Anda di halaman 1dari 17

1.

5 Landasan Teori
ERGONOMI
Ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu “ Ergon “ yang artinya kerja dan “
Nomos “ yang artinya aturan. Menurut International Ergonomic Assosiation, ergonomic
didefinisikan sebagai studi tentang aspek – aspek manusia dalam lingkungan kerjanya
yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen, dan
desain/perancangan. Selain itu ergonomi menurut Badan Buruh Internasional
(ILO=International Labor Organization) adalah penerapan ilmu biologi manusia sejalan
dengan ilmu rekayasa untuk mencapai penyesuaian bersama antara pekerjaan dan
manusia secara optimum agar bermanfaat demi efisiensi dan kesejahteraan. Pada
prosesnya dibutuhkan kerjasama antara lingkungan kerja (ahli hiperkes), manusia
(dokter dan paramedik) serta mesin perusahaan (ahli tehnik). Kerjasama ini disebut
segitiga ergonomi.
Tujuan dari ergonomi adalah mendapatkan pengetahuan yang utuh tentang
permasalahan interaksi manusia dengan lingkungan kerja, selain itu ergonomic memiliki
tujuan untuk mengurangi tingkat kecelakaan saat bekerja dan meningkatkan
produktivitas serta efisiensi dalam suatu proses produksi.
Pendekatan ergonomi mengacu pada konsep total manusia, mesin dan lingkungan
yang bertujuan agar pekerjaan dalam industri dapat berjalan secara efisien, selamat
dan nyaman. Dengan demikian dalam penerapannya harus memperhatikan beberapa
hal yaitu: tempat kerja, posisi kerja, proses kerja.
Adapun tujuan penerapan ergonomi adalah sebagai berikut: 1) meningkatkan
kesejahteraan fisik dan mental, dengan meniadakan beban kerja tambahan (fisik dan
mental), mencegah penyakit akibat kerja, dan meningkatkan kepuasan kerja,
2) meningkatkan kesejahteraan sosial dengan jalan meningkatkan kualitas kerjasama
sesama pekerja, pengorganisasian yang lebih baik dan menghidupkan sistem
kebersamaan dalam tempat kerja, 3) berkontribusi di dalam keseimbangan rasional
antara aspek-aspek teknik, ekonomi, antropologi dan budaya dari sistem manusia-
mesin untuk tujuan meningkatkan efisiensi sistem manusia-mesin.
Dengan diterapkannya ergonomic ditempat kerja, hal ini akan memberikan banyak
manfaat antara lain :
a) Pekerjaan bisa lebih cepat selesai
b) Risiko kecelakaan bisa lebih kecil
c) Mengurangi jam kerja yang hilang
d) Risiko penyakit akibat kerja kecil
e) Gairah/kepuasan kerja lebih tinggi
f) Biaya ekstra/tambahan tidak terduga bisa ditekan
g) Absensi/tidak masuk kerja rendah
h) Kelelahan berkurang
i) Rasa sakit berkurang atau tidak ada
j) Produktivitas meningkat
Agar tujuan penerapan ergonomi ditempat kerja dapat berhasil secara optimum
dan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja, ada 8 kelompok masalah
ergonomic yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
1) Gizi kerja
2) Pemanfaatan tenaga dan otot
3) Sikap dan cara kerja
4) Kondisi lingkungan kerja
5) Waktu kerja
6) Kondisi informasi ( misalnya : instruksi kerja, SOP dalam Bahasa yang
mudah dimengerti tenaga kerja )
7) Kondisi sosial ( misalnya : hubungan baik antar rekan kerja, atasan dan
bawahan )
8) Interaksi mesin - mesin
Adapun manfaat pelaksanaan ergonomi adalah menurunnya angka kesakitan
akibat kerja, menurunnya kecelakaan kerja, biaya pengobatan dan kompensasi
berkurang, stress akibat kerja berkurang, produktivitas membaik, alur kerja bertambah
baik, rasa aman karena bebas dari gangguan cedera, kepuasan kerja meningkat.
Ruang lingkup ergonomi sangat luas aspeknya, antara lain meliputi :
1. Teknik
2. Fisik
3. Pengalaman psikis
4. Anatomi, utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot
dan persendian
5. Anthropometri
6. Sosiologi
7. Fisiologi, terutama berhubungan dengan temperatur tubuh, Oxygen up take
dan aktivitas otot.
8. Desain, dll.
Aplikasi/penerapan Ergonomik pada tenaga kerja:
1. Posisi Kerja
Terdiri dari posisi duduk dan posisi berdiri, posisi duduk dimana kaki tidak
terbebani dengan berat tubuh dan posisi stabil selama bekerja. Sedangkan
posisi berdiri dimana posisi tulang belakang vertikal dan berat badan
tertumpu secara seimbang pada dua kaki.
2. Proses Kerja
Para pekerja dapat menjangkau peralatan kerja sesuai dengan posisi
waktu bekerja dan sesuai dengan ukuran anthropometrinya. Harus
dibedakan ukuran anthropometri barat dan timur.
3. Tata Letak Tempat Kerja
Display harus jelas terlihat pada waktu melakukan aktivitas kerja.
Sedangkan simbol yang berlaku secara internasional lebih banyak
digunakan daripada kata-kata.
4. Mengangkat beban
Bermacam-macam cara dalam mengangkat beban yakni, dengan kepala,
bahu, tangan, punggung, dll. Beban yang terlalu berat dapat menimbulkan
cedera tulang punggung, jaringan otot dan persendian akibat gerakan yang
berlebihan.
Semua pekerja secara kontinyu harus mendapat supervisi medis teratur.
Supervisi medis yang biasanya dilakukan terhadap pekerja antara lain :
1. Pemeriksaan sebelum bekerja.
Bertujuan untuk menyesuaikan dengan beban kerjanya.
2. Pemeriksaan berkala
Bertujuan untuk memastikan pekerja sesuai dengan pekerjaannya dan
mendeteksi bila ada kelainan.
3. Nasehat
Harus diberikan tentang hygiene dan kesehatan, khususnya pada wanita muda
dan yang sudah berumur.

KESEHATAN KERJA
Definisi kesehatan kerja mengacu pada komisi gabungan ILO/WHO (1995)
adalah upaya yang ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat
kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan sosial semua tenaga kerja yang setinggi –
tingginya, mencegah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
melindungi tenaga kerja dari factor resiko, pekerjaan yang merugikan kesehatan,
penempatan dan pemeliharaan tenaga kerja dalam suatu lingkungan kerja disesuaikan
dengan kapabilitas fisiologi dan psikologinya, dan kesemuanya itu disimpulkan sebagai
adaptasi pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaannya.
Menurut undang – undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang
dimaksud dengan kesehatan kerja adalah upaya yang ditujukan untuk melindungi
tenaga kerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh
buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Selanjutnya disebutkan bahwa cara
mencapainya melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan.
Promosi kesehatan merupakan ilmu pengetahuan dan seni yang membantu
seseorang untuk mengubah gaya hidup menuju kesehatan yang optimal, yaitu
terjadinya keseimbangan kesehatan fisik, emosi, spiritual dan intelektual. Tujuan
promosi kesehatan di tempat kerja adalah terciptanya perilaku dan lingkungan kerja
sehat juga produktivitas yang tinggi. Tujuan dari promosi kesehatan adalah:
 Mengembangkan perilaku kerja sehat
 Menumbuhkan lingkungan kerja sehat
 Menurunkan angka absensi sakit
 Meningkatkan produktivitas kerja
 Menurunnya biaya kesehatan
 Meningkatnya semangat kerja
Upaya preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja yang
disebabkan oleh alat/mesin dan masyarakat yang berada di sekitar lingkungan kerja
ataupun penyakit menular umumnya yang bisa terjangkit pada saat melakukan
pekerjaan yang diakibatkan oleh pekerja. Upaya preventif diperlukan untuk menunjang
kesehatan optimal pekerja agar didapat kepuasan antara pihak pekerja dan perusahaan
sehingga menimbulkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Aplikasi upaya preventif
diantaranya pemakaian alat pelindung diri dan pemberian gizi makanan bagi pekerja.
Upaya kuratif merupakan langkah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan bagi
pekerja. Upaya penatalaksanaan penyakit yang timbul pada saat bekerja merupakan
langkah untuk meningkatkan kepuasan pekerja dalam bekerja, sekaligus memberi
motivasi untuk pekerja supaya memiliki kesehatan yang optimal. Penyakit yang sering
timbul dalam suatu lokasi pekerjaan dapat menjadi tolak ukur dalam mengambil
langkah promosi dan pencegahan, sehingga tujuan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan kerja optimal dilaksanakan.
Salah satu aspek yang harus diimplementasikan dalam kesehatan kerja adalah
adanya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kerja, baik sejak awal sebelum bekerja,
selama bekerja, maupun sesudah bekerja. Tujuan dari pemeriksaan kesehatan ini
ditujukan agar selain tenaga kerja yang diterima di awal berada dalam kondisi
kesehatan setinggi-tingginya,juga untuk memantau status kesehatan pekerja dan juga
meminimalisir dan mendeteksi dini apakah ada penyakit akibat kerja yang ditimbulkan
akibat proses produksi.
Sarana P3K di tempat kerja diatur dalam Permenakertrans RI No.
15/MEN/VIII/2008. Dalam Permenakertrans tersebut, dijabarkan bahwa Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan di tempat kerja (P3K) adalah upaya memberikan
pertolongan pertama secara cepat dan tepat kepada pekerja/buruh/dan/atau orang lain
yang berada di tempat kerja, yang mengalami sakit atau cidera di tempat kerja.
Fasilitas P3K yang dimaksud dalam Permenakertrans ini meliputi ruang P3K, kotak
P3K dan isinya sesuai standar, alat evakuasi dan alat transportasi, fasilitas tambahan
berupa alat pelindung diri dan/atau peralatan khusus di tempat kerja yang memiliki
potensi bahaya yang bersifat khusus. Pengusaha wajib menyediakan ruang P3K dalam
hal proses produksi mempekerjakan pekerja/buruh 100 orang atau lebih atau kurang
dari 100 orang dengan potensi bahaya tinggi.

