PENDAHULUAN
2
1.3.2 Tujuan Khusus
- Membentuk kerjasama dan koordinasi yang baik pihak puskesmas dengan pihak
masyarakat sekitar.
- Mengetahui tingkat pengetahuan Kader sebelum dan sesudah dilakukan
penyuluhan DBD.
- Mengetahui kepatuhan Masyarakat dalam mengisi lembar jumantik.
Hasil dari pelatihan juru pemantau jentik yang telah dilaksanakan, kami membuat
semacam laporan penelitian, guna mengevaluasi jalannya program tersebut. Penelitian ini
dilakukan di desa Astana Mukti
Kegiatan survei jentik diadakan 1 kali dalam seminggu yaitu pada hari Kamis.
Pada hari kamis dilakukan pemeriksaan jumantik di rumah kader serta 1 rumah tetangga
di sebelah kanan rumah kader. Penelitian ini menggunakan rancangan quasi
experimental, dengan melakukan intervensi (pelatihan) dipantau hasilnya melalui
penurunan angka kejadian DBD.
4
Tim peneliti menghubungi pihak desa dan menemui kepala desa serta kader-kader
yang akan diberikan penyuluhan dan pelatihan. Peneliti meminta izin untuk melakukan
penyuluhan serta pelatihan jumantik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PENDAHULUAN
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue hemorrhagic
5
fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan
plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.
II.2 ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falvivirus merupakan virus
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat
serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat
reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever,
Japanese enchepalitis dan West Nile virus.
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survey epidemiologi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian
pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Stegomyia) dan Toxorhynchites.
II.3 EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah
air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga
1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000
6
penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga
mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes
(terutama A.aegypti dan A.albopictus). peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina
yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air
lainnya).
II.4 PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respon
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antiobodi. Antibodi
terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T
baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap
virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2
dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit dan
makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses
fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag; d). Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
7
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection
yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan
tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga
mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halsstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-
fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di
makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper
dan T sitotoksik sehingga diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma
akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-
α, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan
terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya
kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi
sumsum tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran
sumsum tilang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan
supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses
hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat
terjadinya trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya
stimulasi trombopoesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi
di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi
trombosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati
konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada
demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway).
Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi
8
kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun
deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RTPCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis
yang mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM
maupun IgG.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua
hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus
kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.
II.7 DIAGNOSIS
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul
gejala prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan
perasaan lelah.
Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai
dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala
Nyeri retro-orbital
Mialgia/artralgia
10
Ruam kulit
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
Leukopenia
dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang
sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
- Uji bendung positif
- Petekie, ekimosis, atau purpura
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain
- Hematemesis atau melena
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan
demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.
Sindroma Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20
mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
11
gelisah.
II.8 PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi
suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien
dewasa berdasarkan kriteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi
Praktis dalam pelaksanaannya
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:
Protokol 1
Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%
Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
12
Protokol 5
Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000, jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12
jam.
Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.
13
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%
Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan
infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4
jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat
maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan
pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik
maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi
menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan
infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila
keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam,
tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan
menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protocol
tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian
cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
14
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT
dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
16
BAB III
METODE
17
a. Lokasi : SDN 01, SDN 01, SDN 02, SDN 03, SDN
04, SD Alharijah, MIM
b. Waktu penelitian : 23 September 2013 hingga 28 September 2013
18
2 minggu sekali, akan dilakukan pengumpulan lembar jumantik serta evaluasi kegiatan
oleh petugas puskesmas.
BAB IV
HASIL PELAKSANAAN KEGIATAN
19
IV.2 Data Demografik
Penduduk wilayah kerja Puskesmas Talang Padang terdiri dari 42.699 jiwa yang
tersebar di 19 (sembilan belas) desa.
- apoteker :1 - loket :1
- bagian laboratorium : 2
20
pelaksanaan program ini, puskesmas Kecamatan Talang Padang mendapatkan
data mengenai kesehatan lingkungan baik di sekolah maupun di masyarakat.
IV 337 54,6
V 280 45.4
SDN 01 IV – V 3 4
SDN 01 IV – V 3 3
SDN 02 IV – V 4 4
SDN 03 IV 4 5
SDN 04 IV 4 3
SD Alharijah IV 2 5
MIM IV 3 5
Nilai Rata-Rata
21
SD Kelas Nilai
SDN 01 IV – V 7,65
SDN 01 IV – V 7,55
SDN 02 IV – V 7,51
22
BAB V
DISKUSI
23
pengisian lembar dan kenyataan dilapangan. Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor baik dari Jumantikid sendiri, orangtua, para guru,dan
penyuluh / petugas puskesmas.
Data angka kesakitan penyakit DBD pada bulan Desember tahun 2012
ditemukan sebanyak 6 kasus sedangkan pada bulan Januari 2013 ditemukan
sebanyak 2 kasus dan pada bulan Februari 2013 sebanyak 4 kasus
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan beberapa wilayah mengalami
penurunan angka kejadian DBD setelah direkrutnya Jumantikid dan berjalan
pemberantasan sarang nyamuk. Namun ,ada beberapa Jumantikid dari
beberapa SD yang tidak melaporkan hasil sebagaimana yang telah
dijadwalkan. Hal ini sangat disayangkan karena pada wilayah SD tersebut,
angka kejadian DBD cenderung masih meningkat.
Hal ini dipengaruhi banyak faktor antara lain adalah waktu antara
penyuluhan, pengisian lembar jumantik, PSN mingguan, dan pembuatan
laporan terlalu singkat. Pemeriksaan yang dilakukan hanya terbatas di rumah
siswa dan sekolah saja.
24
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sekolah SDN 01 Sinar Banten ,
SDN 01 Talang Padang, SDN 02 Talang Padang merupakan sekolah dengan
siswa yang paling banyak menjawab soal pretest dan posttest dengan benar. Hal
ini berbanding lurus dengan nilai rata-rata kelas masing-masing SD. Hal ini juga
didukung oleh kondisi kelas yang memadai, kondusif dan bantuan dari pihak
sekolah.
25
Sesuai dengan kesepakatan jadwal pemeriksaan di sekolah yang mana
dilakukan tiap 1 minggu sekali, para siswa mengatakan rutin melakukan
pemeriksaan secara berkelompok saat jumat bersih, baik setelah senam bersama
maupun kerja bakti setiap pagi. Para Jumantikid juga menerapkan langkah –
langkah cara memeriksa jentik sesuai yang diterangkan saat pelatihan. Pada
beberapa sekolah Jumantikid selain mendapat tugas untuk memeriksa jentik juga
dihimbau untuk menguras bak mandi sekolah. Menurut guru UKS selaku
pengawas Jumantikid mengatakan bahwa terdapat beberapa kendala dalam
melakukan pemeriksaan jentik. Adapun beberapa kendala adalah ketidak
tersediaan alat (lampu senter). Namun saat peneliti mengunjungi sekolah untuk
melakukan PSN bersama Jumantikid, kami melihat kurangnya koordinasi antara
guru UKS dan guru wali kelas, sehingga pada beberapa sekolah PSN tidak
berjalan dengan lancar. Pentingnya pengetahuan dasar mengenai DBD, PSN, dan
3M di kalangan guru perlu diperhatikan. Seperti salah satu SD di daerah Banding
Agung, terdapat tanaman air dengan jentik (+) namun tidak menaburkan bubuk
abate karena takut tanaman tersebut mati.
26
1. Terdapatnya nama petugas jumantikid
2. Ada 6 nomor yang diperiksa (hari Senin memeriksa rumah petugas dan tetangga
kanan, hari Rabu memeriksa rumah petugas dan tetangga kiri, hari Jum’at
memeriksa rumah petugas dan sekolah petugas.)
3. Tanggal dan hari pemeriksaan benar
Dari kriteria yang disebut diatas kami bisa memilih sampel yang menjadi tujuan
kami untuk survey lapangan. Dari hasil kerja evaluasi pengumpulan lembar
Jumatikid dengan keakuratan pemeriksaan jentik di lapangan berbanding lurus
dengan tingkat prestasi siswa di sekolahnya. Keakuratan dalam pengisian lembar
Jumantik ini juga berbanding lurus dengan tingkat prestasi siswanya.
V.6 Kendala Pelaksanaan Kegiatan
Dalam melaksanakan kegiatan Jumantikid ini, peneliti menemukan beberapa
kendala yang cukup bermakna terhadap hasil kegiatan dalam menurunkan angka
kejadian DBD.
