Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN

MENINGOENCEFALITIS

OLEH:
LINDA LESTARI
(2019.NS.A.07.014)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2020
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Upaya kesehatan terus dikembangkan dan sarana diagnostik dan terapi
terus mengalami kemajuan, namun angka kejadian infeksi masih terus
merupakan tantangan bidang kesehatan. Sekitar 25% dari semua jumlah
kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit menular. Di negara sedang
berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi masih merupakan masalah
medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi,
di antara penyakit infeksi yang amat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf
Pusat (SSP) seperti meningoensefalitis.
Menurut WHO (1996) bahwa di klinik Bucharest, Rumania telah terjadi
peningkatan kasus meningoensefalitis sejak bulan Agustus tahun 1996 dan
terdapat 281 kasus virus meningitis yang terjadi dari 1 Agustus sampai 2
September, dengan usia rata-rata pasien adalah 47 tahun dan 53% dari pasien
dengan usia di atas 50 tahun. Di Indonesia, meningoensefalitis.merupakan
penyebab kematian pada semua umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah
malaria. Meningoensefalitis merupakan penyakit menular pada semua umur
dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi meningoensefalitis.merupakan
penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan dengan urutan ketiga yaitu
(9,3%) setelah diare (31,4%) dan pneumoni (23,8%). Proporsi
meningoensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%) dan
merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu (10,7%).
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. Masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus
herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk
ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde
axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis
aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat dapat
mengakibatkan kerusakan neuron dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema
otak, peradangan pada pembuluh darah kecil, trombosis, dan mikroglia dan juga
dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.
Dari kejadian meningoensefalitis di masyarakat masih cukup tinggi
tersebut penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tindakan dan cara perawat
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan meningoensefalitis.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa definisi dari Meningoenfalitis?
1.2.2 Bagaimana anatomi fisiologi Meningoencefalitis?
1.2.3 Bagaimana klasifikasi dari Meningoencefalitis?
1.2.4 Bagaimana etiologi dari Meningoencefalitis?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi dari Meningoencfalitis?
1.2.6 Bagaimana manifestasi klinis dari Meningoencefalitis?
1.2.7 Bagaimana komplikasi dari Meningoencefalitis?
1.2.8 Bagaimana pemeriksaan penunjang dari Meningoencefaliti?
1.2.9 Bagaimana penatalaksanaa media dari Meningoencefalitis?
1.2.10 Bagaimana manajemen asuhan keperawatan dari Meningoencefalitis?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari Meningoenfalitis.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana anatomi fisiologi Meningoencefalitis.
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi dari Meningoencefalitis.
1.3.4 Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari Meningoencefalitis.
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Meningoencfalitis.
1.3.6 Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari Meningoencefalitis.
1.3.7 Untuk mengetahui bagaimana komplikasi dari Meningoencefalitis.
1.3.8 Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaan penunjang Meningoencefaliti.
1.3.9 Untuk mngetahui bagaimana penatalaksanaa media dari Meningoencefalitis.
1.3.10 Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari Meningoencefalitis
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak kasus atas dasar
klinik namun keduanya sering bersamaan sehingga disebut meningoensefalitis.
Alasannya yaitu selama meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan
dalam sel subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan
respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang mencapai cairan
serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-gejala iritasi meningeal di samping
gejala-gejala yang berhubungan dengan ensefalitis dan pada beberapa agen
etiologi dapat menyerang meningen maupun otak misalnya enterovirus (Muttaqin,
Arif, 2012)
Meningoencefalitis merupakan infeksi yang melibatkan meningen,
subarachnoid dan parenkim otak yang akan mengakibatkan reaksi inflamasi
(Smeltzer, 2010)
Meningoenseflitis terdiri dari meningitis dan ensefalitis meningitis adalah
radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis)
dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur. Sedangkan ensefalitis
merupakan radang parenkim otak yang dapat menimbulkan disfungsi
neuropsikologis difus dan/atau fokal. Ensefalitis pada umumnya melibatkan
parenkim otak, tetapi meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga
dikenal istilah meningoensefalitis (Mansjoer, 2011)

2.2 Anatomi Fisiologi


Otak manusia mempunyai berat 2% dari berat badan orang dewasa (3
pon), menerima 20 % curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian
oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya. Otak
merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam seluruh
tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi
glukosa.
Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang
melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan
sekresi cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a) Durameter
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah.
Durameter terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput
tulang tengkorak (periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal)
meliputi permukaan tengkorak untuk membentuk falks serebrum,
tentorium serebelum dan diafragma sella.
b) Arakhnoid
Arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan
piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak yang
meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan
arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih
menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah
arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan meningen serta
dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
c) Piameter
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh
darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang
banyak. Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti
gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piameter disebut
sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang.
Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang
belakang (Prince,Wilson, 2012).

2.3 Klasifikasi
2.3.1 Meningitis
a) Meningitis Serosa (Meningitis Tuberculosis Generalisata).
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering
dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus.
b) Meningitis Purulenta. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah
meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta
bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
2.3.2 Ensefalitis
a) Ensefalitis Supuratif Akut disebabkan oleh Bakteri penyebab ensefalitis
supurativa adalah : staphylococcus aureus, streptococcus, E.coli dan
M.tuberculosa. Ensefalitis disebabkan karena peradangan yang dapat
menjalar ke jaringan otak dari otitis media,mastoiditis,sinusitis,atau dari
piema yang berasl dari radang, abses di dalam paru, bronchiektasi, empiema,
osteomeylitis cranium, fraktur terbuka, trauma yang menembus ke dalam otak
dan tromboflebitis. Reaksi dini jaringan otak terhadap kuman yang bersarang
adalah edema, kongesti yang disusul dengan pelunakan dan pembentukan
abses. Disekeliling daerah yang meradang berproliferasi jaringan ikat dan
astrosit yang membentuk kapsula. Bila kapsula pecah terbentuklah abses yang
masuk ventrikel. Manifestasi klinis Secara umum gejala berupa trias
ensefalitis ; Demam , Kejang dan Kesadaran menurun Bila berkembang
menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda
meningkatnya tekanan intracranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan
progresif,muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun, pada
pemeriksaan mungkin terdapat edema papil.Tanda-tanda deficit neurologist
tergantung pada lokasi dan luas abses.
b) Ensefalitis Sifilis. Disebabkan oleh Treponema pallidum. Infeksi terjadi
melalui permukaan tubuh umumnya sewaktu kontak seksual. Setelah
penetrasi melalui epithelium yang terluka, kuman tiba di sistim limfatik,
melalui kelenjar limfe kuman diserap darah sehingga terjadi spiroketemia.
Hal ini berlangsung beberapa waktu hingga menginvasi susunan saraf pusat.
Treponema pallidum akan tersebar diseluruh korteks serebri dan bagian-
bagian lain susunan saraf pusat. Manifestasi klinis Gejala ensefalitis sifilis
terdiri dari dua bagian : (1) Gejala-gejala neurologist Kejang-kejang yang
datang dalam serangan-serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran
mungkin menurun,sering dijumpai pupil Agryll- Robertson,nervus opticus
dapat mengalami atrofi. Pada stadium akhir timbul gangguanan-gangguan
motorik yang progresif. (2) Gejala-gejala mental Timbulnya proses dimensia
yang progresif, intelgensia yang mundur perlahan-lahan yang mula-mula
tampak pada kurang efektifnya kerja, daya konsentrasi mundur, daya ingat
berkurang, daya pengkajian terganggu.
(Prince,Wilson, 2012).

2.4 Etiologi

Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak langsung, titik ludah


atau muntahan penderita, serta dikeluarkan melalui urin penderita yang terinfeksi.
Penularan Mumpsvirus terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah
timbulnya gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita agar
terjadi penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan penularan virus Measles
atau Varicella-zoster.
Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya membutuhkan
invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya nyamuk dan caplak. Infeksi
pada manusia terjadi melalui gigitan arthropoda, misalnya nyamuk yang
mengandung Togavirus. Manusia adalah hospes alami Herpes simpleks virus,
namun banyak strain yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan,
misalnya kelinci, tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak
melalui saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga
menimbulkan nekrosis neuron yang luas .
Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa
disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus Influenza, ECHO,
Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya
dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi
penyakit virus yang sudah dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster,
Parotitis epidemika, Mononukleosis infeksiosa. Virus penyebab
meningoensefalitis memiliki variasi geografis yang besar yaitu: di negara
berkembang, penyebab terbesar yaitu herpes simplex type-1 (HSV- 1), virus
gondok, enterovirus, herpes zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr. Di
Amerika Serikat terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and
Weastern equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di
Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis. Herpes
simpleks-type 2 merupakan penyebab penyakit paling banyak pada neonatus. Di
Asia, Ensefalitis Jepang adalah penyebab ensefalitis yang paling banyak. Virus
Valley fever di Afrika dan Timur tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di
dunia. Ensefalomieletis pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling
sering dikaitkan dengan campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan dengan
infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B, Virus Herpes zooster.
Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan dengan virus tertentu yaitu orang-
orang dengan sel imunitas yang lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV
dapat berkembang menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau
Cytomegalovirus.
Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan penyebaran hematogen
dari infeksi di paru-paru. Penyebaran hematogen dari paru-paru ke otak dan
selaputnya sebanding dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang intrakranial,
baik di permukaan korteks maupun di araknoid dapat dibentuk granuloma yang
besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang menjadi abses.Penyebab karena
bakteri yang mencapai cairan serebrospinal akan memperbanyak diri dengan cepat
karena ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada komplemen, antibodi opsonin dan
sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H. influenzae eksperimental, hanya
memerlukan satu bakteri hidup untuk memulai infeksi pada CSS. Bakteri
Streptococcus dapat menyebabkan meningitis pada semua kelompok umur, dan
pada penderita umur lebih dari 40 tahun merupakan agen penyebab yang paling
sering.
(Mansjoer, 2011)

2.5 Patofisiologi
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan
kardiopulmonal. Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau
berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat
melalui tromboflebilitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus
paranasales. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak.
Proses peradangan ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-
pembuluh darah, dan agregasi leukosit yang sudah mati. Di daerah yang
mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan kongesti jaringan otak
disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling abses terjadi
infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh proses ini
memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian pecah
dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis.
Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus
yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll. Masuk ke dalam tubuh manusia
melalui saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus
herpes simpleks melalui mulut atau mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk
ke tubuh melalui inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi
dalam kandungan mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubela atau
cytomegalovirus. Di dalam tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal,
kemudian terjadi viremia yang menyerang susunan saraf pusat melalui kapilaris di
pleksus koroideus. Cara lain ialah melalui saraf perifer atau secara retrograde
axoplasmic spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes
zoster. Di dalam susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis
aseptik dan ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron
dan glia dimana terjadi peradangan otak, edema otak, peradangan pada pembuluh
darah kecil, trombosis, dan mikroglia.
Amuba meningoensefalitis diduga melalui berbagai jalan masuk, oleh karena
parasit penyebabnya adalah parasit yang dapat hidup bebas di alam. Kemungkinan
besar infeksi terjadi melalui saluran pernapasan pada waktu penderita berenang di
air yang bertemperatur hangat. Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis
toksoplasma dapat timbul dari penularan ibu-fetus. Mungkin juga manusia
mendapat toksoplasma karena makan daging yang tidak matang. Dalam tubuh
manusia, parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan
susunan saraf pusat. Pada fetus yang mendapat toksoplasma melalui penularan
ibu-fetus dapat timbul berbagai manifestasi serebral akibat gangguan
pertumbuhan otak, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Maka manifestasi dari
toksoplasma kongenital dapat berupa: fetus meninggal dalam kandungan,
neonatus menunjukkan kelainan kongenital yang nyata misalnya mikrosefalus.
(Elizabeth, 2012).
WOC
Virus Jamur Bakteri
Cytomegalovirus, pramisovirus, virus Candida species, criptococcus, Stretococcus pneumonia
polio, ortonyxoviriadae dll neoformans staphylococcus, Escherichia
coli, mycobacterium dll

Meningoencefalitis

Peradangan pada
jaringan otak

B1 (Breathing) B2 (Bledding) B3 (Brain) B4 ( Bladder) B5 ( Bowel) B6 ( Bone)

v
Peningkatan tekanan Pembentukan Pembentukan Perfusi jaringan Peningkatan
intrakranial transundat dan transundat dan Peningkatan
cerebral terganggu tekanan
eksudat eksudat tekanan
intrakranial intrakranial
Kerusakan neuron
otak Edema jaringan otak Nyeri Akut Iskemik jaringan
Menghambat aliran
darah Menstimulasi
Kerusakan neuron
hipotalamus dan
Penurunan kesadaran Reaksi inflamasi Aliran darah menurun otak
nervus vagus
Penurunan suplai 02
Ke jaringan
Penurunan sekresi Pelepasan pirogen Penurunan suplai Peningkatan sekresi Penurunan kesadaran
trakeobronkial endogen (sitokin) darah ke ginjal asam lambung (mual
muntah)
Gangguan perfusi
Penumpukan secret jaringan cerebral Hambatan mobilitas
Merangsang hipotalamus Oliguria
pada trakea dan bronkus
meningkatkan suhu
Defisit nutrisi

Gangguan eliminasi
Bersihan jalan nafas Hipertermi urine
tidak efektif
2.6 Manifestasi Klinis

a) Peningkatan tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, penurunan


kesadaran, dan muntah.
b) Demam akibat infeksi (respon nyeri terhadap cahaya).
c) Kaku kuduk, tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif)
d) Kejang dan gerakan abnormal
(Elizabeth, 2012).

2.7 Komplikasi
1. Syok septik
2. Edema otak
3. Abses subdural
4. Gangguan penglihatan
5. Epilepsi
(Elizabeth, 2012).

2.8 Pemeriksaan Penunjang

a) Uji serologi untuk mengetahui jenis virus dan menentukan etiologi infeksi
SSS nonenterovirus.
b) Pemeriksaan neuroimaging
c) Pungsi lumbal; untuk mengetahui adanya sel darah putih dan sensitivitas
mikroorganisme.
d) Pemeriksaan laboratorium.
e) CT-Stan dan MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi derajat
pembengkakan dan tempat nekrosis.
f) Terapi kortikosteroid (deksametason) untuk mengurangi inflamasi
g) Ditemukan kadar glukosa serum meningkat.
h) Kultur urin/urinalisis untuk mengidentifikasi organisme penyebab.
i) Kultur nasofaring untuk mengidentifikasi organisme penyebab.
j) Kadar elektrolit serum meningkat jika anak dehidrasi; natrium serum
(Na+) naik; kalium serum (K+) turun.
(Nelson, 2010).
2.9 Penatalaksanaan Medis
a) Antibiotik
b) Pengurangan cahaya ruangan, kebisingan dan tamu.
c) Nyeri kepala diatasi dengan istirahat dan analgesik
d) Asetamenofen dianjurkan untuk demam
e) Kodein, morfin dan derivat fenotiazin untuk nyeri dan muntah
f) Perawatan yang baik dan pantau dengan teliti
(Nelson, 2010).
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, alamat, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis. Identitas ini
digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. Jenis kelamin,
umur dan alamat dapat mempercepat atau memperberat keadaan penyakit
infeksi.  Meningoensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
3.1.2 Keluhan utama:
Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
3.1.3 Riwayat penyakit sekarang:
Mula-mula pasien gelisah , muntah-muntah , panas badan meningkat, sakit
kepala.           
3.1.4 Riwayat penyakit dahulu:
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah
menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan
tenggorokan.
3.1.5 Riwayat kesehatan keluarga:
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh:
Herpes dan lain-lain. Bakteri contoh: Staphylococcus Aureus, Streptococcus ,
E. Coli , dan lain-lain.
3.1.6 Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing) : Perubahan-perubahan akibat peningkatan tekanan
intra cranial menyebabakan kompresi pada batang
otak yang menyebabkan pernafasan tidak teratur.
Apabila tekanan intrakranial sampai pada batas
fatal akan terjadi paralisa otot pernafasan.

B2 (Blood) : Adanya kompresi pada pusat vasomotor


menyebabkan terjadi iskemik pada daerah
tersebut, hal ini akan merangsaang
vasokonstriktor dan menyebabkan tekanan darah
meningkat. Tekanan pada pusat vasomotor
menyebabkan meningkatnya transmitter rangsang
parasimpatis ke jantung.
B3 (Brain) : Kesadaran menurun. Gangguan tingkat kesadaran
dapat disebabkan oleh gangguan metabolisme dan
difusi serebral yang berkaitan dengan kegagalan
neural akibat prosses peradangan otak.

B4 (Bladder)      : Biasanya pada pasien meningo ensefalitis


kebiasaan miksi dengan frekuensi normal.

B5 (Bowel) : Penderita akan merasa mual dan muntah karena


peningkatan tekanan intrakranial yang
menstimulasi hipotalamus anterior dan nervus
vagus sehingga meningkatkan sekresi asam
lambung.
B6 (Bone) : Hemiplegi

1. Pola aktifitas : Aktifitas tirah baring, pola istirahat terganggu


dan istirahat dengan adanya kejang / konvulsif

2. Makan dan : Mual muntah, disertai dengan kesulitan menelan,


minum sehingga membutuhkan bantuan NGT dalam
pemenuhan nutrisi

3. Neurosensor : Terjadi kerusakan pada nervus kranialis, yang


i terkadang menyebabkan perubahan persepsi
sensori. Kaku kuduk (+), pemeriksaan kernig sign
(+), Burdinzki (+)
4. Integritas : Perubahan status mental dari letargi sampai koma
ego

5. Kenyamanan : Terdapat nyeri kepala karena peningkatan TIK


akibat edema serebri
6. Keamanan : Perubahan dalam fungsi mental, tonus otot yang tak
terkoordinasi sehingga diperlukan pengaman
disamping tempat tidur sampai restrain pada
ekstremitas

3.2 Diagnosa
a. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis
c. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema
serebral/ penyumbatan aliran darah.
d. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit
e. Risiko cidera berhubungan dengan aktifitas kejang umum.
f.   Risiko infeksi berhubungan dengan paningkatan paparan, daya tahan
tubuh yang lemah.

3.3 Intervensi

a) Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi


Tujuan dan Kiteria Hasil : Suhu tumbuh dalam rentang normal
Intervensi :
1. Monitor TTV
2. Berikan kompres air hangat
3. Anjurkan klien meperbanyak minum air putih
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

b) Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan faktor biologis
Tujuan dan Kriteria Hasil : Kebutuhan nutrisi seimbang
Intervensi:
1. Monitor asupan makanan klien
2. Anjurkan makan sedikit tapi sering
3. Edukasi pentingnya nutrisi
4. Lakukan kolaborasi dengan ahli gizi

c) Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema


serebral/ penyumbatan aliran darah.
Tujuan dan kriteria hasil : Perfusi jaringan kembali efektif
Intervensi :
1. Monitor TTV klien
2. Batasi pergerakan daerah kepala leher dan punggung klien
3. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat

d) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit


Tujuan dan kriteria hasil : Nyeri berkurang
Intervensi:
1. Monitor TTV dan intesitas nyeri klien
2. Atur posisi klien senyaman mungkin
3. Berikan edukasi manajemen nyeri
4. Kolaborasi dalam pemberian terapi obat

e) Risiko cidera berhubungan dengan aktifitas kejang umum.


Tujuan dan kriteria hasil: Kejang menurun
Intervensi :
1. Monitor TTV
2. Ciptakan lingkungan yang aman bagi klien
3. Anjurkan keluarga untuk menemani klien
4. Kolaborasi dalam pemberian obat

e) Risiko infeksi berhubungan dengan paningkatan paparan, daya tahan


tubuh yang lemah.
Tujuan dan kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi :
1. Monitor TTV
2. Observasi tanda-tanda infeksi
3. Pertahankan tindakan aseptik
4. Kolaborasi dalam pemberian obat

3.4 Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang
telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat
harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan
pada pasien, teknik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan,
pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat
perkembangan pasien. (Hidayat, 2011).

3.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara
melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak. Saat melakukan evaluasi perawat seharusnya memilki pengetahuan dan
kemempuan dalam memahami respons terhadap intervensi keperawatan,
kemempuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang di capai serta
kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil
(Hidayat, 2011).

DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth. 2012. Buku saku Patofisiologi. Jakarta. Aditya Medika
Hidayat. 2011. Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta. Salemba
Medika
Muttaqin, Arif. 2012. PengantarAsuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta. Salemba Medika
Mansjoer. 2011. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid II. Jakarta: Salemba
Medika
Nelson. 2010. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta. EGC
Smeltzer. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Jilid II Edisi 8. Jakarta
EGC
Prince, Wilson. 2012. Patofisiologi, Proses Penyakit. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai