Anda di halaman 1dari 255

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA PASIEN KANKER PAYUDARA DENGAN PENDEKATAN TEORI
PEACEFUL END OF LIFE DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS
JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

TRIANA ARISDIANI
1306346380

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
JUNI, 2016

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PADA PASIEN KANKER PAYUDARA DENGAN PENDEKATAN TEORI
PEACEFUL END OF LIFE DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS
JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

TRIANA ARISDIANI
1306346380

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
DEPOK
JUNI, 2016
SURAT PERNYATAAN BEBASE
PLAGIARISM

Saya yang bertanda nyatakan bahwa


tangan dibawah ini dengan sebenarnya me
karya ilmiah akhir sesuai dengan
ini saya susun tanpa tindakan plagiarism
peraturan yang berlak
u di Universitas Indonesia.
Jika dikemudian har rism, saya akan
i ternyata saya melakukan tindakan plagia
bertanggungjawab s dijatuhkan oleh
epenuhnya dan menerima sanksi yang
Universitas Indonesia
kepada saya.

Depok,...........2016

Triana Arisidiani

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


HALAMAN PERNYATAAN
ORISINALITAS

Karya Ilmiah Akhi semua sumber


r ini adalah hasil karya saya sendiri, dan
baik yang dikuti ngan benar.
p maupun dirujuk telah saya nyatakan de

Nama : Triana Arisdiani

NPM 1306346380

Tanda tangan :

Tanggal : Juni 2016

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh :


Nama : Triana Arisdiani
NPM : 1306346380
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Judul Karya Ilmiah : Analisis Praktik Residensi Keper awatan Medikal
Bedah pada Pasien Kanker Payudara dengan Pendekatan Teori Peaceful End
Life di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta Of

Telah berhasil dip ertahankan di hadapan Dewan Penguji


Karya Ilmiah Ak hir dan diterima sebagai bagian per Ujian Sidang
diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan syaratan yang
pada Program St udi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Medikal bedah
Universitas Indonesia. Keperawatan,

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : De wi Irawaty, M.A., Ph.D


(.............)
Pembimbing II : Riri Maria, S.Kp., MANP
(.............)
Penguji I : Dr.Kemala Rita Wahidi, SKp., Sp.Onk, MARS,
ETN (............)
Penguji II : Retno Purwanti, S.Kp., Sp.Onk., M.Biomed

Ditetapkan di : Dep ok

Tanggal :

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir (KIA) dengan judul
“Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien Kanker
Payudara dengan Pendekatan Teori Peaceful End Of Life di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta”.

Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai laporan pelaksanaan Program Praktek
Residensi Ners Spesialis Kekhususan Keperawatan Medical Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Pada karya tulis ilmiah ini penulis melaporkan
pelaksanaan mengelola kasus pasien dengan kanker mammae, pelaksanaan EBN,
dan proyek inovasi.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak sulit
rasanya untuk menyelesaikan karya tulis ini. Oleh kerena itu, saya menyampaikan
terima kasih tak terhingga kepada:
Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia; Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta
beserta staf, yang telah memberikan persetujuan atas pelaksanaan praktik
residensi keperawatan onkologi;
Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D. selaku supervisor utama yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan membimbing saya dalam
penyusunan proposal tesis ini.
Ibu Riri Maria, S.Kp., MANP selaku supervisor yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dalam penyelesaian proposal tesis ini.
Ibu Nani Sutarni, S.Kp., Sp.Onk., M.Kep, selaku kepala Bidang Keperawatan
RS5.Kanker Dharmais
Ibu Retno Jakarta;
Purwanti, S.Kp., Sp.Onk., M.Biomed, dan Ibu Retno Setiowati, Ns.,
S.Kep., Sp.Onk., MKM selaku supervisor klinik dan Ibu Ns. Dewi Handayani
S.Kep serta rekan sejawat keperawatan khususnya ruang Teratai di RS Kanker
Dharmais yang telah sudi berbagi ilmu dan pengalamannya dengan penulis
dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien kanker

vi

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


6. Civitas akademika Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal yang telah
mengijinkan dan memberi dukungan moril maupun materiil selama
pelaksanaan studi;
7. Suamiku tersayang, Iwan Hermawan yang telah memberikan dukungan, doa,
cinta dan semangatnya dalam mengiringi langkahku selama menempuh studi
di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
8. Alm. Ayahku M. Arisman dan ibunda tercinta Sri Sustiyarni yang selalu
melantunkan doa dan memberikan semangat untuk kesuksesan putra putrinya.

Sahabat KMB 2013 super yang banyak membantu dalam menyelesaikan program
residensi dan karya tulis ilmiah ini.
Serta Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis
ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritikan dan saran dari teman sejawat semua sehingga bisa disempurnakan
penulis harapkan. Semoga karya ilmiah akhir ini dapat memberi kemanfaatan
kepada kita semua. Aamiin
Depok, Juni 2016

Penulis

vii

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertandatangan di


bawah ini :
Nama : Triana Arisdiani
NPM : 1306346380
Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah
Departemen : Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas : Ilmu Keperawatan
JenisKarya : Karya Ilmiah Akhir

Demi membangun il mu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-ex clusive
Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada
Pasien Kanker
Payudara dengan Pendekatan Teori Peaceful End Of Life di
Rumah Sakit
Kanker Dharmais Jakarta
beserta perangkat ya ng ada (jika diperlukan). Dengan Hak Be
bas Royalti Non
ekslusif ini Univers itas Indonesia menyimpan, mengalih medi
akan/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan
mempublikasikan tu gas akhir saya selama tetap mencantum
sebagai penulis/pencipta dan sebagai Pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : Juni 2016
Yang menyatakan,

Triana Arisdiani

viii

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


ABSTRAK

Nama : Triana Arisdiani


Program Studi : Pendidikan Ners Spesialis Keperawatan
Judul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien
Kanker Payudara dengan Pendekatan Teori Peaceful End Of Life di Rumah Sakit
Kanker Dharmais Jakarta

Kanker payudara merupakan salah satu tumor ganas pada jaringan payudara yang
paling sering menyerang wanita dan menjadi salah satu penyakit serius di dunia
yang mengancam jiwa. Insiden kanker payudara dilaporkan meningkat dari tahun
ke tahun. Karya Ilmiah Akhir (KIA) ini adalah sebagai laporan praktik residensi
keperawatan medikal bedah peminatan onkologi di RS Kanker Dharmais Jakarta
yang berisi tentang: (1) penerapan teori Peaceful End of Life (PEOL) pada pasien
kanker payudara, (2) intervensi menghirup aromaterapi jahe sebagai evidence
based nursing untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi pasien kanker
payudara (3) proyek inovasi penggunaan Modified Early Warning Score (MEWS)
sebagai alat deteksi awal terhadap perburukan kondisi pasien. Kesimpulan: bahwa
teori Peaceful End Of Life tepat digunakan dalam perawatan paliatif pasien
kanker. Intervensi menghirup aromaterapi jahe dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif pilihan manajemen mual muntah nonfarmakologi. Instrumen MEWS
dapat diterapkan pada unit emergensi dan dapat membantu mengidentifikasi
pasien dengan risiko perburukan kondisi yang membutuhkan peningkatan level
perawatan seperti rawat inap atau masuk ICU.

Kata kunci: Teori Peaceful End of Life, intervensi menghirup aromaterapi,


menurunkan mual muntah, Modified Early Warning Score (MEWS)

ix

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


ABSTRACT

Name : Triana Arisdiani


Study program : Medical Surgical Nurse Specialist
Title : Analysis of Medical Surgical Nursing Practice Residency on
Breast Cancer Patients with Theory Approach Peaceful End Of Life at Cancer
Hospital Dharmais Jakarta

Breast cancer is a malignant tumor of the breast tissue that most often affects
women and become one of serious diseases in the world and life-threatening. The
incidence of breast cancer was reported increase year to year. This final paper
clinical practice is a clinical report Medical Surgical nursing specialization in
oncology at the Cancer Hospital Dharmais Jakarta which consist of : (1) the
application of the theory of Peaceful End of Life (PEOL) in breast cancer
patients, (2) intervention inhaling aromatherapy ginger as evidence based
nursing to reduce nausea and vomiting due to chemotherapy in breast cancer
patients (3) innovation projects implement the Modified Early Warning Score
(MEWS) as a tools for early detection of the deterioration of the patient's
condition. Conclusion: The theory of Peaceful End of Life is appropriate to use in
the palliative care of cancer patients. Ginger aromatherapy can be used as an
alternative nonpharmacological management of nausea and vomiting. MEWS
instruments can be applied to the emergency unit and may help identify patients
at risk to worsening condition require increased levels of care such as
hospitalization or ICU.
Keywords: Theory of Peaceful End of Life, inhaling aromatherapy intervention,
decrease nausea, vomiting, Modified Early Warning Score (MEWS)

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...........................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................................vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.............................................................viii
ABSTRAK............................................................................................................................ix
ABSTRACT...........................................................................................................................x
DAFTAR ISI.........................................................................................................................xi
DAFTAR TABEL...............................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................xv
DAFTAR ALGORITMA....................................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................................xvii

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................7
1.2.1 Tujuan Umum 7
1.2.2 Tujuan Khusus 7
1.3 Manfaat Penulisan..................................................................................................8
1.3.1 Pelayanan Keperawatan..................................................................................8
1.3.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan.................................................................8
1.3.3 Pendidikan Keperawatan................................................................................8
1.4 Sistematika Penulisan............................................................................................8

BAB 2 STUDI PUSTAKA..................................................................................................10


2.1 Konsep Kanker Payudara....................................................................................10
2.1.1 Definisi Kanker Payudara.............................................................................10
2.1.2 Etiologi Kanker Payudara.............................................................................11
2.1.3 Manifestasi Klinis Kanker Payudara............................................................13
2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik Kanker Payudara...................................................14
2.1.5 Patofisiologi Kanker Payudara.....................................................................15
2.1.6 Distribusi dan Klasifikasi Kanker Payudara.................................................15
2.1.7 Penatalaksanaan Kanker Payudara...............................................................21
2.2 Konsep Dasar dan Definisi Teori Peacefull End of Life (PEOL)........................22
2.2.1 Konsep Utama Teori PEOL..........................................................................23
2.2.2 Penerapan Teori PEOL.................................................................................24
2.2.3 Hubungan Lima Konsep Utama Teori PEOL...............................................29
2.3 Konsep Kemoterapi.............................................................................................31
2.3.1 Definisi Kemoterapi 31
2.3.2 Prinsip Kerja Pengobatan Kemoterapi..........................................................31
2.3.3 Agen Kemoterapi 32
2.3.4 Tujuan Kemoterapi 33
2.3.5 Efek Samping Kemoterapi............................................................................34

2.4 Konsep Mual Muntah Akibat Kemoterapi..........................................................36


2.4.1 Definisi Mual Muntah 36
xi

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


2.4.2 Etiologi Mual Muntah akibat Kemoterapi....................................................36
2.4.3 Faktor Risiko Mual Muntah akibat Kemoterapi...........................................38
2.4.4 Mekanisme Mual Muntah akibat Kemoterapi..............................................39
2.4.5 Tipe Mual Muntah akibat Kemoterapi..........................................................41
2.4.6 Dampak Mual Muntah akibat Kemoterapi...................................................42
2.4.7 Terapi Mual Muntah akibat Kemoterapi.......................................................42
2.4.8 Alat Ukur Mual Muntah................................................................................44
2.5 Aromaterapi 45
2.5.1 Pengertian Aromaterapi................................................................................45
2.5.2 Manfaat Aromaterapi 45
2.5.3 Klasifikasi Aromaterapi................................................................................46
2.5.4 Aromaterapi Jahe 49
2.6 Modified Early Warning Score (MEWS).............................................................54
2.6.1 Sejarah Modified Early Warning Score (MEWS).........................................54
2.6.2 Definisi dan Fungsi Modified Early Warning Score (MEWS)......................56
2.6.3 Keuntungan penerapan Modified Early Warning Score (MEWS)................57
2.6.4 Syarat Penerapan Modified Early Warning Score (MEWS)........................57
2.6.5 Komponen dan Alogaritma MEWS...............................................................58
2.6.6 Keterbatasan Modified Early Warning Score (MEWS)................................61

BAB 3 PROSES RESIDENSI.............................................................................................62


3.1 Laporan Kasus Utama.........................................................................................62
3.1.1 Diskripsi Kasus Kelolaan Utama..................................................................62
3.1.2 Penerapan Teori PEOL Pada Kasus Kelolaan..............................................65
3.1.2.1 Pengkajian Keperawatan 65
3.1.2.2 Diagnosa Keperawatan 68
3.1.2.3 Kriteria Hasil 70
3.1.2.4 Intervensi Keperawatan 73
3.1.2.5 Evaluasi Keperawatan 75
3.2 Laporan 30 Kasus Kelolaan.................................................................................78
3.3 Evidence Based Nursing Practice (EBNP): Intervensi menghirup
aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi pada pasien
kanker payudara...................................................................................................................80
3.3.1 Latar Belakang Penerapan EBN...................................................................80
3.3.2 Masalah Klinis dan Metologi Pencarian.......................................................82
3.3.3 Metodologi Penelusuran...............................................................................83
3.3.4 Ringkasan Jurnal 83
3.3.4.1 Penjelasan Artikel Pilihan 83
3.3.4.2 Penjelasan Alasan Pemilihan Artikel...............................................86
3.3.4.3 Kredibilitas Jurnal 87
3.2.5 Telaah Kritis 88
3.2.5.1 Telaah Validitas 88
3.2.5.2 Kemaknaan Hasil 89
3.2.5.3 Aplikabilitas 90
3.3.6 Penerapan intervensi menghirup aromaterapi jahe di Ruang Teratai
dan Anyelir 1 dan 2 RS Kanker Dharmais.............................................................91

3.3.6.1 Tahap Persiapan................................................................................91


3.3.6.2 Tahap Pelaksanaan...........................................................................92
3.3.6.3 Tahap Evaluasi.................................................................................96
3.4 Proyek Inovasi modified early warning score (MEWS) dalam
xi
i
Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016
Pengkajian IGD....................................................................................................................97
3.4.1 Latar Belakang 97
3.4.2 Validitas dan Reliabilitas MEWS.................................................................98
3.4.3 Analisis Situasi 99
3.4.3.1 Strength (Kekuatan) 99
3.4.3.2 Weakness (Kelemahan) 100
3.4.3.3 Opportunities (Kesempatan) 101
3.4.3.4 Threats (Ancaman) 101
3.4.4 Tahapan Inovasi Modified Early Warning Score (MEWS)........................102
3.4.4.1 Tahap Persiapan..............................................................................102
3.4.4.2 Tahap Pelaksanaan.........................................................................103
3.4.4.3 Tahap Evaluasi...............................................................................103
3.4.5 Penerapan Inovasi Modified Early Warning Score (MEWS).....................104
3.4.6 Hasil Evaluasi Perawat terhadap Penggunaan MEWS...............................107
3.4.6.1 Evaluasi Tingkat Kepuasan Perawat..............................................108
3.4.6.2 Evaluasi Tingkat Kemudahan Perawat...........................................108
3.4.7 Kendala dalam Penerapan MEWS..............................................................110
3.4.8 Rekomendasi untuk Pengembangan Lebih Lanjut.....................................110

BAB 4 PEMBAHASAN...................................................................................................111
4.1 Analisa Kasus Kelolaan Utama.........................................................................111
4.1.1 Pengkajian Kasus Kelolaan Utama.............................................................111
4.1.2 Aplikasi Teori PEOL 117
4.1.2.1 Ketidakefektifan Pola Nafas 119
4.1.2.2 Nyeri Kronis 126
4.1.2.3 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan......................132
4.1.2.4 Ansietas..........................................................................................135
4.1.2.5 Intoleransi Aktivitas.......................................................................140
4.1.2.6 Risiko Infeksi..................................................................................143
4.2 Analisa Penerapan Teori PEOL pada 30 Kasus Kelolaan.................................147
4.3 Analisa Penerapan EBN....................................................................................153
4.3 Analisa Penerapan Proyek Inovasi....................................................................159

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................161


5.1 Kesimpulan........................................................................................................161
5.2 Saran..................................................................................................................162

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................164
LAMPIRAN-LAMPIRAN..............................................................................................189

xi
ii
Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Risiko Emetogenik dari Beberapa Agen Kemoterapi.........................................37


Tabel 2.2 Sistem skoring MEWS.........................................................................................59
Tabel 3.1 Distribusi Pasien Berdasarkan Asal, Riwayat keluarga dengan
kankerdan Agen Kemoterapi................................................................................................92
Tabel 3.2 Distribusi Pasien Berdasarkan Umur, Tahun terdiagnosa, Grade Kanker
dan Siklus Kemoterapi.........................................................................................................93
Tabel 3.3 Distribusi Pasien Grup A dan Grup B.................................................................93
Tabel 3.4 Uji Normalitas Data EBN..................................................................................95
Tabel 3.5 Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin, Diagnosa Medis dan skor
awal MEWS.......................................................................................................................104
Tabel 3.6 Distribusi Pasien Berdasarkan Umur MEWS...................................................105
Tabel 3.7 Distribusi Pasien Berdasarkan Nilai Kritis Laboratorium.................................105
Tabel 3.8 Distribusi Perawat Berdasarkan Jenis kelamin, Pendidikan, Jabatan................107
Tabel 3.9 Distribusi Perawat Berdasarkan Umur..............................................................107
Tabel 3.10 Distribusi Frekuensi Kepuasan Perawat..........................................................108

xiv

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisme Mual Muntah................................................................................41

xv

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


DAFTAR ALGORITMA

Algoritma 1 : Hubungan Lima Konsep Teori PEOL...........................................................30


Algoritma 2 : Skema MEWS...............................................................................................60
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skema Siklus Sel Normal


Lampiran 2 : Peta Konsep Kanker Payudara
Lampiran 3 : Hasil penerapan menghirup aromaterapi jahe pada pasien kanker
payudara dengan kemoterapi
Lampiran 4 : Resume 30 Kasus Kelolaan
Lampiran 5 : Surat Permohonan Menjadi Partisipan EBN
Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan EBN
Lampiran 7 : Instrumen Pengkajian Mual Muntah
Lampiran 8 : Lembar Observasi Partisipan EBN
Lampiran 9 : Prosedur Pelaksanaan Menghirup Aromaterapi Jahe
Lampiran 10 : Lembar Observasi Modified Early Warning Score (MEWS)
Lampiran 11 : Petunjuk Pengisian MEWS
Lampiran 12 : Algoritma MEWS
Lampiran 13 : Alur Tata Laksana MEWS
Lampiran 14 : Kuesioner dan Lembar Observasi terhadap Perawat IGD dalam
Penerapan MEWS
Lampiran 15 : Rencana Tindak Lanjut Pengembangan MEWS Onkologi
Lampiran 16 : Evaluasi Hasil Kuesioner (Pertanyaan Terbuka)
Lampiran 17 : Daftar Riwayat Hidup

xvii

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


xviii
1

BAB 1
PENDAHULUA
N

Bab ini membahas tentang latar belakang penulisan ilmiah yang menjelaskan
tentang alasan pemilihan topik, tujuan umum dan tujuan khusus penulisan,
manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang

Kanker payudara merupakan salah satu tumor ganas pada jaringan payudara yang
paling sering menyerang wanita dan menjadi salah satu penyakit serius di dunia
yang mengancam jiwa (Davey, 2006; Desen, 2011; Williams & Wilkins, 2012).
Kanker payudara terjadi karena gangguan sistem pertumbuhan sel di dalam
jaringan payudara. Jaringan payudara tersusun atas kelenjar areolar, tubuli
laktiferi, kelenjar getah bening dan 85%nya jaringan lemak. Sel abnormal bisa
tumbuh di empat bagian tersebut, dan mengakibatkan kerusakan jaringan
payudara (Nurcahyo, 2010). Sel kanker pada payudara tumbuh sebesar 1 cm dalam
waktu 8-12 tahun, sel tersebut berada dalam kelenjar payudara dan dapat
menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening
(Price & Wilson, 2005; Suryaningsih & Sukaca, 2009).
Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti (Desen, 2011; Black &
Hawks, 2014). Namun beberapa sumber menyebutkan terdapat faktor- faktor
risiko yang dapat memicu terjadinya kanker payudara yaitu riwayat keluarga
dengan kanker payudara dan gen terkait timbulnya kanker payudara BRCA1 dan
BRCA2, paparan radiasi pengion atau karsinogen kimia, nulliparity atau paritas
rendah, kurang intensitas atau tidak menyusui, penggunaan terapi pengganti
estrogen untuk mengatasi gejala menopause, diet tinggi lemak yang
menyebabkan obesitas, kehamilan pertama setelah usia 30 tahun, mulainya haid

pertama sebelum usia 12 tahun dan menopause setelah usia 55 tahun (Desen,
2011; Williams & Wilkins, 2012; Black & Hawks, 2014).
Kanker payudara dialami wanita di 140 negara dari 184 negara di seluruh
dunia. Kejadian kanker payudara diperkirakan meningkat lebih dari 20% sejak
tahun 2008, sementara angka kematiannya meningkat sebesar 14%. Pada tahun

1 Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


2012 sekitar 1,7 juta perempuan menderita kanker payudara dan 522 000 jiwa

1 Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


2

mengalami kematian. Pada tahun ini pula sekitar 6,3 juta perempuan telah
terdiagnosis hidup dengan kanker payudara dalam kurun waktu lima tahun
sebelumnya. Menurut World Health Organization (WHO) dan Union for
International Cancer Control (UICC), kanker payudara pada wanita di dunia akan
mengalami peningkatan kasus yang drastis di tahun 2030 yaitu mencapai 300%
(WHO, 2013).
Penderita kanker payudara dan kanker serviks di Indonesia pada tahun

2013 memiliki estimasi jumlah terbesar dibanding jenis kanker lainnya. Insiden
kasus kanker payudara yaitu sebesar 40 per 100.000 total perempuan. Angka
tersebut meningkat dari tahun 2002, dengan insidens kanker payudara yaitu
sebesar 26 per 100.000 total perempuan (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Hal serupa dilaporkan melalui data
statistik rumah sakit di Indonesia dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2013, rata-rata kasus kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien
rawat inap (16,85%), kemudian diikuti kanker leher rahim (11,78%), kanker hati,
kanker saluran empedu intrahepatik (9,69%), Leukemia (7,42%), dan Limfoma non
Hodgkin (LNH) (6,69%) (Depkes RI, 2013).
Menurut data bidang Rekam Medis tahun 2014, kanker payudara memiliki total
kasus tertinggi diantara 10 kasus kanker tersering yang ditemukan di unit rawat
jalan dan rawat inap Rumah Sakit Kanker Dharmais. Total kasus tersebut yaitu
1290 (42,89%) kasus kanker payudara, diikuti 352 (11,71%) kasus kanker
serviks, 219 (7,28%) kanker kolon, 205 (6,82%) kanker paru, 201 (6,68%) kanker

nasofaring, 192 (6,39%) kanker rekti, 175 (5,89%) kanker thyroid, 140 (4,66%)
kanker ovarium, hepatoma dan Limfoma Maligna non Hodkin/LMNH masing-
masing sebanyak 114 (3,79%) kasus.
Pengobatan kanker payudara meliputi pembedahan, radiasi dan kemoterapi

(Buckman & Whittaker, 2010). Tindakan pembedahan dilakukan apabila


tumornya terlokalisasi dalam keadaan anatomis yang baik. Prosedur yang paling
sering digunakan adalah operasi mastektomi radikal yang memiliki hasil terapi
cukup baik. Terapi bedah terkadang harus dikombinasi dengan radioterapi dan
atau kemoterapi. Radioterapi paling bermanfaat untuk tumor terlokalisasi yang
tidak dapat direseksi. Radioterapi merupakan terapi lokal dan tidak dapat

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


mengatasi masalah metastasis jauh, untuk itu manajemen kemoterapi diharapkan
dapat dikombinasikan untuk mengatasi masalah tersebut. Kombinasi antara
radioterapi dan kemoterapi yang tepat dapat meningkatkan pengendalian lokal
tumor, mengurangi metastasis jauh dan meningkatkan angka harapan hidup
(Desen, 2011).
Salah satu efek samping yang paling umum dan tidak menyenangkan bagi
pasien kemoterapi adalah mual muntah karena hal tersebut dapat menurunkan

aktivitas sehari-hari dan menyebabkan pasien hanya dapat terbaring ditempat


tidur. Insiden mual muntah karena efek samping kemoterapi ini mencapai 70-80%
kejadian (Lee, Dodd, Dibble & Abrams, 2008). Sumber lain melaporkan bahwa mual
muntah yang tidak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi seperti dehidrasi,
gangguan keseimbangan metabolik, kurang gizi, penurunan imunitas, dan
penurunan kemampuan aktivitas diri (Black & Hawks, 2014). Beberapa pasien
dilaporkan memilih untuk tidak melanjutkan kemoterapi karena mual muntah yang
tidak terkontrol (Hawkins & Grunberg, 2009).
Mual muntah karena kemoterapi terjadi karena dua faktor yaitu dari pasien dan
jenis terapi. Beberapa faktor risiko dari pasien yang berhubungan dengan mual
muntah akibat kemoterapi antara lain usia muda, jenis kelamin wanita, riwayat
mual muntah sebelumnya, kecemasan, riwayat motion sickness, riwayat
hiperemesis gravidarum dan riwayat konsumsi alkohol (Feyer & Jordan, 2011).
Sedangkan faktor yang terkait terapi antara lain jenis kemoterapi (potensi
emetogenitas), dosis obat kemoterapi, jadwal dan rute pemberian (Hawkins &
Grunberg 2009).
Penanganan terhadap mual muntah adalah faktor penting dalam meningkatkan
kualitas hidup dan meningkatkan kepatuhan pasien dalam
mempunyai
menjalani peran penting
pengobatan. dalam
Perawat menangani
adalah mualtenaga
salah satu muntah pasien akibat
kesehatan yang
kemoterapi. Dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilannya, seorang
perawat professional akan mampu melakukan kolaborasi dengan tenaga kesehatan
lainnya untuk merawat pasien kanker serta memberikan dukungan fisik maupun
psikologis dalam upaya membantu meningkatkan kenyamanan pasien kanker
yang mengalami masalah mual muntah. Kenyamanan adalah sebuah tujuan yang
sangat diharapkan oleh pasien kanker (Miaskowski, Cleary & Burney, 2005).
Sebagai perawat tindakan yang dilakukan meliputi mencegah, memonitoring,
membebaskan ketidaknyamanan fisik, memfasilitasi untuk beristirahat dan
relaksasi serta mencegah komplikasi yang mungkin terjadi yang akan
menyebabkan ketidaknyamanan pasien, termasuk ketidaknyamanan akibat mual
dan muntah.
Penatalaksanaan mual dan muntah pada pasien kemoterapi dapat

dilakukan dengan cara farmakologi maupun nonfarmakologi. Terapi farmakologi


dilakukan dengan pemberian antiemetik, antikolinergik, antihistamin, dan
kortikosteroid. Sedangkan intervensi nonfarmakologis mual muntah terkait
kemoterapi dapat dilakukan dengan penyesuaian asupan makanan dan cairan,
relaksasi, olahraga, hipnosis, biofeedback, pencitraan terarah, dan desensitasi
sistemis. Terapi nonfarmakologi tersebut dapat membantu meredakan mual
muntah, terutama ketika digunakan bersamaan dengan obat-obatan farmakologi
(Black & Hawks, 2014). Intervensi lain yang dapat dilakukan secara mandiri oleh
seorang perawat untuk mengurangi mual muntah adalah dengan menghirup
aromaterapi. Aromaterapi sebagai bagian dari terapi komplementer non
farmakologis terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker yang
mengalami masalah mual muntah (Boehm, Büssing & Ostermann., 2012). Terapi
komplementer adalah terapi yang digunakan secara bersamaan dengan
pengobatan konvensional. Pengobatan konvensional didefinisikan oleh National
Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) sebagai pengobatan
yang dipraktikan oleh pemegang gelar MD (Medical Doctor/Dokter medis) dan DO
(Doctor of Osteopathy/Dokter penyakit tulang), serta tenaga profesional kesehatan
yang bekerjasama seperti perawat, ahli fisioterapi dan psikolog (Black & Hawks,
2014).

