Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep pengetahuan

1.1 Definisi pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil penghindaran manusia atau hasil tahu


seseorang terhadap objek melalui Indra yang dimilikinya (mata,hidung,mulut dan
sebagainya). dengan sendirinya pada waktu penghindaran sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. sebagian besar perempuan seseorang diperoleh melalui indra
pendengaran (telinga) dan indra penglihatan (mata) (Budiman, 2013)

1.2 Tingkat pengetahuan

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat


yang berbeda-beda, di mana pada setiap orang berbeda-beda. Secara garis besar
( Budiman, 2013), membagi tingkatan pengetahuan tersebut menjadi 6 tingkatan
diantaranya:

1. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu dan untuk mengetahui atau mengukur
bahwa orang tersebut tahu tentang sesuatu dan dapat mengajukan beberapa
pertanyaan. jika ia sudah memiliki pengetahuan maka dengan mudah ia akan
menjawab pertanyaan tersebut.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu tentang objek tersebut, tidak sekadar
dapat menyebutkan, tapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara
benar tentang objek yang diketahui tersebut.
3. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang di ketahui sesuai dengan kondisi
yang terjadi.
4. Analisis ( analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam
suatu objek atau objek yang diketahui.Indikasi bahwa pengetahuan seseorang
tersebut sudah dapat membedakan atau memisahkan, pengelompokan materi
membuat (bagan) dengan menggunakan pengetahuan terhadapobjek tersebut.
5. Sintesis
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang dimiliki dengan kata lain sintetis adalah
salah satu kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
telah ada.
6. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
klasifikasi atau terhadap suatu objek tertentu.penelitian ini dengan sendirinya
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang
berlaku.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut (Budiman, 2013)


adalah sebagai berikut:

1. Faktor internal
1) Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap
perkembangan orang lain menuju ke arah cita-cita tertentu yang menentukan
manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya untuk mencapai keselamatan
dan kebahagiaan.
2) Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber
kesenangan tapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang
membosankan, berulang dan banyak tantangan.
3) Usia
Usia adalah individu menghitung mulai usia sejak lahir sampai berulang
tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih
matang dalam berpikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat seseorang
yang lebih dewasa dipercayai dari yang belum tinggi.

2. Faktor eksternal
1) Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau
kelompok.
2) Sosial budaya
sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi
dari sikap dalam menerima informasi.
3) Kriteria tingkat pengetahuan
Menurut arikunto, 2006 yang dikutip (Budiman, 2013) tema pengetahuan
seseorang diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif
yaitu:
1. Baik: hasil persentase 76% sampai 100%
2. Cukup: hasil persentase 56% sampai 75%
3. Kurang: hasil persentase </= 55%
2.1 Konsep Dasar Keluarga
2.1.1 Definisi Keluarga
Istilah keluarga didefinisikan berbeda-beda tergantung dari orientasi teoritis yang
digunakan. Beberapa definisi keluarga sering menggunakan teori interaksi, sistem, atau
tradisional. Secara tradisional keluarga didefinisikan sebagai berikut:
1. Burges dkk. (1963)
Membuat definisi keluarga yang berorientasi pada tradisi dimana:
1) Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan
ikatan adopsi.
2) Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga,
ataupun jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga
mereka tersebut sebagai rumah mereka.
3) Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama laindalam peran-peran sosial
keluarga seperti suami-istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara
dan saudari.
4) Keluarga bersama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari
masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
2. WHO
Keluarga adalah kumpulan anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui
pertalian darah, adopsi atau perkawinan.
3. Duvall (1976)
Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi,
kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggotanya.
4. Bailon dan Maglaya (1978)
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup didalam satu rumah tangga karena
adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang
lai, mempunyai peran masing-masing, dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
5. Logan’s (1979)
Keluarga adalah sebuah sistem sosial dan kumpulan dari beberapa komponen yang saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya (Sulistyo Andarmoyo, 2012).
Keluarga merupakan suatu kelompok atau sekumpulan manusia yang hidup bersama
sebagai satu kesatuan unit masyarakat yang terkecil dan biasanya tidak selalu ada hubungan
darah, ikatan perkawinan, atau ikatan lain. Mereka hidup bersama dalam satu rumah, dibawah
asuhan seorang kepala keluarga dan makan dalam satu periuk (Setiawati Santun dan Dermaga
Agus C, 2010).

2.1.2 Tujuan Dasar Keluarga


Tujuan dasar pembentukan keluarga adalah:
1. Keluarga merupakan unit dasar yang memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan
individu.
2. Keluarga sebagai perantara bagi kebutuhan dan harapan anggota keluarga dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
3. Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga dengan
menstabilkan kebutuhan kasih saying, sosio-ekonomi dan kebutuhan seksual.
4. Keluarga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan identitas seorang
individu dan perasaan harga diri.
2.1.3 Tipe Keluarga
1. Keluarga Tradisional
1) Tradisional Nuclear/Keluarga Inti
Merupakan suatu bentukkeluarga tradisional yang dianggap paling ideal.
Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, tinggal dalam satu
rumah, di mana ayah adalah pencari nafkah dan ibu sebagai ibu rumah tangga.
2) Keluarga Pasangan Suami Istri Bekerja
Adalah keluarga di mana pasangan suami istri keduanya bekerja di luar rumah.
Keluarga ini merupakan pengembangan varian nontradisional di mana pengambilan
keputusan dan pembagian fungsi keluarga ditetapkan secara bersama-sama oleh kedua
orang tua. Meskipun demikian, beberapa keluarga masih tetap menganut bahwa fungsi
kerumahtanggaan tetap dipegang oleh istri.
3) Keluarga Tanpa Anak atau Dyadic Nuclear
Adalah di mana keluarga suami-istri sudah berumur, tetapi tidak mempunyai
anak. Keluarga tanpa anak dapat diakibatkan oleh ketidakmampuan pasangan suami
istri untuk menghasilkan keturunan ataupun ketidaksanggupan untuk mempunyai anak
akibat kesibukan dari kariernya. Biasanya keluarga ini akan mengadopsi anak.
4) Commuter Family
Yaitu keluarga dengan pasangan suami istri terpisah tempat tinggal secara
sukarela karena tugas dan pada kesempatan tertentu keduanya bertemu dalam satu
rumah.
5) Reconstituted Nuclear
Adalah pembentukan keluarga baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali
suami/istri, tinggal dalam satu rumah dengan anaknya, baik anak bawaan dari
perkawinan lama maupun hasil perkawinan baru. Pada umumnya, bentuk keluarga ini
terdiri dari ibu dengan anaknya dan tinggal bersama ayah tiri.
6) Extended Family/Keluarga Besar
Keluarga besar tradisional adalah satu bentuk keluarga di mana pasangan suami
istri sama-sama melakukan pengaturan dan belanja rumah tangga dengan orang tua,
sanak saudara, atau kerabat dekat lainnya. Dengan demikian, anak dibesarkan oleh
beberapa generasi dan memiliki pilihan terhadap model-model yang akan menjadi pola
perilaku bagi anak-anak. Tipe keluarga besar biasanya bersifat sementara dan terbentuk
atas dasar persamaan dan terdiri dari beberapa keluarga inti yang secara asil
menghargai ikatan-ikatan keluarga besar. Keluarga luas sering terbentuk akibat
meningkatnya hamil di luar nikah, perceraian, maupun usia harapan hidup yang
meningkat sehingga keluarga besar menjadi pilihan mereka untuk sementara. Varian
dari keluarga besar adalah keluarga Group Marriage, yaitu satu perumahan terdiri dari
orang tua dan keturunannya dalam satu kesatuan keluarga dan keturunannya sudah
menikah serta semua telah mempunyai anak.
7) Keluarga dengan Orang Tua Tunggal/Single Parent
Keluarga dengan orang tua tunggal adalah bentuk keluarga yang didalamnya
hanya terdapat satu orang kepala rumah tangga yaitu ayah atau ibu. Varian tradisional
keluarga ini adalah bentuk keluarga di mana kepala keluarga adalah janda karena cerai
atau ditinggal mati suaminya, sedangkan varian nontradisional dari keluarga ini adalah
Single Adult yaitu kepala keluarga seorang perempuan atau laki-laki yang belum
menikah dan tinggal sendiri.
2. Keluarga Nontradisional
1) Communal/Commune Family
Adalah keluarga di mana dalam satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan
yang monogamy tanpa pertalian keluarga dengan anak-anaknya dan bersama-sama,
dalam penyediaan fasilitas. Tipe keluarga ini biasanya terjadi pada daerah perkotaan di
mana penduduknya padat.
2) Unmarried Parent and Child
Adalah keluarga yang terdiri dari ibu-anak, tidak ada perkawinan dan anaknya
dari hasil adopsi.
3) Cohibing Couple
Merupakan keluarga yang terdiri dari dua orang atau satu pasangan yang tinggal
bersama tanpa kawin.
4) Institusional
Keluarga yang terdiri dari anak-anak atau oramg-orang dewasa yang tinggal
bersama-sama dalam panti. Sebenarnya keluarga ini tidak cocok untuk disebut sebagai
sebuah keluarga, tetapi mereka sering mempunyai sanak saudara yang mereka anggap
sebagai keluarga sehingga sebenarnya terjadi jaringan yang berupa kerabat.
2.1.4 Teori Fungsional Keluarga
Berikut ini dijelaskan beberapa fungsi keluarga dari WHO, friedman dan Depkes RI:
1. Fungsi Keluarga Menurut WHO (1978) adalah sebagai berikut:
1) Fungsi Biologis
Artinya adalah fungsi untuk reproduksi, pemelihara dan membesarkan anak, member
makan, mempertahakan kesehatan dan rekreasi. Prasyarat yang harus dipenuhi untuk fungsi
ini adalah pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen fertilitas, kesehatan genetik,
perawatan selama hamil, perilaku konsumsi yang sehat, serta melakukan perawatan anak.
2) Fungsi Ekonomi
Adalah fungsi untuk memenuhi sumber penghasilan, menjamin keamanan finansial
anggota keluarga, dan menentukan alokasi sumber yang diperlukan. Prasyarat untuk
memenuhi fungsi ini adalah keluarga mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang sesuai
serta tanggung jawab.
3) Fungsi Psikologis
Adalah fungsi untuk menyediakan lingkungan yang dapat meningkatkan
perkembangan kepribadian secara alami, guna memberikan perlindungan psikologis yang
optimum. Prasyarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan fungsi ini adalah emosi stabil,
perasaan antara anggota keluarga baik, kemampuan untuk mengatasi stress dan krisis.
4) Fungsi Edukasi
Adalah fungsi untuk mengajarkan keterampilan, sikap dan pengetahuan. Prasyarat
yang harus dipenuhi dalam melaksanakan fungsi ini adalah anggota keluarga harus
mempunyai tingkat intelegensi yang meliputi pengetahuan, keterampilan serta pengalaman
yang sesuai.
5) Fungsi Sosiokultural
Adalah fungsi ini untuk melaksanakan transfer nilai-nilai yang berhubungan dengan
perilaku, tradisi/adat dan bahasa. Prasyarat yang dipenuhi adalah keluarga harus mengetahui
standar nilai yang dibutuhkan, member contoh norma-norma perilaku serta
mempertahankannya.

