Anda di halaman 1dari 7

MENGENANG RADEN ARIA WIRJAATMAJA, SANG PAHLAWAN

PERBANKAN

OLEH:
AVINDA DWI PURNAMASARI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2019
Raden Arya Wiryaatmaja adalah Patih Kabupaten Purwokerto. Namanya terus
berkibar dan bersinar sehingga dikenang orang hingga jaman kita sekarang ini. Dia
adalah seorang tokoh dengan menyandang banyak nama pujian. Seorang perintis,
pelopor, pembaharu, birokrat professional, sampai seorang budayawan dengan
kualitas pujangga. Namun, di antara nama besar yang disandangnya, Patih Kabupaten
Purwokerto di penghujung abad ke-19 M dan di awal abad ke-20 M itu sangat
termashur sebagai perintis lumbung desa, rumah gadai, dan Bank Perkreditan Rakyat
di daerah Lembah Serayu, Banyumas.
Kepeloporannya dalam perintisan Bank Rakyat menyebabkan sosok Patih
Kabupaten Purwokerto itu diabadikan dalam bentuk patung di samping Gedung
Musium Bank Rakyat Indonesia di Kota Purwokerto. Memang Bank Rakyat yang
dirintis Patih Raden Arya Wiryaatmaja bersama-sama Wakil Residen Banyumas pada
tahun 1895 M itu menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sekarang
telah menjadi salah satu bank dengan asset papan atas dari bank-bank BUMN yang
beroperasi di tanah air kita. Tahun 2014 total asset BRI mampu menembus angka
Rp778 triyun.
Kisah Patih Raden Arya Wiryaatmaja menjadi perintis berdirinya Bank
Rakyat di Purwokerto itu sangat populer sehingga nyaris telah menjadi semacam
legenda yang dengan mudah diingat oleh memori publik.
Wiryaatmaja sendiri lahir pada bulan Agustus 1831, bertepatan dengan proses
pembentukan Karesidenan Banyumas sesudah daerah mancanegara barat dari Kraton
Surakarta itu diambil alih Pemerintah Hindia Belanda sebagai ganti ongkos
memadamkan Perang Diponegoro ( 1825 – 1830 M), yang berakhir dengan
kemenangan Belanda dengan koalisinya. Pada usia 21 tahun, Wiryaatmaja diangkat
menjadi juru tulis seorang controlir Belanda di Banjar. Tiga tahun kemudian dia
diangkat jadi mantri polisi di Bawang distrik Singamerta. Karirnya terus menanjak,
sehingga tahun 1873, dia sudah menduduki jabatan kursi wedana asal istrinya, yakni
Wedana Adireja setelah sebelumnya selama tujuh tahun jadi Wakil Wedana Batur.
Tahun 1875 dia dipindahkan menjadi Wedana Banyumas. Tetapi empat tahun
kemudian, tahun 1879 M, Wiryaatmaja sudah menduduki jabatan puncak, yakni
diangkat Pemerintah Hindia Belanda sebagai Patih Kabupaten Purwokerto ( 1879 -
1907 M).
Alkisah pada suatu ketika pada tahun 1894, Patih Arya Wiryaatmaja
menghadiri undangan pesta khitanan seorang guru. Tentu bagi guru tersebut
merupakan suatu kehormatan besar bisa didatangi oleh Kanjeng Patih. Tidak
disebutkan apakah Sang Bupati Kanjeng Purwokerto juga diundang dan hadir dalam
acara hajatan anak lelaki kesayangan guru tersebut. Tetapi yang membuat Sang Patih
terhenyak dan bertanya-tanya selama hadir dalam acara itu adalah dari mana guru itu
memperoleh biaya untuk bisa menyelenggarakan pesta yang begitu meriah. Gaji
seorang guru gubernemen pada saat itu hanyalah sekitar 75 gulden/bulan. Sedang gaji
seorang mantri guru sekitar 150 gulden per bulan.
Penasaran dengan teka-teki itu, Sang Patih mencoba melakukan penyelidikan.
Beberapa hari setelah selesai hajatan, guru tadi dipanggil. Ternyata hasil investigasi
Sang Patih membuat dirinya terhenyak. Guru itu ternyata mendapatkan biaya untuk
menyelenggarakan perayaan hajatan dengan cara meminjam kepada seorang rentenir
China dengan bunga sangat tinggi. Sang Patih pun menduga pastilah banyak para
pegawai gubernemen yang terjerat menjadi mangsa lintah darat sehingga bernasib
malang seperti guru itu.
Akhirnya Sang Patih memberikan solusi. Ditawarkannya pinjaman dengan
bunga rendah guna melunasi hutang guru tersebut. Jangka waktu pelunasannya pun
cukup panjang, yakni 20 bulan, sehingga cicilan bulanannya sangat ringan dan
terjangkau oleh kemampuan gajih sang guru.
Dengan senang hati guru itu menyutujui tawaran Sang Patih. Patih
Wirjaatmadja pun menggunakan uang pribadinya untuk melunasi hutang guru
tersebut, sehingga hutangnya beralih kepada Sang Patih. Dengan uluran tangan ini,
guru itu pun terbebas dari jeratan rentenir.
Patih Wirjaatmaadja menduga tidak hanya guru tersebut yang terjerat hutang
rentenir dan Sang Patih yang berhati mulia itu berniat tidak ingin hanya menolong
guru itu saja. Memang setelah melakukan penelitian secara seksama, terlihat fakta
memprihatinkan. Banyak di antara pejabat pangreh praja dan pegawai negeri Pribumi
terlibat hutang dengan bunga tinggi dan menghadapi kesulitan dalam
pengangsurannya.
Kebetulan Sang Patih adalah aktivis masjid. Dia dikenal sebagai ahli
keuangan yang cakap. Maka Patih Wirjaatmadja pun mendapat kepercayaan untuk
mengelola uang kas masjid dengan jumlah mencapai 4000 gulden. Bayangkan, gajih
seorang bupati saat itu sekitar 1000 gulden. Dengan gambaran itu, dapat disimpulkan
bahwa masjid yang dikelola Sang Patih itu cukup makmur.
Dengan terlebih dahulu minta ijin atasannya, Patih Wirjaatmadja memperluas
penggunaan kas masjid itu untuk dipinjamkan kepada para pegawai negeri, para
petani, dan tukang yang terjerat hutang. Selanjutnya untuk menampung angsuran dari
para peminjam uang kas masjid itu, Patih Wirjaatmadja membentuk lembaga
semacam bank yang diberi nama " DE POERWOKERTOSCHE HULPEN
SPAARBANK DER INLANDSCHE HOOFDEN " (Bank Bantuan dan Simpanan
Milik Pribumi Purwokerto).
Dengan demikian gagasan Patih Wirjaatmadja menggunakan dana talangan
uang pribadi dan kas masjid untuk dipinjamkan dengan angsuran bunga ringan
tersebut, pelan-pelan berkembang menjadi aktivitas semacam kegiatan perbankan.
Yakni aktivitas membantu pembiayaan bagi rakyat pribumi yang memerlukannya.
Secara tidak sadar, Sang Patih telah mengawali dan merintis kegiatan awal "Bank
Perkreditan Rakyat" Hindia Belanda.
Atasan Sang Patih yang khawatir penggunaan uang kas masjid akan
menimbulkan protes dari para ulama dan pemuka agama daerah Banyumas, misalnya
dengan alasan uang kas masjid hanya boleh digunakan untuk kepentingan masjid,
dengan cekatan segera turun tangan. Dikeluarkan Surat Perintah tanggal 21 April
1894 agar Sang Patih secepatnya mengembalikan uang kas masjid tersebut.
Namun atasan Sang Patih, seorang Belanda yang memiliki pandangan maju
yang telah terpengaruh gagasan dan ide-ide pencerahan. Dia dapat memahami
maksud dan tujuan baik Sang Patih, kecakapan dan juga kejujurannya, sehingga dia
