Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIK KLINIK KMB 1

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN


OKSIGENISASI
AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERNAFASAN

Di susun oleh :
FANNY AMALIA SAFITRI
1814401103
Tingkat 2 Reguler 3

POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNG KARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN
TAHUN 2019/2020
LAPORAN PRAKTEK KLINIK KMB 1
PRODI DIII KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN GANGGUAN KEBUTUHAN
OKSIGENASI
AKIBAT PATOLOGI SISTEM PERNAPASAN

A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten.

A.2. PENYEBAB
Fisiologis:
1. Spasme jalan napas
2. Hipersekresi jalan napas
3. Disfungsi neuromuskuler
4. benda asing dalam jalan napas
5. Adanya jalan napas buatan
6. Sekresi yang tertahan
7. Hiperplasia dinding jalan napas
8. Proses infeksi
9. Respon alergi
10. Efek agen farmakologis (mis,anastesi)

Situasional:
1. Merokok aktif
2. Merokok pasif
3. Terpajan polutan

A.3. GEJALA DAN TANDA MAYOR


Subjektif (tidak tersedia)

Mayor:
1. Batuk tidak efektif
2. Tidak mampu batuk
3. Sputum berlebih
4. Mengi, wheezing dan atau ronchi kering
5. Mekonium dijalan napas (pada neonatus)

A.3. GEJALA DAN TANDA MINOR


Subjektif:
1. Dispnea
2. Sulit berbicara
3. Ortopnea

Objektif:
1. Gelisah
2. Sianosis
3. Bunyi napas menurun
4. Frekuensi napas berubah
5. Pola napas berubah

A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait,
boleh ditambahkan barisnya)
1. Guillain barre syndrome
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang
merupakan suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang
menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan
karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik
yang sifatnya progresif. Guillain-Barré syndrome ini memiliki
beberapa subtipe yaitu:

1) Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)


dengan patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang
dapat dipengaruhi baik oleh mekanisme humoral ataupun imun
seluler. Gejalanya bersifat progresif dengan kelemahan tubuh yang
simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.

2) Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya


antibodi yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida
GM1, GD1a, GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik
perifer tanpa disertai adanya proses demielinisasi. Berhubungan
dengan infeksi Campylobacter jejuni yang biasanya terjadi pada
musim panas pada pasien muda.

3) Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMAN) memiliki


mekanisme yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses
degenerasi aksonal sensoris, sehingga pada kasus ini sering
ditemukan gangguan pada sensoris.

4) Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana


antibodi imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan
GT1a. Miller Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi,
yang memiliki gejala yang khas berupa oftalmoplegi bilateral,
ataksia dan arefleksia. Selain itu juga terdapat kelemahan pada
wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.

5) Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas


dimana kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala
otonom khususnya pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan
sensoris juga terjadi pada kasus ini.

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena


hilangnya mielin, material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini
disebut dengan demielinisasi. Demielinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau
berhenti sama sekali. Guillain–Barré syndrome menyebabkan inflamasi
dan destruksi dari mielin dan menyerang beberapa saraf.

2. Sklerosis multiple
Multiple Sclerosis merupakan penyakit demyelinasi idiopatik dan
berulang yang melibatkan substantia alba pada sistem saraf pusat. Penyakit
ini menyerang selubung myelin akson. Kerusakan pada selubung myelin
akson ini menyebabkan terganggunya hubungan antar akson dalam susunan
saraf pusat pada otak dan chorda spinalis.
Multiple Sclerosis merupakan suatu penyakit yang menyerang
substantia alba pada sistem saraf pusat. Proses patologis yang utama adalah
terjadinya demyelinasi pada serabut myelin akson. Walaupun begitu dapat
juga terjadi kerusakan daripada akson itu sendiri. Kerusakan myelin
berhubungan dengan proses infiltrasi sel mononuklear perivaskular lokal
diikuti terjadinya kerusakan myelin yang disebabkan makrofag. Pada tahap
selanjutnya secara khas terjadi proliferasi astrosit yang disertai terbentuknya
jaringan fibroglial.
Oleh karena kemampuannya untuk merusak substantia alba dimana
pun letaknya pada sistem saraf pusat, terdapat berbagai macam variasi
abnormalitas motorik okular, dimana tak satupun gejala Multiple Sclerosis
yang khas atau patognomonis. Gejala yang muncul pada Multiple Sclerosis
dapat berupa gejala okular maupun non okular.
3. Myasthenia gravis
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl
Choline Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang
tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial
aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran
ACh yang tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian
menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini
dipercaya disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang
memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak
membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia
gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar
timus turut berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75 % pasien
Miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien
menunjjukan hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan
10 % berhubungan dengan timoma.
4. Stroke
Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:
1) Stroke Iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik, yang
terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar
pada sirkulasi serebrum.
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan waktunya terdiri atas: 1.
Transient Ischaemic Attack (TIA): defisit neurologis membaik dalam
waktu kurang dari 30 menit, 2. Reversible Ischaemic Neurological
Deficit (RIND): defisit neurologis membaik kurang dari 1 minggu, 3.
Stroke In Evolution (SIE)/Progressing Stroke, 4. Completed Stroke.
2) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20%
dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Beberapa
penyebab perdarahan intraserebrum: perdarahan intraserebrum
hipertensif; perdarahan subarakhnoid (PSA) pada ruptura aneurisma
sakular (Berry), ruptura malformasi arteriovena (MAV), trauma;
penyalahgunaan kokain, amfetamin; perdarahan akibat tumor otak;
infark hemoragik; penyakit perdarahan sistemik termasuk terapi
antikoagulan (Price, 2005).

A.4. PENATALAKSANAAN MEDIS ( penatalaksanaan kondisi klinis terkait)


1. Guillain Barre Syndrome
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan
penyakit GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh
dengan sendirinya. Pengobatan yang diberikan lebih bersifat
simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat
keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan
penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan juga masih
tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi
tetap harus diberikan:
a. Terapi Farmakologis
1) Kortikosteroid
2) Plasmaparesis
3) Imunoglobin Intravena
b. Terapi Suportif
Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa
kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin

subkutan. Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot


menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga
diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan lagi
fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan
melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah
terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot
penderita.
2. Sklerosis multiple
a. Terapi Imunomodulatori
Manajemen medis MS awalnya terbatas pada perawatan paliatif.
Intervensi farmakologi memodifikasi perjalanan MS dengan
mengurangi relap dan keparahan lesi MRI, keduanya berperan dalam
progresifitas penyakit. (Mary, AM. 2012)
Lima obat yang disetujui oleh USFDA untuk terapi RRMS:
interferon beta-1b, interferon beta-1a intramuskular, glatiramer
asetat, interferon beta-1a subukutan, dan infus natalizumab.
Interferon beta-1b subkutan (8 juta unit per hari) tersedia. Sejak awal
tahun 90an, diikuti dengan interferon beta-1a intramuskular (30μg
satu kali per minggu). Bentuk lain interferon beta-1a yang digunakan
di Eropa tersedia di US pada 2002 dan diinjeksikan 3 kali per minggu
(22-44μg), menggunakan dosis interferon beta-1a mingguan lebih
besar. Gejala flulike merupakan efek samping yang paling sering
didapatkan, muncul pada hampir 60% pasien yang mengggunakan
interferon, namun efek ini dapat diredakan seiring waktu dan dapat
diterapi dengan baik dengan NSAID. (Mary, AM. 2012)
3. Myasthenia gravis
a. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120
mg/3-4 jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan
membantu pasien untuk mengunyah, menelan, dan beberapa
aktivitas sehari-hari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-
acting 180 mg. Apabila diperlukan, neostigmin bromida
(prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4
jam/iv atau im. Neostigmin dapat menginaktifkan atau
menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan.
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 1020
mg, dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari,
maksimal 120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis
minimal efektif. Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan berat
badan, hiperglikemia, osteopenia, ulkus gaster dan duodenum,
katarak.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga
memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika
dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran
cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama 8 minggu pertama.
Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan
sekali. Pemberian prednisolon bersamasama dengan azatioprin
sangat dianjurkan.
d. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka
pendek yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan
PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari
terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang
mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu
yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek
dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada pasien yang akan
memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
4. Stroke
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang
peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa
pentingnya pengobatan stroke sedini mungkin, karena ‘jendela terapi’
dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan adalah:
1) Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing,
Circulation)
2) Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal
Napas
3) Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 %
dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis
seperti dekstrosa 5 % dalam air dan salin 0, 45 %, karena dapat
memperhebat edema otak
4) Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
5) Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
6) Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen
toraks
7) Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer
lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan
kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial
8) Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi hati,
gas darah arteri, dan skrining toksikologi
9) Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
10) CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia (Mansjoer, 2000).

B. RENCANA KEPERAWATAN (lihat SLKI dan SIKI)


Diagnosa Keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif

Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas klien
efektif.

Kriteria Hasil
1. Klien dapat batuk dengan efektif
2. Sputum berkurang
3. Tidak ada mengi, wheezing atau ronkhi kering

Intervensi :
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman dan usaha nafas)
Rasional : Mengetahui keefektifan jalan nafas pasien
2. Monitor bunyi nafas tambahan (mengi, wheezing, ronkhi kering)
Rasional : Mengetahui penyebab jalan nafas tidak efektif

3. Monitor sputum (warna, jumlah dan aroma)


Rasional : Mengetahui penambahan dan pengurangan sputum yang
mengakibatkan jalan nafas tidak efektif

4. Posisikan semi-Fowler atau Fowler


Rasional : Membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari
abdomen pada diafragma

5. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik


Rasional :Membantu mengurangi sputum yang menyulitkan pasien bernafas

6. Ajarkan teknik batuk efektif


Rasional: Membantu pengurangan sputum yang menyulitkan pasien bernafas
DAFTAR PUSTAKA
1. PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI). Jakarta
2. PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Jakarta
3. Carpenito, L. J., & Moyet. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Ed 13 (13 th
ed). Jakarta: Salemba Medika.
4. Wijayanti, Sri. 2016. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome.
disampaikan pada acara ilmiah neurologi FK UNUD. UNUD Media, Universitas
Udayana, Bali. (Diunduh 17 Mei 2020).
5. Kurniawan, S.N. 2016. Multipel Sklerosis dalam Continuing Neurological
Education 5, Update on Neuroscience and Clinical Neurology. UB Media,
Universitas Brawijaya, Malang. (Diunduh 17 Mei 2020).
6. Gravis, Baim. 2016. Bahan Ajar I Miasthenia Gravis. Unhas Media, Universitas
Hasanuddin, Makassar. (diunduh 17 Mei 2020).

Anda mungkin juga menyukai