Anda di halaman 1dari 55

Laporan Kasus:

Gambaran Klinis yang Tidak Umum dari Infeksi HPV Rongga Mulut Setelah

Menggunakan Combined Antiretroviral Therapy (cART)

Daniela Assis do Vale1, Lais Magda Araújo Ferracini1, Marcus Vinícius daSilva Rodrigues Bueno1, Ana Carolina Mamana
Fernandes Souza2, Paulo Henrique Braz-Silva 1,2, Karem López Ortega 1

Disusun oleh:

Novita Herdianti Effendi 160112130070

Dosen Pembimbing:

drg. Erna Herawati, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2020
ABSTRAK

Penggunaan Combined Antiretroviral Therapy (cART) dapat memodifikasi manifestasi

klinis HPV, walaupun insidensinya tidak terpengaruh oleh cART. Dalam jurnal ini

memperlihatkan gambaran yang tidak biasa dari infeksi HPV rongga mulut dan membahas

perawatan yang efektif untuk penyebaran lesi HPV ini.

Laki-laki berusia 52 tahun berasal dari Asia, seropositif HIV, mengalami lesi nodular

yang lebar di seluruh mukosa mulut yang meluas ke daerah orofaring. Biopsi diikuti oleh

pemeriksaan histopatologis dan HPV genotyping dilakukan. Perawatan dimulai dengan

mengaplikasikan secara topikal podophyllin dan asam trikloroasetat. Lesi HPV pada mukosa

mulut umumnya mudah ditangani. Lesi yang meluas dapat mempersulit dalam pemilihan

perawatan pasien yang efektif yang memenuhi kekhasan lesi dan ketersediaan pengobatannya.

Kata Kunci: HIV, HPV, Kondiloma Akuminata, Hiperplasia Epitelial Focal


DAFTAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………………………………………………. .. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………… .. ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………… .. 1

BAB II LAPORAN KASUS…………………………………………………………………….. .. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………… .. 6

3.1 Human Papilloma Viruses (HPV) ……………………………………………………… 6

3.1.1 Pengertian………………………………………………………………………… 6

3.1.2 Patofisiologi……………………………………………………………………… .. 6

3.1.3 Klasifikasi………………………………………………………………………. .. 7

3.1.4 Epidemiologi…………………………………………………………………….. .. 8

3.1.5 Gejala Klinis……………………………………………………………………… 9

3.1.6 Manifestasi oral…………………………………………………………………... 11

3.1.7 Komplikasi……………………………………………………………………… .. 12

3.1.8 Diagnosis………………………………………………………………………… .. 14

3.1.9 Pencegahan………………………………………………………………………... 16

3.1.10 Perawatan………………………………………………………………………. .. 17

BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………………………………. .. 22

BAB V SIMPULAN……………………………………………………………………………….. .. 24

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………. .. 25
BAB I

PENDAHULUAN

Combined Antiretroviral Therapy (cART) dapat meningkatkan harapan hidup dan

mengurangi insidensi sebagian besar infeksi oportunistik pada pasien yang terinfeksi human

immunodeficiency virus (HIV). Meskipun manifestasi klinis dari human papilloma viruses

(HPV) dapat dimodifikasi karakteristiknya, namun insidensinya tidak terpengaruh oleh cART1.

HPV terlibat dalam berbagai lesi oral biasanya seperti kutil (oral warts), kondiloma

akuminata, papilloma sel skuamosa, dan focal epithelial hyperplasia (FEH/Heck’s disease).

Semua gambaran ini bersifat jinak, asimptomatik, eksofitik (lesi superfisial), dan pertumbuhan

lesinya lambat2,3. Metode sitodestruktif dan eksisi atau kombinasi keduanya telah menjadi pilihan

yang paling umum untuk perawatan lesi yang disebabkan oleh HPV dengan biaya yang rendah
4,5
. Pilihan pertama pengobatan untuk lesi oral HPV hampir selalu yaitu dengan jalan operasi

pengangkatan lesi.
BAB II

LAPORAN KASUS

Seorang pria 52 tahun asal Asia dirujuk dengan diagnosis lesi multipel di rongga mulut.

Pasien dilaporkan seropositif HIV selama 12 tahun, pasien ini tidak mengikuti pengobatan secara

adekuat karena meminum obat antiretroviral yang berselang. Ketika lesi oral pertama kali

muncul, nilai sel T CD4+ adalah 70 sel/mm3, dan pasien mengubah perilakunya dan mematuhi

pengobatan yang diresepkan (Lamivudine, Tenofovir dan Atazanavir).

Empat bulan setelah cART dimulai, pasien mengalami peningkatan yang signifikan

dalam sistem imunnya dan peningkatan T CD4+ menjadi 486 sel/mm3 bersamaan dengan bawaan

virus yang tidak terdeteksi. Bersamaan dengan itu, pasien mengamati dan memperhatikan

sendiri keadaan lesi oralnya yang mengalami peningkatan jumlah dan ukuran, serta mulai

merasa tidak nyaman secara estetika dan fungsional, bahkan untuk aktivitas rutin sehari-hari,

seperti pengunyahan. Setelah empat tahun dengan kondisi peningkatan jumlah lesi mukosa

mulut, pasien baru mulai mencari pengobatannya.

Hasil pemeriksaan klinis intraoral, mendeteksi adanya lesi nodular yang luas pada

seluruh mukosa mulut (yaitu langit-langit mulut/palatum, lidah, dasar mulut, mukosa alveolar

dan juga mukosa labial), meluas ke daerah orofaringeal. Lesi tidak menunjukkan gejala,

keputihan dan eritematosa. Sebagian besar lesi, seperti yang terlihat pada palatum dan lidah,

adalah sessile dan memiliki permukaan yang halus, sedangkan yang lainnya bertangkai dan

memiliki proyeksi papilari  (papillary  projection) (Gambar 1, 2 dan 3).


G
ambar 1. Gambaran tepi lateral dan dorsum lidah Gambar 2. Gambaran mukosa jugal bilateral dan
menunjukkan nodul yang bertangkai dengan palatum lunak yang menunjukkan beberapa nodul
permukaan halus dan warna lebih terang dari sesile dan beberapa proyeksi papilari,
mukosa. menghasilkan penampilan  batu bulat
(cobblestone). Pada palatum keras, dapat diamati
beberapa lesi papillomatosa yang kemerahan.

Gambar 3. Gambaran kelainan pada mukosa mulut, tertera di gingiva dan lesi yang datar dengan
permukaan halus pada mukosa labial bawah

Biopsi insisi dilakukan dan jaringan yang diperoleh dikirim untuk pemeriksaan

histopatologis. Penampang/preparat diwarnai dengan hematoxylin dan eosin, memperlihatkan

bagian mukosa ditutupi dengan epitel skuamosa berlapis berparakeratin (parakeratinized) dan

daerah akantosis membentuk proyeksi sangat kasar atau keras, memberikan aspek papillomatosis

ke epitel. Pada perbesaran yang lebih besar, dapat terlihat adanya pembentukan mikro-abses,
gugusan/kumpulan neutrofil dan keberadaan sel-sel yang menyerupai koilosit (Gambar 4). Selain

itu, sampel jaringan dilakukan ekstraksi DNA dan dianalisis dengan INNO-Lipa HPV genotyping

extra II test (INNO-Lipa Innogenetics N.V., Ghent, Belgium), dan juga rangkaian PCR dengan

keturunan primer, yang mengungkapkan keberadaan HPV-32.

Gambar 4. Pemeriksaan histopatologis lesi menunjukkan proliferasi pembentukan epitel menuju jaringan

ikat. Secara rinci, sel epitel menunjukkan halo perinuklear yang jelas sesuai dengan koilositosis.

Berdasarkan aspek klinis dari lesi, temuan histopatologis dan deteksi dari HPV-32,

memungkinkan dalam mendiagnosis adanya proliferasi epitel akibat infeksi HPV. Gambaran

klinis yang tidak biasa menimbulkan pertanyaan tentang lesi, yang menunjukkan bahwa itu

mungkin merupakan kasus hiperplasia epitel fokal (FEH), lesi yang sangat terkait dengan HPV-

32, atau kondiloma akuminata yang diperburuk oleh sindrom pemulihan imunitas (syndrome of

immune reconstitution/SIR).

Adanya perluasan lesi pada pasien dan sehingga diperlukan sejumlah besar prosedur

bedah, serta karena adanya tingkat infektivitas virus yang tinggi (mengarah pada kemungkinan
kontaminasi ulang mukosa selama manipulasi), maka perawatan dasar dengan pembedahan

pengangkatan lesi harus dibuang semua. Perawatan dimulai dengan aplikasi topikal podofilin dan

asam trikloroasetat6,7. Namun demikian, perawatan yang jangka panjang membuat kesulitan bagi

pasien untuk datang melakukan perawatan dan kontrol setelah sebelumnya melakukan beberapa

kunjungan.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Human Papilloma Viruses (HPV) / Oral Warts

Dewasa ini beberapa kelainan mukosa mulut telah dihubungkan dengan Human

papillomavirus (HPV). Kejadian oral warts akibat infeksi HPV telah meningkat secara dramatis

sejak era HAART. Resiko terinfeksi virus HPV multiple lebih tinggi pada penderita HIV. Lesi

ini lebih umum terjadi pada orang dewasa (1% -4% kasus) daripada pada anak-anak.

