Anda di halaman 1dari 24

Gambar 42.

Penyebaran hiperplasia gingiva yang luas yang mengenai gingiva


labial maksila dan mandibula (a) dan gingiva lingual mandibula (b) pada pasien
perempuan berusia 48 tahun dengan penyakit periodontal kronis yang dipersulit
oleh infiltrat leukemia kronis.

Gambar 43. Sebelum pembaruan pengobatan antiretroviral yang efektif, Kaposi


sarcoma intraoral merupakan manifestasi oral dari AIDS yang relatif sering
terlihat, biasanya mengenai gingiva atau palatum.

Metastasis ke Gingiva

Metastasis ke daerah mulut jarang terjadi dan biasanya dikaitkan dengan penyebaran

penyakit metastasis yang luas. Metastasis tulang adalah yang paling mungkin terjadi,

terutama ke mandibula, tetapi metastasis jaringan lunak juga dapat terjadi, dan dalam

kasus ini, mukosa gingiva merupakan daerah mukosa mulut yang paling umum dapat

terkena (Allon et al., 2014). Sebuah hubungan telah diketahui antara metastasis gingiva

dan adanya gigi-gigi, yang mengarah pada pendapat bahwa sitokin yang berhubungan

dengan inflamasi periapikal dan periodontal memudahkan

pengembangan niche (relung) yang tepat bagi sirkulasi sel tumor untuk berkembang


(Allon et al., 2014; Hirshberg et al., 2014). Gambaran klinis yang paling umum dari

metastasis gingiva adalah pembengkakan yang terasa nyeri, dengan atau tanpa adanya

ulserasi permukaan, yang ukurannya bertambah dengan cepat. Jika terkena tulang dan

lesi terletak di sekitar nervus alveolaris inferior, maka dapat terjadi parestesia atau

anestesia labial. Dalam hal ini, pemeriksaan radiografi cenderung menunjukkan

gambaran radiolusen dengan margin yang tidak jelas. Pada laki-laki, daerah utama yang

paling umum yang bermetastasis ke daerah mulut adalah paru-paru, ginjal, hati, dan

prostat, sedangkan pada perempuan, kemungkinan besar metastasis berasal dari

payudara, organ genital perempuan, ginjal, dan kolorektal (Hirshberg et al., 2014).

Kesimpulan dan Pedoman ke Depannya

Lesi gingiva mungkin bersifat lokal dan sederhana atau mungkin merupakan indikasi

penyakit lokal atau sistemik yang parah. Dengan mengetahui tanda-tanda dan/atau

gejala patologi gingiva, maka dapat ditentukan penatalaksanaan yang tepat dan segera

untuk pasien. Pengamatan klinis yang teliti akan terus menjadi hal penting bagi

pengembangan diagnosis klinis untuk patologi gingiva. Namun, teknik diagnostiknya

dapat berubah. Biopsi lesi untuk histopatologi yang konvensional tetap menjadi baku

emas (gold standard) untuk sebagian besar diagnosis, tetapi hal ini sering dijelaskan

bersamaan dengan hasil pemeriksaan imunofluoresensi dan imunohistokimia. Kami

semakin mencari di luar struktur jaringan dan gambaran seluler untuk

mempelajari biomarker yang berhubungan dengan genetik dan protein dari jaringan lesi,

darah, dan kemungkinan saliva. Penerapan diagnostik dari saliva sebagai

suatu biofluid mulai dipahami, tetapi teknologi yang hemat biaya yang dapat diandalkan

belum tersedia. Signifikansi dan dampak klinis dari susunan klasifikasi yang baru tahun
2017 untuk penyakit dan kondisi periodontal dan peri-implant (Caton et al., 2018)

masih harus direalisasikan, dan belum mempengaruhi pendekatan kami untuk

karakterisasi patologi gingiva.


Lesi Berpigmen dari Mukosa Mulut

Eric T. Stoopler dan Faizan Alawi

Abstrak

Lesi berpigmen pada mukosa mulut dijumpai secara rutin dalam praktik klinis. Penyedia

layanan kesehatan mulut harus menilai beberapa parameter yang terkait dengan lesi

berpigmen, seperti lokasi, bentuk, warna, dan ukuran. Etiologi lesi berpigmen dapat

dikaitkan dengan fenomena lokal dan/atau terkait dengan gangguan sistemik yang

mendasarinya. Modalitas diagnostik dan perawatan harus dipertimbangkan dengan hati-

hati karena lesi-lesi ini mencakup spektrum patologi klinis, mulai dari jinak (benign)

hingga ganas (malignant). Dokter harus mengetahui riwayat medis menyeluruh dan

melakukan pemeriksaan fisik yang sesuai pada pasien dengan lesi berpigmen untuk

mengidentifikasi kemungkinan dari kelainan adrenal, gastrointestinal, atau genetik yang

umumnya berhubungan dengan jenis lesi ini. Jika dicurigai adanya kelainan sistemik,

pasien harus segera dirujuk ke penyedia layanan kesehatan yang sesuai untuk evaluasi

dan tatalaksana lebih lanjut. Perawatan dari multidisiplin sering diperlukan untuk

penatalaksanaan pasien secara efektif dengan kondisi ini. Bab ini menjelaskan

pandangan modern tentang lesi berpigmen pada mukosa mulut dan berfungsi sebagai

sumber praktik klinis untuk penyedia layanan kesehatan mulut.