segera turun tangan untuk menyelamatkan proyek rintisan Sang Patih. Akhirnya
setelah konsultasi dengan Tuan Residen, dia menyebarkan surat edaran untuk
mengumpulkan "dana penolong" guna menyelamatkan proyek Sang Patih. Ternyata
surat edaran itu mendapat sambutan luar biasa. Bukan hanya kaum birokrat pribumi
saja yang berpartisipasi. Orang Eropa yang duduk dalam Pemerintahan Hindia
Belanda, banyak juga yang ikut berpartisipasi. Akhirnya dalam waktu singkat dapat
terkumpullah dana lebih dari 4000 gulden.
Dana itu segera digunakan untuk mengembalikan kas masjid. Kemudian sisa
dana yang terkumpul dari masyarakat Purwokerto itu, termasuk sumbangan orang-
orang Eropa, dimanfaatkan untuk meneruskan "kegiatan bank" yang telah dirintis
oleh Patih Wirjaatmadja. Dengan modal dana itu, ditambah uang hasil angsuran para
peminjam uang kas masjid, maka pada tanggal 16 Desember 1895, didirikanlah
secara resmi bank perkreditan rakyat pertama di Hindia Belanda dengan nama
“HULP EN SPAARBANK DER INLANDSCHE BESTUURS AMBTENAREN
"(Bank Bantuan dan Simpinan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan
Pribumi).
Bank tersebut kemudian berkembang manjadi cikal bakal Bank Rakyat
Indonesia (BRI), dan tanggal 16 Desember 1895 dijadikan sebagai hari kelahiran
BRI. Atas jasa-jasanya tersebut di atas, maka Patih Wirjaatmadja dikenal sebagai
"Bapak Perkreditan Rakyat". Tanggal 16 Desember 2015 ini, genap BRI berusia 120
tahun. Dirgayahu 120 tahun BRI, yang dilahirkan hasil kreatifitas Wong Banyumas
tempo doeloe, Raden Arya Wiryaatmaja, Patih Kabupaten Purwokerto.
Demikianlah Patih Raden Arya Wiryaatmaja, dikenang dengan manis setiap
tanggal 16 Desember, sebagai perintis dan pionir bank perkreditan rakyat. Patih
Wirjaatmadja memasuki masa pensiun setelah selama lebih dari 50 tahun
menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada pemerintah secara patuh dan jujur.
Pada usia enam puluh tahun dia dianugrahi sebutan "Rangga" dan kemudian "Raden
Arya".
Sedangkan di kalangan masyarakat luas ia dikenal dengan sebutan "Kyai
Patih". Dalam perkembangan selanjutnya, berkat jasa-jasa Patih Wirjaatdadja di
bidang perkoperasian, pada tahun 1989 Patih Raden Arya Wiryaatmaja mendapat
penghargaan "HATTA NUGRAHA" dari DEKOPIN besama-sama dengan tokoh
koperasi lainnya yaitu Margono Djojohadikoesoemo.
DAFTAR PUSTAKA:
http://eprints.ums.ac.id/49892/3/BAB%20I.pdf (Diakses pada 5 Agustus 2019).

https://www-kompasiana-
com.cdn.ampproject.org/v/s/www.kompasiana.com/amp/anklbrat/mengenang-
patih-r-arya-wiryaatmaja1879-1907-m-bapak-bank-
rakyat_5665c3a0939373150b9cb366?
usqp=mq331AQMmAGZ4MixwMGhp8EB&amp_js_v=a2&amp_gsa=1#referr
er=https://www.google.com (Diakses pada 5 Agustus 2019).

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Raden_Bei_Aria_Wirjaatmadja (Diakses pada 5


Agustus 2019).

https://amp-timesindonesia-co-
id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.timesindonesia.co.id/read/128490/20160712/0
93712/mengenal-arja-wiraatmadja-pencetus-koperasi-dari-purwokerto/?
amp_js_v=a2&amp_gsa=1&usqp=mq331AQA#referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s (Diakses pada 5
Agustus 2019).

Anda mungkin juga menyukai