Anda di halaman 1dari 34

CASE BASED DISCUSSION

DEMAM et causa suspect INFEKSI SALURAN KENCING


DENGAN RIWAYAT CEREBRAL PALSY , STATUS GIZI
KURANG DAN PENGOBATAN TUBERCULOSIS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam Menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Disusun oleh :
Arrahma Yazmi Asy Syifa
30101507391

Pembimbing:
dr. Sri Priyantini, Sp. A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan anak
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung
Nama : Arrahma Yazmi Asy Syifa
Judul : Demam et causa Suspect Infeksi Saluran Kencing Dengan Riwayat
Cerebral Palsy, Status Gizi Kurang Dan Pengobatan Tuberculosis
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas : Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : dr. Sri Priyantini, Sp. A

Semarang, 4 Agustus 2020


Pembimbing,

dr. Sri Priyantini, Sp.A


LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. K
Umur : 20 bulan
Jenis Kelamin : Laki laki
Alamat : Wedung, Demak

Nama Ayah : Alm. Tn H


Umur :-
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Wedung, Demak

Nama Ibu : Ny. R


Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Wedung, Demak
B. Anamnesis (28 juli 2020)
Keluhan utama : Demam Tinggi (sebelum kontrol rutin)
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa ke poli untuk kontrol rutin, keluhan awal pada saat
pasien usia 10 bulan, pasien pernah dirawat dirumah sakit karena demam
yang tinggi selama kurang lebih 9 hari, demam hingga 40° C (axilla),
demam naik turun akan tetapi tidak pernah bebas demam. Demam tidak
diketahui penyebabnya. Dikeluhkan juga bahwa berat badan anak semakin
menurun karena tidak nafsu makan sejak usia 10 bulan, anak hanya mau
minum susu dan cemilan saja. An. K tampak lesu dan kurang interaktif.
Anak tidak didapatkan keluhan mual, muntah, sesak, gangguan pada saat
BAK, diare, tidak adanya bintik merah pada kulit. Sebelumnya Pasien
sudah dibawa ke puskesmas dan diberi obat penurun panas tetapi keluhan
tidak membaik.

Riwayat Penyakit Dahlulu :


Pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya
Otitis Media : disangkal Enteritis : disangkal
Bronkitis : disangkal Disentri basiler : disangkal
Pnemonia : disangkal Disentri amoeba: disangkal
Morbili : disangkal Typhoid abd. : disangkal
Pertusis : disangkal Cacing : disangkal
Varisela : disangkal Operasi : disangkal
Difteri : disangkal Trauma : disangkal
Malaria : disangkal Reaksi obat/ alergi : disangkal
Polio : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Almarhum Ayah pasien pernah mengalami batuk lama dan diberikan obat
oleh dokter untuk 6 bulan, akan tetapi tidak teratur diminum.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Kondisi ekonomi pasien cukup, lingkungan sekitar ada yang
mengalami keluhan serupa seperti batuk lama. Tinggal di lingkungan yang
kurang baik sanitasinya.

DATA KHUSUS
1. Riwayat Perinatal
Anak laki-laki lahir spontan dari ibu G1P1A0 hamil 39 minggu di bidan dan menangis
saat lahir. ANC teratur. Pasien mengaku saat hamil kandungan pasien lemah dan pasien
disarankan untuk lebih banyak beristirahat agar tidak terjadi perdarahan. Anak lahir
dengan berat badan saat lahir 2800 gram dan panjang badan 54 cm.
Kesan perinatal: Aterm

2. Riwayat makan-minum
Anak diberikan ASI eksklusif sampai usia 3 bulan kemudian setelah itu diberikan
mpASI berupa buah buahan yang sudah dilumatkan atau bubur. Selain diberikan anak
terkadang diberikan air putih.
Kesan : ASI tidak eksklusif

3. Riwayat Imunisasi dasar


No. Imunisasi Umur
1. Hep B-0 0 bulan
2. BCG, polio-1 1 bulan
3. Pentabio (DPT, Hep B, 2 bulan
HiB)1, polio-2
4. Pentabio (DPT , Hep B-, 3 bulan
HiB)2, polio-3
5. Pentabio (DPT , Hep B-, 6 bulan
HiB)2, polio-3