2. Fungsi Keluarga Menurut Friedman


1) Fungsi Afektif
Yaitu perlindungan psikologis, rasa aman, interaksi, mendewasakan dan mengenal
identitas diri individu.
2) Fungsi Sosialisasi Peran
Adalah fungsi dan peran dimasyarakat, serta sasaran untuk kontak sosial di dalam/di
luar rumah.
3) Fungsi Reproduksi
Adalah menjamin kelangsungan generasi dan kelangsungan hidup masyarakat.
4) Fungsi Memenuhi Kebutuhan Fisik dan Perawatan
Merupakan pemenuhan sandang, pangan dan papan serta perawatan kesehatan.

5) Fungsi Ekonomi
Adalah fungsi untuk pengadaan sumber dana, pengalokasian dana serta pengaturan
keseimbangan
6) Fungsi Pengontrol/Pengatur
Adalah memberikan pendidikan dan norma-norma.

3. Fungsi Keluarga Menurut PP No. 21 Th. 1994 dan UU No. 10 Tahun 1992
1) Fungsi Keagamaan
Keluarga adalah wahan utama dan pertama menciptakan seluruh anggota keluarga
menjadi insane yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2) Fungsi Sosial Budaya
Keluarga berfungsi untuk menggali, mengembangkan dan melestarikan sosial budaya
Indonesia.
3) Fungsi Kasih Sayang
Keluarga berfungsi mengembangkan rasa cinta dan kasih saying setiap anggota
keluarga, antarkerabat, antargenerasi.
4) Fungsi Perlindungan
Adalah fungsi untuk memberikan rasa aman secara lahir dan batin kepada setiap
anggota keluarga.
5) Fungsi Reproduksi
Memberikan keturunan yang berkualitas melalui: pengaturan dan perencanaan yang
sehat dan menjadi insane pembangunan yang handal.
6) Fungsi Pendidikan dan Sosialisasi
Keluarga merupakan tempat pendidikan utama dan pertama dari anggota keluarga
yang berfungsi untuk meningkatkan fisik, mental, sosial dan spiritual secara serasi, selaras,
dan seimbang.
7) Fungsi Ekonomi
Keluarga meningkatkan keterampilan dalam usaha ekonomis produktif agar
pendapatan keluarga meningkat dan tercapai kesejahteraan.
8) Fungsi Pembinaan Lingkungan
Meningkatkan diri dalam lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam sehingga
tercipta lingkungan yang serasi, selaras, dan seimbang.
Meskipun banyak fungsi-fungsi keluarga seperti disebutkan di atas, pelaksanaan fungsi
keluarga di Indonesia secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut:
Asih: Memberi kasih sayang, perhatian, rasa aman, hangat kepada seluruh anggota keluarga
sehingga dapat berkembang sesuai usia dan kebutuhan.

Asah: Memenuhi pendidikan anak sehingga siap menjadi manusia dewasa, mandiri dan dapat
memenuhi kebutuhan masa depan.

Asuh: Memelihara dan merawat anggota keluarga agar tercapai kondisi yang sehat fisik, mental,
sosial dan spiritual.

2.1.5 Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan


Tugas keluarga merupakan pengambilan data yang berkaitan dengan ketidakmampuan
keluarga dalam menghadapi masalah kesehatan. Asuhan keperawatan keluarga, mencantumkan 5
tugas keluarga sebagai paparan etiologi atau penyebab masalah dan biasanya dikaji pada saat
penjajagan tahan II bila ditemui data maladaptive pada keluarga. Lima tugas keluarga yang
dimaksud adalah :
1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, termasuk bagaimana persepsi
keluarga terhadap tingkat keparahan penyakit, pengertian, tanda dn gejala, faktor penyebab
dan persepsi keluarga terhadap masalah yang dialami keluarga.
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan, termasuk sejauh mana keluarga mengerti
menganai sifat dan luasnya masalah, bagaimana masalah dirasakan oleh keluarga, keluaraga
menyerah atau tidak terhadap masalah yang dihadapi, adakah rasa takut terhadap akibat atau
adakah sikap negative dari keluarga terhadap masalh kesehatan, bagaimana sistem
pengambilan keputusan yang dilakukan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit.
3. Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit, seperti bagaimana keluarga
mengetahui keadaan sakitnya, sifat dan perkembangan perawatan yang diperlukan sumber
sumber yang ada dalam keluarga serta sikap keluarga terhadap yang sakit.
4. Ketidakmampuan keluarga memodivikasi lingkungan, seperti pentingnya hygene sanitasi
bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit yang dilakukan keluarga, upaya pemeliharaan
lingkungan yang dilakukan keluarga, kekompakan anggota keluarga dalam menata
lingkungan dan luar rumah yang berdampak terhadap kesehatan keluarga.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti kepercayaan
keluarga terhadap petugas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan, keberadaan fasilitas
kesehatan yang ada, keuntungan keluarga terhadap penggunaan fasilitas kesehatan, apakah
pelayanan kesehatan terjangkau oleh keluarga, adakah pengalaman yang kurang baik yang
dipersepsikan keluarga (Achjar, 2010).