Aromaterapi adalah tindakan terapeutik dengan menggunakan minyak


essensial yang diekstrak dari akar, bunga, daun dan batang tanaman, serta dari
pohon tertentu yang bermanfaat untuk meningkatkan keadaan fisik dan psikologi
seseorang. Ketika minyak essensial dihirup, molekul masuk ke rongga hidung dan
merangsang sistem limbik. Sistem limbik adalah bagian otak yang mempengaruhi
emosi dan memori serta secara langsung terkait dengan adrenal, hipotalamus,
kelenjar hipofisis, dan bagian-bagian tubuh yang mengatur keseimbangan
hormon, memori, stess, pernafasan, denyut jantung serta tekanan darah. Jenis
minyak essensial yang sering digunakan adalah peppermint, lemon dan jahe
(Jaelani, 2009). Menghirup aromaterapi jahe juga dianjurkan sebagai teknik yang
efektif dan mudah yang dapat diterapkan secara mandiri oleh para perawat kepada
para pasien dalam masa kemoterapi guna mengurangi intensitas mual muntah
(Luaa, Salihah & Mazlan, 2015).

Dengan adanya masalah mual muntah yang dialami pasien kemoterapi, sebagai
bentuk penanganan penulis menerapkan intervensi menghirup aroma jahe sebagai
Evidence Based Nursing di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Selain melakukan
penerapan bukti mutakhir (Evidence Based Nursing) dalam penatalaksanaan pasien
kanker, dalam menjalankan program residensi ini, penulis juga menerapkan
kompetensi lain terkait peran perawat spesialis yang meliputi pemberian asuhan
keperawatan lanjut pada pasien kanker dan keluarganya, mengoptimalkan
pembelajaran klinik bagi sejawat, serta berperan aktif melalui program inovasi
yang berfokus pada pasien kanker.
Teori Peacefull End of Life (PEOL) bertujuan menyelesaikan permasalahan
kesehatan pasien. PEOL berarti hidup damai diakhir kehidupan. Konsep tersebut
meliputi : bebas dari rasa nyeri, merasa nyaman, merasa dihargai dan dihormati,
merasa damai, dan merasakan kedekatan dengan keluarga atau orang lain yang
bermakna serta peduli dalam kehidupan pasien (Tomey & Alligood, 2010). Tujuan
teori Peacefull End of Life bukan hanya memberikan perawatan yang baik dengan
menggunakan alat-alat yang canggih, tetapi lebih berfokus kepada perawatan yang
mengutamakan kenyamanan pasien serta memaksimalkan keterlibatan keluarga
dalam perawatan pasien. Sehingga diakhir
kematian dengan
kehidupannya, perasaan
pasien dapatdamai. Kualitas hidup
meningkatkan padahidup
kualitas konsepdan
ini menghadapi
didefinisikan
sebagai suatu kepuasan yang dapat dilihat melalui sembuhnya gejala dan
kepuasan hubungan interpersonal (Ruland & Moore, 2001 di dalam Tomey &
Aligood, 2010). Penulis memilih menggunakan teori peaceful end of life dalam
asuhan keperawatan pasien kanker karena teori tersebut sesuai dengan kondisi
yang dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit kanker Dharmais.
Peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan dilaksanakan
dengan menerapkan teori Peacefull End of Life (PEOL) sebagai pendekatan
proses keperawatan dalam memanajemen pasien dengan masalah kanker, baik
pasien yang sedang menjalani terapi, pasien dengan kedaruratan onkologi maupun
pasien yang berada dalam tahapan palliative care. Pendekatan proses keperawatan
tersebut dilaksanakan secara dinamis dan berkesinambungan. Proses keperawatan
tersebut meliputi pengkajian, penyusunan intervensi, implementasi dan evaluasi

pada klien dengan berbagai kondisi, baik sehat maupun sakit sepanjang rentang
kehidupan. Penulis melakukan penerapan teori PEOL kepada 30 pasien kelolaan
dengan masalah kanker sebagai target kompetensi di dalam praktik residensi.
Selain melakukan asuhan keperawatan lanjut pada pasien kanker dan keluarganya,
penulis bersama kelompok residensi juga melakukan kegiatan inovasi dan
berperan aktif sebagai inovator. Program inovasi ini bertujuan untuk
mengimplementasikan ilmu baru yang harapannya dapat bermanfaat bagi tenaga
kesehatan khususnya perawat dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan di
rumah sakit. Adapun pelaksanaan kegiatan inovasi yang dilakukan berupa uji coba
penerapan format pengkajian MEWS (modified early warning score) di ruang IGD
RSK Dharmais. Penerapan inovasi tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan rumah
sakit atas keberadaan suatu sistem informasi yang dapat memudahkan kerja
tenaga kesehatan terutama perawat dalam melayani pasien serta untuk
mengidentifikasi penurunan kondisi pasien secara dini di ruang IGD RSKD.
Banyak pasien yang memiliki risiko mengalami penurunan kondisi klinis secara tiba-
tiba yang disebabkan oleh gangguan pernapasan atau henti jantung hingga terjadi
kematian meskipun peralatan dan obat-obatan yang tersedia di
rumah sakit sangat memadai, dan biasanya untuk menangani masalah tersebut
rumah sakit telah memiliki rapid respon team (RRT) tersendiri (Jones, DeVita, &
Bellomo, 2011). Angka kejadian pasien yang mengalami cardiac arrest selama
masa perawatannya di rumah sakit sekitar 0,7% - 3%. Ketika hal ini terjadi
kondisi pasien akan semakin memburuk dan diperkirakan hanya 15 - 36% pasien
yang dapat diselamatkan (Nadkarni, Gregory & Marry 2006). Henti jantung
(cardiac arrest) biasanya didahului oleh tanda-tanda yang dapat diamati.
Beberapa studi menunjukkan banyak pasien yang memperlihatkan tanda-tanda
dan gejala kerusakan medis yang tidak ditangani secara optimal sebelum serangan
jantung terjadi Tanda-tanda ini muncul 6 sampai dengan 8 jam sebelum henti
jantung terjadi (Duncan & McMullan, 2012). Henti jantung ini dapat dicegah
melalui deteksi perburukan kondisi pasien dan penanganan perburukan sebelum
henti jantung terjadi, dan dalam hal ini aktivitas pemantauan rutin yang dilakukan
perawat merupakan hal yang penting untuk mendeteksi perburukan kondisi pasien

tersebut. MEWS adalah sistem skoring terhadap beberapa parameter fisiologis


untuk “bedside assessment” pada pasien yang berguna dalam mendeteksi secara
dini perburukan kondisi pasien sehingga penatalaksanaan pasien secara awal
dapat segera dilakukan. Adapun parameter yang dikaji dalam MEWS yaitu
frekuensi pernapasan, denyut jantung, tekanan darah sistolik, suhu, saturasi
oksigen, tingkat kesadaran dan output urin (Kyriacos, Jelsma, James & Jordan,
2014).
Berdasarkan uraian diatas, penulis membuat karya ilmiah akhir tentang Analisis
Praktik Residensi terhadap Penerapan Teori Peaceful End Of Life pada Pasien
Kanker Mammae dan Pengaruh Intervensi Menghirup Aromaterapi Jahe untuk
Mengurangi Mual Muntah akibat Kemoterapi Pasien Kanker Mammae sebagai
Evidence Based Nursing Practice serta mengembangkan proyek inovasi berupa
penerapan MEWS di unit gawat darurat RSK Dharmais untuk
mengidentifikasi
Tujuan Penulisanpasien dengan risiko kondisi perburukan.
Tujuan Umum

Melakukan analisis deskriptif tetang pelaksanaan peran dan fungsi perawat


onkologi dalam asuhan keperawatan pasien kanker payudara di RSK Dharmais
Jakarta.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Analisis penerapan teori peaceful end of life pada pasien kanker
payudara di RS Kanker Dharmais Jakarta
1.2.2.2 Analisis efektivitas intervensi menghirup aromaterapi jahe untuk
mengurangi mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker
payudara sebuah evidence based nursing practice (EBNP)
1.2.2.3 Analisis proyek inovasi: integrasi penerapan modified early warning
score (MEWS) di unit gawat darurat.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Bagi Pelayanan Keperawatan
Hasil analisis praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah ini
diharapkan dapat menjadi sumber pemikiran dalam memberikan asuhan

keperawatan dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan yang sesuai


untuk pasien kanker.
Bagi Pengembangan Keilmuan Keperawatan

Hasil analisis praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah ini diharapkan dapat
menjadi bahan acuan dalam pengembangan keilmuan Keperawatan Medikal
bedah.
Pendidikan Keperawatan

Hasil praktik keperawatan residensi keperawatan ini diharapkan dapat


memberikan manfaat kepada pendidikan keperawatan sebagai pengembangan
kurikulum dengan menjadikan salah satu rujukan bahan ajar tentang asuhan
keperawatan pasien onkologi dengan pendekatan teori peaceful end of life.
Manfaat lainnya diharapkan mahasiswa mampu menggali informasi tentang
tindakan-tindakan keperawatan terkini berbasis pembuktian ilmiah.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika pemenulisan karya ilmiah akhir terbagi menjadi bagian awal yang
berisi halaman sampul sampai dengan daftar lampiran, bagian inti terdiri atas 5
bab, dan bagian akhir yang berisi lampiran-lampiran. Adapun susunan bagian
inti sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan membahas tentang latar belakang
membuat penulisan ilmiah dan alasan pemilihan topik, tujuan penulisan, manfaat
penulisan dan sistematika penulisan; Bab 2 Studi Pustaka membahas konsep dan
atau teori dari berbagai sumber pustaka yang berhubungan dengan konsep kanker
payudara, konsep teori Peacefull End of Life (PEOL), konsep kemoterapi, konsep
mual muntah akibat kemoterapi, aromaterapi dan modified early warning score
(MEWS); Bab 3 praktek residensi berisi laporan mengelola kasus kanker mammae
dengan pendekatan PEOL, laporan 30 kasus kelolaan, pemberian intervensi
menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker mammae, dan penerapan modified early warning score
(MEWS) di unit gawat darurat RSK Dharmais; Bab 4 pembahasan tentang analisis
kasus kelolaan utama, analisis 30 kasus kelolaan, analisis hasil pelaksanaan EBN
dan inovasi penerapan MEWS di unit gawat darurat RSK Dharmais Jakarta; Bab 5
kesimpulan dan saran yang berisi tentang kesimpulan implementasi terhadap
peran perawat onkologi dan saran untuk perbaikan kegiatan
selanjutnya.
10

BAB 2
STUDI PUSTAKA

Bab ini membahas tentang berbagai literatur yang terdiri atas tinjauan teoritis dan
tinjauan empiris yang disajikan secara simultan. Tinjauan teoritis membahas
berbagai konsep yang berlandaskan pada berbagai teori tentang kanker payudara,
peaceful end of life, kemoterapi, konsep mual muntah akibat kemoterapi,

aromaterapi jahe dan Modified Early Warning Score (MEWS). Tinjauan empiris
akan menyajikan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik kualitatif maupun
kuantitatif yang memperkuat teori yang telah dikemukakan.
Kanker Payudara
Definisi

Kanker, neoplasma, neoplasma ganas, dan tumor adalah istilah-istilah yang sering
digunakan silih berganti oleh tenaga profesional maupun masyarakat umum.
Padahal masing-masing istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Kata tumor
merujuk pada sebuah benjolan, massa, ataupun pembengkakan. Pembengkakan
tersebut dapat berupa keganasan maupun sekedar penumpukan cairan. Kata
neoplasma (berasal dari Bahasa Yunani neos, “baru”, dan plasis “bentuk”) diartikan
sebagai suatu massa jaringan abnormal yang tidak memiliki fungsi dan mungkin
berbahaya bagi penderitanya. Neoplasma terbagi menjadi dua
: benigna (jinak) dan maligna (ganas). Neoplasma benigna biasanya tidaklah
berbahaya dan tidak menyebar atau menginvasi jaringan lain. Tumor benigna tidak
mengisi suatu ruang. Namun apabila terdapat pada saluran vital atau organ dapat
berakibat fatal. Contohnya adalah tumor benigna otak. Neoplasma maligna adalah
suatu massa yang berbahaya, dapat menginvasi jaringan l sama lain dan
bermetastasis
2014). (menyebar) ke organ lain yang letaknya berjauhan (Black & Hawks,
Kanker payudara adalah salah satu tumor ganas yang paling sering
ditemukan pada wanita. Perubahan patologi yang terjadi di dalam sel dan jaringan
tubuh sebagai akibat kanker yang menyebar, penyebarannya melalui darah dan
pembuluh limfe ke daerah lain dari tubuh (Port & Matfin, 2005; American Cancer
Society, 2015). Sedangkan menurut Price dan Wilson (2005), kanker payudara

10 Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


11

adalah kanker yang sering terjadi pada kaum wanita (diluar kanker kulit). Kanker
payudara memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus
atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasi yang kemudian
berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma.
2.1.2 Etiologi
Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui (Conzen,
Tatyana & Olopade, 2008; Desen, 2011; Black & Hawks, 2014). Beberapa faktor
risiko secara umum dijabarkan sebagai berikut :

Usia : Angka kejadian kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Data
melaporkan insiden kanker payudara meningkat pada usia di atas 50 tahun
(American Cancer Society, 2002). Hal serupa dilaporkan oleh Lewis (2007), angka
kejadian kanker payudara di bawah 25 tahun sangat sedikit dan meningkat secara
bertahap hingga usia 60 tahun.
Riwayat keluarga dan gen terkait kanker payudara BRCA-1 dan BRCA-2 : Riwayat
keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan
dilaksanakan skrining untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko
keganasan pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Faktor
genetik yang dimaksud adalah adanya mutasi pada beberapa gen yang berperan
penting dalam pembentukan kanker payudara. Gen yang dimaksud adalah
beberapa gen yang bersifat onkogen dan gen yang bersifat mensupresi tumor
(American Cancer Society, 2007). Penelitian menemukan pada wanita dengan
saudara primer seperti ayah/ibu, saudara perempuan ayah/ibu, kakak/ adik yang
menderita kanker payudara, probabilitas terkena kanker payudara lebih tinggi 2-3
kali dibanding wanita tanpa riwayat keluarga dengan kanker payudara
(Webb, 2002 & Dennis 2009). Pada wanita dengan mutasi gen BRCA-1
atau BRCA-2 akan membawa mutasi 50-90% pada keluarganya sehingga
akan meningkatkan angka kejadian kanker payudara dan kemungkinan
perkembangan kanker payudara sebelum usia 50 tahun (Lewis, 2011).
2.1.2.3 Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya
kanker payudara adalah menarche pada umur muda. Usia relatif muda
(kurang dari 12 tahun) saat pertama kali mendapatkan menstruasi dapat

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


meningkatan resiko kanker payudara. Saat ini di negara berkembang
terjadi pergeseran usia menarche menjadi usia 12-13 tahun. Selain itu
nuliparitas menopause pada umur lebih tua, dan kehamilan pertama pada
umur tua, setelah partus belum pernah menyusui juga berisiko terkena
kanker payudara (Rasjidi, 2010). Perempuan yang mengalami menopause
alami menopause lebih dari 55 tahun memiliki risiko kanker dua kali lipat
dari perempuan yang mengalami menopause sebelum usia 45 tahun
(Abeloff, 2006).

Kelainan kelenjar payudara misalnya pada penderita kistadenoma mamae


hiperplastik berat berinsiden lebih tinggi terkena kanker payudara. Selain itu jika
salah satu payudara pernah terkena kanker maka resiko terkena kanker payudara
kontralateral akan meningkat (Desen, 2011; Black & Hawks, 2014).
Hormon estrogen berhubungan dengan terjadinya kanker payudara : Penelitian
yang dilaksanakan oleh National Heart, Lung, and Blood (NHLBI) tahun 2002 yang
mengikutsertakan perempuan secara acak untuk menerima hormon ataupun
plasebo, kelompok pengguna estrogen dan progesteron yang diamati setelah 4
tahun penggunaan, tidak didapatkan peningkatan risiko kanker payudara, sama
halnya pada kelompok yang hanya menerima progesteron saja. Penggunaan terapi
hormon yang kurang dari 5 tahun cenderung tidak meningkatkan risiko terkena
kanker payudara namun wanita yang menggunakan terapi ini dalam waktu lama
(lebih dari
10 tahun) mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker payudara sebelum
menopause (National Institutes of Health, 2002; Willett, Rockhill & Hankinson,
2004).
Radiasi pengion : Kelenjar payudara relatif peka terhadap paparan radiasi.
Paparan radiasi yang berlebih berisiko tinggi menyebabkan kanker
payudara (Desen, 2011). Sinar gamma dan sinar-X merupakan contoh
radiasi pengion dengan energi tinggi tetapi panjang gelombangnya sangat
pendek. Selain itu radiasi pengion yang termasuk sumber partikulat adalah
neutron, elektron (partikel beta) dan partikel alpha. Gelombang non-
pengion dan pengion serta neutron dapat menembus tubuh dari
sumber
eksternal, partikel bermuatan partikel alpha dan beta memiliki kemampuan
terbatas untuk menembus jaringan tubuh, dan umumnya risiko timbul
karena masuknya kedua partikel tersebut dalam tubuh melalui hidung
dengan cara dihirup ataupun melalui mulut dengan cara tertelan. Radiasi
pengion dan radiasi ultraviolet (UVR) diketahui sebagai penyebab kanker
(IARC, 2012).
2.1.2.7 Diet dan gizi : Sebuah penelitian menunjukkan orang yang gemuk setelah

usia 50 tahun berpeluang lebih besar terkena kanker payudara (Eliases, Colditz &
Rosner, 2006). Jing-Hui Wu et. al, (2013) melakukan penelitian case control untuk
membandingkan pola diet dengan risiko kanker payudara terhadap 98 pasien dan
103 pasien kontrol seusianya. Hasilnya menunjukkan bahwa daging dikaitkan
dengan risiko kanker payudara yang lebih tinggi, dan tingginya asupan lemak
mungkin berperan penting dalam hubungan ini. Penelitian lain menyebutkan
wanita yang setiap hari minum 2-3 gelas alkohol meningkatkan risiko terkena
kanker payudara 21%. Risikonya tergantung jenis dan dosis alkohol yang diminum
(Fentiman, 2001; Terry, Zhang & Kabat, 2006). Alkohol dianggap komponen dalam
jalur metabolisme produksi estrogen. Jadi, dengan meningkatkan tingkat sirkulasi
estrogen, alkohol dapat meningkatkan risiko kanker (Zhang, Lee & Manson, 2007).
2.1.3 Manifestasi Klinik

Tanda awal dari kanker payudara adalah ditemukannya benjolan yang terasa
berbeda pada payudara, jika ditekan, benjolan ini tidak terasa nyeri maupun perih,
awalnya benjolan ini berukuran kecil semakin lama semakin membesar dan
akhirnya melekat pada kulit atau menimbulkan perubahan pada kulit payudara
(peau d’orange) atau puting susu, puting susu masuk ke dalam (retraksi), bila

tumor sudah membesar, muncul rasa sakit yang hilang timbul, kulit payudara
terasa seperti terbakar, payudara mengeluarkan darah atau cairan lain tanpa
menyusui, adanya ulkus, payudara sering berbau dan mudah berdarah (Hasdianah
& Suprapto, 2014). Adanya rasa terbakar dan eritema pada kulit payudara dapat
berkaitan dengan inflamasi namun dapat juga mengindikasikan karsinoma
inflamatori. Jika tumor dicurigai berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang lainnya sangat disarankan (Black & Hawks, 2014).
2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik dan Diagnostik Banding
2.1.4.1 Anamnesis
Mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi, riwayat kelainan
payudara sebelumnya, riwayat keluarga dengan kanker, fungsi kelenjar tiroid,
penyakit ginekologik. Untuk riwayat penyakit sekarang perhatikan waktu
timbunya massa, kecepatan pertumbuhan, dan hubungan dengan haid.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi : (1) Inspeksi : amati ukuran dan kesimetrisan payudara,
perhatikan apakah ada benjolan tumor atau perubahan patologik kulit (misalnya
kemerahan, cekungan, edema, nodul, erosi, dll), perhatikan kedua papila payudara
apakah simetri, ada retraksi, distorsi, erosi, dll; (2) Palpasi : Umumnya dalam posisi
berbaring atau kombinasi duduk dan berbaring. Cara pemeriksaan rapatkan ke
empat jari, gunakan ujung jari putar palpasi lembut pada payudara, pijat areola
payudara, papila payudara perhatikan apakah keluar sekret dan bila ada buat
sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi, jika ada benjolan catat dengan rinci
lokasi, ukuran, konsistensi, kondisi batas, permukaan, mobilitas, dan nyeri tekan
dari benjelon tersebut. Palpasi aksila dan supraklavikular amati bila ada kelainan.
Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan yaitu mamografi, USG, MRI
payudara dan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan sitologi (aspirasi
jarum halus), pemeriksaan histologik (pungsi jarum mandrin) dan pemeriksaan
biopsi (Desen, 2011).
Mamografi : Kelebihan mamografi adalah dapat menampilkan nodul yang

sulit dipalpasi atau terpalpasi atipikal menjadi gambar, dapat menemukan


lesi payudara yang tanpa nodul namun terdapat bercak mikrokalsifikasi,
dapat digunakan untuk analisis diagnostik dan rujukan tindak lanjut.
Ketepatan diagnosis sekitar 80%.
2.1.4.5 USG : Transduser frekuensi tinggi dan pemeriksaan dopler tidak
hanya dapat membedakan dengan sangat baik tumor kistik atau padat,
tapi juga dapat mengetahui perdarahannya serta kondisi jaringan
sekitarnya, menjadi dasar yang diagnosis yang sangat baik.
2.1.4.6 MRI payudara : Karena tumor payudara mengandung densitas
mikrovaskular (MVD = microvascular density) abnormal, MRI
payudara dengan kontras memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi
dalam diagnosis kanker payudara stadium dini. Tapi pemeriksaan ini
cukup mahal, sulit digunakan meluas, hanya menjadi suatu pilihan dalam
diagnosis banding terhadap mikrotumor.

Pemeriksaan laboratorium : Dewasa ini belum ada petanda tumor spesifik untuk
kanker payudara. CEA memiliki nilai positif bervariasi 20- 70%, antibodi
monoklonal CA 15-3 angka positifnya 33-60%, semuanya dapat digunakan untuk
referensi diagnosis dan tindak lanjut klinis.
Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus : Metode ini sederhana, aman, akurasi
mencapai 90% lebih. Data menunjukkan pungsi aspirasi jarum tidak mempengaruhi
hasil terapi.
2.1.5 Patofisiologi

Kanker payudara berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada sistem
duktal, mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan sel-sel atipik.
Sel-sel ini akan berlanjut menjadi carsinoma insitu dan menginvasi stroma.
Carsinoma membutuhkan waktu tujuh tahun untuk tumbuh dari sel tunggal
sampai menjadi massa yang cukup besar sehingga dapat diraba (kira-kira
berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira-kira seperempat dari kanker payudara
telah bermetastasis melalui sistem limfatik ke nodus limfatik aksila. Kanker dapat
bermetastase ke bagian lain yang jauh termasuk paru-paru, liver, tulang dan otak.
Sel kanker akan tumbuh terus-menerus dan sulit untuk dikendalikan. Kanker
payudara bermetastasis
melalui saluran limfe dandengan penyebaran
aliran darah langsung2005;
(Price & Wilson, ke Suryaningsih
jaringan sekitarnya
&
Sukaca, 2009; Black & Hawks, 2014).
2.1.6 Distribusi dan Klasifikasi
Dari seluruh kanker payudara sekitar 50% tumbuh pada kuadran lateral
atas, 10% pada ketiga kuadran lain dan 20% sub areolar (Black & Hawks, 2014).
2.1.6.1 Klasifikasi Patologik Kanker Payudara menurut WHO (2003) :
a. Karsinoma non invasif (Noninfiltratif)
1. Karsinoma in situ duktal : Prakanker noninvasif di mana sel-sel abnormal
ditemukan di dalam lapisan saluran payudara.
2. Karsinoma in situ lobular : Jenis kanker yang menyerang jaringan sekitar
payudara dan belum menembus dinding lobulus atau masih berada di
dalam kelenjar air susu. Karsinoma ini ditandai dengan pelebaran satu

atau lebih duktus terminal dan atau tubulus, tanpa disertai infiltrasi ke dalam
stroma. Sel-sel berukuran lebih besar dari normal, inti bulat kecil dan jarang
disertai mitosis.
Karsinoma papiliform intraduktal : Suatu kondisi medis yang ditandai dengan
pertumbuhan sel-sel yang menyerupai kutil dalam saluran air susu ibu yang kecil di
belakang areola (area gelap di sekeliling puting payudara), menyebabkan
timbulnya benjolan kecil di bawah areola dan sekret puting payudara yang
abnormal. Pada beberapa kasus, orang-orang dengan papiloma intraduktal dapat
merasa nyeri pada daerah yang benjol tersebut.
Karsinoma papiliform intrakistik : Pada karsinoma ini dijumpai daerah yang
berbentuk kista dengan dindingnya terdiri dari jaringan ikat fibrous.
Karsinoma mikroinvasif : Pada karsinoma mikroinvasif, disamping perubahan
derajat pertumbuhan sel meningkat, juga sel tumor menembus membrane basalis
dan invasive pada stroma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrane basalis
Karsinoma Invasif
Karsinoma duktal invasif : Karsinoma duktus infiltrative merupakan karsinoma
payudara yang paling umum terjadi. Secara histologist,

jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk bulat sampai
polygonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada tepi
tumor, tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar
seperti sarang, kawat atau seperti kelenjar.
2. Karsinoma lobuler invasif : Jenis ini merupakan karsinoma infiltrative
yang tersusun atas sel-sel berukuran kecil dan seragam dengan sedikit
pleimorfisme. Karsinoma lobular invasive biasanya memiliki tingkat
mitosis rendah. Sel infiltrative biasanya tersusun konentris disekitar
duktus berbentuk seperti target. Sel tumor dapat berbentuk signet-ring,
tubuloalveolar, atau solid.
d. Karisnoma tubular : Bentuk sel kanker ketika dilihat dibawah microskop
tampilannya lebih baik dari Invasive Ductal Carcinoma dan Invasive Lobular
Carcinoma.

Karsinoma kribriform invasif : Insiden karsinoma kribriformis invasif hanya sekitar


0,8-3,5% dari seluruh kanker payudara dengan rata-rata umur penderita 55 tahun
(Ellis, 2003). Secara klinis tumor dapat muncul sebagai massa, tetapi sering kali
berupa occult. Gambaran mamografi yang diduga massa biasanya mengandung
mikrokalsifikasi. Multifokal dapat dijumpai hampir 20% kasus. Tumor tersusun atas
kelompokan sel berbentuk pulau- pulau, sering berbentuk angulated, yang
berbatas tegas dengan stroma. Inti sel kecil-kecil yang menunjukkan tingkat
pleomorfisme yang rendah atau moderate. Mitosis jarang dijumpai. Sering
dijumpai reaksi desmoplastik yang menonjol pada banyak kasus karsinoma
kribiformis invasif.
Karsinoma meduler : Tipe spesifik pada invasive breast cancer. Dimana batas
tumor jelas terlihat. Sel kanker lebar dan sel sistem imun terlihat disekitar batas
tumor. Sel berukuran besar berbentuk polygonal/lonjong dengan batas sitoplasma
tidak jelas. Diferensiasi dari jenis ini buruk, tetapi memiliki prognosis lebih baik
daripada karsinoma duktus infiltrative. Biasanya terdapat infiltrasi limfosit yang
nyata dalam jumlah sedang diantara sel kanker, terutama dibagian tepi jaringan
kanker.
Karsinoma musinosa dan karsinoma kaya mukus lainnya
Karsinoma besar
musinosa : Padaintra
mucus karsinoma
dan musinosum
ekstraselulerini di dapatdapat
yang sejumlah
dilihat secara
makroskopis maupun mikroskopis. Secara histologist, terdapat 3 bentuk
sel kanker. Bentuk pertama, sel tampak seperti pulau-pulau kecil yang
mengambang dalam cairan musin basofilik. Bentuk kedua, sel tumbuh
dalam susunan kelenjar berbatas jelas dan lumennya mengandung
musin. Bentuk ketiga terdiri dari susunan jaringan yang tidak teratur
berisi sel tumor tanpa diferensiasi, sebagian besar berbentuk signet-ring.
2. Karsinoma adenoid kistik dan mukokarsinoma sel torak : Kanker berasal
dari jaringan adenoid berbentuk kista dan bermukus.
3. Karsinoma sel niget : Karsinoma yang berasal dari sel basal.
h. Karsinoma neuroendokrin
1. Karsinoma neuroendokrin padat : Makroskopis karsinoid tumor dapat

tumbuh infiltratif atau meluas ke daerah sekitarnya. Konsistensi tumor yang


menghasilkan musin adalah lunak dan gelatinous. Membentuk struktur alveolar
atau solid yang cenderung berisi sel-sel yang tepinya tersusun palisade.
Atipikal : Kondisi jinak (bukan kanker) di mana terdapat sel-sel normal berlebihan
dalam lapisan saluran payudara (duktus mammae) dan sel-sel abnormal yang
terlihat di bawah mikroskop.
Karsinoma neuroendokrin sel kecil : Makroskopis karsinoid tumor dapat tumbuh
infiltratif atau meluas ke daerah sekitarnya dengan sel tumor berbentuk bulat
hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular.
Karsinoma neuroendokrin sel besar : Makroskopis karsinoid tumor dapat tumbuh
infiltratif atau meluas ke daerah sekitarnya dengan tipe sel besar.
Karsinoma papilar invasif : Komponen invasive dari jenis karsinoma ini berbentuk
papiler.
Karsinoma apokrin : Karsinoma ini didominasi dengan sel yang memiliki sitoplasma
eosinofilik, sehingga menyerupai sel apokrin yang mengalami metaplasia. Bentuk
karsinoma apokrin dapat ditemukan juga pada jenis
karsinoma payudara yang lain

k. Karsinoma dengan metaplasia : Perubahan bentuk jaringan biasanya


terlokalisir/terbatas dan berisi beberapa sel yang berbeda, yang secara tipikal
tidak ditemui pada kanker payudara yang lain. Tumor yang tumbuh pada
sambungan antara jaringan di payudara.
1. Karsinoma metaplasia epitel : Neoplasma ganas yang berasal dari epitel.
2. Karsinoma metaplasia sel skuamosa : Satu jenis kanker yang berasal dari
lapisan epidermis.
3. Karsinoma adenoskuamosa : Jenis kanker yang mengandung dua jenis
sel, sel skuamosa (sel tipis datar yang melapisi organ-organ tertentu) dan
sel seperti kelenjar.
4. Karsinoma mukoepidermoid : Tumor ganas epitel yang terdiri dari
berbagai proporsi mukosa, epidermoid (misalnya squamous), menengah,

kolumnar, dan sel-sel yang jelas dan sering menunjukkan pertumbuhan kistik
menonjol.
Karsinoma mesenkimal epitelial campuran : Kanker yang berasal dari campuran
jaringan epitel dan mesenkim.
Adenokarsinoma dengan metaplasia sel spindel : Karsinoma sarkomatoid yang
menyerupai gambaran soft tissue sarcoma.
Karsinoma lipoid : Karsinoma yang berasal dari jaringan lemak.

Karsinoma sekretorik : Gambaran makroskopis biasanya tampak berupa nodul


yang berbatas tegas, berwarna abu-abu keputihan atau kuning kecoklatan. Ukuran
tumor antara 0,5-12 cm, biasanya ukuran tumor lebih besar pada pasien yang
berusia lebih tua. Pada umumnya sel-sel tumor berkelompok dengan batas yang
tegas, tetapi sering dapat dijumpai menginvasi ke jaringan lemak sekitarnya.
Jaringan sklerotik mungkin dapat dijumpai pada tengah lesi yang mengandung tiga
gambaran dalam bermacam kombinasi. Pertama gambaran mikrositik
(honeycombed pattern) mengandung kista kecil-kecil dalam ruang yang besar yang
mirip dengan folikel tiroid. Kedua, adanya gambaran solid dan yang ketiga adanya
gambaran tubuler yang mengandung massa sekresi.
Karsinoma onkositik : Kanker yang ditemukan pada sel-sel onkositik.
o. Karsinoma kistik adenoid : Jenis kanker ini penggolongannya dilihat dari
ukurannya, tumor lokal. Termasuk jenis invasive dengan karakteristik sel
yang berbentuk kribriformis, tetapi lambat dalam pertumbuhan dan
penyebaran. Secara makroskopis, tampak tumor dengan batas yang tegas,
berwarna abu-abu, merah muda atau kuning kecoklatan dengan rata-rata
diameter 7-12 cm. Kadang-kadang dijumpai mikrokistik.
20

p. Karsinoma asinar : Kanker berbentuk seperti dilatasi kecil/seperti kantung.


q. Karsinoma sel jernih kaya glikogen : Kanker yang memiliki sel besar dengan
batas jelas, sitoplasma jernih (kaya glikogen).
r. Karsinoma seborea : Tumor jinak kulit yang paling banyak muncul pada
orang yang sudah tua, terbentuk dari proliferasi sel-sel epidermis kulit,
berbatas tegas, berwarna kecoklatan atau hiperpigmentasi, dan sedikit
meninggi dibanding permukaan kulit.

Karsinoma mammae inflamatorik : Tipe kanker payudara yang agresive. Kulit pada
payudara menjadi merah dan bengkak. Atau menjadi tebal/besar. Berbintik-bintik
menyerupai jeruk yang terkelupas. Ini dikarenakan oleh sel kanker yang memblock
pembuluh getah bening yang letaknya dekat permukaan payudara.
Penyakit paget papila mammae : Penyakit paget ditandai dengan gambaran eksim
unilateral, berbatas tegas pada papilla mammae yang merupakan metastasis
epidermal dari adenokarsinoma saluran kelenjar mammae. Mulanya berupa krusta
ertematosa atau keratolitik berbatas tegas, dan terasa gatal. Setelah beberapa
bulan atau tahun menjadi infitratif dan ulseratif.
2.1.6.2 Klasifikasi Tumor Nodul Metastase (TNM) menurut Smeltzer dan Bare
(2002) :
Tumor primer (T) :
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor kurang dari 2 cm
T2 Tumor lebih dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm
T3 Tumor lebih dari 5 cm
T4 Perluasan kedinding dada, inflamasi

b. Kelenjar getah bening regional (N) :


1. N0 Tidak ada tumor dalam kelenjar getah bening regional.
2. N1 Metastasis ke kelenjar ipsilateral yang dapat berpindah-pindah.
3. N2 Metastasis ke kelenjar ipsilateral yang menetap.
4. N3 Metastasis ke kelenjar mamaria interna ipsilateral.
c. Metastasis jauh (M) :
1. M0 Tidak ada metastasis jauh.
2. M1 Metastasis jauh (termasuk menyebar ke kelenjar supraklavikular
ipsilateral).
2.1.6.3 Pertahapan Kanker Payudara menurut Price dan Wilson (2005):
a. Stadium 0 Tis N0 M0, bertahan hidup 5 tahun 99% pasien
b. Stadium 1 T1 N0 M0, bertahan hidup 5 tahun 92% pasien

Stadium IIA T0 N1 M0, bertahan hidup 5 tahun 82% pasien T1 N1 M0


T2 N0 M0

Stadium IIB T2 N1 M0, bertahan hidup 5 tahun 65% pasien T3 N0 M0


Stadium IIIA T0 N2 M0, bertahan hidup 5 tahun 47% pasien T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1, N2 M0

Stadium IIIB T4 N apa saja M0, bertahan hidup 5 tahun 44% pasien T apa saja N3
M0
Stadium IV T apa saja N apa saja M1, bertahan hidup 5 tahun 14% pasien
2.1.7 Penatalaksanaan Kanker Payudara

Ada beberapa penanganan kanker payudara yang tergantung pada stadium klinik
penyakitnya, yaitu pembedahan (operasi), radiasi, dan kemoterapi (Smeltzer, Bare,
Hinkle & Cheever, 2010; Desen, 2011; Black & Hawks, 2014; Hasdianah &
Suprapto, 2014). Operasi sering dilakukan pada pasien kanker payudara stadium I,
II dan III. Pada stadium ini kanker payudara dianggap
operabel dan sifat pengobatannya adalah kuratif. Pengobatan pada stadium I, II

dan IIIa adalah operasi primer, terapi lainnya bersifat adjuvan. Untuk stadium I, II
pengobatannya yaitu mastektomi radikal, mastektomi radikal modifikasi, dengan
atau tanpa radiasi dan sitostatika adjuvan. Jika kelenjar getah bening aksila
mengandung metastase maka diberikan terapi radiasi adjuvan dan sitostatika
adjuvan dengan tindakan operasi mastektomi total, mastektomi segmental dengan
diseksi kelenjar limfe aksilar dan mastektomi segmental dengan diseksi kelenjar
limfe sentinel. Jika kelenjar getah bening aksila tidak mengandung metastase,
maka terapi radiasi dan sitostatika adjuvan tidak diberikan. Stadium IIIa adalah
simpel mastektomi dengan radiasi dengan sitostatika adjuvant. Untuk stadiun
lanjut, yaitu stadium IIIb dan IV sifat pengobatannya adalah paliatif, yaitu
terutama untuk mengurangi penderitaan penderita dan memperbaiki kualitas
hidup. Untuk stadium IIIb atau yang dinamakan locally advanced pengobatan
utama adalah radiasi dan dapat diikuti modalitas lain yaitu hormonal terapi dan

sitostatika. Stadium IV pengobatan yang primer adalah yang bersifat sistemik


yaitu hormonal dan kemoterapi. Radiasi terkadang diperlukan untuk paliatif.
Ada beberapa macam tujuan radiasi yaitu (1) murni kuratif atau pada pasien yang
menolak operasi, (2) radiasi adjuvan yang dilakukan sebelum atau sesudah
operasi dan (3) radiasi paliatif yang digunakan untuk mengatasi masalah pasien
dengan stadium lanjut, misalnya untuk mengurangi nyeri (Desen, 2011). Radiasi
dapat diberikan secara bersamaan atau berselang-seling dengan kemoterapi,
atau diberikan berurutan setelah kemoterapi diselesaikan. Macam kemoterapi
yang dapat diberikan yaitu kemoterapi pra-operasi, kemoterapi adjuvan pasca
operasi dan kemoterapi terhadap kanker mammae stadium lanjut
dan metastatik (Black & Hawks, 2014).

2.2 Konsep Dasar dan Definisi dari Teori Peaceful End Of Life

Peaceful end of life theory merupakan salah satu teori keperawatan yang
dikembangkan oleh Cornelia M. Ruland dan Shirley M. Moore pada tahun 1998
dan termasuk kedalam kategori middle range theory (Fitzpatrick & McCarthy,
2014). Peaceful end of life theory sering digunakan dalam lingkup perawatan
paliatif dan masalah lain yang mengutamakan kedekatan keluarga serta
melibatkan orang yang bermakna dalam perawatan pasien sehingga
mengurangi
dapat gejala dan meningkatkan kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan
orang lain. Proses keperawatan paliatif bukan bertujuan meningkatkan
kesembuhan tetapi lebih ditekankan untuk tujuan membebaskan pasien dari rasa
nyeri, memberikan perasaan nyaman, dihargai dan dihormati, damai, dan merasa
dekat dengan sesorang yang bermakna dalam kehidupannya (Tomey & Alligood
2010). Teori ini juga dapat diterapkan pada pasien kuratif yang masih berada pada
stadium awal sampai pada pasien yang penyakitnya sudah tidak responsif
terhadap pengobatan. Pasien diberikan perawatan secara komprehensif dengan
tujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan
penderitaannya, memberikan dukungan bio-psiko-sosio dan spiritual mulai dari
menetapkan diagnosa sampai mengantarkan pasien pada kematian yang damai
serta memberi dukungan terhadap keluarga yang sedang dalam keadaan berduka
(Tomey & Alligood 2010).
2.2.1 Konsep Utama Teori PEOL

Enam konsep utama teori PEOL yang dirumuskan oleh Ruland & Moore (1998),
yaitu : (1) memantau dan mengelola nyeri pasien dengan memberikan intervensi
farmakologi dan nonfarmakologi sebagai upaya dalam mengurangi nyeri, (2)
mencegah, memantau, menghilangkan dan mengurangi ketidaknyamanan fisik
dengan memfasilitasi istirahat, mengajarkan teknik relaksasi, memberikan
kepuasan dan mencegah komplikasi untuk membantu menciptakan kenyamanan
bagi pasien, (3) melibatkan pasien dan orang yang bermakna dalam kehidupan
pasien dalam pengambilan keputusan terkait perawatan pasien, memperlakukan
pasien dengan bermatabat, bersikap empati dan simpati, serta penuh perhatian
terhadap kebutuhan, keinginan dan hal-hal yang disukai pasien, (4) memberikan
dukungan emosional, memantau pernyataan pasien atas perasaan cemas terhadap
tindakan pengobatan yang dijalani, memonitor dan memenuhi kebutuhan pasien
akan obat anti cemas, membina hubungan saling percaya, menghadirkan pasien
lain yang dengan kondisi sama serta orang terdekat yang bermakna dalam
memberikan bimbingan terhadap masalah-masalah yang dihadapi pasien yang
berkaitan dengan rasa damai, (5) menfasilitasi dan melibatkan partisipasi orang
lain yang bermakna atau keluarga
dalam perawatan
menanggapi pasien, rasa
pertanyaan empati
pasien serta terhadap reaksipasien
memfasilitasi berduka, khawatir
untuk dan
lebih dekat
dengan keluarga dan orang yang merawat pasien (6) Pengalaman pasien terbebas
dari rasa nyeri, merasa nyaman, dihargai, dihormati, damai dan tenang serta dekat
dengan orang yang bermakna dapat membantu pasien menghadapi akhir
kehidupan yang penuh kedamaian (Tomey & Alligood 2010).
2.2.2 Penerapan Teori Peaceful End of Life
Sebagian besar keluarga dan pasien merasa terbebani dengan penyakit
kronis dan kondisi terminal. Kualitas dukungan dalam hidup yang terbaik adalah
suatu pertimbangan penting dalam perawatan (Lorenz, Lynn, Dy, Shugarman,
Wilkinson, Mularski & Shekelle, 2008). Menurut Ruland dan Moore (2001, dalam
Tomey & Alligood 2010), tahapan proses keperawatan lebih ditekankan pada
proses pengkajian dan intervensi yang bertujuan untuk menggali respons
klien
berdasarkan masalah utama dan pencapaian kualitas hidup. Tahapan tersebut
bersifat dinamis dan berkelanjutan. Aplikasi teori peaceful end of life pada asuhan
keperawatan klien kanker mengacu pada lima konsep utama yang merupakan
indikator pencapaian tujuan dari teori tersebut, yaitu:
2.2.2.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan merupakan langkah pertama proses keperawatan dimulai


dengan wawancara riwayat kesehatan (anamnesis) serta mengamati klien selama
berinteraksi. Pengamatan ini akan mengarahkan perawat pada aspek yang perlu
difokuskan saat pemeriksaan fisik selanjutnya (Black & Hawks, 2014). Pengkajian
keperawatan dapat menggunakan berbagai macam instrumen misalnya Verbal
Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scale (VAS), Numerical Rating Scale (NRS) dan
ESAS (Edmonton Symptom Assessment System)
VRS adalah alat ukur yang digunakan untuk menggambarkan intensitas nyeri
dengan menggunakan kata sifat, dari “tidak nyeri/no pain” sampai “nyeri
hebat/extreme pain”. Kata sifat dalam VRS diskore dengan menggunakan angka
menurut intensitas nyerinya meliputi 5 skala 0 sampai 4 yaitu skore “0” tidak nyeri,
skore “1” kurang nyeri, skore “2” nyeri yang sedang, skor “3” nyeri keras, skore “4”
nyeri yang sangat keras (Welchek, Mastrangelo, Sinatra & Martinez,
2009; American Medical Association, 2010).). NRS adalah suatu alat ukur yang
menggunakan skala numeral untuk menilai intensitas rasa nyeri pada pasien
dengan level skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti tidak nyeri, 5
atau 50 nyeri sedang, dan 10 atau 100 berarti nyeri hebat (American Medical
Association, 2010; Breivik, Borchgrevink, Allen, Rosseland, Romundstand &
Hals, 2008). VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa
intensitas nyeri dan secara khusus meliputi garis 10-15 cm, dengan setiap
ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “tidak
nyeri” dan ujung kanan diberi tanda “nyeri hebat”. VAS dianggap lebih sensitif
terhadap perubahan nyeri kronik daripada nyeri akut (American Medical
Association, 2010).
ESAS merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai sejumlah
gejala yang sering muncul pada pasien terminal meliputi nyeri, mual, kurang
nafsu makan, sesak nafas, kelelahan, mengantuk, kecemasan, depresi, dan
perasaan damai (Alberta Health Service & Convenan Health, 2010).
a. Pengkajian Nyeri

Nyeri adalah persepsi dalam kondisi sadar yang dihasilkan dari stres lingkungan.
International Association for the study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan, aktual ataupun potensial (IASP, 1996 dalam Black &
Hawks, 2014). Pengkajian nyeri dilakukan untuk mengevaluasi adanya keluhan
nyeri yang dirasakan oleh pasien meliputi keluhan utama, riwayat penyakit yang
diderita, sumber nyeri, karakteristik nyeri, lokasi nyeri, durasi nyeri, perilaku non
verbal yang mengindikasikasikan masalah nyeri, faktor yang mengurangi atau
memperberat nyeri, riwayat penggunaan analgetik (Kemp, 2010; Black & Hawks,
2014). Ada dua jenis pola nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri kronis
dibagi dalam tiga macam yaitu nyeri kronis persisten, nyeri kronis intemiten dan
nyeri kronis malignan (terkait kanker) (Black & Hawks, 2014).
Karena nyeri bersifat subjektif, dibutuhkan alat bantu untuk menilai tingkat nyeri
pasien. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk menilai tingkatan nyeri
pada orang dewasa yaitu VAS (Visual Analoge Scale). Dengan menggunakan alat
bantu tersebut nyeri kanker dapat dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu nyeri
(nilai VASringan ( nilai
7-10), VAS 1-3),
sedangkan nyeri
pada sedang ( dapat
anak-anak nilai VAS 4-6),danFace
digunakan nyeriPain
beratRating
Scale (Scale Wong-Baker FACES) (Campbell, 2009).
b. Pengkajian Rasa Nyaman
Perasaan nyaman diartikan sebagai perasaan terbebas dari rasa
ketidaknyamanan, merasa senang dan puas terhadap sesuatu serta merasa hidup
lebih mudah, damai dan menyenangkan (Ruland & Moore (1998) di dalam
Tomey & Alligood , 2010). Pengkajian rasa nyaman meliputi monitoring sumber
atau penyebab ketidaknyamanan pasien, yang membuat pasien tidak merasa puas
dan semua yang membuat hidup pasien sulit dan tidak nyaman misalnya keadaan
depresi terkait penyakit yang dideritanya yang dinyatakan tidak akan sembuh,
sesak napas, perasaan mengantuk yang disebabkan oleh proses penyakit, merasa
lelah, mual muntah karena proses penyakit maupun terapi, kurang nafsu makan,
dan kurang dukungan finansial, dalam hal ini teori Kolcaba menjadi landasan

dalam pengkajian rasa nyaman. VAS juga dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam menilai rasa nyaman pada klien kanker. Misalnya dalam memonitor mual
pasien akibat kemoterapi. Skala VAS mual terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
mual ringan (nilai VAS 1-3), mual sedang (nilai VAS 4-6),dan mual berat (nilai VAS 7-
10) (Borjeson, Hursti, Peterson, Fredikson, Fürst & Lundqvist, 1997 dalam Lua,
Salihah, Mazlan, 2015).
Pengkajian Dihargai dan Dihormati

Setiap klien dengan masalah penyakit terminal ingin dihormati dan dihargai
sebagai manusia seutuhnya. Konsep ini menggunakan prinsip etik- autonomi dan
menghomati orang lain, dimana setiap individu memiliki hak untuk membuat
keputusan sendiri. Dalam menjalani perawatan seringkali pasien merasa lemah,
tidak berguna yang membuat pasien mengisolasi diri. Rasa kecewa, mudah
tersinggung biasanya mengawali perasaan tidak dihargai dan tidak dihormati pada
diri pasien. Pengkajian merasa dihargai dan dihormati dilakukan dengan
mengevaluasi kemampuan pasien dalam membuat keputusan sendiri, mengkaji
kebutuhan pasien terhadap keinginan dan pilihannya dalam proses perawatan.
Pengkajian Perasaan Damai
Damai diartikan sebagai perasaan tenang, harmonis dan puas, bebas dari
kecemasan, kegelisahan,
meliputi fisik, kekhawatiran
psikologis dan spiritual.
dan dimensi takut. ArtiPengkajian
damai dalamdamai
aspekdilakukan
ini
dengan cara mamantau kondisi emosional pasien, mengevaluasi kebutuhan pasien
akan obat anti kecemasan, memantau kebutuhan pasien dan keluarga akan
bimbingan praktis terhadap timbulnya masalah perawatan pasien.
e. Pengkajian Dekat dengan Orang yang Bermakna
Perasaan dekat merupakan perasaan tentang berhubungan dengan individu
lain yang bermakna dalam kehidupan pasien yang terlibat dalam proses perawatan
pasien. Kedekatan ini melibatkan fisik atau kedekatan emosional yang
diekspresikan dalam bentuk kehangatan, hubungan yang baik dengan keluarga,
sahabat, rekan kerja maupun masyarakat sekitar. Pasien selama dirawat
membutuhkan dukungan dan kunjungan orang-orang terdekat sehingga tidak

menimbulkan perasaan diasingkan atau diisolasi. Hal tersebut sangat


mempengaruhi kondisi kesehatan pasien. Tindakan yang dapat dilakukan perawat
dalam pengkajian adalah dengan mengkaji kebutuhan orang yang bermakna dan
peduli terhadap pasien, baik dalam kesedihan, kekhawatiran dan ketika
memerlukan jawaban dalam pertanyaan terkait perawatan pasien, mengkaji
kebutuhan pasien untuk dekat dengan keluarga, teman atau masyarakat.
Diagnosa Keperawatan

Hasil dari pengkajian akan teridentifikasi masalah yang terjadi pada pasien baik itu
masalah aktual maupun masalah potensial. Dengan pendekatan teori peaceful end
of life kemungkinan diagnosa keperawatan yang teridentifikasi adalah nyeri,
ansietas, ketidakefektifan bersihan jalan nafas, gangguan pemenuhan nutrisi,
intoleransi aktivitas, kerusakan mobilitas fisik, kerusakan integritas kulit, ansietas,
gangguan konsep diri, resiko infeksi, koping keluarga in efektif, isolasi sosial,
menarik diri, penampilan peran tidak efektif, kerusakan interaksi sosial dan lain-
lain.
Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan tindakan keperawatan yang diaplikasikan


terhadap pasien sesuai dengan diagnosa keperawatan yang
dirumuskan. Intervensi
classification). Berikutkeperawatan berdasakan pada
tindakan keperawatan yangNIC (nursing
dapat intervention
dilakukan dalam
penerapan “Peaceful End of Life Theory” :
a. Bebas dari Nyeri :
Sebagai seorang perawat berperan dalam memonitor dan mengkaji nyeri
secara komprehensif serta dapat berkolaborasi dalam pemberian analgetik maupun
memberikan intervensi keperawatan secara mandiri dalam bentuk pemberian
terapi nonfarmakologi yang dapat menurunkan nyeri pada pasien misalnya berupa
intervensi fisik untuk memberikan kenyamanan dan meningkatkan mobilitas
dengan cara stimulasi kutaneus, pijat, kompres hangat/dingin, akupunktur,
Transkutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS), dan akupresur, serta
intervensi kognitif-perilaku untuk mengubah persepsi nyeri, menurunkan
ketakutan dan meningkatkan perilaku kontrol terhadap nyeri dengan cara nafas
dalam, relaksasi progresif, musik, guided imagery, distraksi, terapi sentuhan,
meditasi dan humor (Black & Hawks, 2014).
Perasaan Nyaman

Sebagai perawat tindakan yang dilakukan meliputi mencegah, memonitoring dan


membebaskan ketidaknyamanan fisik, memfasilitasi untuk beristirahat dan
relaksasi serta mencegah komplikasi yang mungkin terjadi yang akan
menyebabkan ketidaknyamanan pasien.
Perasaan Dihargai dan Dihormati

Perasaan dihargai dan dihormati pada pasien dapat dilakukan dengan melibatkan
pasien dan orang lain yang bermakna dalam kehidupannya dalam setiap
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan perawatan pasien, merawat
pasien dengan menjunjung harga dirinya, berempati, dan memberikan rasa hormat
serta memberikan perhatian terhadap ekspresi, kebutuhan pasien, keinginan dan
pilihannya.
Perasaan Damai

Tindakan perawat dalam aspek ini yaitu memberikan dukungan emosional,


memantau dan memenuhi kebutuhan pasien akan obat anti kecemasan,
membangun kepercayaan dan menyediakan pasien dan orang lain yang bermakna
bagi pasien bimbingan praktis dalam penyelesaian masalah pasien.
Perasaan Perasaan
Dekat dengan
dekatOrang yang Bermakna.
merupakan perasaan tentang kedekatan dengan individu
lain yang peduli. Perasaan dekat ini tidak hanya dari segi fisik saja akan tetapi
mencakup fisik, kedekatan emosional yang diekspresikan dalam bentuk
kehangatan, hubungan yang intim. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan
menfasilitasi partisipasi orang lain yang bermakna dan peduli terhadap perawatan
pasien, mendampingi orang lain yang bermakna ketika dalam kesedihan,
kekhawatiran dan memerlukan jawaban atas pertanyaan terkait perawatan pasien,
serta memberikan kesempatan pasien untuk lebih dekat dengan keluarganya.
2.2.2.4 Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk melihat sejauhmana tercapainya tujuan yang
ditetapkan berdasarkan NOC (Nursing Outcome Classification). Evaluasi
dilakukan dengan cara membandingkan perubahan kondisi baik secara fisik,
psikologis, sosial dan spiritual pada waktu sebelum dilakukan intervensi dengan
setelah dilakukan intervensi.
2.2.3 Hubungan Lima Konsep Utama Teori Peaceful End of Life

Teori PEOL yang terdiri dari lima konsep yang saling berkaitan, yaitu bebas dari
rasa nyeri, merasa nyaman, dihargai, damai dan dekat dengan orang yang
bermakna dalam kehidupan pasien. Kriteria proses dari setiap konsep tersebut
dapat digabungkan misalnya nyeri, kenyamanan dan damai dapat dijadikan satu
konsep yang sederhana dalam manajemen gejala fisik maupun psikologisnya.
Konsep nyeri dengan dua kriteria proses yaitu memantau dan menghilangkan rasa
sakit serta memberikan tindakan farmakologi dan non farmakologi memiliki
kedekatan hubungan dengan kriteria proses dari kenyamanan yang meliputi
pencegahan, pemantauan dan pengurangan rasa ketidaknyamanan fisik dan
kriteria proses dari kedamaian yaitu memonitor, memenuhi kebutuhan klien
selama perawatan anti cemas. Intervensi non farmakologis yang bisa dilakukan
misalnya terapi musik, humor, relaksasi, menghirup aromaterapi diberikan sebagai
distraksi pasien terminal dan sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri,
kecemasan dan rasa ketidaknyamanan fisik secara umum. Penggabungan kriteria
proses tersebut memudahkan dan menyederhanakan jumlah intervensi yang
diberikan pada pasien. Gambaran
hubungan teori PEOL dapat dilihat pada skema di bawah ini :
30

Skema 2.1 Hubungan Teori Peaceful End of Life

Peaceful End of Life

Tidak Pengalaman Pengalaman Perasaan Kedekatan dengan


nyeri Nyaman bermartabat/dihormati damai orang yang peduli

Monitoring Mencegah, Memfasilitasi


Melibatkan pasien
dan memantau dan Memberikan partisipasi orang
dan orang lain yang
pemberian menghilangkan dukungan lain yang berarti
bermakana dalam
penghilang ketidaknyamanan emosional dalam perawatan
pengambilan
nyeri fisik pasien
keputusan

Hadir pada orang


Menerapkan Memfasilitasi Merawat Memantau
lain yang
intervensi istirahat, pasien dengan kebutuhan
bermakna ketika
farmakologis relaksasi dan bermartabat, pasien akan
dalam kesedihan,
dan non kepuasan hati empati dan obat anti
kekhawatiran dan
farmakologisi rasa hormat kecemasan
pertanyaan

Memberikan Memberikan Memfasilitasi


Pencegahan
perhatian inspirasi kesempatan
komplikasi
kepada ekspresi kepercayaan bagi
kebutuhan kedekatan
pasien, keluarga
Menyediakan
keinginan dan pasien atau
pilihannya orang lain
yang
bermakna
bimbingan
praktis dalam
masalah

Sumber: Ruland, C. M., & Moore, S. M. (1998) dalam Alligood & Tomey 2010
2.3 Konsep Kemoterapi
2.3.1 Definisi
Kemoterapi adalah terapi sistemik terhadap kanker sistemik (misal
leukemia, mieloma, limfoma, dll), dan kanker dengan metastase klinis maupun
subklinis (Desen, 2011). Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti
kanker (sitostatika) berbentuk pil, cair, kapsul atau melalui infus yang bertujuan
membunuh sel kanker diseluruh tubuh melalui mekanisme kemotaksis (Hasdianah
& Suprapto, 2014).
2.3.2 Prinsip Kerja Pengobatan Kemoterapi

Prinsip kerja pengobatan kemoterapi adalah dengan meracuni sel-sel kanker yang
bertujuan untuk membunuh, mengontrol pertumbuhan dan menghentikan
pertumbuhan sel-sel kanker agar tidak bermetastasis, atau untuk mengurangi
gejala-gejala seperti nyeri yang disebabkan oleh kanker (Desen, 2011). Kemoterapi
bersifat sistemik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat
setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin
sudah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (Yarbro, Wujcik, Gobel &
Holmes, 2010).
Penggunaan kemoterapi berbeda-beda untuk setiap pasien, kadang-kadang
sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau setelah
operasi atau radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbeda-beda
tergantung jenis kankernya (Iskandar, 2007; Desen, 2011). Sumber lain
menjelaskan kemoterapi bekerja secara langsung ataupun tidak langsung
mengganggu reproduksi sel dengan mengubah proses-proses biokimia yang
penting. Obat kemoterapi tertentu seperti golongan antimetabolit terhadap sel
dalam siklus proliferasi fase G1, S, G2 dan M lebih peka dibandingkan sel dalam
golongan
fase yaitu
statis G0. (1) obat
Menurut non spesifik
perbedaan efekterhadap siklus sel (Cell Cycle Non Specific
Agent/CCNSA)
atas berbagai fasedapat membunuh
multiplikasi sel fase
sel obat istirahat maupun
kemoterapi sel multiplikasi,
dapat dibagi menjadi dua(2)
obat spesifikasi siklus sel (Cell Cycle Specific Agent/CCSA) membunuh sel
multiplikasi lebih banyak dibanding sel statis (Desen, 2011). Hasil yang
diharapkan adalah terkontrolnya semua sel ganas. Beberapa eksperimen dan
pengalaman klinis menyatakan bahwa kebanyakan agen kemoterapi tidak
membunuh sel-sel kanker dalam sekali paparan. Oleh karena itu dosis atau siklus
kemoterapi berulang harus dilangsungkan (Black & Hawks, 2014).
2.3.3 Agen Kemoterapi pada Kanker
Kombinasi dua atau lebih obat sering digunakan sebagai agen kemoterapi.
Alasan dilakukannya terapi kombinasi adalah untuk menggunakan obat yang
bekerja pada bagian yang berbeda dari proses metabolisme sel, sehingga akan
meningkatkan kemungkinan dihancurkannya jumlah sel-sel kanker. Setiap obat-

obatan yang dipilih untuk kombinasi harus efektif melawan jenis kanker yang akan
diobati. Ketika dikombinasi, agen-agen kemoterapi merusak lebih banyak sel ganas
dan menimbulkan efek samping yang sedikit karena setiap obat mengenai sel
kanker pada tahap-tahap yang berbeda pada siklus sel (Black & Hawks, 2014).
Selain itu, efek samping yang berbahaya dari kemoterapi dapat dikurangi jika obat
dengan efek beracun yang berbeda digabungkan, masing-masing dalam dosis yang
lebih rendah dari pada dosis yang diperlukan jika obat itu digunakan tersendiri
(Iskandar, 2007).
Pada kanker payudara yang sifatnya lokal, kemoterapi adjuvan untuk kanker
stadium awal I dan II umumnya mengikuti intervensi bedah lokal dan meliputi
kombinasi cyclophospamide (Cytoxan), doxorubicin (Adriamycin), methotrexate
(Mexate), 5-Fluorouracil (5-FU), paxlitaxel (Taxol), dan docetaxel (Taxotere). Terapi
adjuvan (kuratif) standar untuk kanker payudara adalah enam siklus
cyclophospamide, methotrexate dan 5-Fluorouracil (CMF) serta empat siklus
doxorubicin dan cyclophospamide dengan methotrexate, 5-Fluorouracil atau
leucovorin (Wellcovorin). Terapi sistemik adjuvan umumnya tidak diberikan pada
klien dengan tumor terbesar berdiameter 0,5 cm atau kurang dan tanpa
keterlibatan nodus limfatik. Kemoterapi sitotoksik menggunakan CMF atau
cyclophospamide,
regimen doxorubicin
cyclophospamide, (AC) tepat 5-Fluorouracil
doxorubicin, untuk klien dengan
(CAF),nodus
ataunegatif.
hanyaBagi
klien yang dengan nodus positif regimen kemoterapi yang mengandung
anthracycline (doxorubicin) lebih disarankan. Tambahan paclitaxel dapat
diberikan pada klien dengan nodus positif yang status reseptor estrogennya
negatif. Bagi klien yang memiliki tumor dengan repseptor estrogen positif, terapi
hormon selama 5 tahun juga direkomendasikan. Terapi hormon yang dapat
diberikan dapat berupa tamoxifen saja, inhibitor aromatase saja, atau kombinasi
antara keduanya (Black &Hawks, 2014). Penelitian menunjukkan adanya manfaat
tambahan jika inhibitor aromatase digunakan segera, atau setelah 2 hingga 3
tahun pemberian tamoxifen, atau setelah menyelesaikan pemberian tamoxifen
selama 5 tahun (Buzdar & Cuzick, 2006).
Jika klien memiliki penyakit yang lebih luas (stadium IIIA dan IIIB) yang
prognosisnya kurang baik umumnya membutuhkan pendekatan yang lebih agresif.

Klien secara khas memiliki ukuran tumor >5cm, invasi langsung pada kulit payudara
atau dinding dada dan limfadenopati aksila yang terfiksasi. Umumnya klien ini
mejalani kemoterapi pra operasi dengan atau tanpa terapi hormon yang diikuti
dengan pembedahan dan radioterapi. Pendekatan alternatif meliputi penggunaan
kemoterapi kombinasi dosis tinggi, diikuti agen kombinasi tambahan yang juga
aktif pada kanker payudara. Tambahan paclitaxel setiap tiga minggu untuk empat
siklus yang dilakukan setelah rejimen standar doxorubicin (Adriamycin) dan
cyclophospamide setiap tiga minggu untuk empat siklus pada perempuan dengan
kanker payudara bernodus positif. Terapi adjuvan lain meliputi paclitaxel dan
antibodi monoklonal transtuzumab (Herceptin) (Black &Hawks, 2014). Beberapa uji
randomisasi terkontrol besar menunjukkan efektifitas transtuzumab dan paclitaxel
sebagai agen tunggal dan kombinasi untuk adjuvan kanker payudara dengan HER-2
positif (Piccart & Gebhart, 2005).
Tujuan Kemoterapi
Kemoterapi Kuratif

Kemoterapi kuratif harus menggunakan formula kemoterapi kombinasi yang terdiri


atas obat dengan mekanisme yang berbeda, efek toksik berbeda, dan masing-
msing efektif bila digunakan tersendiri, diberikan dalam banyak siklus,
untuk setiap oleh
ditoleransi obat tubuh.
dalam formula tersebut memakai dosis maksimum yang dapat
2.3.4.2 Kemoterapi Adjuvan
Kemoterapi adjuvan adalah kemoterapi yang dikerjakan setelah operasi
radikal. Pada dasarnya ini adalah bagian dari terapi kuratif. Karena banyak tumor
pada waktu pra operasi memiliki mikro metastase di luar lingkup operasi, maka
setelah lesi primer dieksisi, tumor tersisa akan tumbuh semakin pesat, kepekaan
terhadap obat bertambah. Pada umumnya bila ukuran tumor semakin kecil, ratio
pertumbuhan semakin tinggi dan terhadap kemoterapi semakin peka. Bila tumor
mulai diterapi sejak dini, semakin sedikit muncul sel tahan obat. Oleh karena itu
terapi sejak dini terhadap mikro mestatase akan menyebabkan efektifitas
kemoterapi meningkat dan kemungkinan resistensi terhadap obat berkurang,
peluang kesembuhan bertambah.
2.3.4.3 Kemoterapi Neoadjuvan

Kemoterapi neoadjuvan adalah kemoterapi yang dilakukan sebelum operasi atau


radioterapi.
Kemoterapi Paliatif

Kemoterapi paliatif hanya dapat digunakan untuk mengurangi gejala seperti nyeri
dan memperpanjang angka harapan hidup.
Kemoterapi Investigatif

Kemoterapi investigatif merupakan uji klinis dengan regimen kemoterapi baru atau
obat baru yang sedang diteliti. Untuk menemukan obat atau regimen baru dengan
efektivitas yang tinggi namun toksisitas rendah memang diperlukan adanya
penelitian terkait regimen kemoterapi.
2.3.5 Efek Samping Kemoterapi

Efek samping kemoterapi timbul karena obat-obat kemoterapi tidak hanya


menghancurkan sel-sel kanker tetapi juga menyerang sel-sel sehat, terutama sel-
sel yang membelah dengan cepat. Obat kemoterapi secara umum disebut
sitostatika, berefek menghambat atau membunuh semua sel yang sedang aktif
membelah diri. Jadi, sel normal yang aktif membelah atau berkembang biak juga
terkena dampaknya, seperti sel akar rambut yang menyebabkan kebotakan, sel
darah menyebabkan anemia dan sel selaput lendir mulut menyebabkan sariawan.
Oleh karena itu, pemberian obat sitostatik harus dibawah pengawasan dokter yang

berpengalaman untuk mencegah timbulnya efek samping yang serius, dan bila
terjadi efek samping dapat segera diatasi. Agar sel tubuh normal mempunyai
kesempatan untuk memulihkan dirinya, maka pemberian kemoterapi biasanya
harus diberikan dalam selang waktu 2-3 minggu sebelum dimulai lagi pemberian
kemoterapi berikutnya (Hendry, 2007).
Sumber lain menyebutkan terapi dengan sitostatika dapat menyebabkan
mielosupresi sehingga dapat menimbulkan risiko infeksi (neutropenia) dan
perdarahan (trombositopenia). Kerusakan pada membran mukosa menyebabkan
nyeri pada mulut, diare dan stimulasi zona pemicu kemotaksis yang menimbulkan
mual dan muntah (Davey, 2006). Semua kemoterapi bersifat teratogenik.
Beberapa obat menyebabkan toksisitas yang spesifik terhadap organ, seperti ginjal
(cisplatin) dan saraf (vinkristin). Perawatan suportif dengan antagonis 5-HT3, 5

Hidroksitriptamin (serotonin) dan steroid lebih mengatasi rasa mual (Davey, 2006).
Berikut contoh beberapa agen kemoterapi, cara kerja dan efek samping yang
ditimbulkan menurut (Hesketh, 2008) :
Dactinomycin : Cara kerja utamanya adalah mengikat DNA mencegah transkripsi
dan menghambat sintesis DNA. Efek samping mielosupresi, sensitizer radiaso,
stomatitis.
Cysplatine: Cara kerja yang utama yaitu menghambat sintesis DNA, efek samping
yaitu toksisitas renal, tuli, mielosupresi, mual, muntah.
Cycloposphamide : Cara kerja yaitu menghambat sintesis DNA. Efek samping yaitu
sistitis hemoragik, mielosupresi, mual, muntah, sekresi ADH tidak sesuai, alopesia,
karsinogenik.
Cytarabine : Cara kerja utama yaitu menghambat sintesis DNA, Efek samping yaitu
mielosupresi, mual, muntah, diare, demam, hepatotoksisitas, alopesia.
Daunorubicin dan doxorubicin : Cara kerja utama yaitu menghambat sintesis DNA,
Ribonucleic Acid (RNA) dan protein melalui interkalasi DNA. toksisitas jantung,
mielosupresi, alopesia, stomatitis, selulitis lokal akibat ekstravasasi, mual, muntah.
Etoposide : Cara kerja yaitu merusak DNA, menghambat sintesis mitosis.

Efek samping mielosupresi, hipersensitivitas, mual muntah.


2.3.5.7 Fluorouracil : Cara kerjanya yaitu menghambat sintesis DNA. Efek
samping mielosupresi, stomatitis, esofagitis, alopesia, dermatitis.
2.3.5.8 Mercaptopurine : Cara kerja utama adalah menghambat biosintesis purin
de novo. Efek samping yaitu mielosupresi, stomatitis, hapatotoksisitas.
2.3.5.9 Methotrexate : Cara kerjanya yaitu menghambat dihidrofolat reduktase,
membatasi sintesis pirimidin dan purin de novo. Efek samping yaitu
mielosupresi, hepatotoksisitas, toksisitas ginjal, osteoporosis, ulkus
saluran cerna dan mulut, mua, muntah.
2.3.5.10 Vincristin : Cara kerja yaitu menghambat pembentukan gelondong
mitosis. Efek samping yaitu neurotoksisitas, alopesia, selulitis lokal
akibat ekstravasasi, sekresi ADH tidak sesuai.

Konsep Mual Muntah Akibat Kemoterapi


Definisi Mual Muntah

Mual adalah akibat dari kondisi yang meningkatkan tekanan dinding lambung,
duodenum, atau esofagus bagian bawah akhir. Rangsangan yang tidak nyaman,
distensi, gastritis dan karsinoma lambung dapat mengakibatkan mual. Mual dapat
diikuti dengan muntah maupun tidak. Mual diakibatkan oleh rangsangan emetik
pusat (Black, 2014; Olver , Eliott & Koczwara, 2014). Menurut Kelly, (2013), mual
ditandai perasaan tidak menyenangkan yang mengawali keinginan untuk muntah,
disertai dengan gejala otonom (pucat, berkeringat, peningkatan produk saliva,
takikardia). Sedangkan muntah atau emesis, ditandai dengan kontraksi otot
abdomen, penurunan diafragma, dan pembukaan kardia lambung yang
menghasilkan pengeluaran yang kuat dari isi lambung melalui mulut (Garret, 2003;
Dipiro & Taylor, 2005; Kelly, 2013). Mual muntah akibat kemoterapi adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan presentasi mual, muntah, atau kombinasi
dari keduanya sebagai gejala terkait pemberian sitotoksik kemoterapi (Marx, Kiss,
Alexandra, McCarthy, McKavanagh & Isenring, 2016). Mual dan muntah terjadi
dalam tiga stadium
yaitu mual,2008).
Wilson, retching (gerakan dan suara sebelum muntah) dan muntah (Prince &
2.4.2 Etiologi Mual Muntah akibat Kemoterapi
Etiologi mual muntah dipengaruhi oleh masalah yang berbeda, oleh karena
itu cara mengatasinya juga berbeda, bisa sederhana atau bisa juga kompleks
(Dipiro & Thomas, 2005). Selain disebabkan oleh kemoterapi, mual muntah dapat
disebabkan oleh obstruksi usus, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, uremia,
obat (digitalis, opium) dan metastase otak (Anonim, 2014). Selain adanya potensi
emetik dari agen kemoterapi, adapula beberapa faktor risiko yang menyebabkan
mual muntah akibat kemoterapi. Faktor-faktor ini dapat dikategorikan ke dalam
dua kelompok utama yaitu faktor risiko terkait pengobatan dan faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan pasien (Rangwala et al., 2012). Umumnya,
dibandingkan dengan semua faktor prediktif lain, pemberian agen emetogenicity
intrinsik dari kemoterapi dianggap sebagai faktor dominan untuk terjadinya mual

dan muntah setelah kemoterapi (Hesketh, 2008). Faktor yang berkaitan dengan
pengobatan meliputi jenis kemoterapi (potensi emetogenitas), dosis obat
kemoterapi, jadwal dan rute pemberian (Hawkins & Grunberg 2009). Beberapa
agen kemoterapi dan risiko emetogenik dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Risiko Emetogenik dari Beberapa Agen Kemoterapi
Tingkat emetogenik Intravena Oral
High (emesis risk: Carmustine (BiCNU®), cisplatin, Hexamethylmelamine
>90% without dacarbazine (DTIC-Dome®), melphalan (Hexalen®),
antiemetics) (Alkeran®) (high dose), nitrogen procarbazine
mustard/mechlorethamine (Mustargen®), (Matulane®)
dactinomycin (Cosmegen®),
cyclophosphamide (Cytoxan®, Neosar®)
plus ananthracycline, cyclophosphamide
(>1500 mg/m2), streptozotocin
(Zanosar®)
Moderate (emesis Anthracyclines, carboplatin Cyclophosphamide,
risk: 30-90% without (Paraplatin®), carmustine (high dose), temozolomide
antiemetics) cyclophosphamide (< 1500 mg/m2), (Temodar®),
ifosfamide (Ifex®), irinotecan Etoposide
(Camptosar®), methotrexate (Toposar®,VePesid®,
(Rheumatrex®,Trexall®) (high dose), Etopophos®),
oxaliplatin (Eloxatin®), vinorelbine
topotecan (Hycamtin®) (Navelbine®),
imatinib (Gleevec®,
Glivec®)
Low (emesis risk: 10- Etoposide, 5-fluorouracil Capecitabine
30% without antiemetics) (Adrucil®),gemcitabine (Gemzar®), (Xeloda®),fludarabin
mitoxantrone (Novantrone®) (< 12 e (Fludara®),tegafur-
mg/m2), taxanes, vinblastine uracil (Uftoral®)
(Alkaban- AQ®,Velban®) , etoposide, sunitinib
vinorelbine (Navelbine®), methotrexate (Sutent®), everolimus
(Rheumatrex®,Trexall®) (> 100 (Afinitor®), lapatinib
mg/m2) (Tykerb®),
lenalidomide
(Revlimid®),
thalidomide
(Thalomid®
)
Minimal (emesis risk: < Bortezomib (Velcade®), hormones, vinca , Chlorambucil
10% without alkaloids, bleomycin (Blenoxane®) (Leukeran®),
antiemetics) (Oncovin®,Vincasar PFS®) melphalan (Alkeran®),
busulfan (Busulfex®, Myleran®), erlotinib
vinblastine (AII<aban- (Tarceva®),
AQ®,Velban®), vincristine methotrexate,gefitinib
(Iressa®), sorafenib
(Nexavar®),
hydroxyurea
(Hydrea®,
DroxiaTM®,
Mylocel®), sunitinib,
L-phenylalanine
mustard, 6-
thioguanine
(Tabloid®)
Sumber : Jordan et al., 2007; Herrstedt & Roila, 2009; Roila et al., 2010
2.4.3 Faktor Risiko Mual Muntah
Sedangkan faktor risiko mual muntah yang berhubungan dengan pasien
meliputi usia muda, jenis kelamin perempuan, riwayat mual muntah, morning
sickness dan riwayat konsumsi alkohol (Booth, Clemons, Dranitsaris, Joy, Young
& Callaghan, 2007; Hesketh, Aapro, Street & Carides, 2010). Selain faktor risiko
di atas Feyer dan Jordan, (2011), menambahkan bahwa kecemasan, riwayat
motion sickness, riwayat hiperemesis gravidarum juga menjadi faktor risiko mual
muntah akibat kemoterapi. Berikut penjabaran faktor risiko dari mual muntah
menurut beberapa sumber :
2.4.3.1 Usia : Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol
emesis pada pasien dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda
biasanya ada kecendrungan untuk perkembangkan kearah reaksi distonik
akut. Pasien yang berusia kurang dari 50 tahun yang mendapat kemoterapi
dengan potensi emetik dan mengalami gangguan mual muntah setelah
pengobatan sebelumnya, berisiko mengalami mual muntah antisipator
(Morrow & Dobkin, 2002). Pada penelitian lain didapatkan bahwa pasien
anak dan orangtua melaporkan kejadian mual muntah lebih berat pada
penggunaan cyclophosphamide dibandingkan dengan Antrasiklin. Dalam
penelitian tersebut juga dilaporkan remaja lebih berat mengalami mual
muntah daripada anak-anak dan perempuan dilaporkan lebih berat
mengalami mual muntah dibandingkan laki-laki (Lebanon, 2006).
2.4.3.2 Jenis kelamin : Lebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita dari pada
laki–laki yang diberikan kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis dan
frekuensi pemberiannya. Kemungkinan karena pengaruh hormon, wanita
lebih berisiko mengalami mual muntah dari pada laki-laki (Thompson,
1999 dalam Garret et al., 2003).
2.4.3.3 Riwayat emesis tidak terkontrol : Emesis yang sulit dikontrol sebelum
penggunaan kemoterapi akan menyebabkan pasien lebih sulit untuk

mengontrol emesisnya saat dilakukan kemoterapi walaupun sudah diberikan


antiemesis, terutama untuk emesis yang bersifat akut.
Riwayat hiperemesis gravidarum : Pasien yang mempunyai riwayat HG biasanya
lebih mudah mengalami mual muntah akibat kemoterapi.
Motion sickness : Pasien yang mengalami motion sickness biasanya lebih mudah
mengalami mual muntah akibat kemoterapi (Solimando, 2003).
Pernah mengonsumsi alkohol : Emesis akan lebih mudah muncul pada pasien yang
biasa menggunakan alkohol dalam dosis tinggi (>100 g/ hari). Semakin banyak
alkohol yang dikonsumsi risiko kejadian emesis akan semakin tinggi.
Penelitian yang dikemukakan oleh Casey (2012), mual muntah akibat kemoterapi
dapat terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 50 tahun, jenis kelamin
perempuan, riwayat penggunaan alkohol, riwayat mual muntah sebelumnya
(misalnya selama kehamilan, mabuk perjalanan, riwayat mual muntah dengan
kemoterapi sebelumnya, kecemasan, agen kemoterapi
2.4.4 Mekanisme Mual Muntah akibat Kemoterapi

Mekanisme mual muntah akibat kemoterapi belum sepenuhnya dipahami. Hal ini
disebabkan mekanisme yang berbeda bertanggung jawab untuk mual dan
muntah di fase yang berbeda. Selanjutnya, mekanisme satu agen kemoterapi
mungkin berbeda dengan agen lain. Mual muntah setelah pemberian kemoterapi
dirangsang melalui efek pada sejumlah situs. Mekanisme yang terbaik
melibatkan efek pada usus kecil bagian atas (Hesketh, 2008). Setelah pemberian
kemoterapi, sel enterochromaffin (dalam usus) distimulasi, yang mengarah ke
lokal rilis exocytotic serotonin (5-HT), yang kemudian berinteraksi dengan
kemoreseptor 5-HT3, yang terletak di saraf vagus di dinding usus (Bakeret et al.,
40

2005). Selanjutnya, impuls akan ditransmisikan terutama untuk solitarius inti


tractus/nucleus tractus solitarius (NTS), dan kemudian memicu zona
kemoreseptor/Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di otak. Reseptor (NK1, 5-HT3
dan dopamin-2) hadir di dorsal kompleks vagal, dan mengikat neurotransmiter
(masing-masing Substansi P, 5-HT dan dopamin). Proyek serat eferen dari
punggung kompleks vagal ke efektor akhir dari refleks muntah di batang otak
(Baker et al., 2005; Hesketh, 2008). Agen Antineoplasik juga dapat menyebabkan

mual dan muntah melalui interaksi dengan daerah postrema (AP) dalam kompleks
dorsal vagal. Sumber potensial lainnya jalur eferen termasuk struktur di lobus
temporal, seperti amigdala (Hesketh, 2008).
Sumber lain menjelaskan muntah diinduksi oleh berbagai zat kimia, obat sitostatik
dan diperantai melalui CTZ (Schein, 1997). CTZ terletak di pembuluh area postrema
pada permukaan otak. CTZ dapat bereaksi secara langsung terhadap substansi
dalam darah. CTZ dapat diaktifkan oleh sinyal dari lambung dan usus kecil
sepanjang saraf vagal aferen atau oleh aksi langsung dari komponen emetogenik
yang dibawa dalam darah (obat anti kanker, opioid) (Garret et al., 2003). Obat-obat
kemoterapi menstimulasi enterochromaffin dalam sistem pencernaan
menyebabkan sel-sel di usus melepaskan serotonin yang mengaktivasi reseptor
serotonin. Aktivasi reseptor mengaktifkan jalur aferen vagal yang kemudian sensasi
ini diteruskan dan mengaktivasi pusat muntah di otak yaitu di medulla oblongata,
akhir dari proses yang komplek ini ditandai dengan filorus yang mengalami
relaksasi, yang memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak
menuju lambung, akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi
regurgitasi isi lambung melalui esophagus dan faring (Baker, 2005; Hesket, 2008;
Kelly, 2013).
Gambar 2.1 Mekanisme Mual Muntah
Sumber : Moradian & Howell (2015)
2.4.5 Tipe Mual Muntah akibat Kemoterapi
2.4.5.1 Mual muntah akut, biasanya terjadi saat pemberian sitostatika tanpa
pengobatan antiemetik. Mual muntah akut adalah mual dan/atau muntah
dalam 24 jam pertama setelah pemberian kemoterapi (Jordan, Sippel &
Schmoll, 2007; Schwartzberg, 2007). Muntah, dengan tidak adanya
profilaksis antiemetik yang efektif, paling sering dimulai dalam waktu 1-2
jam kemoterapi, dan biasanya memuncak dalam 4-6 jam pertama (Dewan
et al., 2010).
2.4.5.2 Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual muntah akibat
penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi setelah 24 jam setelah
pemberian terapi (Hesketh, 2005). Terlepas dari rejimen yang digunakan,
frekuensi dan jumlah episode mual dan muntah mungkin lebih sedikit
dalam fase tertunda, dibandingkan dengan mual muntah akut. Namun,
mual muntah tertunda, lebih sulit dikelola daripada mual muntah akut
(Grunberg, 2004; Dewan et al., 2010).
2.4.5.3 Antisipator mual muntah, terjadi pada pasien yang merasa mual atau rasa
tidak enak diperut dan cemas sebelum obat sitostatika diberikan. Mual
muntah antisipator sering terjadi pada pasien yang memiliki pengalaman
mual muntah yang tidak terkontrol selama program kemoterapi
sebelumnya (Schwartzberg, 2007).
2.4.6 Dampak Mual Muntah akibat Kemoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 90% dari semua pasien
dengan mual dan/atau muntah akut atau tertunda atau keduanya melaporkan
bahwa hal itu berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka. Mual muntah akibat
kemoterapi memiliki dampak negatif pada fisik, kognitif, sosial, emosional dan
fungsi peran (Martin et al., 2003; Bergkvist & Wengstrom, 2006). Penelitian lain
melaporkan bahwa mual memiliki dampak negatif lebih kuat daripada muntah

pada kualitas hidup (Foubert & Vaessen, 2005). Selain itu mual muntah juga
berdampak pada status gizi, kualitas hidup pasien dan tingkat kepatuhan pasien
dalam menjalani pengobatan (Ballatori, Roila & Ruggeri, 2007; Ferna´ndez, Caloto
& Chirveches, 2012; Davidson, Teleni & Muller, 2012).
Terapi Mual dan Muntah
Secara garis besar terapi yang digunakan meliputi 2 macam, yaitu :

