Anda di halaman 1dari 9

PENYULUHAN TENTANG KB DAN MANFAATNYA DI DESA BEGAWAT KECAMATAN

BUMIJAWA KABUPATEN TEGAL

Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang utama bagi
wanita. Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organization) adalah tindakan yang
membantu pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur jarak
kelahiran, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Tujuan program KB adalah membentuk
keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial ekonomi (Rismawati, 2012).

Program keluarga berencana memberikan kesempatan untuk mengatur jarak kelahiran atau
mengurangi jumlah kelahiran dengan menggunakan metode kontrasepsi hormonal atau non
hormonal. Upaya ini dapat bersifat sementara ataupun permanen, meskipun masing-masing jenis
kontrasepsi memiliki tingkat efektifitas yang berbeda dan hampir sama (Gustikawati, 2014).

Penggunaan kontrasepsi merupakan tanggung jawab bersama antara pria dan wanita sebagai
pasangan, sehingga metode kontrasepsi yang akan dipilih sesuai dengan kebutuhan serta keinginan
bersama. Dalam hal ini bisa saja pria yang memakai kontrasepsi seperti kondom, coitus interuptus
(senggama terputus) dan vasektomi. Sementara itu apabila istri yang menggunakan kontrasepsi
suami mempunyai peranan penting dalam mendukung istri dan menjamin efektivitas pemakaian
kontrasepsi (Saifuddin, 2010).

Usia produktif perempuan pada umumnya adalah 15-49 tahun. Maka dari itu perempuan atau
pasangan usia subur ini lebih diprioritaskan untuk menggunakan kontrasepsi atau cara KB. Tingkat
pencapaian pelayanan KB dapat dilihat dari cakupan peserta KB yang sedang atau pernah
menggunakan kontrasepsi, tempat pelayanan KB, dan jenis kontrasepsi yang digunakan oleh
akseptor (Depkes, 2010).

Kurangnya pengetahuan ibu ibu di desa begawat tentang kb dan manfaatnya

Memberikan penyuluhan kepada ibu ibu di desa begawat tentang kb (jenis dan penggunaan) dan
manfaatnya

Melakukan penyuluhan kepada ibu ibu di desa begawat tentang kb dan manfaatnya

Ibu ibu di desa begawat mengetahui dengan baik kb baik daei jenis dan penggunaan serta
manfaatnya
PENYULUHAN TENTANG PENYAKIT HIPERTENSI PADA WARGA DESA MUNCANG
LARANG KECAMATAN

Tekanan darah yang meliputi tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada berbagai individu.
Umumnya disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah dengan hasil tekanan sistolik lebih
besar sama dengan 120 mmHg atau tekanan diastolik lebih besar sama dengan 80 mmHg
(Chobanian, 2003), sedangkan di tahun 2005, pasien hipertensi dengan tekanan darah tidak
terkontrol sebesar 27% dari jumlah pasien hipertensi yang berumur tua. Hal ini terjadi karena orang
yang sudah tua enggan untuk memulai pengobatan antihipertensi (Pisarik, 2005).

Menurut data WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa penyebab kematian nomor satu di dunia
ditempati oleh penyakit kardiovaskuler dengan jumlah 31,5% untuk wanita dan 26,8% laki-laki,
sedangkan hipertensi ditahun yang sama menempati urutan 13 setelah diabetes militus sebesar satu
juta jiwa atau sebesar 1,7% dari jumlah kematian (WHO, 2008).

Penyebab kematian akibat hipertensi di wilayah Asia Tenggara pada tahun 2004 menurut data WHO
tahun 2008 sebesar 156.000 jiwa dengan katagori penghasilan masyarakat di tingkat rendah dan
menengah (WHO, 2008).

Studi longitudinal menunjukkan bahwa hasil positif telah ditunjukkan dengan adanya pengendalian
tekanan darah secara baik. Data Nasional (USA) menunjukkan bahwa pasien hipertensi mempunyai
kemauan untuk berobat secara teratur ke pelayanan kesehatan. Menurut laporan uji klinik secara
acak dari pasien hipertensi menunjukkan bahwa tingkat kontrol dapat tercapai dengan terapi yang
memadahi. Laporan “The Health People 2010” di USA menunjukkan tingkat kontrol pasien hipertensi
mencapai 50% dalam 5 tahun yang dapat dicapai jika setidaknya 80% dari pasien yang menyadari
kondisi dari pasien hipertensi (Vasan & Wang, 2005).

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian penyakit
jantung dan pembuluh darah lainnya. Hipertensi seringkali tidak menunjukkan gejala pada fase awal,
baru akan terasa jika sudah menjalar ke jantung dan menimbukan gangguan fungsi jantung atau
stroke. Diagnosis hipertensi sangat jarang ditemukan dini, kecuali saat pemeriksaan kesehatan rutin
(DepkesRI, 2012).

Hipertensi memberikan kontribusi hampir 9,4 juta kematian akibat penyakit kardiovaskuler setiap
tahun.Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, jumlah penderita hipertensi akan terus
meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang meningkat. Pada 2025 mendatang, diproyeksikan
sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi (WHO, 2012).
Persentase penderita hipertensi saat ini paling banyak terdapat di negara berkembang. Data Global
Status Report on Noncommunicable Diseases 2010 dari WHO menyebutkan, 40% negara ekonomi
berkembang memiliki penderita hipertensi, sedangkan negara maju hanya 35%. Afrika berada pada
urutan pertama, dengan penderita hipertensi sebanyak 46%, kawasan Amerika 35%. Di kawasan Asia
Tenggara,36% orang dewasa menderita hipertensi.Untuk kawasan Asia, penyakit ini telah
membunuh 1,5 juta orang setiap tahunnya. Hal ini menandakan 1 dari 3 orang menderita tekanan
darah tinggi. Pada tahun 2011 WHO mencatat ada 1 miliar orang yang terkena hipertensi (WH0,
2011), sedangkan data Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan, provinsi dengan prevelansi paling
tinggi adalah Kepulauan Natuna dengan 53,3% dan Provinsi Papua Barat dengan angka prevalensi
terrendah sebesar 6,8%. Provinsi Jawa Tengah berada pada urutan ketiga dengan 29,8%.

Hipertensi merupakan penyakit sirkulasi darah yang merupakan kasus terbanyak pada rawat jalan
maupun rawat inap di rumah sakit. Hasil pencatatan dan pelaporan rumah sakit (SIRS, Sistem
Informasi Rumah Sakit) menunjukkan kasus baru penyakit sistem sirkulasi darah terbanyak pada
kunjungan rawat jalan dan jumlah pasien keluar rawat inap dengan diagnosis penyakit hipertensi
tertinggi pada tahun 2007. Hasil Riskesdas tahun 2007 prevalensi hipertensi pada penduduk umur
lebih dari 18 tahun di Indonesia adalah sebesar 31,7%. (RISKESDA,2008)

Kurangnya pengetahuan warga desa muncang larang tentang penyakit hipertensi

Memberikan penyuluhan tentang hipertensi, pengobatan, penemuan dini dan pencegahan penyakit
hipertensi di desa muncang larang

Melakukan penyuluhan tentang hipertensi, pengobatan, penemuan dini dan pencegahan penyakit
hipertensi di desa muncang larang

Warga desa muncang larang mengetahui tentang penyakit hipertensi, pengobatan, penemuan dini
dan pencegahan penyakit hipertensi
KEGIATAN POSYANDU DI GUCI KECAMATAN BUMIJAWA

Posyandu diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat sehingga pembentukan, penyelenggaraan


dan pemanfaatannya memerlukan peran serta aktif masyarakat dalam bentuk partisipasi
penimbangan balita setiap bulannya, sehingga dapat meningkatkan status gizi balita. Kegiatan ini
membutuhkan partisipasi aktif ibu-ibu yang memiliki anak balita untuk membawa balita-balita
mereka ke posyandu sehingga mereka dapat memantau tumbuh kembang balita melalui berat
badannya setiap bulan (Depkes RI, 2006).

Posyandu dibentuk oleh masyarakat desa/kelurahan dengan tujuan untuk mendekatkan pelayanan
kesehatan dasar, terutama Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB), imunisasi, gizi,
dan penanggulangan diare kepada masyarakat setempat. Satu posyandu melayani sekitar 80-100
balita. Dalam keadaan tertentu, seperti lokasi geografis, perumahan penduduk yang terlalu
berjauhan, dan atau jumlah balita lebih dari 100 orang, dapat dibentuk posyandu baru (Depkes RI,
2006).