6. MR (campak + 9 bulan
measles/rubella)
Kesan: Imunisasi dasar lengkap

4. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak


 Senyum : pada usia 2 bulan
 Miring : pada usia 9 bulan
 Tengkurap : pada usia 13 bulan
 Duduk : pada usia 19 bulan
 Merangkak : belum bisa
Kesan : Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak sesuai dengan umur

Pemeriksaan Status Gizi (Z-Score)


Diketahui :
Anak Laki-laki berusia 20 bulan
BB = 8,2 kg
PB = 90 cm

8,2−12,8
WAZ = =−2,2 (BB Rendah, Gizi Kurang)
1,4
90−88,5
HAZ = =1,8 (Normal)
3,5
8,2−14,5
WHZ = =−3,8 (Sangat Kurus)
1,3
Kesan: Gizi Buruk
Keadaan Umum : tampak kurus
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda Vital (pemeriksaan berdasarkan rekam medis tanggal 11 november
2019)
HR : 100x/min, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/min
Temp : 38,5° C (axilla)
BP :-

Status Internus (pemeriksaan saat kontrol rutin tanggal 27 Juli 2020)


Kepala : Mesocephale, ubun-ubun besar sudah tertutup, tanda perdarahan
intracranial (-)
Rambut : Hitam, mudah dicabut (-), kering (-)
Kulit : Peteki (-), sianosis (-), turgor kembali lambat (-), pucat (-)
Mata : Mata cekung (-), oedem palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : Discharge (-/-), epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Telinga : Discharge (-/-)
Bibir : Stomatitis angularis (-), kering (-), sianosis (-)
Mulut : Gusi berdarah (-), stomatitis (-), bula hemorargik (-)
Lidah : Atrofi papil lidah (-), glositis (-), licin (-)
Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
Tenggorokan: Hiperemis (-), selaput putih (-) Tonsil T1/T1

Thorax
Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk normal, simetris, retraksi (-)
 Palpasi : Sterm fremitus dextra et sinistra simetris, nyeri tekan(-)
 Perkusi : Sonor di seluruh lapang
 Auskultasi : Suara vesikuler (+), ronkhi (+/+), wheezing (-/-),
amforik (-/-)

Cor
 Inspeksi : Iktus cordis tak tampak
 Perkusi :-
 Palpasi : Iktus cordis teraba, kuat angkat
 Auskultasi :
o Irama : Reguler
o Bunyi Jantung : BJ I dan BJ II normal reguler
o Bising : (-)

Abdomen
 Inspeksi : Datar, hiperemis (-), lesi (-), kembung (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio, tanda perdarahan
intrabdomen (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), defens muscular (-), hepar dan lien tak
teraba

Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Refleks patologis -/- -/-
Edema -/- -/-
Capillary refill time <2s/<2x <2s/<2s
Kuku sendok -/- -/-
Bercak kemerahan -/- -/-

Genital
Laki-laki, dalam batas normal
Anorectal
Normal
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
11/11/19
Darah Rutin Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hemoglobin 11,8 10,8 – 12,8 g/dL
Hematokrit 35,2 35 – 43 %
Leukosit 9,62 6,0 – 17,0 Ribu/uL
Eritrosit 4,87 4,4 – 5,9 Juta/uL
Trombosit 253 217 – 497 Ribu/uL
Eosinophil 0 (L) 1–5 %
Basophil 0,2 0–1 %
Neutrophil 52,9 50 – 70 %
Limfosit 38,5 25 – 50 %
Monosit 9,5 (H) 1–6 %
IG 2,6
LED 14(LED 1) H 0-10mm/jam
36(LED 2) H 0-10mm/jam
Blood Type/Rh B/Positive

Kimia Hasil Nilai Rujukan Satuan


Natrium 135,7 132 – 145 mmol/L
Kalium 2,38 (L) 3,5 – 5 mmol/L
Chloride 105,3(H) 95 – 105 mmol/L

Pemeriksaan Radiologi (X Foto Thorax)


11/11/19  Foto tidak dapat di lampirkan
Cor : Bentuk dan letak normal
Pulmo : Corakan vascular meningkat
Tampak infiltrate di perihiler kanan kiri
Hilus kanan tampak tebal
Diafragma dan sinus kostofrenikus tak tampak kelainan
Kesan:
 COR TAK MEMBESAR
 PULMO MENDUKUNG GAMBARAN TB PARU
II. ASSESMENT
 TB paru
 Status Gizi Buruk
III. INITIAL PLAN
A. Assessment: TB Paru
DD:
 Bronchitis kronik
 Bronkopneumonia kronik
IP Dx:
S: Kontak dengan pasien TB, BB turun, batuk kronik
O: Uji tuberculin, X Foto Thorax, Uji BTA sputum, Tes Cepat Molekuler
IP Tx:
 OAT 2HRZ/4HR
o Isoniazid (H) 10 mg/kgBB/hari x 8,2 kg = 82 mg/hari
o Rifampisin (R) 15 mg/kgBB/hari x 8,2 kg = 123 mg/hari
o Pirazinamid (Z) 35 mg/kgBB/hari x 8,2kg = 287 mg/hari
 Atau OAT 2 tab KDT 2HRZ dan 2 tab KDT 4HR
IP Mx:
 KU
 TTV
 Tanda bahaya
IP Ex:
 Menjelaskan tentang penyakit pasien
 Menegaskan untuk selalu minum obat tanpa putus
 Menjelaskan bahwa pengobatan membutuhkan waktu yang lama
 Menyarankan anggota keluarga lain untuk memeriksakan dirinya
 Menganjurkan pasien untuk menggunakan masker
 Menegaskan agar rutin control ke dokter
 Menjelaskan bahwa penyakit yang diderita pasien dapat
disembuuhkan dengan berobat teratur

B. Assessment: Status Gizi Buruk

DD: - Gizi Baik

IP Dx:
S: Tampak kurus

O: Antropometri, Z Score

IP Tx:

BB: 8,2 kg

Dosis F-75

Per 2 jam = 105


BB: 8,2 kg

Dosis F-100 per 4


jam


IP Mx:

 KU

 TTV

 Tanda bahaya

 Z Score

IP Ex:

 Menjelaskan tentang kondisi pasien

 Menjelaskan agar memperhatikan asupan makanan pasien


 Menjelaskan bahwa masalah ini dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan pasien

 Menjelaskan bahwa pasien harus di rawat inap untuk


memperbaiki kondisinya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan

Sampai saat ini tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan yang
penting di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia termasuk dalam 5 negara
dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia. Tuberkulosis pada anak merupakan
komponen penting dalam pengendalian TB oleh karena jumlah anak berusia kurang
dari 15 tahun adalah 40 – 50% dari jumlah seluruh populasi dan terdapat sekitar
500.000 anak di dunia menderita TB tiap tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB anak
di antara semua kasus TB yang ternotifikasi dalam program TB hanya 9% dari yang
diperkirakan 10 – 15%, dan pada tingkat kabupaten/kota menunjukkan variasi
proporsi yang cukup lebar yaitu antara 1,2 – 17,3% di tahun 2015. Strategi nasional
2015 – 2019 terdapat 6 indikator utama dan 10 indikator operasional program
pengendalian TB, 2 diantaranya adalah cakupan penemuan kasus TB anak sebesar
80% dan cakupan anak <5 tahun yang mendapat pengobatan PP INH sebesar 50%
pada tahun 2019.

Salah satu permasalahan TB anak di Indonesia adalah penegakan diagnosis.


Sejak tahun 2005 sistem skoring TB anak disosialisasikan dan direkomendasikan
sebagai pendekatan diagnosis. Permasalahannya, tidak semya fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) di Indonesia mempunyai fasilitas uji tuberkulin dan
pemeriksaan foto thoraks yang merupakan 2 parameter yang ada di sistem skoring.
Akibatnya, di fasyankes dengan akses dan fasilitas terbatas banyak dijumpai
underdiagnosis TB anak.