2.1.6 Peranan Keluarga


Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan,
yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam
keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Berikut peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut :
1. Peranan ayah: ayah sebagai suami dari istri, berperanan sebagai pencari nafkah, pendidik,
pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok
sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.
2. Peranan ibu: sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk
mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan
sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya, serta sebagai anggota masyarakat dari
lingkungannya, disamping ini juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam
keluarganya.
3. Peranan anak: anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosio sesuai dengan tingkat
perkembangannya, baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.

2.1.7 Peran Perawat Keluarga


1. Pendidik
1) Keluarga dapat melakukan program asuhan kesehatan keluarga secara mandiri.
2) Bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan keluarga. Dengan diberikan
pendidikan kesehatan/penyuluhan diharapkan keluarga mampu mengatasi dan
bertanggung jawab terhadap masalah kesehatannya.
2. Koordinator
Koordinator diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang
komprehensif dapat tercapai. Koordinasi juga sangat diperlukan untuk mengatur program
kegiatan atau terapi dari berbagai disiplin ilmu agar tidak terjadi tumpang tindih dan
pengulangan.
3. Pelaksana
Perawat yang bekerja dengan klien dan keluarga baik dirumah, klinik maupun
dirumah sakit bertanggung jawab dalam memberikan perawatan langsung. Kontak pertama
perawat kepada keluarga melalui anggota keluarga yang sakit. Perawat dapat
mendemonstrasikan kepada keluarga asuhan keperawatan yang diberikan dengan harapan
keluarga nanti dapat melakukan asuhan langsung kepada anggota keluarga yang sakit.
4. Pengawas Kesehatan
Sebagai pengawas kesehatan perawat harus melakukan home visit atau kunjungan
rumah yang teratur untuk mengidentifikasikan atau melakukan pengkajian tentang
kesehatan keluarga. Perawat tidak hanya melakukan kunjungan tetapi diharapkan ada
tindak lanjut dari kunjungan ini.
5. Konsultan
Perawat sebagai narasumber bagi keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan.
Agar keluarga mau meminta nasehat pada perawat maka hubungan perawat dan keluarga
harus dibina dengan baik, perawat harus bersikap terbuka dapat dipercaya. Maka dengan
demikian, harus ada Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP) antara perawat dan keluarga.
6. Kolaborasi
Sebagai perawat di komunitas juga harus bekerja sama dengan pelayanan rumah
sakit, puskesmas, dan anggota tim kesehatan yang lain untuk mencapai tahap kesehatan
keluarga yang optimal. Kolaborasi tidak hanya dilakuan sebagai perawat di rumah sakit
tetapi juga di keluarga dan komunitas pun dapat dilaksanakan.
7. Fasilitator
Peran perawat komunitas di sini adalah membantu keluarga dalam menghadapi
kendala untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal. Kendala yang sering dialami
keluarga adalah keraguan didalam mengguanakan pelayanan kesehatan, masalah ekonomi,
dan sosial budaya. Agar dapat melaksanakan peran fasilitator dengan baik, maka perawat
komunitas harus mengetahui sistem pelayanan kesehatan, misalnya sistem rujukan dan
dana sehat.
8. Penemu Kasus
Peran perawat komunitas yang juga sangat penting adalah mengidentifikasi
kesehatan secara dini (Case Finding), sehingga tidak terjadi ledakan atau Kejadian Luar
biasa (KLB).
9. Modifikasi Lingkungan
Perawat komunitas juga harus dapat memodifikasi lingkungan, baik lingkungan
rumah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekitarnya agar dapat tercipta lingkungan
yang sehat.

2.2 Konsep Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan layanan
kesehatan kepada masyarakat (Dimas, 2013).
Definisi pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub
sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan
promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan
Loomba (1973), pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan peroorangan, keluarga,
kelompok, atau masyarakat.
Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas,
mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak
macamnya. Karena kesemuanya ini ditentukan oleh (Dimas, 2013) :
1. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara bersama-sama
dalam suatu organisasi.
2. Ruang lingkup kegiatan, apakah pelayanan kesehatanhanya mencakup kegiatan pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan atau
kombinasi dari padanya.
Menurut Azwar, 1996 untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan yang baik harus
memiliki berbagai persyaratan pokok, yaitu (Diah, 2012) :
1. Tersedia dan Berkesinambungan
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan tersebut harus
tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continuous). Artinya semua
jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan mudah dicapai oleh masyarakat.
2. Dapat diterima dan wajar
Syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah apa yang dapat diterima
(acceptable) oleh masyarakat serta bersifat wajar (appropriate). Artinya pelayanan kesehatan
tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, kepercayaan
masyarakat dan bersifat wajar.
3. Mudah dicapai
Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah dicapai
(accessible) oleh masyarakat.Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut
lokasi. Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka pengaturan
sarana kesehatan menjadi sangat penting.
4. Mudah dijangkau
Syarat pokok pelayanan kesehatan yang ke empat adalah mudah dijangkau (affordable)
oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan disini terutama dari sudut biaya. Untuk mewujudkan
keadaan seperti ini harus dapat diupayakan pendekatan sarana pelayanan kesehatan dan biaya
kesehatan diharapkan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
5. Bermutu
Syarat pokok pelayanan kesehatan yang kelima adalah yang bermutu (quality). Pengertian
mutu yang dimaksud adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan
pihak lain tata cara penyelenggaraan sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.
Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis secara umum dapat dibedakan atas dua, yaitu:
1. Pelayanan kedokteran: Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan
kedokteran (medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat
sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu organisasi. Tujuan utamanya
untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk
perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat: Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok
kesehatan masyarakat (public health service) ditandai dengan cara pengorganisasian yang
umumnya secara bersama-sama dalam suatu organisasi. Tujuan utamanya untuk memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasarannya untuk kelompok dan
masyarakat.
Pelayanan kesehatan di Indonesia diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan pemerintah bertumpu kepada Puskesmas sebagai sarana
pelayanan kesehatan tingkat pertama, serta Rumah sakit dengan berbagai jenjang sebagai sarana
pelayanan kesehatan tingkat kedua dan ketiga. Sedangkan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh swasta banyak macamnya, seperti praktek Bidan, praktek Dokter,
Poliklinik dan Balai pengobatan sebagai pelayanan kesehatan tingkat pertama, serta praktek
Dokter Spesialis dan Rumah sakit dengan berbagai jenjang, sebagai sarana pelayanan kesehatan
tingkat kedua dan ketiga.

2.3 Konsep Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan


Kepuasan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari pihak pemberi pelayanaan saja, tetapi
juga dipengaruhi faktor dari luar maupun dari dalam diri pasien. Faktor dari dalam mencakup
sumber daya, pendidikan, pengetahuan dan sikap. Faktor dari luar mencakup budaya, sosial
ekonomi, keluarga dan situasi yang dihadapi (Gerson, 2004 dalam Sutianingsih, 2012). Penilaian
kualitas pelayanan dikaitkan dengan kepuasan pasien dengan berfokus pada aspek fungsi dari
proses pelayanan (Supranto, 2001 dalam Sutianingsih, 2012), yaitu :
1) Tangibles (Wujud nyata) adalah wujud langsung yang meliputi fasilitas fisik, yang mencakup
kemutahiran peralatan yang digunakan, kondisi sarana, kondisi SDM perusahaan dan
keselarasan antara fasilitas fisik dengan jenis jasa yang diberikan.

2) Reliability (kepercayaan) adalah pelayanan yang disajikan dengan segera dan memuaskan
dan merupakan aspek-aspek keandalan sistem pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa
yang meliputi kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan rencana kepedulian perusahaan
kepada permasalahan yang dialami pasien, keandalan penyampaian jasa sejak awal,
ketepatan waktu pelayanan sesuai dengan janji yang diberikan keakuratan penanganan.

3) Responsiveness (tanggung jawab) adalah keinginan untuk membantu dan menyediakan jasa
yang dibutuhkan konsumen. Hal ini meliputi kejelasan informasi waktu penyampaian jasa,
ketepatan dan kecepatan dalam pelayanan administrasi, kesediaan pegawai dalam membantu
konsumen, keluangan waktu pegawai dalam menanggapi permintaan pasien dengan cepat.

4) Assurance (jaminan) adalah adanya jaminan bahwa jasa yang ditawarkan memberikan
jaminan keamanan yang meliputi kemampuan SDM, rasa aman selama berurusan dengan
karyawan, kesabaran karyawan, dukungan pimpinan terhadap staf.