Epidemiologi HPV oral belum sebaik epidemiologi infeksi HPV di traktus genital, begitu pula

dengan perjalanan penyakitnya yang belum diketahui sebaik infeksi HPV di traktus genital.2

Berdasarkan dari beberapa penelitian, keganasan oral dan anal masing-masing mencapai

10 dan 4 kali lebih tinggi pada pasien kondiloma genitalia dibandingkan dengan pasien yang

tidak memiliki kondiloma genitalia. Data tersebut membuktikan bahwa pasien dengan lesi

kondiloma akuminatum (KA) genital berisiko keganasan meski pada dasarnya warts genital
6,7,8
merupakan lesi jinak. HPV risiko rendah jarang menyebabkan keganasan, tetapi dapat

ditemukan pada beberapa lesi prakanker di oral, contohnya leukoplakia dan eritroplakia. HPV

tipe risiko tinggi banyak ditemukan pada lesi prakanker dan karsinoma sel squamosal. 9

3.1.1 Definisi

HPV merupakan virus double stranded deoxyriboneucloid acid (DNA) yang dapat

menginfeksi sel-sel epitel dan terdiri dari banyak tipe, dan yang termasuk dalam kelompok
papovaviruses. HPV ini dapat menginfeksi kulit dan mukosa. Bentuk lesi yang ditimbulkan

beragam, dapat berupa warts jinak atau lesi ganas yang invasif. Strain HPV dapat

diklasifikasikan berdasarkan sifat onkogenik dan bukan onkogenik yakni: risiko rendah (bukan

onkogenik) dan HPV risiko tinggi (onkogenik).1 HPV tipe mukosa dapat menyerang uretra, kulit,

laring, mukosa trakeobronkial, rongga hidung, sinus pranasal, terutama anogenital dan mukosa

oral. Virus ini dapat berperan sebagai agen penyebab beberapa kelainan, mulai dari lesi jinak

seperti papiloma, kondiloma, veruka vulgaris dan fokal epitel hiperplasia, bahkan sampai kanker

mulut. Kondiloma akuminata merupakan salah satu manifestasi klinis infeksi HPV yang paling

sering ditemukan.

3.1.2 Epidemiologi HPV

Prevalensi infeksi HPV oral di populasi sehat berkisar 2-7%, lebih rendah dibandingkan

dengan infeksi HPV genital. Prevalensi infeksi HPV oral diketahui lebih tinggi pada wanita

berusia 14-59 tahun dengan keganasan serviks dan angka kejadian infeksi HPV oral lebih tinggi

(0,9-7,5%) pada pasien yang memiliki infeksi HPV di bagian tubuh yang lain. Infeksi HPV oral

dapat terjadi melalui kontak oral ke genital, oral ke anal, oral ke oral, dan autoinokulasi dari
9
genital, penularan HPV terjadi terutama melalui hubungan seksual, dalam hal ini 2/3 dari

populasi pasangan seks yang terinfeksi HPV akan tertular. Penularan ini terjadi tanpa mereka

sadari dikarenakan infeksi ini terjadi tidak bergejala atau subklinis. 9 Kajian National Health and

Nutrition Examination (NHANES, 2009-2010), menemukan bahwa prevalensi infeksi HPV pada

kelompok yang pernah melakukan hubungan seks lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

yang tidak berhubungan seks. 2


3.1.3 Etiologi dan Patogenesis

Virus HPV terdiri dari 150 tipe yang dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu tipe risiko rendah

dan risiko tinggi berdasarkan potensi untuk memicu lesi ganas. Tipe risiko tinggi ada 11, yaitu

HPV 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58. Sementara tipe risiko rendah diantaranya HPV

tipe 6, 11, 42, dan 44.2, 26 Lesi di mukosa oral dihubungkan dengan beberapa tipe HPV 2, 4, 6, 11,

13, 16, 18, 30, 32, 57.21 Banyak penelitian sudah membuktikan HPV tipe 16 dan 18 berhubungan

dengan keganasan di rongga mulut, kepala, dan leher. 22-24 HPV tipe 16 paling sering

menyebabkan lebih dari 90% kasus kanker orofaring.27

Semua tipe HPV memiliki organisasi genom yang kurang lebih sama. DNA untai ganda

HPV memiliki early open reading frames (ORF) dan late ORF. Early ORF menyandi E1, E2,

E3, E4, E5, E6, dan E7. E1 dan E2 berperan pada proses replikasi DNA dan mengatur ekspresi

gen, keduanya juga bertanggung jawab dalam mempertahankan DNA virus dalam bentuk episom

selama proses awal infeksi dan selama infeksi laten. Selain itu, E2 berkemampuan menekan

fungsi E6 dan E7. E6 dan E7 merupakan onkoprotein, fungsi keduanya masih belum jelas pada

HPV tipe risiko rendah. Pada HPV risiko tinggi, keduanya dapat menjaga episom virus di dalam

sel suprabasal yang matang. Keduanya juga berperan dalam meningkatkan proliferasi dan

memperpanjang hidup sel ganas dengan cara mengubah factor-faktor yang mengatur siklus hidup

sel. E6 dapat menghancurkan p53, suatu protein penekan tumor, sementara E7 berikatan dengan

gen penekan Rb.9, 28, 29


sel di stratum basal akan berproliferasi dan mengalami pematangan,

berubah-ubah dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya, berpindah dari satu lapisan ke lapisan di

atasnya, sampai akhirnya mencapai permukaan. Ada sebagaian sel yang tetap tinggal di stratum
basal untuk menjaga keutuhan. Di mukosa mulut, proses pematangan sel mengikuti dua pola,

yaitu keratinisasi dan non-keratinisasi. Siklus hidup HPV dipengaruhi oleh tahap pematangan sel

epitel. Produksi virion hanya terjadi pada sel basal yang matang.9

Gambar 5. Organisasi Genom HPV 15

Sel basal merupakan sasaran HPV diduga karena memiliki reseptor HPV di permukaan

sel. Virus mencapai sel basal melalui lapisan epidermis yang tidak utuh akibat abrasi atau

mikrotrauma. DNA virus masuk ke dalam nucleus sel basal. Genom HPV di dalam nucleus

bertahan dalam bentuk episom. Virus ini bereplikasi pada sel basal yang aktif membelah dan

menyebabkan gangguan pada kendali siklus sel. Replikasi virus masih terjadi hingga lapisan sel

permukaan. Jika lapisan teratas ini lepas karena sebab tertentu atau mengalami eksfoliasi maka

virion akan ikut terlepas pula. 1, 30, 31

Respon imun pada infeksi HPV diperankan oleh system humoral dan selular. Bukti dari

respon antibody adalah terbentuknya IgA dan IgG anti HPV pada infeksi berulang dan adanya
30,32
vaksin yang efektif dapat mencegah infeksi HPV. Respon imun selular dan interferon

meningkat sehingga mampu menghambat replikasi virus. Pada individu dengan gangguan
imunitas (imunokompremais) yang terkait penurunan imun selular, misalnya pada infeksi HIV

dan pasca transplantasi organ, memiliki angka kejadian penyakit terkait HPV yang lebih tinggi

dengan wujud lesi yang lebih besar, multifocal, dan cenderung diplastik.33

Infeksi subklinis pada infeksi HPV dapat terjadi cukup lama, berdasarkan percobaan

inokulasi virus papilloma, ternyata lesi baru muncul 2-9 bulan kemudian. Keadaan ini menjadi

sumber penularan. Waktu yang dibutuhkan seseorang individu yang terinfeksi HPV untuk

mampu menyebarkan partikel virus adalah 3 minggu, yaitu setara dengan waktu yang dibutuhkan

sel basal untuk berdiferensiasi sempurna menjadi keratinosit, kemudian mengalami

deskuamasi.34

Cara penyebaran HPV ke mukosa oral masih belum jelas. Infeksi dapat terjadi secara

vertical dari ibu ke anaknya. Namun demikian, jalur infeksi horizontal lebih sering terjadi. HPV

dapat ditularkan baik melalui hubungan seksual maupun non seksual, yaitu melalui proses

autoinokulasi dari genital. Penularan HPV anogenital ke oral pada satu pasien diduga melalui

proses autoinokulasi, akan tetapi infeksi di oral merupakan suatu kejadian yang berbeda dan

tidak ada hubungannya dengan infeksi di anogenital. Kesesuaian tipe antara HPV anogenital dan

oral juga merupakan salah satu tanda proses penularan terjadi melalu proses autoinokulasi. 17

berdasarkan kajian potong lintang, HPV oral biasanya terjadi akibat hubungan seks oral atau

menjilat anus (oroanal) pasien dengan lesi warts/kutil.