Permasalahan lain dalam program penanggulangan TB anak adalah semakin


meningkatnya jumlah kasus TB resistan obat (TB RO) pada dewasa, yang merupakan
sumber penularan bagi anak. Jumlah pasti kasus TB RO pada anak di Indonesia saat
ini belum diketahui, tetapi semakin meningkat.
B. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis
yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi
terbanyak di paru, sebagai lokasi infeksi primer yang paling sering ditemui.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang sudah sangat lama dikenal, setua
peradaban manusia. Pada awal penemuan obat anti-tuberkulosis (OAT), timbul harapan
penyakit ini akan dapat ditanggulangi. Namun dengan perjalanan waktu, terbukti penyakit ini
tetap menjadi masalah kesehatan yang sangat serius, baik dari aspek gangguan tumbuh-
kembang, morbiditas, mortalitas, dan kecacatan. Dengan meluasnya kasus HIV-AIDS, TB
mengalami peningkatan bermakna secara global. Laporan World Health Organization tahun
2009 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat kelima dari jumlah total pasien TB dunia,
setelah India, Cina, Nigeria dan Afrika Selatan. Namun, dari proporsi jumlah pasien
dibanding jumlah penduduk, Indonesia menduduki peringkat pertama. Tuberkulosis anak
yang tidak mendapat pengobatan yang tepat akan menjadi sumber infeksi TB pada saat
dewasa nanti.
Perlu ditekankan sejak awal, ada perbedaan antara infeksi TB dengan sakit TB.
Infeksi TB dapat diketahui dengan berbagai perangkat diagnostik infeksi TB, misalnya uji
tuberkulin. Namun, seorang anak atau dewasa yang positif terinfeksi TB, ditandai dengan uji
tuberkulin positif, belum tentu menderita sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi
OAT, namun seseorang yang mengalami infeksi TB tanpa sakit TB, belum tentu perlu terapi
OAT, kecuali pada kelompok risiko tinggi yang memerlukan profilaksis.

C. Epidemiologi
Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. TB pada anak terjadi pada anak usia 0 – 14 tahun. Di negara – negara berkembang
jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 – 50% dari jumlah seluruh populasi
umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di duia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB anak diantara semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010
adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011; 8,2% pada tahun 2012; 7,9% pada
tahun 2013; 7,16% pada taun 2014; dan 9% di tahun 2015. Proporsi tersebut bervariasi antar
privinsi, dari 1,2% sampai 17,3%. Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas
yang berbed antara provinsi, tetapi bisa juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB ank pada
level provinsi.
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada umumnya,
tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, dan daya tahan tubuh. Pasien TB dengan
BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negative. Pasien TB dengan BTA negative masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan TB dengan BTA positif adalah 65%, pasien TB
BTA negative dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil
kultur negative dan foto thoraks positif adalah 17%.