Gambar 1.3 Rasio Jumlah Petugas P3K di Tempat Kerja

Ruang P3K juga diatur standarnya, salah satunya meliputi lokasi yang harus dekat
dengan toilet/kamar mandi, jalan keluar, mudah dijangkau, dan dekat dengan tempat
parkir kendaraan.
Kotak P3K juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu terbuat dari
bahan yang kuat dan mudah dibawa, berwarna dasar putih dengan lambang P3K
berwarna putih dengan lambang P3K berwarna hijau dengan isi kotak sesuai dengan
Permenakertrans yang mengatur. Penempatan kotak P3K juga harus pada tempat yang
mudah dilihat dan dijangkau dengan diberi tanda arah yang jelas dan cukup cahaya
serta mudah diangkat apabila digunakan dan disesuaikan dengan jumlah tenaga kerja
yang ada, dan dalam hal tempat kerja dengan unit kerja berjarak 500 meter atau lebih
masing-masing unit kerja harus menyediakan kotak P3K sesuai jumlah pekerja/buruh.

GIZI KERJA
Gizi kerja adalah ilmu gizi yang mempelajari secara khusus tenaga kerja sebagai
sumber daya manusia dan factor – factor yang mempengaruhi status gizi yang
berkaitan dengan produktivitas kerja serta factor lingkunga kerja yang mempengaruhi
gizi dan kesehatan tenaga kerja ( Kamal, 2011 ). Berdasarkan instruksi Menteri tenaga
kerja No. Ins.03 Men/1999 tentang peningkatan pengawasan dan penertiban terhadap
pengadaan kantin dan toilet diperusahaan. Penyelenggaraan makan ditempat kerja
bertujuan untuk meningkatkan keadaan kesehatan dan gizi tenaga kerja, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Efek dari gizi kerja yang kurang
bagi pekerja adalah:
▪ Pekerja tidak bekerja dengan maksimal
▪ Pertahanan tubuh terhadap penyakit berkurang
▪ Kemampuan fisik pekerja yang berkurang
▪ Berat badan pekerja yang berkurang atau berlebihan
▪ Reaksi pekerja yang lamban dan apatis,
▪ Pekerja tidak teliti
▪ Efisiensi dan produktivitas kerja berkurang
Jenis pekerjaan dan gizi yang tidak sesuai akan menyebabkan timbulnya
berbagai penyakit seperti obesitas, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit
degenerative, arteriosklerotik, hipertensi, kurang gizi dan mudah terserang infeksi akut
seperti gangguan saluran nafas. Ketersediaan makanan bergizi dan peran perusahaan
untuk memberikan informasi gizi makanan atau pelaksanaan pemberian gizi kerja yang
optimal akan meningkatkan kesehatan dq an produktivitas yang setinggi-tingginya.

PENYAKIT AKIBAT KERJA


Berdasarkan peraturan presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2019 penyakit
akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, dan/atau lingkungan
kerja.
Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban
kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh
produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23).
WHO membedakan empat kategori Penyakit Akibat Kerja:
a. Penyakit yang hanya disebabkan oleh pekerjaan, misalnya Pneumoconiosis
b. Penyakit yang salah satu penyebabnya adalah pekerjaan, misalnya
Karsinoma Bronkhogenik.
c. Penyakit dengan pekerjaan merupakan salah satu penyebab di antara faktor-
faktor penyebab lainnya, misalnya Bronkhitis khronis.
d. Penyakit dimana pekerjaan memperberat suatu kondisi yang sudah ada
sebelumnya, misalnya asma.
Pada simposium internasional mengenai penyakit akibat hubungan pekerjaan yang
diselenggarakan oleh ILO (International Labour Organization) tahun 1998 di Linz,
Austria, dihasilkan definisi menyangkut penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang
mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang
pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.
Penyakit yang Berhubungan dengan Pekerjaan adalah penyakit yang mempunyai
beberapa agen penyebab, dimana faktor pekerjaan memegang peranan bersama
dengan faktor risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi
kompleks
Penyebab beberapa penyakit tersebut timbul karena suatu faktor, tergantung pada
bahan yang digunakan dalam proses kerja, lingkungan kerja ataupun cara kerja,
sehingga tidak mungkin disebutkan satu per satu. Pada umumnya faktor penyebab
dapat dikelompokkan dalam 5 golongan:
o Golongan fisik :
suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang sangat tinggi,
vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
o Golongan kimiawi :
bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang terdapat
dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas, larutan, awan
atau kabut.
o Golongan biologis :
bakteri, virus atau jamur
o Golongan fisiologis :
biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja
o Golongan psikososial :
lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.
Penyakit akibat kerja juga perlu dilakukan beberapa tahap diagnosa, yang
sebelumnya perlu dilakukan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat yaitu sebagai berikut :
1) Tentukan Diagnosis klinisnya
Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan
fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk
mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat
dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan
atau tidak.
2) Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini
Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah
esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya.
Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara
cermat dan teliti, yang mencakup:
o Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara khronologis
o Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan Bahan yang diproduksi
o Materi (bahan baku) yang digunakan
o Jumlah pajanannya
o Pemakaian alat perlindungan diri (masker)
o Pola waktu terjadinya gejala
o Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala
serupa)
o Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan
(MSDS, label, dan sebagainya)
3) Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit
tersebut
Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung
pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita.
Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan
hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja.
Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut
secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang
diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya).
4) Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat
mengakibatkan penyakit tersebut.
Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu,
maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti
lebih lanjut dan membandingkannya dengankepustakaan yang ada untuk dapat
menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.
5) Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi
Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya,
yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat
adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah
pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan
penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
6) Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah
penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab
penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat
digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.
7) Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya
Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan
berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab
langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu
kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu
menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab
suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan
tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini.Sedangkan
pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada
atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi
pekerjaannya/pajanannya memperberat penyakit.

NARKOTIKA DAN HIV-AIDS


Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain
"narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesiaa adalah napza yang merupakan singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif .Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza",
mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi
penggunanya. Menurut pakar kesehatan,narkoba sebenarnya adalah senyawasenyawa
psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau
obat-obatan untuk penyakit tertentu.
Tindakan operasi (pembedahan) yang dilakukan oleh dokter harus didahului dengan
pembiusan, padahal obat bius tergolong narkotika. Kemudian, Orang yang mengalami
stress atau gangguan jiwa diberi obat-obatan yang tergolong psikotropika oleh dokter
agar dapat sembuh.
Dengan perhatian seperti itu, narkoba tidak selalu memberikan dampak buruk.
Banyak sekali jenis-jenis narkoba yang bermanfaat dalam bidang kedokteran. Maka,
sikap anti narkoba adalah keliru, yang benar adalah anti penyalahgunaanya. Jadi, yang
harus kita hindari bukanlah narkoba, melainkan penyalahgunaannya.
Narkoba memiliki berbagai jenis diantaranya narkotika, psikotropika, dan bahan
aditif lainnya.

1. Narkotika
Menurut undang – undang No. 35 tahun 2009 pasal 1 Narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis, maupun semi
sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan – golongan
sebagaimana yang terlampir dalam undang – undang No 35 tahun 2009.
Narkotika adalah zat atau obat yang bersal dari tanaman atau bahan tanaman,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya
rasa.Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika
juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan), ketiga
sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari
cengkramannya.
2. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alami maupun sintesis,
yang memiliki sifat proaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas normal dan perilaku.
Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan
jiwa (psyche). Berdasarkan undang-undang no. 5 tahun 1997, psikotropika dapat
dikelompokan ke dalam 4 golongan.
a. Golongan petama adalah psikotropika dengan daya aditif yang sangat
kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan, dan sedang di teliti
khasiatnya. Contoh adalah Ekstasi.
b. Golongan kedua adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah amfetamin,
metamfetamin, metakualon, dan sebagainya.
c. Golongan ketiga adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah lumbal,
buprenorsina, flenitrazepam, dan sebagainya.
3. Golongan keempat adalah psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contonya adalah nitrazepan
(mogadon, dumolid), diazepam, dan lain-lain.
4. Prekursor narkotika
Prekursor narkotika adalah zat atau bahn pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan narkotika.
5. Bahan adiktif lainnya
Golongan adiktif lainnya adalah zat-zat yang dapat menimbulkan
ketergantungan. Contohnya rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang
memabukkan dan menimbulkan ketagihan, dan thinner dan zat-zat lainnya.

HIV/AIDS
HIV/ AIDS dibahas disebuah perusahaan berdasarkan Kepmenakertrans No.
68/ MEN/ IV/ 2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat
kerja. Sedangkan prinsip – prinsip kunci dari ILO tentang HIV/AIDS dan dunia kerja
yang berlaku bagi semua aspek pekerjaan dan semua tempat kerja, termasuk sektor
kesehatan:
1. Isu Tempat Kerja
HIV/ AIDS adalah isu tempat kerja, karena dia mempengaruhi angkatan kerja,
dan karena tempat kerja dapat memainkan peran vital dalam membatasi
penularan dan dampak epideminya.
2. Non Diskriminasi
Tidak ada diskriminasi terhadap pekerja berdasarkan status HIV yang nyata atau
dicurigai.
3. Kesetaraan Gender
Hubungan gender yang lebih setara dan pemberdayaan wanita adalah penting
untuk mencegah penularan HIV dan membantu masyarakat mengelola
dampaknya
4. Lingkungan Kerja yang Sehat
Tempat kerja harus meminimalkan risiko pekerjaan, dan disesuaikan dengan
kesehatan dan kemampuan pekerja.
5. Dialog Sosial
Kebijakan dan program HIV/AIDS yang sukses membutuhkan kerjasama dan
saling percaya antara pengusaha, pekerja dan pemerintah
6. Tidak boleh melakukan skrining untuk tujuan rekrutmen
Tes HIV di tempat kerja harus dilaksanakan secara sukarela dan rahasia, tidak
boleh digunakan untuk menskrining pelamar atau pekerja.
7. Kerahasiaan
Akses kepada data perseorangan, termasuk status HIV pekerja, harus dibatasi
oleh aturan dan kerahasiaan.
8. Melanjutkan Hubungan Pekerjaan
Pekerja dengan penyakit yang berkaitan dengan HIV harus dibolehkan bekerja
dalam kondisi yang sesuai selama dia mampu secara medik.
9. Pencegahan
Mitra sosial mempunyai posisi yang unik untuk mempromosikan upaya
pencegahan melalui informasi, pendidikan dan dukungan bagi perubahan
perilaku.
10. Kepedulian dan dukungan
Pekerja berhak mendapat pelayanan kesehatan yang terjangkau.

