Di susun oleh :
FANNY AMALIA SAFITRI
1814401103
Tingkat 2 Reguler 3
A. DASAR TEORI
A.1. DEFINISI DIAGNOSA KEPERAWATAN
Peningkatan volume cairan intravaskuler, intertisial, dan intraseluler
A.2. PENYEBAB
1. Gangguan mekanisme regulasi
2. Kelebihan asupan cairan
3. Gangguan aliran balik vena
4. Kelebihan asupan natrium
5. Efek agen farmakologis (mis, kortikosteroid, chlorpropamide, tolbutamide,
vincristine, tryptilinescarbamazepine)
Objektif:
1. Edema anasarka dan edema perifer
2. Berat badan meningkat dalam waktu singkat
3. Jugular venous pressure (JVP) atau cental venous pressure (CVP)
4. Refleks hepatojugular positif
Objektif:
1. Distensi vena jugularis
2. Terdengar suara napas tambahan
3. Hepatomegali
4. Kadar Hb atau Ht turun
5. Oliguria
6. Intake lebih banyak dari output (balance cairan positif)
7. Kongesti paru
A.4. KONDISI KLINIS TERKAIT (Uraikan patofisiologi kondisi klinis yang terkait,
boleh ditambahkan barisnya)
1. Penyakit ginjal
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal
ditandai dengan abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang
berlangsung lebih dari 3 bulan. PGK ditandai dengan satu atau lebih tanda
kerusakan ginjal yaitu albuminuria, abnormalitas sedimen urin, elektrolit,
histologi, struktur ginjal, ataupun adanya riwayat transplantasi ginjal, juga
disertai penurunan laju filtrasi glomerulus.
Mekanisme dasar terjadinya PGK adalah adanya cedera jaringan.
Cedera sebagian jaringan ginjal tersebut menyebabkan pengurangan massa
ginjal, yang kemudian mengakibatkan terjadinya proses adaptasi berupa
hipertrofi pada jaringan ginjal normal yang masih tersisa dan hiperfiltrasi.
Namun proses adaptasi tersebut hanya berlangsung sementara, kemudian
akan berubah menjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron
yang masih tersisa. Pada stadium dini PGK, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan dimana basal laju filtrasi glomerulus (LFG) masih normal
atau malah meningkat. Secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif.
Pasien PGK dengan ureum darah kurang dari 150 mg/dl, biasanya
tanpa keluhan maupun gejala. Gambaran klinis akan terlihat nyata bila
ureum darah lebih dari 200 mg/dl karena konsentrasi ureum darah
merupakan indikator adanya retensi sisa-sisa metabolisme protein di dalam
tubuh. Uremia menyebabkan gangguan fungsi hampir semua sistem organ,
seperti gangguan cairan dan elektrolit, metabolik-endokrin, neuromuskular,
kardiovaskular dan paru, kulit, gastrointestinal, hematologi serta imunologi.
2. Gagal jantung kongestif
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan
satu sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu respon
hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan
patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik
yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure)
dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa
mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah,
volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot
jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi
tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi
system saraf adrenergik.
3. Kelainan hormon
Yodium merupakan bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tiroid. Bahan yang mengandung yodium diserap usus,
masuk kedalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tiroid. Dalam kelenjar, yodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimulasikan oleh Tiroid Stimulating Hormon (TSH) kemudian disatukan
menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang
terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan
molekul triiodotironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukan pengaturan umpan
balik negatif dari seksesi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedangkan T3 merupakan hormon metabolik yang tidak aktif. Akibat
kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan
T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah
berat sekitar 300-500 gram. Beberapa obat dan keadaan dapat
mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tiroid sekaligus
menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini
menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar
pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Karena pertumbuhannya berangsurangsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan
struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun
sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol
kebagian depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral (syaugi m.assegaf dkk,2015).
4. Penyakit vena perifer
Patogenesis terjadinya aterosklerosis pada PAP sama seperti yang
terjadi pada arteri koroner. Lesi segmental yang menyebabkan stenosis atau
oklusi biasanya terjadi pada pembuluh darah berukuran besar atau sedang.
Pada lesi tersebut terjadi plak aterosklerotik dengan penumpukan kalsium,
penipisan tunika media, destruksi otot dan serat elastis, fragmentasi lamina
elastika interna, dan dapat terjadi trombus yang terdiri dari trombosit dan
fibrin.
Aterogenesis dimulai dengan lesi di dinding pembuluh darah dan
pembentukan plak aterosklerotik. Proses ini dikuasai oleh leokocyte-
mediated inflammation lokal dan oxidized lipoprotein species terutama low-
density lipoproteins (LDL). Merokok, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
hipertensi menurut beberapa penelitian mempercepat pembentukan
aterosklerosis.
Lesi awal (tipe I) terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan dan terdiri
dari akumulasi lipoprotein intima dan beberapa makrofag yang berisi lipid.
Makrofag tersebut bermigrasi sebagai monosit dari sirkulasi ke lapisan intima
subendotel. Kemudian lesi ini berkembang menjadi lesi awal atau "fatty-
streak" (tipe II), yang ditandai dengan banyaknya "foam cell". Foam cell
memiliki vakuola yang dominan berisi cholesteryl oleate dan dilokalisir di
intima mendasari endotel. Lesi tipe II dapat dengan cepat berkembang
menjadi lesi preatheromic (tipe III), yang didefinisikan dengan peningkatan
jumlah lipid ekstraseluler dan kerusakan kecil jaringan lokal. Ateroma (tipe
IV) menunjukkan kerusakan struktural yang luas pada intima dan dapat
muncul atau silent. Perkembangan lesi selanjutnya adalah lesi berkembang
atau fibroateroma (tipe V), secara makroskopis terlihat sebagai bentuk
kubah, tegas, dan terlihat plak putih mutiara. Fibroateroma terdiri dari inti
nekrotik yang biasanya terlokalisasi di dasar lesi dekat dengan lamina elastik
interna, terdiri dari lipid ekstraseluler dan sel debris dan fibrotic cap, yang
terdiri dari kolagen dan sel otot polos di sekitarnya. Ruptur plak
memperburuk lesi karena akan menyebabkan agregasi platelet dan aktivasi
fibrinogen, namun tidak menyebabkan oklusi arteri atau manifestasi klinis.
Kriteria Hasil
1. Tidak terjadi komplikasi
2. Tidak terjadi edema / edema berkurang
3. Tidak mengalami kenaikan BB yang signifikan
4. Intake seimbang dengan output
Intervensi :
1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia
Rasional : Mendeteksi dini hipervolemia