Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL GROUP PROJECT

PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI
PEMANFAATAN KELIMPAHAN Gracilaria sp.
DI KAWASAN GUNUNG KIDUL DI YOGYAKARTA SEBAGAI BAHAN BAKU
PEMBUATAN BIOETHANOL

Disusun oleh
Kelompok 3
Aditia Pramudya S. (17304241021)
Anindya Nimas A. S. (17304241026)
Lisna Listiyani (17304241028)
Icha Galuh Puspita (17304244001)
Andi Mustofa (17304244005)
Siti Nurhalizah (17304244008)
Pendidikan Biologi Internasional 2017

PROGRAM STUDI BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia yang merupakan negara maritim memiliki potensi sumber daya
kelautan yang melimpah. Selain itu Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan
tingkat kenaekaragaman hayati yang tinggi kedua di dunia (Budiman et al, 2002).
Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan
langsung dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia (jogjaprov.go.id).
Kawasan bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia secara
geografis memiliki potensi sumber daya kelautan yang tinggi termasuk salah satunya
adalah makroalga.
Makroalga atau rumput laut dikenal memiliki banyak manfaat, misalnya sejak
Bangsa Eropa berlayar ke perairan Indonesia, rumput laut telah dimanfaatkan sebagai
sayuran (Nontji, 1987). Makroalga pada umumnya memiliki habitat pada daerah
intertidal dan subtidal pantai (Nybakken, 1988). Alga pada umumnya membutuhkan
substrat untuk melekat. Umumnya alga akan melekat pada terumbu karang, batu,
pecahan karang, cangkang, dan potongan kayu. Alga yang terlepas dari substrat dasar
akan dapat bertahan hidup dengan mengapung dengan gelembung udara seperti yang
terdapat pada Sargassum sp. (Nontji, 1987).
Kawasan Pantai Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi
makroalgae yang tinggi. Menurut penelitian Haryatfrehni (2013) total spesies
makroalga yang terdapat di Pantai Sepanjang, Gunung Kidul pada September dan
Desember 2019 adalah sebanyak 36 spesies yang terbagi atas Chlorophyta,
Heterokonthophyta, dan Rhodophyta. Sedangkan dari penelitian Nurmiyanti (2013)
hasil penelitian mengenai makroalga di kawasan Pantai Sepanjang, Gunung Kidul
ditemukan 13 spesies makroalga yang terdiri atas Chlorophyta, Rhodophyta, dan
Phaeophyta. Penelitian serupa yang dilakukan Anisah (2015) yang dilaksanakan di
Pantai Kukup, Krakal, dan Sundak, Gunung Kidul, didapatkan 26 spesies makroalga
yang terdiri atas Chlorophyta, Rhodophyta, dan Phaeophyta.
Berdasarkan potensi makroalga yang terdapat di kawasan Pantai Selatan
Daerah Istimewa Yogyakarta memacu penulis yang juga menyandang status sebagai
insan biologi untuk dapat memafaatkan potensi tersebut ke ranah yang lebih luas.
Salah satu pemanfaatan yang digagas oleh penulis adalah membuat sumber energi
alternatif berupa bioethanol melalui kajian bioteknologi. Bioethanol menjadi energi
alternatif karena memiliki kandungan oksigen yang tinggi, bilangan oktan yang tingi,
dan sumber energi yang dapat diperbaharui (Balat et al, 2007). Pemanfaatan
makroalga memiliki kelebihan yaitu tidak memerlukan kawasan lahan yang luas,
dapat didaptkan secara alami di alam. Yield biomassa dan minyak yang dimiliki oleh
makroalga dapat dikembangkah secara luas sebagai sumber energi terbarukan (Nahak
et al, 2011).
Makroalga yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku bioethanol
satu diantaranya adalah Gracilaria sp. makroalga ini dapat ditemuka dizona literoal
(Kim, 2011) dengan morfologi dan historis kehidupan yang relative sederhan,
makroalga seperti alga hijau, alga coklat, dan alga merah memiliki efektifitas dalam
fotosintesisi dan produksi biomassa yang tinggi (Hillson, 1977; Bold dan Wynne,
1978). Kandungan lignin yang ada di makroalga termasuk sangat rendah bahkan tidak
ada untuk spesies tertentu (Wi et al, 1978; Ge et al, 2011).
Makroalga seperti ganggang hijau, ganggang coklat, dan ganggang merah
yang pada dasarnya menempati zona litoral (Kim, 2011) memiliki struktur dan sejarah
kehidupan yang relatif sederhana, tetapi memiliki efisiensi fotosintesis dan
produktivitas biomassa yang tinggi (Hillson, 1977; Bold dan Wynne, 1978).
Makroalga juga memiliki kandungan lignin yang sangat rendah (Wi et al., 2009) atau
bahkan tidak ada pada beberapa spesies (Ge et al., 2011). Gracilaria sendiri
merupakan rumput laut yang termasuk dalam golongan Rhodophyceae (algae merah).
Masyarakat pesisir di Indonesia mengenal Gracilaria dengan sebutan; janggut dayung
(Bangka); agar-agar karang (Indonesia); sango-sango, dongi-dongi (Sulawesi); bulung
embulung (Jawa, Bali); bulung sangu (Bali); bulung tombong putih (Labuhanhaji,
Lombok), atau Ioturotu putih (Ambon). Dalam kehidupan sehari-hari, agar-agar
dimanfaatkan sebagai bahan makanan seperti puding, jely (makanan ringan) dan
sebagainya (Sjafrie, 1990).
Jenis rumput laut ini sangat mudah untuk dibudidayakan dengan kondisi
lingkungan yang berbeda dengan kondisi perairan di laut, seperti tambak. Kondisi
perairan habitat asli rumput laut memiliki kualitas air yang cukup baik dalam
mendukung kehidupannya. Sementara kondisi tambak memiliki kualitas air yang
fluktuatif dan beragam tingkat kesuburannya. Akan tetapi, Gracilaria sp. dapat
mentolerir kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan aslinya.
Rumput laut dari genus ini dapat mentolerir salinitas terendah 15 g/L dan tertinggi 50
g/L (Aslan, 1991). Kondisi makroalga seperti Gracilaria sp. ini menjadi sebuah
potensi untuk dikembangkan menjadi bioethanol. Maka, dari latar belakang tersebut
adapun penelitian yang kami rancang yakni kelimpahan makroalga di Pantai Selatan
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai bahan baku pembuatan ethanol.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknik pembuatan bioethanol dengan bahan baku Gracilaria sp.?
2. Bagaimana hasil kadar ethanol yang dihasilkan dari pembuatan bioethanol dengan
bahan baku Gracilaria sp.?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui teknik pembuatan bioethanol dengan bahan baku Gracilaria sp.
2. Mengetahui kadar ethanol yang dihasilkan dari pembuatan bioethanol dengan
bahan baku Gracilaria sp.