Perjalanan penyakit infeksi HPV di oral belum diketahui dengan baik. Satu penelitian

kohort mendapatkan infeksi HPV oral akan hilang dalam waktu 6,9 bulan (nilai tengah atau

median) untuk tipe HPV apapun, 6,3 bulan untuk tipe HPV risiko tinggi, dan 7,3 bulan khusus
16.18
untuk HPV tipe Studi lainnya mendapatkan infeksi HPV oral akan menghilang pada 65%
pasien dalam 1 tahun, sementara di antara pasien HIV infeksi sembuh dalam 1 tahun hanya

terjadi pada 47% pasien.35

3.1.4 Struktur Virus HPV

Human papillomavirus (HPV) adalah nonenveloped virus, memiliki genom yang sirkuler

double stranded (DNA), terdiri dari 8000 pasang basa (base pairs/ bp), yang dapat mengkode

lebih dari sepuluh protein. HPV genom terdiri dari tiga region, sekitar 4000 bp mengkode protein

yang terlibat pada replikasi virus dan transformasi sel, berikutnya 3000 bp mengkode struktur

protein virus, dan 1000 bp adalah daerah yang tidak mengkode protein, namun merupakan

regulator untuk virus replikasi dan transkripsi.11 Berdasarkan urutan mengkode atau

mengekspresikan protein, genom ini dibagi menjadi dua, yaitu gen-gen yang mengkode protein
14,15
awal (early genes) dan gengen yang mengkode protein belakangan (late genes). Setiap

protein pada HPV mempunyai fungsi untuk mendukung kehidupan virus tersebut, fungsi dari

masing-masing protein disebutkan pada Tabel 1.16,17

Tabel 1. Fungsi Protein pada HPV 17


Gambar 6. Struktur Protein pada HPV

Tabel 2. Fungsi dari Protein HPV11

3.1.5 Siklus Hidup HPV

Siklus hidup HPV sangat berhubungan dengan program diferensiasi pada keratinosit host.

Gambar 2.6 menunjukkan mekanisme infeksi dan siklus hidup HPV. HPV dapat masuk ke dalam

tubuh manusia melalui epitel yang sedang terbuka (terluka) dan selanjutnya virus tersebut akan

masuk ke lapisan basal dari epitelium (Rautava dan Syrjanen, 2011; Prabhu dan Wilson, 2013)
Reseptor yang dapat berikatan dengan HPV terdiri dari alpha 6 integrin, extracellular

laminin 5 dan heparan sulfate proteoglycans. Setelah berhasil masuk ke dalam epitel, virus akan

membentuk dirinya di dalam nukleus sebagai suatu episomal dengan jumlah salinan yang sedikit.

Pada tahapan ini, replikasi virus dipertimbangkan sedang nonproduktif. Protein-protein virus E1,

E2, E6 dan E7 terlihat pada level yang rendah dan virion-virion progeni belum ada yang

terbentuk (Rautava dan Syrjanen, 2011).

Gambar 7. Tahapan Patogenesis Infeksi HPV (Rautava dan Syrjanen, 2011)

Setelah pembelahan sel terjadi, barulah sel-sel anak yang telah terinfeksi bermigrasi

menuju ke lapisan suprabasal dan mulai berdiferensiasi. Keadaan ini dapat memicu suatu

kaskade transkripsional yang terkoordinir pada genom virus. Proteinprotein virus, terutama E6

dan E7, akan menghambat diferensiasi akhir dengan menstimulasi proliferasi seluler dan sintesis

DNA melalui inhibisi pengaturan siklus sel. Dengan demikian, amplifikasi genom virus akan

ditemukan pada level yang tinggi. Pada lapisan epitelium sebelah atas, terjadi peningkatan level

protein-protein virus untuk replikasi (yaitu E1, E2, E4 dan E5). Selain itu, di dalam sel-sel epitel

yang telah mengalami maturasi, akan dihasilkan protein-protein kapsid yaitu L1 dan L2. Di

dalam sel-sel yang telah berdiferensiasi akhir, DNA virus terbungkus di dalam kapsid virus
(Rautava dan Syrjanen, 2011). Sel-sel tersebut akan menunjukkan ekspresi gen HPV,

menghasilkan progeni virus, dan akan terlepas (shed) dari permukaan epitelium ke lingkungan

rongga mulut (Rautava dan Syrjanen, 2011; Prabhu dan Wilson, 2013).

Pada umumnya infeksi HPV bersifat transien, dimana dalam 1-2 tahun biasanya tubuh

akan membuat infeksi HPV tersebut menjadi clear (resolusi). Akan tetapi pada beberapa kasus,

infeksi tersebut dapat menjadi persisten. DNA HPV yang persisten dapat meningkatkan risiko

transformasi seluler yang awalnya membuat selsel menjadi immortal dan selanjutnya malignansi

(Prabhu dan Wilson, 2013; Rautava dan Syrjanen, 2011).

Target sel untuk HPV adalah basal sel (Gambar 2), karena masih memiliki kapasitas

proliferasi yang masih tinggi, sehingga dapat mendukung replikasi virus tersebut.18 Pada

mukosa mulut terdapat tempat dimana sel-sel basal langsung terpapar dengan lingkungan luar,

yaitu pada poket periodontal. Poket periodontal merupakan keadaan patologis pada jaringan

periodontal atau jaringan pendukung gigi, yaitu bertambah dalamnya sulkus gusi, melebihi 3

mm, terlihat pada Gambar 7 sehingga diduga tempat ini menjadi reservoir yang ideal bagi

HPV.8,9
Gambar 8. Infeksi HPV pada Epitelium

Gambar 9. Sel-sel Basal terpapar Lingkungan Luar pada Poket Periodontal. 19

Sel-sel pada lapisan basal setelah keluar dari siklus sel, akan mulai masuk ke tahap

diferensiasi, ketika ini terjadi pada sel yang telah terinfeksi HPV, maka E6 dan E7 dari HPV
akan menginaktivasi p53 and retinoblastoma protein sel tersebut, sehingga sel memungkinkan

masuk kembali ke siklus sel. Sel ini kembali bermitosis namun telah disisipi materi genetik dari

HPV. Hal ini berjalan seiring dengan perjalanan sel mencapai lapisan paling luar hingga

mengalami deskuamasi. Ketika deskuamasi sel terjadi, virion juga akan keluar ke lingkungan

ekternal.18

Infeksi HPV bersifat laten, tidak terjadi langsung setelah HPV masuk ke dalam sel,

sehingga diperlukan sampel yang mampu menyimpan data biologis rongga mulut yang cukup

lama.8,9,17 Siklus sel di regulasi oleh kompleks cyclin dan cyclin dependent kinase (CDKs). Pada

fase G1 sebelum lanjut ke fase S, terdapat G1 restriction point, pada Gambar 8, digambarkan

dengan bar warna merah.16 Hal ini dikontrol oleh retinoblastoma (RB).

RB pada keadaan tidak aktif berikatan dengan E2F. Protein utama yang terkait dengan

karsinogenesis adalah E6 dan E7. Protein E6 akan berikatan dan mendegradasi p53. Ikatan antara

E6 dan p53 akan menyebabkan p53 kehilangan fungsi sebagai gen tumor supresor yang bekerja

di fase G1. Gen p53 akan menghentikan siklus sel di fase G1, tujuan penghentian siklus sel

adalah agar sel dapat memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke fase S. Mekanisme kerja p53

adalah dengan menghambat kompleks cdkcyclin yang akan menstimulasi sel memasuki fase

selanjutnya, ketika E6 berikatan dengan p53 akan menyebabkan sel tetap lanjut ke fase

berikutnya, walaupun terjadi kerusakan DNA. Jalur yang digunakan p53 melalui p21 yang akan

melawan aktivitas kompleks cdk-cyclin, karena itu inaktivasi p53 mengakibatkan jalur regulasi

p21 terganggu. Sedangkan E7 akan berikatan dengan pRB. Seharusnya pRB berikatan dengan

E2F. Ikatan pRB-E2F menghambat sel keluar dari fase G1. E2F akan mempengaruhi siklus sel

melalui aktivasi protoonkogen c-myc. Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan proliferasi

sel yang melebihi batas normal sehingga sel tersebut berubah menjadi sel ganas.11,16,17
Gambar 10. Deregulasi Siklus Sel oleh HPV 16

3.1.5.1 Transformasi Malignansi Terkait HPV

Mekanisme seluler transformasi malignansi terkait HPV ditunjukkan pada Gambar 2.7

(Rautava dan Syrjanen, 2011). Sebelumnya telah disebutkan bahwa genom HPV dapat dijumpai

dalam bentuk episomal di dalam nukleus sel-sel terinfeksi. Namun demikian, pada beberapa lesi

maupun kanker, genom HPV dapat dijumpai dalam bentuk berintegrasi ke dalam genom host

(Nair dan Pillai, 2005).


Gambar 11. Infeksi HPV pada level seluler dan metode-metode untuk mendeteksi HPV pada beberapa
tahapan infeksi yang berbeda (RAutava dan Syrjanen, 2011)

Integrasi genom HPV ke dalam genom host dapat menimbulkan instabilitas genomik,

akumulasi proses mutasi dan selanjutnya transformasi malignansi. Integrasi yang terjadi akan

menunjukkan peningkatan ekspresi dan stabilisasi transkrip dari E6 dan E7 (Nair dan Pillai,

2005; Prabhu dan Wilson, 2013). Penyimpangan ekspresi gen E6 dan E7 yang terus-menerus

telah dihubungkan dengan kesempatan terjadinya pertumbuhan selektif pada sel host yang

terinfeksi (Rautava dan Syrjanen, 2011). Onkoprotein E6 HPV dapat berinteraksi dengan protein

53, sementara itu, onkoprotein E7 HPV dapat berinteraksi dengan protein retinoblastoma.

Interaksi tersebut akan menyebabkan hilangnya fungsi tumour-suppressor dari p53 dan pRb,

sehingga timbul proliferasi yang tidak terkontrol (Mohan dan Mohan, 2011).
Selain berinteraksi dengan p53 dan pRb, protein-protein virus juga dapat mengaktivasi

cyclin A dan cyclin E serta menginaktivasi CDKIs, sehingga menyebabkan terjadinya proliferasi

sel lebih lanjut. Protein-protein virus tersebut juga berperan pada mediasi dan degradasi BAX,

yaitu suatu gen pro-apoptotik, sehingga menyebabkan terjadinya inhibisi apoptosis. Selain itu,

protein-protein virus tersebut juga dapat mengaktivasi telomerase sehingga menyebabkan

terjadinya immortalisasi pada sel-sel target dari host yang mengalami transformasi (Mohan dan

Mohan, 2011).

Transformasi seluler yang diperantarai HPV merupakan suatu keadaan yang kebetulan

terjadi (accidental) dan kejadian akhir yang bukan merupakan bagian dari siklus hidup virus

yang normal. Untuk terjadinya transformasi malignansi pada selsel epitel, dibutuhkan beberapa

tahapan proses yang dapat disertai dengan kofaktor dan karsinogen lainnya (Tabel 2.1) (Rautava

dan Syrjanen, 2011). Pada proses terjadinya kanker mulut, HPV dapat berperan sebagai agen

onkogenik primer.

Namun demikian, HPV juga dapat berperan secara bersinergi dengan beberapa

karsinogen kimiawi seperti alkohol, tembakau dan sirih (betel quid) dalam menyebabkan

transformasi malignansi pada keratinosit oral (Prabhu dan Wilson, 2013).


Tabel 3. Tahapan transformasi malignansi pada sel-sel yang disebabkan oleh infeksi HPV

3.1.6 Penampilan klinis

Penampilan klinis infeksi HPV oral dapat dilihat dengan pengambilan sampel secara

biopsy oral, bilas mulut, dan cytobrush. Prevalensi infeksi HPV tertinggi didapatkan dari sampel

bilas mulut.19 metode bilas mulut dapat mengumpulkan banyak sel dibandingkan dengan metode

swab atau cytobrush karena bilas mulut dapat mengambil sel dari seluruh permukaan rongga

mulut dan faring, sehingga akan menghasilkan DNA HPV yang lebih banyak.30

Oral warts mungkin tampak seperti kembang kol, berduri, menonjol/timbul atau dengan

permukaan rata, serta tidak menunjukkan gejala. Lokasi yang paling umum adalah mukosa labial

dan bukal. Presentasi klinis yang paling umum adalah lesi datar multifokal menyerupai

hiperplasia epitel fokal (penyakit Heck).


3.1.7 Faktor Risiko

3.1.7.1 Usia

Penelitian oleh Frenandez dkk (2013) menemukan hasil positif infeksi HPV lebih banyak

pada kelompok usia yang lebih tinggi.26 Semakin bertambah usia, semakin rentan terinfeksi HPV

oral. Penurunan imunitas tubuh seiring bertambahnya usia menyebabkan HPV sulit dihilangkan
36,37
dan infeksi yang laten dapat aktif kembali. Makin bertambah usia maka makin besar

kemungkinan mereka memiliki jumlah pasangan seks lebih banyak dibandingkan usia muda. Hal

ini meningkatkan risiko penularan infeksi HPV.30

3.1.7.2 Perilaku Seks

Kajian NAHNES menunjukan prevalensi HPV oral 8 kali lebih tinggi daripada subjek

yang tidak berhubungan seks dan risiko juga berhubungan dengan jumlah pasangan seksual

seumur hidup. Prevalensi infeksi HPV meningkat pada peserta penelitian yang memiliki jumlah

pasangan seks seumur hidup lebih dari 20.12

Hubungan seks oral merupakan salah satu cara penyebaran infeksi virus, hubungannya

erat dengan risiko penularan HPV oral. Jumlah pasangan seks oral seumur hidup berhubungan

dengan infeksi HPV oral yang menandakan bahwa seks oral dapat menjadi faktor penting dalam

transmisi HPV ke oral.11

Dari satu penelitian frekuensi lebih bermakna dibandingkan dengan jumlah pasangan

seks oral seumur hidup. Individu yang melakukan seks orogenital 1 kali atau lebih setiap minggu

dibandingkan dengan yang melakukan orogenital kurang dari 1 kali setiap minggu, memiliki
insidens infeksi HPV yang lebih tinggi. Hubungan seks orogenital dengan frekuensi yang sering

selama 4 bulan terakhir berhubungan bermakna dengan insidens infeksi HPV oral. Frekuensi

seks oral lebih dari 1 kali per minggu akan memiliki kemungkinan mendapatkan infeksi HPV

oral 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang melakukan seks oral kurang dari 1 kali

per minggu.17 Pada penelitian lainnya, waktu terakhir melalukan hubungan seks oral dan jumlah

pasangan seks oral dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan kejadian infeksi HPV oral.18

Cara berciuman dengan mulut terbuka (french kiss) berhubungan dengan prevalensi

infeksi HPV, sehingga mungkin saja dapat menjadi faktor risiko penularan infeksi. Hal ini

menjadi bahan pemikiran untuk memberikan vaksin HPV pada usia dini karena pada umumnya

usia saat pertama kali berciuman lebih dini jika dibandingkan dengan saat melakukan hubungan

seks oral. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah memang ada hubungan yang bermakna

antara berciuman dengan mulut terbuka dan infeksi HPV.11

3.1.7.3 Rokok

Merokok lebih dari atau sama dengan 21 batang sehari menyebabkan prevalensi infeksi

VPH oral lebih tinggi (20,7%) dibandingkan dengan yang tidak merokok (1,1,%). 12 Penelitian

Pickard dkk (2009) memperlihatkan bahwa merokok tidak berhubungan dengan infeksi VPH

oral, tetapi hal ini mungkin disebabkan oleh kelemahan penelitian, yaitu jumlah subjek penelitian

yang merokok hanya sedikit.11, 38 Fernandez dkk (2013) menemukan prevalensi infeksi VPH di

antara perokok sebesar 39%).26 Rokok dapat mengubah suasana mukosa oral dan diperkirakan

berhubungan dengan infeksi VPH melalui pengaruh penekanan pada sistem imun innate dan

adaptive.39-41
3.1.7.4 Konsumsi Alkohol

Pengaruh alkohol dengan infeksi HPV oral masih kontroversial. Di satu sisi dikatakan

konsumsi alkohol dapat mengurangi risiko infeksi HPV oral. Hal ini didukung oleh hasil

penelitian pada model hewan yang menunjukkan bahwa etanol dapat memecah kapsid virus

sehingga mencegah infeksi HPV tipe 16.

Di sisi lain alkohol dapat menurunkan imunitas mukosa oral sehingga akan lebih mudah

terinfeksi HPV. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan antara konsumsi

alkohol dan infeksi HPV. 11, 26, 42

3.1.7.5 Infeksi HIV

Pasien HIV lebih berisiko terinfeksi VPH oral; prevalensi pada kelompok HIV lebih

tinggi (40%) dibandingkan tanpa HIV (25%).43 Pasien dengan infeksi HIV memiliki perilaku

seks yang berisiko tinggi sehingga lebih mudah terinfeksi HPV di mukosa oral dan persisten

akibat keadaan imunosupresi.30

Penelitian infeksi VPH pada pasien lelaki suka lelaki (LSL) dengan HIV negatif dan HIV

positif memperlihatkan hubungan yang bermakna antara infeksi HPV oral dan infeksi HIV. Pada

penelitian tersebut ditemukan bahwa infeksi HPV oral tidak berhubungan dengan jumlah CD4

dan muatan virus (viral load); hal ini mungkin diakibatkan sebagian besar subjek yang diteliti

memiliki nilai CD4 yang tinggi dan muatan virus yang tidak terdeteksi.30
3.1.7.6 Kesehatan Gigi dan Mulut

Menyikat gigi secara teratur 2 kali sehari dan membersihkan gigi dengan benang (dental

flossing) setiap hari juga mengurangi risiko tertular HPV. Keadaan rongga mulut yang tidak

sehat berpeluang 55% lebih besar untuk terkena infeksi HPV.44

3.1.8 Manifestasi Klinis Infeksi HPV

Manifestasi klinis dan perubahan mikroskopis pada lesi infeksi HPV bergantung pada

lokasi anatomi dan genotipe HPV yang terlibat. Interaksi antara genotipe HPV, respons imun

pejamu, faktor lingkungan, dan pola hidup membuat manifestasi infeksi HPV bervariasi.45

Sistem imun yang rendah mempermudah infeksi HPV dan perjalanan penyakitnya lebih agresif.9

Di mulut, HPV tipe risiko rendah menyebabkan berbagai lesi jinak, yaitu papiloma sel

skuamosa, veruka vulgaris, KA, dan hiperplasia epitel fokal (Heck disease). Selain itu HPV tipe

risiko rendah kadang-kadang juga dapat ditemukan pada lesi prakanker seperti leukoplakia dan

eritroplakia.46, 47 HPV tipe risiko tinggi, terutama HPV 16 dan 18 ditemukan pada lesi epitelial

oral yang ganas dan pada lesi karsinoma sel skuamosa oral.9

3.1.8.1 Infeksi HPV pada Rongga Mulut

Epidemiologi dan riwayat alamiah infeksi HPV pada rongga mulut belum dapat dipastikan.

Nampaknya prevalensi HPV pada rongga mulut jauh lebih rendah dibandingkan infeksi HPV

pada genital, dengan prevalensi sebsar 4.5% pada analisis. Data dari National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan prevalensi HPV memiliki pola bimodal

dengan usia laki-laki dan secara signifikan lebih tinggi pada lakilaki daripada perempuan.