Terapi farmakologi dengan antiemetik. Antiemetik yang biasa digunakan dalam


terapi CINV menurut Roila, Herrstedt & Aapro, 2010 yaitu :
Fenotiazin :

Obat ini merupakan lini pertama yang digunakan dalam penanganan mual muntah
akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade reseptor
dopamin di area postrema (CTZ dan pusat muntah) digunakan untuk mengobati
mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas ringan. Fenotiazin yang
diberikan secara IV memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan pemberian secara
peroral. Contoh obat golonganini misalnya : proklorperazin, klorpromazin,
perphenazine, thiethylpirazine dan promethazine. Efek samping yang sering timbul
adalah sedasi, akathisia, hipotensi, dan reaksi diastonik.
Kortikosteroid

Kortikosteroid khususnya dexamethasone digunakan untuk mencegah


mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas sedang hingga berat.
Mekanisme kerjanya belum diketahui pasti, namun diduga karena mampu
menyebabkan perubahan permeabilitas sel dan mampu menghambat
prostaglandin. Efek samping yang sering muncul adalah insomnia dan perut terasa
terbakar. Kortikosteroid seperti dexamethasone digunakan untuk atribut
antiemetik insidental mereka dan umumnya diresepkan dalam kombinasi dengan
agent antiemetik lainnya. Mekanisme kerja untuk kelas ini obat kurang dipahami
tetapi mekanisme yang disarankan meliputi modulasi permeabilitas kapiler dari
CTZ, efek antiinflamasi dalam saluran pencernaan, dan pelepasan endorphin.
c. Metoklopramid
Metoklopramid merupakan antiemetik pilihan kedua dalam penanganan
mual muntah akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade

reseptor dopaminergik di CTZ dan dapat digunakan untuk segala macam klasifikasi
dari mual muntah akibat kemoterapi. Efek samping yang sering muncul adalah
diare, reaksi ekstrapiramidal, sedasi, dan hipotensi.
Antagonis Reseptor Neurokinin

Obat golongan ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan SSRI dan
kortikosteroid untuk mencegah mual muntah akut dan tunda, misalnya aprepitant
dan fosaprepitant. Obat-obat ini diyakini bertindak terpusat dalam CTZ dengan
menghambat tindakan neuropeptida yang dikenal sebagai zat P60.
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)

Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade fase CINV akut, sehingga


digunakan sebagai terapi standar CINV, PONV, RINV, dengan efek samping yang
ringan, misalnya ondansentron, granisentron, palonosentron, dolasentron. Untuk
terapi pencegahan karena pemakaian obat dengan emetogenisitas yang tinggi
maka pemakaian obat ini dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Efikasi
penggunaan obat ini dapat mencapai 30–50% pada pasien yang menggunakan
cysplatine, sedangkan untuk obat-obatan kemoterapi lainnya efektivitas obat ini
dapat mencapai 70%. Efek samping yang paling sering muncul dalam
penggunaan obat golongan ini adalah pusing, konstipasi,
meningkatkan enzim ini
obatan golongan di hati, dandikenal
lebih meningkatkan
denganinterval konduksi
sebutan jantung.
Antagonis Obat- (5-
5-HT3
hydroxytriptamine/serotonin) yang bekerja dengan mengikat 5- HT3 reseptor
dalam saluran pencernaan, yang konsekwensinya blok muntah aferen sinyal ke
CTZ dalam otak. Antagonis 5-HT3 merupakan komponen penting dari terapi
entiemetik yang modern.
f. Antikolinergik
Alkaloid seperti skopolamin dan atropin memiliki efektivitas sebagai
antiemetik dengan cara menghambat reseptor kolinergik pusat. Efek samping
yang sering muncul adalah pandangan kabur, mulut kering, sedasi, dan lain-lain.
Contoh obat golongan ini adalah buclizin, meklizin.
g. Antihistamine
Obat ini bekerja dengan memblok reseptor H di otak dan telinga tengah.

Efek samping yang paling sering timbul adalah kantuk, mulut kering, dan sedasi.
Contoh obat golongan ini adalah difenhidramin, dan hidroksizin.
h. Benzodiazepin.

Mekanisme antiemetik dari obat golongan ini belum dapat diketahui secara pasti.
Efek samping yang paling sering dari obat ini adalah sedasi, pandangan kabur, dan
amnesia. Lorazepam merupakan yang paling sering digunakan dari golongan ini,
walaupun midazolam dan diazepam juga dapat digunakan. Benzodiazepin biasanya
digunakan untuk aktivitas emetogenik yang ringan atau dipilih sebagai terapi
profilaksis dalam penanganan mual dan muntah akut dan antisipatif (Dipiro, 2009).
2.4.7.2 Penanganan Mual muntah secara non Farmakologis

Selain teknik farmakologis yang telah diuraikan di atas, ada beberapa teknik
nonfarmakologis yang termasuk dalam terapi komplementer yang dapat digunakan
untuk mencegah atau mengatasi mual muntah akibat kemoterapi meliputi
penyesuaian asupan makanan dan cairan, relaksasi, olahraga, hipnosis,
biofeedback, pencitraan terarah, desensitasi sistemis, dan inhalasi aromaterapi
(Black & Hawks, 2014). Hal serupa disampaikan oleh Marx et al., (2016) bahwa
terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi mual muntah akibat kemoterapi
diantaranya pengaturan gaya hidup dan diet, sumplementasi jahe dan terapi

komplementer lainnya meliputi yoga, relaksasi otot progresif, pijat, aromaterapi,


hipnotis, latihan, program pendidikan, dan stimulation titik akupunktu.
2.4.8 Alat Ukur Mual Muntah
Untuk mengkaji mual dan muntah digunakan alat ukur dari Morrow
(Morrow Assessment of Nausea and Emesis/MANE ) yang meliputi frekuensi,
durasi dalam menit, dan intensitas mual dan muntah setelah kemoterapi. Untuk
mengkaji intensitas mual digunakan Visual Analog Scale (VAS) dan skala Likert
(Stern, Koch & Andrews, 2011). VAS adalah skala dari 0 sampai 10 atau skala 10
sampai 100 dengan nol mewakili tidak ada mual dan 10 atau 100 yang mewakili
mual maksimal. Skala Likert meminta pasien untuk menilai mual sebagai tidak
mual, mual ringan, sedang atau berat. Sedangkan jumlah muntah dengan
menggunakan gelas ukur dalam skala cc atau ml.

Aromaterapi
Pengertian Aromaterapi

Aromaterapi klinis digunakan oleh dokter, terapis pijat, praktisi perawat, terapis
okupasi, dan petugas kesehatan lainnya (Cordell & Buckle, 2013). Aromaterapi
berasal namanya dari kata aroma, yang berarti aroma atau bau dan terapi yang
berarti pengobatan. Terapi ini merupakan cara alami penyembuhan pikiran, tubuh
dan jiwa seseorang (Worwood, 2000). Menurut Hines, Steels, Chang & Gibbons
(2012), aromaterapi adalah praktik menghirup uap minyak atsiri/esensial atau zat
lain untuk mengobati atau meringankan gejala fisik dan/atau emosional. Hal
serupa disampaikan oleh Buckle (2014), aromaterapi merupakan penggunaan
minyak esensial yang diperoleh dari tanaman aromatik, untuk sifat terapeutik yaitu
penanganan yang meliputi masalah psikologis, tubuh, dan motivasi.
Manfaat Aromaterapi

Minyak esensial sering digunakan dengan tujuan terapi, campuran kosmetik,


aromatik, pengharum dan kegunaan spiritual (Evans, 2000). Terapi minyak ini
diyakini dapat meringankan stres, meremajakan dan menumbuhkan semangat
individu untuk bekerja di hari berikutnya. Saraf penciuman dari hidung
ke otak adalah lokasi penting untuk aksi minyak ini. Minyak ini telah terbukti baik

sebagai antibakteri, antibiotik, dan antivirus dan beberapa praktisi telah


menyarankan penggunaan minyak esensial dalam berbagai penyakit seperti
alzheimer, jantung, kanker dan nyeri persalinan pada kehamilan Perry N & Perry
E, 2006; Shiina, Funabash, Lee, Toyoda, Sekine & Honjo, 2008; Jimbo, Kimura,
Taniguchi, Inoue & Urakami, 2009; Smith, Collins & Crowther, 2011; Lai,
Cheung, Lo, Fung & Tong, 2011). Pada saat ini terdapat peningkatan dalam
pemanfaatan aromaterapi dalam pengobatan kanker dan gangguan tidur
(Marchand, 2014; Lee, Kim, Yeo & Lim , 2015; Hwang & Shin, 2015)
Aromaterapi telah dianjurkan dalam pengobatan kecemasan, hipertensi,
mual dan muntah, dan rasa sakit. Sebuah tinjauan sistematis, 16 percobaan
terkontrol acak (RCT), ditemukan bahwa sebagian besar orang yang
menggunakan aromaterapi dengan gejala kecemasan menunjukkan bahwa
aromaterapi memiliki efek positif dalam mengurangi gejala kecemasan (Lee, Wu,

Tsang, Leung & Cheung, 2011). Studi lain tentang penggunaan aromaterapi pada
pasien kanker, dari 160 pasien kanker yang ikut serta dalam penelitian melaporkan
bahwa aromaterapi berpengaruh dalam penurunan kecemasan di 65% pasien,
sedangkan 47% pasien menyatakan bahwa aromaterapi menurunkan efek mual
muntah (Stringer & Donald, 2011). Penelitian RCT lain melaporkan bahwa
aromaterapi telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap hipertensi dan
secara signifikan mengurangi tekanan darah sistolik dan diastolik (Hur, Lee, Kim &
Ernst, 2012).
Klasifikasi Aromaterapi

Aromaterapi dapat digunakan melalui beberapa cara menurut Ali, Naser, Saiba,
Aftab, Shah dan Anwar, (2015) yaitu melalui:
Aromaterapi Kosmetik

Terapi ini menggunakan minyak esensial tertentu untuk produk kosmetik kulit,
tubuh, wajah dan rambut. Produk ini digunakan berfungsi sebagai pembersih,
pelembab, pengeringan dan toning. Kulit yang sehat dapat diperoleh dengan
penggunaan produk minyak esensial pada wajah, kaki dan tangan serta badan,
atau dapat digunakan untuk mandi yang menjadi cara efektif dan sederhana.
Demikian pula, beberapa tetes minyak dapat memberikan peremajaan
dan perevitalisasian (Ziosi, Manfredini, Vertuani, Ruscetta, Radice & Sacchetti,
2010).
2.5.3.2 Aromaterapi Pijat
Terapi aroma dengan cara dipijat, merupakan cara yang sangat digemari
untuk menghilangkan rasa lelah pada tubuh, memperbaiki sirkulasi darah dan
merangsang tubuh untuk mengeluarkan racun serta meningkatkan kesehatan
pikiran. Aromaterapi apabila digunakan melalui pijat dapat dioleskan langsung
diatas kulit. Sebelum menggunakan minyak tersebut perlu diperhatikan adanya
kontraindikasi maupun adanya riwayat alergi (Basch et al., 2004). Beberapa
minyak aromaterapi yang bisa digunakan untuk pijat yaitu anggur, almond dan
lidah buaya (Soden, Vincent, Craske, Lucas & Ashley, 2004; Chang, 2008)
2.5.3.3 Aromaterapi Medis
Pendiri aromaterapi yang modern Rene-Maurice Gattefosse
telah menggunakan minyak esensial untuk memijat pasien selama operasi,

sehingga memanfaatkan pengetahuan efek minyak esensial aromaterapi medis


untuk mempromosikan dan mengobati penyakit medis yang didiagnosis secara
klinis (Maeda, Ito & Shioda, 2012).
2.5.3.4 Aromaterapi Olfaktori

Olfaktori aromaterapi yaitu aromaterapi yang digunakan dengan cara


dihirup/inhalasi. Inhalasi melalui sistem penciuman merupakan salah satu cara
yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi aroma yang paling
sederhana dan cepat memberikan reaksi (Halcon dan Buckle, 2006). Menurut
Kohatsu, (2008), pemakaian minyak esensial secara inhalasi merupakan metode
yang dinilai paling efektif, dan dalam penggunaannya sangat praktis serta
khasiatnya dapat dirasakan secara langsung dibanding dengan tehnik yang lain.
Tehnik menghirup aromaterapi ini lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh tanpa
melalui proses absorbsi membran sel, molekul-molekul uap akan langsung
mengenai reseptor penghidu yang berada pada rongga hidung dan langsung
terhubung dengan saraf olfaktorius.
Dengan inhalasi sederhana telah terbukti meningkatkan status kesehatan terkait
emosional berupa ketenangan, relaksasi dan peremajaan tubuh manusia (Maxwell-
Hudson, 1995 & Price 1991). Ada beberapa cara dalam penggunaan
aromaterapi : (1) minyak
peralatan tersebut aromaterapi
sebagai ditempatkan
alat penguap. Peralatan diatas
listrik peralatan listrik,
harus dicek oleh dimana
petugas
sebelum digunakan demi keamanan pasien, kemudian dilakukan penambahan dua
sampai lima tetes minyak aromaterapi dalam vapoiser dengan 20 ml air untuk
menghasilkan uap air. Minyak yang umum digunakan adalah peppermint atau
jahe untuk mual, lavender untuk relaksasi, rose baik digunakan dalam suasana
sedih, floral citrus dapat memberikan kesegaran (Western Australia Departement
of Health, 2007), (2) aromaterapi dapat dicampur dengan menggunakan air
dengan komposisi 4 tetes aromaterapi ditambah dengan 20 ml air, sehingga dapat
menghasilkan aroma yang segar dan wangi (Kohatsu, 2008), (3) aromaterapi
dapat digunakan secara langsung yaitu dengan mengunakan 1-5 tetes minyak
esensial, diteteskan pada tisu atau kapas, kemudian dihirup 5-10 menit (Halcon &
Buckle, 2006) atau minyak dimasukkan dalam liontin botol kaca dan dikalungkan,
penggunaannya dapat dihirup secara langsung melalui hidung dengan jarak 10-15

cm antara liontin dan lubang hidung (Luaa, Salihah & Mazlan, 2015), (4)
aromaterapi melalui penyemprotan atau minyak sprai dari minyak yang telah
dipilih sebanyak 100 ml dengan menggunakan botol yang memiliki alat
penyemprot kemudian semprotkan pada tubuh sebagai penyegar (Mackinnon,
2004).
Cara kerja aromaterapi inhalasi dimulai dari organ hidung sebagai organ penghidu
yang mendeteksi aroma. Proses menghidu dimulai dengan proses penerimaan
molekul bau oleh olfactory epithelium yang merupakan reseptor terdiri dari
puluhan juta saraf pembau. Pada saat minyak aromaterapi dilepaskan ke udara,
minyak akan masuk melalui hidung dan akan mencapai nostril pada dasar hidung,
sebelum molekul aromaterapi menempel pada silia sel olfactorius, odoran tersebut
dapat larut dalam mucus yang melapisi silia tersebut. Untuk dapat larut dalam
mucus maka minyak aromaterapi harus bersifat hidrofilik. Struktur dari minyak
esensial ini memiliki sifat yang hidrofilik sehingga dapat larut dalam mucus. Di
bawah mucus pada epitel olfactory, reseptor khusus yang disebut sebagai neuron
reseptor olfactory mendeteksi adanya bau. Setiap sel olfactory hanya memiliki satu
jenis reseptor bau (odorant reseptor/ OD), dan satu reseptor hanya mampu
mendeteksi jumlah terbatas bahan-bahan bau, seperti sel-sel
bau akan
pembau kitaberikatan dengan OD, sehingga
sangat terspesialisasi sejumlahdapat
kecil menyebabkan aktivasi dari
bau. Untuk selanjutnya protein
molekul
G yang kemudian mengaktivasi enzim adenilsiklase dan mengaktifkan cAMP.
Pengaktifan cAMP membuka kanal Na sehingga terjadi influks natrium dan
menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini kemudian
menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan di transmisikan ke
hipotalamus (Guyton, 2006).
Sinyal pada sel mitral yang berada di bulbus olfaktorius menjalar menuju
traktus olfaktorius media dan area olfaktorius lateral. Area olfaktorius lateralis
membawa akson-akson ke area olfaktorius pada korteks serebri, yang disebut
sebagai area periamygdaloidea dan area peripirformis dan area ini dikenal sebagai
area olfaktorius primer (pusat penghidu pada korteks serebri) pada lobus
temporalis bagian inferior medialis. Aktivasi daerah ini menyebabkan adanya
kesadaran terhadap bau tertentu yang dihirup. Selain itu area olfaktorius lateralis

ini akan membawa informasi ke sistem limbik dan hipokampus. Sedangkan area
olfaktorius medial terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior dari
hipotalamus. Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang kemudian
berproyeksi ke hipotalamus dan sistem limbik (Guyton, 2006). Sinyal yang
dihasilkan dari inhalasi aromaterapi akan diterima oleh sistem limbik dan
hipotalamus. Sistem ini akan mengirim pesan kepada otak untuk melepaskan
serotonin dan endorpin untuk dihubungkan dengan sistem saraf tubuh lainnya
sehingga menimbulkan perasaan nyaman sesuai yang diharapkan pikiran dan
tubuh manusia (Krishna, Tiwari & Kumar, 2000)
2.5.3.5 Psiko Aromaterapi

Di negara-negara tertentu suasana hati dan emosi dapat diperoleh dengan


menggunakan minyak ini. Minyak aromaterapi memberikan efek relaksasi, segar,
kesenangan atau pikiran menyenangkan. Inhalasi minyak terapi ini dapat
digunakan langsung meskipun pasien sedang diinfus di dalam ruang rawat. Psiko-
aromaterapi dan aromacology, sesuai dengan studi aromaterapi alami maupun
sintetis memiliki efek yang baik untuk tubuh dan psikologis (Perry N & Perry E.,
2006).
2.5.4 Aromaterapi Jahe
Banyak
karenatanaman telah dilaporkan
mengandung untuk digunakan
minyak atsiri/esensial dalamdalam
bahanaromaterapi
tanaman yang berbeda
seperti bunga, kulit, batang, daun, akar dan buah-buahan. Beberapa dari tanaman
yang digunakan dalam aromaterapi diantaranya lemon, jeruk nipis, jeruk
mandarin, jeruk keprok yang diambil minyak atsirinya melalui kulit buah-buahan;
kayu manis, serai, nilam yang diambil dari daunnya; lavender, rosemary yang
50

diambil dari seluruh bagian tanaman; jahe, jasmine, bunga jeruk, mawar, ylang-
ylang diambil dari akar dan bunga (Battaglia, 2004).
2.5.4.1 Diskripsi Tanaman Jahe
Zingiber officinale atau lebih dikenal sebagai rimpang jahe merupakan
salah satu herbal yang terkenal karena perannya sebagai agen penyedap makanan
di Asia dan India. Sejak abad ke-16, jahe telah digunakan untuk mengobati
berbagai penyakit medis dan kondisi, termasuk migrain, radang sendi,

gingivitis, stroke, maag, sembelit, diabetes, influenza dan mual. Pada tahun 1807,
William Roscoe, seorang ahli botani Inggris, menamai tanaman jahe "Zingiber"
yang berasal dari kata Sansekerta dan berarti "berbentuk tanduk". Zingiber
officinale merupakan tumbuhan dari suku Zingiberaceae yang terdiri lebih dari
1200 spesies tanaman dalam 53 genera yang berbeda (Shukla & Singh, 2007; Ali,
Blunden, Tanira, 2008). Zingiber officinale merupakan tanaman dengan beberapa
kandungan gizi di dalamnya. Jahe mempunyai kegunaan yang bervariasi antara lain
sebagai rempah-rempah, aroma dan obat herbal (Kumar, 2011).
2.5.4.2 Kandungan Kimia jahe

Jahe terdiri dari minyak atsiri (1-3%) dan senyawa tajam nonvolatile. Penyusun
utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang dikenal sebagai
gingerol. Gingerol sangat tidak stabil dengan adanya panas dan pada suhu tinggi
akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas dan tajam dibandingkan
gingerol. Shogaol merupakan penyusun utama pada jahe kering (Mishra et al.,
2009). Jahe kering mengandung minyak esensial atau atsiri 1%- 3%, oleoresin 5%-
10%, pati 50%-55%, kadar air 7%-12% dan jumlah kecil protein, serat, lemak dan
abu (Eze dan Gabo, 2011). Kandungan minyak atsiri/esensial 1%-3% merupakan
faktor yang mempengaruhi aroma jahe. Jahe
segar kadar
2008). airnya 94%,
Zingiber 17% nya
officinalis mengandungkarbohidrat,
mengandung gingerol 21,15 mg/gserat
lemak, (Ali et al.,energi
dan
dengan persentase yang tinggi (Hussain, 2010).
2.5.4.3 Manfaat Jahe
Jahe mengandung senyawa kimia seperti oleoresin, geranial, neral, b-
fellandren, sineol, borneol, bisabolen, zingiberene, gingerol, shogaol, diterpenes,
lypids, protein, pati dan vitamin yang mempunyai sifat dapat mengobati. Karena
hal tersebut tanaman jahe memperoleh perhatian besar digunakan sebagai
suplemen makanan di Inggris, Amerika dan Eropa. Tanaman ini dilaporkan
memiliki efek anti inflamasi, antimikroba, anti kanker, anti diabetes, anti
lipidemik dan antiemetik (Bhagavathula, Warner & DaSilva, 2009). Selama lebih
dari 2.500 tahun, rimpang jahe (Zingiber officinale) telah digunakan untuk
mengobati gangguan pencernaan, serta nyeri sendi dan otot (Alparslan &
Ozkarman, 2012).

Berdasarkan review artikel dari beberapa peneliti yang dilakukan oleh Banerjee
(2011) manfaat jahe berpengaruh terhadap sistem kardiovaskular yaitu membantu
untuk mengurangi tekanan darah dan beban kerja jantung, memberikan bantuan
terhadap serangan sakit kepala, mengurangi mual muntah, antiinflamasi,
menghambat pertumbuhan bakteri, menekan pertumbuhan sel-sel kanker pada
usus besar dan masih banyak manfaat lain dari jahe. Kandungan air dan minyak
tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang dapat meningkatkan
permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan
hingga ke sirkulasi perifer (Swarbrick & Boylan, 2002).
Kandungan didalam jahe yang berupa zingirol, zingiberol, zingiberena (zingirona),
bisabilena, flandrena, vitamin A, dan kurkumen dapat memblok serotonin yaitu
suatu neurotransmitter yang disintesiskan pada neuro-neuro serotonergis dalam
sistem saraf pusat dan sel-sel enterokromafin yang dapat memberikan perasaan
nyaman sehingga dapat mengatasi mual muntah (Ahmad, 2013). Ryan, Heckler,
Rosco, Dakhil, Kirshner, Flynn, Hickok dan Morrow, (2009) dari University of
Program Clinical Oncology Pusat Kanker Rochester Community (URCC CCOP) di
Amerika meneliti tentang manfaat jahe pada pasien kanker yang menerima
kemoterapi dengan metode random double blind
signifikan
pada mengurangi
644 pasien. mual
Penelitian akut yang disebabkan
ini menyimpulkan kemoterapi. jahe
bahwa suplementasi Beberapa
secarabukti
ilmiah lain yang tersedia terkait dengan inhalasi aromaterapi juga menyarankan
bahwa inhalasi uap peppermint atau minyak esensial jahe tidak hanya
mengurangi kejadian dan tingkat keparahan mual muntah tetapi juga digunakan
sebagai persyaratan antiemetik yang memuaskan serta perlu ditingkatkan dalam
pemanfaatannya (Lua & Zakaria, 2012). Temuan lain tentang rimpang jahe,
Zingiber, secara resmi dalam sejarah telah digunakan di negara-negara Asia,
khususnya di Cina dan India selama ratusan tahun sebagai bahan penyembuhan
untuk berbagai kondisi seperti sakit kepala, mual, rematik dan pilek. Dalam
penelitian ini juga dilaporkan efektivitas jahe terhadap berbagai kondisi nausea
termasuk mual muntah akibat kehamilan dan pasca operasi (White, 2007).
Menghirup aromaterapi jahe juga dianjurkan sebagai teknik yang efektif
dan mudah yang dapat diterapkan secara mandiri oleh para perawat kepada para

pasien dalam masa kemoterapi guna mengurangi intensitas mual muntah (Luaa,
Salihah & Mazlan, 2015). Petugas medis juga telah menyarankan jahe digunakan
untuk mengatasi mual yang berhubungan dengan morning sickness, pasca operasi
dan kemoterapi pada pasien kanker (Julie & Gary, 2010).
2.5.4.4 Hasil Olahan Jahe

Jahe dapat dibuat berbagai produk yang bermanfaat dalam menunjang industri
obat tradisional, farmasi, kosmetik, makanan atau minuman. Jahe biasanya diolah
dalam bentuk segar, bubuk kering, bubuk dikemas atau ekstrak cair, irisan
diawetkan dalam sirup, dikeringkan dan diawetkan dengan lapisan gula (jahe
kristal/permen jahe) atau sebagai aroma/penyedap rasa (Ali et al., 2008). Hasil
olahan jahe yang lain berupa minyak atsiri atau essential oil (Mucklas dan Slameto,
2008). Minyak atsiri banyak digunakan di berbagai industri, seperti industri parfum,
kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent. Bahkan saat ini dikembangkan
penyembuhan penyakit dengan aromaterapi, yaitu dengan menggunakan minyak
atsiri/esensial yang berasal dari tanaman. Minyak atsiri yang disuling dari jahe
berwarna bening sampai kuning tua bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama
penyulingan dapat berlangsung sekitar 10–15 jam, agar minyak dapat tersuling
semua. Kadar minyak atsiri dari jahe sekitar
1,5%–3% (Ahmad, 2013).
2.5.4.5 Penggunaan Aromaterapi Jahe pada Praktik Klinik
Berdasarkan sejarah, dasar aromaterapi dan aromatologi tak terpisahkan
dengan pengembangan tanaman obat dan obat-obatan modern. Aromaterapi
adalah istilah yang diciptakan pada tahun 1920 oleh seorang ahli kimia Perancis
bernama Gattefosse, namun kemudian terapi minyak esensial dipisahkan dari
fitoterapi. Saat itu tidak ada masalah dalam menggunakan minyak esensial
sehari-hari secara eksternal, internal, atau diencerkan. Bahkan sejak saat itu, di
Perancis, praktek dari semua metode menggunakan minyak esensial berefek
positif. Di Perancis, minyak esensial dikelola secara internal oleh dokter medis
dan fitoterapis sebagai metode yang sangat efektif untuk mengobati gangguan
pencernaan dan dari sistem ekskretoris. Aplikasi topikal (bukan pijat), inhalasi
dan kompres adalah metode yang paling umum digunakan dipraktekkan di
Perancis. Aromaterapis menggunakan minyak esensial (sari tumbuhan alami)

untuk meningkatkan kesehatan fisik dan kesejahteraan emosional klien.


Aromaterapi didasarkan pada prinsip bahwa minyak esensial memiliki sifat
terapetik yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah
penyakit (Lee, 2013).
2.5.4.6 Bukti Terkait Jahe dan Kanker

Selama dekade terakhir, jahe terbukti sebagai anti kanker yaitu bekerja dalam
mencegah inisiasi, promosi, dan perkembangan berbagai jenis kanker (Shukla &
Singh, 2007; Kundu, Na, Surh, 2009). Jahe telah menghambat aktivasi NF-kB dan
menekan ekspresi gen NF-kB- yang diinduksi oleh karsinogen (Shukla & Singh,
2007). Efek kemopreventif jahe telah diamati pada binatang untuk kanker kulit,
payudara, dan usus besar. (Nagasawa, Watanabe & Inatomi, 2002; Surh, 2003;
Murakami, Tanaka & Lee, 2004; Shukla & Singh, 2007; Kundu, Na & Surh, 2009).
Dalam sebuah studi, ekstrak jahe diberikan dalam bentuk cair hasilnya signifikan
mengurangi perkembangan tumor payudara (Nagasawa, Watanabe & Inatomi,
2002) dan jahe juga menghambat pertumbuhan tumor kolorektal. (Manju, Nalini,
2005; Shukla & Singh, 2007; Ali et al., 2008). Untuk efektivitas pengobatan
penyakit kulit, jahe telah digunakan secara oral dan topikal (Chung, Jung & Surh,
2001; Murakami, Tanaka & Lee, 2004).
Pada bulan Junianti
pengobatan 2009, adauntuk
mual publisitas
pasienbesar tentang
kanker yangjahe sebagaikemoterapi. Sebuah
menerima
studi multisite, nasional, acak, doubleblind, terkontrol plasebo dari 644 pasien,
dengan peneliti dari University of Cancer Rochester Community Center Clinical
Oncology Program (URCC CCOP), menyimpulkan bahwa suplementasi jahe
signifikan mengurangi mual akut yang dipicu oleh kemoterapi. Hasil awal dari
penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahun 2009 dari American
Society
of Clinical Oncology (ASCO), dan menunjukkan bahwa semua dosis jahe
signifikan mengurangi mual (P = 0,003). Penurunan terbesar mual terjadi dengan
0,5-g dan 1,0-g dosis jahe. Juga, waktu hari memiliki efek signifikan pada mual
(P <0,001), dengan penurunan mual linear selama 24 jam pada hari 1 kemoterapi
untuk pasien yang menggunakan jahe (Ryan, Heckler & Dakhil, 2009). Jahe
belum terbukti dapat menghambat efektivitas obat kemoterapi (Engdal, Klepp &
Nilsen, 2009).

Modified Early Warning Score (MEWS)


Sejarah EWS dan MEWS

Early Warning System (EWS) telah menjadi andalan praktik keperawatan selama
lebih dari satu dekade di negara-negara barat. Pada tahun 1997, Morgan, Williams
dan Wright dari Inggris pertama kali mengembangkan dan mempublikasikan EWS
dalam lima parameter yaitu denyut jantung, tekanan darah sistolik, laju
pernafasan, suhu dan tingkat kesadaran. Setiap parameter memiliki warna dan
skor pemicu mulai dari 0 sampai 3 yang digunakan bukan untuk memprediksi hasil
tetapi untuk melayani sistem track and trigger dalam mengidentifikasi tanda-tanda
awal perburukan pasien. EWS merupakan alat monitoring rutin yang terdiri dari
lima parameter fisiologis yang masing-masing diberi skor tertinggi 3 dan terrendah
0 kemudian skor yang didapatkan dari masing-masing parameter tersebut
dijumlahkan untuk mendapatkan total skor dan digunakan sebagai dasar untuk
menggunakan sistem “calling” atau rujukan yang akan diaktifkan. Penggunaan
sistem rujukan ini juga dapat dilakukan ketika satu atau lebih parameter mencapai
nilai ekstrem dari kisaran normal. Penggunaan sistem fisiologis “track and trigger”
ini berupaya untuk meningkatkan modalitas
dengan melakukan
mengalami identifikasi
perburukan kondisitepat waktu
klinis terhadap
(Kyriacos, semua
Jelsma, pasien
James, yang 2014).
& Jorda, berisiko
EWS adalah alat evaluasi samping tempat tidur/bedside observation
berdasarkan lima parameter fisiologis yaitu tekanan darah sistolik, denyut nadi,
laju pernapasan, suhu dan skor AVPU (A untuk ‘peringatan’, V untuk 'responsif
terhadap rangsangan verbal’, P untuk 'responsif terhadap stimulasi yang
menyakitkan', U untuk 'tidak responsif') (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 1993 dalam Lam, Mak, Siu, Lam, Cheung & Rainer,
2006). Kehadiran atau respon tepat waktu untuk pasien tersebut telah
diidentifikasi oleh orang-orang (tenaga medis) yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan pengalaman yang sesuai (Parissopoulos & Kotzabassaki, 2005).
EWS dikembangkan sebagai respon terhadap hasil penelitian yang
menunjukkan terjadinya perburukan kondisi fisiologis pasien beberapa jam (48
jam) sebelum kejadian cardiopulmonary arrest terjadi. EWS dapat digunakan

untuk memprediksi kejadian cardiac arrest dan kematian. Sebuah penelitian oleh
Kellett dan Kim (2012) melaporkan 0,02% dari 49.077 pasien dengan skor 3 (dari 21
poin yang mungkin) meninggal dalam waktu 48 jam. Meskipun nilai yang tinggi
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk 14% dari 519 pasien dengan skor 1
juga meninggal dalam waktu 48 jam, sebagian besar pasien (86%) dengan nilai
yang tinggi selamat. Studi lain menemukan penurunan signifikan secara statistik
pada kematian setelah pelaksanaan EWS. Studi ini dilakukan di dua rumah sakit
dan ditemukan bahwa kematian pasien dewasa yang masuk rumah sakit berkurang
dari 1,4 menjadi 1,2% (P, 0,0001) di satu rumah sakit dan 1,5 menjadi 1,3% (P,
0,0001) yang lain. Mereka juga menemukan bahwa pasien yang telah menjalani
resusitasi cardiopulmonary memiliki penurunan yang signifikan dalam kejadian
mortalitas di dua rumah sakit tersebut, masing-masing dari 52% menjadi 42% (P,
0,05) dan 70% menjadi 40% (P, 0,0001) (Moon, Cosgrove, Lea, Fairs & Cressey,
2011). Paterson, MacLeod, Thetford, Beattie, Graham dan Lam (2006), mengamati
pengurangan mortalitas di suatu rumah sakit dari 5,8% menjadi 3% setelah
pengenalan sistem peringatan dini/EWS. Terkait cardiac arrest Green dan Williams,
(2006) menemukan penurunan yang signifikan dalam proporsi pasien yang
memiliki serangan jantung (kurangnya denyut nadi atau
EWS
respirasi) hanya
pada saat menyediakan
panggilan "code blue"“track andmenjadi
dari 52,1% trigger system”
35% (P untuk
= 0,0024).
mengidentifikasi tanda-tanda awal perburukan kondisi pasien. Oleh karena itu
beberapa instansi dan negara kemudian melakukan modifikasi terhadap EWS asli
dengan menambahan beberapa parameter yang diharapkan dapat meningkatkan
patient safety dan memperkirakan hasil akhir dari kondisi klinis pasien.
Modifikasi dari EWS ini disebut dengan Modified Early Warning Score (MEWS)
(Kyriacos et al., 2014). Modified Early Warning Score (MEWS) ini telah disahkan
dalam medical admissions pada tahun 2001 (Lam, Mak, Siu, Lam, Cheung &
Rainer, 2006).
2.6.2 Definisi dan Fungsi MEWS
MEWS merupakan pengembangan dari sistem Early Warning Score (EWS)
yang dianggap masih kurang konsisten dalam mengenal dan berespon terhadap
perburukan kondisi klinis pasien (Smith, Prytherch, Schmidt, & Featherstone,

2008). MEWS adalah bedside monitoring dan sistem track and trigger yang dapat
digunakan perawat dalam mengobservasi tanda-tanda vital pasien dan
menjumlahkan skor yang didapatkan untuk memfasilitasi penilaian awal dari
kondisi perburukan pasien. MEWS terdiri dari tujuh parameter yaitu frekuensi
pernapasan, frekuensi jantung/nadi, tekanan darah sistolik, suhu dan tingkat
kesadaran, saturasi oksigen dan urine output (Kyriacos, Jelsma, James & Jordan,
2014). MEWS merupakan sistem penilaian fisiologis yang sederhana, mudah
diterapkan sebagai bedside observation dan dianggap sebagai alat perekam data
fisiologis yang handal dengan menggunakan skoring sesuai dengan kriteria
fisiologis yang muncul (Lam, Mak, Siu, Lam, Cheung & Rainer, 2006). Menurut
Kyriacos, Jelsma, dan Jordan, (2011), MEWS dapat menegaskan keputusan
terhadap observasi rutin data-data fisiologis dan merupakan algoritma sederhana
yang didasarkan pada bedside observation.Serupa dengan yang disampaikan
Bradman dan Maconochie (2011), bahwa MEWS adalah alat bantu monitoring
yang bersifat sederhana dan sangat cepat dalam penggunaannya serta memiliki
nilai sensitivitas yang tinggi.
Penelitian oleh Race (2015), menunjukkan bahwa MEWS dapat meningkatkan
patient safety dan hasil akhir perawatan, serta memudahkan dalam
MEWS dapat jugakondisi
mengkomunikasikan digunakan pada
pasien, pasien
dalam bedah ini
penelitian sebagai bedside assessment.
pula disampaikan bahwa
Menurut Keane, (2012), analisis terhadap hasil pengkajian tanda-tanda fisiologis
dalam MEWS dapat menentukan resiko perburukan kondisi pada pasien. Lam,
Mak, Siu, Cheung, dan Rainer (2006) menyebutkan MEWS mampu
mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami perburukan kondisi dan layak
diterapkan pada unit emergensi sebagai alat screening pasien yang membutuhkan
peningkatan level perawatan seperti rawat inap atau masuk ICU.
2.6.3 Keuntungan Penerapan MEWS
Keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan MEWS menurut Avard
et al., 2011: (1) membantu mengidentifikasi dan membuat dokumentasi secara
awal terhadap kondisi perburukan pasien, (2) memberikan arahan perawat tentang
pemantauan frekuensi parameter fisiologis pasien sesuai dengan trigger score

yang didapatkan, (3) memberikan arahan pada perawat untuk menentukan


tingkatan dokter yang harus diberi pelaporan, (4) memberikan titik waktu kapan
harus mengobservasi pasien, mengkomunikasikan perubahan fisiologis kondisi
pasien, dan dapat memberdayakan perawat maupun dokter junior untuk
mengambil tindakan yang tepat sesuai kondisi pasien, (5) membantu dokter dalam
memprioritaskan pengelolaan pasien, (6) memberikan review medis dan
pengelolaan pasien yang tepat waktu karena telah memiliki kebijakan/algoritma
jika seandainya pasien tidak direview dalam waktu yang ditentukan, (7) tidak
menggantikan emergency response system/ERS di rumah sakit
2.6.4 Syarat Penerapan MEWS

MEWS bukanlah obat mujarab terhadap hasil penilaian akurat pasien tetapi harus
digunakan secara bijaksana dalam hubungannya dengan penilaian klinis (Roberts,
2008). Kehati-hatian dianggap sebagai elemen kunci untuk layanan kesehatan pada
pasien dimasa depan karena dapat memberikan cara yang sangat efektif untuk
mengumpulkan, memonitor dan mengelola parameter fisiologis pasien seperti
tingkat glukosa, tekanan darah dan denyut jantung. Sejumlah perangkat canggih
telah dikembangkan selama beberapa tahun terakhir untuk memantau tanda-
tanda vital pasien tersebut (Lorincz et al 2004; Thiemjarus
et al, 2005; O'Flynn
MEWS et al
agar 2006). dengan benar, pengukuran tanda-tanda vital pasien
berfungsi
harus pada frekuensi yang tepat dan pencatatan harus akurat serta konsisten, selain
itu dalam melakukan pengukuran tanda-tanda vital harus menggunakan set yang
lengkap dan terkalibrasi (O‘Donoghue, O‘Kane, Gallagher, Courtney, Aftab,
Casey, Torres, & Angove, 2011). Untuk membantu memastikan bahwa skor
MEWS yang disajikan berkualitas tinggi perlu diperhatikan : (1) ketepatan waktu,
frekuensi pengumpulan tanda-tanda vital pasien, (2) akurasi, interpretasi tanda-
tanda vital pasien yang dikumpulkan dan perhitungan skor MEWS, (3)
konsistensi, tanda-tanda vital yang dikumpulkan dari seluruh pasien yang tinggal
di rumah sakit, (4) kelengkapan, semua parameter tanda vital yang dikumpulkan
(Kim, Shin, Lee, Huh, Koh & Lim, 2015).
Ketepatan waktu adalah sejauh mana data cukup up to date untuk
dilakukan penanganan. Konsistensi adalah sejauh mana data disajikan dalam

format yang sama. Lengkap adalah sejauh mana data tidak hilang dan dari luas dan
kedalaman cukup untuk dapat ditangani (Leo, Yang, & Richard, 2002). Sedangkan
akurasi menurut Ballou dan Pazer, 1985 dalam O‘Donoghue et al. (2011) adalah
nilai yang tercatat sudah sesuai dengan nilai aktual. Keempat hal tersebut menjadi
dasar penentuan skor MEWS yang memiliki kualitas tinggi.
2.6.5 Komponen dan Algoritma MEWS

Berdasarkan hasil penelitian Kyaricos et al. (2014) di negara berkembang MEWS


sedikitnya harus mendokumentasikan tujuh parameter fisiologis pasien. MEWS
merupakan alat skrening dan monitoring yang memiliki skala numerik dan
didasarkan pada pengkajian fisiologis pasien. MEWS memiliki algoritma sebagai
jalur aksi/tindakan terhadap skor MEWS yang diperoleh dan memberikan aturan
pelaporaan keputusan untuk menentukan tingkat urgensi (Moll, 2010).
Sistem aturan pelaporan dari MEWS didasarkan pada total skor diluar batas normal
dan skor pada salah satu parameter yang mengalami kelainan ekstrem dari nilai
normal. Hal ini membantu untuk menentukan tingkat urgensi dari fisiologis pasien.
Menurut Kyriacos et al. (2014) aturan pelaporan pada parameter tunggal yaitu 0 =
tidak ada tindakan (normal), 1 = cek ulang setelah 30 menit untuk memastikan
pengukuran yang akurat dan laporkan jika tidak ada
perbaikan, 2 = ceksegera.
kritis, laporkan setelahBerikut
5 menit/laporkan segerayang
prototype MEWS jika tidak adadari
disusun perbaikan, 3=
beberapa
literatur.
Tabel 2.3 Sistem Skoring Midofied Early Warning Score (MEWS)
Skor 3 2 1 0 1 2 3
Tekanan darah ≤70 71-80 81-100 101-199 ≥200
sistolik
Frekuensi ≤40 41-50 51-100 101-110 111-129 ≥130
antung
Frekuensi <9 9-14 15-20 21-29 ≥30
pernapasan
Suhu 0C ≤35 35-38,4 ≥38,5
Tingkat 15 14, 13-9 ≤8 atau tidak
kesadaran perubahan ada respon
(GCS) mental
atau Alert Reacting Reacting Unresponsive
AVPU to Voice to Pain
Saturasi oksigen <85 85-89 90-92 ≥93
Urine ≤0,5 ≤1 Jika biasanya ≥3
ml/kg/jam anuria skor 0
Sumber: Kyriacos et al. (2014)

Protokol eskalasi terhadap skor MEWS menurut Avard, McKay, Slater, Lamberth,
Daveson dan Mitchell, (2011) dijelaskan sebagai berikut : (1) Frekuensi observasi
dilakukan setiap 12 jam jika total skor = 1, (2) Frekuensi observasi dilakukan setiap
6 jam dan perawat yang bertanggung jawab (seperti penanggung jawab shif,
primary nurse, atau clinical case manager) diminta untuk melakukan pengkajian
ulang jika total skor = 2, (3) Observasi dilakukan setiap 4 jam, perawat yang
bertanggung jawab diminta untuk melakukan pengkajian ulang dalam 1 jam jika
total skor = 3, (4) Jika total skor 4-6 frekuensi rutin observasi dilakukan tiap 1 jam,
perawat yang bertanggung jawab/dokter jaga diminta untuk melakukan pengkajian
ulang dalam 30 menit. Jika setelah diberikan penatalaksaan dan tidak ada respon
dalam 1 jam, pertimbangkan untuk melaporkan pada dokter yang bertanggung
jawab, juga dapat dipertimbangkan untuk dipindahkan pada tingkat perawatan
monitoring dilakukan secara kontinyu setiap 30 menit, perawat yang bertanggung
yang lebih tinggi/intensif, (5) Jika total skor ≥ 7 frekuensi
jawab melaporkan pada dokter residen/konsultan. Dokter residen segera
melakukan pengkajian ulang, rencanakan pasien untuk dipindahkan ke unit yang
lebih tinggi/intensif dan aktifkan Emergensi Respon Sistem/ERS (sesuai
kebijakan rumah sakit). Berikut menurut skema MEWS menurut Avard et al.
(2011) :
60

Skema 2.2 Algoritma Modified Early Warning Score

NORMAL LOW MEDIUM HIGH

MEWS 4 – 5
atau : score 3 pada
MEWS 0 MEWS 1 – 3 satu parameter MEWS ≥ 6
Tindakan : Tindakan : Tindakan :

Monitoring tiap 1) Pengkajian 1) Lapor PJ Shift


shift oleh perawat ulang oleh PN/ Tindakan : 2) Lapor Supervisor/
pelaksana PJ Shift/ CCM konsultan senior
2) Pengkajian 1) Pengkajian ulang 3) Hubungi Tim Code
ulang tiap 4-6 oleh PN/ PJ Shift/ Blue
jam oleh CCM 4) Aktifkan
perawat 2) Lapor dokter code blue
pelaksana jaga/ residen 5) Treatment Inisiasi
3) Dokter jaga 6) Continue
melaporkan pada monitoring tiap
DPJP 15-30 menit
4) Treatmen Inisiasi hingga MEWS <4
5) Monitoring tiap 1 7) Pertimbangkan
jam hingga MEWS untuk transfer ke
<4 ruang intensif

Sumber : Avard et al. (2011)


Sementara itu untuk parameter tunggal, jika skor frekuensi jantung = 2
(<40) dilakukan pemantauan setiap 30 menit dan dokter jaga diminta untuk
melakukan pengkajian ulang dengan segera, atau jika salah satu parameter
mendapatkan skor 3 observasi rutin dilakukan tiap 30 menit atau sesuai kondisi
pasien, dokter jaga diminta untuk melakukan pengkajian ulang dengan segera, jika
tidak ada respon terhadap penatalaksanaan hubungi dokter residen/konsultan dan
pertimbangkan untuk mengaktifkan ERS (Avard et al., 2011). Penelitian lain
menyebutkan protokol eskalasi sebagai berikut : (1) jika nilai MEWS 0-3 (risiko
rendah) perawat melanjutkan pemantauan rutin setiap 4 jam, (2) jika MEWS 4
(risiko sedang) perawat melaporkan pada perawat senior/perawat yang
bertanggung jawab selanjutnya perawat senior akan mengkaji ulang kondisi
pasien dan memutuskan apakah perlu dilakukan pelaporan pada dokter yang
bertangung jawab atau tidak, jika diputuskan tidak perlu dilakukan pelaporan,
maka perawat melakukan pemantauan kondisi pasien lebih sering setiap satu jam,
(3) jika MEWS lebih dari 4 (skor kritis) segera lakukan pelaporan dan aktifkan
sistem emergensi yang berlaku di rumah sakit (So, Ong, Wong, Chung, &
Graham, 2014). Dalam grafik MEWS dicantumkan pula indikator klinis sebagai
kontribusi pengakuan hasil permasalahan pada irama jantung, inspirasi oksigen
dan tekanan diastol seperti perfusi (capillary refill), warna kulit (pucat, sianosis),
ungkapan nyeri (skala 0-10), penggunaan obat nyeri, berkeringat, luka berdarah

(jumlah perdarahan), turgor kulit, ukuran pupil, dan nilai laboratorium serta terapi
intravena (Kyriacos et al., 2014). Nilai laboratorium yang dicantumkan mengacu
pada nilai ambang kritis pasien dengan masalah kanker meliputi glukosa darah,
ANC, Trombosit, Leukosit, D-dimer, Hemoglobin, Natrium dan Kalium (Chen, Miser,
Kuan, Fanf, Lam, & Li, 2013; Piva, Pellosso, Panello, & Plebani,2014).
Keterbatasan MEWS

Tidak ada alat scoring tunggal yang tervalidasi untuk seluruh diagnosis (Barlow et
al., 2006 & Bell et al., 2006), menggabungkan diagnosis dalam sistem penilaian
mungkin membuatnya terlalu kompleks dan kurang efektif (Subbe et al., 2001).
Variabel fisiologis tertentu yang dipilih dan skor yang dialokasikan untuk menilai
EWS sebagian belum prospektif divalidasi (Goldhill, 2005 & Cuthbertson et al.,
2007); pelaksanaannya belum berdasarkan bukti penelitian yang kuat (McGaughey
et al., 2007).
Jika parameter tunggal diabaikan, pasien sakit berat dapat terjawab.

Sistem skoring memiliki potensi meningkatkan beban kerja (Cuthbertson & Smith,
2007) : jika skoring atau ambang batas tidak akurat atau tidak benar, peristiwa
yang tidak perlu akan dipicu.
Inkonsistensi dalam penilaian neurologis (Smith et al., 2008).

2.6.6.6 Sistem skoring membantu dalam mengidentifikasi parameter yang


memprediksi kematian, tapi pertanyaan penting adalah bagaimana dokter
menetapkan siapa yang akan bertahan dan siapa yang harus dirawat di
ICU, karena beberapa pasien mungkin merasa dirugikan oleh intervensi
perawatan intensif (Fletcher & Cuthbertson, 2010).
62

BAB 3
PROSES RESIDENSI

Bab 3 ini menyajikan tentang pelaksanaan praktek residensi yang terdiri atas
laporan analisis kasus pasien dengan kanker payudara, laporan 30 kasus kelolaan,
pelaksanaan Evidence Based Nursing Practice dalam pemberian intervensi
menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi

pada pasien kanker payudara dan proyek inovasi dengan tema penerapan modified
early warning score (MEWS).
Laporan Kasus Utama
Diskripsi Kasus Kelolaan Utama

Ny. S, usia 40 tahun, nomer rekam medis 317406300-10-99-86, jenis kelamin


perempuan, pendidikan tamat PT, pekerjaan karyawan swasta, status menikah,
agama Kristen, masuk rumah sakit tanggal 10 Maret 2016, dirawat di kamar 604
ruang Teratai Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta, dengan diagnosa kanker
Mamae bilateral dan Efusi Pleura metastase paru hepar, brain dan tulang.
Pengkajian dilakukan pada tanggal 14 Maret 2016 jam 09.00 WIB.
Riwayat penyakit sekarang, menurut keterangan pasien dan keluarga, pasien
mempunyai keluhan sesak sudah 2 bulan sebelum masuk rumah sakit dan
bertambah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengatakan selain
sesak nafas, dada nyeri skala 5 dan meningkat menjadi 8 bila batuk. Nyeri
berlangsung ± 3 menit. Pasien mengatakan tahun 2009 terdapat benjolan sebesar
biji asam di payudara kiri namun tidak dilakukan pemeriksaan maupun pengobatan
apapun. Tahun 2012 pasien menikah dan mempunyai anak melalui operasi sesar.
Ketika menyusui bayi satu bulan pasien menderita usus buntu
kemudian
ASI tidakdilakukan operasioperasi.
keluar setelah usus buntu dan
Tahun berhenti
2013 menyusui
benjolan bayinya
yang ada karena kiri
di payudara
membesar dengan sangat cepat. Tahun 2014 dilakukan operasi payudara kiri di
RS Bekasi. Setelah operasi pasien dianjurkan untuk mengikuti program
kemoterapi dan sudah berjalan 2x. Dua bulan sebelum masuk rumah sakit pasien
mengatakan sering sesak nafas dan aktivitas harus dibantu karena cepat merasa

62 Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


63

lelah. Selain itu pasien juga mengatakan tidak bisa tidur terlentang dan harus
dalam posisi duduk karena sesak bertambah bila tidur terlentang.
Keadaan umum pasien nampak sakit sedang dengan kesadaran
komposmentis, status ECOG performance (eatern cooperative oncology group) 3.
Pasien mengeluh sesak nafas hingga sulit tidur, pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya pernafasan cuping hidung kadang bernafas melalui mulut, ada retraksi
dinding dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, pasien batuk berdahak, irama

nafas tidak teratur. bunyi jantung S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-).
Capillary Refill < 3 detik, akral hangat, vokal fremitus simetris paru kanan-kiri,
gerakan paru simetris. Pemeriksaan TTV didapatkan RR 28x/menit menggunakan
O2 nasal kanul 5 liter/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 37 0C, Nadi 110
x/menit. Balance cairan tanggal 13/3/2016 adalah -100 cc.
Hasil riwayat penyakit dahulu pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, asma ataupun alergi. Hasil riwayat kesehatan keluarga pasien
mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien
ataupun penyakit kanker yang lain, demikian juga keluarga dari ibu pasien juga
tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien. Hasil anamnesa
keluarga nenek dan kakek pasien tidak diketahui karena sudah meninggal.
Hasil pengkajian faktor risiko pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat
merokok tetapi sebagai perokok pasif karena suaminya dan orang-orang di tempat
kerjanya mayoritas perokok. Pasien menstruasi pertama kali usia 11 tahun (<12
tahun), jumlah anak saat dikaji satu orang, pasien menikah dan mempunyai anak di
usia 36 tahun (>35 tahun). Pasien menyusui anaknya hanya selama satu bulan
karena pada saat menyusui anaknya, pasien menjalani operasi usus buntu, dan
setelah operasi pasien mengatakan ASI tidak keluar. Pasien belum
tidak suka
pernah dagingtidak
KB. Pasien tapimempunyai
suka makanan instan.
riwayat Karena
minum kerja di
alkohol. kantor
Pasien pasien sering
mengatakan
makan makanan cepat saji. Pasien mengatakan terkadang harus kerja lapangan
sehingga sering terapapar radiasi matahari dan polusi.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 9/3/201 Hematologi rutin : Hb
10,7g/dL (12-16), leukosit 4,94 103/l (5-10), trombosit 300 103/l (150-440),
eritrosit 5,06 106/l (4-5), hematokrit 43,9% (37-43); Fungsi hati : Protein total

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


5,7 g/dl (6,6-8,7), Albumin 3,4 g/dl (3,2-5,2), Globulin 2,3 g/dl (1,5-3.0);
Karbohidrat : Glukosa sewaktu 160 mg/dl (<180); Fungsi Ginjal : Ureum 6
mg/dL (15-40), Kreatinin 0,36 mg/dL (<0,95), eGFR 212,19 ml/min/1,73m2
(>60); Elektrolit dan Gas darah : Natrium 139 mmol/L (137-150), Kalium 3,5
mmol/L (3,5-5,3), Klorida 101 mmol/L (99-111), Kalsium 9,2 mg/dL (8,1-10,4);
Analisa gas darah : pH 7,368 (7,35-7,44), PaO2 130,2 mmHg (85-95), PaCO2
44,9 mmHg (35-45), HCO3 25,8 mmol/L(21-25), BE 0,8 mmol/L ((-2,4)-2,3,