Adapun berikut adalah beberapa kendala dalam hal lembar jumantik yaitu
kurangnya dana puskesmas dan sekolah untuk memperbanyak lembar jumantik
(biaya fotokopi). Beberapa pihak sekolah merasa keberatan dengan pengeluaran
biaya tersebut dikarenakan dana BOS yang keluar tidak tepat waktu . Hal ini
mengakibatkan beberapa sekolah tidak mengumpulkan lembar jumantik sesuai
jadwal. Masalah lain yaitu pengisian lembar jumantik, banyak kami temukan
kesalahan pada pengisian. Hal ini mungkin dikarenakan pada saat kegiatan
pelatihan, guru UKS yang mana berlaku sebagai pembimbing karena beberapa hal
tidak hadir mendampingi siswa. Beberapa guru UKS juga tidak memahami secara
baik tujuan dan pelaksanaan kegiatan Jumantikid ini. Sehingga saat siswa bingung
dalam cara mengisi lembar, guru pun tidak dapat menjawab secara benar. Kendala
lain adalah tidak tersedianya alat periksa berupa lampu senter di rumah siswa dan
sekolah. Tidak terpenuhinya kriteria juru pemantau jentik yang telah ditetapkan
resmi oleh dinas kesehatan Republik Indonesia.
Kader juru pemantau jentik direkrut dari masyarakat sesuai dengan tujuan
berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk.
Adapun kriteria yang dimaksud :
27
a. Pendidikan : minimal SMU atau sederajat
b. Berasal dari desa/kelurahan yang bersangkutan
c. Belum atau tidak mempunyai pekerjaan tetap
d. Mampu melaksanakan tugas dan bertanggung jawab
e. Mampu menjadi motivator ditempat tinggalnya
f. Mampu bekerja sama dengan petugas PUSTU dan puskesmas dan
masyarakat
28
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
VI.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang kami laksanakan proses berjalan dengan lancar dan
perlu dilkakukan evaluasi kedepannya untuk kesinambungan program yang sudah terlaksana ini.
Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan adalah terdapat hubungan antara kinerja jumantikid
terhadap penurunan angka penyakit DBD di beberapa wilayah kerja Puskesmas Talang Padang
yang sebelumnya data angka kesakitan penyakit DBD pada bulan Desember tahun 2012
ditemukan sebanyak 6 kasus sedangkan pada bulan Januari 2013 ditemukan sebanyak 2
kasus dan pada bulan Februari 2013 sebanyak 4 kasus. D an masyarakat sekitar pun telah
menyadari bahwa angka kejadian penyakit DBD ini berhubungan erat dengan kesehatan
lingkungan masyarakat itu sendiri. Tingkat pengetahuan siswa/i sebelum dan sesudah
dilakukannya pelatihan dan penyuluhan tentang penyakit DBD, serta kepatuhan dan keakuratan
dalam mengisi lembar jumantik berbanding lurus dengan tingkat prestasi siswanya. Untuk
efektifitas dari penyuluh terhadap kesehatan lingkungan sekolah dengan survei lapangan secara
langsung untuk melihat kebersihan sekolah berbanding lurus dengan diadakannya pelatihan dan
penyuluhan tentang penyakit DBD. Namun dalam pelatihan dan penyuluhan jumantikid tidak
ditemukan nilai bermakna ataupun hubungan antara efektifitas dan pengetahuan penyuluh
terhadap respon dari siswa/i tersebut, ini dikarenakan oleh banyaknya faktor yang menjadi
peranan dalam responsif siswa/i.
VI.2 Saran
Agar pemantauan jentik yang berkesinambungan dapat berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, perlu dilakukan motivasi kepada ketua RT dan kader
jumantik secara berkesinambungan. Keterlibatan petugas kesehatan sangat
diperlukan untuk memberdayakan masyarakat dalam pemantauan jentik secara
berkala. Lalu untuk tolak ukur data angka kejadian penyakit DBD maka pihak
puskesmas dapat menyediakan fasilitas laboratorium lengkap untuk menunjang
29
dignosis penyakit DBD. Untuk mencapai Angka Bebas Jentik pada wialayah kerja
puskesmas Talang Padang peneliti menyarankan perekrutan kader Juru Pemantau
Jentik ( JUMANTIK ) resmi yang memenuhui kriteria dari Departemen
Kesehatan 2012. Adapun kegiatan Jumantikid ini merupakan kegiatan sekolah
yang bermanfaat khususnya bagi program UKS, terkait dengan kendala lembar
jumantik maka disarankan kepada sekolah untuk menggunakan kertas buku tulis
saja tidak perlu lembar jumantik untuk diperbanyak. Untuk mendapatkan
keakuratan data tentang angka bebas jentik, maka nantinya diperlukan peran serta
kader JUMANTIK beserta petugas puskesmas dalam survei lapangan secara
berkesinambungan pada hari jum’at.
Menyikapi kendala tidak tersedianya alat jumantik maka dibutuhkan dana
khusus untuk pengadaan alat tersebut (senter dan lembar jumantik).
30
DAFTAR PUSTAKA
31