5) Empathy (empati) adalah berkaitan dengan memberikan perhatian penuh kepada konsumen
yang meliputi perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara pribadi kepada konsumen,
pemahaman akan kebutuhan konsumen, perhatian terhadap kepentingan konsumen,
kesesuaian waktu pelayanan dengan kebutuhan konsumen.

Banyak ahli ilmu yang mencoba menyampaikan konsep serta menyajikan bukti-bukti
penelitian untuk menggambarkan, menerangkan, dan meramalkan keputusan-keputusan orang
yang berkaitan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Walaupun masing-masing model yang
dikemukakan berbeda sesuai dengan pandangan teori dan tipe perilaku, namun menggunakan
variabel yang hamper sama.
Kebutuhan kesehatan (Health need) akan pelayanan kesehatan pada dasarnya bersifat
obyektif, karena itu untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga,
kelompok ataupun masyarakat, upaya untuk memenuhinya bersifat mutlak. Tuntutan kesehatan
(health demands) bersifat subyektif. Tuntutan kesehatan banyak dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan social ekonomi (Azwar, 1996 dalam Leni, 2012).
Pemanfaatan merupakan kegunaan dari sebuah program sehingga program ini dapat
berguna baik oleh individu atau masyarakat. Dalam proses peningkatan pelayanan kesehatan
tentunya pemanfaatan sebuah program menjadi bagian dari output atau hasil dari sebuah
kebijakan yang dibuat (Leni, 2012).
Faktor–faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut
Donabedien (Dever, 1984 dalam Leni, 2012) yaitu :
1. Faktor sosial budaya dan cultural, terdiri dari :
1) Norma-norma dan nilai-nilai sosial serta kultur yang ada di masyarakat.
2) Teknologi kesehatan pada pelayanan kesehatan. Kemajuan teknologi kedokteran dapat
membantu mengobati penyakit sehingga menurunkan angka kesakitan dan menurunkan
pengunaan jasa layanan kesehatan.
2. Faktor Organisasi Penyedia Layanan Kesehatan
1) Tersedianya sumber daya, yaitu sumber daya yang meliputi kuantitas dan kualitas.
Sumber daya ini mempengaruhi pelayanan dan permintaan akan layanan kesehatan. Jika
sumber daya tersedia maka pelayanan akan dengan mudah diperoleh.
2) Akses geografi berupa jarak tempuh ke lokasi pelayanan. Dalam memenuhi akses
geografi tentunya diukur dengan jarak tempuh dan waktu tempuh serta dihitung biaya
perjalanan. Akses geografi dalam arti jarak tempuh dan biaya perjalanan tentunya tidak
terlalu menyulitkan bagi warga binaan yang ada di Rutan karena tempat dan lingkungan
pengobatan mudah dijangkau.
3) Akses Sosial berupa bisa mengandung dua pengertian, yaitu akses yang bisa diterima dan
yang tidak bisa di jangkau. Akses yang bias diterima lebih diarahkan kepada faktor
psikologis, sosial dan budaya , namun terjangkau bisa berupa finansial atau faktor
ekonomi.
4) Karakteristik struktur organisasi yang formal serta pemberian pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan dapat dikategorikan dalam beberapa bentuk, misalnya rumah sakit,
rumah bersalin, klinik bersama, praktek pribadi, praktek bersama dan lain-lain. Kegunaan
dari semua bentuk pelayanan ini mempunyai pola yang berbeda satu sama lain.
3. Faktor yang langsung berhubungan dengan konsumen.yaitu terdiri :
1) Faktor sosiodemografis yaitu umur, jenis kelamin, ras, suku bangsa, status perkawinan
dan status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, penghasilan).
2) Faktor sosial psikologis yaitu persepsi terhadap penyakit sertasikap dan keyakinan
tentang pelayanan kesehatan, dan perawatan medis atau dokter.
3) Faktor epidemiologis, yang terdiri dari mortalitas, morbiditas dan faktor resiko.
4. Faktor Petugas Kesehatan/Produsen
1) Faktor ekonomi. Dalam masalah ekonomi tentunya sebagai konsumen kesulitan untuk
memiliki prefensi yang cukup sehingga akan diserahkan ke pihak provider.
2) Faktor karakteristik petugas kesehatan. Faktor yang berhubungan berupa tipe pelayanan
kesehatan, sikap petugas kesehatan, kecakapan atau keahlian beserta kelengkapan
fasilitas atau sarana kesehatan.

1.1 Konsep Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA)

1.1.1 Definisi
Stroke adalah kelainan fungsi otak yang terjadi secara mendadak yang disebabkan
terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja
(Muttaqin, 2008).
Stroke ialah suatu penyakit yang menyerang siapapun dengan kejadian yang sangat
mendadak dan merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan neurologi selain
penyakit jantung dan kanker (Tarwoto, 2013). Sementara itu stroke suatu penyakit yang
menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir,
daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai akibat dari gangguan fungsi
otak (Muttaqin, 2008).
Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan otak secara fokal atau
global yang berlangsung 24 jam atau lebih dan dapat mengakibatkan kematian atau
kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan
pembuluh darah otak (WHO, 1983 dalam Tarwoto, 2013) hal ini terjadi ketika aliran
darah pada lokasi tertentu di otak terganggu sehingga suplay oksigen juga terganggu.
Daerah pada daerah yang kekurangan oksigen menjadi rusak dan menimbulkan gejala
kecacatan. Tipe dan beratnya defisit neurologi mempunyai gejala-gejala yang bervariasi
tergantung dari bagian-bagian otak yang terkena (Tarwoto, 2013).
1.1.2 Penyebab
a. Trombosis Serebri
Trombosis serebri ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi
sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang bisa menimbulkan edema dan
kongesti disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur
atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan
penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebri. Tanda dan gejala
neurologis sering kali memburuk dalam waktu sekitar 48 jam setelah terjadinya
trombosis (Muttaqin, 2008).
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan trombosis otak :
1) Aterosklerosis
2) Hiperkoangulasi pada polisitemia
3) Arteritis (radang pada arteri)
4) Emboli
b. Hemoragi
Perdarahan intracranial atau intraserebri meliputi perdarahan dalam ruang
subrakhonoid atau didalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi akibat
aterosklerosis dan hipertensi. Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan,
pergeseran, dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga otak akan
membengkak, jaringan otak tertekan sehingga terjadi infark otak, edema, dan
mungkin berniasi otak. (Muttaqin, 2008)
c. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia umum adalah :
1) Hipertensi yang parah
2) Henti jantung paru
3) Curah jantung turun akibat aritmia
d. Hipoksia Lokal
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia setempat adalah :
1) Spasme arteri serebri yang disertai perdarahan subarachnoid,
2) Vasokontriksi asrteri otak disertai sakit kepala migren (Mutaqqin, 2008).
1.1.3 Patofisiologi
Otak merupakan bagian tubuh yang sangat memerlukan oksigen dan glukosa karena
jaringan otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa yang berlebihan seperti halnya
pada otot. Meskipun berat otak sekitar 2% dari seluruh berat badan , namun
menggunakan sekitar 25% suplay oksigen dan 70% glukosa. Jika aliran darah ke otak
terhambat maka akan terjadi iskemia dan terjadi gangguan metabolism otak yang
kemudian terjadi gangguan perfusi serebral. Area otak disekitar yang mengalami
hipoperfusi disebut penumbra. Jika aliran darah ke otak terganggu lebih dari 30 detik
pasien dapat menjadi tidak sadar dan dapat terjadi kerusakan jaringan otak yang
permanen jika aliran darah otak terganggu lebih dari 4 menit. Untuk mempertahankan
aliran darah ke otak maka tubuh akan melakukan dua mekanisme tubuh yaitu mekanisme
anastomosis dan mekanisme autoregulasi. Mekanisme anastomosis berhubungan suplay
darah ke otak untuk pemenuhan kebutuhan oksigen dan glukosa. Sedangkan mekanisme
autoregulasi adalah bagaimana otak melakukan mekanisme/usaha sendiri dalam menjaga
keseimbangan. Misalnya terjadi hipoksemia otak maka pembuluh darah akan mengalami
vasodilatasi (Tarwoto, 2013).
a. Mekanisme Anastomosis
Otak diperdarahi melalui 2 arteri karotis dan 2 arteri vertebralis. Arteri karotis
terbagi menjadi karotis interna memperdarahi langsung kedalam otak dan bercabang
kira-kira setinggi kiasma optikum menjadi arteri serebri anterior dan media. Karotis
eksterna memperdarahi wajah, lidah, faring, dan meningens. Arteri vertebralis
berasal dari arteri subclavia. Arteri vertebralis mencapai dasar tengkorak melalui
jalan tembus dari tulang yang dibentuk oleh prosesus transverse dari vertebra
servikal mulai dari C6 sampai dengan C1. Masuk ke ruang kranial melalui foramen
magnum, dimana arteri-arteri vertebra bergabung menjadi arteri basilar. Arteri
basilar bercabang menjadi dua arteri serebral posterior yang memenuhi kebutuhan
darah permukaan medial dan inferior arteri baik bagian lateral lobus temporal dan
occipital (Tarwoto, 2013).
Meskipun arteri karotis interna dan vertebra basilaris merupakan 2 sistem arteri
yang terpisah yang mengalirkan darah ke otak, tetapi keduanya disatukan oleh
pembuluh dan anastomosis yang membentuk sirkulasi wilisi. Arteri serebri posterior
dihubungkan dengan arteri serebri media dan arteri serebri anterior dihubungkan oleh
arteri komunikan anterior sehingga terbentuk lingkaran yang lengkap. Biasanya
aliran darah dalam arteri komunikans hanyalah sedikit. Arteri ini merupakan
penyelamat apabila terjadi perubahan tekanan darah arteri yang dramatis (Tarwoto,
2013).
b. Mekanisme Autoregulasi
Oksigen dan glukosa adalah suatu elemen yang penting untuk metabolisme
serebral yang dipenuhi oleh aliran darah secara terus menerus. Aliran darah serebral
dipertahankan dengan kecepatan konstan 750 ml/menit. Kecepatan secara konstan ini
dipertahankan oleh suatu mekanisme homeostatis sistemik dan lokal dalam rangka
mempertahankan kebutuhan nutrisi dan darah secara adekuat (Tarwoto, 2013).
Terjadinya stroke sangat erat hubungannya dengan perubahan aliran darah
otak, baik karena sumbatan/oklusi pembuluh darah otak ataupun karena pendarahan
pada otak menimbulkan tidak adekuatnya suplay oksigen dan glukosa. Berkurangnya
oksigen atau meningkatnya karbondioksida merangsang pembuluh darah untuk
berdilatasi sebagai kompensasi tubuh untuk meningkatkan aliran darah lebih banyak.
Sebaliknya keadaan vasodilatasi memberi efek pada peningkatan tekanan intrakrania
(Tarwoto, 2013).
Kekurangan oksigen dalam otak (hipoksia) akan menimbulkan iskemia.
Keadaan iskemia yang relatif pendek/cepat dan dapat pulih kembali disebut
Transient Ischemic Attacks (TIA). Selama periode anoxia (tidak ada oksigen)
metabolisme otak cepat terganggu. Sel otak akan mati dan terjadi perubahan
permanen antara 3-10 menit anoksia.