Total CO2 27,2 mmol/L (22-34), SaO2 98,4% (95-99) dengan nasal kanul 5l/mnt.
Pemeriksaan penunjang lainnya EKG tanggal 25/8/2015, interpretasi :
synus rhytm; toraks foto tanggal 22/2/2016, interpretasi : residu efusi pleura kiri,
efusi pleura kanan, stga., bronkophneumonia; Foto thorak tanggal 29/1/2016
interpretasi : segmental atelektasis lobus superior kanan, stqa. bronkophneumonia
stqa, efusi pleura bilateral stqa; USG toraks: tanggal 18/2/2016 interpretasi : efusi
pleura bilateral (pleura kanan 292 ml kiri 608 ml); Echo tanggal15/1/2016
interpretasi : normal echo; MRI brain tanggal 11/2/2016 kesan : perbaikan lesi
metastase pada serebri dan serebelum. Pertambahan gliosis iradiasi pada lobus
parietal kanan kiri serta lobus frontalis kiri. Hasil biopsi tgl 7/12/2013 : invasive
carcinoma, no special type (NST) grade IIIB; hasil biopsi post mastektomi tanggal
9/7/2014 : sediaan mastektomi tidak mengandung sisa massa tumor. Metastase
karsinoma payudara pada 12 dan 14 kelenjar getah bening.
Terapi medis pasien mendapatkan infus NaCl 0,9% 500 cc/12 jam melalui
intravena, bronkodilator melalui nebulazer : Combivent 3x/hari (06.00, 14.00, dan
22.00 WIB) dan Pulmicort 2x/hari (06.00 dan 18.00 WIB), O2 nasal kanul 3-
5ltr/mnt, terapi peroral : OBH sirup 3x1 cth (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), capsul
racik Theofilin dan Salbutamol 3x1 (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), Cefixim
2x100mg (08.00 dan 20.00 WIB), Ondansentron 3x8 mg (04.00, 12.00, dan 20.00

WIB), HP Pro 3x1 (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB); terapi intravena : Ketorolac 30
mg + Ns 100cc IV tiap 8 jam (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), Ranitidin 50 mg IV
tiap 12 jam (08.00 dan 20.00 WIB), Methilprednisolon 125 mg IV tiap 8 jam
(04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), serta diet lunak TKTP. Pasien direncanakan akan
mendapat kemoterapi yang ke 3 yaitu Paxlitaxel tanggal 15/3/2016. Sebelum
pemberian kemoterapi pasien akan diberikan pre medikasi berupa
Methilprednisolon 62,5 mg, Ranitidin 50 mg, Diphenhidramin 10 mg dan
Ondansentron 8 mg. Dosis Paxlitaxel yang akan diberikan yaitu 115 g dalam Ns
Ecosol 300 ml selama 3 jam pemberian.
Status antropometri Ny. S : BB: 44 kg, TB: 155 cm, IMT: 18,33 kg/m 2
(kategori: underweight). Pasien mengatakan BB sebelumnya 50 kg (kehilangan
BB 10% dalam 6 bulan terakhir). Terpasang dower kateter produksi 2200 cc/24
jam dan hasil perhitungan balance cairan -100 cc. Pasien telah dipasang WSD

pigtail kiri tanggal 10/3/2016 dan dilakukan pleurodesis kanan tanggal 14/3/2016.
WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00, 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00
dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD kiri diloss ganti botol tiap pagi.
Penerapan Peaceful End Life Thoery

Asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S menggunakan teori peaceful end
of life. Teori ini diaplikasikan dengan menguraikan lima konsep mulai dari nyeri,
rasa nyaman, bermartabat, damai, dan kedekatan dengan orang yang bermakna.
Pendekatan lima konsep ini dimulai dari pengkajian dengan menempatkan dan
mengelompokkan data-data pasien ke dalam lima konsep peaceful end of life.
Pengkajian Keperawatan

Pengkajian yang dilakukan pada Ny.S dengan pendekatan teori peaceful end of life.
Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan data pasien berdasarkan lima
konsep dari teori peaceful end of life.
a. Nyeri

Pasien mengeluh nyeri pada dada kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai skala 8
menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk
dan hilang timbul lebih dari 5 menit, nyeri berkurang jika tidur dan
beberapa saat setelah pemberian obat anti nyeri. Nyeri akan timbul kembali ketika

batuk. Pasien tampak gelisah, kadang pasien menarik nafas panjang sambil
memeluk bantal, namun jika batuk timbul, nampak ekspresi menahan nyeri
(menyeringai) yang menunjukkan timbulnya nyeri pada saat batuk berlangsung.
Pasien kadang meringis sambil memegangi dadanya. Nilai skor ESAS 7.
b. Rasa Nyaman
Berdasarkan pengkajian rasa nyaman, selain adanya nyeri dada, pasien
juga mengeluhkan sesak nafas, dada berdebar-debar, mual, nafsu makan menurun,
dan cepat merasa lelah bila beraktivitas. Pasien mengatakan sesak nafas dan
karena sesak pasien menjadi sulit tidur. Pasien nampak bernafas lewat mulut
dalam kondisi duduk memeluk bantal, terkadang batuk disertai dahak. Pasien
tampak bertambah sesak saat diwawancara dan harus menunggu sesak berkurang

untuk melanjutkan proses pengkajian. Skor ESAS kelelahan 7. Dalam pemeriksaan


fisik nampak pernafasan cuping hidung, ada retraksi dinding dada, suara nafas
tambahan ronkhi basah. Pemeriksaan TTV RR 28x/menit menggunakan O2 nasal
kanul 5 ltr/mnt, tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 37 0C, Nadi 110 x/menit, SaO2
97%, tampak pucat. Pasien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan
sesak nafas, pasien mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 50 kg
menjadi 44 kg, pasien makan 3x/hari ¼ porsi, makan tidak pernah habis dalam 6
bulan terakhir. BB: 44 kg, TB: 155 cm, IMT: 18,33 kg/m 2 (kategori: underweight),
kehilangan BB > 10%, Hb : 10,7 g/dL, turgor menurun. Skor ESAS mual 6, skor ESAS
tidak nafsu makan 6. Pasien dalam beraktivitas dibantu perawat dan suami, nilai
ECOG 3 (hanya mampu melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara
tempat tidur dan kursi lebih dari 50% dari waktu terjaga). Aktifitas sehari-hari
sebagian dibantu seperti berpakaian, toileting, dan mandi. Pasien kadang merasa
bosan dengan kondisi sakit yang tidak sembuh- sembuh. Perasaan tidak nyaman
kadang muncul karena harus melakukan segala bentuk aktivitas di atas tempat
tidur diantaranya mandi, BAK dan BAB yang biasanya pasien lakukan di kamar
mandi. Pasien menyatakan cukup nyaman berada di ruangan karena petugas yang
ramah dan lingkungan yang tenang.
c. DihargaiPasien merasa senang karena selalu dihargai dan dihormati oleh keluarga,
dan Dihormati
teman, perawat dan saudara. Hal tersebut terlihat selama dirawat suami pasien
selalu menunggui pasien dan teman serta masyarakat (tetangga) banyak yang
menjenguk ke rumah sakit. Saudara pasien juga banyak yang menjenguk dan
memberikan dukungan baik materiil maupun non materiil selama pasien dirawat.
Pasien mengatakan perawat dan dokter selalu menjelaskan dan memberikan
kesempatan pasien untuk bertanya atas segala tindakan yang akan dilakukan
padanya. Pasien selalu diberikan pilihan untuk menerima atau menolak tindakan
namun sebelumnya pasien selalu dijelaskan terlebih dahulu keuntungan dan
kerugian atas tindakan tersebut apabila dilakukan maupun tidak dilakukan. Pasien
mengatakan pelayanan sudah cukup baik. Pasien merupakan pasien JKN non PBI,
pasien merasa bersyukur karena biaya pengobatannya ditanggung oleh
pemerintah. Sebelum sakit pasien bekerja sebagai karyawan, namun karena sakit

kemungkinan pasien tidak dapat melanjutkan pekerjaan diperusahaannya karena


kondisi kesehatannya, namun pasien tetap mempunyai nilai-nilai integritas. Pasien
berharap keluarga dan perawat akan terus memberikan dukungan pada pasien
dalam menjalani pengobatan dan memberikan perawatan yang terbaik bagi
dirinya.
Perasaan Damai

Pasien mengatakan pasrah atas kondisinya. Pasien tidak pernah menduga


sebelumnya akan menderita sakit seperti ini karena sebelumnya pasien sehat dan
tidak ada keluhan sakit yang parah. Kadang pasien muncul rasa cemas dan pesimis
dengan kondisi kesehatannya dan terapi yang dijalani. Hal ini terlihat ketika pasien
sering bertanya mengenai penyakitnya, apakah ada harapan sembuh. Namun
suami, keluarga, teman-teman dan saudara selalu memberikan dukungan pada
pasien yang membuat pasien memiliki harapan untuk lebih baik dari kondisi
sekarang ataupun sembuh. Pasien merasa tenang ketika sedang berdoa kepada
Tuhan. Pasien mengatakan semua ini adalah ketentuan Tuhan. Saat ini pasien
sering mendekatkan diri dan berdoa untuk kebaikan dirinya. Skor ESAS cemas 5.
Dekat dengan Orang yang Bermakna
Pasien merasa dekat dengan suaminya. Suaminya selalu memberi dukungan dan
mendampingi pasien sakit.
dirawat di rumah dalamSuami
segala bentuk aktivitas pasien
pasien membantu selama adiministrasi RS,
mengurusi
mengantar dan mendampingi pasien pada saat tindakan diagnosis maupun terapi.
Suami pasien juga membantu memenuhi kebutuhan dasar pasien diantaranya yaitu
membantu memenuhi makan dan minum, membantu kebutuhan eliminasi,
kebersihan diri, dan mengkomunikasikan kebutuhan pasien dengan tim kesehatan
yang merawatnya. Pasien merasa senang berada dalam pendampingan orang
terdekatnya selama dirawat di rumah sakit. Pasien juga menyatakan rindu dengan
anaknya. Anak pasien masih berusia 3 tahun tidak diijinkan masuk ke ruang
rawat.
3.1.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada kasus ini mengacu pada NANDA dalam
melakukan proses asuhan keperawatan. Berdasarkan data hasil pengkajian maka
diagnosa keperawatan adalah sebagai berikut;

Ketidakefektifan pola nafas (kode 00032) berhubungan dengan penurunan


energi/keletihan, nyeri, kelelahan otot-otot pernafasan. Pasien mengeluh sesak
nafas dan karena sesak pasien menjadi sulit tidur. Pasien mengatakan hanya bisa
tidur dalam posisi duduk sambil memeluk bantal. Pasien nampak bernafas lewat
mulut dalam kondisi duduk memeluk bantal, terkadang batuk disertai dahak,
pasien nampak gelisah. Pasien tampak bertambah sesak saat diwawancara dan
harus menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses pengkajian. Skor ESAS
kelelahan 7. Dalam pemeriksaan fisik nampak pernafasan cuping hidung, ada
retraksi dinding dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, pola pernafasan tidak
teratur. Pemeriksaan TTV RR 28x/menit menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/mnt,
tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 370C, Nadi 110 x/menit., pasien tampak pucat,
SaO2 97%, pasien nampak sianosis, dan gambaran foto thorak efusi pleura bilateral
(pleura kanan 292 ml kiri 608 ml). Pasien terpasang WSD kanan dan kiri.
Nyeri kronis (kode 00133) berhubungan dengan proses perkembangan penyakit
akibat infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar ditandai oleh keluhan nyeri pada dada
sebelah kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai skala 8 menjalar ke dada kanan
dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-
tusuk dan hilang timbul lebih dari 5 menit, nyeri berkurang jika tidur dan
beberapa saat setelah pemberian obat anti nyeri. Nyeri akan timbul kembali
ketika batuk. Pasien tampak gelisah, kadang pasien menarik nafas panjang
sambil memeluk bantal, namun jika batuk timbul, nampak ekspresi menahan
nyeri (menyeringai) yang menunjukkan timbulnya nyeri pada saat batuk
berlangsung. Nilai skor ESAS 7, RR 28x/menit, N 110x/menit.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (kode 00002)
berhubungan dengan kurang asupan makanan ditandai dengan pasien
mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan sesak nafas, pasien
mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 50 kg menjadi 44 kg,
pasien makan 3x/hari ¼ porsi, makan tidak pernah habis dalam 6 bulan
terakhir. BB: 44 kg, TB: 155 cm, IMT: 18,33 kg/m2 (kategori: underweight),
kehilangan BB > 10%, Hb : 10,7 g/dL, turgor menurun. Skor ESAS mual 6,
skor ESAS tidak nafsu makan 6.

Ansietas (kode 00146) berhubungan dengan adanya ancaman dan perubahan


status kesehatannya ditandai dengan skor ESAS cemas 5. Kecemasan pasien
ditandai dengan ungkapan pasien tentang munculnya rasa cemas dan khawatir
karena takut akan kondisi kesehatannya. Pasien mengatakan mual dan mengalami
penurunan nafsu makan. Pasien juga mengeluhkan jantungnya terasa berdebar-
debar, pemeriksaan TTV didapatkan pernafasan 28x/menit meski sudah
menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/mnt, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi cepat
110 x/menit. Pasien mengatakan tidak pernah menduga sebelumnya akan
menderita sakit seperti ini karena sebelumnya pasien sehat dan tidak ada keluhan
sakit yang parah sehingga bisa menjalakan aktivitas sebagai ibu rumah tangga juga
karyawan di sebuah perusahaan. Kadang pasien muncul rasa pesimis dengan
kondisi kesehatannya dan terapi yang dijalani, terlihat pasien sering bertanya
mengenai penyakitnya, tentang keberhasilan atas terapi yang dijalaninya dan
bertanya tentang apakah ada harapan untuk sembuh.
Intoleransi aktivitas (kode 00092) berhubungan dengan sesak nafas
(ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen) ditandai dengan keluhan
cepat merasa lelah dan sesak bertambah bila beraktivitas. Pasien tampak
sesak nafas dalam kondisi duduk memeluk bantal, kadang bernafas dengan
mulut. Pasien juga tampak bertambah sesak saat diwawancara dan harus
menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses pengkajian. Aktivitas
pasien dibantu oleh perawat dan suami seperti berpakaian, toileting, dan
mandi. Nilai ECOG 3 (hanya mampu melakukan perawatan diri yang
terbatas, hanya diantara tempat tidur dan kursi lebih dari 50% dari waktu
70

terjaga). Frekuensi nadi pasien meningkat dan cepat tanpa adanya aktivitas
yaitu 110x/menit. Skor ESAS kelelahan 8.
f. Risiko infeksi (kode 00004) berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan sekunder. Ditandai dengan pernyataan pasien meskipun belum
pernah panas tetapi mengalami penururnan nafsu makan. Dalam pemeriksaan
laboratorium didapatkan nampak adanya penurunan kadar hemoglobin yaitu
10,7 gr/dl (13-18), penurunan kadar leukosit menjadi 4,94 103/l (5-10), suhu

37oC (36,5-37,5), terdapat bekas luka pos operasi mastektomi, terpasang infus,
terpasang WSD dan terpasang dower kateter.
3.1.2.3 Kriteria Hasil

Kriteria hasil yang ingin dicapai merujuk pada standar Nursing Outcome
Classification (NOC).
a. Diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas (kode 00032) berhubungan
dengan penurunan energi/keletihan, nyeri, kelelahan otot-otot pernafasan.
Setelah dilakukan tindakan respiratory monitoring (3350) pasien akan mampu
mempertahankan respiratory status (0415) dengan skala rating outcome pada level
5 (tidak menyimpang dari ukuran normal) dengan kriteria hasil kecepatan
pernafasan, irama pernafasan, kedalaman inspirasi pernafasan, suara nafas,
potensi jalan nafas dan saturasi oksigen dalam rentang normal, dan skala rating
outcome pada level 5 (tidak) dengan kriteria hasil tidak menggunakan otot bantu
pernafasan, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan bibir, tidak ada
keluhan sesak nafas saat istirahat maupun aktivitas ringan, tidak sianosis, gelisah,
batuk dan keringat berlebih, tidak ada keluhan kesulitan istirahat. Selain itu pasien
juga diberikan tindakan oxygen therapy (3320) dengan harapan pasien akan
mampu mempertahankan
respiratory status
5 (tidak : ventilationdari
menyimpang (0403) dengan
ukuran skala rating
normal) denganoutcome
kriteria pada
hasil level
kecepatan
pernafasan, irama pernafasan, kedalaman inspiasi, suara perkusi, tidal
volume, kapasitas volum, penemuan gambar foto toraks, dan tes fungsi paru
tidak menyimpang dari ukuran normal, dan skala rating outcome pada level 5
(tidak) tidak menggunakan otot asesori, tidak ada suara nafas abnormal, tidak
ada retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan bibir, tidak ada sesak nafas
dalam istirahat maupun dalam aktivitas, taktil fremitus normal, tidak ada
ketidaksimetrisan pengembangan dada, suara tidak lemah, tidak ada
akumulasi sputum.
b. Diagnosa keperawatan nyeri kronis (00133) berhubungan dengan proses
perkembangan penyakit akibat infiltrasi sel kanker ke jaringan. Setelah
dilakukan tindakan pain management (1400), pasien akan mampu mengontrol
nyeri (1605) dengan skala rating outcome pada level 5 (menunjukkan

konsistensi) dengan kriteria hasil mampu mengenali gejala nyeri, mendiskripsikan


faktor penyebab, menggunakan catatan untuk memonitor gejala setiap waktu,
menggunakan tindakan pencegahan, menggunakan tindakan non farmakologi
untuk mengurangi nyeri, menggunakan analgetik yang direkomendasikan,
melaporkan perubahan gejala nyeri kepada petugas kesehatan, melaporkan tak
terkendalinya gejala nyeri kepada petugas kesehatan, menggunakan sumber yang
tersedia, mengenali hubungan gejala dengan nyeri, melaporkan nyeri yang dapat
dikontrol.
Diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(00002) berhubungan dengan kurang asupan makanan. Setelah dilakukan tindakan
nutrition management (1100) pasien akan mampu meningkatkan nutritional status
food and fluid intake (1008) dan nutritional status nutrien intake (1009) dengan
skala rating outcome pada level 5 (adekuat total) dengan kriteria hasil mampu
memasukkan makanan dan cairan melalui oral, masukan cairan melalui intravena,
masukan makanan melalui parenteral, masukan kalori, protein, lemak, karbohidrat,
serat, vitamin, mineral, besi, kalsium, dan sodium.
Diagnosa keperawatan ansietas (00146) berhubungan dengan adanya
ancaman dan perubahan status kesehatannya. Setelah dilakukan tindakan
anxiety reduction (5820) pasien akan mampu mengontrol kecemasannya
(anxiety self control) (1402) dengan skala rating outcome pada level 5
(menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil mampu memonitor tingkat
kecemasan, menghapus/menghilangkan tanda kecemasan, mengurangi
stimulus yang berasal dari lingkungan ketika khawatir, merencanakan strategi
koping saat dalam situasi stres, menggunakan strategi koping yang efektif,
menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan, memelihara
fungsi peran, memelihara hubungan sosial, memelihara konsentrasi,
memelihara keadekuatan istirahat tidur, memonitor tanda gejala fisik bila
muncul kecemasan, mengontrol respon kecemasan.
e. Diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas (00092) berhubungan dengan
sesak nafas (ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen). Setelah
dilakukan tindakan energy management (0180) pasien akan mampu

menyimpan energi untuk beraktivitas (energy conservation) (0002) dengan skala


rating outcome pada level 5 (menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil ada
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, mampu menggunakan waktu istirahat
untuk menyimpan energi, menggunakan teknik penghematan energi, mengatur
aktivitas untuk menghemat energi, membiasakan aktivitas untuk meningkatkan
energi, memelihara keadekuatan intake nutrisi, melaporkan daya tahan
keadekuatan dalam beraktivitas.
f. Diagnosa keperawatan risiko infeksi (00004) berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan sekunder. Setelah dilakukan intervensi keperawatan
infection control (6540) pasien akan mampu mengontrol risiko (risk control) (1902),
dengan skala rating outcome pada level 5 (menunjukkan konsistensi) dengan
kriteria hasil mampu mencari informasi mutakhir tentang kontrol infeksi,
mengidentifikasi faktor resiko infeksi, mengakui manusia sebagai faktor risiko
infeksi, mengakui akibat berhubungan dengan faktor infeksi, mengidentifikasi
faktor risiko dalam aktivitas sehari-hari, mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi,
identifikasi strategi untuk melindungi diri dari infeksi yang dibawa oleh orang lain,
monitor perilaku diri sebagai faktor yang berkaitan dengan risiko infeksi,
monitor lingkungan sebagai faktor yang berhubungan dengan risiko infeksi,
memelihara kebersihan lingkungan, meningkatkan strategi yang efektif dalam
mengontrol infeksi, menggunakan tindakan pencegahan prekausal,
mempraktikkan cuci tangan, mempraktikkan strategi kontrol infeksi,
mengatur strategi kontrol infeksi, memonitor status kesehatan secara umum,
menggunakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
3.1.2.4 Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dilakukan dalam asuhan keperawatan pasien kanker
payudara ini mengacu pada Nursing Intervention Classification (NIC).
a. Respiratory Monitoring (3350) dan Oxygen Therapy (3320)
Tindakan utama Respiratory Monitoring yang dilakukan adalah (1)
memonitor frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, (2) melakukan auskultasi
suara nafas, catat adanya suara tambahan, (3) memberikan bronkodilator melalui

nebulazer: combivent 3x/hari (06.00, 14.00, dan 22.00 WIB) dan pulmicort 2x/hari
(06.00 dan 18.00 WIB) dan terapi peroral : OBH sirup 3x1 cth (04.00, 12.00, dan
20.00 WIB), capsul racik Theofilin dan Salbutamol 3x1 (04.00, 12.00, dan 20.00
WIB) sesuai advise, (4) memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi (5)
memonitor respirasi dan saturasi O2, (6) mempertahankan jalan nafas yang paten,
(7) mengobservasi adanya tanda-tanda hipoventilasi, (8) memonitor vital sign, (9)
menginformasikan pada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
Tindakan Oxygen Therapy utama yang dilakukan adalah (1) membersihkan sekret
oral, nasal dan trakhea dengan tepat, (2) melarang merokok,
(3) memelihara kepatenan jalan nafas, (4) mengatur perlengkapan pemberian
oksigen termasuk kehangatan humidifier, (5) memonitor ukuran aliran oksigen O2
nasal kanul 3-5ltr/mnt, (6) memonitor posisi alat pemberian oksigen, (7)
memonitor efektivitas ketepatan pemberian terapi oksigen (saturasi oksigen, pulse
oximetri), (8) memantau status mental, (9) memantau pengeluaran cairan pleura
melalui selang WSD. WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00, 08.00, 11.00,
14.00, 17.00, 20.00 dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD kiri diloss ganti botol
tiap pagi.
Tindakan utama
b. Pain Management yang dilakukan adalah (1) melakukan pengkajian nyeri
(1400)
secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset, dan durasi secara
berkala, (2) mengajarkan teknik nonfarmakologi berupa relaksasi nafas dalam dan
distraksi saat merasakan nyeri, (3) meningkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
dengan menganjurkan pasien untuk beristirahat yang cukup, (4) memberikan obat
analgetik ketorolac 30 mg + Ns 100cc IV tiap 8 jam (04.00, 12.00, dan 20.00
WIB), serta (5) mengevaluasi keefektifan kontrol nyeri pasien setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
c. Nutrition Management (1100)
Tindakan yang dilakukan adalah (1) mengkaji apakah ada alergi terhadap
makanan, (2) mengkaji makanan kesukaan, (3) berkolaborasi dengan ahli gizi
tentang jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan, (4) memotivasi untuk
intake protein, zat besi dan vit C yang cukup (5) meyakinkan diit yang diberikan

mengandung serat tinggi untuk mencegah konstipasi, (6) menganjurkan pasien


untuk mengkonsumsi snack seperti buah segar dan jus buah, (7) memberikan
makanan yang lunak dan lembut, (8) memonitor intake dan kalori, (9) memberikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya,
(10) menentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, (11)
mengontrol faktor lingkungan yang memicu terjadinya nausea, (12) memonitor
nilai lab yang berkaitan dengan status nutrisi, (13) Memberikan terapi per oral
Ondansentron 3x8 mg, HP Pro 3x1, Ranitidin 50 mg IV tiap 12 jam (08.00 dan
20.00 WIB) sesuai advise
d. Anxiety Reduction (5820)

Tindakan yang dilakukan adalah (1) mengkaji tingkat kecemasan klien, (2)
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya, (3) melakukan pendekatan yang menentramkan pasien, (4)
menjelaskan semua prosedur yang akan dilakukan, (5) memberikan informasi yang
nyata tentang diagnosis dan pengobatannya, (6) membantu pasien dalam
mengambil keputusan, (7) membantu pasien mengidentifikasi situasi dan faktor
pencetus cemas, (8) mendukung aktifitas yang dapat menurunkan kecemasan
misalnya dengan menonton tv, membaca buku, atau berinteraksi dengan keluarga
dan pasien lain
mendorong (9) menganjurkan
kunjungan pasien
keluarga atau oranguntuk melakukan
terdekat, relaksasi,lingkungan
(11) menciptakan (10)
yang tenang.
e. Energy Management (0180)
Tindakan yang dilakukan adalah (1) mengkaji faktor yang menyebabkan
kelelahan, (2) mengkaji aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan, (3) membantu
pasien dalam aktivitas perawatan diri, (4) mengevaluasi motivasi dan keinginan
pasien untuk meningkatkan aktivitas, (5) memotivasi klien untuk menghabiskan
porsi makanan yang diberikan.
f. Infection Control (6540)
Tindakan yang dilakukan adalah (1) membersihkan lingkungan sekitar
setelah digunakan pasien, (2) mengganti peralatan pengobatan pasien setiap
protokol/pemeriksaan, (3) mengisolasi orang yang mempunyai penyakit menular,
(4) membatasi jumlah pengunjung/pembezuk, (5) mengajarkan teknik mencuci

tangan yang benar untuk memperbaiki kesehatan pribadi, (6) mengajarkan


pengunjung untuk mencuci tangan saat masuk dan meninggalkan kamar pasien,
(7) menggunakan sabun anti mikroba untuk mencuci tangan dengan benar, (8)
mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan perawatan pada pasien, (9)
menggunakan sarung tangan sebagai pengaman umum, (10) menggunakan sarung
tangan yang bersih, (11) menjaga lingkungan agar tetap steril selama insersi di
tempat tidur, (12) mengganti balutan IV berdasarkan petunjuk dan memastikan
keadaan steril saat menangani IV, (13) menggunakan kateter untuk mengurangi
kejadian infeksi kandung kemih, (14) mendorong/mengajarkan cara nafas dalam
dan batuk yang benar, (15) meningkatkan pemasukkan nutrisi dan cairan yang
tepat, (16) menganjurkan banyak istirahat, (17) melakukan terapi antibiotik yang
tepat Cefixim 2x100 gr (08.00 dan 20.00 WIB) peroral dan Methilprednisolon 125
mg IV tiap 8 jam (04.00, 12.00, 20.00 WIB), (18) mengajarkan pasien dan keluarga
tentang tanda-tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya pada tim
kesehatan.
3.1.2.5 Evaluasi

