Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PATOLOGI NEKROPSI KUCING

Rabu, 06 Maret 2019

Oleh :

Kelompok A
PPDH Gelombang I Tahun 2018/2019

Dosen PJ:

Drh Vetnizah Juniantito, PhD, APVet

Dosen Piket/Tentir:

Dr Drh Wiwin Winarsih, MSi, APVet

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


DEPARTEMEN KLINIK, REPRODUKSI, DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
HASIL PEMERIKSAAN NEKROPSI

No. Protokol : P/46/19


Hari/Tanggal : Rabu/ 6 Maret 2019
Dosen PJ : Drh Vetnizah Juniantito, PhD, APVet
Dosen Tentir/PikeT : Dr Drh Wiwin Winarsih, MSi, APVet

Anamnesa : Kucing jatuh dari lantai 3. Setelah jatuh mengalami


demam dan terdapat benjolan dibagian rongga
dada. Nafas costo-abdominal. Sebelum mati
terdapat keluar cairan dari hidung.
Signalement
Nama Hewan : Cipluk
Jenis Hewan : Kucing
Bangsa : DSH
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : ± 3 bulan
Warna Rambut : Bicolor/ Orange-putih
Tanggal Mati : 08 Februari 2019
Tanggal Nekropsi : 6 Maret 2019
Asal Hewan : Nn. Dini

HASIL PEMERIKSAAN EPIKRISE

ORGAN EPIKRISE DIAGNOSA PA

Keadaan umum luar


Kulit dan rambut Terdapat ektoparasit Ada kelainan
Ctenocephalides fenis
Mukosa Pucat Anemis
Mata Membrana nictican terlihat Dehidrasi
Telinga Kotor oleh cerumen Tidak ada kelainan
Anus Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Subkutis
Perlemakan Sedikit, warna putih Tidak ada kelainan
Otot Terdapat benjolan warna Myositis
biru kehijauan di rongga
dada bagian depan. Ketika
di insisi keluar eksudat
suppuratif/purulent
Kel. Ludah Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Kelenjar pertahanan perifer


Ln. Submandibularis Simestris, sebelah kanan Kongesti hipostatis
berwarna lebih merah
Ln. Retropharyngealis Simestris, sebelah kanan Kongesti hipostatis
ORGAN EPIKRISE DIAGNOSA PA
berwarna lebih merah
Ln. Prescapularis Simestris, sebelah kanan Kongesti hipostatis
berwarna lebih merah
Ln. Axillaris Simestris, sebelah kanan Kongesti hipostatis
berwarna lebih merah
Ln. Poplitea Simestris, sebelah kanan Kongesti hipostatis
berwarna lebih merah
Lnn. Mesenterica Berwarna merah Tidak ada kelainan
kecoklatan, tidak bengkak
Rongga abdomen
Situs viserum Letak organ pada Tidak ada kelainan
tempatnya, tidak ada
perubahan posisi organ,
tidak terdapat cairan di
rongga abdomen.
Rongga thoraks
Tekanan negative Tidak ada Ada kelainan
Situs viserum Letak organ pada Pyothoraks
tempatnya, tidak ada
perubahan posisi organ,
terdapat cairan purulent
berwarna kuning di rongga
thoraks sebanyak 95 ml.
Traktus respiratorius
Sinus hidung Tidak ada eksudat Tidak ada kelainan
Faring Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Laring Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Trakhea Terdapat busa dan cairan Edema pulmonum
merah
Bronkhus Terdapat busa dan cairan Edema pulmonum
merah
Paru-paru Warna tidak homogen, Pneumonia alveolar
kuning pucat, saat dipalpasi Edema pulmonum
ada sedikit krepitasi, saat Pleuritis
diinsisi dan uji apung
tenggelam 30% pada lobus
cranial sinistra, selain itu
10%. Pleura menempel dan
menebal di paru-paru
Traktus digestivus
Rongga mulut Pucat, tidak ada luka Tidak ada kelainan
Lidah Tidak ada kelinan Tidak ada kelainan
Esofagus Tidak ada kelainan spesifik Tidak ada kelainan
Lambung Terdapat eksudat catarrhal Gastritis katarhalis
Usus halus Terdapat eksudat catarrhal Enteritis katarhalis
Usus besar Terdapat eksudat catarrhal Enteritis katarhalis
Pankreas Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
ORGAN EPIKRISE DIAGNOSA PA
Hati Warna merah darah Kongesti Hati
homogen, bentuk tidak ada
perbesaran, konsistensi
padat, saat di insisi keluar
darah
Kantung empedu Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Traktus sirkulatorius
Jantung Apex lancip. Pericard Dilatasi ventrikel
keruh, tidak terang tembus, kanan
dan menebal. Epicard
warna tidak homogen
dibagian ventrikel kanan
lebih gelap kehitaman.
Edocard vent. kiri dan vent.
kanan terdapat chicken fat
cloth, serta di vent. kanan
juga dipenuhi oleh blood
cloth. Vent kanan trabeluka
cekung, miocardium tipis,
dan lumen meluas.