WOC
Faktor-faktor risiko stroke

Katup jantung rusak,


miokard infark, fibrilasi,
endokarditis
Aterosklerosis, Aneurisma, malformasi,
hiperkoagulasi, arteriovenous
artesis

Penyumbatan pembuluh
Trombosis serebral darah otak oleh bekuan
darah, lemak, dan udara

Pendarahan intraserebral

Perembesan darah ke
Emboli serebral parenkim otak
Pembuluh darah
Penekanan jaringan otak
oklusi
Stroke (cerebrov ascular
Iskemik jaringan
accident) Infark otak, edema, dan
otak herniasi otak

Defisit neurologis
Edema dan kongesti
jaringan sekitar

Infark Kehilangan Risiko Kerusakan terjadi Disfungsi


serebral kontrol Peningkatan pada lobus frontal bahasa dan
volunter TIK kapitas, memori, komunikasi
atau fungsi
intelektual
Penurunan
kortikal Disartria,
Perfusi Hemiplegi Herniasi falk
Jaringan serebri dan disfasia/
dan
Serebral ke foramen afasia,
Hemiparesis
magrum apraksia
Kerusakan fungsi
Kompresi kognitif dan efek
Kerusakan batang otak psikologis
mobilitas
fisik Kerusakan
komunikasi
Lapang perhatian
Depresi saraf verbal
Koma terbatas, kesulitan
kardiovaskul
dalam
ar dan
pemahaman ,
pernapasan
Intake Kelemah lupa, dan kurang
nutrisi an fisik motivasi, frustasi,
tidak umum labilitas
Kegagalan
adekuat emosional,
kardiovaskul
bermusuhan,
ar dan
Perubahan dendam, dan
pernapasan
pemenuha kurang kerjasama,
n nutrisi Kematian penurunan gairah
Koping individu
tidak efektif
Penurunan Disfungsi Gangguan
tingkat persepsi psikologis Perubahan
kesadaran visual proses pikir
spasial dan Perubahan
kehilangan peran keluarga Penurunan
sensori gairah seksual
Kecemasan klien
dan keluarga Resiko
Risiko Perubahan ketidakpatuhan
Risiko
trauma persepsi terhadap
penurunan
(cedera) sensorik penatalaksanaan
pelaksanaan
ibadah

Penekanan
Jaringan setempat

Risiko Kemampuan Disfungsi


tinggi batuk menurun, kandung kemih,
kerusakan kurang mobilitas dan saluran
integritas fisik, dan pencernaan
kulit produksi sekret

Gangguan
Risiko eliminasi uri dan
ketidakefektifan alvi
bersihan jalan
napas

Table 2.1 Patofisiologi Stroke (Arif Muttaqin, 2011).


1.1.4 Klasifikasi Stroke
Klasifikasi stroke menurut Tarwoto (2013) meliputi:
a. Klasifikasi stroke berdasarkan keadaan patologis
1) Stroke Iskemik
Iskemik terjadi akibat suplay darah ke jaringan otak berkurang hal ini
disebabkan karena obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak. Hampir
85% pasien stroke merupakan stroke iskemik. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya hambatan aliran darah otak. Mekanisme terjadinya
iskemik secara umum dibagi menjadi 5 kategori yaitu thrombosis, emboli,
perfusi sistemik, penyempitan lumen arteri dan venous congestion.
2) Trombosis
Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan atau gumpalan di arteri yang
menyebabkan penyumbatan sehingga mengakibatkan terganggunya aliran darah
ke otak. Hambatan aliran darah ke otak menyebabkan jaringan otak kekurangan
oksigen atau hipoksia kemudian menjadi iskemik dan berakhir pada infark.
Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling sering, yang berkaitan
dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis. Faktor
lain terjadinya trombosis adalah adanya lipohialinosis, invasi vaskuler oleh
tumor, penyakit gangguan pembekuan darah seperti Diseminated Intravasculer
Coagulasi (DIC) dan Trombotis Trombositopenia Purpura (TTP). Pemberian
heparin sangat efektif untuk menghancurkan thrombosis.
3) Emboli
Emboli merupakan benda asing yang berada pada pembuluh darah sehingga
dapat menimbulkan konklusi atau penyumbatan pada pembuluh darah otak.
Sumber emboli diantaranya adalah udara, tumor, lemak, dan bakteri. Paling
sering terjadi trombosis berasal dari dalam jantung, juga berasal dari plak
aterosklerosis sinus karotikus atau arteri karotis interna.
4) Hipoperfusi sistemik
Hipoperfusi sistemik disebabkan menurunnya tekanan arteri misalnya
karena cardiac arrest, embolis pulmonal, miokardiak infark, aritmia, syok
hipovolemik.
5) Penyempitan Lumen Arteri
Dapat terjadi karena infeksi atau proses peradangan, spasme atau karena
kompresi massa dari luar.
Manifestasi klinik pasien dengan stroke iskemik diantaranya :
a) Cenderung terjadi pada saat istirahat atau tidur
b) Proses terjadinya stroke iskemik lebih lambat dari pada hemoragik
c) Tekanan darah tinggi atau dapat normal
d) Kesadaran menurun atau normal
6) Stroke Haemoragik
Angka kejadian stroke haemoragik sekitar 15% dari stroke secara
keseluruhan. Stroke ini terjadi karena perdarahan atau pecahnya pembuluh darah
otak baik di subarachnoid intraserebral maupun karena aneurisma. Angka
kematian pasien dengan stroke hemoragik sekitar 25-60% (Black, 2009 dalam
Tarwoto, 2013).
a) Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral terjadi karena pecahnya arteri-arteri kecil
pada serebral. Kira-kira 2/3 pasien dengan perdarahan serebral terjadi
akibat tidak terkontrolnya tekanan darah yang tinggi atau adanya riwayat
hipertensi, penyakit diabetes mellitus dan arteriosklerosis. Penyebab lain
karena perdarahan akibat tumor otak, trauma, malformasi arteriovena dan
obat-obatan seperti amphitamin dan cokain.
Pasien dengan stroke haemoragik karena perdarahan intraserebral
kejadiannya akut, dengan nyeri kepala berat dan penurunan kesadaran.
Tanda dan gejala lain tergantung pada lokasi dan banyaknya perdarahan.
Namun umumnya perdarahan terjadi pada lokasi cerebellum, jarang terjadi
pada cerebrum yang merupakan pusat keseimbangan dan pergerakan.
Sehingga pada jenis stroke ini sering dijumpai adanya gangguan
pergerakan, keseimbangan, nyeri kepala, mual dan muntah.
b) Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarachnoid biasanya akibat aneurisma atau malformasi
vaskuler. Kerusakan otak terjadi karena adanya darah yang keluar dan
menggumpal sehingga mendorong ke area otak dan pembuluh darah.
Gejala klinik yang sering terjadi adalah perubahan kesadaran, mual,
muntah, kerusakan intelektual dan kejang. Gejala lain tergantung dari
ukuran dan lokasi perdarahan.
c) Aneurisma
Merupakan dilatasi pada pembuluh darah arteri otak yang kemudian
berkembang menjadi kelemahan pada dinding pembuluh darahnya.
Penyebab aneurisma belum diketahui namun diduga karena
arteriosklerosis, keturunan, hipertensi, trauma kepala maupun
bertambahnya umur. Aneurisma dapat pecah menimbulkan perdarahan
atau vasospasme menimbulkan gangguan aliran darah ke otak dan
selanjutnya menjadi stroke iskemik.
Manifestasi klinik pasien dengan stroke hemoragik diantaranya :
(1) Cenderung terjadi pada saat aktivitas
(2) Proses terjadinya stroke hemoragik lebih cepat terjadi
(3) Tekanan darah tinggi
(4) Kesadaran biasanya menurun atau tidak sadar

b. Klasifikasi stroke berdasarkan perjalanan penyakit


1) Transient Ischemic Attack (TIA)
Merupakan gangguan neurologik fokal yang timbul secara tiba-tiba dan
menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Gejala yang muncul
akan hilang secara spontan dalam waktu kurang dari 24 jam. TIA merupakan
tanda-tanda awal terjadinya stroke komplit, hampir 50% pasien TIA berkembang
menjadi stroke serta beresiko terjadinya serangan jantung. Penyebab terjadinya
TIA adalah terbatasnya aliran darah ke otak karena stenosis arteri karotis dan
embolus (Tarwoto, 2013).
Tanda dan gejala TIA diantaranya :
a) Kelemahan yang mendadak pada wajah, lengan, tangan di satu sisi
b) Kehilangan kemampuan bicara, atau bicara yang sulit dimengerti
c) Gangguan penglihatan pada salah satu mata
d) Pandangan ganda
e) Pusing dan nyeri kepala
f) Kesulitan berjalan, tidak ada koordinasi gerak (sempoyongan), kesulitan
berjalan atau pasien dapat jatuh.
g) Perubahan kepribadian termasuk kehilangan memori.
2) Progresif (Stroke in Evolution)
Perkembangan stroke terjadi perlahan-lahan sampai akut, munculnya gejala
makin memburuk. Proses progresif beberapa jam sampai beberapa hari (Tarwoto,
2013).
3) Stroke lengkap (Stroke Complete)
Gangguan neurologik yang timbul sudah menetap atau permanen, maksimal
sejak awal serangan dan sedikit memperlihatkan perbaikan (Tarwoto, 2013).

1.1.5 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang terkena, rata-
rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada stroke akut gejala klinis
meliputi :
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) atau hemiplegia
(paralisis) yang timbul secara mendadak.
Hal ini terjadi akibat adanya kerusakan pada area motorik di korteks bagian
frontal, kerusakan ini bersifat kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada
hemisfer kanan maka kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga akan
kehilangan kontrol otot volunter dan sensorik sehingga pasien tidak dapat melakukan
ekstensi maupun fleksi (Tarwoto, 2013).
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan.
Gangguan sensibilitas terjadi karena kerusakan system saraf otonom dan
gangguan saraf sensorik (Tarwoto, 2013).
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma).
Penurunan kesadaran ini akibat perdarahan kemudian kerusakan otak
kemudian menekan batang otak atau terjadinya gangguan metabolik otak akibat
hipoksia (Tarwoto, 2013).
d. Afasia (kesulitan dalam berbicara)
Afasia adalah defisit kemampuan komunikasi bicara, termasuk dalam membaca,
menulis dan memahami bahasa. Afasia terjadi jika terdapat kerusakan pada area
pusat bicara primer yang berada pada hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke
dengan gangguan pada arteri middle serebral kiri. Afasia dibagi menjadi 3 yaitu
afasia motorik, sensorik dan afasia global. Afasia motorik atau ekspresif terjadi jika
area pada area Broca, yang terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini
pasien dapat memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan dan
kesulitan dalam mengungkapkan bicara. Afasia sensorik terjadi karena kerusakan
pada area Wernicke, yang terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensorik pasien
tidak mampu menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu mengungkapkan
pembicaraan. Sehingga respon pembicaraan pasien tidak nyambung atau koheren.
Pada afasia global pasien tidak dapat merespon pembicaraan baik menerima maupun
mengungkapkan pembicaraan (Tarwoto, 2013).
e. Disartria (bicara cadel atau pelo)
Merupakan kesulitan bicara terutama dalam artikulasi sehingga ucapannya
menjadi tidak jelas. Namun demikian pasien dapat memahami pembicaraan, menulis,
mendengarkan maupun membaca. Disartria terjadi karena kerusakan nervus kranial
sehingga terjadi kelemahan dari otot bibir, lidah, dan laring. Pasien juga terdapat
kesulitan dalam mengunyah dan menelan (Tarwoto, 2013).
f. Gangguan penglihatan (diplopia)
Pasien dapat kehilangan atau juga pandangan menjadi ganda, gangguan lapang
pandang pada salah satu sisi. Hal ini terjadi karena kerusakan pada lobus temporal
atau parietal yang dapat menghambat serat saraf optic pada korteks oksipital.
Gangguan penglihatan juga dapat disebabkan karena kerusakan pada saraf kranial III,
IV, dan VI (Tarwoto, 2013).
g. Disfagia
Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus kranial IX.
Selama menelan bolus didorong oleh lidah dan glotis menutup kemudian makanan
masuk ke esofagus (Tarwoto, 2013).
h. Inkontinensia
Inkontinensia baik bowel maupun bladder sering terjadi karena terganggunya
saraf yang mensarafi bladder dan bowel. (Tarwoto, 2013)
i. Vertigo, mual, muntah, dan nyeri kepala, hal ini terjadi karena peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebri (Tarwoto, 2013).

Secara spesifik tanda dan gejala stroke tergantung pada lokasi kerusakan, ukuran
dan banyaknya perdarahan (Tarwoto, 2013).
Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Stroke Menurut Tarwoto
Lokasi Sindrome
a. Kelumpuhan pada tangan , kaki dan wajah yang
berlawanan dengan kerusakan otak
Arteri karotis
b. Gangguan sensoris pada kaki, wajah, dan tangan yang
interna (ICA)
berlawanan dengan kerusakan otak
c. Afasia, apraksia, agnosia
Middle cerebral a. Hemiplagia kontralateral
b. Gangguan sensori kontralateral
arteri (MCA)
c. Afasia
a. Paralisis kontralateral
b. Gangguan berjalan
Anterior cerebral
c. Kehilangan sensoris
arteri (ACA)
d. Kerusakan kognitif
e. Inkontinensia urine
a. Pusing
b. Nigtagmus
c. Disfagia
Arteri vertebra d. Disartria
e. Nyeri pada muka, hidung atau mata
f. Kelemahan pada wajah
g. Gangguan pergerakan
a. Quadriplegia
Arteri basiler
b. Kelemahan otot wajah, lidah, dan faringeal

Secara klinis ada perbedaan antara stroke iskemik dengan stroke hemoragik
seperti berikut :
Tabel 2.2 Perbedaan Antara Stroke Iskemik dengan Stroke Hemoragik Menurut
Tarwoto, (2013).

Gejala Hemoragik Iskemik


Onset Sangat akut Subakut/akut
Saat terjadinya Waktu aktif Tidak aktif
Nyeri kepala Hebat Ringan/tidak ada
Muntah pada awal Sering Tak ada
Kaku kuduk Jarang/biasa ada Tak ada
Kejang Biasa ada Tak ada
Kesadaran Biasa hilang Dapat hilang

1.1.6 Faktor Resiko Stroke


Menurut Tarwoto (2013), ada beberapa faktor resiko terjadinya stroke yaitu :
a. Tekanan darah tinggi atau hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko yang sering menyebabkan terjadinya stroke.
Sekitar 50-70 % kasus stroke disebabkan karena hipertensi. Penurunan diastole 5-6
mmHg dan sistole 10-12 mmHg selama 2 sampai 3 tahun akan menurunkan resiko
stroke antara 4,5-7% (Anthony Rudd, 2002). Pasien dengan hipertensi yang lama
akan berpengaruh terhadap kerusakan arteri, penebalan, arterosklerosis atau arteri
dapat pecah atau ruptur.
b. Penyakit jantung
Penyakit jantung merupakan faktor penyebab yang paling kuat terjadinya stroke
iskemik. Jenis penyakit jantung yang menjadi faktor resiko stroke diantaranya
penyakit jantung koroner, penyakit katup jantung, gagal jantung, gangguan irama
jantung seperti pada fibrilasi atrium yang dapat menyebabkan penurunan kardiak
output, sehingga terjadi gangguan perfusi serebral.
c. Diabetes Melitus
Pada penyakit DM terjadi gangguan atau kerusakan vaskuler baik pada pembuluh
darah besar maupun pembuluh darah kecil karena hiperglikemia sehingga aliran
darah menjadi lambat. Termasuk juga hambatan dalam aliran darah ke otak.
d. Hiperkolesterol atau lemak
Kolesterol dalam tubuh menyebabkan aterosklerosis pada pembuluh darah otak
dan terbentuknya lemak sehingga aliran darah lambat. Disamping itu hiperkolesterole
dapat menimbulkan penyakit jantung koroner.
Penelitian menunjukkan angka stroke meningkat pada pasien dengan kadar
kolesterol diatas 240 mg %. Setiap kenaikan 38,7 mg % akan menaikkan angka
stroke 25%. Sedangkan kenaikan HDL 1 mmol (38,7 mg %) menurunkan terjadinya
stroke setinggi 47%. Demikian juga kenaikan trigliserid menaikkan jumlah terjadinya
stroke. Pemberian obat –obat anti kolesterol jenis statin sangat menurunkan
terjadinya stroke.
e. Obesitas dan kurang aktivitas
Obesitas dan kurang aktivitas merupakan faktor penyebab terjadinya
hiperkolesterol, hipertensi, dan penyakit jantung.
f. Usia : makin bertambah usia resiko stroke makin tinggi, hal ini berkaitan dengan
elastisitas pembuluh darah.
g. Ras dan keturunan : stroke lebih sering ditemukan pada kulit putih.
h. Jenis kelamin : laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi.
i. Polisitemia : kadar Hb yang tinggi (Hb lebih dari 16 mg/dL) menimbulkan darah
menjadi lebih kental dengan demikian aliran darah ke otak lebih lambat.
j. Perokok : rokok menimbulkan plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga
terjadi aterosklerosis.
k. Alkohol : pada alkoholik dapat mengalami hipertensi, penurunan aliran darah ke otak
dan kardiak aritmia.
l. Kontrasepsi oral dan terapi estrogen
Estrogen diyakini menyebabkan peningkatan pembekuan darah sehingga beresiko
terjadinya stroke.
m. Riwayat Transient Ischemic Attacks (TIA)
TIA atau disebut juga ministroke, merupakan gangguan aliran darah otak sesaat
yang bersifat reversible. Pasien TIA merupakan tanda-tanda awal terjadinya stroke
dan dapat berkembang menjadi stroke komplit sekitar 10-50%.
n. Penyempitan pembuluh darah karotis
Pembuluh darah karotis berasal dari pembuluh darah jantung yang menuju ke otak
dan dapat diraba pada leher. Penyempitan pembuluh darah kadang tidak ada gejala
dan hanya diketahui dengan pemeriksaan. Penyempitan > 50% ditemukan pada 7%
pasien laki-laki dan 5% pada perempuan pada umur diatas 65 tahun. Pemberian obat-
obat aspirin dapat mengurangi insiden terjadinya stroke, namun pada beberapa pasien
dianjurkan dikerjakan carotid endarterectomy.
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang (Tarwoto, 2013).
a. Radiologi
b. Computerized Tomografi Scanning (CT Scan) : Mengetahui area infark, edema,
hematoma, struktur, dan sistem ventrikel otak.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) : Menunjukkan daerah yang mengalami infark,
hemoragik, malformasi arteriovena.
d. Elektro Encephalografi (EEG) : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada
gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
e. Angiografi Serebral : membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik
terhadap perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur.
f. Sinar X Tengkorak : Mengetahui adanya klasifikasi karotis interna pada trombosis
cerebral.
g. Pungsi Lumbal : menunjukkan adanya tekanan normal, jika tekanan meningkat dan
cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik subarachnoid atau perdarahan
intrakranial. Kontraindikasi pada peningkatan intrakranial.
h. Elektro Kardiogram, mengetahui adanya kelainan jantung yang juga menjadi faktor
penyebab stroke.
i. Laboratorium (Tarwoto, 2013).
1) Pemeriksaan darah lengkap seperti Hb, Leukosit, Trombosit, Eritrosit, LED.
2) Pemeriksaan gula darah sewaktu
3) Kolesterol dan lemak
4) Asam urat
5) Elektrolit
6) Masa pembekuan dan masa perdarahan
1.1.8 Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Umum

1) Pre hospital
(a) Mengenali tanda gejala stroke melalui salah satu cara yang mudah
digunakan pada penangan stroke pre hospital adalah dengan metode
Farst, Arms, Speech, dan Time (FAST). Metode FAST digunakan untuk
menilai adanya gejala gangguan pada otot wajah, kelemahan anggota
gerak dan adanya gangguan bicara. Dengan ini diharapkan masyarakat
cepat dan tanggap akan adanya gejala stroke dan cepat membawa
penderita ke pusat rujukan terdekat atau segera menghubungi ambulan
(AHA,2015).
(b) Menghindari factor-faktor penyebab terjadinya stroke seperti
tekanan darah tinggi atau hipertensi, penyakit jantung, diabetes
melitus, hiperkolesterol atau lemak, obesitas dan kurang aktivitas,
merokok dan alkohol.

2) In Hospital

Pada fase akut


(c) Terapi cairan
Pada fase akut stroke beresiko terjadinya dehidrasi karena penurunan
kesadaran atau mengalami disfagia. Terapi cairan ini penting untuk
mempertahankan sirkulasi darah dan tekanan darah. The American Heart
Association sudah menganjurkan normal saline 50 ml/jam selama jam-
jam pertama dari stroke iskemik akut. Segera setelah hemodinamik stabil,
terapi cairan rumatan bisa diberikan sebagai KAEN 3B/KAEN 3A.
Kedua larutan ini lebih baik pada dehidrasi hipertonik serta memenuhi
kebutuhan homeostasis kalium dan natrium. Setelah fase akut stroke,
larutan rumatan bisa diberikan untuk memelihara homeostasis elektrolit,
khususnya kalium dan natrium (Tarwoto, 2013).
(d) Terapi oksigen
Pasien stroke iskemik dan hemoragik mengalami gangguan aliran
darah ke otak. Sehingga kebutuhan oksigen sangat penting untuk
mengurangi hipoksia dan juga untuk mempertahankan metabolisme otak.
Pertahankan jalan napas, pemberian oksigen, penggunaan ventilator
merupakan tindakan yang dapat dilakukan sesuai hasil pemeriksaan
analisa gas darah atau oksimetri (Tarwoto, 2013).
(e) Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial biasanya disebabkan karena
edema serebri, oleh karena itu pengurangan edema penting dilakukan
misalnya dengan pemberian manitol, kontrol atau pengendalian tekanan
darah.
(f) Monitor fungsi pernapasan : analisa gas darah.
(g) Monitor jantung dan tanda-tanda vital, pemeriksaan EKG.
(h) Evaluasi status cairan dan elektrolit.
(i) Kontrol kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan, dan cegah resiko
injuri.
(j) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung dan
pemberian makanan.
(k) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
(l) Monitor tanda-tanda neurologi seperti tingkat kesadaran, keadaan pupil,
fungsi sensorik dan motorik, nervus kranial dan refleks.
b. Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari 3 cm atau volume lebih
dari 50 ml untuk dekompresi atau pemasangan pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada
hidrosefalus obstruktif akut.
c. Terapi obat-obatan
Terapi pengobatan tergantung dari jenis stroke.
1) Stroke Iskemik
(a) Pemberian trombolisis dengan rt-PA (recombinant tisue-plasminogen).
(b) Pemberian obat-obatan jantung seperti digoksin pada aritmia jantung atau
alfa beta, kaptopril, antagonis kalsium pada pasien dengan hipertensi.
2) Stroke Haemoragik
(a) Antihipertensi : kaptopril, antagonis kalsium.
(b) Diuretik : Manitol 20 %, furosemide.
(c) Antikonvulsan : Fenitoin.
(3) Rehabilitasi Pasca Stroke (Tarwoto, 2013)
Setelah stroke terjadi maka untuk memulihkan semaksimal mungkin pada kondisi
semula perlu dilakukan rehabilitasi baik fisik maupun kognitif. Karena kerusakan
susunan saraf pusat bersifar irreversible maka rehabilitasi sangatlah penting dilakukan
untuk dapat mengembalikan fungsi semula.
a. Terapi fisik
Terapi fisik dilakukan untuk mengembalikan fungsi fisik dan mencegah
terjadinya komplikasi, seperti kelumpuhan, kontraktur, atropi dan kehilangan tonus
otot. Pasien dapat dilakukan latihan atau aktivitas di tempat tidur, mobilisasi dengan
kursi atau dengan melakukan Range Of Motion. Terapi fisik dilakukan dengan melihat
kondisi dan tingkat stabilitas pasien.

1) Aktivitas pembebanan berat badan


Pasien yang mengalami paralysis dapat memulai pembebanan berat badan
secara dini. Makin cepat otot menjadi kuat, makin sedikit kemungkinan terjadi
atrofi. Makin dini pasien diposisikan berdiri, makin kecil kesempatan adanya
perubahan osteoporotic yang terjadi pada tulang panjang. Aktivitas pembebanan
berat badan juga menurunkan kemungkinan batu ginjaldan meningkatkan proses
metaboli.
2) Program latihan
Program latihan dilakukan untuk mengoptimalkan kekuatan otot yang
tidak mengalami kelumpuhan karena otot-otot tersebut merupakan tumpuan
dalam melakukan ambulasi. Untuk menguatkan otot-otot, pasien dapat
melakukan latihan push up dengan posisi telungkup dan sit up bila posisi duduk.
Memanjangkan tangan dengan memegang beban (dapat digunakan beban traksi)
juga mengembangkan kekuatan otot. Meremas bola karet atau gulungan kertas
dapat membantu menguatkan tangan. Dengan bantuan rehabilitasi, pasien
diarahkan untuk latihan gaya berjalan dan aktivitas gerak.
3) Mobilisasi
Bila kedaan cukup stabil maka pasien dibantu untuk berdiri tegak dan
mengawali aktivitas mobilisasi. Mobilisasi ini sangat penting dalam rehabilitasi
karena dapat meningkatkan kekuatan otot, jantung dan pengembangan paru-
paru. Disamping itu pasien juga akan merasa adanya kemandirian dalam
perawatan dirinya. Kegiatan mobilisasi diantaranya berpindah tempat dari
tempat tidur ke kursi roda, berlatih berjalan dengan penyangga.
b. Okupasional terapi
Pasien dengan stroke dapat mengalami sisa gejala sisa seperti kelumpuhan yang
menetap. Dengan gangguan fungsi tubuh makan akan terganggu aktivitasnya dan
dapat kehilangan pekerjaanya. Oleh karena itu terapi kerja atau okuposional terapi
sangat dibutuhkan untuk menggali potensi pasien dan melatih kerja sesuai dengan
kondisi pasien.

c. Speech terapi
Terapi ini sangat dibutuhkan mengingat bicara dan komunikasi merupakan
modal interaksi social. Kesulitan dalam berkomunikasi akan menimbulkan isolasi dari
dan perasaan prustasi. Pasien stroke dapat mengalami gangguan bicara, baik disatria
maupun apasia sehingga latihan bicara sangat perlu dilakukann.
d. Fase Rehabililitasi (Tarwoto, 2013).
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat
2) Program management bledder dan bowel
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak sendi (ROM)
4) Pertahankan integritas kulit
5) Pertahankan komunikasi yang efektif
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
7) Persiapan pasien pulang

1.1.9 Komplikasi
a. Fase Akut
1) Hipoksia serebral dan menurunnya aliran darah otak
Pada area otak yang infark atau terjadi kerusakan karena perdarahan maka
terjadi gangguan perfusi jaringan akibat terhambatnya aliran darah otak. Tidak
adekuatnya aliran darah dan oksigen mengakibatkan hipoksia jaringan otak. Fungsi
dari otak akan sangat tegantung pada derajat kerusakan dan lokasinya. Aliran darah
ke otak sangat tergantung pada tekanan darah, fungsi jantung atau kardiak output,
dan keutuhan pembuluh darah.
Sehingga pada pasien dengan stroke keadekuatan aliran darah sangat
dibutuhkan untuk menjamin perfusi jaringan yang baik untuk menghindari
terjadinya hipoksia serebral (Tarwoto, 2013).
2) Edema serebri
Merupakan respon fisiologis terhadap adanya trauma jaringan. Edema terjadi
jika pada area yang mengalami hipoksia atau iskemik maka tubuh akan
meningkatkan aliran darah pada lokasi tersebut dengan cara vasodilatasi pembuluh
darah dan meningkatkan tekanan sehingga cairan interstesial akan berpindah ke
ekstraseluler sehingga terjadi edema jaringan otak (Tarwoto, 2013).
3) Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Bertambahnya massa pada otak seperti adanya perdarahan atau edema otak
akan meningkatkan tekanan intrakranial yang ditandai adanya defisit neurologi
seperti adanya gangguan motorik, sensorik, nyeri kepala, gangguan kesadaran.
Peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi dapat mengakibatkan herniasi serebral
yang dapat mengancam kehidupan (Tarwoto, 2013).

4) Aspirasi
Pasien stroke dengan gangguan kesadaran atau koma sangat rentan terhadap
adanya aspirasi karena tidak adanya reflek batuk dan menelan (Tarwoto, 2013).
b. Komplikasi pada masa pemulihan atau lanjut (Tarwoto, 2013).
1) Komplikasi yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan biasanya terjadi
akibat immobilisasi seperti pneumonia, kontraktur, thrombosis vena dalam, atropi,
inkontinensia urin dan bowel.
2) Kejang, terjadi akibat kerusakan atau gangguan pada aktivitas listrik otak.
3) Nyeri kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala tension, nyeri kepala cluster.
4) Malnutrisi, karena intake yang tidak adekuat.
c. Komplikasi menurut Arif Mutaqqin (2008) :
1) Gangguan otak yang berat.
2) Kematian bila tidak dapat mengontrol respon pernapasan atau kardiovaskuler.

Anda mungkin juga menyukai