Anda di halaman 1dari 8

Kasus SKL BLBI, KPK Tetapkan Mantan Kepala BPPN sebagai Tersangka

Selasa, 25 April 2017 | 17:53 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan


Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung sebagai
tersangka.

Penetapan ini terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia ( BLBI).

"Setelah terpenuhi dua alat bukti dan sudah dilakukan ekspose, pimpinan dan penyidik sepakat
untuk menaikan status ke tahap penyidikan dan menetapkan satu orang sebagai tersangka," ujar
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (25/4/2017).

Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada
Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI)
tahun 2004.

SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada
BPPN.

KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah
menyebabkan kerugian keuangan negara.

Menurut Basaria, perbuatan Syafrudin diduga telah menyebabkan kerugian negara sekurangnya
Rp. 3,7 triliun.

"Soal adanya kick back nanti akan kami lihat dulu. Belum bisa dirinci atau diumumkan saat ini,"
kata Basaria.
Syafrudin disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsjad Temenggung Ditahan KPK

Arie Dwi Satrio , Okezone Kamis 21 Desember 2017 16:42 WIB

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Kepala Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsjad Temenggung, pada hari ini. Syafruddin resmi
mengenakan rompi tahanan KPK usai menjalani pemeriksaannya sebagai tersangka.

Tersangka kasus dugaan mega korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligator Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI)
tersebut ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK. Dia ditahan untuk 20 hari pertama.

"Ditahan di Rutan KPK (di belakang Gedung Merah Putih KPK)," singkat Kabag Pemberitaan
dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha saat dikonfirmasi, Kamis (21/12/2017).

Sementara itu, Syafruddin pasrah terkait penahanannya pada hari ini. Dia akan menjalani proses
penyidikan selanjutnya setelah resmi dilakukan penahanan oleh lembaga antirasuah pada hari ini.

"Ya saya kira saya menjalani dengan sebaik baiknya karena saya patuh dengan seluruh aturan
yang ada," kata Syafruddin di pelataran Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada,
Jakarta Selatan.

Menurutnya, penerbitan SKL BLBI terhadap sejumlah obligor ketika dia menjabat Kepala BPPN
sudah sesuai aturan. Sebab, pada proses penerbitan, SKL BLBI tersebut sudah dilakukan audit
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Tapi, semua yang dikerjakan di BPPN sudah sesuai aturan semua. Sudah diaudit BPK dan
sudah dikerjakan dengan sebaik-baiknya," pungkasnya.

Sejauh ini, KPK baru menetapkan satu tersangka dalam kasus ini. Satu tersangka tersebut yakni
mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsjad
Temenggung. Ia sempat mengajukan praperadilan, tapi gugatannya tersebut ditolak oleh
pengadilan.

Syafruddin diduga kongkalikong serta menerbitkan SKL BLBI untuk pemegang saham Bank
Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mengakibatkan kerugian negara sekira Rp. 4,58 triliun.

Atas perbuatannya, Syafruddin Temenggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kasus Korupsi BLBI Segera Bergulir di Meja Hijau

Verified : Santi Dewi, 18 April 2018

JAKARTA, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepati janjinya untuk
memproses kasus penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pada Rabu (18/4), penyidik lembaga anti rasuah mulai melimpahkan barang bukti dan satu-
satunya tersangka yang telah mereka proses Syafruddin Arsyad Tumenggung ke Jaksa Penuntut.
Syafruddin merupakan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang
dituding bertanggung jawab menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk Bank
Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Syafruddin sudah ditetapkan sebagai tersangka pada (25/4/2017). Kemudian ditahan oleh
penyidik pada (21/12/2017). Ia resmi ditahan usai diperiksa oleh penyidik sebanyak tiga kali.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan sidang perdana pembacaan surat dakwaan
terhadap Syafruddin akan dilakukan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Namun, penetapan
tanggalnya akan ditetapkan belakangan usai Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyerahkan berkas
ke pengadilan.

BLBI diberikan oleh pemerintah kepada beberapa pengusaha yang diterpa badai krisis ekonomi
pada tahun 1997-1998. Saat itu, ada sekitar 48 bank yang menerima bantuan keuangan dari Bank
Indonesia. Totalnya mencapai Rp. 144,53 triliun.

Tetapi, tiba-tiba BPPN malah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi BDNI.
Padahal, bank itu menerima bantuan pinjaman sebesar Rp. 27,4 triliun. Bank yang sahamnya
dimiliki oleh Sjamsul Nursalim itu memang sempat menyerahkan beberapa aset kepada
pemerintah, tapi nominalnya belum cukup untuk dianggap melunasi pinjaman. Ujuk-ujuk malah
dianggap lunas.

Ini Daftar Kesalahan Syafruddin Temenggung Dalam Kasus Korupsi BLBI

Verified : Santi Dewi, 14 Mei 2018

JAKARTA, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menepati janjinya untuk
memproses kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pada Senin (14/5), mantan
Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung duduk
di kursi pesakitan sebagai terdakwa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.

Jaksa KPK yang terdiri dari enam orang secara bergantian membacakan surat dakwaan setebal
49 halaman. Mereka membeberkan secara detail bagaimana kronologi tindak kejahatan yang
diduga dilakukan oleh pria berusia 58 tahun itu.
Kasus ini sudah cukup lama dinantikan oleh publik untuk bergulir di meja hijau, sebab
menyebabkan kerugian negara yang gak kalah besar dibandingkan korupsi KTP Elektronik.
Jumlahnya mencapai Rp. 4,5 triliun. Ditambah lagi salah satu saksi penting yang juga salah satu
penerima BLBI, Sjamsul Nursalim justru masih berada di Singapura dan enggan untuk kembali
ke Tanah Air.

Dalam dakwaan yang disusun, Syafruddin gak sendirian telah merugikan keuangan negara. Dia
bersama-sama dengan mantan Menteri Koordinator bidang perekonomian Dorojatun Kuntjoro-
Jakti, pemilik saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan isterinya,
Itjih S. Nursalim membuat negara merugi hingga Rp. 4,58 triliun.

"Bahwa terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN pada periode tahun 2002
hingga 2004 bersama-sama Dorojatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim pada
sekitar tanggal 21 Oktober 2003, 29 Oktober 2003, tanggal 13 Februari 2004, tanggal 26 April
2004 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2003 dan tahun 2004 telah melakukan
atau turut serta melakukan perbuatan, secara melawan hukum," ujar Jaksa Haerudin ketika
membacakan dakwaannya di ruang sidang siang tadi.

Pada praktiknya, BDNI mendapatkan BLBI dari Bank Indonesia sebesar Rp. 5,49 triliun. Dari
sebagian dana itu, kemudian digunakan oleh BDNI untuk membantu para petani tambak udang
dalam bentuk pinjaman senilai Rp. 4,8 triliun.

"Usaha budidaya tambak udang tersebut menggunakan Pola Kemitraan Inti Rakyat yakni pola
kerja sama antara petambak sebagai plasma dengan PT DCD dan PT WM sebagai inti," kata
jaksa.

Masalahnya, setelah ditelusuri dua perusahaan itu ternyata dimiliki oleh Sjamsul Nursalim.
Dalam perjanjian antara Inti dengan BDNI pada tanggal 23 Desember 1988 tertulis kalau para
petambak gak bisa membayar dana pinjaman dan bunganya dalam waktu tujuh bulan, maka dua
perusahaan itu yang akan membayarkan utang kepada BDNI.

Sayangnya, proses pemberian kredit kepada para petambak ini ternyata gak lancar alias macet.

Hal lain yang disampaikan oleh jaksa yakni Syafruddin menghapus piutang Bank Dagang
Negara Indonesia (BDNI) senilai Rp. 2,8 triliun. Piutang ini berasal dari dana pinjaman BDNI
yang diberikan kepada para petani tambak udang.

Total dana pinjaman yang diberikan sesungguhnya Rp. 3,9 triliun. Namun, utang yang bisa
dibayar hanya Rp 1,1 triliun.

"Sisanya, Rp. 2,8 triliun diusulkan untuk diwrite off (dihapus bukukan). Terdakwa juga
menyampaikan kemungkinan untuk dilakukan penghapusan pembukuan di BPPN. Namun, tidak
melaporkan aset berupa utang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul Nursalim yang terdapat
misrepresentasi pada saat penyerahannya ke BPPN," kata jaksa.
Misrepresentasi yang dimaksud di sini yakni Sjamsul menyampaikan di hadapan BPPN bahwa
kredit yang disalurkan kepada para petambak itu berjalan lancar. Namun, usai dilakukan audit
berupa Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co
disimpulkan justru penyaluran kredit ke para petambak plasma PT DCD & PT WM tersebut
digolongkan macet.

Syafruddin mengusulkan agar sisa piutang dihapuskan ketika menghadiri rapat kabinet terbatas
pada 11 Februari 2004 lalu. Ratas itu dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Usai
rapat, Mega tidak memberikan keputusan atau mengeluarkan penetapan terkait utang petambak.

Uniknya, ketika mengirimkan ringkasan rapat eksekutif ke BPPN pada 12 Februari 2004,
Syafruddin mengatakan ratas kabinet menghasilkan keputusan agar menghapuskan porsi utang
para petani tambak tersebut.

Kesalahan yang paling fatal yakni Syafruddin malah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban
Pemegang Saham (SPKPS), padahal dia belum melunasi kewajibannya untuk mengembalikan
uang BLBI yang diterimanya sebesar Rp. 5,49 triliun.

Hal itu bermula gara-gara Syafruddin gak jujur mengungkap permasalahan yang dialami para
petani tambak dengan PT DCD dan PT WM. Sementara, Sjamsul Nursalim malah tertangkap
basah melakukan misrepresentasi permasalahan kredit macet ke para petambak udang tersebut.

Nilai utang para petambak itu mencapai Rp. 4,8 triliun. Seharusnya, karena Sjamsul sudah
membuat misrepresentasi, ia dikenakan kewajiban lainnya.

Tapi, lagi-lagi hal itu tidak dilaporkan oleh Syafruddin. Alhasil, dianggap oleh Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KKSK), lembaga yang berada di atas BPPN, menjadi tidak lagi
misrepresentasi.

Maka terbitlah surat keputusan KKSK nomor 01/K.KKSK/03/2004 yang isinya antara lain
menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian pemegang saham dengan
BPPN oleh Ketua BPPN

Hal itu sesusai dengan aturan yang tertulis di dictum pertama angka 1 Instruksi Presiden 8 tahun
2002 terhadap Sjamsul Nursalim.

"Pada tanggal 26 April 2004, terdakwa menandatangani surat nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404


perihal pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Sjamsul Nursalim. Surat tersebut
menyatakan Sjamsul Nursalim sudah menyelesaikan kewajiban PKPS Rp. 28,4 triliun kepada
BPPN," ujar jaksa.

Padahal, pada kenyataannya, masih ada utang senilai Rp. 3,7 triliun yang belum dibayarkan.
Eks Kepala BPPN Syafruddin Divonis 13 Tahun dalam Kasus Korupsi BLBI

Verified : Santi Dewi, 24 September 2018

Jakarta, IDN Times - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 13
tahun dan denda Rp. 700 juta kepada eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung pada Senin (24/9). Vonis itu lebih ringan dari tuntutan
jaksa yang meminta agar majelis hakim memvonis pria berusia 61 tahun itu 15 tahun di dalam
bui dan denda Rp. 1 miliar.

Menurut majelis hakim, Syafruddin terbukti telah membantu menguntungkan Sjamsul Nursalim,
pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) senilai Rp. 4,58 triliun. Keuntungan
itu diperoleh dari restrukturisasi utang milik BDNI senilai Rp3,9 triliun.

Syafruddin terbukti menyalahgunakan wewenangnya saat menjabat sebagai Kepala BPPN untuk
menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI yang diberikan kepada Sjamsul Nursalim.
BDNI merupakan salah satu obligor yang mendapat kucuran dana BLBI dari pemerintah saat
krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998 lalu. BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI
sebesar Rp. 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo
debet dan dana talangan valas.

Saat Sjamsul belum melunasi utang BLBI tersebut, Syafruddin bersama-sama dengan Ketua
Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti malah menerbitkan
SKL bagi Sjamsul.

Syafruddin juga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak udang yang
dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Padahal, dua perusahaan
itu diyakini milik Sjamsul Nursalim.

Dalam rapat terbatas pemerintah, Syafruddin mengusulkan agar BDNI hanya membayar Rp. 1,1
triliun. Sisanya Rp. 2,8 triliun dihapus atau write off. Anehnya, di dalam rapat tersebut,
Syafruddin tidak melaporkan aset berupa utang petambak yang diserahkan oleh Sjamsul terdapat
misrepresentasi alias ia menyerahkan aset yang macet. Pemerintah ketika itu tidak sepakat
dengan usulan Syafruddin. Namun, ia justru membuat ringkasan rapat yang menyatakan ada
penghapusan utang senilai Rp. 2,8 triliun.

Dengan demikian, Syafruddin terbukti telah melanggar pasal 2 ayat 1 UU nomor 31 Tahun 1999.

https://nasional.kompas.com/read/2017/04/25/17535411/kasus.skl.blbi.kpk.tetapkan.mantan.kepa
la.bppn.sebagai.tersangka

https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/eks-kepala-bppn-syafruddin-divonis-14-
tahun-dalam-kasus-korupsi-blbi/full

https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/kasus-korupsi-blbi-segera-bergulir-di-
meja-hijau-1/full

https://news.okezone.com/read/2017/12/21/337/1834045/mantan-kepala-bppn-syafruddin-arsjad-
temenggung-ditahan-kpk

https://www.idntimes.com/news/indonesia/santi-dewi/ini-daftar-kesalahan-syafruddin-
temenggung-dalam-kasus-korupsi-blbi-1/full

Anda mungkin juga menyukai