Pembuluh darah Aorta bagian pangkal Aneurisma aorta


terdapat legokan ke dalam

Sistem limforetikular
Limpa Warna homogen merah, Kongesti Limpa
tepi lancip, konsistensi
kenyal, saat diinsisi dan
Thymus dilakukan uji usap terdapat
cairan darah/merah
menempel pada pisau

Traktus urogenitalia
Ginjal Simetris, warna tidak Kongesti hipostatis
homogen bagian kanan
lebih kemerahan dengan
batas medulla dan korteks
tidak jelas, medulla
berwarna merah
Bagian ginjal kiri tidak ada
kelainan
Ureter Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Vesika urinaria Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Uretra Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Sistem saraf pusat
Otak Pucat, gyrus data sejajar Edema cerebri
dengan sulcus
ORGAN EPIKRISE DIAGNOSA PA
Syaraf perifer Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Sistem lokomosi
Otot Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Tulang Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Persendian Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Diagnosis Patologi Anatomi : Feline Pyothoraks infeksi sekunder dari myositis


akibat trauma.

PEMBAHASAN

Hewan yang dinekropsi adalah kucing Domestic Short Hair (DSH)


berjenis kelamin jantan dengan umur ± 3 bulan, warna rambut orange-putih mati
dengan keluhan sebelumnya lemas, demam, nafas costo-abdominal, dan keluar
cairan dari hidung. Keadaan umum kucing sebelum di nekropsi didapatkan
mukosa mulut dan mata pucat, membran nicticans terlihat dan menutupi sebagian
bola mata, hidung dan mata tidak terdapat leleran, lubang telinga kotor karena
tumpukan cerumen, dan terdapat sedikit pinjal Ctenocephalides felis. lemak
subkutis sedikit berwarna putih dan terdapat benjolan dengan warna biru
kehijauan di bagian depan otot thoraks kemudian setelah diinsisi terdapat eksudat
purulent.
Perubahan patologi anatomi pada otot menunjukkan terjadinya myositis di
daerah rongga thoraks. Myositis pada kucing ini disebabkan karena adanya trauma
akibat jatuh seperti luka tusukan yang tidak aseptis menyebabkan rupture pada
fascia otot dan pleura visceralis. Ketika diinsisi terdapat cairan pus (nanah)
didalam otot. Adanya infeksi bakteri pada otot sering terjadi dan menyebabkan
myositis supuratif et nekrotikans. Bakteri piogenik yang biasanya menyebabkan
nekrosis myofiber dan nanah yang bersifat lokal membentuk abses. Streptococcus
sp., Arcanobacterium sp., dan Corynebacterium sp. adalah bakteri yang umum
penyebab abses otot Bakteri ini masuk melalui otot yang trauma walaupun kecil
dapat masuk secara meluas dan menyebabkan nekrosis pada fasciculi otot yang
berdekatan (Zachary dan McGavin 2012).
Hasil yang diperoleh dari nekropsi yang dilakukan menunjukkan
terjadinya perubahan pada organ respirasi. Saat ruang thoraks dibuka, ruang
thoraks penuh dengan cairan kental berwarna putih (pus). Jumlah cairan tersebut
sebanyak 95 ml. Pus yang terkumpul dalam ruang thoraks disebut sebagai
pyothoraks atau empyema (Zachary dan McGavin 2012). Pyothoraks erat sekali
kaitannya dengan infeksi bakteri, baik bakteri yang alami pada orofaring maupun
tidak. Contoh bakteri yang dapat menyebabkan pyothoraks ialah eschericia coli,
arcanobacterium pyogen, pasteurella multocida, fusobacterium necrophorum,
salmonella typhimurium, staphylococcus aureus, cryptococcus gattii, maupun