D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai potensi makroalga Gracilaria sp. sebagai bahan
baku pembuatan bioethanol.
2. Memberikan pemahaman terkait pemanfaatan Gracilaria sp. pada proses
pembuatan bioethanol.
3. Menambah khazanah ilmu pengetahuan bioteknologi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan biokimia pada proses fermentasi gula dari sumber
karbohidrat yang menggunakan bantuan mikroorganisme. Bioetanol adalah etanol yang
bahan utamanya dari tumbuhan dan umumnya menggunakan proses farmentasi. Etanol
atau ethyl alkohol (C2H5OH) berupa cairan bening tak berwarna, terurai secara biologis
(biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan polusi udara yang besar bila
bocor. Etanol yang terbakar menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air (Rikana dan
Adam, 2005).
Bioetanol diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan bahan baku hayati,
sedangkan etanol dapat dibuat dengan cara sintesis melalui hidrasi katalitik dari etilen
atau bisa juga dengan fermentasi gula menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae.
Beberapa bakteri seperti Zymomonas mobilis juga diketahui memiliki kemampuan untuk
melakukan fermentasi untuk memproduksi etanol (Ingram dan Doran, 1995 dalam Broto
dan Richana, 2005). Hidrolisis glukosa secara enzymatis akan menghasilkan etanol dan
karbondioksida. Dalam perkembangannya, produksi etanol yang paling banyak digunakan
adalah metode fermentasi dan distilasi. Bioetanol menghasilkan etanol dari fermentasi
glukosa (gula) yang dilanjutkan dengan proses destilasi. Proses destilasi dapat
menghasilkan etanol dengan kadar 95% volume, untuk digunakan sebagai bahan bakar
(biofuel) perlu lebih dimurnikan lagi hingga mencapai 99% yang lazim disebut Fuel
Grade Ethanol (FGE). Proses pemurnian dengan prinsip dehidrasi umumnya dilakukan
dengan metode Molecular Sieve, untuk memisahkan air dari senyawa etanol (Musanif,
2012). Etanol dikategorikan dalam dua kelompok utama, yaitu:
1. Etanol 95-96%, disebut dengan “etanol berhidrat”, yang dibagai dalam:
a. Technical/raw spirit grade, digunakan untuk bahan bakar spiritua, minuman,
desinfektan, dan pelarut.
b. Industrial grade, digunakan untuk bahan baku industri dan pelarut.
c. Potable grade, untuk minuman berkualitas tinggi.
2. Etanol >99,5%, digunakan untuk bahan bakar. Jika dimurnikan lebih lanjut dapat
digunakan untuk keperluan farmasi dan pelarut di laboratorium analisis. Etanol ini
disebut dengan dengan Fuel Grade Ethanol (FGE) atau anhydrous ethanol (etanol
anhidrat) atau etanol kering, yakni etanol yang bebas air atau hanya mengandung air
minimal (Prihandana, 2007).
Keuntungan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak
bumi yaitu penggunaan bahan bakar etanol dapat dikatakan tidak memberikan tambahan
neto karbondioksida pada lingkungan. Hal ini karena CO2 yang dihasilkan dari
pembakaran etanol diserap kembali oleh tumbuhan dan dengan bantuan sinar matahari
digunakan dalam proses fotosintesis. Bahan bakar bioetanol memiliki nilai oktan tinggi
sehingga dapat digunakan baik sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer)
menggantikan penggunaan senyawa eter dan penggunaan logam berat seperti Pb sebagai
anti-knocking agent yang memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Dengan nilai
oktan yang tinggi, maka proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan emisi gas buang
hasil pembakaran dalam mesin kendaraan bermotor lebih baik (Wheals et al.,1999 dalam
Broto dan Richana, 2005). Bioetanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai
campuran untuk bahan bakar gasolin (bensin). Kelebihan etanol dibanding bensin yaitu
etanol memiliki angka research octane 108,6 dan motor octane 89,7 (Yuksel, 2004 dalam
Broto dan Richana, 2005), angka tersebut melampaui nilai maksimal yang mungkin
dicapai oleh gasoline yaitu research octane 88.

Bioetanol Generasi Tiga (G3)


Bioetanol generasi tiga (G3) yaitu bioetanol yang menggunakan bahan baku yang
berasal dari mikroalga maupun mikroalga. Mikroalga maupun makroalga sama-sama
berpotensi sebagai bahan baku bioetanol. Produktivitas, skala proses, dan
kesinambungan suplai adalah faktor penting dalam pemilihan jenis alga sebagai bahan
baku untuk bahan bakar nabati (Chen et al., 2015). Dibandingkan bioetanol G1 dan G2,
bioetanol G3 memiliki banyak keunggulan. Perolehan etanol per satuan luas alga lebih
besar dibandingkan dengan biomassa lain (Chaudhary et al., 2014; Ozcimen & Inan,
2015).
Menurut LIPI (2019), sama halnya dengan bioetanol G1 dan G2, produksi bioetanol
dari alga juga dilakukan melalui tahap sakarifikasi dan fermentasi. Tahap produksi
bioetanol G3 sebagai berikut.
a. Proses Pembudidayaan dan Pemanenan Alga
Ada dua metode yang digunakan dalam pembudidayaan alga, yaitu sistem kolam
terbuka (open pond system) dan fotobioreaktor tertutup (close photo bioreactor).
Sistem kolam terbuka adalah cara paling umum dan murah yang digunakan untuk
produksi biomassa berskala besar. Kelemahannya, konsentrasi biomassa yang
diperoleh dengan menggunakan sistem kolam terbuka lebih rendah (0,5-1 kg m-3)
dibandingkan menggunakan sistem fotobioreaktor tertutup (2-9 kg m-3) (Kumar et al.,
2015). Pada proses pemanenan dapat diterapkan teknologi seperti sentrifugasi, filtrasi,
flotasi, dan flokulasi. Pengeringan atau dehidrasi digunakan untuk mempertahankan
kualitas alga agar tidak mudah hancur setelah dipanen. Pengeringan dengan bantuan
sinar matahari, pengeringan bertekanan rendah, spray drying, drum drying, fluidized
bed drying, dan pengeringan beku (freeze drying) adalah beberapa metode yang
digunakan dalam pengeringan alga.
b. Perlakuan Awal
Perlakuan awal dilakukan untuk mendapatkan gula polisakarida dalam karbohidrat
yang disimpan dalam dinding sel alga dan memudahkan proses selanjutnya
(sakarifikasi dan fermentasi) sehingga menghasilkan perolehan dan konsentrasi etanol
yang tinggi. Perlakuan awal dapat dilakukan secara fisika, kimia (asam dan basa), dan
biologi.
c. Sakarifikasi dan Fermentasi
Fermentasi sumber biomassa dilakukan dengan menambahkan mikroorganisme.
Kandungan mikroorganisme tersebut dapat membantu proses pengolahan biomassa
menjadi bioetanol karena menghasilkan enzim-enzim.

