Anda di halaman 1dari 6

Nama : Ega Fitri

Nim : 191440108
Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah 1
Dosen Pengajar : Ns. Eny Erlinda W. M. Kep. Sp. Kep. MB

PEMETAAN DAN PENYEBARAN PENYAKIT HIV/AIDS DI SELURUH DUNIA,


MENCARI INFORMASI MENGENAI PROGRAM PEMERINTAHAN INDONESIA
DALAM RANGKA PENGOBATAN DAN PENANGGULANGAN MASALAH
HIV/AIDS DI DUNIA DAN INDONESIA

Pembahasan terkait asal-usul virus HIV merupakan pembahasan yang panjang hingga saat
ini. Pasalnya, kelompok-kelompok tertentu mulai menaruh interaksi geo-politik di dalam isu
ini.Tidak ada yang ingin negaranya disalahkan karena telah menjadi tempat penyebaran
pandemik AIDS pertama. Namun, kini sejumlah peneliti telah menghasilkan laporan tentang
rekam jejak sejarah HIV AIDS. Penyakit AIDS yang diakibatkan virus HIV adalah gangguan
kesehatan yang menjadi momok bagi siapa pun. Ini bukan hanya karena risiko kesehatan
yang harus dihadapi, tapi juga stigma negatif masyarakat yang diarahkan kepada pengidap
HIV/ AIDS sangat keliru. Penderita HIV/AIDS kerap diasosiasikan sebagai seseorang yang
memiliki lingkup pergaulan seksual bebas dan tidak sehat, misalnya tunasusila dan mereka
yang menggunakan jasanya. Padahal tidak selalu penderita HIV/AIDS merupakan seseorang
yang memiliki citra negatif, karena anak-anak yang masih polos pun bisa menjadi korban
virus ini. Berangkat dari pengertiannya, human immunodeficiency virus (HIV) adalah jenis
dari virus yang menyerang bagian imunitas tubuh seseorang, sehingga rentan terserang
berbagai macam penyakit. Sementara Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
akibat serangan HIV.

Berdasarkan data dari UNAIDS, terdapat 36,9 juta masyarakat berbagai negara hidup
bersama HIV dan AIDS pada 2017. Dari total penderita yang ada, 1,8 juta di antaranya
adalah anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Selebihnya adalah orang dewasa, sejumlah 35,1
juta penderita. Masih bersumber dari data tersebut, penderita HIV/AIDS lebih banyak
diderita oleh kaum wanita, yakni sebanyak 18,2 juta penderita. Sementara laki-laki sebanyak
16,9 juta penderita.
Indonesia menjadi salah satu negara yang termasuk dalam Kawasan Asia Pasifik. Kawasan
ini menduduki peringkat ketiga sebagai wilayah dengan pengidap HIV/AIDS terbanyak di
seluruh dunia dengan total penderita sebanyak 5,2 juta jiwa. Indonesia menyumbang angka
620.000 dari total 5,2 juta jiwa di Asia Pasifik yang terjangkit HIV/AIDS. Jika
dikelompokkan berdasarkan latar belakangnya, penderita HIV/AIDS datang dari kalangan
pekerja seks komersial (5,3 persen), homoseksual (25,8 persen), pengguna narkoba suntik
(28,76 persen), transgender (24,8 persen), dan mereka yang ada di tahanan (2,6 persen).
Penderita HIV/AIDS terbanyak terdapat di Kawasan Afrika Timur dan Selatan dengan angka
mencapai 19,6 juta penderita.

Ditahun 2007 KPAN kembali menyusun Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) untuk
menanggulangi epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Melalui SRAN 2007-2010 ini
diharapkan adanya kerangka kerja sama, tujuan umum dan tujuan khusus untuk
penanggulangan yang komprehensif, namun memberikan peluang untuk penyusunan rencana
aksi daerah dan mobilisasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-
masing daerah.

Dana yang dipakai dalam implementasi SRAN bersumber dari DKIA/IPF, dukungan
AusAID, dan Global Fund. Beberapa area prioritas penanggulangan HIV dan AIDS untuk
tahun 2007-2010 antara lain adalah: Pencegahan HIV dan AIDS; Perawatan, Pengobatan dan
Dukungan kepada ODHA; Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular Seksual;
Penelitian dan riset operasional; Lingkungan Kondusif; Koordinasi dan harmonisasi
multipihak; dan Kesinambungan penanggulangan.

Strategi yang dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang nyata efektif dan menguji
coba cara-cara baru
2. Meningkatkan dan memperkuat sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan untuk
mengantisipasi peningkatan jumlah ODHA yang memerlukan akses perawatan dan
pengobatan
3. Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan mereka yang terlibat dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di pusat dan di daerah melalui
pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan
4. Meningkatkan survei dan penelitian untuk memperoleh data bagi pengembangan
program penanggulangan HIV dan AIDS
5. Memberdayakan individu, keluarga dan komunitas dalam pencegahan HIV
dilingkungannya
6. Meningkatkan kapasitas nasional untuk menyelenggarakan monitoring dan evaluasi
penanggulangan HIV dan AIDS
7. Memobilisasi sumberdaya dan mengharmonisasikan pemamfaatannya disemua
tingkatvii.

Pada tahun 2009 terdapat berbagai perkembangan penting dalam pemerintahan, misalnya
berlangsungnya pemilihan umum nasional yang berimplikasi terhadap komitmen
penanggulangan HIV dan AIDS ditingkat nasional, yang dapat dilihat dari pembentukan
kabinet baru termasuk Menteri Koordinator baru untuk Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, dan tersusunnya Rencana Pembangunan Jangkah
Menengah Nasional tahun 2010-2014. Perubahan ini mengharuskan percepatan proses
perumusan SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS yang baru untuk tahun 2010-2014,
meskipun laporan evaluasi SRAN sebelumnya (2007-2010) belum lengkap, sehingga tahun
terakhir dalam SRAN 2007-2010 menjadi tahun pertama bagi SRAN 2010-2014.

Di tahun 2010, KPAN mengeluarkan Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) 2010-
2014 memberikan kerangka kerja sama, tujuan umum dan tujuan khusus untuk
penanggulangan yang komprehensif, namun memberikan peluang untuk penyusunan rencana
aksi daerah dan mobilisasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masing-
masing daerah.

Beberapa bentuk kebijakan untuk penguatan KPA Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota yang


dikeluarkan ditahun 2007 antara lain adalah (1) Permenkokesra
No.3/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Susunan, Tugas dan Keanggotaan KPA
Nasional, (2) Permenkokesra No.4/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Pedoman dan
Tata Kerja KPA Nasional, Prov & Kab/Kota, (3) Permenkokesra
No.5/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KPA
Nasional, dan (4) Permenkokesra No.6/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Tim
Pelaksana KPA Nasional. Kebijakan terkait lain ditetapkan untuk menggerakkan Program
Pencegahan dan Penanggulangan AIDS antara lain (1) Permendagri No.20/2007 mengenai
Pedoman Umum Pembentukan KPA Daerah, (2) Permenkokesra
No.2/PER/MENKO/KESRA/I/2007 mengenai Kebijakan Penanggulangan AIDS melalui
Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik, dan
(3) Permenkokesra No.7/PER/MENKO/KESRA/III/2007 mengenai Strategi Nasional
Penanggulangan AIDS Tahun 2007-2010.

Permendagri nomor 20 tahun 2007 memberikan pedoman untuk pembentukan KPA di daerah
serta pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi HIV dan AIDS, yang mana
pengembangan sistem KPA disemua tingkatan ialah untuk memimpin dan mengelola, serta
mengkoordinasikan upaya penanggulangan HIV DAN AIDS. Permenkokesra nomor 2 tahun
2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan
Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik, bertujuan untuk mengurangi dampak buruk
penggunaan napza suntik melalui pendekatan kesehatan masyarakat yang bertujuan
mencegah penyebaran HIV di kalangan penasun dan pasangannya, serta mencegah
penyebaran HIV dari penasun dan pasangannya ke masyarakat luas. Dalam pelaksanaan
regulasi tersebut dibutuhkan adanya kerja sama antara Sekretariat KPAN, POLRI, Kemkes,
BNN, dan Kementerian Sosial untuk meluncurkan kampanye yang intensif dengan advokasi,
pelatihan, kebijakan dan panduan untuk pengintegrasian Layanan Alat Suntik Steril (LASS)
dan Program Terapi Rumatan Methadon (PTRM) ke dalam sistem kesehatan masyarakat
(puskesmas, klinik dan RS).