spesies-spesies mycoplasma (Bars et al. 2005). Bakteri Nocardia, Actinomyces,
dan Bacteroides dapat menyebabkan pyothoraks, tetapi lebih mengarah keapda
pyogranulomatous pleuritis (Zachary dan McGavin 2012). Pyogranulomatous
pleuritis tidak ditemukan pada kasus ini.
Pada umumnya, ketika pyothoraks terjadi, eksudat purulent juga menutupi
pleura, baik pleura visceralis maupun parietalis (Zachary dan McGavin 2012).
Seperti lesi patologis yang didapatkan pada kasus ini, pleura visceralis dan
parietalis ditemukan menebal dengan konsistensi lembek dan berwarna putih.
Pleura visceral dan parietal sulit dilepas dari satu sama lain. Hal tersebut
menunjukkan adanya serosal fibrosis dan menjadi indikasi terjadinya pleuritis
kronis. Pleuritis dapat disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya yaitu infeksi
bakteri yang berpenetrasi dari thoraks atau luka diafragma, pneumonia, ataupun
infeksi bakteri yang sudah sistemik (Zachary dan McGavin 2012). Pleuritis terjadi
karena kucing memiliki myositis di otot pectoralis yang diduga akibat luka
tusukan yang tidak aseptis saat terjatuh, kemudian bakteri tersebut berpenetrasi ke
pleura. Atau, dapat pula terjadi karena infeksi lanjutan dari pneumonia yang sudah
terbentuk sebelum kucing tersebut terjatuh.
Paru-paru kucing setelah dilepaskan dari pleura secara umum
menunjukkan warna pucat-kekuningan yang tidak homogen. Hasil palpasi hanya
menunjukkan sedikit krepitasi. Ketika dilakukan uji apung, semua lobus paru
menunjukkan bagian yang tenggelam sebanyak ± 10% kecuali lobus kranial kiri
sebanyak 30 %. Namun, tidak ada eksudat yang keluar ketika di insisi. Pneumonia
pada hewan dibagi menjadi 4 jenis, yakni bronchopneumonia (termasuk
pneumonia alveolaris), pneumonia interstitial, embolic pneumonia, dan
granulomatous pneumonia (Zachary dan McGavin 2012). Bentuk pneumonia
dengan uji apung negatif (tenggelam) mengindikasikan alveol terisi oleh bahan-
bahan radang, sehingga dapat dikatakan sebagai pneumonia alveolaris.
Penyebaran radang di paru tersebut merujuk pada diagnosa pneumonia alveolaris
dengan penyebaran lokal ekstensif. Pnemonia disebut pneumonia lokal ekstensif
ketika terjadi peradangan yang cukup besar di area lobus, biasanya terjadi pada
beberapa lobus sekaligus (King et al. 2013). Pneumonia dapat terjadi karena
infeksi virus maupun bakteri (Zachary dan McGavin 2012). Pneumonia pada
kasus ini lebih mengarah pada infeksi bakteri, dibuktikan oleh eksudat suppuratif
di ruang thoraks. Pneumonia dapat terjadi karena pleura yang terinfeksi akibat
luka trauma kemudian menyebar ke paru-paru, atau, pneumonia terjadi sebelum
kucing tersebut jatuh akibat kucing tersebut menghirup udara berpatogen
(bakteri).
Diagnosa patologis lain dari paru-paru kucing ialah edema pulmonum.
Lesi patologi-anatomi yang ditemukan ialah cairan dan busa pada trakea hingga
bronkus. Busa terbentuk karena interaksi antara udara yang berada pada paru dan
cairan plasma. Penyebab edema terbagi menjadi dua, yakni kardogenik dan
nonkardiogenik. Pada kasus ini, edema yang terjadi lebih menjurus pada edema
pulmonum non kardiogenik. Edema non kardiogenik terjadi karena adanya respon
awal inflamasi. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, paru-paru kucing
mengalami pneumonia alveolaris ekstensif lokal. Respon inflamasi membutuhkan
mediator seperti leukotrin dan sitokin. Mediator-mediator tersebut meningkatkan
permeabilitas blood air barrier pada paru-paru dan menimbulkan edema (Zachary
dan McGavin 2012).
Pemeriksaan organ jantung secara inspeksi terlihat apex jantung lancip.
Pada saat sulkus longitudinalis diinsisi menunjukkan adanya dilatasi pada lumen
ventrikel kanan. Hal tersebut dapat terlihat dari permukaan lumen yang meluas
dan trabekula yang cekung pada ventrikel kanan. Dilatasi terjadi akibat
peregangan dari otot jantung demi meningkatkan kemampuan kontraksi
(kontraktilitas) dari jantung. Ketika jantung berdilatasi berlebih melampaui
kemampuan dilatasi maksimal dari jantung dapat menyebabkan lemahnya
kemampuan kontraksi jantung (Carlton & McGavin 1995). Apabila dilihat dari
lebar lumennya maka jantung kanan yang lebih berdilatasi diduga terjadi
kegagalan jantung sebelah kanan. Salah satu penyebab kongesti adalah
penyumbatan pada pembuluh darah vena (Chauhan 2007). Hal ini dapat menjadi
faktor pemicu terjadinya gagal jantung kongestif. Menurut McGavin dan Zachary
(2007), gagal jantung kongestif biasanya diakibatkan oleh berkurangnya efisiensi
pemompaan darah secara bertahap terkait dengan peningkatan tekanan dan
volume darah pada jantung. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan
perifer menurun dan terdapat akumulasi darah yang tertahan pada ruang jantung.
Ventrikel kiri dan kanan ditemukan adanya chicken fat clot, dan
ditemukan blood cloth yang memenuhi lumen hanya pada ventrikel kanan. Blood
cloth menunjukkan adanya peningkatan volume sehingga menyebabkan lumen
ventrikel kanan meluas. Chicken fat clot mengandung jumlah eritrosit yang
berkurang pada hewan dengan anemia berat, penyakit radang sistemik, leukemia,
atau setelah periode agonal yang berkepanjangan. Chicken fat clot dapat terjadi
pada penyakit radang sistemik karena peradangan menghasilkan peningkatan
fibrinogen plasma yang menyebabkan terbentuknya timbunan eritrosit (formasi
rouleau) yang mengendap lebih cepat (McGavin dan Zachary 2007). Adanya
legokan yang cukup besar pada aorta yang disebut dengan istilah aneurisma aorta.
Aneurisma aorta toraks adalah tonjolan di pembuluh darah (aorta). Tonjolan
terjadi di titik lemah pada pembuluh darah. Aneurisma dengan ukuran besar bisa
sangat berbahaya karena jika pecah dapat menyebabkan pendarahan yang
menyebabkan kematian (Wilson 2012) Melemahnya lapisan tunika media
menyebabkan pembuluh darah melebar. Kelemahan ini disebabkan oleh
perubahan yang bersifat degeneratif atau inflamasi yang berkembang dari tunika
intima. Gangguan endotelium akibat aneurisma dapat menyebabkan pembentukan
trombus dan emboli (Cunningham 2000).
Pemeriksaan patologi anatomi otak menunjukkan permukaan girus yang
rata dan sulcus menyempit. Berdasarkan temuan patologi anatomi, otak
mengalami edema cerebri. Edema cerebri dapat disebabkan oleh kerusakan
sekunder blood brain barrier akibat kerusakan mekanik (trauma otak, acute
malignant hypertension, radiasi) atau dimediasi mediator bahan-bahan kimia
(tumor, peradangan, dan infeksi). Kerusakan blood brain barrier menyebabkan
keluarnya cairan dan protein dari pembuluh darah ke parenkima cerebri.
Akumulasi cairan ekstraseluler yang berlebihan menyebabkan peningkatan
volume otak dan peningkatan tekanan intracranial (Mahajan dan Bhagat 2016;
Michinaga dan Koyama 2015).
Otak, limfonodus, dan ginjal menujukkan warna yang lebih gelap
kemerahan pada salah satu sisi yaitu bagian kanan sehingga organ-organ tersebut
dikatakan mengalami kongesti hipostatik (livor mortis). Hal ini dikarenakan,
posisi hewan saat mati adalah right lateral recumbency sehingga darah
mengendap di sisi kanan hewan. Menurut Moreland (2009), kongesti hipostatik
terjadi karena adanya pengendapan darah ke sisi bawah tubuh hewan akibat
gravitasi. Pengendapan darah dan cairan tubuh akibat gravitasi menyebabkan
organ dan jaringan pada bagian bawah cadaver berwarna lebih gelap (merah
gelap).
Pemeriksaan organ hati menunjukkan tepi hati yang tumpul, konsistensi
kenyal, warna merah gelap, dan ketika diinsisi keluar darah dari bidang insisi. Hal
tersebut menunjukkan adanya kongesti hati. Pemeriksaan organ limpa berwarna
merah kecoklatan, tepi tumpul, dan diusap terlihat adanya darah yang menepel
pada pisau. Berdasarkan temuan patologi anatomi, maka terjadi kongesti limpa.
Kongesti dapat disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung atau ke paru-
paru. Penurunan aliran tersebut sering disebabkan oleh gangguan pada jantung
kanan yang menghambat aliran darah ke paru-paru. Gangguan pada jantung kanan
membuat peningkatan tekanan pada vena cava caudal dan percabangannya akibat
darah dari jantung kembali ke vena cava, sehingga terjadi kongesti hati dan
kongesti limpa (Zachary dan McGavin 2012).
Pemeriksaan patologi anatomi pada sistem pencernaan menunjukkan adanya
penebalan mukosa dan eksudat kataral berwarna coklat kekuningan pada lambung
dan usus. Berdasarkan temuan patologi anatomi dari sistem pencernaan, maka
kucing mengalami gastroenteritis kataralis. Eksudat kataral akan ditemukan pada
jaringan yang mengalami inflamasi akut dan terdapat akumulasi cairan mucus
yang kental. Gastroenteritis biasanya disebabkan oleh adanya infeksi bakteri,
virus, protozoa, helmint, dan benda asing. Pemeriksaan traktus digestivus tidak
ditemukan adanya cacing maupun benda asing dalam saluran pencernaan.
Beberapa virus yang menyebabkan gastroenteritis pada anjing adalah parvovirus
enteritis, panleukopenia virus enteritis, dan feline infectious peritonitis. Beberapa
bakteri yang dapat menyebabkan gastroenteritis antata lain Escherichia coli,
Salmonella, dan Mycobacteria. Mikroba usus dapat memicu adanya peningkatan
jumlah sel imun dan sel-sel inflamasi pada lamina propria akibat stimulasi dari
antigen. E. coli memiliki kemampuan untuk melekat pada epitel usus halus dan
akan terjadi kolonisasi. Ciri khas infeksi E. coli ini ditandai dengan adanya diare.
Salmonella menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan inflamasi akut dan
kerusakan mukosa usus. Kerusakan mukosa usus yang parah dapat menyebabkan
hemoragi. Infeksi Mycobacteria akan menyebabkan enteritis granulomatous,
lymphangitis, dan lymphadenitis (Zachary dan McGavin 2007).
Pyothoraks dengan jumlah eksudat sebanyak 95 ml mempersulit kucing
untuk melakukan inhalasi (Zachary dan McGavin 2012), menyebabkan kucing
tersebut tidak mendapatkan jumlah oksigen yang dibutuhkan. Oksigen yang
sedikit menurunkan pula energi yang terbentuk dalam tubuh (Burke dan Poyton
1998). Selain itu, infeksi bakteri menurunkan imun kucing tersebut. Oleh
karenanya, kausa mortis pada kasus ini merujuk pada pyothoraks dengan tria
mortis ialah paru-paru.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil nekropsi dapat disimpulkan bahwa kucing tersebut


mengalami edema cerebri, myositis, pyothoraks, pleuritis, dilatasi ventrikel kanan,
dan gastroenteritis katarhalis. Penyebab kematian diduga disebabkan karena paru-
paru yang mengalami pneumonia alveolar akibat infeksi bakteri dan edema
pulmonum non-kardiogenik.

DAFTAR PUSTAKA

Bars VR, Allan SG, Martin P, Beatty JA, Malik R. 2005. Feline pyothorax:
retrospective study of 27 cases in Australia. Journal of Feline Medicine and
Surgery. 7(4):211-222.
Burke PV, Poyton RO. 1998. Structure/function of oxygen-regulated isoforms in
cytochorme c-oxidase. The Journal of Experimental Biology. 201:1163-
1175.
Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology 2nd
Ed. Missouri: Mosby.
Chauhan RS. 2007. Illustrated Veterinary Pathology (General & Systemic
Pathology). Lucknow (IND): International Book Distributing Co.
Cunningham SM. 2000. Overview of thrombosis, embolism, and aneurysm.
[Internet] Diunduh pada 2019 March 6. Tersedia pada :
https://www.merckvetmanual.com/
Green CE. 2012. Infectious Diseases of The Dog and Cat. Edisi ke-4.
Missouri(US): Elsevier.
King JM, Roth-Johnson L, Dodd DC, Newsom ME. 2014. The Necropsy Book: A
Guide for Veterinary Students, Residents, Clinicians, Pathologist, and
Biological Researchers. New York (USA) : Charles Louis DVM
Foundation Publisher.
Mahajan S, Bhagat H. 2016. Cerebral oedema: Pathophysiological mechanisms
and experimental therapies. JNACC. 3(4):22-28.McGavin MD, Zachary JF.
2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease 4th Edition. Missouri (USA):
Elsevier.
Michinaga S, Koyama Y. 2015. Pathogenesis of Brain Edema and Investigation
into Anti-Edema Drugs. Int J Mol Sci. 16:9949-9975.
Moreland RE. 2009. Color Atlas of Small Animal Necropsy First Edition. Irvine
(USA): Remsoft Publishing.
Wilson D. 2012. Clinical Veterinary Advisor Book : The Horse. Missouri (USA):
Elsevier Saunders.
Zachary JF, McGavin MD. 2012. Pathologic Basis of Veterinary Disease. China
(CN) : Penny Rudolph Publisher.
Zachary JF. 2017. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Edisi ke-6. Missouri
(US): Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai