MAKALAH
Oleh
Kelompok 4
MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal dengan dosen
pengampu: Ns. Mulia Hakam, M.Kep., Sp.Kep.MB.
Oleh:
Kelompok 4
Amanda Rizky F NIM 152310101102
Husnita Faradiba NIM 152310101106
Rohmatun Nazila NIM 152310101111
Qothrun Nada Arifin NIM 152310101214
Hendra Pranata NIM 152310101216
Larasati Setyo P NIM 152310101218
Nunung Ratna Sari NIM 152310101219
Alvin Ferdian P NIM 152310101224
Firmanditya Ayu F NIM 152310101250
Widya Ningtyas NIM 152310101305
Efi Kusdian NIM 152310101308
Siti Amallia NIM 152310101349
Kelas D
ii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan YME yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Ulkus
Peptikum”. Penulisan makalah ini bertujuan untuk melakukan pengkajian lebih
dalam mengenai konsep dasar penyakit ulkus peptikum dan asuhan keperawatan
pada klien dengan ulkus peptikum.
Makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan serta motivasi dari berbagai
pihak. Sebab demikian tak lupa penulis haturkan ucapan terima kasih kepada:
1. Ns. Mulia Hakam, M.Kep.,Sp.Kep.MB. selaku dosen pengampu mata
kuliah Keperawatan Medikal sekaligus pembimbing dalam penyusunan
makalah ini.
2. Kedua orang tua dan semua pihak yang telah bekerjasama serta
mendukung realisasi makalah ini.
3. teman-teman yang telah memberi dorongan dan semangat;
4. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam proses
kegiatan belajar mengajar untuk semua kalangan. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik
dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ii
PRAKATA iii
DAFTAR ISI iv
BAB I. PENDAHULUAN 6
2.2 Definisi 15
2.3 Epidemiologi 16
2.4 Etiologi 17
2.5 Klasifikasi 18
2.6 Patofisiologi 20
iv
BAB III. APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN 40
3.2 Pengkajian 40
3.4 Pathway 53
4.1 Kesimpulan 64
4.2 Saran 64
DAFTAR PUSTAKA 65
v
BAB I. PENDAHULUAN
6
ditemukan prevalensi ulkus duodenum sebanyak 14% dan ulkus duodenum
disertai dengan ulkus gaster sebanyak 5%. Umur terbanyak yaitu antara umur 45-
65 tahun dengan kecenderungan semakin tua umur, prevalensi semakin meningkat
dengan didominasi pria lebih banyak dibandingkan dengan wanita.
7
1.3.3 Bagi Intitusi Pelayanan Kesehatan
Tenaga kesehatan khususnya perawat dapat menjadikan makalah
ini sebagai referensi untuk menambah wawasan mengenai konsep
dasar ulkus peptikum dan asuhan keperawatan pada klien dengan
ulkus peptikum, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan ulkus peptikum.
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
9
Menurut Syarifuddin, 2011 secara garis besar lambung memiliki struktur
dinding yang sejenis dengan usus halus dan sebagian besar organ pencernaan
lainnya. Struktur lambung disusun oleh 4 dinding berikut (dari luar ke dalam):
1. Lapisan Serosa
Merupakan lapisan terluar yang berfungsi sebagai pelindung perut. Sel
yang terdapat pada lapisan ini dapat memproduksi sejenis cairan yang akan
mengurangi gaya gesekan antar lambung dengan organ pencernaan lainnya.
2. Lapisan Otot / Muscularis
Lapisan otot pada lambung merupakan lapisan otot polos yang bekerja
tanpa kita sadari. Terdapat 3 jenis serabut otot, yaitu serabut otot memanjang,
melingkar dan menyerong. Kombinasi dari kontraksi ketiga jenis otot ini
akan menghasilkan gerakan peristaltik lambung yang berfungsi untuk
memecah makanan serta membawanya ke organ pencernaan selanjutnya dan
akan membuat makanan yang ada di lambung di aduk-aduk.
3. Lapisan Submukosa
Berupa lapisan jaringan ikat longgar yang berisi pembuluh darah, limfe,
saraf dan kelenjar lendir. Pembuluh darah di lapisan submukosa lambung
memegang peranan penting dalam mengedarkan makanan yang diserap.
4. Lapisan Mukosa
Lapisan mukosa disusun oleh sel yang bertugas dalam proses sekresi.
Lapisan mukosa berfungsi untuk mengeluarkan berbagai jenis cairan seperti
enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan mukosa berbentuk seperti
palung. Bentuk tersebut bermanfaat untuk memperbesar perbandingan antara
luas dan volume, sehingga volume getah lambung yag dikeluarkan menjadi
lebih banyak. Pada lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang bermanfaaat
dalam proses pencernaan , yaitu :
Sel goblet, berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir yang menjaga
lapisan dalam tidak rusak. Mucus adalah lendir yang berguna untuk
menjaga lapisan terluar dari sel lambung agar tidak terluka dan mengalami
kerusakan bila terkena dari beberapa jenis-jenis enzim seperti enzim
pepsin dan juga asam lambung.
10
Sel Parietal, berfungsi untuk menghasilkan asam lambung dan berperan
untuk mengaktifkan enzim pepsin. Sel parietal dapat menghasilkan asam
lambung dan membuat lambung memiliki tingkat keasaman mencapai pH
2.
11
akan memproduksi gastrin yang akan melapisi gaster. Tidak hanya itu, sel mukus
juga akn memproduksi HCO3- dan pepsinogen. Mukus dan HCO3- akan
memproteksi mukosa gaster dan menetralisir asam lambung.
Sel-sel kelenjar mukosa terdapat di kantong lambung (gastric pits), yaitu
suatu invaginasi atau kantung pada permukaan luminal lambung. Variasi sel
sekretori yang melapisi invaginasi ini beberapa diantaranya adalah eksokrin,
endokrin, dan parakrin (Sherwood, 2010). Ada tiga jenis sel tipe eksokrin yang
ditemukan di dinding kantung dan kelenjar oksintik mukosa lambung yaitu :
1. Sel mukus yang melapisi kantung lambung, yang menyekresikan mukus yang
encer.
2. Bagian yang paling dalam dilapisi oleh sel utama (chief cell) dan sel parietal.
Sel utama menyekresikan prekursor enzim pepsinogen.
3. Sel parietal (oksintik) mengeluarkan HCl dan faktor intrinsik. Oksintik
artinya tajam, yang mengacu kepada kemampuan sel ini untuk menghasilkan
keadaan yang sangat asam
Semua sekresi eksokrin ini dikeluarkan ke lumen lambung dan mereka
berperan dalam membentuk getah lambung (gastric juice )(Sherwood, 2010). Sel
mukus cepat membelah dan berfungsi sebagai sel induk bagi semua sel baru di
mukosa lambung. Sel-sel anak yang dihasilkan dari pembelahan sel akan
bermigrasi ke luar kantung untuk menjadi sel epitel permukaan atau
berdiferensiasi ke bawah untuk menjadi sel utama atau sel parietal. Melalui
aktivitas ini, seluruh mukosa lambung diganti setiap tiga hari (Sherwood, 2010).
Kantung-kantung lambung pada daerah kelenjar pilorik terutama
mengeluarkan mukus dan sejumlah kecil pepsinogen, yang berbeda dengan
mukosa oksintik. Sel-sel di daerah kelenjar pilorik ini jenis selnya adalah sel
parakrin atau endokrin. Sel-sel tersebut adalah sel enterokromafin yang
menghasilkan histamin, sel G yang menghasilkan gastrin, sel D menghasilkan
somatostatin. Histamin yang dikeluarkan berperan sebagai stimulus untuk sekresi
asetilkolin, dan gastrin. Sel G yang dihasilkan berperan sebagai stimuli sekresi
produk protein dan sekresi asetilkolin. Sel D berperan sebagai stimuli asam
(Sherwood, 2010).
12
Gambar 2.1.1 Potongan lambung (Junqueira et al., 2007).
13
kardia tubular simpleks atau bercabang. Bagian terminal kelenjar ini banyak
sekali bergelung dan sering dengan lumen lebar. Hampir semua sel sekresi
menghasilkan mucus dan lisozim, tetapi terlihat beberapa sel parietal (yang
menghasilkan HCL). Struktur kelenjar ini serupa dengan kelenjar kardia
bagian akhir esofagus
3. Fundus dan korpus
Lamina propria di daerah ini terisi kelenjar lambung. Penyebaran sel-sel
epitel pada kelenjar lambung tidak merata. Bagian leher terdiri atas sel-sel
pra kembang dan sel mukosa leher, sedangkan bagian dasar kelenjar
mengandung sel parietal (oksitik), sel zimogen (chief cell) dan sel
enteroendokrin. Sel parietal berupa sel bulat atau berbentuk piramid, dengan
satu inti bulat ditengah, dengan sitoplasma yang sangat eosinofilik dan
membentuk kanalikulus intraseluler
4. Pilorus
Kelenjar pilorus lambung adalah kelenjar mukosa tubular bercabang atau
bergelung. Kelenjar ini mengeluarkan mukus dan cukup banyak lisozim. Sel
gastrin (G) yang melepaskan gastrin, tersebar diantara sel-sel mukosa dari
kelenjar pilorus. Gastrin yang merangsang pengeluaran asam oleh sel
parietal dari kelenjar lambung. Sel enteroendokrin lain (sel D)
mengeluarkan somatostatin yang menghambat pelepasan hormon lain
termasuk gastrin.
14
2.2 Definisi
Menrut Baughman, D & Hackly, J, 2000, ulkus Perptikum adalah suatu
peronggaan yang dibentuk dalam dinding mukosa lambung, pylorus, duodenum
atau esophagus. Kondisi ini sering kali di acu sebagai ulkus gastrikum, duodenal
atau esophagus, tergantung pada letaknya. Disebabkan oleh erosi area yang
mengelilingi membrane mukosa. Ulkus peptikum lebih sering pada duodenum
ketimbang lambung. Ulkus peptikum hanya terjadi area traktus gastrointestinal
yang terpajan oleh asam hidro-klorida dan pepsin.
Ulkus peptikum (peptic ulcer disease) adalah lesi pada lambung atau
duodenum yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor agresif (sekresi
asam lambung, pepsin, dan infeksi bakteri Helicobacter pylori) dengan faktor
pelindung mukosa (produksi prostagladin, gastric mucus, bikarbonat, dan aliran
darah mukosa) (Berardi &Lynda, 2005; Tas et al, 2015 dalam Setiawan 2016).
Ulkus peptikum adalah suatu defek mukosa atau submukosa yang terbatas
tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga terjadi
peroferasi. Secara klinis suatu tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau
lapisan lebih dalam dengan diameter lebih dari atau sama dengan 5 mm yang
dapat diamati secara endoskopis atau radiologis (H.A.M. Akil, 2006 dalam
Priyanta, A & Lestari, S, 2008)
Ulkus peptikum terjadi ketika lapisan organ-organ ini terkorosi oleh cairan
pencernaan asam (peptik) yang disekresikan oleh sel-sel perut. Ulkus peptik
berbeda dari erosi karena meluas lebih dalam ke lapisan esofagus, perut, atau
duodenum dan menghasut lebih banyak reaksi peradangan dari jaringan yang
terlibat. Ulkus peptik juga disebut sebagai penyakit tukak lambung (Marks, J,
2016) .
15
Sumber: http://www.medicinenet.com/peptic_ulcer/article.htm
Gambar 2.1 Ulkus Peptikum
2.3 Epidemiologi
Penderita tukak lambung biasanya lebih sering terdapat pada kelompok
sosial ekonomi yang lebih rendah dibanding dengan penderita tukak duodeni di
Inggris. Faktor makan yang tidak teratur, beragam-ragam makanan dan alkohol.
Wanita hamil agak terlindungi terhadap kejadian tukak karena faktor perbaikan
regenerasi sel mukosa dianggap tidak seberapa penting sebagai penyebab penyakit
tukak peptik (Tarigan, 1990). Tukak gaster dijumpai sama banyak pada pria dan
wanita, sering pada usia lanjut dan kelompok sosial ekonomi rendah, insidensi
tukak gaster di Britania Raya sekitar 6-20% penduduk menderita tukak pada usia
55 tahun, sedang prevalensinya 2-4%. Secara klinis tukak duodeni lebih sering
dijumpai daripada tukak gaster (Tarigan, 2001).
Prevalensi kemunculan ulkus peptikum berpindah dari yang predominan
pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Prevalensi berkisar
11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita. Sedangkan kaitan dengan usia,
jumlah kemunculan ulkus mengalami penurunan pada pria usia muda, khususnya
untuk ulkus duodenum, dan jumlah meningkat pada wanita usia tua. (Anand,
2012)
16
2.4 Etiologi
Lambung sebenarnya terlindungi oleh lapisan mukus, tetapi oleh beberapa
faktor iritan seperti makanan, minuman dan obat-obatan antiinflamasi non steroid
(AINS), alkohol, stress dan empedu yang dapat menimbulkan efek lapisan
mukosa dan terjadi difusi balik ion H+ sehingga timbul gastritis akut atau kronik
atau tukak gaster (Tarigan, 2001). Ulkus peptikum adalah sekelompok ulkus pada
saluran cerna, disebabkan keadaan ketidakseimbangan asam-pepsin. Dapat pula
timbul bila aktivitas proteolitik getah lambung melebihi kesanggupan proteksi
sekret tersebut (Tambayong, 2000).
17
Kelebihan sekresi dari asam ini dapat mengiritasi mukosa dan menjadi
ulkus.
5. Tumor (kanker, lymphoma)
6. Perokok berat
Merokok yang meningkatkan risiko mengalami tukak lambung bagi orang
yang terinfeksi bakteri pylori
7. Pengguna alkohol
Menggunakan alkohol dalam jumlah banyak atau dalam konsentrasi
tinggi akan merusak mukosa dan menyebabkan ulkus. Mengonsumsi
minuman beralkohol yang dapat menipiskan selaput pelindung dinding
lambung.
8. Stres fisiologik, seperti trauma multipel, sepsis, stres emosional
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi Ulkus Peptikum yang sering digunakan dibuat oleh Schuster
dan Gross (1963) yaitu ulkus peptikum primer dan sekunder. Ulkus peptikum
primer adalah ulkus yang terjadinya terutama dipengaruhi langsung oleh sekresi
asam lambung dan pepsin yang berlebihan. (Hassall E 1996. Dodge JA, 1993)
1. Ulkus peptikum primer dapat bersifat akut dan kronis, dibedakan
berdasarkan pemeriksaan histologi. Ulkus peptikum primer akut
menunjukkan gambaran proses erosi dengan tepi tajam, tidak ada kongesti,
hanya dijumpai tanda inflamasi minimal di sekitar ulkus dan dalam
penyembuhannya tidak disertai fibrosis. Pada ulkus peptikum primer
kronis ditemukan jaringan nekrotik dengan dasar eksudat fibropurulen dan
jaringan granulasi vaskular dengan pembentukan fibrosis. Pada permukaan
jaringan nekrotik tersebut sering ditemukan Helicobacter pylori. (Dodge
JA, 1993)
2. Ulkus peptikum sekunder didasarkan adanya gangguan ketahanan mukosa
saluran cerna, yang dapat terjadi setelah mengalami penyakit/trauma berat
(stress ulcer), luka bakar (Curling’s ulcer), penyakit intrakranial
(Rokitansky-Cushing’s ulcer), minum aspirin atau kortikosteroid, dan
penyakit hati kronis. (Hassall E 1996. Dodge JA, 1993. Herbst JJ, 1997.
Spiro HM, 1997)
18
Adapun klasifikasi ulkus peptikum menurut kejadiannya adalah
sebagai berikut:
1. Ulkus peptikum akut: timbul mendadak dan terjadi oleh adanya
penyebab seperti luka bakar yang berat dan operasi berat karena obat-
obatan. Lokasi ulkus peptikum ini sering ditemukan pada duodenum dan
lambung. Sifat dari ulkus peptikum akut ini antara lain multiple dan
dangkal, diameter 1-1,5 cm, kadang-kadang terdapat perdarahan, cepat
sembuh dan dapat meninggalkan bekas.
2. Ulkus peptikum kronis: gejala menahun, pasien memiliki riwayat
penyakit nyeri ulu hati, nyeri lebih dari dua bulan yang timbul terkait
dengan makanan atau minuman, lama sembuh dan berdiameter 2,5-4 cm.
Berdasarkan letaknya, klasifikasi ulkus peptikum adalah sebagai
berikut:
1. Ulkus yang letaknya di esofagus disebut ulkus esofagus.
2. Ulkus yang letaknya di lambung disebut ulkus lambung. Ulkus lambung
terbanyak terjadi pada angulus, antrum, dan prepilorus, jarang terletak di
korpus dan fundus. Biasanya diderita pada usia lebih dari 65 tahun.
3. Ulkus yang letaknya di duodenum disebut tukak duodeni. Ulkus
duodeni/ulkus duodenum. Letaknya terbanyak di dinding anterior dan
posterios dari bulbus dan postbulber atau pars desendens duodeni di
sebelah proksimal dari papilla vaterii. Jarang ditemukan pada distal
papila vaterii, biasanya diderita oleh 45-65 tahun. Dalamnya ulkus
berkisar antara 1 mm sampai 1 cm.
4. Ulkus yang letaknya di jejunum disebut tukak jejuni.
Berdasarkan kedalamannya, klasifikasi ulkus peptikum adalah sebagai
berikut:
1. Ulkus derajat I: Ulserasi hanya pada mukosa saja, dan disebut erosi.
2. Ulkus derajat II: Ulserasi sampai mukosa.
3. Ulkus derajat III: Ulserasi lebih meluas lagi ke bagian yang lebih dalam
yaitu pada sebagian dari lapisan muskularis.
19
4. Ulkus derajat IV: Ulkus menembus kebagian yang lebih dalam, terutama
sebagian lapisan muskulatis dan terjadi peradangan sampai lapisan
serosa.
20
Permukaan epitelium dari lambung atau usus rusak dan berulkus,
hasil dari inflamasi menyebar sampai ke dasar mukosa dan submukosa.
Asam lambung dan enzim pencernaan memasuki jaringan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada pembuluh darah dan jaringan di sekitarnya.
Ulkus peptikum disebabkan oleh sekresi asam dan pepsin yang
berlebih oleh mukosa lambung atau berkurangnya kemampuan sawar
mukosa gastroduodenalis untuk berlindung dari sifat pencernaan dari
kompleks asam-pepsin (Guyton dan Hall, 2007). Asam pepsin penting
dalam patogenesis ulkus peptikum. Akan tetapi berlawanan dengan ulkus
duodeni, pasien umumnya mempunyai laju sekresi asam yang normal atau
berkurang dibandingkan dengan individu tanpa ulkus. Sepuluh sampai dua
puluh persen pasien dengan ulkus peptikum juga mempunyai ulkus duodeni.
Telah diduga bahwa obat-obatan tertentu seperti aspirin, alkohol,
indometasin, fenilbutazon dan kotikostreroid mempunyai efek langsung
terhadap mukosa lambung dan menimbulkan ulkus. Obat-obatan lain seperti
kafein akan meningkatkan pembentukan asam. Stress emosi dapat juga
memegang peranan dalam patogenesis ulkus peptikum, agaknya dengan
meningkatkan pembentukan asam sebagai akibat perangsangan vagus.
Sejumlah penyakit tampaknya disertai pembentukan ulkus peptikum yaitu
sirosis hati akibat alkohol, pankreatitis kronik, penyakit paru kronik,
hiperparatirioidisme dan sindrom Zollinger-Ellison (Wilson dan Lindseth,
2005).
Peningkatan sekresi asam-cairan peptik dapat turut berperan terhadap
ulserasi. Pada kebanyakan orang yang menderita ulkus peptikum di bagian
awal duodenum, jumlah sekresi asam lambung lebih besar dari normal,
sering sebanyak dua kali normal. Walaupun setengah dari peningkatan asam
ini mungkin disebabkan infeksi bakteri, percobaan pada hewan ditambah
bukti adanya perangsangan berlebihan sekresi asam lambung oleh saraf
pada manusia yang menderita ulkus peptikum mengarah kepada sekresi
cairan lambung yang berlebihan untuk alasan apa saja (sebagai contoh, pada
gangguan fisik) yang sering merupakan penyebab utama ulkus peptikum
(Guyton dan Hall, 2007).
21
Pathway
22
2.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis utama ulkus peptikum adalah kronik dan nyeri
epigastrium. Nyeri biasanya timbul dua sampai tiga jam setelah makan atau
pada malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali
digambarkan sebagai teriris, terbakar atau rasa tidak enak. Remisi dan
eksaserbasi merupakan ciri yang begitu khas sehingga nyeri di abdomen
atasyang persisten. Pola nyeri-makan-hilang ini dapat saja tidak khas pada
ulkus peptikum. Bahkan pada beberapa penderita ulkus peptikum makanan
dapat memperberat nyeri. Biasanya penderita ulkus peptikum akan
mengalami penurunan berat badan. Sedangkan penderita ulkus duodenum
biasanya memiliki berat badan yang tetap (Wilson dan Lindseth, 2005).
Penderita ulkus peptikum sering mengeluh mual, muntah dan
regurgitasi. Timbulnya muntah terutama pada ulkus yang masih aktif, sering
dijumpai pada penderita ulkus peptikum daripada ulkus duodenum, terutama
yang letaknya di antrum atau pilorus. Rasa mual disertai di pilorus atau
duodenum. Keluhan lain yaitu nafsu makan menurun, perut kembung, perut
merasa selalu penuh atau lekas kenyang, timbulnya konstipasi sebagai
akibat instabilitas neromuskuler dari kolon (Akil, 2006).
Penderita ulkus peptikum terutama pada ulkus duodenum mungkin
dalam mulutnya merasa dengan cepat terisi oleh cairan terutama cairan
saliva tanpa ada rasa. Keluhan ini diketahui sebagai water brash. Sedang
pada lain pihak kemungkinan juga terjadi regurgitasi pada cairan lambung
dengan rasa yang pahit (Akil, 2006). Secara umum pasien ulkus gaster
mengeluh dispepsia. Dispepsia adalah suatu sindrom atau kumpulan keluhan
beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri ulu
hati, sendawa atau terapan, rasa terbakar, rasa penuh ulu hati dan cepat
merasa kenyang.
Nyeri yang dapat membangunkan orang ketika malam hari juga
ditemukan. Seringkali nyeri timbul sekali atau lebih dalam sehari selama
beberapa minggu dan hilang tanpa diobati. Namun, nyeri biasanya timbul
kembali dua tahun kemudian dan terkadang juga dalam beberapa tahun
23
kemudian. Penderita biasanya akan belajar mengenai pola sakitnya ketika
kambuh (biasanya terjadi ketika stres). Makan bisa meredakan sakit untuk
sementara tetapi bisa juga malah menimbulkan sakit. Ulkus lambung
terkadang membuat jaringan bengkak (edema) yang menjalar ke usus halus,
yang bisa mencegah makanan melewati lambung. Blokade ini bisa
menyebabkan kembung, mual, atau muntah setelah makan.
24
2016). Diagnosis ulkus peptikum biasanya dipastikan dengan
pemeriksaan barium radiogram. Bila radiografi barium tidak berhasil
membuktikan adanya ulkus dalam lambung atau duodenum tetapi gejala-
gejala tetap ada, maka ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan
endoskopi. Pemeriksaan kadar serum gastrin dapat dilakukan jika diduga
ada karsinoma lambung atau sindrom Zolliger-Ellison (Wilson dan
Lindseth, 2005).
2.9 Penatalaksanaan
Beberapa faktor mempengaruhi penyembuhan ulkus dan kemungkinan
untuk kambuh. Faktor yang reversibel harus diidentifikasi seperti infeksi
Helicobacterpylori, penggunaan NSAID dan merokok. Waktu penyembuhan
ulkus tergantung pada ukuran ulkus. Ulkus lambung yang besar dan kecil bisa
sembuh dalam waktu yang relatif sama jika terapinya efektif. Ulkus yang besar
memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh (Soll, 2009). Secara garis besar
pengelolaan penderita dengan ulkus peptikum adalah sebagai berikut:
A. Non – farmakologi
1. Istirahat
Secara umum pasien ulkus dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurangberhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap.
Penyembuhan akan lebih cepatdengan rawat inap walaupun
mekanismenya belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam
istirahat, berkurangnya refluks empedu, stress dan penggunaan analgesik.
Stress dan kecemasan memegang peran dalam peningkatan asam lambung
danpenyakit ulkus (Tarigan, 2009).
2. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu
tidak lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus akan
merangsang pengeluaran asam. Cabai, makanan merangsang, makanan
mengandung asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien
ulkus dan dispepsia non ulkus, walaupun belum dapat dibuktikan
keterkaitannya. Alkohol belum terbukti mempunyai efek yang merugikan.
25
Air jeruk yang asam, coca-cola, bir, kopi tidak mempunyai pengaruh
ulserogenik pada mukosa lambung tetapi dapat menambah sekresi asam
dan belum jelas dapat menghalangi penyembuhan ulkus dan sebaiknya
diminum jangan pada waktu perut sedang kosong (Tarigan, 2009).
3. Tidak merokok
Merokok menghalangi penyembuhan ulkus peptikum kronik, menghambat
sekresi bikarbonat pankreas, menambah keasaman bulbus duodenum,
menambah refluks duogenogastrik akibat relaksasi sfingter pilorus
sekaligus meningkatkan kekambuhan ulkus (Tarigan, 2009).
B. Farmakologi
1. Antagonis Reseptor H2
Antagonis Reseptor H2 mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
berkompetisi dengan histamin untuk berikatan dengan reseptor H2 pada
sel parietal lambung. Bila histamin berikatan dengan H2 maka akan
dihasilkan asam. Dengan diblokirnya tempat ikatan antara histamin dan
reseptor digantikan dengan obat-obat ini, maka asam tidak akan
dihasilkan.
2. PPI (Proton Pump Inhibitor)
Mekanisme kerja PPI adalah memblokir kerja enzim KH ATPase yang
akan memecah KH ATP akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli serta parietal ke dalam lumen lambung.
Pemakaian jangka panjang dapat menimbulkan kenaikan gastrin darah dan
dapat menimbulkan tumor karsinoid pada tikus percobaan. Pada manusia
belum terbukti gangguan keamanannya pada pemakaian jangka panjang
(Tarigan, 2009).
Penghambat pompa proton dimetabolisme dihati dan dieliminasi di
ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa
penyesuaian dosis pada penyakit liverdan penyakit ginjal. Dosis
Omeprazol 20-40 mg/hr, Lansoprazol 15-30 mg/hr, Rabeprazol 20 mg/hr,
Pantoprazol 40 mg/hr dan Esomeprazol 20-40 mg/hr. Inhibitor pompa
proton memiliki efek yang sangat besar terhadap produksi asam.
26
Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat anhidrase mukosa
lambung, yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap sifat suspensi
asamnya. Efek samping obat golongan ini jarang, meliputi sakit kepala,
diare, konstipasi, muntah, dan ruam merah pada kulit. Ibu hamil dan
menyusui sebaiknya menghindari penggunaan PPI.
3. Sulkralfat
Pada kondisi adanya kerusakan yang disebabkan oleh asam, hidrolisis
proteinmukosa yang diperantarai oleh pepsin turut berkontribusi terhadap
terjadinya erosi danulserasi mukosa. Protein ini dapat dihambat oleh
polisakarida bersulfat. Selain menghambat hidrolisis protein mukosa oleh
pepsin, sulkrafat juga memiliki efek sitoprotektif tambahan, yakni
stimulasi produksi lokal prostagladin dan faktor pertumbuhan epidermal).
Dosis sulkralfat 1gram 4x sehari atau 2gram 2x sehari. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah konstipasi, mual dan mulut kering.
4. Koloid Bismuth
Mekanisme kerja melalui sitoprotektif membentuk lapisan bersama protein
pada dasar ulkus dan melindungi terhadap rangsangan pepsin dan asam.
Dosis obat 2 x 2 tablet sehari. Efek samping, berwarna kehitaman
sehingga timbul keraguan dengan pendarahan (Tarigan, 2009).
5. Analog Prostaglandin : Misoprostol
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah sekresi
mukus, sekresi bikarbonat dan meningkatkan aliran darah mukosa.
Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya ulkus peptikum pada
pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200mg atau 2 x 400 mg pagi
dan malam hari. Efek samping diare, mual, muntah, dan menimbulkan
kontraksi otot uterus sehingga tidak dianjurkan pada wanita yang bakal
hamil (Tarigan, 2006). Misoprostol dapat menyebabkan eksaserbasi klinis
(kondisi penyakit bertambah parah) pada pasien yang menderita penyakit
radang usus, sehingga pemakaiannya harus dihindari pada pasien ini.
Misoprostol dikontraindikasikan selama kehamilan, karena dapat
menyebabkan aborsi akibat terjadinya peningkatan kontraktilitas uterus.
Sekarang ini misoprostol telah disetujui penggunaannya oleh United
27
States Food and DrugAdministration (FDA) untuk pencegahan luka
mukosa akibat NSAID.
6. Antasida
Pada saat ini antasida digunakan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan
obat dispepsia. Mekanisme kerjanya menetralkan asam lambung secara
lokal. Preparat yang mengandung magnesium akan menyebabkan diare
sedangkan aluminium menyebabkan konstipasi. Kombinasi keduanya
saling menghilangkan pengaruh sehingga tidak terjadi diare dan
konstipasi. Dosis: 3 x 1 tablet, 4 x 30 cc (3 kali sehari malam dan
sebelumtidur). Efek samping diare, berinteraksi dengan obat digitalis,
barbiturat, salisilat, dankinidin (Tarigan, 2009).
C. Tindakan Operasi
Tujuan utama dari terapi pembedahan pada ulkus peptikum perforasi
adalah untuk menekan faktor agresif terutama sekresi asam lambung dan pepsin
terhadap patogenesis ulkus peptikum beserta untuk mengeluarkan tempat yang
paling resisten di antrum dan mengoreksi statis di lambung (Akil, 2006).
Indikasi operasi ulkus peptikum:
1. Gagal pengobatan.
2. Adanya komplikasi perforasi, pendarahan dan stenosis pilori.
3. Ulkus peptikum dengan sangkaan keganasan (Tarigan, 2009).
Tindakan pembedahan ada dua macam yaitu reseksi bagian distal lambung atau
gastrektomi sebagian (partial gastrectomy) dan Vagotomi yang bermanfaat untuk
mengurangi sekresi asam lambung terutama pada ulkus duodenum (Akil, 2006).
28
khususnya untuk ulkus duodenum, dan jumlah meningkat pada wanita
usia tua
b. Jenis Kelamin: Prevalensi kemunculan ulkus peptikum berpindah dari
yang predominan pada pria ke frekuensi yang sama pada kedua jenis
kelamin. Prevalensi berkisar 11-14 % pada pria dan 8-11 % pada wanita
c. Pekerjaan: Profesi yang dianggap pekerjaan dengan stress pekerrjaan
tinggi dan pekerjaan giliran. Terdapat pada kelompok sosial ekonomi
yang lebih rendah
d. Alamat: mayoritas pasien dengan ulkus lambung tinggal di daerah
perkotaan, sedangkan angka ini jauh lebih rendah di daerah pedesaan.
2.Riwayat Penyakit
b. Keluhan Utama :Keluhan utama yang sering terjadi pada klien ulkus
peptikum adalah nyeri pada abdomen (lambung) dan mengeluh mual dan
kembung, mengatakan sering muntah dan nyeri pada ulu hati.
c. Riwayat penyakit dahulu: Klien mengatakan pernah mengkonsumsi
rokok, kopi dan alcohol dan apakah sebelumnya pasien pernah menderita
ulkus peptikum.
d. Riwayat kesehatan sekarang
Klien biasanya nyeri ulu hati, seperti tertusuk nyeri biasanya hilang
dengan makan, pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan
lambung, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai sendawa umum
terjadi bila lambung pasien kosong, mual dan muntah, konstipasi,
perdarahan pada buang air besar, mengatakan badan terasa lemah dan
letih, klien juga mengatakan berat badan turun (20 % lebih di bawah BB
ideal)
e. Riwayat kesehatan keluarga
Yaitu mengenai gambaran kesehatan keluarga adanya riwayat keturunan
dari orang tua. Adakah keluarga yang pernah menderita ulkus peptikum.
3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan Umum:
GCS:
-Ciri tubuh: lemah, kulit pucat
29
-Tanda vital: tacikardi, pernafasan cepat
b. Head to toe:
- Kepala
Inspeksi: bentuk kepala, distribusi, warna, kulit kepala.
Palpasi: nyeri tekan dikepala.
- Wajah
Inspeksi: bentuk wajah, kulit wajah.
Palpasi: nyeri tekan di wajah.
Klien tampak meringis, konjungtiva anemis.
- Mata
Inspeksi: bentuk mata, sclera, konjungtiva, pupil.
Palpasi: nyeri tekan pada bola mata, warna mukosa konjungtiva,
warna mukosa sclera.
- Hidung:
Inspeksi: bentuk hidung, pernapasan cuping hidung, sekret.
Palpasi: nyeri tekan pada hidung.
- Mulut:
Inspeksi: bentuk mulut, bentuk gigi.
Palpasi: nyeri tekan pada lidah, gusi, gigi.
Mukosa bibir kering,
klien hanya menghabiskan 1/3 porsi yang disediakan,
otot menelan lemah
- Leher:
Inspeksi: bentuk leher, warna kulit pada leher.
Palpasi: nyeri tekan pada leher.
- Dada:
Inspeksi: bentuk dada simetris kiri dan kanan, pernafasan cepat
Palpasi: nyeri tekan.
Perkusi: bunyi ketok sonor
Auskultasi: bunyi paru dan suara napas.
- Payudara dan ketiak:
Inspeksi: bentuk, benjolan.
30
Palpasi: ada atau tidak ada nyeri tekan , benjolan.
- Abdomen:
Inspeksi: bentuk abdomen, warna kulit abdomen.
Auskultasi: bising usus, bising vena, pergesekan hepar dan lien.
Perkusi: batas hepar, batas ginjal, batas lien, ada atau tidaknya
penimbunan cairan di perut.
- Genitalia:
Inspeksi: bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin, warna
rambut kelamin, benjolan.
Palpasi: nyeri tekan pada alat kelamin.
- Integumen:
Inspeksi: warna kulit, benjolan.
Palpasi: nyeri tekan pada kulit.
- Ekstremitas:
Atas:
Inspeksi: warna kulit, bentuk tangan.
Palpasi: nyeri tekan, kekuatan otot.
Bawah:
Inspeksi: warna kulit, bentuk kaki.
Palpasi: nyeri tekan, kekuatan otot.
4. Pengkajian Pola Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pasien biasanya mempunyai kesadaran kesehatan dan manajemen
kesehatan yang kurang baik
b. Pola nutrisi dan metabolic
Pola makan dan nutrisi yang dikonsumsi akan berubah pada saat sakit
dan akan menurunnya nafsu makan
c. Pola aktivitas dan latihan
Klien bisanya keletihan, kelelahan, malaise. Ketidakmampuan
melakukan aktivitas sehari – hari
d. Pola istirahat dan tidur
31
Klien akan mengalami gangguan tidur dan istirahat akibat nyeri yang
akan dirasakannya.
e. Pola eliminasi
Gejala dan tanda meliputi riwayat perdarahan, perubahan pola
defekasi, perubahan karakteristik feses, nyeri tekan abdomen, distensi,
bising otot meningkat, karakteristik feses (terdapat darah, berbusa, bau
busuk), konstipasi (perubahan diet dan penggunaan antasida).
f. Pola neurosensori
Klien biasanya merasakan Sakit kepala, pusing, vertigo,
ketidakmampuan berkonsentrasi. Kelemahan, keseimbangan buruk.
g. Pola Mekanisme koping
Dikaji tentang mekanisme klien terhadap stress, penyebab stressnya
yang mungkin diketahui, bagaimana mengambil keputusan.
h. Pola Konsep diri
Pasien biasanya merasa cemas karena penyakitnya dan sering cemas
karena sakitnya tidak hilang
i. Pola Hubungan
Didapatkan riwayat klien tentang peran dalam keluarga dan
masyarakat. Interaksi dengan keluarga dan orang lain serta hubungan
kerja, adakah perubahan atau gangguan
j. Pola Reproduksi
Dikaji tentang pengetahuan fungsi seksual, adakah perubahan dalam
hubungan seksual karena perubahan kondisi yang dialami.
5. Pemeriksaan diagnostic/penunjang
a. Pemeriksaan dengan barium terhadap saluran GI atas dapat
menunjukkan adanya ulkus.
b. Endoskopi GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan
inflamasi, ulkus dan lesi. Melalui endoskopi mukosa dapat secara
langsung dilihat dan biopsy didapatkan. Endoskopi telah diketahui
dapat mendeteksi beberapa lesi yang tidak terlihat melalui
pemeriksaan sinar X karena ukuran atau lokasinya.
32
c. Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah
negatif terhadap darah samar.
d. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan
dalam mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida
dalam getah lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang
hilang dengan makanan atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang
timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.
e. Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology
melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus.
serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.
B. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan dalam kasus ulkus peptikum adalah
sebagai berikut:
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan efek sekresi asam lambung pada
jaringan yang rusak.
2. Ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan anoreksia, mual, dan
muntah.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan anemia ditandai dengan
kelemahan otot.
4. Ansietas berhubungan dengan koping terhadap penyakit akut.
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
6. Defisiensi pengetahuan mengenai pencegahan gejala dan penatalaksanaan
kondisi berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan efek sekresi asam lambung pada
jaringan yang rusak
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama … x 24 jan
diharapkan nyeri pada pasien dapat berkurang atau hilang.
Kriteria hasil: menggunakan obat-obatan sesuai resep, mengalami
penurunan nyeri, menggantikan aspirin dengan aetaminofen (Tylenol),
menghindari obat yang dijual bebas, menaati pembatasan yang
33
dianjurkan, mengidentifikasi makanan dan minuman yang dihindari,
menaati jadwal makan dan kudapan secara teratur, dan berhenti merokok.