Rapid Upper Limb Assessment (RULA)


merupakan suatu tool yang berbentuk survei untuk mengidentifikasikan
pekerjaan yang menyebabkan resiko cedera kumulatif (Cummulative Trauma
Disorders/CTD) melalui analisis postur, gaya, dan penggunaan otot. Tool ini merupakan
screening tool yang mendetail untuk menguji kecenderungan pekerja terhadap resiko
cedera pada postur, gaya, penggunaan otot, dan pergerakan pekerja pada saat
melakukan pekerjaannya. Hasil analisis akan mengindikasikan derajat kencenderungan
pekerja mangalami resiko tersebut dan menyediakan metode untuk prioritas kerja untuk
membantu dalam investigasi pekerjaan lebih lanjut. Tool ini tidak memberikan
rekomendasi yang spesifik terhadap modifikasi pekerjaan. Tool ini dirancang untuk
menjadi survey yang mudah digunakan dan cepat yang dapat menjawab keperluan
akan analisis yang lebih detail.
RULA merupakan alat untuk mngevaluasi faktor-faktor risiko postur, konstraksi
otot statis, gerakan repetitive, dan gaya yang digunakan untuk suatu pekerjaan tertentu.
Setiap faktor memiliki konstribusi masing-masing terhadap suatu nilai yang dihitung.
Nilai-nilai tersebut dijumlah dan diterapkan pada table untuk menentukan Grand Score.
Grand Score menunjukkan sejauh mana pekerja terpapar faktor-faktor risiko di atas dan
berdasarkan nilai tersebut, dapat disarankan tindakan yan perlu diambil.
APLIKASI
 Alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh
risiko
pekerja untuk terpengaruh oleh factor-faktor penyebab cedera,yaitu:
 Postur
 Kontraksi otot statis
 Gerakan repetitive
 Gaya
 Menentukan prioritas pekerjaan berdasarkan faktor risiko cedera. Hal ini
dilakukan
dengan membandingkan nilai tugas-tugas yang berbeda yang dievaluasi
menggunakan RULA.
 Menemukan tindakan yang paling efektif untuk pekerjaan yang memiliki risiko
relatif
tinggi. Analisis dapat menentukan kontribusi tiap faktor terhadap suatu pekerjaan
secara keseluruhan dengan cara melalui nilai tiap faktor risiko.
 Menemukan sejauh mana penngaruh suatu modifikasi atas pekerjaan.
Perbaikan secara kuantitatif dapat diukur dengan cara membandingkan
penilaian sebelum dan sesudah modifikasi diterapkan.

Rapid Entire Body Assessment (REBA)


Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam
bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau
postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator.
Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang
ditopang oleh tubuh serta aktifitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan. REBA
tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring
general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan
resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Hignett dan Mc Atamney, 2000).
Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan factor
coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian
postur kerja dengan metode ini dengan cara pemberian skor resiko antara satu
sampai lima belas, yang mana skor tertinggi menandakan level yang
mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini
berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari
ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang
beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin. REBA dikembangkan tanpa
membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam
melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa. biaya peralatan tambahan.
Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas tanpa menggangu
pekerja. Berikut ini adalah Range dan score Pergerakan Tubuh berdasarkan
metode REBA.

Anda mungkin juga menyukai