Anda di halaman 1dari 5

“The Story of Banun”

Tokoh :

 Banun  Rustam

 Rimah  Nami

 Palar  Surt

 Zubaidah

Perempuan ringkih berpunggung melengkung bernama Banun yang terkenal lantaran sifat kikir dan
kedengkianya hingga dijuluki Banun Kikir. Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yang sejak
dulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai daerah penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Salah
satunya adalah Banun Kikir yang berprofesi sebagai petani. Sore menjelang senja, sosok wanita kuat
dengan memikul dedaunan kelapa kering masuk rumah.

Rimah : “Ini mak, minum dulu.” (menyodorkan segelas air teh manis)

Banun : “Terima kasih mah” (mengambil gelas di tangan Rimah dan meminumnya) “Rimah, tolong
ambilkan mak korek api di meja kamar mak.”

Rimah : “Baik mak.”

(Segera Rimah mengambilkan apa yang diperintah maknya.)

Tangan Banun yang cekatan mengambil daun-daun kelapa kering dan dinyalakanya api dengan
mudah. Belum satu menit, api sudah menghangatkan tungku dan mengepulkan asap dapurnya.

Rimah : “Hasil sawah yang tak seberapa itu hendak dibawa mat, Mak?”

Banun : “Maksud Rimah apa?”

Rimah : “Mak tak hanya kikir pada orang lain, tapi juga kikir pada perut sendiri,”

Banun : “Tak usah hiraukan gunjingan orang! Kalau benar apa yang mereka tuduhkan, kalian tak bakal
mengenyang bangku sekolah, dan seumur-umur akan jadi orang tani.”

Mendengar keributan itu, saudara Rimah, Nami yang sedang memarut ubi jalar menghentkan
gerak tanganya.

Nami : “Sudahlah, tak enak kalau tetangga mendengar keributan ini.”

Banun : “Sebagai anak yang lahir dari rahim orang tani, semestnya kalian paham bagaimana tabiat
petani sejat.”
Nami : “Petani sejat?”

Banun : “Dengarlah, kita itu orang tani yang asalnya dari kata tahani atau menahan diri. Apapun yang
bisa kita hasilkan dari bercocok tanam, itulah yang kita makan. Kita tdak perlu pergi ke pasar untuk
berbelanja, cukup membeli garam krosok sebulan sekali. Paham?”

Sejak saat itu, Banun semakin giat mengolah tanah untuk menghasilkan apa saja. Berkat keuletan
Banun, kini separuh luas sawah kampung berhasil ia miliki dan mendapat julukan tuan tanah. Pagi tba,
terdengar ketukan pintu di rumah Banun.

Surt : “Assalamualaikum…”

Nami : “Waalaikumussalam, silahkan masuk Bu.”

(Surt masuk rumah, dan Nami memanggilkan ibunya.)

Banun : “Ada apa yah Bu Surt?”

Surt : “Saya ngin meminjam uang dua puluh juta untuk biaya kuliah anak saya. Insyaalloh saya akan
mengembalikan uang itu dalam waktu setengah bulan, lokasi sawah saya dari sini cukup dekat, tnggal
lurus terus, ada pertgaan belok kanan, ada perempatan belok kanan, lurus terus nant sampailah di
sawah yang ada gubuk merahnya. Nah, disitulah sawah saya.”

Banun : “Baiklah, akan saya ambilkan uangnya. Tunggu sebentar,”

(Banun mengambil uang dan memberikan uang itu kepada Bu Surt. Mereka berjabat tangan, dan Bu
Surt meninggalkan rumah Banun.)

Banun berjalan ke sawah dan di jalan berpapasan dengan Zubaidah dan anaknya, Rustam.

Banun : “Eh Zubaidah, habis beli kangkung yah?”

Zubaidah : “Iya Bu.”

Banun : “Seiket kangkung saja beli, kemana sawah lebar suamimu? Sekarang lagi ditanamin apa? Batu
yah? Air di kolam aja kering, mana bisa batu itu tumbuh.”

(Zubaidah dan Rustam hanya diam .)

Banun : “Ha ha ha… Warisan sawah luas kok bisa habis. Makanya, jadilah orang tani sejat.”

(Banun kembali melangkahkan kaki menuju sawah dan disusul Rimah dibelakangnya. Rimah yang lari
dengan membawa bekal sawah untuk maknya tak sengaja menabrak tubuh Rustam)

Rimah : “Maafkan saya, saya tak sengaja,” (membersihkan kaos Rustam)

Rustam : “I.. i.. ia.. tdak apa-apa,” (menampis tangan Rimah dengan lembut)
Zubaidah : “Sudah, sudah, cepatlah kalian bereskan bekal untuk maknya Rimah.”

Rustam : “Biar aku saja Bu, yang membersihkanya,” (membereskan bekal makanan)

Rimah : “Tidak, terima kasih. Biar saya saja.”

Rustam : “Tidak Nona, biarkan saya membantu Anda,” (setelah selesai) “Ini Nona, Hat-hat di jalan,”

(Rimah pergi meninggalkan Rimah dan Zubaidah)

Rustam : “Bu, siapa nama gadis itu? Sungguh cantk parasnya,”

Zubaidah : “Rimah,”

Rustam : “Oh, nama yang indah”

Zubaidah : “Rustam, mari kita pulang.”

Sawah milik Zubaidah dan Palar memang semakin habis untuk biaya kuliah Rustam yang kelak
menjadi insinyur pertanian. Suatu hari, Palar pergi kerumah Banun.

Palar : “Assalamualaikum ..”

Banun : “Waalaikumussalam, masuklah Palar.” (dengan senyum sinis)

Palar : “Terima kasih Banun.” (memasuki rumah)

Banun : “Duduklah di sofa empukku, barangkali saja kau belum pernah merasakan duduk di tempat
yang empuk.”

Palar : (duduk) “Begini Banun, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepadamu”

Banun : “Apa? Kau ingin melamarku lagi? Bukankah kau sekarang sudah mempunyai isteri, atau
jangan-jangan, kau mau pinjam uang untuk biaya kuliah anak mu? Atau, kau ingin…. “

Palar : “Cukup Banun, dulu aku memang ingin bersamamu, tapi sekarang sudah berbeda. Jangan kau
ungkit-ungkit lagi masalah itu”

Banun : “Oh oh oh.. apa kau ingin menambah gelar Banun Kikir ku menjadi sesuatu yang lebih
berkesan?”

Palar : “Tidak Banun, maafkan saya”

Banun : (menghela nafas) “lantas kau mau apa?”

Palar : “Karena sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita nikahkan dengan Rustam?”

Banun : “Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami.” (sinis)


Palar : “Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur
pertanian di kampung ini, dan hendak menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani
tdak lagi terpuruk dalam kesusahan,”

Banun : “Maafkan saya, Palar.”

Palar : “Sudahlah, Assalamualaikum..” (meninggalkan Banun)

Banun : “Waalaikumussalam..”

Hari bergant hari, bulan bergant bulan, dan tahun bergant tahun. Zaman sudah tdak lagi
mempergunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama. Kini telah berevolusi menjadi gas elpiji. Tapi
tdak bagi Banun, Rimah yang sudah terlalu cape mendengar kata Banun Kikir, ingin menghapus nama
itu. Setap Jum’at, Banun berkunjung, menjenguk cucu dari keempat anaknya secara bergiliran.

Rimah : “Mak, Rimah belikan gas elpiji yah. Biar Mak tdak usah repot-repot membawa dedaunan
kelapa kering dari sawah.”

Banun : “Nasi tak terasa nasi bila dimasak dengan elpiji. Dedaunan kelapa di sawah itu bakal
berjatuhan seiring waktu. Mubadzir bila tdak dimanfaatkan. Lagipula gas elpiji itu mahal, lebih baik
uangnya digunakan untuk membeli sawah lagi.”

Rimah : “Mak mau sampai kapan masak dengan cara sepert ini?”

Banun : “Mungkin sampai dedaunan kelapa enggan lagi berjatuhan.”

Rimah : “Aduh, Mak.. Mak.. “ (menghela nafas) “Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan
buruk itu tak pernah ada,” (menyesal)

Banun : “Sudahlah Rimah,”

Rimah : “Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon suami padahal belum,
bukan?”

(Banun terdiam)

Rimah : “Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”

Banun : “Tak usah kau ungkit-ungkit lagi cerita lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu! mak menolak
pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tdak pula karena mak sudah jadi tuan tanah,
tapi karena perangai buruk Palar yang dianggap mak sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani.”

Rimah : “Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!” (Rimah memalingkan
wajah) “Sebentar Mak, Rimah mau ambil hand phone dulu barangkali suami Rimah sms minta dijemput
pulang kerja sama sopir.”
(Sesaat Banun terdiam, ia teringat dengan Palar)

Banun : “Apa benar, Palar begitu bangga punya anak berttel insinyur pertanian yang katanya bisa
melipatgandakan hasil pertanian dengan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan
memberi contoh cara bertani modern, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar
Palar orang tani yang sesungguhnya, ia tdak akan gampang menjual lahan sawah, meski untuk mencetak
insinyur pertanian yang dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tdak mengamalkan laku
orang tani?”

***SELESAI***

Anda mungkin juga menyukai