Gambar 12. Gambar 13.

A. Papilloma skuamosa yang melibatkan A. Papilomatosis kemerahan terkait HIV


mukosa bukal kanan. Perhatikan yang melibatkan free marginal
permukaan papiler dan sangat keratin, gingivae
mungkin terkait dengan lokasi (lihat
inset). B. Papilomatosis kemerahan terkait HIV
yang melibatkan mukosa bukal.
B. Papilloma skuamosa dengan Perhatikan penggabungan papula,
permukaan berkerikil (inset) yang yang rata.
melibatkan tulang alveolar maksila
kanan. C. Papillomatosis kemerahan terkait HIV
yang melibatkan daerah bibir.
C. Papilloma skuamosa dengan
permukaan berkerikil (inset) yang
melibatkan palatum lunak
Hal ini konsisten dengan lebih tingginya angka kanker orofaringeal dengan HPV positif

diantara individu berusia 50-64 tahun dan diantara laki-laki. Secara khusus, dicatatkan prevalensi

sebesar 20% pada yang memiliki pasangan seksual lebih dari 20 atau perokok dengan lebih dari

20 batang tiap harinya.24 Kanker kepala dan leher (KKL) terutama meliputi karsinoma sel

skuamosa yang terjadi di rongga mulut, faring, dan laring.

Peranan infeksi HPV risiko tinggi dalam etiologi KKL secara bertahap muncul selama

kurun waktu dua dekade terakhir. Selama periode ini, telah dilaporkan peningkatan dalam angka

kejadian kanker orofaringeal diantara laki-laki di negara berpendapatan tinggi walaupun terjadi

penurunan angka kanker-kanker terkait penggunaan rokok yang lain termasuk kanker rongga

mulut.25 Dalam sebuah meta-analisis terakhir, tanpa memperdulikan penanda yang digunakan

dalam deteksi, probabilitas dari KKL non-orofaringeal yang disebabkan oleh HPV adalah lima

kali lebih rendah dibandingkan dengan kanker orofaringeal. Akan tetapi data HPV pada KKL

lain yang lebih jarang sangat terbatas. Penelitian tambahan diperlukan untuk menetapkan

bagaimana infeksi HPV dan rokok dapat mempengaruhi kanker non-orofaringeal.26 Infeksi HPV

mukosa dapat menyebabkan beragam lesi di rongga mulut.

a. Hiperplasia Epitelial Fokal

Disebut juga sebagai Heck’s disease, penyakit yang jarang ditemukan, merupakan

kelainan jinak pada mukosa mulut yang diinduksi oleh infeksi HPV (Prabhu dan Wilson, 2013;

Rautava dan Syrjanen, 2011). Tampilan klinis berupa nodus di permukaan mukosa mulut,

bertangkai, lunak,multipel. Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan koilosit. HPV yang

terlibat bisanya tipe 1, 6, 13, dan 32.21, 48, 49 HPV13 dan HPV32 merupakan tipe HPV yang paling
sering dideteksi pada kelainan ini dibandingkan dengan beberapa tipe lainnya (Neville dkk.,

2016).

Gambar 14. Hiperplasia Epitel Fokal. Beberapa papula pipih dan menyatu pada mukosa bibir
bawah (A-B). Secara mikroskopis, pandangan panoramik menunjukkan akantosis dan
elongasi/perpanjangan yang ireguler dan anastomosis rete ridges

Kelainan ini jarang ditemukan (Rautava dan Syrjanen, 2011). Anak-anak dan remaja

merupakan kelompok umur yang paling sering mengalami kelainan ini. Fokal epitel hiperplasia

sering ditemukan pada beberapa orang dalam suatu keluarga terkait predisposisi genetik (Neville

dkk., 2016; Prabhu dan Wilson, 2013). Human leukocyte antigen beta chain 1*0404 telah

dihubungkan dengan terjadinya kelainan ini (Rautava dan Syrjanen, 2011).

Fokal epitel hiperplasia merupakan kelainan asimtomatik yang paling sering melibatkan

mukosa labial, bukal dan lingual (Prabhu dan Wilson, 2013; Neville dkk., 2016). Namun

demikian, kelainan ini juga dapat ditemukan pada daerah gingiva, palatum, dasar mulut dan

tonsil. Fokal epitel hiperplasia dapat menunjukkan dua variasi klinis yaitu papulonodular dan
papilomatosa. Tipe papulonodular dapat menunjukkan gambaran berupa beberapa papula dan

nodul yang permukaannya licin, berwarna pink, dengan predileksi di mukosa bukal, labial dan

daerah komisura.

Sementara itu, tipe papilomatosa dapat menunjukkan gambaran beberapa lesi nodul yang

pebbly, berwarna putih atau pink pucat pada lidah dan perlekatan gingiva. Baik tipe

papulonodular maupun papilomatosa akan menunjukkan lesi berukuran kecil yaitu 0,1-1,0 cm,

berbatas jelas dan menyatu, menghasilkan gambaran batu kerikil (cobblestone) dan berfisur

(Neville dkk., 2016). Permukaan epitel yang kasar dan kadang-kadang terlihat sebagai akantosis

merupakan hallmark dari fokal epitel hiperplasia. Rete ridges terlihat melebar, menyatu dan

kadang-kadang berupa club-shaped. Beberapa keratinosit superfisial dapat menunjukkan

perubahan koilositik (Neville dkk., 2016).

b. Papiloma Sel Skuamosa Oral

Merupakan tumor/neoplasma jinak pada epitel yang cukup umum ditemukan pada rongga

mulut dan dapat muncul pada usia berapapun namun paling sering ditemukan pada pasien usia

30-40 tahun. Kelainan ini dapat dihubungkan dengan infeksi HPV, terutama yang terlibat

biasanya HPV tipe 6 dan 11.21,49

Lesi berupa massa papilari atau verukosa, lesi soliter yang membesar dengan cepat,

berukuran maksimum sekitar 0,5 cm atau kurang dari 1 cm (Gambar 2.8). Kelainan ini dapat

ditemukan sebagai nodul dengan beberapa proyeksi permukaan fingerlike yang menunjukkan

gambaran bunga kol atau wartlike, biasanya eksofitik, bertangkai, lunak dan tidak sakit. Proyeksi
tersebut dapat terlihat tajam ataupun tumpul. Warna lesi tergantung dari keratinisasi mukosa

mulut (Neville dkk., 2016; Prabhu dan Wilson, 2013).

Pada daerah berkeratin seperti permukaan bibir, gingiva alveolar dan palatum, lesi dapat

terlihat mulai dari berwarna pink sampai putih. Sementara itu, pada permukaan mukosa

nonkeratin, lesi dapat menunjukkan warna pink atau merah (Kerr dan Phelan, 2008). Lokasi

predileksinya ditemukan di lidah. palatum mole, dan bibir, namun dapat juga ditemukan pada

lokasi rongga mulut lainnya.50

Gambar 15. Papilloma Skuamosa. (A) Pada daerah berkeratin, yaitu mukosa bukal; (B) Pada mukosa

ridge alveolar maksila sebelah kanan; (C) Pada palatum lunak. (Kerr dan Phelan, 2008)

Secara histopatologik, papiloma skuamosa dapat menunjukkan adanya proliferasi epitel

skuamosa berlapis berbentuk proyeksi fingerlike dengan bagian tengahnya terdiri dari jaringan

ikat fibrovaskular. Pada lapisan spinosum, kadangkadang dapat ditemukan gambaran koilosit

(Neville dkk., 2016).


Gambar 16.

Papilloma skuamosa oral. Lesi


eksofitik dengan permukaan
keputihan hiperkeratotik,
membentuk proyeksi jari pada
dorsum lidah (A-B). Lesi pada
permukaan inferior lidah (C).
Lesi pada bibir bawah (D).
Secara mikroskopis,
panoramic view acanthosis
dengan lipatan papiler,
hyperortoparakeratosis,
perpanjangan rete ridges dan
inti fibrovaskular yang
terpusat (E; HE, Objective
2.5x)

c. Kondiloma Akuminatum Oral

Kondiloma akuminatum atau yang juga dikenal dengan venereal wart, merupakan suatu

penyakit menular seksual. Dibandingkan rongga mulut, sebagian besar kasusnya lebih sering

ditemukan pada kulit dan permukaan mukosa anogenital. Di mulut, kondiloma akuminatum

timbul pada lokasi kontak seksual orogenital (Prabhu dan Wilson, 2013).

Di mulut, kondiloma akuminatum lebih sering ditemukan pada daerah mukosa labial,

frenulum lingual dan palatum lunak (Neville dkk, 2016). Kelainan ini dapat terlihat multipel dan

menyatu (Prabhu dan Wilson, 2013). Lesi KA di mukosa mulut berupa nodus putih atau merah

jambu yang berproliferasi dan bersatu membentuk massa lunak bertangkai. Permukaannya

seperti kembang kol. Adanya massa eksofitik dengan proyeksi permukaan yang tumpul dan

pendek, bertangkai, berwarna pink, berbatas jelas dan tidak sakit, merupakan karakteristik dari

kondiloma akuminatum. Ukuran lesinya sekitar 1,0-1,5 cm (Neville dkk., 2016).


Lesi ini cukup jarang ditemukan di rongga mulut, disebabkan oleh VPH tipe 6 dan 11.21, 51

Namun demikian, terjadinya koinfeksi dengan HPV risiko tinggi tipe-16 dan tipe-18 juga dapat

ditemukan pada kelainan ini. Kondiloma akuminatum dapat ditemukan pada semua kelompok

usia, namun lebih sering pada kelompok remaja dan dewasa muda. Kondiloma pada anak-anak

dapat dihubungkan dengan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sementara itu pada bayi

diduga terjadi akibat penularan secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HPV pada daerah genital

ataupun in utero (Neville dkk., 2016).

Secara histopatologik, pada kondiloma akuminatum akan ditemukan gambaran proliferasi

jinak dari epitel skuamosa berlapis yang akantotik dengan proyeksi permukaan papilari dan

keratotik. Bagian tengah dari jaringan ikat dapat terlihat sebagai pendukung pada proyeksi

papilari yang terlihat lebih tumpul dan luas dibandingkan dengan gambaran pada papiloma

skuamosa dan veruka vulgaris. Crypts berisi keratin sering dapat ditemukan pada proyeksi-

proyeksi papilari. Selain itu, pada lapisan sel spinosum juga sering ditemukan koilosit (Neville

dkk., 2016).

Gambar 17. Multipel kondiloma akuminatum oral pada labial bagian dalam maksila dan mukosa
bukal
Gambar 18.
Kondiloma

akuminatum oral. Nodul berwarna mawar dengan permukaan seperti kembang kol di dasar mulut
(A). Lesi pada palatum durum (B). Secara mikroskopis dalam pandangan yang luas, terlihat
gambaran akantosis dengan lipatan papiler, parakeratosis dan perpanjangan rete ridges (C, D)

d. Veruka Vulgaris Oral

Veruka vulgaris atau yang juga dikenal sebagai wart, merupakan kelainan berupa

hiperplasia pada epitel skuamosa berlapis yang diinduksi oleh HPV. Veruka vulgaris termasuk

lesi yang jinak dan fokal. Dibandingkan dengan beberapa tipe lainnya, HPV2 merupakan tipe

yang paling sering dideteksi pada kelainan ini. Veruka vulgaris dapat menular dan menyebar ke

kulit ataupun mukosa pada bagian tubuh lainnya dari seorang individu melalui autoinokulasi

(Neville dkk., 2016). HPV yang terlibat tipe mukosatropik 6, 11, 16, juga tipe kutan 1, 2, 4, dan

7.21

Veruka vulgaris umumnya timbul di jari, punggung tangan dan kaki, wajah, kelopak mata

serta permukaan mukokutan daerah anogenital. Pada dasarnya, kelainan ini sangat jarang

ditemukan pada daerah mulut (Prabhu dan Wilson, 2013). Kadang-kadang veruka vulgaris dapat
ditemukan di mukosa oral, berupa lesi eksofitik berwarna keputihan, keras, bertangkai. Lesi ini

mengalami hiperkeratinisasi.

Gambar 19.

Verruca vulgaris. Lesi


eksofitik dengan permukaan
hiperkeratotik, membentuk
proyeksi jari di komisura kiri
bibir (A, lingkaran). Lesi
pada bibir bawah (B). Secara
mikroskopis, panoramic view
acanthosis dengan lipatan
papiler,
hyperortoparakeratosis dan
perpanjangan rete ridges (C;
HE, Objective 4x).
Koilocitosis (D; HE,
Objective 20x).

Di mulut, veruka vulgaris sering ditemukan pada tepi vermilion, mukosa labial atau lidah

anterior. Kelainan ini dapat menunjukkan gambaran berupa papula atau nodul dengan proyeksi

papilari yang tidak sakit ataupun berupa suatu permukaan pebbly yang kasar. Lesi dapat

ditemukan bertangkai. Di kulit dapat menunjukkan lesi berwarna pink, kuning atau putih,

sedangkan di mulut lesi lebih sering ditemukan berwarna putih. Lesi dapat membesar dengan

cepat sehingga mencapai ukuran maksimumnya sekitar <5mm. lesi yang multiple dan

berkelompok umum ditemukan (Neville dkk, 2016)

Secara histopatologik, veruka vulgaris dapat menunjukkan adanya proliferasi epitel

skuamosa berlapis yang hiperkeratotik, berupa proyeksi ke arah luar berbentuk fingerlike dengan
bagian tengahnya terdiri dari jaringan ikat. Pada jaringan ikat pendukung dapat ditemukan

infiltrat sel-sel inflamasi kronik. Rete ridges yang memanjang cenderung berkumpul ke arah

tengah dari lesi sehingga menghasilkan gambaran yang disebut cupping effect. Pada lesi terdapat

lapisan sel granular yang menonjol (hipergranulosis) yang menunjukkan granul-granul

keratohialin berkelompok dan tidak beraturan. Selain itu, pada lapisan spinosum superfisial dapat

ditemukan banyak koilosit (Neville dkk., 2016).

E. Lichen Planus Oral

Etiologi lichen planus di mulut biasanya tidak diketahui, diduga berhubungan dengan

kelainan sistemik seperti diabetes melitus dan sejumlah kelainan imunologis. 49 Maitland dkk

(1987) melaporkan 87% dari hasil biopsi liken planus oral ditemukan DNA HPV. 52 Sejauh ini

HPV yang ditemukan pada lesi liken planus adalah tipe 11 dan 16. 21 Lesi dapat berupa plak

kemerahan, lesi atrofi, erosi, dapat juga bercak dengan pola seperti jala.53

Gambar 20. Lichen planus oral. Gambaran yang paling menonjol adalah striae putih bilateral di mukosa
bukal, dengan beberapa simetri (A-B). Pada gingiva juga dapat terlibat (C-D) (*) dan mungkin
menunjukkan bintik-bintik gejala atrofi yang dikelilingi oleh Wickham striae (panah). Pada saat
mempengaruhi bagian lidah,gambarannya tidak terlalu khas (E-F) sehingga dapat memberi kesan
membingungkan antara lichen planus dengan leukoplakia oral atau lidah perokok. Secara mikroskopis
infiltrat limfositik sub epitel yang kuat pasti ada (C; HE, Objective 10x), karena terkait dengan degenerasi
lapisan basal (D; HE, Objective 20x) dan tidak adanya displasia epitel

f. Karsinoma Verukosa

Karsinoma verukosa merupakan varian dari karsinoma sel skuamosa yang memiliki

karakteristik morfologi dan perjalanan klinis khas di mukosa bukal, gusi, dan alveolus.

Etiopatogenesis berhubungan dengan rokok, alkohol, dan infeksi VPH. Tipe VPH yang terlibat

adalah tipe 6, 11, dan 18. Secara klinis berupa lesi eksofitik, permukaan seperti kembang kol,

tumbuh agresif, berbatas tegas.21

Gambar 21. Karsinoma verukosa oral pada mukosa bibir. Gambaran klinis yang khas menunjukkan
nodul sessile indolor dengan permukaan verukosa putih (A, B). Eksisi bedah dilakukan menghasilkan
hasil estetika dan fungsional (C) yang sangat baik. Secara mikroskopis, hiperkeratosis jelas diamati,
dengan akantosis dan invasi epitel untuk mendorong sel menuju perbatasan stroma (D). Atypia epitel
paling sedikit terlihat bersama dengan infiltrat limfositik yang tebal (E).

g. Oral leukoplakia
Lesi berupa bercak atau plak putih, secara histopatologis menunjukkan adanya perubahan

epitel yang bervariasi, mulai dari hiperplasia epitel dengan hiperkeratosis sampai dengan

displasia epitel.21 Lesi kanker sering kali tumbuh di daerah mukosa mulut dengan leukoplakia,

oleh karena itu lesi ini disebut sebagai lesi pra kanker. Maitland dkk (1987) menjelaskan VPH

ditemukan pada lesi leukoplakia oral dan lichen planus oral, keduanya memiliki kecenderungan

berubah menjadi ganas.52 Lind dkk (1986) melaporkan 7 dari 13 leukoplakia dengan VPH positif

akan berubah menjadi karsinoma dalam 10 tahun.54

Gambar 22. Leukoplakia oral (OL). OL yang terletak di lateral (A-B) dan ventral lidah menunjukkan
risiko lebih tinggi untuk transformasi/berubah menjadi maligna/ganas. Lesi ini mungkin berwarna putih
homogen (A), atau terkait dengan ulser (B). Lokasi umum lainnya adalah gingiva (C-D), dasar mulut (E)
dan tulang alveolar (F) dan penyebab traumatis atau hubungan dengan kandidiasis harus disingkirkan
sebelum biopsi. Leukoplakia secara mikroskopis hanya dapat menunjukkan hiperplasia epitel dengan
akantosis dan hiperparakeratosis (G; HE, Objective 4x), tanpa displasia (H; HE, Objective 20x). Dalam
hal ini infiltrat inflamasi jarang terjadi.

h. Oral hairy leukoplakia

Lesi oral hairy leukoplakia kadang-kadang dapat ditemukan pada orang terinfeksi HIV.

Secara klinis lesi ini berupa bercak putih, seringkali lebih tinggi dari permukaan sekitar,

ditemukan di tepi lateral dan dorsum lidah, dengan distribusi bilateral. Lesi ini lebih sering
dihubungkan dengan epsteinbarr virus, namun VPH juga pernah ditemukan di mukosa oral

orang dengan lesi oral hairy leukoplakia.21

i. Karsinoma sel skuamosa oral

Saat ini VPH dihubungkan dengan keganasan di rongga mulut, namun demikian

hubungan di antara keduanya tidak selalu konsisten. Lain halnya dengan kanker serviks yang

memang selalu berhubungan dengan VPH. Prevalensi infeksi VPH pada karsinoma sel skuamosa

oral berkisar antara 10-100%.21

Gambar 23.

Gambaran klinis OSCC. Biasanya


timbul massa sebagai nodul
eksofitik, ulserasi (A-B) atau tidak
(C). Dapat juga dideteksi ketika
adanya indurasi kecil diselingi
dalam plak putih (white spot)
(panah-D). Selain itu dapat juga
menunjukkan adanya invasi intra
osseous/ke dalam tulang (E),
adanya bagian yang putih, keras
dan tebal, dan mencapai daerah
yang jauh (F) dari tempat
awal/initial spot
Gambar 24.

Histopatologi OSCC. Dapat dilihat


adanya epitel oral yang tidak terlibat
dan adanya kelompok tumoral di
stroma (A; HE, Objective 4x).
Pandangan yang lebih dekat dari
kelompok tumoral diliputi dengan
sentral keratin (B; HE, Objective
10x). Pleomorfisme dan atipia
diamati (C; HE, Objective 10x), serta
mitosis (*) dan jembatan interselular
(D; HE, Objective 20x)

3.1.9 Tatalaksana Perawatan HPV

Tatalaksana ditentukan berdasarkan jumlah, ukuran, dan lokasi lesi, harapan pasien,

biaya, dan ketersediaan alat. Eksisi bedah dipilih untuk jumlah lesi yang sedikit, terutama jika

biopsi pada lesi diperlukan. Pilihan terapi lainnya dapat menggunakan bahan keratolitik dengan

destruksi sel seperti asam triklorasetat 40-90%, podofilin 25%, 5 fluorouracil, dan imiquimod.

Tindakan untuk menghilangkan lesi dapat juga menggunakan laser, kauterisasi, dan

krioterapi. Tindakan laser untuk lesi bertangkai, dilakukan dengan cara eksisi dengan sinar laser

pada bagian tangkai lalu tepi-tepi lesi diablasi. Lesi ganas atau prakanker dibedah dengan wide

margin. Meskipun sudah dilakukan tindakan eksisi dengan tepi bebas sel ganas, rekurensi tetap

dapat terjadi.

Sebagian kasus keganasan perlu dikombinasi dengan radioterapi. Tatalaksana pada pasien

imunokompremais lebih sulit, lesi biasanya dalam jumlah banyak dan tidak mungkin untuk
dilakukan eksisi bedah. Obat antiretroviral dapat membantu proses penyembuhan pada beberapa

kasus.

Laser juga dapat dipilih untuk kasus pasien HIV.56Pengobatan mungkin diperlukan

untuk pasien dengan beberapa lesi, dengan menggunakan agen topikal dan sistemik dan berbagai

pendekatan bedah dapat dilihat pada (Tabel 3). Biasanya pengobatan topikal dengan resin

podhopyllin 25%, bedah eksisi, terapi laser dan cryotherapy.10

Tabel 4. Pilihan obat therapeutic paling banyak digunakan pada


manisfestasi oral penderita HIV
Tabel 5. Modalitas terapi pada infeksi human papillomavirus (HPV)
3.1.7.6 Koinfeksi HPV dan HIV

Infeksi HPV lebih banyak dan lebih menetap pada penderita HIV. Walaupun pemberian

pengobatan kombinasi antiretrovirus (ARV) membangkitkan rekonstitusi imunologis, prevalensi


infeksi HPV anogenital tetap tinggi. Pada sebuah penelitian kohort pada perempuan HIV yang

menerima ARV (Study to Understand the Natural History of HIV atau SUN), infeksi HPV pada

anus dan serviks sangat prevalen, dengan angka masing-masing 90% dan 83%. Tingginya

temuan ini diperkirakan juga disebabkan oleh peningkatan metodologi PCR dalam mendeteksi.

Penting untuk dicatat bahwa prevalensi HPV pada anus lebih tinggi dibandingkan pada

serviks. Pada individu terinfeksi HIV, rendahnya kadar CD4 berhubungan dengan bertambah

tingginya resiko infeksi HPV onkogenik dan nononkogenik penyerta. Pada sebuah penelitian

yang dilakukan oleh Tugizov dan rekan, sel epitel oral dan serviks pada penderita sehat apabila

dilekatkan dengan protein HIV (tat dan gp120) dan sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel-sel

yang terinfeksi HIV (TNF-α dan IFN-γ) menginduksi taut epitel dan meningkatkan potensi

penetrasi HPV pada sel epitel basal yang merupakan lokasi target dari HPV.27

Semakin tingginya prevalensi HPV diantara individu-individu yang terinfeksi HIV,

tidaklah mengejutkan bahwa abnormalitas sitologi dan kanker yang berhubungan dengan HPV

tetap tinggi. Koinfeksi dengan HIV dan HPV meningkatkan resiko kanker terkait HPV, seperti

peningkatan replikasi HPV dan semakin lamanya persistensi. 2 Pada pasienpasien dengan KA,

imunosupresi dihubungkan dengan kondiloma yang lebih besar (giant) dan resisten terhadap KA

pada pasien dengan infeksi HIV, mendapatkan pengobatan imunosupresi, atau diabetes.20

Infeksi HPV meningkatkan risiko seseorang untuk terinfeksi HIV. Sebuah kajian

sistematis dan meta-analisis yang dilakukan oleh Houlihan dan rekan melaporkan bahwa risiko

terinfeksi HIV meningkat dua kali lipat ketika seseorang telah terinfeksi oleh HPV dengan

genotipe apapun sebelumnya.28 Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya oleh Chin-Hong

dan rekan yang melaporkan bahwa infeksi HPV pada anus berhubungan dengan peningkatan
risiko terinfeksi HIV pada populasi laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki (LSL)

walaupun telah dilakukan penyesuaian dengan faktor perancu lainnya seperti aktifitas seksual.29

3.2 Combined Antiretroviral Therapy (cART)

Saat ini sudah banyak metode pemberian antiretrovirus yang dilakukan, dengan

pemberian terapi kombinasi (combination antiretroviral therapy, cART) yang

menggunakan minimal 3 golongan antiretrovirus dengan tujuan untuk meningkatkan

efektivitas obat terhadap penurunan jumlah virus dan mencegah terjadinya resistensi.

Obat antiretroviral adalah pengobatan untuk perawatan infeksi oleh retrovirus,

terutama HIV. Kombinasi beberapa obat antiretroviral diketahui sebagai terapi

antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Pemberian ARV bertujuan untuk menekan

replikasi virus secara maksimal dan terus-menerus, yang akan berakibat langsung

ataupun tidak langsung pada pemulihan dan atau memelihara fungsi kekebalan tubuh,

perbaikan kualitas hidup penderita HIV, penurunan angka kesakitan dan kematian yang

berhubungan dengan HIV, pengurangan laju penularan HIV di masyarakat. 19

Saat Memulai Terapi ARV Sebelum memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan

pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya.

Hal tersebut bertujuan untukmenentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi

antiretroviral atau belum.19

Rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa yaitu: 19


1) Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV

adalah didasarkan pada penilaian klinis

2) Bila tersedia pemeriksaan CD4 direkomendasikan untuk mulai terapi ARV

pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang

stadium klinisnya

3) Terapi ARV juga dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil

dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Tabel 6. Stadium Klinis HIV yang direkomendasikan untuk mendapatkan


terapi ARV

Informasi yang diberikan untuk memulai ARV : 17

1) Obat harus diminum seumur hidup. Jika berhenti minum obat, akan menjadi sakit lagi

2) Obat tidak menyembuhkan HIV tetapi hanya menekan replikasi virus


3) Obat tidak dapat mencegah penularan HIV ke orang lain, sehingga pasien harus tetap

melakukan sex yang aman dan tidak menggunakan jarum suntik yang terinfeksi secara

bergantian

1) Jika lupa minum obat lebih dari 3x dalam sebulan virus cepat menjadi resisten

sehingga obat tidak efektif lagi

2) Obat harus diminum sesuai dengan aturan minum obat

3) Jika lupa atau terlambat minum obat kurang dari 3 jam, minum obat saat itu juga

4) Bila lebih dari 3 jam maka jangan minum dosis ganda pada pemberian

berikutnya,minum obat yang berikutnya tetap 1 dosis

5) Jika mual obat diminum bersama makanan

6) Jika diare tetaplah makan dan minum

7) Keuntungan ARV : memperpanjang hidup dan meningkatkan kualitas hidup 16

8) Kemungkinan terdapat efek samping dan interaksi obat

9) Pentingnya membuka status HIV kepada orang tertentu

10) Pentingnya pemeriksaan HIV bagi pasangan dan anak

11) Harus menerapkan pola hidup sehat Selama mendapat ART, harus dilakukan

penilaian klinis dan laboratorium yaitu dengan monitoring respon ARV yang

bertujuan untuk mencari tanda atau gejala toksisitas ARV, mencari infeksi

oportunistik atau penyakit penyerta lain, menilai kepatuhan berobat dan melihat

respons terhadap terapi. 19


BAB IV

PEMBAHASAN

Hiperplasia epitel fokal dan oral kondiloma akuminata memiliki gambaran klinis dan

histopatologis yang serupa. Keduanya disebabkan oleh HPV risiko rendah, dengan kondiloma

yang lebih sering dikaitkan dengan HPV-6 dan HPV-11, meskipun beberapa jenis lain (termasuk

HPV-32 dan HPV lainnya yang memiliki resiko tinggi lebih jarang) telah dijelaskan dalam lesi

ini4,8, 9.

Sindrom pemulihan imun (The syndrome of immune reconstitution / SIR) merupakan

komplikasi klinis yang signifikan pada pasien yang terinfeksi HIV, yang sistem kekebalannya

meningkat dengan cepat. Hal ini merupakan kondisi paradoksal yang terkait dengan infeksi

oportunistik yang diobati sebelumnya dan muncul kembali setelah pemulihan kekebalan/imun

yang dihasilkan dari terapi antiretroviral. Kondisi ini terjadi ketika infeksi oportunistik yang

mendasari atau tidak diobati menginduksi sistem kekebalan/imun yang pulih untuk bereaksi

terhadap patogen ini.


Mekanisme pasti yang mengarah ke sindrom pemulihan kekebalan/imun masih belum

jelas, tetapi beberapa faktor penting terkait dengan kemunculannya, seperti pemulihan kekebalan

yang cepat setelah memulai ART dan / atau penurunan viral load yang cepat. Selain faktor-

faktor ini, diagnosis juga didasarkan pada hubungan antara awal terapi antiretroviral, munculnya

penyakit (dalam waktu sekitar 3 bulan) dan perjalanan klinis infeksi oportunistik10

Kebanyakan infeksi HPV adalah transien, dan tidak jelas apakah virus dihilangkan oleh

pejamu ataukah dipertahankan pada fase laten di epitel.

BAB V

SIMPULAN

Berdasarkan kasus ini, mungkin dapat dikaitkan dengan SIR, karena pasien mengalami

peningkatan yang luar biasa dalam respon imun empat bulan setelah ART mengingat gambaran

klinis lesi yang tidak biasa yang disebabkan oleh HPV. Tidak ada pendapat dalam literatur

mengenai perawatan lesi yang luas seperti yang dilaporkan di sini.

Namun, karena viral load HPV jauh lebih tinggi pada pasien HPV-32 dan beberapa lesi

oral11, maka wajar untuk berpikiran bahwa penggunaan obat yang bertindak secara lokal dan

sistemik akan menjadi pilihan terbaik dalam kasus proliferasi virus. Anti-mitosis (mis.

Cidofovir) dan agen imunemodulasi (mis. Imiquimod, interferon, dan siklofosfamid) 6 telah dapat

digunakan dengan hasil yang baik. Pengobatan dengan obat-obatan ini dibuang karena biayanya

tinggi dan kurangnya rekomendasi berdasarkan bukti yang konsisten.


Lesi HPV pada mukosa mulut memiliki insiden rendah-sedang dan umumnya mudah

ditangani, dengan eksisi bedah menjadi pengobatan pilihan. Ketika lesi ini mempengaruhi pasien

yang memiliki defisiensi imunologis, seseorang harus melakukan intervensi sesegera mungkin

untuk mencegahnya menjadi luas, sehingga sulit untuk memilih perawatan yang efektif. Di sisi

lain, penting untuk menekankan bahwa perawatan harus dipilih berdasarkan kekhasan pasien

(mis. Kemungkinan untuk mematuhi pengobatan) dan ketersediaan obat-obatan. Selain diagnosis

yang akurat, penting untuk menyelidiki sub-tipe HPV yang ada pada pasien untuk prognosis dan

manajemen lesi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Glick M, 2015. Burket’s Oral Medicine. 12th ed, USA: People’s Medical Publishing House,

p. 137-139

2. Anaya-Saavedra G, Flores-Moreno B, García-Carrancá A, Irigoyen-Camacho E, Guido-

Jiménez M, Ramírez-Amador V. HPV oral lesions in HIV-infected patients: the

impact of long-term HAART. J Oral Pathol Med. 2013;42:443-9.

3. Syrjänen S. Human papillomavirus infections and oral tumors. Med Microbiol Immunol.

2003;192:123-8.

4. Gemigniani F, Hernández-Losa J, Ferrer B, García-Patos V. Focal epithelial hyperplasia by

human papillomavirus (HPV)-32 misdiagnosed as HPV-16 and treated with

combination of retinoids, imiquimod and quadrivalent HPV vaccine. J Dermatol.

2015;42:1172-5.
5. Scheinfeld N, Lehman DS. An evidence-based review of medical and surgical treatments of

genital warts. Dermatol Online J. 2006;12:5.

6. Ramírez-Fort MK, Au SC, Javed SA, Loo DS. Management of cutaneous human

papillomavirus infection: pharmacotherapies. Curr Probl Dermatol. 2014;45:175-85.

7. Carmona Lorduy M, Harris Ricardo J, Hernández Arenas Y, Medina Carmona W. Use of

trichloroacetic acid for Vale et al. Page 4 of 4 Rev Inst Med Trop São Paulo.

2019;61:e54 management of oral lesions caused by human papillomavirus. Gen Dent.

2018;66:47-9.

8. Khanal S, Cole ET, Joh J, Ghim SJ, Jenson Ab, Rai SN, et al. Human papillomavirus

detection in histologic samples of multifocal epithelial hyperplasia: a novel

demographic presentation. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol.

2015;120:733-43.

9. Syrjänen SM, Syrjänen KJ, Happonen RP, Lamberg MA. In situ DNA hybridization analysis

of human papillomavirus (HPV) sequences in benign oral mucosal lesions. Arch

Dermatol Res. 1987;279:543-9.

10. Martin-Blondel G, Mars LT, Liblau RS. Pathogenesis of the immune reconstitution

inflammatory syndrome in HIV-infected patients. Curr Opin Infect Dis. 2012;25:312-

20.

11. Camacho-Aguilar S, Ramírez-Amador V, Rosendo-Chalma P, Guido-Jiménez M, García-

Carrancá A, Anaya-Saavedra G. Human papillomavirus load in benign HPV-

associated oral lesions from HIV/AIDS individuals. Oral Dis. 2018;24:210-4.


12. N

13. Mn

14. Ns

15. Ns

16. Leemans CR, Braakhuis BJM, Brakenhoff RH. The molecular biology of head and neck

cancer. Nat Rev Cancer. 2011;11:9–22.

17. Rampias T, Sasaki C, Psyrri A. Molecular mechanisms of HPV induced carcinogenesis in

head and neck. Oral Oncol. 2014;50:356–63.

18. Kajitani N, Satsuka A, Kawate A, Sakai H. Productive lifecycle of human papillomaviruses

that depends upon squamous epithelial differentiation. Front Microbiol. 2012;3:1–12.

19. Newman MG, Klokkevold PR, Takei HH, Carranza FA. Carranza’s clinical periodontology.

2015

20. Gormley RH, Kovarik CL. Human papillomavirus-related genital disease in the

immunocompromised host: Part I. J Am Acad Dermatol. 2012;66(6):867.e861-814;

quiz 881- 862.

21. Winer RL, Hughes JP, Feng Q, et al. Early natural history of incident, type-specific human

papillomavirus infections in newly sexually active young women. Cancer Epidemiol

Biomarkers Prev. 2011;20(4):699- 707. 22.


22. Sundström K, Eloranta S, Sparén P, et al. Prospective study of human papillomavirus (HPV)

types, HPV persistence, and risk of squamous cell carcinoma of the cervix. Cancer

Epidemiol Biomarkers Prev. 2010;19(10):2469-2478.

23. Cuzick J, Arbyn M, Sankaranarayanan R, et al. Overview of human papillomavirus-based

and other novel options for cervical cancer screening in developed and developing

countries. Vaccine. 2008;26 Suppl 10:K29-41Shs

24. Gillison ML, Broutian T, Pickard RK, et al. Prevalence of oral HPV infection in the United

States, 2009- 2010. JAMA. 2012;307(7):693-703.

25. Chaturvedi AK, Anderson WF, Lortet-Tieulent J, et al. Worldwide trends in incidence rates

for oral cavity and oropharyngeal cancers. J Clin Oncol. 2013;31(36):4550-4559.

26. Shiboski CH, Lee A, Chen H, Webster-Cyriaque J, Seaman T, Landovitz RJ, et al. Human

papillomavirus infection in the oral cavity of HIV patients is not reduced by initiating

antiretroviral therapy. AIDS. 2016;30:1573-82.

27. Tugizov S, Herrera R, Veluppillai P, Greenspan D, Palefsky J. HIVfacilitated paracellular

penetration of HPV into mucosal epithelium. XIX International AIDS Conference;

2012; Washington DC, USA.

28. Houlihan CF, Larke NL, WatsonJones D, et al. Human papillomavirus infection and

increased risk of HIV acquisition. A systematic review and meta-analysis. AIDS.

2012;26(17):2211-2222.
29. Chin-Hong PV, Husnik M, Cranston RD, et al. Anal human papillomavirus infection is

associated with HIV acquisition in men who have sex with men. AIDS.

2009;23(9):1135-1142.

30. Mooij SH, Boot HJ, Speksnijder AG, et al. Oral human papillomavirus infection in HIV-

negative and HIV infected MSM. AIDS. 2013;27:2117-28.

Anda mungkin juga menyukai