B. Alga
Alga adalah sekelompok organisme autotrof yang tidak memiliki organ dengan
perbedaan fungsi yang nyata. Alga bahkan dapat dianggap tidak memiliki organ seperti
yang dimiliki tumbuhan seperti akar, batang, daun, dan sebagainya. Karena itu alga
pernah digolongkan pula sebagai tumbuhan bertalus (Campbell, 2003). Alga terdiri dari
mikroalga dan makroalga. Mikroalga adalah spesies uniselular atau multiselular
sederhana yang tumbuh secara cepat, dapat bertahan hidup pada kondisi dan lingkungan
dengan tekanan ekstrem seperti panas, dingin, anaerob, salinitas, foto oksidasi, tekanan
osmotik, dan paparan radiasi ultraviolet (UV). Makroalga (rumput laut) umumnya hidup
pada habitat laut, merupakan spesies multiselular, namun tidak memiliki akar, batang
atau daun yang nyata. Makroalga memiliki thaloid atau stipe yang fungsinya menyerupai
akar dan batang (Baweja et al. 2016).
Genus alga kebanyakan terdapat sebagai sel tunggal yang berbentuk bola, batang,
gada dan kumparan. Alga ada yang bersel satu contohnya Chlorococcus dan ada juga
yang berkoloni seperti Volvox dan juga berupa benang seperti Spirogyra, Oscillatoria,
Vaucheria, dll. Alga yang berupa lembaran contohnya Ulva, Padina, Laminaria, dll. Dan
alga yang berupa rerumputan yaitu Chara, Nitella, Sargassum, dll. Alga, sebagaimana
protista eukariotik yang lain, mangandung nukleus yang dibatasi oleh membran. Benda-
benda lain yang ada di dalamnya adalah pati dan butir-butir seperti pati, tetesan minyak
dan vakuola. Setiap sel mengandung satu atau lebih khloroplas yang dapat berbentuk pita
atau seperti cakram-cakram diskrit (satuan-satuan tersendiri) sebagaimana yang terdapat
pada tumbuhan hijau. Di dalam matriks kloroplas terdapat gelembung-gelembung pipih
bermembran yang dinamakan tilakoid. Membran tilakoid berisikan klorofil dan pigmen-
pigmen pelengkap yang merupakan suatu reaksi cahaya pada fotosintesis (Pelczar &
Chan, 2005).
Alga bereproduksi baik secara seksual ataupun aseksual. Reproduksi seksual pada
alga melibatkan konyugasi gamet (sel seks) sehingga akan terbentuk zigot. Jika
morfologi pada gamet-gamet itu sama, maka disebut isogami walaupun jika berbeda
ukuran disebut dengan heterogami. Sedangkan reproduksi aseksual dilakukan dengan
pembelahan sel ataupun dengan spora. Salah satu contoh spora uniseluler yang
dihasilkan disebut dengan akinet, selain itu ada pula spora yang berflagella dan motil
yang dinamakan zoospora sedangkan spora nonmotil disebut juga dengan aplanospora.
Alga lebih menguntungkan daripada tanaman dari segi produktivitas, tidak adanya
variasi musiman, lebih mudah diekstraksi, dan bahan mentah yang berlimpah. Makroalga
(rumput laut) dapat dibagi menjadi tiga grup bedasarkan pigmen mereka, yaitu
Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan Rhodophyceae (alga merah)
(Baweja et al. 2016; Wang et al. 2014). Sebagai produsen primer, kelompok alga ini juga
menfiksasi bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari yang
dimanfaatkan langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).

Rhodophyceae (alga merah)


Rumput laut merah ini dikenal sebagai penghasil karagenan dan agar.
Karakteristik thalli mengandung figmen ficobilin dari ficoerithrin yang berwarna merah
dan bersifat adaptasi kromatik. Proforsi figmen dapat menimbulkan bermacam-macam
warna thalli seperti warna coklat, violet, merah tua, merah muda, dan hijau. Dinding sel
terdapat selulose, agar, karagenan, profiran, dan furselaran. Persedian makanan dalam
thalli berupa kanji (floridan starch). Rumput laut merah mempunyai kandungan koloid
utama adalah karagenan dan agar. Karagenan diekstrak dari marga Eucheuma, Gigartina,
Rhodimenia dan Hypnea. Koloid agar diekstrak dari Gracilaria, Gelidium, Gelidiopsis
dan Gelidiella. Di dunia perdagangan rumput laut merah ada dua kelompok yakni
karagenofit dan agarofit. Karagenan lebih dikenal sebagai asam karagenik. Koloid
karagenan dalam bentuk derivat garam dinamakan karagenat terdiri dari potasium
karagenat dan calcium karagenat. Rumput laut merah penghasil agar sering disebut
sebagai asam sulfirik atau asam agarinik. Bentuk derivat garam berupa calcium agarinat,
magnesium agarinat, potasium agarinat dan sodium agarinat.
 Kelompok Agarofit, yakni rumput laut merah penghasil koloid agar dan asam
agarinik, diperoleh dari marga utama Gracilaria, Ahnfeltis, Acanthopeltis, Gelidium,
Gelidiopsis, dan Gelidiella. Di dunia industri kelompok ini dimanfaatkan sebagai
bahan makanan. Di bidang kedokteran "agar"atau sering disebut "agar rose" jenis ini
digunakan untuk media biakan bakteri. Di sektor pertanian digunakan sebagai media
tumbuh jaringan tanaman (tissue culture), sedangkan di bidang kesehatan sebagai
obat anti desentri/diare dan anti gondok.
 Kelompok karagenofit yakni rumput laut merah penghasil koloid karagenan, asam
karagenik dan garam karagenat. Koloid karagenan mempunyai fraksi iota dan kappa.
Fraksi iota kandungan koloid karagenan larut dalam air dingin, dapat diperoleh dari
jenis Eucheuma spinosum, Eucheuma isiforme dan Eucheuma uncinatum. Fraksi
kappa kandungan koloid karagenan larut dalam air panas, dapat diperoleh dari jenis
Eucheuma cottonii, Eucheuma edule dan Acanthophora. Karagenan dari kelompok
ini dimanfaatkan dalam industri makanan. Karaginan dapat dimanfaatkan seperti al-
gin, sebagai bahan kosmetik, farmasi, pasta gigi dan salep. Khasiat lain dari marga
Acanthophora dapat digunakan sebagai obat alami anti mikroba dan anti kesuburan.
Kandungan rumput laut umumnya adalah mineral esensial (besi, iodin, aluminum,
mangan, calsium, nitrogen dapat larut, phosphor, sulfur, chlor, silicon, rubidium,
strontium, barium, titanium, cobalt, boron, copper, kalium, dan unsurunsur lainnya),
asam nukleat, asam amino, protein, mineral, trace elements, tepung, gula dan vitamin A,
D, C, D E, dan K. Berikut tabel komposisi kimiawi dari beberapa jenis rumput laut
(Yunizal, 2004).

C. Gracilaria sp.
Agar-agar merupakan ekstrak dari rumput laut, yang salah satunya berasal dari jenis
Gracilaria. Sedangkan Gracilaria sendiri merupakan rumput laut yang termasuk dalam
golongan Rhodophyceae (algae merah). Klasifikasi Gracilaria sp. menurut (Anggadiredja
et al., 2006) adalah sebagai berikut:
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa : Gigartinales
Suku : Gracilariaceae
Marga : Gracilaria
Jenis : Gracilaria sp.
Gracilaria hidup dengan jalan melekatkan diri pada substrat padat, seperti kayu, batu,
karang mati dan sebagainya. Untuk melekatkan dirinya, Gracilaria memiliki suatu alat
cengkeram berbentuk cakram yang dikenal dengan sebutan 'hold fast'. Jika dilihat secara
sepintas, tumbuhan ini berbentuk rumpun, dengan tipe percabangan tidak teratur,
'dichotomous', 'alternate', 'pinnate', ataupun bentuk-bentuk percabang-an yang lain.
Thallus pada umumnya berbentuk silindris atau agak memipih, namun pada G.
euchewnoides dan G. textoni yang dideskripsikan oleh Cordero (1977) di Filipina, bentuk
thallus kedua tumbuhan ter-sebut benar-benar gepeng. Ujung-ujung thallus umumnya
meruncing, permukaan thallus halus atau berbintil-bintil. Keadaan per-mukaan thalUus
yang berbintil, umumnya ditemukan pada tumbuhan dalam bentuk karposporofit
(mengandung). Panjang thallus sangat bervariasi, mulai dari 3,4 — 8 cm pada G.
eucheumoides sampai mencapai lebih dari 60 cm pada G. verrucosa (Trono dan Corrales,
1983).

Habitat dan Persebaran


Gracilaria umumnya hidup sebagai fitobentos, melekat dengan bantuan cakram
pelekat ('hold fast') pada substrat padat. Terdiri dari kurang lebih 100 spesies yang
menyebar luas dari perairan tropis sampai subtropis. Hal ini menyebabkan beberapa
penulis menyebutnya sebagai spesies yang kosmopolit. Gracilaria hidup di daerah litoral
dan sub litoral, sampai kedalaman tertentu, yang masih dapat dicapai oleh penetrasi
cahaya matahari. Beberapa jenis hidup di perairan keruh, dekat muara sungai.
Di Indonesia terdapat lebih kurang 15 jenis Gracilaria (Kadi & Atmadja, 1988) yang
menyebar di seluruh kepulauan. Di Bangka, Gracilaria convervoides hidup melekat di
atas batu karang pada kedalaman 2-5 meter (Soerjodinoto, 1962). Di Lombok, G. gigas
ditemukan di perairan payau. Daerah sebaran Gracilaria di Indonesia meliputi:
Kepulauan Riau, Bangka, Sumatera Selatan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores,
Pulau Bawean, Kaliman-tan, Sulawesi Selatan dan Maluku.

Komposisi Kimia Gracilaria sp.


Komponen utama rumput laut menurut Kılınç et al., (2013) adalah karbohidrat
(polisakarida) dan protein yang serupa dengan gandum. Semua rumput laut mengandung
karbohidrat yang tinggi (gula dan pati) dalam struktur kimia polisakarida mengandung
gel. Gracilaria sp. memiliki kandungan karbohidrat sebanyak 70% (Hasanah, 2007).
Selain itu, Gracilaria sp. dikenal sebagai penghasil fitokimia aktif secara biologis yaitu
karotenoid, terpenoid, xantofil,phycobilins, asam lemak tak jenuh, polisakarida, vitamin,
sterol, tecopherol dan phycocyanins (Francavilla etal., 2013). Gracilaria sp.merupakan
rumput laut penghasil agar yang maksimal karena memiliki kandungan garosa dan
agaropektin yang baik dengan kekuatan gel yang kuat (Drum, 2013). Berikut merupakan
tabel komposisi kimia rumput laut Gracilaria sp.:

Sifat-Sifat Hidup
Untuk tumbuh dan berkembang, Gracilaria membutuhkan cahaya, karbondioksida,
oksigen serta nutrisi. Cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis, yaitu karbondioksida
akan diubah menjadi karbohidrat (senyawa organik). Sebaliknya, oksigen dibutuhkan
untuk respirasi atau merombak senyawa yang mempunyai molekul besar menjadi
senyawa-senyawa dengan molekul yang lebih kecil dan energi. Pengambilan nutrisi
dilakukan Gracilaria melalui proses difusi. Dalam proses pengambilan nutrisi, Gracilaria
dapat menyerap serta mengakumulasikan unsur-unsur yang ada disekitarnya dengan baik.
Sebagai organisme hidup Gracilaria memiliki kemampuan beradaptasi terhadap faktor-
faktor lingkungan seperti ; suhu, salinitas, cahaya dan pH.
a. Cahaya
Kemampuan adaptasi Gracilaria terhadap cahaya sangat baik. Cahaya yang
masuk ke dalam perairan baik dalam jumlah banyak atau sedikit dapat dimanfaatkan
untuk pertumbuhannya. Kim & Hum (dalam Hoyle, 1975) menyatakan bahwa G.
verrucosa dan G. foliifera memiliki tole-ransi yang tinggi terhadap cahaya yang ber-
lebihan, keduanya dapat tumbuh pesat pada kedalaman 5 cm. Sedangkan Kim
mendapatkan G. verrucosa tumbuh di perairan yang keruh. Selanjutnya Kling
menyatakan bahwa sinar kuning (580 - 630 nm) mem-berikan pengaruh positif
terhadap pertum-buhan G. verrucosa (dalam Hoyle, 1975).
b. Suhu
Selain beradaptasi terhadap cahaya, Gracilaria juga memiliki kemampuan
adaptasi yang baik terhadap suhu. Kemampuan ini sangatlah bervariasi tergantung
kepada tempat di mana tumbuhan tersebut hidup. Gracilaria yang hidup di Atlantik
Utara dapat bertahan pada suhu 7°C di musim dingin dan 30°C di musim panas.
Demikian pula di Norwegia, tumbuhan ini dapat hidup pada suhu 3°C di musim
dingin, dan 1418°C di musim panas (Stokke dalam Hoyle, 1975). Akan tetapi Shang
(1976) menyatakan bahwa di Taiwan, pertumbuhan alga ini akan terhambat apabila
suhu air di bawah 8 °C. Selanjutnya, Chen (1976) dan Shang (1976) menyatakan
bahwa untuk budidaya Gracilaria temperatur optimum yang diperlukan adalah 20-
25°C. Sedangkan Kadi dan Atmadja (1988) menambahkan bahwa di Indonesia, salah
satu persyaratan untuk membudidayakan Gracilaria, suhu air sebaik-nya berkisar
antara 20-28°C.
c. Salinitas dan pH
Kemampuan adaptasi Gracilaria terhadap salinitas juga sangat tinggi. Alga ini
dapat hidup pada kisaran salinitas 5-43 permil menurut Cornover (dalam Hoyle, 1975)
yang telah mempelajari ketahanan enam jenis Gracilaria terhadap salinitas. Chen
(1976) dan Shang (1976) menyatakan bahwa untuk budidaya Gracilaria kisaran
salinitas yang baik adalah 15 — 20 permil serta kisaran pH antara 6 — 9 dengan pH
optimum 8,2-8,7. Untuk usaha budidaya Gracilaria di Indonesia, kisaran salinitas
adalah 18-32 permil dengan salinitas optimum adalah 25 permil, sedang-kan pH
berkisar antara 8-8,5 (Kadi & Atmadja, 1988).

D. Wilayah Sebaran Alga di Indonesia


Luas perairan karang di Indonesia lebih kurang 6800 km2 (Mubarak et al., 1990).
Perairan ini merupakan daerah pertumbuhan alga. Daerah penghasil alga meliputi
perairan pantai yang mempunyai paparan terumbu (reef flats), seperti Kepulauan Riau,
Bangka-Belitung, Seribu, Karimunjawa, Selat Sunda, pantai Jawa bagian selatan, Bali,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, pulau-pulau di Sulawesi dan Maluku.
Perairan ini merupakan tempat tumbuh dari semua jenis alga yang ada di Indonesia.
Menurut Mubarak et al (1998) luas penyebaran rumput laut di Indonesia marga
Gracilaria mencapai 255 km2, Eucheuma 215 km2 dan Gilidium 47 km2. Pertumbuhan
rumput laut alam perlokasi juga diperoleh nilai biomassa yang cukup tinggi terutama
daerah paparan terumbu pulau-pulau kecil. Di beberapa daerah pantai di bagian Selatan
Jawa dan pantai Barat Sumatera, alga banyak ditemui hidup di atas karang-karang terjal
yang melindungi pantai dari deburan ombak.

E. Pemanfaatan Rumput Laut menjadi Bioetanol


Secara umum rumput laut mengandung polisakarida seperti selulosa, alganate dan
monosakarida seperti glukosa, fruktosa dan xilosa. Komposisi tersebut menunjukkan
potensi rumput laut sebagai bahan baku etanol (Jung et al., 2012). Alam et al. (2012)
menyatakan bahwa makro rumput laut dapat dijadikan sebagai bahan baku utama dalam
pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah lingkungan dan mampu
mengurangi emisi gas karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan
pemanasan global. Karbohidrat merupakan komponen utama yang dapat dikonversi
menjadi bioetanol. Sementara gula reduksi yang dianalisis merupakan gula reduksi yang
murni terkandung dalam rumput laut E. cottonii, jika dilakukan hidrolisis karbohidrat
yang ada akan dikonversi menjadi gula reduksi yang merupakan substrat utama
pembuatan bioetanol.
Metode produksi yang digunakan adalah dengan bantuan enzim untuk melepaskan
gula dari pati tanaman, fermentasi gula, penyulingan dan pengeringan. Proses
penyulingan memerlukan asupan energi dalam bentuk panas. Salah satu kekhawatiran
utama menggunakan biofuel adalah terjadinya persaingan dengan produksi pangan. Hal
ini dapat diatasi dengan melakukan produksi etanol berbasis selulosa. Kelemahan
produksi etanol lainnya adalah biaya produksi dan fakta bahwa etanol membutuhkan air
yang sangat besar (Vries, 2010). Oleh karena itu diperlukan alternatif lain untuk
menghasilkan bioetanol yang tidak hanya kaya kandungan pati tapi juga mengandung
selulosa dan air yaitu rumput laut. Agar tidak bersaing dengan produksi pangan, maka
dalam penelitian ini, yang akan digunakan adalah sisa-sisa dan limbah rumput laut.
Ekstrak rumput laut tidak mengandung minyak, namun memiliki kandungan karbohidrat
yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk proses fermentasi etanol,
butanol, serta biogas. Kandungan karbohidrat total yang terdapat dalam rumput laut
dapat mencapai 83%, yang terdiri dari agar, karagenan, selulosa, laminarin, manitol,
alginat, fukoidan, dan amilum.
Untuk memproses rumput laut menjadi sumber energi, pertama-tama rumput laut
dibersihkan dan dicuci secara manual dari kotoran seperti batu, pasir, siput, atau sampah
lain. Setelah bersih, rumput laut dikeringkan agar tidak mudah rusak saat disimpan serta
mengurangi volume untuk memudahkan proses pemindahan untuk tahapan lebih lanjut.
Proses selanjutnya adalah fermentasi untuk produksi biofuel cair atau proses pemecahan
secara anaerobik untuk menghasilkan gas metan atau biogas. Bahan baku rumput laut
juga dapat melepaskan polisakarida yang terkandung di dalamnya saat melalui proses
hidrolisis. Proses ini dapat dilakukan dengan menggunakan asam, enzim hidrolisis, atau
kombinasi keduanya. Setelah proses hidrolisis, langkah selanjutnya adalah fermentasi
untuk menghasilkan etanol. Mikroorganisme seperti khamir atau bakteri mengubah gula
dari biomasa rumput laut menjadi biofuel cair. Hingga saat ini, ada sembilan jenis
mikroorganisme, baik yang merupakan strain alami maupun strain yang telah mengalami
rekayasa genetik, yang umum digunakan dalam proses fermentasi untuk menghasilkan
biofuel. Etanol yang dihasilkan melalui proses fermentasi ini selanjutnya didistilasi dan
didehidrasi untuk tujuan dimurnikan (Adhi Wiranata, et al., 2018).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian eskperimental.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada 20 Juli – 16 Agustus 2020 di kawasan pantai
di Gunung Kidul, Di Yogyakarta dan Laboratorium Biologi Dasar, Laboratorium
Biologi FMIPA UNY.

C. Alat dan Bahan


1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Inkubator, autoklaf, labu
erlenmeyer berukuran 250 mL dan 500 mL, lemari pendingin, pH-meter, neraca
analitik, desikator, LAF, hot plate with stirer, sentrifugal, spektrofotometer, alat
destilasi, densitometer, perlengkapan inokulasi, pembakar spirtus, tabung reaksi,
pipet, saringan, dan cawan petri.
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Rumput laut
Gracilaria sp., ragi S. cerevisiae, Aspergilus niger, medium PGA (Potato
Dextrose Agar) dan PGB (Potato Dextrose Broth), medium YMGP (Yeast Extract
Maltose Glucose Peptone), urea, pupuk NPK, H2SO4, NH4OH, dan aquades.

D. Cara Kerja
1. Stock pembiakan dan peremajaan A. niger
A. niger diinokulasi pada medium PDA dan diinkubasi selama 5 hari pada suhu
30°C, selanjutnya ditumbuhkan pada medium PDB dan diinkubasi selama 5 hari
pada suhu ruang menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 120 rpm (Eshaq et
al.,2011)
2. Stock pembiakan dan peremajaan S. cerevisiae
S. cerevisiae dari stock diinokulasi pada 50 mL medium (glukosa 10 g/l; Yeast
extract 1,0 g/l; KH2PO4 0,1 g/l; MgSO4.7H2O 0,1 g/l; dan (NH4)2SO4, 0,1 g/l)
dalam erlenmeyer, kemudian diinkubasi pada suhu 30°C selama 24 jam
menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 100 rpm (Samsuri dkk., 2007).
3. Preparasi rumput laut Gracilaria sp.
Preparasi rumput laut Gracilaria sp. terdiri dari dua langkah yaitu pengeringan
dan penggilingan, kemudian disaring menggunakan saringan 30 mesh sehingga
diperoleh tepung rumput laut dan limbah agar Gracilaria sp.
4. Sakarifikasi tepung rumput laut Gracilaria sp.
Tahapan sakarifikasi pada tepung rumput laut dan limbah agar Gracilaria sp.
bertujuan untuk menghidrolisis selulosa menjadi bentuk monosakarida seperti
glukosa. Sakarifikasi dilakukan dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu hidrolisis
asam menggunakan H2SO4 1% (v/v) dan hidrolisis enzimatis menggunakan jamur A.
niger.
Hidrolisis enzimatis dilakukan dengan cara sebagai berikut: 3 g tepung rumput
laut Gracilaria sp., urea 0,3 g/l, (NH4)2SO4 1,3 g/l, KH2PO4 2 g/l, CaCl2 0,3 g/l,
MgSO4.7H2O 0,3 g/l, Protease peptone 1,0 g/l, FeSO4.7H2O 5mg/l, MnSO4.7H2O
1,6 mg/l, ZnSO4.7H2O 1,6 mg/mL, CoCl2 2 mg/l dan 100 mL akuades dimasukkan
ke dalam erlenmeyer 250 mL. Medium disterilisasi menggunakan autoklaf,
selanjutnya medium yang sudah steril tersebut diinokulasi dengan 10 mL A. niger
dari medium PDB, diinkubasi pada suhu 300C selama 3 hari.
Setelah diinkubasi selama 3 hari dan sudah tercapai waktu optimal hidrolisis
enzimatis, maka selanjutnya miselium A. niger yang ada di dalam medium
dihilangkan secara aseptis, dn selanjutnya dilakukan penambahan nutrisi NPK
0,04% dan NH2SO4 0,15% digunakan untuk proses fermentasi (Eshaq et al., 2011).
Hidrolisis asam dilakukan dengan cara sebagai berikut: 3 g tepung tepung
rumput laut Gracilaria sp. dan 100 mL H2SO4 1% (v/v) dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 mL, kemudian diautoklaf. Medium tersebut selanjutnya didinginkan
pada suhu ruang, selanjutnya hidrolisat didetoksifikasi menggunakan larutan
NH4OH hingga pH 10 dan selanjutnya pH diturunkan menjadi 5. Medium
fermentasi tersebut dilakukan penambahan nutrisi NPK 0,04% dan NH2SO4 0,15%
ke dalam medium, selanjutnya, medium dipanaskan pada suhu 105°C selama 15
menit (Susmiati, 2011).
5. Pembuatan Starter
Langkah pertama pembuatan starter dilakukan dengan menginokulasikan kultur
khamir S. cerevisiae hasil peremajaan dari kultur cair ke dalam 100 mL medium
fermentasi, kemudian diinkubasi pada suhu kamar sampai terjadinya pertengahan
fase logaritmik (Samsuri dkk., 2007).
6. Produksi Bioethanol
Produksi bioethanol dilakukan dengan menginokulasikan 10% (v/v) starter
kultur S. cerevisiae ke dalam 100 mL medium fermentasi, diinkubasi pada suhu
kamar selama 5 hari. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. (Eshaq et
al., 2011).
7. Pengukuran pH
Pengukuran pH medium dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan
pH medium. Perubahan pH yang terjadi mengindikasikan terjadinya aktivitas
biologis yang dilakukan oleh bakteri. Nilai pH medium diukur dengan
menggunakan pH meter (Atmodjo, 2006).
8. Penghitungan jumlah mikroba
Pertumbuhan populasi khamir di dalam medium selama proses produksi
bioethanol dihitung dengan menambahkan 0,1 mL sampel medium ke dalam grid
hemositometer dan jumLah sel khamir dihitung dibawah mikroskop (Fawole and
Oso, 2004).
9. Pengukuran gula reduksi
Pengukuran gula reduksi menggunakan metode 3,5-dinitrosalicylic acid (DNS).
Sampel sebanyak 1 mL ditambah 1 mL reagen DNS kemudian dicampur dan di
panaskan pada suhu 100°C selama 10 menit. Pengukuran gula reduksi dilakukan
dengan spektofotometer dengan panjang gelombang 570 nm. Kandungan gula
reduksi ditentukan berdasarkan kurva standar glukosa (Zakpaa et al., 2009).
10. Pengukuran kadar ethanol (penetapan berat jenis)
Pengukuran kadar ethanol dilakukan secara tidak langsung melalui penetapan
pengukuran berat jenis hasil destilasi. Hasil fermentasi masa inkubasi 120 jam
dimasukkan ke dalam labu destilasi, selanjutnya dipanaskan pada suhu 78°C dan
hasil destilasi ditampung dalam botol penampung. Hasil destilasi selanjutnya
dimasukkan ke dalam piknometer 25 mL dan ditimbang.
Kadar ethanol ditentukan dengan cara mengkonversi berat jenis ke kadar
ethanol dengan bantuan tabel hubungan berat jenis dengan kadar ethanol pada
berbagai temperatur (Mardoni dan Yetti, 2009).
E. Rancangan Tabulasi Data
Perlakuan Konsentrasi Bioethanol (v/v)

Kontrol Medium Rumput Laut


Gracillaria sp.

Medium Hidrolisis Enzimatis Rumput


Laut Gracillaria sp.

Medium Hidrolisis Asam Rumput Laut


Gracillaria sp.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, J.M., Gallagher, J.A., & Donnison, I.S. 2009. Fermentation Study on Saccharina
latissima for Bioethanol Production Considering Variable Pre-Treatments. J. Appl.
Phycol. (21): 569-574.
Alam, F., Abhijit D., Roesfiansjah R., Saleh M., Hazim M., Abdul B. 2012. Biofuel dari
rumput laut. Is it a viable alternatif. Journal Procedia Engineering 49. 221-227.

Anggadiredja, J.T. 2006. Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya.

Angka, S.L. dan Suhartono, T.S. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumber
Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. hlm 49-56.

Anisah, S. 2016. Distribusi, Kemelimpahan, dan Pemanfaatan Makroalga Lokal di


Sepanjang Pantai Gunungkidul, Yogyakarta. Skripsi. Prodi Biologi, FST.
Universitas Islam Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius: Yogyakarta.

Asriyani dan Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Jakarta: Bumi Aksara.


Atmodjo, P.K. 2006. Pengaruh Variasi Beras Ketan (Oryza sativa var glutinosa L.) dan Suhu
Fermentasi terhadap Produksi Alkohol. Biota Vol.XI (3): 152-158

Badger, P. 2002. Ethanol from Cellulose: A General Review. Trends in New Crops and New
Uses: 17-21.

Balat, M., H. Balat., and C. Oz. 2007. Progress in Bioethanol Processing. Energy and
Combustion Science. Vol. 34: 551-573.

Baweja, P., S. Kumar, D. Sahoo, and I. Levine. 2016. Seaweed in Health and Disease
Prevention. Chapter 3: Biology of Seaweed. Edited by J. Fleurence and I. Levine.
Elsevier. 41-106.

Bold, H.C. and Wynne, M.J., 1978. Introduction to the algae: structure and reproduction,
Princeton, New Jersey: Prentice Hall. 706 p.

Broto, W dan N. Richana. 2007. Inovasi Teknologi Proses Industri Bioetanol dari Ubi Kayu
Skala Pedesaan.
Budiman. Soesilo, I. 2002. 2002. Iptek untuk Laut Indonesia. Jakarta: Lembaga Informasi dan
Studi Pembangunan Indonesia.

Campbell, Neil A., and Jane B. Reece. 2003. Biology, Edisi ke-8 Jilid ke-3. Ahli Bahasa Tyas
Wulandari. Jakarta: Erlangga.
Chaudhary, et al. 2014. Algae as a Feedstock for Bioethanol Production: New Entrance in
Biofuel World. International Journal of Chem. Tech. Research. 6(2): 1381-1389.
Chen, et al. 2015. Macroalgae for Biofuels Production: Progress and Perspectives. Renewable
and Sustainable Energi Reviews. 47: 427-437.
Chen, T.P. 1976. Aquaculture practices in Taiwan. Fishing New Book Limited, England:
xiii+ 162 p.

Cordero, P.A. 1977. Studies on Phillippines marine red algae. Special Publication from the
Seto Marine Biological Laboratory serie s IV: 258 + XXVIIIPl

Drum, R. (2013). Sea vegetables for food & medicine. Well Being Journal, 3–12.

Eshaq, F.S., Mir, N.A. and Mahzharuddin, K.M. 2011. Production of Bioethanol from next
generation feed-stock alga Spirpgyra species. International Journal of
Engineering Science and Technology.Vol. 3 No. 2 Feb 2011.

Fawole, H.J. and Oso, B.A. 2004. Laboratory Mannual of Microbiology. Spectrum Books
Limited Spectrum. Nigeria, pp: 1-48.

Francavilla, M., Franchi, M., Monteleone, M., & Caroppo, C. (2013). The red seaweed
gracilaria gracilis as a multi products source. Journal of Marine Drugs, 11, 3754–
3776. https://doi.org/10.3390/md11103754. diakses pada Sabtu, 18 April 2020
pukul 09.34 WIB.

Ge, L., Wang, P. and Mou, H., 2011. Study on saccharification techniques of seaweed wastes
for the transformation of ethanol. Renewable Energy, 36(1), 84-89.

Haryatfrehni, Riswi. 2013. Kandungan Pigmen dan Keragaman Makroalga di Pantai


Sepanjang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Skripsi. Jurusan Biologi, FMIPA.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hasanah, R. U. (2007). Pemanfaatan rumput laut (Gracilaria sp.) dalam meningkatkan


kandungan serat pangan pada sponge cake. Universitas Pertanian Bogor.
Retrieved from http://repository.ipb.ac.id diakses pada Jumat, 17 April 2020
pukul 13.43 WIB.

