan produk budaya manusia, dimamfaatkan untuk mempertahankan hidup. Lebih
lanjut dikemukakan beberapa karakteristik dari local wisdom, antara lain :
                 “(1) local wisdom appears to be simple, buat often is elaborate, comprehensive,
diverse; (2) It is adapted to local, cultural, and environmental condisions; (3) It is dynamic and
flexible; (4) It is tuned to needs of local people; (5) It coorespons with quality and quantity of
available resource; and (6) It copes weil with changes” (Greetz, 1973)
             Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipertegas bahwa kearifan lokal adalah budaya
konstektual. Dari sisi filosofisnya  kearifan lokal dapat dikelompokkan atas dua aspek, yaitu : (a)
bersifat abstrak, yaitu  gagasan, pemikiran, akal budi,  (b) bersifat konkrit, yaitu berupa benda –
benda artefak, yang menghiasi hidup manusia dan bermakna simbolik.
            Secara garis besar, kearifan lokal terdiri dari hal – hal yang tidak kasat mata
atau intangible dan hal – hal yang kasat mata atau tangible (Wagiran, 2012: 332). Dilihat dari
jenisnya menurut Sungri dalam Wagiran ( 2012: 332) kearifan lokal meliputi: pertanian,
kerajinan tangan, pengobatan herbal, pengelolaan sumber daya dan lingkungan, perdagangan,
seni budaya, bahasa daerah, philosofi, agama dan budaya serta makanan tradisional.
            Dalam lingkup budaya dimensi fisik dari kearifan lokal, meliputi  aspek : (1) upacara
adat, (2) cagar budaya, (3) pariwisata alam, (4) transportasi tradisonal, (5) permainan tradisional,
(6) prasarana budaya, (7) pakaian adat, (8) warisan budaya, (9) museum, (10) lembaga budaya,
(11) kesenian, (12) desa budaya, (13) kesenian dan kerajinan, (14) cerita rakyat, (15) dolanan
anak, (16) wayang. Sumber kearifan lokal yang lain dapat berupa lingkaran hidup yang meliputi
upacara penobatan kepala daerah, upacara kelahiran, sunatan, perkawinan dan kematian
(Wagiran, 2012: 332)
            Dengan demikian, berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal
merupakan budaya kontekstual, yang meliputi:  (1)  gagasan, pemikiran, pandangan hidup,
nilai,  (2) kebiasaan atau tradisi luhur dan (3)  benda – benda atau artefak. Dan selanjutnya
kearifan lokal selalu bersumber dari kehidupan manusia. Ketika hidup itu berubah, kearifan lokal
pun akan berubah pula. Kearifan lokal merupakan fenomena yang luas dan komprehensif.
Lingkup kajian kearifan lokal cukup banyak dan beragam sehingga tidak bisa dibatasi dalam
suatu ruang.
2.       Kearifan Lokal Gorontalo
             Gorontalo adalah salah satu suku tertua di Nusantara. Suku Gorontalo termasuk salah
satu daerah adat di Nusantara. Oleh karena, Gorontalo memiliki kearifan lokal yang luhur,
seperti peradaban lainnya (http://www.gorontalokota.go.id )
             Menurut Van Vollenhoven dalam Kadir Abdussamad (2000: 760)),  Gorontalo
merupakan salah satu daerah adat dari 9 daerah adat di Nusantara. Seperti daerah lain, Gorontalo
memiliki adat daerah yang agak berbeda dengan daerah – daerah lainnya. Masyarakat Gorontalo
memiliki latar budaya progresif yang kuat, hal ini terlihat pada banyaknya adat istiadat yang ada
dan tetap dipertahankan kelestariannya oleh masyarakat Gorontalo hingga sekarang.    
             Munculnya kearifan lokal (local genius) di Gorontalo terkait erat dengan
proses  akulturasi kebudayaan. Akulturasi kebudayaan ini diperoleh dari kemampuan manusia
membentuk, memamfaatkan, mengubah hal – hal yang paling sesuai dengan kebutuhannya (Nani
Tuloli, 2004: 75).
            Di Gorontalo, ada dua sistem nilai yang hidup dan dipelihara dan dipertahankan di
Gorontalo (Ibrahim Polontalo, 1993: 44). Kedua sistem nilai hidup yaitu  (1)  sistem nilai yang
diberikan oleh agama Islam. Perangkatnya nilai ini yang dipandang amat mulia oleh masyarakat.
Karena sistem nilai ajaran Islam diakui sebagai nilai paling asasi yang bersumber dari kebenaran
yang mutlak yaitu Allah swt, (2) sistem nilai  yang diberikan oleh adat. Sistem ini memberikan
ukuran dan ketentuan – ketentuan terhadap bagaimana manusia harus berbuat dan bertingkah
laku. Sistem nilai yang diberikan adat merupakan hasil pemikiran yang mendalam dari raja – raja
terdahulu. Tujuan sistem nilai adat ini berupaya membuat sistem yang bersifat keselarasan antara
manusia dengan manusia.
            Dari kedua sistem nilai ini telah melahirkan falsafah hidup dari masyarakat Gorontalo,
yaitu sebagai daerah yang memiliki filosofis hidup yang sangat terkenal yaitu : “adati hula
hula’a to syara’a, syara’a hula hulo’a to kuru’ani” atau “Adat bertumpu pada Syara, Syara
bertumpu pada Kitabullah”. (Zohra Yasin  dkk,  2013: 108).  Filosofis hidup ini telah melahirkan
Gorontalo sebagai daerah yang mendapat julukan kota  “Serambi Madinah”
                 Dalam pada itu, kearifan lokal Gorontalo terdapat pada 10 kebudayaan Gorontalo yang
meliputi; simbol daerah, arsitektur, rumah adat, falsafah hidup, bahasa daerah, kerajinan tangan,
senjata tradisional, pakaian adat, alat musik tradisional, tradisi dan tarian adat
(http://www.gorontalokota.go.id )
                 Simbol daerah, yaitu sebagaimana daerah lain Gorontalo memiliki tentang  pemaknaan
harkat dan martabat. Dan itu terdapat pada pemaknaan simbol hewan maupun tumbuhan.
Adapun simbol atau lambang khas daerah Gorontalo, yaitu  sayap burung Maleo, ukiran bambu
berkepala buaya dan pohon pinang.