Tahun 2007 merupakan waktu disahkannya banyak peraturan daerah terkait penanggulangan
HIV DAN AIDS, yaitu (1) Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 15 Tahun 2007
tentang Penanggulangan HIV DAN AIDS, (2) Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 06
Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV DAN AIDS, (3) Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Timur nomor 05 tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV DAN AIDS dan Infeksi Menular Seksual, dan (4) Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan
Riau nomor 15 tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV DAN AIDS Dan
IMS di Provinsi Kepulauan Riau. Dalam Strategi dan Rencana Aksi Daerah (SRAD) Provinsi
Jawa Barat fokus pada upaya harm reduction pada pengguna jarum suntik dan pada upaya
preventif HIV melalui transmisi seksual. Kebijakan dan program harm reduction ini
didasarkan pada Permenkokesra nomor 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza
Suntik.
Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan untuk merespon kasus HIV dan
AIDS di penjara pada tahun 2008, meski dalam pelaksanaannya program HIV DAN AIDS di
penjara sudah terimplementasi sejak 2007. Pada akhir tahun 2008 sebanyak 49.000 penasun
telah memanfaatkan layanan NSP setara 67% dari target cakupan 2008. Adapun kebijakan
mendukung program ini meliputi: (1) Pedoman tentang penganggaran tingkat lokal untuk
penanggulangan HIV dan AIDS oleh Departemen Dalam Negeri; (2) Strategi Nasional untuk
merespon HIV DAN AIDS dan penyalahgunaan narkoba di penjara dan rumah tahanan
(Rutan); (3) penguatan sistem dan penyediaan layanan klinis HIV DAN AIDS di Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan Rutan; (4) Pedoman Teknis Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan HIV DAN AIDS berbasis penjara; (5) Standard Operational Procedure (SOP)
Layanan Metadon di Lapas dan Rutan; dan (5) Surat Edaran Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan tentang monitoring dan evaluasi HIV dan AIDS di Lapas dan Rutan.

Adanya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mau tidak mau
beimplikasi terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia. Seperti yang dijelaskan dalam
Pasal 2 ayat 2 dan UU No 32 tahun 2004 bahwa : Pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006, Peraturan Presiden
No. 75 tahun 2006 disahkan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan
AIDS yang lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi, KPA berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada presiden. KPA mempunya 6 tugas yang disebutkan dalam Perpres
ini, mulai dari tugas menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional, pedoman umum
pencegahan, meneptapkan langkah-langkah strategis, mengkoordinasikan, melakukan
penyebarluasan informasi, melakukan kerjasama regional dan internsional,
mengkoordinasikan pengolahan datadan informasi, mengendalikan, memantaau dan
mengevaluasi, serta memberikan pengarahan pada KPAP dan KPAKab/kota . Hal yang
menarik dari peraturan ini adalah penjelasan tugas KPA dan tidak ada penjelasan Tanggung
Jawab KPA. Dari sesi pembiayaan kegiatan KPA, KPAP, KPAKab/Kota dibebankan pada
APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/kota.

Permenkokesra No. 5/Kep/Menko/Kesra/III/ 2007 tentang organisasi dan tatakerja sekretariat


KPAN yang menetapkan masa jabatan sekretaris KPAN selama 5 tahun dan selanjutnya
dapat diangkat kembali untuk satukali masa jabatan. Berbeda dengan kepengurusan KPA
sebelumnya, pada priode ini KPA N banyak melakukan kegiatan dan pendanaan dari luar
negeri dikoordinir oleh KPA, sehingga posisi KPA sangat “kuat”, bahkan fungsinya sebagai
lembaga koordinator seolah berubah menjadi lembaga teknis. Dr Nafsiah Ben
Mboi,SpA,MPH kembali lagi diangkat (untuk kedua kalinya) menjadi Sekretariat Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) periode 13 Juli 2011 sampai 12 Juli 2016.

Untuk taingkat Daerah, ada Peraturan yang dikeluarkan, Perda HIV/AIDS yang pertama
disahkan oleh DPRD Jawa Timur pada tanggal 23 Agustus 2004. Perda ini mencantumkan
tentang penggunaan kondom 100% dan alat suntik steril dilingkungan kelompok prilaku yang
berisiko. Dalam prosesnya pembuatan perda ini disiapkan oleh Masyarakat Peduli AIDS
(MPA), empat tahun sebelum perda disahkan . Beberapa studi mengkaji perda di tingkat
Provinsi menyimpulkan; Untuk tingkat Provinsi misalnya, Kebijakan Program HIV/AIDS di
Jogja (Latief MS, 2005). Kepedulian/keterlibatan DPRD lebih bersifat individuil, belum
kelembagaan, HIV/AIDS belum menjadi prioritas DPRD (TBC dan DBD), Belum ada
kebijakan tegas (perda), Renstrada DIY 2004-2008 tidak menyentuh HIV/AIDS, Dorongan
lebih banyak dari pemerintah pusat. Pada level Kabupaten dapat dilihat laporan Isna (2005)
yang menyatakan bahwa kebijakan Program HIV/AIDS di Banyumas yang menunjukkan
inkonsistensi Propeda, renstra dinkes, rencana penanggulangan HIV/AIDS. Renstra dinkes
lebih merupakan dokumen administratif, penyusunan elitis dan kurang matang Beberapa
kegiatan dalam rencana penanggulangan tidak dilaksanakan Dinkes lebih mementingkan
menjaga citra daerah. Hal yang menarik perlu dicatat bahwa Panduan Penyusunan Peraturan
Daerah Penanggulangan HIV/AIDS diterbitkan oleh KPAN tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai