kikir dan kedengkianya hingga dijuluki Banun Kikir. Ada banyak Banun di perkampungan
lereng bukit yang sejak dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi
kwalitet nomor satu itu. Salah satunya adalah Banun Kikir yang berprofesi sebagai petani. Sore
menjelang senja, sosok wanita kuat dengan memikul dedaunan kelapa kering masuk rumah.
Rimah : “Ini mak, minum dulu.” (menyodorkan segelas air teh manis)
Banun : “Terima kasih Rimah” (mengambil gelas di tangan Rimah dan meminumnya)
“Rimah, tolong ambilkan mak korek api di meja kamar mak.”
Tangan Banun yang cekatan mengambil daun-daun kelapa kering dan dinyalakanya api
dengan mudah. Belum satu menit, api sudah menghangatkan tungku dan mengepulkan asap
dapurnya.
Rimah : “Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?”
Rimah : “Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”
Banun : “Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan,
kalian tak bakal mengenyang bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang
tani.”
Mendengar keributan itu, saudara Rimah, Nami yang sedang memarut ubi jalar
menghentikan gerak tanganya.
Banun : “Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestinya kalian paham
bagaimana tabiat petani sejati.”
Sejak saat itu, Banun semakin giat mengolah tanah untuk menghasilkan apa saja. Berkat
keuletan Banun, kini separuh luas sawah kampung berhasil ia miliki dan mendapat julukan tuan
tanah. Pagi tiba, terdengar ketukan pintu di rumah Banun.
Surti : “Assalamualaikum…”
Surti : “Saya ngin meminjam uang dua puluh juta untuk biaya kuliah anak saya.
Insyaalloh saya akan mengembalikan uang itu dalam waktu setengah bulan, lokasi
sawah saya dari sini cukup dekat, tinggal lurus terus, ada pertigaan belok kanan,
ada perempatan belok kanan, lurus terus nanti sampailah di sawah yang ada
gubuk merahnya. Nah, disitulah sawah saya.”
(Banun mengambil uang dan memberikan uang itu kepada Bu Surti. Mereka berjabat tangan,
dan Bu Surti meninggalkan rumah Banun.)
Banun berjalan ke sawah dan di jalan berpapasan dengan Zubaidah dan anaknya,
Rustam.
Banun : “Seiket kangkung saja beli, kemana sawah lebar suamimu? Sekarang lagi ditanamin
apa? Batu yah? Air di kolam aja kering, mana bisa batu itu tumbuh.”
(Zubaidah dan Rustam hanya diam .)
Banun : “Ha ha ha… Warisan sawah luas kok bisa habis. Makanya, jadilah orang tani
sejati.”
(Banun kembali melangkahkan kaki menuju sawah dan disusul Rimah dibelakangnya. Rimah
yang lari dengan membawa bekal sawah untuk maknya tak sengaja menabrak tubuh Rustam)
Rustam : “I.. i.. ia.. tidak apa-apa,” (menampis tangan Rimah dengan lembut)
Zubaidah : “Sudah, sudah, cepatlah kalian bereskan bekal untuk maknya Rimah.”
Rustam : “Biar aku saja Bu, yang membersihkanya,” (membereskan bekal makanan)
Rustam : “Tidak Nona, biarkan saya membantu Anda,” (setelah selesai) “Ini Nona, Hati-hati
di jalan,”
Zubaidah : “Rimah,”
Sawah milik Zubaidah dan Palar memang semakin habis untuk biaya kuliah Rustam
yang kelak menjadi insinyur pertanian. Suatu hari, Palar pergi kerumah Banun.
Banun : “Duduklah di sofa empukku, barangkali saja kau belum pernah merasakan duduk di
tempat yang empuk.”
Palar : (duduk) “Begini Banun, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu”
Banun : “Apa? Kau ingin melamarku lagi? Bukankah kau sekarang sudah mempunyai isteri,
atau jangan-jangan, kau mau pinjam uang untuk biaya kuliah anak mu? Atau, kau
ingin…. “
Palar : “Cukup Banun, dulu aku memang ingin bersamamu, tapi sekarang sudah berbeda.
Jangan kau ungkit-ungkit lagi masalah itu”
Banun : “Oh oh oh.. apa kau ingin menambah gelar Banun Kikir ku menjadi sesuatu yang
lebih berkesan?”
Palar : “Karena sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan
Rustam?”
Banun : “Waalaikumussalam..”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Zaman sudah tidak
lagi mempergunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama. Kini telah berevolusi menjadi
gas elpiji. Tapi tidak bagi Banun, Rimah yang sudah terlalu cape mendengar kata Banun Kikir,
ingin menghapus nama itu. Setiap Jum’at, Banun berkunjung, menjenguk cucu dari keempat
anaknya secara bergiliran.
Rimah : “Mak, Rimah belikan gas elpiji yah. Biar Mak tidak usah repot-repot membawa
dedaunan kelapa kering dari sawah.”
Banun : “Nasi tak terasa nasi bila dimasak dengan elpiji. Dedaunan kelapa di sawah itu
bakal berjatuhan seiring waktu. Mubadzir bila tidak dimanfaatkan. Lagipula gas
elpiji itu mahal, lebih baik uangnya digunakan untuk membeli sawah lagi.”
Rimah : “Mak mau sampai kapan masak dengan cara seperti ini?”
Rimah : “Aduh, Mak.. Mak.. “ (menghela nafas) “Kalau Mak menerima pinangan Rustam,
tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” (menyesal)
Rimah : “Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami padahal
belum, bukan?”
(Banun terdiam)
Banun : “Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!
mak menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tidak pula
karena mak sudah jadi tuan tanah, tapi karena perangai buruk Palar yang
dianggap mak sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.”
Rimah : “Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!” (Rimah
memalingkan wajah) “Sebentar Mak, Rimah mau ambil hand phone dulu
barangkali suami Rimah sms minta dijemput pulang kerja sama sopir.”
***SELESAI***