Tindakan/Intervensi Rasional
1. Berikan terapi obat-obatan Farmakoterapi membantu mengurangi:
sesuai program: a.antibiotik histamine mempengaruhi
a. Antibiotik histamine asam lambung
b. Garam antibiotik/ bismuth b. antibiotik diberikan bersamaan
c. Agen sitoprotektif dengan bismuth mematikan H.pylori
d. Inhibitor pompa proton c. agen sitoprotektif melindungi mukosa
e. antasida lambung
d. inhibitor pompa proton menurunkan
asam lambung
e. antasida menetralisir keasaman sekresi
lambung
2. Anjurkan menghindari obat- Menghambat pelepasan asam lambung
obatan yang dijual bebas
3. Anjurkan pasien untuk Makanan dan minuman yang mengadung
menggunakan makan dan kafein merangsang sekresi asam
kudapan pada interval yang hidroklorida
teratur
4. Anjurkan pasien untuk Merokok merangsang kemungkinan
berhenti merokok kekembuhan ulkus
Tindakan/Intervensi Rasional
1. Anjurkan makan-makanan Makanan yang tidak mengiritasi
34
danminuman yang tidak mengurangi nyeri epigastrik
mengiritasi
2. Anjurkan makanan dimakan Makan teratur membantu menetralisir
pada jadwal yang teratur, hindari sekresi lambung, kudapan sebelum waktu
kudapan sebelum waktu tidur tidur meningkatkan sekresi asam
lambung
3. Dorong makanan pada Lingkungan yang rileks kurang
lingkungan meimbulkan ansietas. Menurunkan
yang rileks ansietas membantu menurunkan sekresi
asam hidroklorida
35
kecemasan klien dengan penuh mengungkapkan penyebab
perhatian kecemasannya sehingga
perawat dapat menentukan
tingkat kecemasan klien dan
menentukan intervensi untuk
klien selanjutnya.
36
dan menyatakan keinginan untuk bertanggung jawab terhadap perawatan
diri.
Tindakan/Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan dan Keinginan untuk belajar bergantung
kesiapan belajar dari pasien pada kondisi fisik pasien, tingkat
ansietas dan kesiapan mental
2. Ajarkan informasi yang Individualisasi rencana penyuluhan
diperlukan: meningkatkan pembelajaran
Gunakan kata-kata sesuai tingkat
pengetahuan pasien. Batasi sesi
penyuluhan sampai 30 menit atau
kurang.
3. Yakinkan pasien bahwa Memberikan pengaruh positif pada
penyakit dapat diatasi perubahan perilaku
D. Evaluasi Keperawatan
Adapun evaluasi keperawatan pada klien dengan ulkus peptikum
setelah diberikan intervensi keperawatan adalah sebagai berikut:
Diagnosa Evaluasi
1. Nyeri akut S: Pasien mengatakan bahwa nyerinya
berhubungan dengan efek berkurang.
sekresi asam lambung O: Pasien tampak tenang dan tidak mengeluh
pada jaringan yang rusak. keasakitan.
A: Tujuan tercapai, masalah teratasi.
P:Pertahankan kondisi, lanjutkan intervensi.
2. Perubahan nutrisi S: Pasien mengatakan dirinya sudah
kurang dari kebutuhan memiliki tenaga.
tubuh berhubungan O: Berat badan stabil.
dengan anoreksia, mual A: Tujuan tercapai, masalah teratasi.
dan muntah P: Pertahankan kondisi, lanjutkan intervensi.
3.Intoleransi aktivitas S: Pasien mengatakan bahwa dirinya sudah
berhubungan dengan dapat melakukan aktivitas sendiri.
anemia ditandai dengan O:TTV normal, pasien terlihat tidak
kelemahan otot. cemas lagi.
37
A: Tujuan tercapai, masalah teratasi.
P: Pertahankan kondisi, lanjutkan intervensi.
4.. Ansietas berhubungan S: Pasien mampu mengatakan apa penyebab
dengan koping terhadap kecemasan yang dialaminya.
penyakit akut. O:TTV normal, wajah pasien terlihat tidak
cemas lagi.
A: Tujuan tercapai, masalah teratasi.
P: Pertahankan kondisi, lanjutkan intervensi.
5. resiko kekurangan S: Pasien mengatakan dirinya sudah tidak
volume cairan merasakan mual
berhubungan dengan mual O: pasien nampak tidak pucat dan lesu
dan muntah A: Tujuan tercapai, masalah teratasi.
P: Pertahankan kondisi, lanjutkan intervensi.
6. Defisiensi pengetahuan S: Pasien mengatakan sudah mengerti
mengenai pencegahan dengan penjelasan yang diberikandan tidak
gejala dan merasa cemas lagi.
penatalaksanaan kondisi O: Pasien dapat menjawab pertanyaan yang
berhubungan dengan diajukan oleh perawat mengenai ulkus
informasi yang tidak peptikum, pasien dapat menjelaskan kembali
adekuat. mengenai pencegahan dan penatalaksanaan
ulkus diabetikum.
A : Tujuan tercapai, masalah teratasi.
P: Pertahankan kondisi, lanjutkan intervensi.
38
BAB III. APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN
39
yang berhubungan dengan konsumsi obat-obatan NSAID. Saat dilakukan
pengkajian didapatkan data dengan skala nyeri 6, TD=100/60 mmHg, N= 90
kali/menit, S=370 , RR=24 kali/menit, BB awal 68 kg BB saat ini 65 kg, TB
170 cm. Setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi, ditemukan adanya ulkus di
dinding lambung. Diagnosa medis yang ditegakkan adalah ulkus peptikum.
3.2 Pengkajian
Identitas
40
Riwayat kesehatan terdahulu : Tn. F memiliki riwayat penyakit
rheumatoid arthritis yang berhubungan dengan konsumsi obat-obatan
NSAID
Riwayat penyakit keluarga : Menurut pasien tidak ada anggota
keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan pasien.
41
Sebelum sakit: Makan 1-2x dalam sehari, 1 porsi, jenis : nasi,
sayur, lauk, minum air putih ketika merasa haus.
Setelah sakit : Makan 1x dalam sehari 2 sdm, jenis : nasi, sayur,
lauk, minum air putih ketika merasa haus.
Interpretasi : perubahan nafsu makan yang signifikan ketika
sakit.
5) Pasien E (Energy)
Meliputi kemampuan pasien dalam beraktifitas selama di rumah
sakit: selama di rumah sakit pasien hanya berbaring di tempat tidur,
ketika ingin jalan-jalan atau pergi ke toilet di temani oleh keluarga
yang berjaga.
6) F (Factor)
Ada penurunan nafsu makan dan gangguan menelan
c. Pola Eliminasi
1. Fungsi Urinarius
BAK : Sebelum MRS pasien lebih sering BAK, setelah MRS
pasien dapat teratur BAK.
Tabel 4.1 Data Fungsi Urinarius
No Pola Eliminasi Sebelum MRS Setelah MRS
.
1 Frekuensi 6-7 kali / hari 5-6 kali / hari
2 Jumlah 1100 cc 500 cc
2. Fungsi Gastrointestinal
42
BAB: Sebelum MRS pasien lebih sering BAB, setelah MRS pasien
teratur BAB.
Tabel 4.2 Data Fungsi Gastrointestinal
No
Pola Eliminasi Sebelum MRS Setelah MRS
.
1 Frekuensi 2-3 hari sekali 1 kali / hari
2 Jumlah - -
3 Konsistensi Lembek, tidak cair Lembek, tidak cair
43
Keterangan :
1 : dibantu total
2 : dibantu petugas/keluarga dan alat
3 : dibantu petugas/keluarga
4 : dibantu alat
5 : mandiri
d) ROM : rentang gerak untuk mobilisasi tidak terganggu
e) Resiko untuk cidera : -
f) Cardio respons
-Penyakit jantung :-
-Edema esktremitas :-
-Tekanan darah : 100/60 mmhg
-Nadi : 90 kali/menit
g) Pemeriksaan jantung
- Inspeksi: tidak ada denyutan nadi pada dada.
- Palpasi: Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis
sinistra.
- Perkusi: Batas kiri jantung linea midclavicularis sinistra,
batas kanan jantung linea sternalis dextra, batas atas jantung
ICS III.
- Auskultasi: Murmur (-), Gallop (-).
h) Pulmonary respon
-Penyakit sistem nafas : -
-Kemampuan bernafas : adekuat
- Gangguan pernafasan (batuk, suara nafas, sputum, dll): sesak,
terdapat suara mengorok
i) Pemeriksaan paru-paru
- Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis.
- Palpasi : Simetris fremitus kanan=kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
- Auskultasi : Suara pernapasan vesikuler pada kedua lapangan
paru, wheezing -/-, ronki -/-
44
e. Pola Istirahat-tidur
Tabel 4.3 Data Istirahat-Tidur
Keterangan Sebelum sakit Sesudah MRS
Durasi 5-6 jam / 24 jam 3-4 jam / 24 jam
Gangguan tidur Tidak ada Ada
Lain-lain - -
45
- Tenggorokan : deviasi uvula (-), tonsil T1-T1 tenang,
- Faring hiperemis (-)
b) Communication
- Bahasa yang digunakan : Indonesia
- Kesulitan berkomunikasi : tidak
46
Nilai kepercayaan : Pasien mengatakan sebelum pasien sakit, pasien
sering mengikuti kegiatan keagamaan yang diadakan di daerahnya
setiap 1 minggu sekali. Saat sakit pasien berdoa meminta kesembuhan
kepada Tuhan YME. Pasien percaya bahwa penyakitnya merupakan
cobaan dari Tuhan YME.
l. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: baik, sadar dan tidak demam
Tanda vital :
TD : 110/60 mmHg
Nadi : 90 kali/menit
Suhu : 37°C
Pernafasan : 24 kali/menit
Pengkajian fisik (Inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi)
a. Kepala: normocephali, distribusi rambut merata, bejolan (-)
b. Mata: Bisa melihat bebas, mampu membedakan warna, bisa
menggerakan bola mata kesegala arah, mata tampak bersih, tidak ada
nyeri tekan
c. Telinga: daun telinga -/-, retroaurikuler -/-, liang telinga
sempit/lapang, sekret +/-, membran timpani 0/+, reflek cahaya -/+,
nyeri tekan tragus -/-, nyeri tarik daun telinga -/-, retroaurikuler -/-
d. Hidung: Mampu membedakan berbagai macam aroma, Sekret (-).
e. Mulut
- Bibir : normal, sianosis (-)
- Lidah : kotor (-), tremor (-), deviasi lidah (-)
- Tenggorokan : deviasi uvula (-), tonsil T1-T1 tenang,
- Faring hiperemis (-)
f. Leher: pembesaran getah bening (-)
g. Dada
1) Paru-paru
- Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis.
- Palpasi : Simetris fremitus kanan=kiri.
47
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
- Auskultasi : Suara pernapasan vesikuler pada kedua lapangan
paru, wheezing -/-, ronki -/-
2) Jantung: Inspeksi: Ictus cordis terlihat.
- Palpasi: Ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicularis
sinistra.
- Perkusi: Batas kiri jantung linea midclavicularis sinistra, batas
kanan jantung linea sternalis dextra, batas atas jantung ICS III.
- Auskultasi: Murmur (-), Gallop (-)
h. Abdomen
- Inspeksi: datar, tidak ada bekas operasi
- Palpasi: supel, nyeri tekan (+), nyeri lepas (+),pembesaran hepar
dan lien (-)
- Perkusi: timpani di seluruh abdomen, shifting dullness (-)
- Auskultasi: bising usus (+) normal.
i. Urogenital: tidak terkaji
j. Ekstremitas: akral hangat, edema (-), sianosis (-), tremor (-), benjolan
(-).
k. Kulit dan kuku: tidak terkaji
m. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
Hasil Laboratorium pada tanggal 27 September 2017
- Hematologi
Tabel 4.5 Data Hematologi
Haemoglobin 7.8 gr%
Leukosit 8.800/mm3
Hematokrit 38%
Trombosit 374.000/mm3
- Fungsi Ginjal
Tabel 4.6 Data Fungsi Ginjal
Ureum darah 19 mg/dl
Kreatinin darah 0,6 mg/dl
48
- Gula Darah
Tabel 4.7 Data Gula Darah
GDS (gula darah sewaktu) 110 md/dl
Gula Darah Puasa 87 md/dl
- Gas Darah
Tabel 4.8 Data Gas Darah
Natrium 14,1 mmol/l
Kalium 4,4 mmol/l
Klorida serum 105 mmol/l
- Fungsi Hati
Tabel 4.9 Data Fungsi Hati
SGOT 19 u/l
SGPT 14 u/l
- Koagulasi Darah
Tabel 4.10 Data Koagulasi Darah
PT 10,8
APTT 38
- Pasien sering
Merangsang
mengeluh nyeri
hipotalamus pada pusat
pada perut bagian
nyeri
kiri atas
49
DO: Pelepasan hormon
- Pasien tampak bradikinin, serotin
memegangi
perutnya Reaksi radang
- Skala nyeri 6
- Nadi 90x / menit Iritasi mukosa lambung
DO:
Asupan nutrisi
- BB awal 68 kg BB
berkurang
saat ini 65 kg
- Pasien tampak
Anoreksia
lemas
Hematemesis
Perdarahan
Ulkus peptikum
50
pembentukan ATP dan
DO: penumpukan asam
Pasien tampak lemas laktat jaringan
TD = 100/60 mmHg
Nadi = 90x / menit Metabolisme anaerob
Kebutuhan O2 tidak
terpenuhi
Transport O2 menurun
Anemia hemoragik
Perdarahan
Ulkus peptikum
51
-pasien tampak gelisah
-TTV:
TD=100/60 mmHg,
N= 90 kali/menit,
S=370 , RR=24
kali/menit
3.4 Pathway
52
3.5 Diagnosa Keperawatan
53
3.6 Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
o. Keperawatan
54
dapat menurunkan
atau memberatkan
nyeri
Berikan informasi
mengenai nyeri,
seperti penyebab
nyeri, berapa lama
nyeri akan dirasakan,
dan antisipasi dari
ketidaknyamanan
prosedur.
Ajarkan prinsip
manajemnen nyeri
Ajarkan teknik non
farmakologis
(relaksasi, distraksi
dll) untuk mengetasi
nyeri
3. Kontrol lingkungan
yang
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan.
4. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri.
5. Evaluasi tindakan
pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
6. Kolaborasi dengan
55
dokter bila ada
komplain tentang
pemberian analgetik
tidak berhasil.
7. Monitor
penerimaan klien
tentang manajemen
nyeri.
2. Ketidakseimbanga Setelah dilakukan tindakan 1.Monitor tanda-tanda
n nutrisi: kurang keperawatan selama 2 x 24 jam vital
dari kebutuhan kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi. 2.Manajemen Nutrisi
tubuh Dengan criteria hasil sebagai berikut: -Tentukan status gizi
berhubungan 1. Klien mengungkapkan bahwa pasien dan
dengan kurang asupan makan terpenuhi kemampuan pasien
asupan makanan 2. Klien mampu mengidentifikasi untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi kebutuhan gizi
3. Adanya peningkatan berat badan -Intruksikan pasien
sesuai dengan tujuan mengenai kebutuhan
nutrisi (membahas
pedoman diet)
-Berikan makan yang
terpilih (sudah di
konsultasikan dengan
ahli gizi)ng di
butuhkan
3. Intoleransi Setelah dilakukan tindakan 1 Terapi aktivitas
aktivitas keperawatan selama 2 x 24 jam klien -Bantu klien untuk
berhubungan dapat mencapai perasaan nyaman. mengidentifikasi
dengan kelelahan Dengan criteria hasil sebagai berikut: aktivitas yang mampu
56
baik dan nyaman dengan kemampuan
3. Klien tidak mengalami kelelahan fisik, psikologi dan
4. Klien mempunyai waktu sosial
istirahat yang cukup -Bantu klien untuk
5. Tanda-tanda vital dalam batas membuat jadwal
normal latihan di waktu luan
6. Klien mampu berpindah: dengan -Bantu pasien untuk
tanpa bantuan alat mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
-Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif
beraktivitas.
2.Peningkatan
keterlibatan keluarga
3.Berikan dukungan
spiritual
4.Peningkatan latihan
peregangan
4 Gangguan pola Setelah dilakukan tindakan 1 Jelaskan pentingnya
tidur berhubungan keperawatan selama 2 x 24 jam klien tidur yang adekuat
dengan nyeri dapat mencapai perasaan nyaman. 2 Fasilitasi klien untuk
57
6 Monitor/catat
kebutuhan tidur pasien
setiap hari dan jam.
58
nyeri/kontrol nyeri.
- Mengkolaborasi dengan dokter bila ada
komplain tentang pemberian analgetik tidak
berhasil.
- Memonitor penerimaan klien tentang
manajemen nyeri RN
- Memonitor tanda-tanda vital
09.00
- Metentukan status gizi pasien dan
kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan gizi
- Mengintruksikan pasien mengenai kebutuhan
nutrisi (membahas pedoman diet)
- Memberrikan makan yang terpilih (sudah di
konsultasikan dengan ahli gizi)ng di
butuhkan
10.30 - Membantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan.
- Membantu klien untuk memilih aktivitas RN
konsisten yang sesuai dengan kemampuan
fisik, psikologi dan sosial
- Membantu klien untuk membuat jadwal
latihan di waktu luan
- Membantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
- Menyediakan penguatan positif bagi yang
aktif beraktivitas.
- Meningkatan keterlibatan keluarga
- Memberikan dukungan spiritual
- Meningkatan latihan peregangan
12.30 - Menjelaskan pentingnya tidur yang adekuat
- Memfasilitasi klien untuk mempertahankan
aktivitas sebelum tidur (membaca)
59
- Menciptakan lingkungan yang nyaman
- Mendiskusikan dengan pasien dan keluarga
tentang teknik tidur pasien
- Menginstruksikan untuk memonitor tidur
pasien
- Memonitor/catat kebutuhan tidur pasien
setiap hari dan jam
60
distraksi, pengalihan rasa
nyeri dengan istirahat atau
dengan berkomunikasi.
2. Ketidakseimbangan nutrisi: S: Pasien mengatakan RN
kurang dari kebutuhan tubuh makan teratur.
berhubungan dengan kurang O: Pasien tampak segar
asupan makanan ditandai dan sehat, terdapat
dengan pasien mengatakan peningkatan BB sejak
sering makan tidak teratur, dilakukan intervensi.
pasien tampak lemas, A: Masalah teratasi.
penurunan BB awal dari 68 sebagian
kg menjadi 65 kg saat P: Lanjutkan intervensi
dilakukan pengkajian.
61
A: Masalah teratasi
sebagian.
P: Lanjutkan intervensi
Ciptakan lingkungan yang
nyaman, dan diskusikan
dengan pasien dan
keluarga tentang teknik
tidur pasien..
62
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ulkus Peptikum adalah suatu peronggaan yang dibentuk dalam dinding
mukosa lambung, pylorus, duodenum atau esophagus. Kondisi ini sering kali di
acu sebagai ulkus gastrikum, duodenal atau esophagus, tergantung pada letaknya.
Disebabkan oleh erosi area yang mengelilingi membrane mukosa. Ulkus peptikum
lebih sering pada duodenum ketimbang lambung. ulkus peptic timbul akibat
gangguan keseimbangan antara asam lambung pepsin dan daya tahan mukosa.
Ulkus peptikum disebabkan oleh riwayat keluarga dengan ulkus peptikum,
infeksi bakteri H. pylori, obat-obatan OAINS, hipersekresi asam pada saluran
pencernaan, tumor, merokok erat, penggunaan alkohol, stress fisiologik, stress
emosional. Penatalaksanaan ulkus peptikum antara lain pemberian diet, anjuran
untuk berhenti merokok, penurunan stress dan istirahat, pemberian obat, dan
terapi pembedahan untuk kasus yang lebih parah.
4.2 Saran
Untuk mahasiswa agar memahami mengenai konsep dasar ulkus peptikum
dan asuhan keperawatan pada klien dengan ulkus peptikum sehingga dapat
membuat pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan (intervensi),
implementasi dan evaluasi yang tepat pada kasus klien dengan ulkus peptikum.
Dalam melalukan asuhan keperawatan hendaknya selalu menjalin hubungan
kerjasama yang baik atau kolaburasi baik kepada teman sejawat, dokter atau para
medis lainnya agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.
63
64
DAFTAR PUSTAKA
Anand, B.S., Katz, J., (2012). Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference,
Professor. Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology,
Baylor College of Medicine
Akil, H.A.M. (2006). Asites dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Ed. 1. Jakarta:
Jayabadi.
Baughman, D & Hackley, J. (2000). Keperawatan Medikal-Bedah:Buku saku
untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta:EGC
Bintari, Gina Sonia. 2014. Pengaruh Pemberian Dekok Rimpang Temulawak
(Curcuma xanthoriza Rox) terhadap Gambaran Histopatologi Lambung
Tikus Putih Rattus norvegicus Jantan Galur Sparague dawley yang
Diinduksi Aspirin. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Brunner dan Suddarth. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.
Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. (2008). Goodman and Gilman’s
manual of pharmacology and therapeutics. New York: McGraw-Hill.
pp.1230-1
Dodge JA. The Stomach. Dalam: Gracey M, Burke V, penyunting. Paediatric
Gastro Enterology and Hepatology.Edisi ke-3. Boston: Black Well Scientific
Publications, 1993.h. 77-94.
Gloria M. Bulechek, (et al). (2013). Nursing Interventions Classification (NIC)
6th Edition Missouri: Mosby Elsevier
Gunawan, A. (2006). FOOD COBINING : Kombinasi Makanan Serasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Jakarta: EGC.
Marks, Jay. (2016). Peptic Ulcer Disease (Stomach Ulcer. Medicinenet.
http://www.medicinenet.com/peptic_ulcer/article.htm
65
Hassall E. Peptic Diseases. Dalam: Rudolf. Pediatric, penyunting. Edisi -20.
California: Prentice Hall Int,1996. h. 1087-92.
Herbst JJ. Ulcer disease. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatric.Edisi ke-15. Philadelphia:
Saunders, 1996.h.1078-2079.
Junquiera L.C, Carneiro J, Kelley R.O. Basic Histology. 10th edition, Washington,
Lange, 2003: 316-23
Moorhed, (et al). 2013. Nursing Outcomes Classifications (NOC) 5th Edition.
Missouri: Mosby Elsevier
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Priyanta, A & Lestari, S. (2008). Endoskopi Gastrointestinal. Jakarta: Salemba
Medika
Ramakrishnan, K., dan Salinas R.C. (2007). Peptic Ulcer Diseases. Diunduh dari
http://www.pubmed.gov.
Setiawan, I Komang Agus. (2016). Usia Lebih dari 45 Tahun, Jumlah Lekosit,
Riwayat Konsumsi Alkohol dan Konsumsi Obat NSAID sebagai Faktor
Risiko pada Ulkus Peptikum Perforasi di Bagian Bedah RSUP Sanglah.
Tesis. Denpasar: Universitas Udayana. Diunduh dari
http://erepo.unud.ac.id/16968/
Sherwood, L. 2010. Human Physiology: From Cells to Systems. 7thEd. Canada:
Yolanda Cossio.
Smaradhania, N., Rauf, M., Warsinggih, dan Patellongi, I. (2015). Faktor-faktor
yang Berperan dalam Memprediksi Mortalitas pada Pasien Perforasi Ulkus
Peptik. Tesis. Makassar: Universitas Hasanuddin. Diunduh dari
http://repository.unhas.ac.id:4002/digilib/gdl.php?
mod=browse&op=read&id=--nilamsmara-
12138&PHPSESSID=f528421bf0dc3de9d7c91897eaa649fc
Smeltzer, C. S. (2013). Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Spiro HM. Clinical Gastro Enterology. Edisi ke-2. New York: Macmillan
Publishing co.,Inc, 1977.h.292-305.
66
Suleyman H, Mehmet EB, Koruk M. (2001). The effects of Hippophae
rhamnoides L. extract on ethanol induced gastric lesion and gastric tissue
glutathione level in rats: A comparative study with melatonin and
omeprazole.
Syarifuddin. (2011). Anatomi Fisiologi: Edisi-4. Jakarta: EGC.
https://dosenbiologi.com/manusia/bagian-bagian-lambung ( diakses pada
tanggal 6 oktober 2017, pukul 23.07 WIB)
67