D. Patogenesis
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik nerik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5µm) akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologi spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam
makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk
lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.
Dari focus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar
life (linfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar
limfe yang terlibat dalah kelenjr limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan anatar focus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respon imunitas seluler.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama
masa inkubasi, uji tuberculin masih negative. Pasa sebagian besar individudengan system
imun yang berfungsi baik, pada saat system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI)
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah terjadi
nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesepurna fokus primer di jaringan paru –
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun – tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi akibat focus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Focus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jarinagn paru – paru
(kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-value mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobrokial
atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelectasis, yang sering disebut lesi
segmental klaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menybabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisai baik, paling sering di apeks paru, limfa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain – lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
focus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TBapeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. Tuberculosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberculosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun penjamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima
tahun (balita) terutama dibawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkejuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klines, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread.
E. Gejala TB pada anak
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
yang tekait. Gejala umum TB pada anak yang paling sering dijumpai adalah batuk persisten,
berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala – gejala
tersebut sering dianggap tidak khas karena juga ditemukan pada penyakit lain. Namun
demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun
sudah diberikan terapi yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam,
antibiotika atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk
masalah berat badan).
1. Gejala sistemik/umum
a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik dalam 1-2 bulan.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, ISK, malaria, dll). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat
malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala – gejala sistemik/umum lainnya.
c. Batuk lama ≥2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak perna reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan. Batuk tidak membaik setelah pemberian antibiotika atau obat
asma (sesuai indikasi).
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
2. Gejala spesifik organ terkait
Pada TB ekstra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang khas pada
organ yang terkena.
a. Tuberculosis kelenjar
1) Biasanya di daerah leher (region colli)
2) Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) tidak nyeri, konsistensi
kenyal, multiple, dan kadang saling melekat (konfluens).
3) Ukuran bsar (>2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlihat jelas
bukan hanya teraba.
4) Tidak berespon terhadap pemberian antibiotika
5) Bisa terbentuk rongga dan discharge
b. Tuberculosis system saraf pusat
1) Meningitis TB: Gejala – gejala meningitis dengan sering kali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf – saraf otak yang terkena.
2) Tuberkuloma otak: Gejala – gejala adanya lesi desak ruang
c. Tuberculosis system skeletal
1) Tulang belakang (spondolitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
2) Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul
3) Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak pada tulut tanpa sebab
yang jelas.
4) Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Tuberculosis mata
1) Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
2) Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
e. Tuberculosis kulit (skrofuloderma)
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
f. Tuberculosis organ – organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal;
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ – organ tersebut tanpa
sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adannya infeksi TB.
F. Pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan
diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak terutama
dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas.
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat
pausibasiler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologi selama ini tidak dilakukan secara rutin
pada anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus TB resisten obat
dan TB HIV, saat ni pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang
seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanna kesehatan yang mempunyai fasilitas
pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologi. Cara mendapatkan sputum pada anak:
1. Berdahak
Pada anak >5 tahun biasanaya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak
secara langsung dengan berdahak
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak
yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan specimen dikumpulkan minimal 2
hari berturut – turut pada pagi hari.
3. Induksi sputum
Induksi sputum relative aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua
umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan,
tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini.
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan utuk membantu menegkkan diagnosis
TB pada anak:
1. Uji tuberculin
Uji tuberkululin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin
tidak bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil uji positif tuberculin
menunjukkan adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidaknya sakit TB.
Sebaliknya, hasil negative uji tuberculin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.
2. Foto thoraks
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto thoraks pada TB tidak khas kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah
sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/atau tanpa infiltrate
(visualisasinya selain dengan foto thoraks AP, harus disertai foto thorak
lateral).
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelectasis
f. Kavitas
g. Klsifikasi dengan infiltrate
h. Tuberkuloma
3. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkejuan di tengahnya dan dapat pula diemukan gambaran sel datia langhans dana
tau kuman TB.
Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap merupakan pemeriksaan utama
untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memperoleh
specimen dahak, diantaranya induksi sputum. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan
dinyatakan positif jika satu specimen diperiksa memberikan hasil positif.

Catatan
1. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun tidak
ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk
pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu dimana rujukan tidak memungkinkan, dapat
dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB anak.
2. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak erat,
misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
3. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain, misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resisten obat maupun masalah dengan
kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien di rujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada
anak tersebut pada saat diagnosis.
G. Pemeriksaan fisik
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
1. Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi di
daerah bawah atau di bawah P3.
2. Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien.
Gejala klinis spesifik terkait organ dapat terjadi apabila mengenai organ
ekstrapulmonal, yaitu:
1. Tuberkulosis kelenjar, terbanyak pada regio colli, berupa pembesaran kelenjar getah
bening multipel, diameter > 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, kadang saling melekat
atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
a. Meningitis TB: terdapat gejala meningitis disertai gejala akibat keterlibatan
nervus kranialis yang terkena.
b. Tuberkuloma otak: gejala akibat lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
a. Spondilitis: berupa penonjolan tulang belakang (gibbus).
b. Koksitis: pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah panggul.
c. Gonitis (pada tulang lutut): pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
d. Pada tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilis).
4. Skrofuloderma, ditandai dengan ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
a. Konjungtivitis fliktenularis, yaitu bintik putih di limbus kornea yang sangat
nyeri..
b. Tuberkel koroid.
6. Pada organ lainnya, antara lain peritonitis TB dan TB ginjal, dicurigai apabila ditemukan
gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan
adanya infeksi TB.

H. Tata laksana
1. Obat yang digunakan pada TB anak
Anak umumnya memiliki jumlah kuman lebih sedikit (pausibasiler) sehingga
rekomendasi pemberian 4 macam obat OAT pada fase intensif hanya diberikan pada
anaak BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA
negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan
pertama) diikuti Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan.
2. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)
Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum
obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT atau FDC. Satu pake dibuat
untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase
intensif, yaitu Rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan Pirazinamid (Z) 150 mg, serta
obat fase lanjutan yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu pake. Dosis yang dianjurkan
dapat dilihat pada tabel berikut :
3. Pemantauan dan hasil evaluasi TB anak

a. Pemantauan pengobatan pasien TB anak

Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hasri secara


teratur oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO
terbaik untuk anak. Pasien TB anak sebaiknya dipantai setiap 2 minggu
selama fase intensif, dan sekali sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap
kunjungan dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi, dan
kemungkinan adanya efek samping obat.

Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik


(demam menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan
BB meningkat. Jika respon pengobatan tidak membaik maka pengobatan
TB dapat dilanjutkan dan pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap
untuk menilai kemungkinan resistensi obat, komplikasi, komorbiditas, atau
adanya penyakit paru lain. pada pasien TB anak dengan hasil BTA positif
pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke 2, 5, dan 6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama
sehingga tidak perlu dilakukan foto thoraks untuk pemantauan pengobatan,
kecuali pada TB milier setelah pengobatan satu bulan dan efusi pleura
setelah pengobatan 2 4 minggu. Demikian pun pemeriksaan uji tuberkulin
karena uji tuberkulin yang positif akan tetap positif.

Dosis OAT fisesuaikan dengan penambahan BB. Pemberian OAT


dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto thoraks (pada TB
milier, TB dengan kavitas, efusi pleura). Meskipun gambaran radiologis
tidak munjukan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan
klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien
dinyatakan selesai. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu
pemantauan pengobatan.
I. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan
terapi dan meningkatkan risiko terjadinya TB RO.

1. Jika anak tidak minum obat > 2 minggu di fase intensif atau lebih dari 2 bulan di
fase lanjuta dan menunjukan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.

2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase
lanjutan dan menunjukan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
J. Pengobatan ulang TB pada anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB. Evaluasi dapat
dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem scoring. Evaluasi dengan
sistem scoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil
pemeriksaan dahak menunjukan hasil posif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak
dianjurkan untuk dilakukan uji teberkulin ulang.
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Pasien dibawa ke poli untuk kontrol rutin, keluhan awal pada saat pasien usia
10 bulan, pasien pernah dirawat dirumah sakit karena demam yang tinggi selama
kurang lebih 9 hari, demam hingga 40° C (axilla), demam naik turun akan tetapi tidak
pernah bebas demam. Demam tidak diketahui penyebabnya. Berat badan anak
semakin menurun karena anak tidak nafsu makan sejak usia 10 bulan yang, anak
hanya mau minum susu dan cemilan saja. An. K tampak lesu dan kurang interaktif.
Anak tidak didapatkan keluhan mual, muntah, sesak, gangguan pada saat BAK, diare,
tidak adanya bintik merah pada kulit. Sebelumnya Pasien sudah dibawa ke puskesmas
dan diberi obat penurun panas tetapi keluhan tidak membaik.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan, anak tampak kurus dan lemah. Demam (+),
nadi dan respirasi dbn. BB: 8,2 kg, umur 20 bulan dan didapatkan status gizi kurang.
Dari kepala, mata hidung pada thoraks dan abdomen serta ekstermitas tidak didapat
kelainan.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan scoring TB 5 (Riwayat kontak


dengan penderita batuk lama 2, gizi 2, ro thoraks 1), .

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik serta penjunjang, didapatkan


diagnosis TB paru anak fase intensif yang diobati dengan OAT selama 6 bulan (2
RHZ/4 RH) dan paracetamol kalau perlu. Dosis OAT untuk pasien ini adalah 1 x 2 tab
sebelum makan.
Daftar Pustaka

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan. Petunjuk Teknis


Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.

2. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman NasionalTuberkulosis pada Anak. Jakarta: Badan


Penerbit IDAI; 2003.Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan perjalanan alamiah.
Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi
anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 169–177.

3. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberkulosis pada anak. Dalam: Rahajoe NN,
Supriyanto B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 194–213.

4. Jasin MR, Setyanto DB, Hadinegoro SR, Lisnawati, Gayatri P, Kurniati N. Efficacy of
sputum induction from lower respiratory tract in children. Paediatr Indones.
2015;55:101-8.

5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pencegahan dan


Pengendalian Penyakit, 2016

Anda mungkin juga menyukai