Kata Kunci: mukosa mulut, pigmentasi, melanin, fokal, multifokal, difus, sistemik,

genetik, eksogen
PENDAHULUAN

Membran mukosa yang melapisi rongga mulut adalah tidak berwarna sama dan

tergantung pada lokasi anatomi tertentu; jaringan yang sehat umumnya berkisar dari

warna putih hingga merah-keunguan. Hal ini disebabkan oleh hubungan dari berbagai

jaringan yang membentuk lapisan mukosa, termasuk ada atau tidaknya keratin pada

epitel permukaan, lokasi dan adanya struktur vaskular dalam stroma, adanya adiposit,

dan kurangnya pigmentasi melanin dalam lapisan sel basal dari epitel. Penumpukan

pigmen, apakah fisiologis atau patologis, atau dikaitkan dengan substansi endogen atau

eksogen, akan memberikan perubahan warna yaitu abu-abu, biru, cokelat dan/atau hitam

pada mukosa mulut. Sumber pigmentasi endogen yang paling umum adalah melanin,

hemoglobin, dan hemosiderin, sedangkan sumber pigmentasi eksogen biasanya

dikaitkan dengan kejadian traumatis atau iatrogenik yang mengakibatkan penumpukan

bahan asing langsung ke jaringan mukosa. Beberapa parameter yang berhubungan

dengan lesi berpigmen, seperti lokasi, bentuk, warna, dan ukuran, harus dinilai agar

dokter dapat mengevaluasi dan menatalaksana kondisi tersebut dengan tepat, karena

patologi lesi berpigmen berkisar dari jinak ke ganas. Dokter harus mengetahui riwayat

kesehatan, keluarga, dan sosial yang menyeluruh, serta melakukan pemeriksaan fisik

yang sesuai bagi pasien dengan lesi berpigmen, untuk mengidentifikasi kemungkinan

adanya kelainan adrenal, gastrointestinal, atau genetik yang umumnya berhubungan

dengan jenis lesi ini. Jika dicurigai adanya kelainan sistemik, pasien harus segera

dirujuk ke penyedia layanan kesehatan yang sesuai untuk evaluasi dan tatalaksa lebih

lanjut. Perawatan dari multidisiplin sering diperlukan untuk penatalaksanaan pasien

secara efektif dengan kondisi ini. Bab ini menjelaskan pandangan modern tentang lesi

berpigmen pada mukosa mulut yang berpusat pada hubungannya dengan melanin dan
akan dijelaskan tentang keadaan dengan pigmentasi fokal, multifokal atau difus, serta

pigmentasi yang berhubungan dengan gangguan sistemik atau genetik, dan penyebab

eksogen dari pigmentasi klinis (Tabel 1).

Tabel 1. Lesi berpigmen pada mukosa mulut

I. Keadaan-keadaan dengan pigmentasi fokal

a. Freckle/ ephelis
b. Makula melanotik oral/ labial
c. Melanoakantoma oral
d. Melanocytic nevus
e. Melanoma maligna
II. Keadaan-keadaan dengan pigmentasi multifokal/ difus

a. Pigmentasi fisiologis
b. Drug-induced melanosis
c. Smoker’s melanosis
d. Hiperpigmentasi post inflamasi
e. Pigmentasi Laugier-Hunziker
III. Pigmentasi yang berhubungan dengan gangguan sistemik atau genetik

a. Insufisiensi adrenal (Addison disease)


b. Cushing disease
c. Pigmentasi yang berhubungan dengan human immunodeficiency virus (HIV)
d. Peutz-Jeghers syndrome
IV. Penyebab eksogen dari pigmentasi klinis

a. Tattoo – amalgam, graphite, dan ornamental


b. Metal – induced discoloration

Melanosit berasal dari sel krista neuralis dan terletak di lapisan epitel basal membran

mukosa skuamosa (Meleti et al., 2008). Fungsi melanosit tidak sepenuhnya dapat

dipahami, tetapi melanin yang dihasilkan oleh sel-sel ini mengabsorpsi sinar ultraviolet,
menangkap spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species), dan menentukan warna