Hillson, C.J., 1977. Seaweeds: a colorcoded, illustrated guide to common marine plants of
the East Coast of the United States: Penn State Press. 204 p.

Hoyle, M.D. 1975. The literature pertinent to the red algal genus Gracilaria in Hawaii.
Marine Agfonomi U.S. Sea Grant Program, Hawaii: 339 p.

https://jogjaprov.go.id/berita/tag/profil-daerah diakses pada 18 April 2020 pukul 10.23 WIB.

Ingram, L.O., and J.B. Doran. 1995. Conversion of Cellulosic Materials to Ethanol. FEMS
Microbiol Reviews Elsevier. 6: 235-241.
Jung, Seong R.L., Yoori K., Jong M.P. 2012. Potential of macro algae as feedstocks for
biorefinery. Journal of bioresource technology.

Kadi, A., dan W. Atmadja. 1988. Rumput laut (algae): jenis, reproduksi, pro-duksi, budidaya
dan pasca-panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI Jakarta:
VII.

Kılınç, B., Cirik, S., & Turan, G. (2013). Seaweeds for food and industrial applications.
Journal Food Industry, 735–748.

Kim, S.K., 2011. Handbook of marine macroalgae: Biotechnology and applied phycology.
John Wiley and Sons.

Kumar, et al. 2015. Recent Trends in the Mass Cultivation of Algae in Raceway Ponds.
Renewable and Sustainable Energi Reviews. 51: 875-885.
LIPI. 2019. Perkembangan Bioetanol G2: Teknologi dan Perspektif. Jakarta: LIPI Press.
Mardoni, M.M. dan Yetty, T. 2009. Perbandingan Metode Kromatografi Gas Dan Berat Jenis
Pada Penetapan Kadar Ethanol Dalam Minuman Anggur. Jurnal Fakultas
Farmasi USD, 162-172, 2009.

Mubarak, et al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Jakarta.


Mubarak, et al. 1998. Sumber Daya Rumput Laut Dalam: Potensi dan Penyebaran Sumber
Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia (W. Johanes; K.A. Azis; B.E. Priyono; G.H.
Tampubolon; N. Naami dan A.Djamali) Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya
Ikan Laut, LIPI, Jakarta : 226-241.
Musanif, Jamil. 2012. Bioetanol. Diambil dari
http://pphp.deptan.go.id/xplore/files/PENGOLAHANHASIL/BioEnergiLingkungan/Bio
Energi Pedesaan/BIOFUEL/Bioetanol/Bioethanol.pdf diakses pada Kamis, 9 April 2020
pukul 17.05 WIB.
Mussato, et al. 2010. Technological Trends, Global Market, and Challenges of Bio-Ethanol
Production. Biotechnology Advances. 28(6): 817-830.
Nahak, S., G, Nahak, I. Pradhan., and R.K. Sahu. Bioethanol from Marine Algae: A Solution
to Global Warming Problem. Journal of Applied Environtmental and Biological
Science. Vol. 1 (4): 74-80.

Nontji, Anugerah. 1987. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Nurmiyanti. 2013. Keragaman, Distribusi, dan Nilai Penting Makro Alga di Pantai Sepanjang
Gunung Kidul. Bioedukasi. FKIP UNS. Surakarta.

Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: PT Gramedia.

Ozcimen, D., & Inan, B. 2015. An Overviewof Bioethanol Production from Algae. Biofuels-
Status and Perspective. 141-162.

Pelczar, Jr., E.C.S. Chan. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Press.

Prihandana, Rama. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. Yogyakarta: Agro
Media Pustaka.

Rikana, H. dan R. Adam. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Singkong Secara Fermentasi
Menggunakan Ragi Tape. Universitas Diponegoro.

Samsuri, M., Gozan, M., Mardias, R., Baiquni, M., Hermansyah, H., Wijanarko, A., Prasetya,
B. dan Nasikin, M. 2007. Pemanfaatan Sellulosa Bagas untuk Produksi Ethanol
melalui Sakarifikasi dan Fermentasi Serentak dengan EnzimXylanase. Makara,
Teknologi, Vol. 11, NO. 1, April 2007: 1724

Sheil, et al. 2009. The Impacts and Opportunities of Oil Palm in Southeast Asia: What Do We
Know and What Do We Need to Know?. Bogor Indonesia: Center for
International Forestry Reasearch. 51.

Sjafrie, Nurul DM. 1990. Beberapa Catatan Mengenai Rumput Laut Glicaria. Oseana.
15(4):147-155.
Susmiyati, Y. 2011. Detoksifikasi Hidrolisat Asam dari Ubi Kayu untuk Produksi Bioethanol.
Agrointek Vol 5 No 1.

Trono, G.C., JR., and Corrales, R.A. 1983. The genus Gracilaria (Gigartinales, Rhodophyta)
in the Philippines. Kalika-san Phillipp. J. Biol. 12 (1 - 2): 15 - 41.

Vries. 2010. Buku Panduan Energi Terbarukan. Jakarta: PNPM Mandiri.

Wang, H.M.D., C.C. Chen, P. Huynh, and J.S. Chang. 2014. Exploring the Potential of Using
Algae in Cosmetics. Bioresource Technology, 12(1): 1-28.

Wheals, A.E., et al. 1999. Fuel Ethanol After 25 Years. Tib Tech, Elsevier. Volume 17: 482-
487.
Wi, S.G., Kim, H.J., Mahadevan, S.A., Yang, D.J. and Bae, H.J., 2009. The potential value of
the seaweed Ceylon moss (Gelidium amansii) as an alternative bioenergy
resource. Bioresource Technology, 100(24), 6658-6660.

Wyman, C., 1996. Handbook on bioethanol: production and utilization: CRC press, 442 p.

Yuksel. 2004. The Use of Ethanol-Gasoline Blend as a Fuel in an SI Engine. Renewable


Energy Elsevier. Volume 29: 1181-1191.

Yunizal. 2004. Teknologi Pengolahan Alginat. Jakarta: Pusat Riset Pengolahan Produk dan
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Zakpaa, H.D., Mensah, E.E.M. and Johnson, F.S. 2009. Production of bio-ethanol from
corncobs using Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae in simultaneous
saccharification and fermentation. Afr. J. Biotechnol. Vol. 8 (13), pp. 3018-3022.

Anda mungkin juga menyukai