             Arsitektur,  yaitu  desain rumah yang menjadi ciri khas suku Gorontalo. Dan itu
diidentifikasi dan ditemukan melalui dekorasi atap rumah maupun ukiran khas seperti daerah
lain. Baik itu pada bentuk atapnya, bentuk rumah panggung (bele), tiang pelaminan dan gapura
(alikusu). Kesemua desain tersebut memiliki makna karakter/lambang suku Gorontalo, yang
merupakan nilai budaya yang sangat tinggi dan luhur untuk dilestarikan.
            Rumah Adat,  yaitu Gorontalo sebagaimana dengan daerah lain memiliki rumah adat.
Rumah adat Gorontalo adalahi rumah adat Dulohupa dan rumah adat Bantayo Po Boide. Kedua
rumah adat tersebut merupakan tempat atau balai musyawarah untuk memprogramkan
pembangunan dan mengatasi masalah. Selain itu, tempat ini dahulu digunakan sebagai tempat
pelaksanaan pagelaran budaya khas Gorontalo.
                 Falsafah Hidup, Gorontalo sangat terkenal dengan falsafah hidup  adat bersendikan
syara’ syara bersendikan kitabullah atau dalam bahasa Gorontalo adalah “Aadati hula – hula to
Sara, Sara hula – hula to Kuru’ani.    Selain itu, Gorontalo memiliki falsafah hidup “Mohuyula
atau Huyula”, yang artinya bergotong royong. Kemudian dari itu terdapat falsafah lain yang
sangat terkenal  memiliki nilai filosofis yang sangat mendalam yaitu “Mopotiwawu Kalibi,
Kauli, wawu Fi’ili” yang artinya menyatukan hati, perkataan dan perbuatan. Kesemuanya ini
menjadi pilar penting dalam perjalanan sejarah peradaban luhur dari masa lalu Gorontalo.
            Bahasa Daerah, yaitu Gorontalo memiliki bahasa daerah seperti daerah lain. Gorontalo
memiliki 3 bahasa yaitu bahasa Gorontalo, bahasa Suwawa dan bahasa Atinggola. Dalam
perkembangan selanjutnya Bahasa Gorontalo menjadi bahasa yang lebih dominan digunakan di
seluruh wilayah Gorontalo.
                 Kerajinan Tangan, yaitu sebagaimana dengan daerah lain,  Gorontalo terkenal dengan
hasil kerajinan tangan. Kerajinan tangan tersebut yang sangat terkenal adalah “Upiya
Karanji” atau songkok Gorontalo dan “Sulaman Karawo”. Hasil kerajinan tangan ini telah
menjadikan masyarakat Gorontalo sebagai daerah yang memiliki ciri khas “sandang”. Demikian
juga,  hasil kerajinan tangan tersebut menunjukkan masyarakat Gorontalo memiliki kecerdasan
dan kreativitas yang tinggi.
            Gorontalo memiliki hasil budaya berupa senjata tradisional  (wamilo, bitu’
o, sabele dan travella), pakaian adat (bili’u, mukuta), alat musik tradisional (polopalo, gambusi),
tradisi (walima/dikili,  malam tumbilotohe, upacara perkawinan, kelahiran dan kematian) dan
tarian adat (tari dana –dana, tari saronde, tari langga, tari tulude, tari elengge, tari tanam padi,
tari sabe dan tari mopohuloo/modepito).
            Dalam persfektif ragam sastra Gorontalo sebagaimana yang disebutkan oleh Nani Tuloli
(2004: 76-78), ada beberapa ragam sastra Gorontalo memiliki kearifan lokal, antara lain :
1)     Ragam yang berhubungan dengan adat  diantaranya (1) Tujaqi yaitu puisi adat yang
ducapkan pada kegiatan peradatan perkawinan, penobatan, dan pemberian gelar,
(2) Palebohu dan Tahuda, yaitu puisi adat yang dipakai pada upacara pemberian nasehat,
(3) Tinelo,  yakni sejenis syair yang berisi hiburan kepada seorang tokoh yang mengalami
kedukaan, (4), Mala – Mala, yaitu puisi ini berbentuk seruan atau maklumat.
2)     Ragam yang berhubungan dengan pandangan hidup. Ragam ini misalnya, (1) Taleningo,
yakni puisi yang banyak mengungkapkan cara – cara hidup yang sesuai dengan norma dan
persiapan menuju akherat, (2) Leningo, yakni kata – kata arif dari orang tua atau leluhur
yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku.
3)     Ragam yang berhubungan dengan pergaulan muda – mudi. Ragam ini sama dengan
pantun dan syair, yaitu (1) Lahudi (diungkap sendiri), (2) Pangia la hungo lo poli (berbalas
– balasan).
4)     Ragam yang terkait dengan sejarah. Diantaranya (1) Tanggomo (peristiwa nyata,
(2) Wulio (sejarah yang berisi kepahlawanan)
5)     Ragam yang berasal dari luar budaya Gorontalo berupa buruda, syairi, dan barjanji,
terakhir mi’raji, yaitu cerita perjalanan Isra’ Mi’raj yang ditulis dalam aksara Arab Melayu
dan dibacakan secara bergantian pada setiap peringatan Isra Mi’raj Nabi Muhammad
SAW.
B.     Implementasi Model Pendidikan Kearifan Lokal di Sekolah
            Praktek pendidikan kearifan lokal di sekolah dimaksudkan untuk membangkitkan
kembali nilai – nilai kearifan lokal sebagai khazanah kekayaan daerah yang harus dilestarikan
dan diwujudkan dalam kehidupan sehari – hari. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki
posisi strategis dalam mengambil peran dalam mewariskan nilai – nilai kearifan lokal. Dengan
mewariskan nilai – nilai kearifan lokal akan menjadi kekuatan transformasional dalam meraih
kemajuan dan kejayaan bangsa.  Mewariskan nilai – nilai kearifan lokal merupakan upaya
strategis dalam membangun karakter bangsa.  Implementasi kearifan lokal dalam lingkup praktek
pendidikan di sekolah tidak terlepas dari kurikulumnya, pembelajaran, budaya sekolah,
kepemimpinan dan manajemen sekolah, dan hubungan yang sinergis dengan masyarakat
(Wagiran, 2011: 14)

1.      Kearifan Lokal Melalui Kurikulum


             Dalam Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
kurikulum diartikan sebagai “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”.
            Dalam konteks lokal, atau yang disebut dengan kurikulum lokal, merupakan bahan kajian
atau mata pelajaran seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran yang
ditetapkan oleh daerah atau lokal sesuai  dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing – masing
yang bersangkutan (Depdikbud, 1996.)
            Dalam peraturan Menteri Nomor 79 Tahun 2014  tentang Kurikulum 2013,  hal senada
disampaikan bahwa kurikulum lokal adalah bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan
pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan
lokal.  Mengimplementasikan kearifan lokal dalam kurikulum, pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu melalui kurikulum sebagai mata pelajaran dan kurikulum tidak sebagai
mata pelajaran, yaitu hidden curriculum. Kearifan lokal sebagai mata pelajaran  melalui  muatan
lokal wajib dan muatan lokal pilihan. Muatan lokal wajib, siswa harus  wajib  ikut  ketika belajar
pada sekolah tersebut, misalnya bahasa Gorontalo,  sedangkan  muatan lokal pilihan
disesuaikan  dengan potensi sekolah.
            Untuk kurikulum tidak sebagai mata pelajaran atau yang dikenal dengan hidden
curriculum merupakan kurikulumyang tidak direncanakan atau kurikulum tersembunyi.
Kurikulum ini diberikan karena anak didik selain mendapatkan pelajaran yang direncanakan, di
satu sisi juga peserta didik menerima pelajaran  yang tidak direncanakan. (Nasution, 1993:
11).  Kurikulum  ini berisi antara lain,  pesan – pesan moral, norma, atau nilai –nilai yang dapat
dintegrasikan.  Oleh Wagiran (2011: 15) kurikulum kearifan lokal dapat dirancang berdasarkan :
(1) bentuk kurikulum, dan (2) dimensi tugas dan materi.

a.      Bentuk Kurikulum
1)     Kurikulum Mandiri (Single Subject Matter)
            Kearifan lokal dilaksanakan dalam bentuk mata palajaran, dan mempunyai kurikulum
sesuai dan khas dari sekolah tersebut.  Penyelenggaraan kurikulum single subject kearifan lokal
dimaksudkan untuk  mengembangkan kemampuan kepekaan (rasa, pikiran, dan dan keteknikan)
siswa terhadap kemajuan ketrampilan yang sedang berkembang di masyarakat. Model
penyelenggaraan pendidikan kearifan lokal di sekolah dengan menggunakan model muatan lokal
wajib seperti bahasa (bahasa Gorontalo), dan dipadukan dengan muatan lokal pilihan seperti
makanan tradisional (binthe biluhuta, ilabulo, kue pia, kue kerawang dan sebagainya), pakaian
(pakaian adat, karawo Gorontalo), seni tradisional (langga, tari saronde, dan seterusnya),
tradisi  (Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan seterusnya) dan sebagainya.
            Menyusun kerangka pengembangan kurikulum muatan lokal sekolah dituntut secara
mandiri harus mengembangkan standar kompetensi/kompetensi inti (SK/KI), kompetensi dasar
(KD), dan indikator pencapaian kompetensi. Sekolah dan komite sekolah memiliki kewajiban
penuh dalam mengembangkan mata pelajaran muatan lokal. Pengembangan muatan lokal
meliputi latar belakang, tujuan, ruang lingkup, kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD) dan
arah pengembangan mata pelajaran.
2)         Kurikulum Terpadu (Integrated Subject)
            Kurikulum terpadu biasa disebut juga kurikulum terintegrasi. Kurikulum ini dapat
dilaksanakan secara terbuka dan formal atau secara sembunyi – sembunyi (hidden
curriculum).  Penyelengaraan terbuka seperti menyatukan beberapa mata pelajaran dengan
mengambil tema atau topik yang sama. Sedangkan untuk kurikulum tersembunyi (hidden) materi
kurikulum berupa norma, prinsip bersosial serta pemahaman nilai – nilai lokal
            Kurikulum tematis atau topik dapat berupa perpaduan dari beberapa mata pelajaran
seperti mata pelajaran di SD, contohnya pada mata pelajaran IPA dengan mata pelajaran Pkn.
Tema yang diangkat adalah “Menjaga Lingkungan Bersih”. Mata Pelajaran IPA
mengkosentrasikan tentang  lingkungan bersih. Untuk mata pelajaran PKn menjelaskan cerita
rakyat yang bersama – sama bergotong royong menjaga lingkungan tetap bersih dan tidak kotor.
   Selanjutnya kurikulum terintegrasi (integrated curriculum) tersebut “materi kearifan
lokalnya” dikemas dalam bentuk pesan yang disampaikan secara sembunyi – sembunyi yang
tidak muncul sebagai mata pelajaran resmi. Contohnya melalui  cerita rakyat Gorontalo tentang
warisan budaya hidup bergotong royong atau “mohuyula”
b.       Dimensi Tugas dan Materi
            Kurikulum pendidikan kearifan lokal dapat dikemas menjadi arahan pembelajaran
dengan membagi prinsip berdasarkan dimensi tugas dan materi. Secara garis besar dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1)     Dimensi Tugas
            Dimensi tugas adalah ancangan pembelajaran yang berorientasi kepada tugas yang
diberikan kepada peserta didik. Dalam hal menggunakan metode belajar yang dikemukakan oleh
Ki Hajar Dewantara: Nontoni,  Niteni, Niroake, Nambahi (Wagiran, 2011: 17).
                 Nontomi adalah observasi, yaitu proses mengamati suatu objek kearifan lokal
Gorontalo  dengan memahami bentuk, isi dan latar belakang. Objek tersebut diamati berdasarkan
sifat alaminya serta pengubahan. Dalam kinerja observasi, peserta didik diarahkan untuk
menggunakan persepsi, atau pengetahuan yang telah tersimpan sebelumnya. Proses ini diberikan
secara sistematis maupun non sistematis, yaitu dengan merasakan sesuatu akan dimasukan
kedalam memori peserta didik.
                 Niteni yaitu, proses seleksi dengan memilah pengetahuan yang dimasukan kedalam
memori menyaji, memori baru dengan sistematika berdasarkan pengetahuan yang diperoleh.
Sehingga, terjadi pengelompokan pengetahuan baru (mind mapping), proses ini akan mengamati
dan mengelompokan langkah membuat, menyesuaikan hasil pengamatan (observasi) di atas
menjadi pengetahuan baru.
                 Niroake, yaitu proses menirukan dan mengimitasi bentuk, langkah dan didahului
dengan mengkemaskan langkah yang dianggap praktis. Peniruan bentuk yang dimaksud  dimulai
dengan mengkopi bentuk serta langkah membuatnya. Langkah ini akan diteruskan secara
otomatis.
                 Nambahi, yaitu proses menambahkan artinya modifikasi bentuk untuk kepentingan
dan pengembangan yang lainnya. Proses ini diakhiri dengan penciptaan produk, dapat berupa
produk dan bentuk karya, langkah-langkahnya serta konsep baru dari temuan bentuk tersebut.
2)     Dimensi Materi  
            Dimensi materi atau bahan ajar pembelajaran kearifan lokal terdiri dari pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi
yang telah ditentukan, meliputi  fakta, konsep, prosedur, dan  prinsip (Reigulth, 1987).  Dengan
demikian, dimensi materi atau bahan ajar kearifan lokal dapat dibagi menjadi; fakta, konsep,
prinsip dan prosedur
                 Fakta, adalah sesuatu hal atau keadaan yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang
benar – benar  ada atau terjadi. Dan itu meliputi nama – nama objek, nama tempat, nama orang,
lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen suatu benda, dan lain
sebagainya.  Dalam konteks kearifan lokal Gorontalo misalnya materi falsafah hidup bahwa
Gorontalo faktanya sebagai daerah “adat bersendikan syara’, syara bersendikan kitabullah”.
                Konsep, adalah sesuatu yang umum repsentatif intelektual yang abstrak dari situasi
objek atau peristiwa. Dan itu meliputi defenisi, identifikasi, klasifikasi, ciri – ciri khusus. Dalam
konteks pemberian materi kearifan lokal Gorontalo falsafah hidup,  maka materi konsepnya
harus menjelaskan tentang defenisi, identifikasi, klasifikasi atau ciri – ciri khusus dari “adat
bersendikan syara’, syara bersendikan kitabullah ”
                 Prinsip, adalah materi yang berupa dalil, rumus, postulat, adagium, paradigma,
teorama. penerapan, hukum atau rumus. Dalam konteks memberikan materi kearifan
lokal  Gorontalo falsafah hidup “adat bersendikan syara’, syara bersendikan kitabullah ” maka
materi prinsipnya harus menjelaskan dalili – dalil atau hukum – hukum dari falsafah “adat
bersendikan syara’, syara bersendikan kitabullah ”.
                 Prosedur, atau langkah-langkah yang secara berurut. Dalam konteks menjelaskan
materi kearifan lokal  Gorontalo  tentang falsafah Gorontalo bahwa “adat” harus pertama – tama
bersendikan “syara”, kemudian “syara” harus bersendikan “kitabullah”. Jadi materi
prosedurnyanya harus menjelaskan tahapan – tahapan tentang falsafah hidup  Gorontalo yang
dimulai dari tingkatan terendah yaitu adat, kemudian syara dan tertinggi adalah  kitabullah.
2.      Kearifan Lokal dalam Pembelajaran
Menurut Wagiran (2012: 18),  sedikitnya terdapat tiga model implementasi kearifan
lokal  dalam pembelajaran yang perlu dipertimbangkan, yaitu : model komplementatif (single
subject), model terpadu (integrative) dan model terpisah (discret).
            Pertama, dalam model komplementatif (single subject), yaitu implementasi kearifan
lokal ditambahkan ke dalam program pendidikan kurikuler dan struktur kurikulum yang ada.
Pelaksanaannya dapat berupa menambahkan mata pelajaran khusus kearifan lokal dalam struktur
kurikulum atau menyelenggarakan program sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal dalam
kalender pendidikan. Model ini membutuhkan waktu tersendiri atau waktu tambahan, dan
tambahan guru. Model ini dapat digunakan secara optimal dan intensif untuk menambahkan
nilai-nilai kearifan lokal pada peserta didik.
            Kedua,  model terpadu (integrative), yaitu implementasi kearifan lokal melekat dan
terpadu dalam program-program kurikuler, kurikulum yang ada, dan atau mata pelajaran yang
ada, bahkan proses pembelajaran. Program kurikuler atau mata pelajaran yang ada hendaknya
bermuatan nilai-nilai kearifan lokal. Model ini membutuhkan kesiapan dan kemampuan tinggi
dari sekolah, kepala sekolah dan guru mata pelajaran. Kepala sekolah dan guru dituntut  untuk
kreatif, penuh inisiatif, dan kaya akan gagasan. Guru dan Kepala sekolah harus pandai dan
cekatan menyiasati dan menjabarkan kurikulum, mengelola pembelajaran, dan mengembangkan
penilaian. Keuntungannya model ini, adalah relatif murah, tidak membutuhkan ongkos mahal,
dan tidak menambah beban sekolah, terutama kepada sekolah, guru ataupun peserta didik.
            Ketiga, model terpisah (discreet) yaitu implementasi kearifan lokal di-sendirikan, dipisah,
dan dilepas dari program-program kurikuler, atau mata pelajaran. Pelaksanaannya dapat berupa
pengembangan nilai-nilai kearifan lokal yang dikemas dan disajikan secara khusus pada peserta
didik. Penyajiaannya bisa terkait dengan program kurikuler atau bisa juga berbentuk program
ekstrakurikuler.  Model ini memerlukan perencanaan yang baik agar tidak salah penerapan,
namun model ini masih dapat digunakan untuk membentuk pribadi peserta didik secara
komprehensif dan leluasa.
            Pemilihan model yang diterapkan tersebut akan sangat tergantung dari berbagai kesiapan
beberapa aspek termasuk karakteristik sekolah masing-masing. Melalui proses evaluasi diri,
ujicoba, validasi, implementasi dan evaluasi akan didapatkan pola yang cocok untuk masing-
masing sekolah.
a.      Perencanaan Pembelajaran
1)      Muatan Lokal Model komplementatif (single subject)
            Dalam kerangka penerapan kurikulum, guru dapat mengimplementasikan kearifan lokal
dalam rumusan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan standar isi maupun proses
yang tertuang dalam silabus.
2)     Muatan Lokal Model Terpadu (Integratif)
            Pelaksanaan integrasi kearifan lokal dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan
bermacam-macam strategi dengan melihat kondisi siswa serta lingkungan sekitarnya, oleh sebab
itu pelaksanaan integrasi kearifan lokal dalam pendidikan memiliki prinsip-prinsip umum
seperti:
(1)       Tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku.
(2)       Tidak mengubah kurikulum, namun diperlakukan adanya penyiasatan kurikulum untuk
diorientasikan pada kecakapan hidup.
(3)       Etika sosio –religius bangsa dapat diintegrasikan dalam proses pendidikan.
(4)       Pembelajaran menggunakan prinsip learning to know, learning to learn, learning to be,
learning to live together.
(5)       Potensi wilayah sekolah dapat direfleksikan dalam penyelenggaraan pendidikan, sesuai
dengan prinsip kontekstual dan pendidikan berbasis luas (board based education).
(6)       Paradigma learning to life and school to work dapat dijadikan dasar kegiatan pendidikan,
sehingga terjadi pertautan antara pendidikan dan kebutuhan nyata peserta didik.
            Mengingat prinsip pendidikan kearifan lokal yang tidak harus mengubah kurikulum dan
mata pelajaran tetap seperti yang berlaku saat ini, maka perlu ditemukan bagaimana cara
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal Gorontalo dalam pembelajaran. Guru perlu
melakukan identifikasi kearifan lokal Gorontalo yang dapat dikembangkan bersama pembahasan
pokok bahasan tertentu. Jika identifikasi telah dilakukan untuk semua pokok bahasan,
selanjutnya guru mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal tersebut dalam rancangan
pembelajaran. Nilai-nilai tersebut dimasukkan menjadi bagian dari rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) mata pelajaran terkait. Dengan demikian nilai-nilai kearifan lokal hasil
identifikasi tersebut benar-benar dirancang untuk ditumbuhkan dalam pembelajaran dan diukur
hasilnya sebagai hasil belajar.
            Jika semua guru atau semua mata pelajaran telah melakukan identifikasi, sekolah
(melalui pertemuan guru) dapat melakukan identifikasi kontribusi masing-masing mata pelajaran
dalam menanamkan kearifan lokal. Dengan demikian dapat diketahui apakah semua aspek
kearifan lokal yang diprogramkan sekolah dapat dikembangkan. Dapat pula dianalisis mata
pelajaran yang telah mengembangkan kearifan lokal secara seimbang, terlalu banyak atau terlalu
sedikit termasuk keseuaian dengan kompetensi dan pokok bahasan. Dengan demikian sekolah
dapat merencanakan integrasi kearifan lokal tersebut secara seimbang.
3)         Muatan Lokal Model Terpisah (Discret)
            Dalam muatan lokal model terpisah, sekolah dapat merencanakan topik khusus ataupun
acara (event) khusus terkait dengan penanaman nilai-nilai kearifan lokal. Dapat pula nilai-nilai
kearifan lokal tersebut dirancang  secara khusus menjadi kegiatan ekstra kurikuler. Berbagai
ragam kegiatan ekstra kurikuler dapat diselenggarakan terkait dengan kearifan lokal.  Dalam hal
ini model penanaman nilai-nilai kearifan lokal melalui kegiatan ekstra kurikuler dapat dilakukan
melalui “ ekstra kurikuler khusus kearifan lokal” ataupun integrasi dalam kegiatan ekstra
kurikuler yang lainnya. Penyusunan program pembelajaran maupun integrasi kearifan lokal pada
dasarnya analog dengan model single subjectataupun integrated, hanya waktunya yang berbeda.
b.     Pelaksanaan Pembelajaran
            Dalam pelaksanaan pembelajaran, seorang guru dapat merencanakan pembelajaran
terpadu sesuai dengan rumusan di atas, atau menyelenggarakan pembelajaran secara
terpisah (single subject). Kurikulum akan direncanakan berdasarkan potensi serta
ketentuan  yang sudah digariskan oleh sekolah dan komite. Jika pembelajaran pendidikan
kearifan lokal dilaksanakan berdasarkan pola dan prinsip jenis mata pelajaran dapat dilakukan
dengan prosedur;
              Pertama, mengapresiasi; pada prinsipnya guru memberikan kesempatan melihat,
mengamati dengan seksama berdasarkan teori maupun praktek. Melalui  pemahaman teori,
seorang guru dapat menjelaskan sejarah dan latar belakangnya, sehingga memahami secara
umum terjadinya dan kedudukannya dalam sistem budaya di Indonesia. Seperti diketahui bahwa
karya “Tradisi Gorontalo”  dikaitkan dengan makna filosofi maka sebagian besar dihubungkan
dengan kepercayaan, perilaku, dan sistem sosialnya. Dalam hal ini guru dapat memulai dengan
menceritakan sejarah dan latar belakangnya atau dengan melihat situasi produksi karya tradisi di
lingkungan sekitar sekolah serta tempat tinggal peserta didik.
            Kedua, berproduksi; dimulai dengan proses eksplorasi  peserta ini dilanjutkan dengan
kemampuan mengungkapkan hasil pengamatan agar peserta didik mempunyai pemahaman
apresiatif teknik serta sejarah penciptaannya. Proses produksi didahului dengan menirukan,
mengkopi; dalam hal ini mulai dari motiv dan motivasi, bentuk, teknik, dan teknologi serta
prinsip pembuatannya. Jika telah dipahami maka dilanjutkan dengan langkah modifikasi, atau
proses rekayasa bentuk, teknik serta tujuan. Jika bahan-bahan dalam makanan seperti
memasak “binthe biluhuta” berasal dari jagung, maka proses modifikasi dapat dilakukan dengan
rekayasa bahan (campuran), bentuk penyajian atau justru mengkreasikan menjadi sayuran.
Prinsip modifikasi ini dapat disebut proses kreasi.  Jika pelaksanaan pembelajaran bersifat
terpadu (integrated) dengan pola tersembunyi (hidden) maka guru dapat memilih
pengintegrasian nilai - nilai kearifan lokal tersebut dalam satu atau beberapa komponen.

c.      Asesment dan Evaluasi.


            Tes pendidikan kearifan lokal bertujuan mengungkap kemampuan apresiatif dan
produknya. Untuk mengetahui tingkat dan kemampuan apresiasi dapat dilihat dari perilaku atau
proses dan hasil karyanya. Untuk itu, materi tes berupa; hasil karya, sikap dan perilaku, serta
pengetahuannya.
1)     Hasil Karya.
            Hasil karya sebagai obyek formal dalam penentuan hasil belajar peserta didik. Untuk
menilai hasil karya dapat di sesuaikan dengan tugas  yang diberikan seperti:
(1)       Mengamati:sejauh mana ketelitian peserta didik mengungkap kembali secara rinci obyek
yang sedang dipelajari dan dinyatakan dalam produk atau hasil.
(2)       Mengungkap kembali obyek berdasarkan sasaran dan tujuan,jika tujuan tersebut diminta
mengungkapkan unsur-unsur, maka dapat diduga ditangkap kemampuan yang akan dinilai
adalah kesamaan; misalnya: kesamaan bentuk, kesamaan ide, kesamaan penggunaan, kesamaan
prinsip dan langkah-langkahnya. Contoh konkrit dalam pelajaran seni “tarian adat” ; peserta
didik harus mampu melakukan hal yang sama dengan guru dalam menggerakan
tangan,  membunyikan alat musik, atau kesamaan dalam prosedur menabuh alat musik serta letak
dan kencang serta kerasnya tekanan tangan. Kesamaan ini diharapkan memperoleh kesamaan
bunyi serta kekuatan dalam satuan alat musik yang ditabuh secara kolaboratif.
(3)       Menciptakan atau kreatifitas; bentuk tes dan alatnya akan berbeda dengan tugas yang
dilakukan di atas. Peserta didik dituntut untuk membuat atau berprilaku berbeda dengan contoh
sebelumnya.Kreativitas dapat dilihat dari sisi:perbedaan bentuk,perbedaan prinsip,perbedaan
teknik atau cara, dan perbedaan penggunaan. Sebagai contoh:”kreativitas pakaian karawo” .
Hasil belajar yang diperoleh berupa perbedaan motif dari contoh yang diberikan, perbedaan
bentuk bahan yang dipilih serta yang lain.
2)     Sikap dan Perilaku
            Salah satu materi yang perlu diperhatikan dalam penilaian hasil belajar  pendidikan
kearifan lokal adalah perubahan perilaku. Perilaku diamati tidak pada akhir belajar, melainkan
dari proses berkarya. Seperti: sikap menghadapi guru, sikap menerima pelajaran, sikap
menyelesaikan tugas, sikap kerjasama dengan teman,  serta sikap sosial yang lain. Beberapa
diantaranya, pendidikan kearifan lokal akan dinilai dari segi kemampuan mengutarakan hasil
belajar; bagi peserta didik yang mempunyai minat dan bakat yang tinggi terhadap materi akan
ditemukan hasil yang baik. Akan tetapi, bagi peserta didik yang tidak mempunyai bakat atau
berbakat “ kurang” maka hasilnya akan berbeda. Untuk itu diperlukan penilaian notes. Penilaian
nontes adalah penilaian terhadap sikap dan perilaku peserta didik ketika menghadapi tugas,
kesulitan serta minat.
             Dalam menghadapi tugas; bagi peserta didik yang mempunyai bakat tertentu sesuai
dengan mata pelajaran akan mudah dan cepat menyelesaikan masalah yang diajukan guru,
namun jika kurang berbakat akan kesulitan menerima pelajaran. Penilaian dapat dilakukan
dengan memperhatikan niat, minat serta usaha dan sedikit mengenyampingkan hasil karyanya.
            Kemudian kesulitan; ketika seorang pendidik menghadapi kesulitan belajar, langkah yang
harus diamati adalah seberapa jauh anak mampu memecahkan permasalahan tugas tersebut.
Faktor ini tampak tidak obyektif jika dilihat dari segi hasil karya. Namun demikian dengan
reward pada waktu mengerjakan akan dapat ditemukan prinsip berkarya dan berperilaku bagi
anak.
3)     Pengetahuan
            Perihal pengetahuan anak dalam berkarya, dapat dilihat dari kemampuan ungkap yang
ada dalam karya peserta didik. Karya-karya ini akan menunjukan kelengkapan, ketelitian, serta
kreativitas penyelesaian tugas. Untuk itu guru dapat membuat instrumen penilaian sesuai dengan
rancangan atau rencana pelaksanaan pembelajaran berupa indikator
          Berdasarkan kerangka penilaian diatas, maka disarankan: penilaian hasil belajar
pendidikan kearifan lokal adalah “tes normative” yang disesuaikan dengan kondisi peserta didik
dan kemampuan serta potensi lokal atau sekolah. Penilaian dilakukan tidak saja pada hasil karya
melainkan berupa penilaian proses, yaitu penilaian berjalan. Dilakukan ketika peserta didik
sedang mengerjakan dan menyelesaikan permasalahan belajar. Penilaian ini berupa minat, serta
kemampuan/daya juang ketika mengerjakan tugas. Penilaian terhadap hasil karya dapat
disesuaikan dengan indikator, misalnya: produksi, terletak pada ketrampilan dan kecekatan,
kreasi terletak pada kemampuan mengubah, membuat sesuatu menjadi berbeda,baik bentuk,
langkah dan fungsinya.
3.       Kearifan Lokal Melalui Budaya Sekolah
                Budaya sekolah diartikan sebagai sistem makna yang dianut bersama oleh warga sekolah
yang membedakannya dengan sekolah lain. Budaya sekolah adalah kerangka kerja yang
disadari , terdiri dari sikap – sikap, nilai – nilai, norma – norma, perilaku – perilaku dan harapan
– harapan di antara warga sekolah. Bila sudah terbentuk maka keyakinan – keyakinan , nilai –
nilai dan harapan – harapannya cenderung relatif stabil serta memiliki pengaruh yang kuat
terhadap sekolah (Jerald Greenberg dalam Masaong, 1995: 192).
            Oleh Masaong (2014: 192 ), budaya sekolah  merupakan (1) penentu bagaimana energi
sekolah dan struktur sekolah ditransformasikan ke dalam pekerjaan yang bermamfaat; (2) sistem
nilai sekolah yang akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan serta cara warga sekolah
berperilaku;  (3) dibangun dari kepercayaan yang teguh secara mendalam tentang bagaimana
sekolah seharusnya dikelola atau dioperasionalkan; (4) suatu sistem berbagi makna di antara para
warga sekolah yang membedakan satu sekolah dengan sekolah yang lainnya; dan (5) sistem
berbagi rasa yang merupakan seperangkat karakteristik kunci berupa nilai – nilai sekolah itu
sendiri. 
            Untuk itu budaya sekolah memang harus dirancang dan dilakukan dengan keteladanan
kepala sekolah, guru, karyawan dan bahkan orangtua siswa  bagaimana memulai dan
mengembangkan budaya itu.
  Salah satu wujud budaya sekolah adalah  tercermin dalam kebiasaan atau kepatuhan
terhadap aturan sekolah. Dengan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal ke dalam aturan sekolah
maka  nilai-nilai kearifan lokal akan menjadi perilaku sehari-sehari yang akan membentuk
budaya sekolah berbasis kearifan lokal. Dalam konteks kearifan lokal Gorontalo dapat dilakukan
membuat aturan atau kebiasaan setiap hari jum’at seluruh siswa dan guru menggunakan pakaian
karawo dan menggunakan bahasa daerah.
4.      Kearifan Lokal Melalui Kepemimpinan Sekolah       
Salah satu perubahan mendasar dalam organisasi pendidikan adalah sistem management
yang sentralistik menuju sistem desentralisasi melalui Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Hal ini menuntut perubahan berbagai komponen dalam organisasi
dan juga gaya kepemimpinan.
            Adanya otonomi pengelolaan pendidikan menuntut tanggungjawab kepala sekolah yang
lebih tinggi. Kepala sekolah harus mampu mengelola sekolah dengan bertumpu pada kekuatan
sekolah. Kepala sekolah juga harus mampu memberdayakan semua komponen sumber daya
sekolah sekaligus memberdayakan seluruh kompnen masyarakat baik orangtua siswa atau pihak
lain yang terkait untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dengan adanya
otonomi tersebut maka sekolah juga dituntut untuk lebih mandiri, bertanggungjawab,
berkembang secara berkelanjutan. Oleh karenanya diperlukan kepala sekolah yang mampu
mengembangkan visi dan misi organisasi sekolah, meningkatkan motivasi dan pemberdayaan
personel guna mencapai tujuan sekolah secara optimal.
            Dalam konteks kearifan lokal, kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan
keberhasilan sekolah dalam mewariskan kearifan lokal. Untuk itu, kepala sekolah dituntut
menunjukkan seorang pemimpin yang memiliki karakter dan keteladanan dalam memimpin
guru, karyawan atau peserta didik itu. Dan itu sangat sejalan dengan ajaran kearifan lokal
kepemimpinan Gorontalo, yaitu “pulanga”.
            “Pulanga”  adalah proses penobatan dan pemberian gelar adat, yang pada hakikatnya
mengukur seseorang dalam jabatannya sebagai sumber pola anutan dalam setiap
gerakan. “Pulanga”, mengandung arti seorang pemimpin bukan saja bertanggung jawab di dunia
saja, tetapi juga di akherat (Djailani Haluty, 2014: 215). Oleh karena itu  ada beberapa sifat –
sifat kearifan lokal “pulanga”, yang perlu ditanamkan dalam kepemimpinan kepala sekolah. 
            Kearifan Gorontalo yang dimaksud sebagaimana dikemukakan oleh  M. Botutihe (2006:
3), seorang pemimpin harus memenuhi 2 persyaratan, yaitu (1) “ilomata” atau adanya karya
nyata yang bermamfaat, (2) sifat “mo’odelo”,  yaitu seorang pemimpin harus memiliki sifat –
sifat kepemimpinan yang sesuai dengan perintah Allah swt. Menurutnya,  sifat –
sifat “mo’odelo” memiliki  karakteristik ; (1) “dudelo” yaitu sifat – sifat bawaan lahir perilaku,
(2) “mo’ulindlapo”   yaitu memiliki kecerdasan berpikir dan kecekatan bekerja,
(3) “dulohupa” yaitu memiliki sifat musyawarah dan mufakat, (4) “huyula”, yaitu memiliki
sifat gotong royong, (5) “balata yipili”, yaitu memiliki sifat tegar dan tegas, (6) “dunguto,
ponuwa, layode”, yaitu memiliki sifat cinta, sesama manusia, lingkungan dan segala ciptaan
Allah yang menjadi landasan bertutur kata.
5.      Kearifan Lokal melalui Manajemen Berbasis Sekolah.
Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan. Hal
ini karena manajemen berbasis sekolah memberi peluang bagi kepala sekolah, guru, dan peserta
didik untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah, berkaitan dengan masalah kurikulum,
pembelajaran, manajerial, dan lain sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas,
dan  profesionalisme        ( Mulyasa, 2014: 24).
Dalam konteks implementasi kearifan lokal di sekolah, peran manajemen berbasis
sekolah sangat menentukan. Menurut Wagiran (2012: 26), dalam kerangka keberhasilan
manajemen sekolah tersebut,  langkah – langkah yang  perlu ditempuh antara lain:
(1)    Pengelola sekolah berperan dalam menyediakan materi ajar pendidikan kearifan lokal dan
member pelatihan bagi guru agar memahami pendidikan kearifan lokal
(2)    Pengelola sekolah perlu menyusun, melaksanakan, dan memonitor peraturan-peraturan
sekolah yang diperlukan untuk mengembangkan pendidikan kearifan lokal.
(3)    Pengelola sekolah menyediakan SDM yang diperlukan untuk melaksanakan pengelolaan
sekolah berwawasan kearifan lokal dan pendidikan kearifan lokal.
(4)    Pengelola sekolah perlu meyakinkan orangtua untuk memberikan perhatian pada
pendidikan anaknya.
            Integrasi kearifan lokal dalam manajemen berbasis sekolah (MBS) harus memperhatikan
beberapa hal. Hal – hal  tersebut merupakan tahap – tahapan yang harus dilakukan, yaitu:
(1)       Merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah dengan memasukkan nilai-nilai
kearifan local sebagai bagian integral dan eksplisit
(2)       Mengidentivikasi fungsi-fungsi sekolah yang menggunakan prinsip MBS dengan
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal yang diperlukan untuk mencapai sasaran
(3)       Melakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi pengembangan kearifan lokal
dalam perencanaan program dan mengembangkan strategis untuk mencapai sasaran
(4)       Mengidentifikasi langkah-langkah pemecahan masalah terkait dengan hambatan
implementasi pendidikan kearifan lokal.
(5)       Melakukan monitoring dan evaluasi pendidikan kearifan lokal
(6)       Merumuskan sasaran mutu baru melalui reformulasi manajemen sekolah dengan
memasukkan nilai-nilai kearifan lokal

6.         Kearifan Lokal melalui Hubungan Sinergis Sekolah dengan Masyarakat


Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang
sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta dididik di
sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk (1) memajukan
kualitas pembelajaran; (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan
penghidupan masyarakat; dan (3) menggairakan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan
sekolah (Mulyasa, 2014: 50).
Dalam konteks penerapan kearifan lokal, hubungan sinergis sekolah dengan masyarakat
sangat perlukan.  Untuk itu masyarakat/ orang tua sangat dibutuhkan dalam mendukung
implementasi pendidikan kearifan lokal. Dalam kerangka manajemen berbasis sekolah,
masyarakat/ orangtua diberi kesempatan untuk ikut mendukung langkah strategis dan kebijakan
sekolah dalam mengimplementasikan kearifan lokal baik itu dalam merencanakan, melaksanakan
dan mengevaluasinya.  Konstribusi masyarakat/ orang tua dalam implementasi pendidikan
kearifan lokal diharapkan dapat menumbuhkan “rasa memiliki” terhadap program tersebut yang
pada gilirannya mampu mendorong partisipasi dalam hal sumber daya maupun sumber dana
dalam pelaksanaan pendidikan kearifan lokal.
            Oleh karena itu, salah satu wujud dalam lingkungan sekolah jika terdapat  orang tua yang
memiliki keahlian dalam bidang kearifan lokal, dapat dimamfaatkan tenaganya sebagai
narasumber dalam pengelolaan pendidikan kearifan lokal. Begitu pula dengan ketersediaan
berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan  oleh sekolah dalam mengembangkan kearifan lokal.
            Dalam pada itu, sejalan dengan rumusan Undang - Undang nomor 25 Tahun 2000 tentang
komite sekolah, sebagai wadah representatif orangtua/masyarakat untuk bersama-sama pimpinan
sekolah merumuskan rencana pengembangan sekolah. Dalam hal praktek pendidikan berbasis
kearifan lokal, sekolah perlu menjalin hubungan sinergis dengan komite sekolah mulai tahap
identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pendidikan kearifan lokal. Keterlibatan
pihak masyarakat/orang tua dalam implementasi kearifan lokal di sekolah diharapkan mampu
mendukung tumbuhnya rasa memiliki dikalangan masyarakat yang pada akhirnya mendukung
program tersebut
III.    PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas tentang etnopedagogi di Gorontalo, suatu upaya
mengimplementasikan praktek pendidikan “Kearifan Lokal” di Sekolah, maka dapat disimpulkan
bahwa :
1.         Etnopedagi adalah praktik pendidikan yang berbasis kearifan lokal dan bersumberkan
dari nilai – nilai luhur kultural
2.         Kearifan lokal merupakan budaya konstektual yang terdiri dari (1) gagasan, pemikiran,
pandangan hidup, nilai – nilai dan norma, (2) kebiasaan atau tradisi luhur, (3) benda – benda atau
artefak.
3.         Kearifan lokal Gorontalo muncul sebagai proses akulturasi kebudayaan. Kearifan lokal
Gorontalo dipengaruhi oleh dua sistem nilai, yaitu sistem nilai yang bersumber dari kebenaran
yang mutlak dari Allah swt, (2) sistem nilai  yang diberikan oleh adat.
4.         Terdapat 10 kearifan lokal Gorontalo yang meliputi; (1) simbot daerah, (2) arsitektur, (3)
rumah adat, (4) falsafah hidup, (5) bahasa daerah, (6) kerajinan tangan, (7)  senjata tradisional,
(8), pakaian adat, (9) musik tradisional, (10), tradisi. Selain itu, kearifan lokal Gorontalo
bersumberkan pada ragam sastra Gorontalo.
5.         Implementasinya dalam praktek pendidikan di sekolah kearifan lokal dilaksanakan
melalui kurikulum, pembelajaran, budaya sekolah, kepemimpinan sekolah, manajemen berbasis
sekolah dan hubungan sinergis sekolah dengan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Baiti, 2015. Kajian Kearifan Lokal Kelompok Budaya dari Lembah Baliem Wamena
Papua. Jurnal Pendidikan Nusantara Indonesia.  Vol. 1 (1)
Botutihe, M. 2006. Mo’odelo, Sifat dan Perilaku Pemimpin Berdasarkan Nilai Lokal Gorontalo.
Gorontalo: Pustaka Gorontalo
Departemen Pendidikan, 1996, Petunjuk Umum Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal. Jakarta.
Greetz, Califord 1973, The Interpretain of Culture.  New York;  Basic Books Inc., Publishers.
Haluty, Djailani, 2014. Nilai – Nilai Kearifan Lokal ’Pulanga’ Untuk Pengembangan
Karakter. Jurnal Al – Ulum IAIN Sultan Amai Gorontalo.  Volume 14 Nomor 1, ISSN
1412-0534.
http://www.gorontalokota.go.id  .
Kadir, Abdussamad,  2000, “Empat Aspek Adat Gorontalo (Penyambutan Tamu, Penobatan,
Perkawinan dan Pemakaman). Gorontalo; Pemda Tingkat II Kab. Gorontalo dengan
Yayasan 23 Januari 1942
Masaong, Abd. Kadim & Tilome, Arfan A. 2014. Kepemimpinan Pendidikan Berbasis Multiple
Intelligence. Bandung : Al – Fabeta.
Mulyasa, E. 2014, Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung; PT. Remaja Rosdakarya.
Nasution, S.,  1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 79 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013
Polontalo, H. Ibrahim, 2003. Adat Bersendikan Syara, Syara Bersendikan Kitabullah Sebagai
Dasar Pengembangan Budaya dan Pelaksanaan Islam di Gorontalo. Makalah Pada
Seminar Nasional BPKI-KTI di Gorontalo.
Reigulth, J. & Charles, M. 1987. Instructional Theories in Action; Lessons Illustrating Selected
Theories and Models. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates Pull,
Setiyadi, D.B. Putut,  2013. Discourse Analysis of Serat Kalatidha: Javanese Cognition System
And Local Wisdom. Asian Journal of Social Sciences & Humanities Widya Dharma
University. Vol. 2 (4), 292-300.
Suratno, Tatang,  2010. Memaknai Etnopedagogi Sebagai Landasan Pendidikan Guru di
Universitas Pendidikan Indonesia. 4th International Conference on Teacher Education,
jointly organized by UPI (Indonesia University of Education) and UPSI (Sultan Idris
University of Education) in Bandung, Indonesia, hh. 515-530
Surya, Priyadi. (priadisurya@uny.ac.id) 10 Nopember 2016. Kepemimpinan Etnopedagogi di
Sekolah. Email kepada Faizal F. Tuli   (faizaltulie@gmail.com)
Tilaar, H.A.R,  2009. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta; Penerbit Rineka Cipta
Tuloli, Nani, et  all, 2004. Membumikan Islam; Seminar Nasional Pengembangan Kebudayaan
Islam Kawasan Timur Indonesia. Gorontalo; Pusat Penelitian dan Pengkajian, Badan
Pengembangan Kebudayaan Islam Kawasan Timur Indonesia.
Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Zohra Yasin, dkk, 2013.  Islam dan Tradisi Kearifan Lokal Gorontalo. Gorontalo: IAIN Sultan
Amai Press.
Wagiran, 2012. Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Hamemamyu Huyuning
Bawan.  Jurnal Penelitian Karakter, Thun ke 2,  No.3, 329 – 339.
 ----------, 2011. Pengembangan Model Pendidikan Kearifan Lokal di Wilayah Propinsi DIY
dalam Mendukung Perwujuddan Visi Pembangunan DIY Menuju Tahun 2020. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan. Vol. 3 (3), 1-29

Anda mungkin juga menyukai