Secara kuantitas, perkembangan jumlah posyandu sangat menggembirakan, karena di setiap desa
ditemukan sekitar 3-4 posyandu. Pada saat posyandu dicanangkan pada Tahun 1986 jumlah
posyandu tercatat sebanyak 25.000 posyandu, pada Tahun 2005 meningkat menjadi 238.699
posyandu (Depkes RI, 2006), dan pada Tahun 2008 menjadi 269.202 posyandu (Depkes RI, 2009).
Ditinjau dari aspek kualitas masih ditemukan banyak masalah, antara lain kelengkapan sarana dan
keterampilan kader yang belum memadai (Depkes RI, 2006).

Menurut Depkes RI (2001) meningkatkan kualitas pelayanan posyandu merupakan tujuan khusus
dari revitalisasi posyandu yang salah satunya yaitu meningkatkan pengelolaan dalam pelayanan
posyandu. Tujuan dari revitalisasi posyandu tersebut yaitu meningkatkan kemampuan/pengetahuan
dan keterampilan teknis serta dedikasi kader di posyandu, memperluas sistem posyandu dengan
meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan di hari buka dan kunjungan rumah, menciptakan
iklim kondusif untuk pelayanan dengan pemenuhan sarana dan prasarana kerja posyandu,
meningkatkan peran serta masyarakat dan kemitraan dalam penyelenggaraan dan pembiayaan
kegiatan posyandu dan memperkuat dukungan pembinaan dan pendampingan teknis dari tenaga
profesional dan tokoh masyarakat, termasuk unsur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kualitas merupakan inti kelangsungan hidup sebuah lembaga. Gerakan revolusi mutu melalui
pendekatan manajemen mutu terpadu menjadi tuntutan yang tidak boleh diabaikan jika suatu
lembaga ingin hidup dan berkembang (Assauri, 2003). Peningkatan kualitas pelayanan merupakan
indikator kinerja bagi pelayanan posyandu yang mencakup pelayanan kesehatan ibu dan anak, KB,
pemberantasan penyakit menular dengan imunisasi, penanggulangan diare dan gizi serta adanya
penimbangan balita. Sasaran penduduk posyandu adalah ibu hamil, ibu menyusui, pasangan usia
subur dan balita.

Upaya pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) secara
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan guna mencegah penyakit menular sebagai salah satu
tindakan pencegahan yang efektif dan efisien
Melakukan persiapan kegiatan posyandu bersama bidan puskesmas bumijawa

melakukan kegiatan imunisasi di desa Guci kecamatan Bumijawa

Balita di desa Guci kecamatan Bumijawa telah melakukan imunisasi

KEPATUHAN MINUM OAT PADA PASIEN TB PARU DI BUMIJAWA

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis yang jumlah
penderitanya mengalami peningkatan setiap tahun cukup besar (Chuluq, et al, 2004). Kuman
Mycobacterium tuberculosis paling sering menyerang pada organ paru dengan sumber penularan
adalah pasien TB BTA (Basil Tahan Asam) positif. Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan
utama di berbagai negara di dunia dan setiap tahun tercatat 2-3 juta penduduk dunia meninggal
akibat tuberkulosis (Bagiada & Primasari, 2010). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010
ditemukan prevalensi TB Nasional dengan pemeriksaan BTA mikroskopis pagi-sewaktu dengan dua
slide BTA positif adalah 289/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi TB Nasional dengan satu slide
BTA positif adalah 415/100.000 penduduk (Balitbangkes Depkes RI, 2010). Sampai saat ini terdapat
sekitar 9,2 juta kasus baru TB dan diperkirakan 1,7 juta kematian karena tuberkulosis. Insiden kasus
BTA positif tahun 2006 diperkirakan 105 kasus baru per 100.000 penduduk (240.000 kasus baru
setiap tahun), dan prevalensi 578.000 kasus untuk semua kasus (Depkes, 2008). Apabila penderita
tuberkulosis paru tidak ditemukan dan diobati maka akan menjadi kasus kronis yang tetap sebagai
sumber penularan tuberkulosis (RYE, et al., 2009).

Tingginya angka kejadian tuberkulosis di dunia disebabkan antara lain ketidakpatuhan terhadap
program pengobatan maupun pengobatan yang tidak adekuat. Peningkatan jumlah penderita
tuberkulosis ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kurangnya tingkat kepatuhan berobat,
timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan tubuh terhadap mikrobakteria, dan berkurangnya
daya bakterisid obat yang ada, dan krisis ekonomi ( Ana, 2012).

Menurut Senewe (2002) dalam penelitiannya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi


kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru, ditemukan sebesar 67% penderita berobat secara
teratur dan 33% tidak teratur dalam pengobatan. Dalam hal ini perlu dilakukan evaluasi tentang
kepatuhan penggunaan obat agar keberhasilan terapi dapat tercapai dengan baik. Sejauh ini terapi
tuberkulosis masih megalami banyak permasalahan dalam pengobatan, karena terapi
pengobatannya membutuhkan waktu yang lama minimal 6 bulan. Hal ini menyebabkan kurangnya
tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat yang bisa mempengaruhi pada keberhasilan terapi
(Depkes, 2006).
Kurangnya kepatuhan pasien dalam meminum oat pada pasien TB Paru di bumijawa

Memberikan edukasi kepatuhan meminum OAT kepada pasien Tb paru di daerah bumijawa

Melakukan penyuluhan kepatuhan meminum OAT kepada pasien TB Paru melalui kunjungan saat di
puskesmas maupun kunjungn ke rumah untuk

Pasien TB paru mulai memahami pentingnya mematuhi dalam meminum OAT

 PENYULUHAN TENTANG DIABETES MELLITUS PADA WARGA DESA BUMIJAWA


KECAMATAN BUMIJAWA KABUPATEN TEGAL

enyakit diabetes mellitus (DM) yang dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah kumpulan gejala
yang timbul pada seseorang yang disebabkan karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di
beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir
ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-
kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti peyakit jantung
koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Soegondo, 2005).

Menurut WHO (2002), sebanyak 171 juta orang menderita diabetes, mewakili 2,8% dari populasi
dunia, dan diprediksi bahwa jumlah ini akan meningkat menjadi 366 juta (4,4%) pada tahun 2030.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukan adanya kecenderungan peningkatan angka insiden
dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah
diabetes yang cukup besar untuk tahun-tahun mendatang, termasuk kenaikan jumlah penyandang
DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Internasional Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Perbedaan angka revalensi
berdasarkan hasil laporan keduanya, menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011).

Empat pilar utama pengelolaan DM yaitu dengan perencanaan menu, latihan jasmani, obat
berkhasiat hipoglikemik, dan penyuluhan. Perencanaan menu bertujuan membantu penderita DM
memperbaiki kebiasaan makan sehingga dapat mengendalikan kadar glukosa, lemak, dan tekanan
darah. Salah satu penatalaksanaan diabetes adalah dengan menjalankan kepatuhan pengaturan
makan yang baik, dan adanya pengetahuan mengenai bahan makanan akan sangat membantu
pasien. Kepatuhan pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan merupakan salah satu
kendala pada pelayanan diabetes, terapi gizi merupakan komponen utama keberhasilan
penatalaksanaan diabetes (Soegondo, 2005

Kurangnya pengetahuan warga desa bumijawa tentang penyakit diabetes mellitus

1. Memberikan penyuluhan tentang penyakit diabetes mellitus pada warga desa bumijawa

2. Memberikan penyuluhan tentang pengobatan dan pencegahan penyakit diabetes mellitus di desa
bumijawa

3. Memberikan sarana prasarana deteksi dini penyakit diabetes mellitus pada warga desa bumijawa

1. Melakukan penyuluhan tentang penykit diabetes mellitus pada warga desa bumijawa

2. Melakukan penyuluhan tentang pengobatan dan pencegahan penyakit diabetes mellitus di desa
bumijawa

3. Melakukan deteksi dini penyakit diabes mellitus di desa bumijawa

Warga desa bumijawa mengetahui tentang penykit diabetes mellitus, pencegahan dan
pengobatannya serta mulai menerapkan deteksi dini penyakit diabetea mellitus dengan
menggunkan sarana yang ada

KEPATUHAN PASIEN HIPERTENSI DALAM MEMINUM OBAT ANTI HIPERTENSI DAN


KONTROL KE PUSKESMAS BUMIJAWA

Hipertensi merupakan faktor primer ketiga yang dapat menyebabkan lebih dari 7 juta kematian dini
setiap tahunnya setelah jantung koroner dan kanker. Prevalensi hipertensi dilaporkan semakin
meningkat berkisar antara 27-55% di negara-negara maju dan diprediksi akan semakin meningkat
sebesar 60% pada tahun 2025. Peningkatan prevalensi tersebut akan berakibat pada risiko
terjadinya stroke (60%) dan serangan jantung (50%) (Sja’bani, 2009).

Hipertensi merupakan keadaan kronik yang banyak diderita baik di negara maju maupun
berkembang. Hampir seperempat penderita hipertensi dalam suatu kunjungan dilaporkan relatif
menderita hipertensi berat. Banyak kasus dijumpai 40% sebagai hipertensi persisten atau
kekambuhan hipertensi berat (Sja’bani, 2011).
Angka kesakitan hipertensi di negara maju sebesar 37,5% dan pada tahun 2015 terpusat di negara
berkembang (Barry, 2004). Di negara yang industrinya berkembang seperti Indonesia, hipertensi
menjadi salah satu masalah kesehatan utama, hipertensi juga merupakan masalah kesehatan yang
perlu diperhatikan oleh dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer karena angka
prevalensinya yang tinggi dan akibat jangka panjang yang ditimbulkannya (Susalit dkk, 2001).

Berdasarkan data kunjungan pasien RSUD dr H Soewondo Kabupaten Kendal tahun 2012, hipertensi
menempati urutan pertama dalam sepuluh besar penyakit baik untuk rawat jalan maupun rawat
inapnya. Dengan jumlah kasus untuk rawat jalan sebesar 10.334 kasus dan rawat inap sebesar 1478
kasus.

Terapi pengobatan hipertensi dianggap belum memuaskan, karena seperti dilaporkan oleh
penelitian National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 1991-1994 di USA,
dimana fasilitas pelayanan kesehatannya demikian baik dibandingkan negara lain terutama negara
berkembang, hasil terapi baru mencapai kurang dari 30% yang terkendali, meskipun ada kemajuan
dibanding tahun 70-an (Rahardjo, 2001). Sedangkan menurut Boedhi (2000), 50% orang yang
diketahui hipertensi di negara berkembang hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya
12,5% yang diobati secara baik.

Data World Health Organization (WHO) menyebutkan ada 50%-70% pasien tidak patuh terhadap
obat antihipertensi yang diresepkan. Kepatuhan rata- rata pasien pada pengobatan jangka panjang
penyakit kronis di negara maju hanya sebesar 50%, sementara di negara berkembang kemungkinan
jauh lebih rendah. Rendahnya kepatuhan terhadap pengobatan hipertensi berpotensi menjadi
penghalang tercapainya tekanan darah yang terkontrol dan dapat dihubungkan dengan peningkatan
biaya pengobatan/rawat inap serta komplikasi penyakit jantung (WHO, 2003).

Pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif guna mencapai pengontrolan tekanan darah
secara optimal diperlukan berbagai upaya dalam peningkatan kepatuhan pasien terhadap darah
yang diinginkan. Sedikitnya 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak meminum obat
sesuai yang direkomendasikan. Strategi yang paling efektif adalah dengan kombinasi strategi seperti
edukasi, modifikasi sikap dan sistem yang mendukung (Depkes, 2006).terapi obat demi mencapai
target tekanan darah yang diinginkan. Sedikitnya 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi
tidak meminum obat sesuai yang direkomendasikan. Strategi yang paling efektif adalah dengan
kombinasi strategi seperti edukasi, modifikasi sikap dan sistem yang mendukung (Depkes, 2006).

Kurangnya kepatuhan pasien hipertensi dalam meminum obat antihipertensi dan

Memberikan edukasi kepada pasien yang datang ke puskesmas bumijawa tentang penyakit
hipertensi, kepatuhan meminum obat dan jadwal kontrol kembali
Melakukan penyuluhan kepada pasien yang datang ke puskesmas bumijawa tentang penyakit
hipertensi, kepatuhan meminum obat dan jadwal kontrol kembali

Pasien hipertensi mulai memahami tentang penyakit hipertensi, pengobatannya dan jadwal kontrol
kembali

Anda mungkin juga menyukai