kulit, rambut, dan mata (Meleti et al., 2008; Feller et al., 2014a, b). Melanosit oral

secara reguler dipisahkan antara keratinosit basal, dan melanin dari melanosit dibawa

dan ditransmisikan ke sel epitel melalui migrasi dendritik dari melanosom (vesikel yang

mengandung melanin). Rasio melanosit terhadap keratinosit dalam lapisan epitel basal

berkisar antara 1:10 hingga 1:15 (Feller et al. 2014a, b). Dua jenis melanin yang

berbeda secara kimia adalah eumelanin (cokelat-hitam) dan feomelanin (merah/

kuning), dan melanogenesis dianggap sebagai proses gabungan antara jenis-jenis

melanin ini, dengan proporsi eumelanin dan feomelanin ditentukan secara genetik

(Feller et al., 2014a, b). Tidak ada perbedaan numerik atau struktural dalam melanosit

oral antara individu yang berkulit terang dan berkulit gelap, kecuali bahwa melanosom

lebih besar dan lebih banyak pada yang berkulit gelap (Feller et al., 2014a, b). Beberapa

faktor yang kemungkinan menentukan warna mukosa intraoral, meliputi jumlah dan

aktivitas melanogenik dari melanosit; perbedaan jumlah, ukuran dan distribusi

melanosom; perbedaan jenis melanin; dan efek pelapisan (masking effect) dari epitel

yang sangat berkeratin (Feller et al., 2014a, b).

PIGMENTASI FOKAL

Freckle/ Ephelis

Epidemiologi

Freckle (ephelis) merupakan makula hiperpigmentasi yang biasanya dijumpai pada kulit

wajah dan perioral. Mereka biasanya berkembang selama dekade pertama kehidupan

dan lebih sering terjadi pada individu yang berkulit terang dengan rambut pirang atau

merah (Gaeta et al., 2002; Hatch, 2005). Tidak ada predileksi jenis kelamin, serta
intensitas warna dan frekuensi dari freckle biasanya menurun setelah remaja (Gaeta et

al., 2002; Hatch, 2005).

Etiologi

Freckle dianggap berkembang dari asalnya (Gaeta et al., 2002; Hatch, 2005).

Polimorfisme genetik yang terkait dengan gen melanocortin-1 receptor (MC1R) dan

kromosom 4q32q34 sangat berhubungan dengan perkembangan freckle (Bastiaens et

al., 2001).

Patofisiologi

Freckle disebabkan oleh peningkatan produksi melanin tanpa adanya peningkatan

jumlah melanosit dan menjadi lebih jelas setelah paparan sinar matahari. Mereka juga

berhubungan erat dengan riwayat terpapar sinar matahari (sunburn) yang simtomatis

pada anak (Bliss et al., 1995).

Gambaran patologi klinis

Freckle timbul sebagai makula yang uniform, berwarna tan atau cokelat, berbentuk oval

atau bulat, berukuran antara 1 dan 3 mm pada permukaan kulit yang terpapar sinar

matahari (Gaeta et al., 2002; Hatch, 2005) (Gambar 1). Mereka secara reguler berbatas

tegas, tidak terangkat di atas permukaan kulit, dan tidak menunjukkan gejala (Gaeta et

al., 2002; Hatch, 2005). Mereka sering timbul pada kulit perioral dan batas vermillion

bibir dengan peningkatan frekuensi pada bibir bawah (Hatch, 2005). Meskipun banyak

individu memiliki kurang dari sepuluh lesi, karena variabilitas yang besar dalam jumlah

lesi yang timbul, beberapa mungkin memiliki ratusan freckle (Gaeta et al., 2002; Hatch,
2005). Secara histopatologis, freckle menunjukkan penumpukan melanin yang

melimpah pada lapisan sel basal dari epidermis tanpa pemanjangan rete ridge (Hatch,

2005).

Gambar 1. Freckle (ephelis) [panah] pada kulit wajah

Penatalaksanaan pasien

Pengobatan biasanya tidak diindikasikan untuk freckle yang timbul pada masa kanak-

kanak atau remaja (Hatch, 2005). Tabir surya (sun screen) dapat membantu mencegah

lesi yang ada menjadi lebih gelap dan mencegah munculnya lesi yang baru (Bliss et al.,

1995). Freckle yang berhubungan dengan kosmetik dapat diobati dengan chemical peel,

terapi laser, dan/atau cryotherapy. Variasi gen MC1R telah dikaitkan dengan

peningkatan risiko terhadap cutaneous melanoma yang sporadis (Pasquali et al., 2015).

Makula Melanotik Labial/ Oral

Epidemiologi

Makula melanotik merupakan suatu lesi berpigmen jinak yang dapat terjadi pada

permukaan mukosa intraoral (makula melanotik oral) atau pada bibir (makula melanotik

labial) (Tarakji et al., 2014). Mereka dianggap sebagai lesi mukosa mulut yang paling

umum berasal dari melanositik dan juga disebut melanosis fokal (Alawi, 2013; Muller,

2010). Makula melanotik oral/ labial muncul hingga 3% dari populasi, biasanya diamati
pada pasien pada dekade keempat dan kelima, dan memiliki predileksi pada perempuan

dengan perbandingan 2:1 (Hatch, 2005; Meleti et al., 2008; Muller, 2010).

Etiologi

Etiologi makula melanotik oral/ labial belum ditentukan secara pasti, tetapi dapat

menunjukkan suatu proses reaktif atau fisiologis (Meleti et al., 2008).

Patofisiologi

Makula melanotik oral/ labial disebabkan oleh peningkatan produksi dan penumpukan

melanin dalam lapisan sel basal, lamina propria, atau keduanya (Meleti et al., 2008).

Etiologi lesi ini tidak jelas; namun, paparan sinar matahari tampaknya tidak menjadi

faktor pencetus.

Gambaran patologi klinis

Makula melanotik oral/ labial merupakan lesi soliter yang berbatas jelas yang biasanya

berdiameter kurang dari 1 cm (Alawi, 2013; Kauzman et al., 2004). Mereka secara

uniform berwarna tan hingga cokelat gelap, berbentuk bulat atau oval, dan tanpa gejala

(Kaugars et al., 1993; Shenetal, 2011). Secara keseluruhan, makula melanotik labial

merupakan jenis makula yang paling umum dijumpai yang mengenai batas vermillion

bibir bawah secara dominan (Kaugars et al. 1993; Shenetal. 2011). Berbeda

dengan freckle, makula melanotik labial tidak berubah menjadi gelap setelah terpapar

sinar matahari (Lim et al., 2014; Meletietal, 2008). Makula melanotik oral dapat muncul

pada permukaan apa saja tetapi paling sering terlihat pada mukosa buccal, gingiva, dan

palatum (Kauzman et al., 2004) (Gambar 2, 3, 4, dan 5a, b). Lesi intraoral sering lebih
besar daripada yang terletak di bibir (Meleti et al., 2008). Analisis histopatologi makula

melanotik menunjukkan peningkatan melanin pada lapisan basal dan parabasal dari

epitel pipih berlapis (stratified squamous epithelium) tanpa peningkatan jumlah

melanosit (Kaugars et al., 1993; Shenetal, 2011) (Gambar 6). Melanin juga dapat

diamati dalam melanofag atau mungkin bebas (inkontinensia) dalam jaringan ikat

subepitel, dan lesi ini biasanya tidak menunjukkan rete ridge yang memanjang (Alawi,

2013).

Gambar 2. Makula melanotik gingiva yang terbukti melalui biopsi dan muncul
sebagai lesi berpigmen berwarna cokelat yang mengenai interdental gingiva
antara gigi 41 dan 42

Gambar 3. Makula melanotik yang terbukti melalui biopsi dan muncul sebagai lesi
berpigmen berwarna cokelat yang ireguler di sepanjang alveolar ridge edentulous
mandibula
Gambar 4. Makula melanotik terbukti melalui biopsi dan muncul sebagai lesi
berwarna cokelat redup pada lunak sebelah kanan

Gambar 5. Makula melanotik yang terbukti melalui biopsi mengenai palatum


durum yang menunjukkan pigmentasi yang ireguler dan batas yang dapat dilihat
dengan cahaya putih (a) dan dengan optical fluorescence imaging VELscope Vx (b)
menunjukkan hilangnya fluoresensi yang terbatas pada lesi tanpa diascopy

Gambar 6. Makula melanotik. Pigmentasi melanin dijumpai pada lapisan basal


dari epitel

Penatalaksanaan pasien

Makula melanotik oral/ labial dianggap lesi jinak yang tidak berpotensi menjadi ganas

(Kauzman et al., 2004). Karena melanoma maligna dini mungkin memiliki gambaran
klinis yang serupa dan menunjukkan tempat predileksinya di mukosa dan palatum

alveolar maksila, sangat disarankan untuk melakukan biopsi eksisi terhadap dugaan

makula melanotik oral/labial untuk analisis histopatologis (Kauzman et al., 2004).

Makula melanotik labial yang mungkin berhubungan dengan kosmetika, dan

penyembuhan lesi ini dapat dilakukan dengan scalpel, cryosurgery, electrocautery,

atau laser ablation (Alawi, 2013; Lim et al., 2014).

Melanoakantoma Oral

Melanoakantoma oral merupakan lesi melanositik jinak yang paling sering dijumpai

pada perempuan berkulit gelap antara usia 30 dan 50 tahun (Arava-Parastatidis et al.,

2011). Kondisi ini telah dilaporkan pada populasi Hispanik, Asia, dan Kaukasia dan

memiliki predileksi pada perempuan secara keseluruhan (Arava-Parastatidis et al.,

2011).

Etiologi

Etiologi melanoakantoma oral tidak diketahui (Gondak et al., 2012; Muller, 2010).

Patofisiologi

Mekanisme patofisiologi untuk melanoakantoma oral dikaitkan dengan trauma regional

akut atau gangguan kronis (Alawi, 2013; Arava-Parastatidis et al., 2011).

Gambaran patologi klinis

Melanoakantoma oral biasanya muncul difus, pembesaran daerah pigmentasi makula

dengan cepat yang dapat berkisar dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter
(Alawi, 2013; Arava-Parastatidis et al., 2011) (Gambar 7). Lesi biasanya berwarna

cokelat hingga hitam dengan kemungkinan heterogenitas warna di seluruh lesi.

Melanoakantoma oral biasanya bermanifestasi sebagai lesi soliter, tetapi lesi multifokal

juga telah dilaporkan (Arava-Parastatidis et al., 2011). Melanoakantoma oral paling

sering dijumpai pada mukosa buccal kemudian diikuti oleh palatum, bibir, gingiva, dan

lidah, dan dapat muncul secara unilateral atau bilateral (Alawi, 2013; Arava-

Parastatidis et al., 2011). Kondisi ini terutama tanpa gejala; namun, beberapa pasien

melaporkan adanya rasa sensasi terbakar dan/atau pruritus yang berhubungan dengan

lesi ini (Cantudo-Sanagustin et al., 2016). Secara histologis, melanoakantoma oral

ditandai oleh epitel spongiotik yang mengandung melanosit berpigmen dendritik

sepanjang lesi epitel (Alawi, 2013) (Gambar 8). Infiltrat inflamasi ringan hingga sedang

yang terdiri dari limfosit dan kadang-kadang eosinofil dijumpai pada jaringan ikat yang

mendasarinya (Alawi, 2013).

Gambar 7. Melanoakantoma oral mengenai mukosa buccal


Gambar 8. Melanosit dendritik (panah) dalam stratum spinosum

Penatalaksanaan pasien

Pengobatan melanoakantoma oral biasanya tidak diindikasikan setelah diagnosis

ditegakkan. Biopsi insisi diperlukan untuk menyingkirkan melanoma maligna karena

dapat dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari lesi ini karena gambaran klinisnya

yang buruk (Alawi, 2013). Penyembuhan spontan melanoakantoma oral telah dijumpai

setelah biopsi, dan kekambuhan lesi ini jarang terjadi (Alawi, 2013; Arava-

Parastatidis et al., 2011). Perubahan ke maligna dari melanoakantoma oral belum

pernah dilaporkan (Kauzman et al., 2004).

Melanocytic Nevus

Epidemiologi

Melanocytic nevi, biasa disebut sebagai "moles," mewakili sekelompok tumor jinak

yang berkembang karena pertumbuhan dan proliferasi melanositik (Alawi, 2013; Hatch,

2005). Cutaneous nevi merupakan yang umum terjadi dan biasanya berkembang selama

masa anak-anak dengan sebagian besar lesi kulit muncul sebelum usia 35 tahun

(Marangon Junior et al., 2015). Selain itu, individu Kaukasia cenderung lebih sering

timbul lesi kulit daripada individu berkulit hitam atau Asia (Marangon Junior et al.,

2015). Intramucosal nevus merupakan jenis oral nevus yang paling sering dijumpai

kemudian diikuti oleh blue nevus, compound nevus, junctional nevus, dan combined

nevus, sesuai urutan frekuensi yang menurun (Alawi, 2013). Oral melanocytic

nevus sering dijumpai pada dekade ketiga hingga keempat kehidupan, dan sementara

jumlah total nevus cenderung lebih tinggi pada laki-laki, oral melanocytic nevus lebih

sering terjadi pada perempuan (Alawi, 2013).


Etiologi

Secara umum, melanocytic nevus merupakan lesi yang acquired/ didapat dengan faktor

lingkungan dan genetik yang diduga berperan dalam perkembangan lesi kulit (Alawi,

2013; Muller, 2010). Paparan sinar matahari merupakan faktor lingkungan yang

diketahui berperan dalam perkembangan cutaneous nevus (Lim et al., 2014). Penelitian

baru-baru ini telah menunjukkan bahwa cutaneous nevi  menunjukkan mutasi somatik

dan aktif dalam protoonkogen BRAF, HRAS, dan NRAS (Alawi, 2013; Meleti et al.,

2008). Masih belum jelas apakah mutasi yang sama terlibat sebagai etiologi oral

melanocytic nevi  (Alawi 2013).

Patofisiologi

Patogenesis melanocytic nevi, termasuk oral melanocytic nevi, kurang dipahami

(Meleti et al., 2008). Acquired melanocytic nevi berkembang melalui beberapa tahap

perkembangan walaupun tidak semua nevi melewati setiap tahap (Meleti et al., 2008).

Telah dijelaskan bahwa junctional nevi berkembang menjadi compound nevi dan

akhirnya menjadi intramucosal nevi, dengan gambaran klinis dan histologis yang

berbeda (Alawi, 2013). Proliferasi melanosit dapat dipertimbangkan dalam tiga fase

yang sesuai dengan masing-masing jenis nevi yang disebutkan di atas: (1)

proliferasi benign neoplastic melanocytes di sepanjang epithelial-mesenchymal

junction (yaitu, junctional nevus), (2) migrasi sel-sel ini ke dalam kompartemen

mesenkim (yaitu, compound nevus), dan (3) hilangnya komponen fungsional nevus

sehingga semua sel yang tersisa terletak di dalam kompartemen subepitel (intramucosal

nevi) (Meleti et al., 2008). Blue nevi merupakan lesi melanositik yang biasanya tampak
biru keabu-abuan hingga biru kehitaman dan merupakan 35% dari semua oral

nevi (Pinto et al., 2003). Mereka dikategorikan ke dalam tipe yang umum dan tipe

seluler yang lebih jarang dijumpai, dan sementara masing-masing memiliki gambaran

karakteristik histopatologis yang khas, kedua tipe tersebut mempunyai partikel melanin

jauh ke permukaan sehingga cahaya yang dipantulkan tampak berwarna biru bagi

peneliti (Pinto et al., 2003). Blue nevi yang berpigmen gelap mungkin secara klinis

tidak dapat dibedakan dari jenis melanocytic nevi lainnya.

Cutaneous junctional nevi biasanya muncul sebagai makula yang berbatas tegas

dengan diameter kurang dari 6 mm dengan warna cokelat atau biru (Alawi,

2013). Compound nevi  dapat berupa makula atau sedikit lebih tinggi, lunak dengan

permukaan yang relatif halus, sedangkan intradermal (kulit berlawanan dari

intramukosa) nevi menunjukkan hilangnya pigmentasi dan permukaan papillomatosa

dengan kemungkinan pertumbuhan rambut sentral (Alawi, 2013). Oral melanocytic

nevi tidak memiliki karakteristik klinis yang berbeda; namun, mereka biasanya tanpa

gejala, soliter, berbatas tegas, berukuran kurang dari 1 cm, berbentuk makula atau

nodular, dan berwarna cokelat atau biru (Alawi, 2013) (Gambar 9 dan 10). Penting

untuk diketahui bahwa hingga 15% dari oral nevi mungkin tidak menunjukkan bukti

pigmentasi klinis (Alawi, 2013; Muller 2010). Permukaan intraoral yang paling sering

terkena adalah palatum keras, mukosa buccal dan labial, dan gingiva (Alawi, 2013;

Meleti et al., 2008).


Gambar 9. Intramucosal nevi (panah) terletak di palatum

Gambar 10. Blue nevi dijumpai di palatum

Secara histopatologi, sel-sel nevus terbatas pada lapisan basal pada junction dari

epitel dan jaringan ikat, terutama di ujung rete ridge, dimana hal tersebut

merupakan karakteristik dari junctional nevi (Alawi, 2013). Ketika junctional

nevus berkembang, melanosit yang berkelompok berproliferasi ke dalam jaringan ikat,

membentuk sarang dengan berbagai ukuran, sementara beberapa sel nevus masih

terlihat pada permukaan jaringan ikat–epitel, yang semuanya merupakan karakteristik

dari compound nevus (Alawi, 2013). Intramucosal nevi menunjukkan sel nevus terpisah

dari lapisan epitel dan hanya ditemukan di jaringan ikat (Alawi 2013) (Gambar 11 dan

12). Blue nevus yang umum ditandai dengan proliferasi intramukosal dari pigmentladen,

melanosit berbentuk spindel (Gambar 13), sedangkan celluler blue nevus menunjukkan

proliferasi submukosa dari melanosit yang baik itu berbentuk spindel dan besar, bulat,

atau oval (Pinto et al., 2003).


Gambar 11. Intramucosal nevus. Sekumpulan sel-sel nevus yang jinak dijumpai
pada lamina propria (pewarnaan hematoksilin dan eosin, x 200)

Gambar 12. Intramucosal nevus terdiri dari sel-sel nevus yang sangat berpigmen


(pewarnaan hematoksilin dan eosin, x 200)

Gambar 13. Blue nevus. Melanosit berbentuk spindle (panah) tersimpan dalam


lamina propria fibrotik yang padat (pewarnaan hematoksilin dan eosin, x 200)

Penatalaksanaan pasien
Pengobatan lesi kulit biasanya tidak diindikasikan, kecuali jika terdapat kekhawatiran

terhadap kosmetik dan terdapat kemungkinan untuk penyembuhan lesi dengan usia

lanjut (Alawi, 2013). Biopsi diperlukan untuk memastikan diagnosis oral melanocytic

nevi karena gambaran klinisnya menyerupai lesi berpigmen fokal lainnya, seperti

melanoma maligna (Felix et al., 2013). Oral melanocytic nevi diindikasikan untuk

bedah eksisi complete dan konservatif dengan kekambuhan yang jarang telah dilaporkan

(Felix et al., 2013). Jumlah melanocytic nevi  merupakan faktor risiko independen

terhadap perkembangan melanoma, dimana lebih dari 50 nevi dapat meningkatkan

risiko melanoma sekitar empat hingga lima kali lipat (Lim et al., 2014). Secara

keseluruhan, risiko perubahan menjadi ganas dari cutaneous nevi ke melanoma adalah

rendah, dan bukti saat ini tidak menunjukkan bahwa oral melanocytic nevi  adalah

penanda untuk perkembangan melanoma maligna oral (Meleti et al., 2008).

Melanoma Maligna

Epidemiologi

Melanoma maligna merupakan suatu neoplasma yang berasal dari melanositik dengan

sebagian besar kasus terjadi pada kulit. Walaupun kejadian melanoma maligna lebih

rendah dibandingkan dengan kanker kulit non-melanoma, tetapi hal tersebut

mengakibatkan sebagian besar kematian akibat kanker kulit (Lee et al. 2017).

Melanoma maligna paling umum terjadi di antara populasi berkulit putih yang tinggal di

wilayah Sunbelt di dunia (Berwick et al. 2016). Insiden melanoma secara internasional

bervariasi tergantung pada wilayah geografis, dimana tingkat melanoma maligna

tertinggi terjadi di Selandia Baru, Australia, dan Amerika Serikat (Jiang et al., 2015).

Diperkirakan 1 dari 50 orang di Amerika Serikat akan didiagnosis dengan melanoma


maligna selama masa hidupnya (Lim et al., 2014). Hal ini memberikan sekitar 4,6% dari

seluruh kanker baru dan 1,7% dari seluruh kematian yang berhubungan dengan kanker

di Amerika Serikat (Gandhi dan Kampp, 2015). Insiden melanoma maligna di negara-

negara Eropa sangat bervariasi yaitu sekitar 2 hingga 20 kasus yang didiagnosis per

100.000 setiap tahun (Jiang et al., 2015). Insiden melanoma maligna di Asia, Afrika,

dan Amerika Tengah dan Selatan dianggap rendah; namun, keseluruhan kejadian

internasional dari melanoma maligna terlihat terus meningkat (Jiang et al., 2015). Usia

rata-rata diagnosis melanoma maligna adalah 64 tahun; namun, kejadian melanoma

maligna meningkat dengan bertambahnya usia, dan mencapai puncak antara usia 80 dan

84 tahun (Gandhi dan Kampp, 2015). Secara keseluruhan, predileksi untuk melanoma

maligna adalah pada laki-laki, tetapi insiden meningkat pada perempuan yang lebih

muda dari usia subur (Lim et al., 2014). Prognosis melanoma maligna tergantung pada

masing-masing yaitu kedalaman invasi, ketebalan lesi, dan stadium penyakit saat

didiagnosis menggunakan sistem Clark, klasifikasi Breslow, dan kriteria stadium tumor

node metastasis (TNM) (Lim et al., 2014). Lesi yang lebih tebal dan penyakit stadium

lanjut memiliki tingkat kelangsungan hidup selama 5 tahun yang jauh lebih rendah, dan

metastasis dari melanoma dikaitkan dengan rata-rata waktu kelangsungan hidup

berkisar 6 hingga 9 bulan (Lim et al., 2014).

Melanoma maligna oral terjadi jauh lebih jarang daripada yang terjadi di kulit;

dimana hal tersebut terdiri dari kurang dari 1% dari seluruh melanoma maligna di

Amerika Serikat dan 0,26% dari seluruh kanker rongga mulut di seluruh dunia

(Hashemi Pour 2008). Data menunjukkan melanoma maligna oral dapat terjadi lebih

sering di negara-negara tertentu, seperti Jepang dan Uganda, dan ras berkulit gelap

memiliki insiden relatif melanoma maligna oral yang lebih besar dan tingkat kematian
yang lebih tinggi terkait dengan kondisi ini (Tarakji et al., 2014). Secara umum,

melanoma maligna oral terjadi dengan frekuensi yang sedikit lebih tinggi pada laki-laki

dan umumnya muncul setelah usia 50 tahun dengan usia puncak diagnosis adalah antara

usia 65 dan 79 tahun (Alawi, 2013; Femiano et al., 2008). Tidak seperti melanoma

maligna di kulit, parameter histopatologi tidak dapat digunakan untuk menentukan

prognosis melanoma maligna oral (Alawi 2013). Melanoma maligna oral dikaitkan

dengan prognosis yang sangat buruk; dimana tingkat kelangsungan hidup selama 5

tahun berkisar antara 5% dan 50% dengan cluster yang besar pada 10-25% (Femiano et

al., 2008). Kurang dari 10% pasien dengan metastasis jauh dapat bertahan lebih dari 5

tahun, dan tingkat kelangsungan hidup selama 10 tahun telah dilaporkan sebesar 0%

(Hashemi Pour, 2008).

Etiologi

Walaupun penyebab melanoma maligna belum jelas; namun, beberapa faktor risiko

telah dikaitkan dengan timbulnya kanker (Lim et al., 2014).

Paparan sinar matahari merupakan faktor lingkungan paling penting dari

melanoma maligna di kulit, dengan radiasi ultraviolet, terutama tipe ultraviolet A, yang

paling terkait dengan tumorigenesis dan perkembangan penyakit (Lim et al. 2014). Pada

populasi yang berkulit terang, sumber utama nonsolar dari paparan sinar ultraviolet

adalah tanning bed, dan beberapa penelitian terbaru menunjukkan bahwa risiko

melanoma maligna meningkat sebesar 20% bagi mereka yang pernah

menggunakan indoor tanning (Lim et al., 2014).

Terdapat hubungan antara riwayat penyakit sebelumnya atau riwayat keluarga

dengan risiko melanoma maligna dimana sekitar 10% melanoma maligna terjadi
pada cluster keluarga (Lim et al., 2014). Mutasi telah diidentifikasi dalam dua gen yang

rentan dengan penetran yang tinggi, yaitu cyclin-dependent kinase inhibitor

2A  (CDKN2A) pada kromosom 19p21 dan cyclin-dependent kinase 4 (CDK4) pada

kromosom 12q14 (Lim et al., 2014). Gen MC1R telah diidentifikasi sebagai gen

melanoma maligna yang rentan dengan penetran yang rendah, dan perubahan proto-

onkogen BRAF, HRAS, dan NRAS, dan perubahan atau hilangnya fungsi PTEN, telah

dikaitkan dengan perkembangan melanoma maligna (Lim et al., 2014).

Seperti dibahas sebelumnya, jumlah melanocytic nevi merupakan faktor risiko

independen terhadap perkembangan melanoma maligna, dimana lebih dari 50 nevi

meningkatkan risiko melanoma maligna sekitar empat hingga lima kali lipat (Lim et al.,

2014). Perlindungan terhadap sinar matahari (sun protection) pada usia dini dapat

menurunkan risiko melanoma maligna (Lim et al., 2014; MacLennan et al., 2003).

Etiologi melanoma maligna oral tidak diketahui, dan tidak seperti yang terjadi di

kulit, faktor risiko terhadap perkembangannya belum dijelaskan secara jelas

(Femiano et al., 2008).

Patofisiologi

Melanoma maligna mungkin berkembang secara de novo atau dari lesi melanositik jinak

yang sudah ada sebelumnya (Chatzistefanou et al., 2016). Melanosit merupakan turunan

neuroektodermal dan biasanya berpindah ke kulit dan mukosa lain yang diturunkan

secara ektodermal (Femiano et al., 2008). Lebih jarang, melanosit berpindah ke mukosa

yang diturunkan secara endodermal, seperti yang ditemukan di kepala dan leher, dan

melanosit telah dijumpai dalam stroma yang dalam dari mukosa mulut (Femiano et al.,
2008). Karena kedua faktor ekstrinsik dan intrinsik yang dijelaskan sebelumnya,

proliferasi dari melanosit ganas menimbulkan berbagai jenis melanoma.

Gambaran patologi klinis

Melanoma maligna dapat memiliki variasi gambaran klinis, dengan lesi awal umumnya

ditandai dengan makula atau plak dengan warna yang berbeda (cokelat, hitam, biru,

merah, atau putih) atau kadang-kadang seperti ulserasi yang tidak sembuh (Lim et al.,

2014).

Anda mungkin juga menyukai