Tindakan evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses asuhan


keperawatan yang dilakukan. Evaluasi perkembangan pasien dilakukan dengan
menilai efektifitas dari implementasi keperawatan.
a. Ketidakefektifan pola nafas
Setelah dilakukan tindakan respiratory monitoring dan Oxygen Therapy
selama 3 hari perawatan respiratory status dalam skala rating outcome level 3
(cukup menyimpang dari ukuran normal) dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat
pasien masih mengeluh sesak nafas dan masih sulit tidur. Pasien mengatakan
hanya bisa tidur dalam posisi duduk sambil memeluk bantal. Pasien masih
nampak bernafas lewat mulut dan dalam kondisi duduk memeluk bantal,
terkadang batuk disertai dahak. Klien masih tampak bertambah sesak saat
diwawancara dan harus menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses
pengkajian. Skor ESAS kelelahan 7. Dalam pemeriksaan fisik masih nampak
pernafasan cuping hidung, ada retraksi dinding dada, suara nafas tambahan ronkhi
basah. Pemeriksaan TTV RR 28x/menit menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/mnt,
tekanan darah 100/70 mmHg, Suhu 36,80C, Nadi 100 x/menit, SaO2 98%, dan

gambaran foto thorak efusi pleura bilateral. Produksi WSD kanan/3 jam ±200
cc,500cc/hr, kiri ±400 cc/hr. Respiratory monitoring tetap dilakukan selama pasien
mengeluh sesak nafas. Selain itu pasien juga diberikan tindakan oxygen therapy
(3320) dengan harapan pasien akan mampu mempertahankan respiratory status :
ventilation (0403) rating outcome level 3 (cukup menyimpang dari ukuran normal)
dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat pasien masih mengeluh sesak nafas,
pasien masih tampak gelisah, adanya pernafasan cuping hidung, pola pernafasan
abnormal, nafas cepat 24x/menit menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/menit, pasien
masih tampak pucat, SaO2 meningkat jadi 98%, denyut nadi cepat 100x/menit dan
gambaran foto thorak efusi pleura bilateral. Produksi WSD kanan/3 jam 200 cc,
perhari paru kanan rata-rata produksi 500 cc, kiri di loss produksi ±400 cc/hr.
Intervensi oxygen therapy dilanjutkan.
b. Nyeri Kronis

Setelah dilakukan tindakan pain management baik secara farmakologi dan non
farmakologi selama 3 hari perawatan target rating oucome pasien mampu
mengontrol nyeri berada pada level 4 (sering) hal ini dapat dilihat dari keluhan
nyeri pasien yang berkurang menjadi skala nyeri 3 dan masih meningkat bila batuk
(skala 6). Pasien mampu menggunakan teknik relaksasi dan distraksi serta
mampu mencatatselama
tetap dilakukan mengidentifikasi nyeri nyeri.
pasien mengeluh yang dirasakannya. Pain management
c. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
Setelah dilakukan nutrition management selama 3 hari perawatan,
nutritional status fluid and intake dan nutritional status nutrien intake berada
pada skala rating outcome pada level 3 (adekuat sedang), ditandai dengan keluhan
mual pasien berkurang. Pasien menerima suplemen HP Pro 3xsehari 1 capsul.
Pasien saat ini menerima tambahan terapi parenteral amiparen 500cc tiap 12 jam,
masukan kalori, karbohidrat, protein dan lemak. Masukan nutrisi melalui oral
semakin meningkat setiap hari mulai dari ¼ porsi habis sampai dengan sisa hanya
¼ porsi dan tidak ada keluhan muntah. Target rating outcome pada level 3 yaitu
cukup adekuat. Intervensi nutrition management dilanjutkan.
d. Ansietas
Setelah dilakukan tindakan anxiety reduction selama 3 hari perawatan,

pasien dapat mengontrol kecemasannya (anxiety self control) dengan skala rating
outcome level 4 (sering). Hal ini ditunjukkan dengan wajah yang lebih rileks dan
tenang. Pasien mengatakan lebih tenang ketika berdoa. skor ESAS 2. Tindakan
anxiety reduction dipertahankan.
Intoleransi aktivitas

Setelah dilakukan tindakan energy management selama 3 hari perawatan, pasien


belum mampu menyimpan energi untuk aktivitas (energy conservation) dengan
skala rating outcome pada level 3 (menunjukkan kadang-kadang) ditandai dengan
pasien masih mengeluhkan lelah dan sesak bila beraktivitas. Aktivitas pasien masih
dibantu oleh perawat dan suami seperti berpakaian, toileting, dan mandi. Nilai
ECOG 3 (hanya mampu melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara
tempat tidur dan kursi lebih dari 50% dari waktu terjaga. Frekuensi nadi pasien
meningkat tanpa adanya aktivitas yaitu 100x/menit. Target rating outcome level 4
(sering). Tindakan energy management dilanjutkan.
Risiko infeksi

Setelah dilakukan tindakan intervensi infection control selama 3 hari pasien


kadang-kadang menunjukkan mampu mengontrol infeksi dengan skala rating
outcome level 3 (kadang mendemonstrasikan) dengan dibuktikan oleh
pasien mampu menyampaikan tidak terjadi keluhan demam atau luka operasi

timbul nyeri, nanah, bau, pemeriksaan fisik pasien tidak demam suhu 36,8oC.
Nilai leukosit dan hemoglobin masih di bawah normal, tanda-tanda infeksi tidak
muncul, intake makanan dan minum cukup adekuat. Pasien dan keluarga kadang-
kadang melakukan cuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktivitas. Masih
tampak orang yang membezuk pasien dan kontak dengan pasien tidak melakukan
cuci tangan sebelum dan sesudahnya. Intervensi Infection Control dilanjutkan.
3.2 Laporan 30 Kasus Kelolaan
Pada praktek residensi keperawatan medikal bedah dilakukan selama dua
semester dengan jumlah 20 SKS untuk menyelesaikan program spesialis
keperawatan. Praktek residensi dilaksanakan di rumah sakit kanker Dharmais
Jakarta. Selama praktek residensi ini penulis membuat laporan asuhan
keperawatan dan logbook setiap minggu. Ada 22 macam kasus yang pernah
ditemui oleh penulis selama menyusun asuhan keperawatan dan logbook yaitu

kanker paru, kanker payudara, KNF, kanker serviks, kanker kolon, kanker penis,
ALL, kanker tiroid, kanker rekti, kanker maxilla, AML, LNH, Multiple Mieloma,
kanker orbita, Miastemia gravis, Liposarcoma, tumor otak, Rhabdomiosarcoma,
kanker ovarium, kanker bully, kanker lidah dan kanker ginjal.
Sesuai target kasus asuhan keperawatan lanjut kasus onkologi di rumah sakit
kanker Dharmais Jakarta, penulis menyusun laporan asuhan keperawatan
sebanyak 30 kasus kelolaan dengan menggunakan pendekatan teori peaceful end
of life theory terhadap pasien kanker. Dalam target ini, terdapat 18 macam kasus
kanker yang menjadi kelolaan. Jumlah pasien kelolaan dalam masing-masing kasus
yaitu 7 (23,33%) pasien dengan kanker payudara, 3 (10%) pasien dengan kanker
serviks, KNF, AML, tumor otak dan rhabdomiosarcoma masing masing 2 (6,66%)
pasien, kanker paru, kanker kolon, kanker tiroid, kanker rekti, kanker maxilla,
kanker orbita, kanker abdomen, ALL, Kanker ovarium, kanker bulli, kanker lidah,
dan kanker ginjal masing-masing 1 (3,33%) pasien. Berdasarkan data pasien baru
atau insiden pasien kanker rumah sakit kanker Dharmais tahun 2014, kasus kanker
payudara menempati kasus pertama diantara 10 kasus tersering lainnya yaitu
sebanyak 1290 kasus (bidang rekam medik rumah sakit kanker Dharmais, 2014).
Hal tersebut menjadi pertimbangan penulis untuk
Keperawatan Peaceful
memfokuskan pemberianEndasuhan
of Lifekeperawatan
Theory pada dengan
kasus klien dengan kanker
pendekatan teori
payudara.
Jika dikelompokkan sesuai dengan target kompetensi, pengelolan kasus
asuhan keperawatan terdiri dari kanker sistem saraf pusat 2 (6,66%) pasien,
kanker payudara 7 (23,33%) pasien, kanker gastrointestinal 5 (16,66%) pasien,
kanker genitourinarius dan genital 6 (20%) pasien, kanker kepala dan leher 4
(13,33%) pasien, kanker darah 3 (10%) pasien, kanker paru 1 (3,33%) pasien,
kanker tulang, otot dan jaringan lunak 2 (6,66%) pasien.
Rumusan diagnosa keperawatan yang muncul pada 30 pasien kasus
resume yaitu diagnosa risiko infeksi 93,33%, ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh 63,33%, nyeri kronis 56,67%, nyeri akut 10%, kerusakan
integritas kulit 33,33%, intoleransi aktivitas 30%, ketidakefektifan pola nafas
20%, risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dan mual muntah masing-

masing 16,67%, gangguan pertukaran gas dan gangguan ventilasi spontan masing-
masing 13,33%, defisit pengetahuan, ansietas, risiko ketidakseimbangan volume
cairan, nyeri akut, risiko perdarahan masing-masing 10%, gangguan pola tidur dan
konstipasi masing-masing 6,67%, bersihan jalan nafas tidak efektif, diare, risiko
jatuh, retensi urin, dan hambatan mobilitas fisik masing-masing 3,33%. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa lima diagnosa yang paling banyak muncul pada
pasien kanker yaitu risiko infeksi, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, nyeri kronis, kerusakan integritas kulit dan intoleransi aktivitas.
Setelah masalah keperawatan dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan,
untuk mencapai hasil maka dirumuskan NOC (Nursing Outcome Classification).
Berdasarkan diagnosa yang paling banyak muncul, yaitu NOC untuk masalah risiko
infeksi yang dirumuskan adalah imune status dan risk control masing-masing
sebanyak 50%, untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, NOC yang dirumuskan nutritional status : food and fluid intake sebanyak
100%, diagnosa nyeri kronis NOC yang dirumuskan pain control sebanyak 100%,
untuk diagnosa kerusakan integritas kulit NOC yang dirumuskan surgical recovery :
convalescence dan tissue integrity : skin masing-
masing 50% dan untuk diagnosa intoleransi aktivitas NOC yang dirumuskan
energy conservation sebanyak 66,67% dan activity tolerance sebanyak 33,33%.
Setelah dirumuskan pencapaian (NOC), kemudian dilakukan penyusunan
intervensi keperawatan yang disebut dengan Nursing Intervention Classification
(NIC). Adapun NIC yang banyak diterapkan pada pasien kanker dengan diagnosa
risiko infeksi yaitu infection control sebanyak 60% dan infection protection
sebanyak 40%, untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
80

tubuh sebanyak 89, 47% dengan intervensi nutrition management dan 10,53%
nutrition therapy, diagnosa nyeri kronis intervensi yang dilakukan pain
management sebanyak 100%, kerusakan integritas kulit wound care sebanyak
60% dan pressure management sebanyak 40%, dan untuk masalah intoleransi
aktivitas intervensi yang diterapkan yaitu dengan energy management sebanyak
66,67% dan activity therapy sebanyak 33,33%.
Hasil pelaksanaan intervensi pada seluruh pasien kelolaan bervariasi.

Untuk diagnosa risiko infeksi dengan intervensi infection control, keberhasilan


mencapai 90% dari target yang ditentukan sedangkan intervensi infection
protection keberhasilan mencapai 100% dari target yang ditentukan. Untuk
diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh 90% dengan
intervensi nutrition management dan 50% dengan intervensi nutrition therapy
mencapai keberhasilan dari target yang ditentukan, diagnosa nyeri kronis
intervensi yang dilakukan pain management mencapai 90% keberhasilan dari
target yang ditentukan, untuk kerusakan integritas kulit dengan intervensi wound
care 60% mencapai tingkat keberhasilan dan intervensi pressure management
sebanyak 40%, dan untuk masalah intoleransi aktivitas intervensi yang diterapkan
yaitu dengan energy management sebanyak 90% mencapai keberhasilan dan
activity therapy sebanyak 100 % mencapai keberhasilan dari target yang
ditentukan. Lama waktu rawat pada kasus kelolaan tergantung pada tingkat
kompleksitas penyakit kanker yang diderita, termasuk jenis kanker dan
penyebarannya, serta program terapi modalitas yang diterima.

3.3 EvidenceBasedNursingPractice(EBNP):Intervensimenghirup Aromaterapi


Jahe untuk Mengurangi Mual Muntah akibat Kemoterapi
pada Pasien Kanker Payudara
3.3.1 Latar Belakang penerapan EBN
Mekanisme mual muntah akibat kemoterapi dibagi menjadi dua yaitu
mekanisme langsung dan tidak langsung. Mekanisme langsung kemoterapi
berkaitan langsung dengan pemberian agen kemoterapi. Agen kemoterapi ini
menstimulasi sel enterochromafin dalam saluran pencernaan untuk melepaskan
serotonin (5 hydroxytriptamine (5HT3)) yang mengaktivasi reseptor serotonin.
Aktivasi reseptor ini mengaktifkan jalur aferen vagal, yang mengaktivasi pusat
mual muntah dan menyebabkan mual muntah. Kedua, agen kemoterapi
merupakan salah satu jenis stimulus yang dapat mengaktifkan Chemoreseptor
Trigger Zone (CTZ) di medulla, peran CTZ sebagai chemosensor, area ini kaya
akan berbagai reseptor neurotransmiter seperti histamine, serotonin, dopamine,
neurokinin, benzodiazepine dan opiate. Melalui salah satu dari reseptor tersebut,
agen kemoterapi tersebut menyebabkan proses mual muntah. Mekanisme tidak

langsung dapat terjadi karena faktor pasien diantaranya karena faktor kecemasan.
Mual muntah yang disebabkan oleh faktor kecemasan memberikan pengaruh
terhadap sistem saraf pusat termasuk pusat muntah (Wood, Shega, Lynch &
Roenn, 2007). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien yang mengalami
muntah pada kemoterapi sebelumnya dapat timbul anticipatory nausea vomiting
(ANV) pada kemoterapi berikutnya (Hesketh, 2008; Mustian , Devine , Ryan,
Janelsins, Sprod & Peppone, 2011). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya oleh Rhodes dan Mc Daniel, (2004), yang melaporkan bahwa persepsi
dan kecemasan pasien terhadap kejadian mual muntah sebelum pemberian
kemoterapi menjadi prediktor kuat terjadinya mual muntah setelah kemoterapi.
Selain status gizi, dampak mual muntah juga mempengaruhi kualitas hidup pasien
dan tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan (Ballatori, Roila &
Ruggeri, 2007; Ferna´ndez, Caloto & Chirveches, 2012; Davidson, Teleni & Muller,
2012).
Penatalaksanaan mual dan muntah pada pasien post kemoterapi tergantung pada
beratnya gejala. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara farmakologi maupun
nonfarmakologi. Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian antiemetik,
antihistamin, antikolinergik, dan kortikosteroid, namun semua obat
farmakologi,
tersebut terdapat
memiliki banyak intervensi
efek samping dan biaya nonfarmakologi
yang tidak sedikit.yang dapat
Selain membantu
obat-obatan
meredakan mual muntah, terutama ketika digunakan bersamaan dengan obat-
obatan farmakologi. Beberapa intervensi nonfarmakologis mual muntah terkait
kemoterapi meliputi penyesuaian asupan makanan dan cairan, relaksasi, olahraga,
hipnosis, biofeedback, pencitraan terarah, dan desensitasi sistemis (Black, 2014).
Intervensi lain yang dapat dilakukan secara mandiri oleh seorang perawat
untuk mengurangi mual muntah adalah dengan menghirup aromaterapi.
Aromaterapi sebagai bagian dari terapi komplementer dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien (Boelm et al., 2012). Aromaterapi merupakan tindakan
terapeutik dengan menggunakan minyak essensial yang diekstrak dari akar,
bunga, daun dan batang tanaman, serta dari pohon tertentu yang bermanfaat untuk
meningkatkan keadaan fisik dan psikologi sehingga menjadi lebih baik. Setiap

minyak esensial memiliki efek farmakologis yang unik, seperti antibakteri, antivirus,
diuretik, vasodilator, penenang, dan merangsang adrenal. Ketika minyak esensial
dihirup, molekul masuk ke rongga hidung dan merangsang sistem limbik di otak.
Sistem limbik adalah daerah yang mempengaruhi emosi dan memori serta secara
langsung terkait dengan adrenal, kelenjar hipofisis, hipotalamus, bagian- bagian
tubuh yang mengatur denyut jantung, tekanan darah, stess, memori,
keseimbangan hormon, dan pernafasan. Begitu banyak jenis minyak esensial yang
ada. Jenis minyak esensial yang biasa digunakan adalah peppermint, spearmint,
lemon dan jahe (Jaelani, 2009). Pemakaian minyak esensial secara inhalasi
merupakan metode yang dinilai paling efektif, sangat praktis dan memiliki khasiat
yang langsung dapat dirasakan efeknya dibanding dengan tehnik yang lain, tehnik
inhalasi ini lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh tanpa melalui proses
absorbsi membran sel, molekul-molekul uap akan langsung mengenai reseptor
penghidu yang berada pada rongga hidung dan langsung terhubung dengan saraf
olfaktorius (Kohatsu, 2008).
Dengan pertimbangan tersebut diatas maka penulis mencoba menerapkan
intervensi menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah pada
pasien kanker payudara.
Masalah
3.3.2 Masalah Klinisklinis dirumuskan
dan Metodologi dengan menggunakan pendekatan PICO
Pencarian
(Population, Intervention, Comparation dan Outcome). PICO digunakan untuk
merumuskan pertanyaan klinis dalam pelaksanaan evidence based nursing.
Pertanyaan klinis yang telah dirumuskan yaitu “apakah menghirup aromaterapi
jahe mampu mengurangi mual muntah pada pasien kanker payudara setelah
menjalani kemoterapi?”. Adapun pendekatan PICO yang digunakan untuk
merumuskan masalah klinis sebagai berikut :
3.3.2.1 Population : Pasien dengan penyakit kanker payudara yang mengalami
mual muntah akibat kemoterapi
3.3.2.2 Intervention : Intervensi keperawatan dalam mengurangi mual muntah
akibat kemoterapi diberikan dalam bentuk menghirup aromaterapi jahe
3.3.2.3 Comparation : -

3.3.2.4 Outcome : Setelah pemberian aromaterapi jahe bersamaan dengan terapi


standar rumah sakit pasien dengan kanker payudara yang menjalani kemoterapi
yang mengalami mual muntah berkurang/hilang skala mualnya dan
berkurang/hilang frekuensi dan intensitas muntahnya.
3.3.3 Metodologi Penelusuran

Metodologi penelusuran menggunakan 4 kata kunci dan beberapa sinonimnya dari


analisa PICO, peneliti memasukkannya ke dalam search engine jurnal sebagai
berikut : proquest, ebscohost, sciendirect, scopus, guidline, evidence, MEDLINE, dan
pubmed. Kata kunci yang digunakan yaitu kata tunggal atau gabungan dari
“aromatherapy”, “ginger”, “nausea and vomiting post chemotherapy” and “breast
cancer patient”, “randomize clinical trial” and “randomize control trial”. Artikel
yang ditelusuri berbahasa Inggris, bukan merupakan case study, tidak ada batasan
waktu, dan full text.
Didapatkan 10 judul artikel dari kata kunci di atas berupa artikel kuasi
eksperimental, meta analisis, literature riview dan pilot study kemudian dipilih
sebanyak 2 yang relevan. Kesesuaian dengan keadaan yang sebenarnya di rumah
sakit membuat peneliti memilih 1 artikel pilihan untuk kemudian memilih 1 artikel
sebagai rujukan berjudul Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on
Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting and Health-Related Quality of Life
in Women with Breast Cancer dan sisanya sebagai artikel pendukung.
3.3.4 Ringkasan Jurnal
3.3.4.1 Penjelasan Artikel Pilihan
Temuan artikel pilihan dari kata kunci PICO yang digunakan untuk
digunakan sebagai rujukan berjudul Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on
Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting and Health-Related Quality of Life
in Women with Breast Cancer. Penelitian ini dilakukan oleh Pei Lin Luaa, Noor
Salihahb, Nik Mazlan (2015) dan dilakukan di dua klinik onkologi dimana
partisipan direkrut dari Rumah Sakit Sultanah Nur Zahirah (HSNZ), Kuala
Terengganu dan Rumah Sakit Raja Perempuan Zainab II (HRPZ II), Kota Bharu,
Kelantan, Malaysia. Pada setiap pusat, standar prosedur untuk pencegahan dan
manajemen mual muntah dilakukan sesuai dengan protokol standar kemoterapi
dan kondisi klinis pasien. Adapun kriteria subjek yang digunakan dalam

penelitian ini : Kriteria inklusi : (1) Pasien berusia ≥ 18 tahun, (2) Memiliki
penciuman yang normal, (3) Terdiagnosi kanker payudara, (4) Menerima
kemoterapi dan mempunyai pengalaman mual dan atau muntah dengan tingkat
keparahan apapun, (5) Memiliki setidaknya sisa penggunaan dua program agen
kemoterapi yang sama, (6) Menyetujui untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini;
Kriteria eksklusi : (1) Memiliki jenis kanker lainnya, (2) Alergi terhadap jahe, parfum
ataupun kosmetik, (3) Pasien yang menjalani kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi, (4) Yang teridentifikasi sebagai pasien yang mengalami masalah pada
penglihatan dan pendengaran, atau kesulitan pada komunikasi verbal; orang-orang
dengan disabilitas mental. Pasien diacak menggunakan pengacakan permutasi blok
empat dengan rasio alokasi 1:1. Izin untuk melakukan studi ini diperoleh dari
Departemen Kesehatan (Depkes) Penelitian Malaysia dan Komite Etik (MREC)
(Ref.no: (2) dlm.KKM / NIHSEC / 08/0804 / P11-42).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas menghirup aromaterapi
jahe pada kejadian mual, muntah dan kualitas kesehatan yang berhubungan
dengan kehidupan (HRQOL) pada pasien kanker payudara setelah kemoterapi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini Single-blind, controlled,
randomized cross-over study. Pasien dibagi dalam kedua kelompok yaitu
kelompok 1 dan kelompok 2. Prosedurnya kalung aromaterapi adalah liontin yang
terbuat dari kaca digantungkan pada leher pasien dan ditempatkan sekitar 20 cm
dari hidung pasien. Setiap hari pasien diminta untuk menghirup dengan menarik
nafas dalam-dalam setidaknya 3 kali sehari dalam 3 periode dan dalam durasi 2
menit. Pasien diminta menghirup ketika ada gejala mual muntah maupun tidak
ada gejala. Kalung aromaterapi ini diisi sekitar 1-2 tetes minyak esensial dan
minyak wangi jahe. Grup 1 menerima minyak wangi jahe (plasebo) pada
kemoterapi pertama, kemoterapi selanjutnya menerima minyak esensial jahe.
Sebaliknya untuk grup 2 menerima minyak esensial jahe terlebih dahulu
dilanjutkan minyak wangi jahe (plasebo). Pasien diinstruksikan untuk
menghentikan penggunaan aromaterapi setelah treatment berakhir. Kedua
aromaterapi yang digunakan didapatkan dari Global Sdn. Bhd. Butterwort, Penang
Malaysia distributor minyak esensial resmi Ungerer Australia. Minyak esensial

jahe dibuat secara alamiah dari rimpang jahe, sedangkan minyak wangi jahe dibuat
dari bahan sintetis (ester, aldehid dan keton) yang biasanya terdapat pada
berbagai produk aromatik. Pada dasarnya kedua minyak yang digunakan dalam
penampilan dan tekstur identik sama tetapi dalam nilai-nilai terapeutik dari minyak
wangi (plasebo) mungkin menurun secara subtansial karena perubahan dalam
struktur kimia yang berasal dari campuran ekstrak jahe dan bahan sintetis. Dalam
hal bau minyak wangi hampir selalu meniru minyak esensial namun sedikit lebih
rendah dari produk murni esensial.
Hasil utama yang didapatkan skor VAS nausea (mual), tingkat frekuensi muntah
dan profil HRQol (skor EORTC QLQ-C-30). Keparahan kejadian mual dan muntah
dinilai dengan sebuah skala analog visual (VAS) 100 mm digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan mual dengan ujung kiri 'tidak ada mual dan kanan
untuk 'mual berat’. Tidak mual didefinisikan sebagai VAS <5 mm-10 mm umumnya
dianggap penting secara klinis. Total tiga tanda perhari yang diperlukan dalam
instrumen ini diselesaikan pada pemberian aromaterapi pada jam 09.00,
15.00 and terakhir 21.00. VAS ini dicatat pada buku harian pasien, beserta dengan
laporan diri tentang frekuensi muntah dalam waktu 24 jam. Muntah didefinisikan
sebagai satu atau lebih episode muntah. Episode dianggap berbeda jika mereka
dan muntah
dipisahkan olehdisetidaknya
buku harian
satuini sampai
menit. Parahari ke-5melaporkan
pasien pasca kemoterapi.
peristiwaSedangkan
mual
dampak kemoterapi yang menyebabkan mual muntah yang berdampak pada
kualitas hidup pasien (Health-related quality of life/HRQOL) dinilai pada awal
(sebelum pemberian kemoterapi) dan hari 8 pasca kemoterapi menggunakan
Kuesioner Kualitas Hidup Organisasi Eropa untuk Penelitian dan Pengobatan
Kanker (European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality
of
Life Questionnaire/EORTC QLQ-C30 ). Dalam penelitian ini versi EORTC QLQ
C-30 diterjemahkan dan divalidasi dalam bahasa Melayu. Kuesioner ini berisi 30
item termasuk lima skala fungsional (fisik, emosi, kognitif, sosial dan fungsi
peran), tiga skala gejala (kelelahan, nyeri, mual dan muntah), kesehatan secara
menyeluruh/skala HRQOL dan enam item tunggal untuk menilai gejala (dyspnea,
gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, sembelit, diare) dan dampak keuangan
dari penyakit. Skoring EORTC QLQ-C30 dilakukan secara manual. Skor EORTC

mentah diubah linear untuk mendapatkan skor standard dikisaran 0-100 untuk
masing-masing skala dan item tunggal. Skor skala tinggi ditandai dengan tingkat
respons yang lebih tinggi.
Dalam penelitian tersebut didapatkan ada sebanyak 60 pasien wanita yang
menyelesaikan studi (usia = 47,3 ± 9.26 tahun; Melayu = 98,3%; kemoterapi yang
sangat emetogenik = 86,7 %). VAS skor mual secara signifikan lebih rendah setelah
inhalasi minyak esensial jahe dibandingkan dengan plasebo selama fase akut (P =
0.040) tetapi tidak signifikan untuk efek pengobatan secara keseluruhan (efek
pengobatan: F = 1.82, P = 0,183; waktu berlaku: F = 43,98, P <0.001; pengobatan ×
waktu berlaku: F = 2.04; P = 0,102). Demikian pula, aromaterapi tidak ada effect
yang signifikan terhadap muntah [F (1, 58) = 0,29, P = 0,594]. Namun, perubahan
yang signifikan secara statistik dapat dilihat pada status kesehatan secara global (P
<0,001) terdeteksi setelah inhalasi minyak esensial jahe. Perbaikan klinis yang
relevan 10 poin dari fungsi peran (P = 0,002) dan kehilangan nafsu makan (P
<0,001) juga didokumentasikan selagi pasien menggunakan minyak esensial jahe.
3.3.4.2 Penjelasan alasan pemilihan artikel
Artikel yang berjudul “Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on Chemotherapy
Induced Nausea and Vomiting and Health-Related Quality of Life

in Women with Breast Cancer” ini ditulis oleh Pei Lin Luaa, Noor Salihahb, Nik
Mazlan pada bulan April tanggal 21 tahun 2015, yaitu sebuah jurnal yang secara
khusus membahas tentang hasil studi yang berhubungan dengan penggunaan
aromaterapi jahe. Artikel ini dipilih karena merupakan evidence tingkat I menurut
National Institute of Clinical Excellence (NICE), dengan jenis intervensi yang
murah, sederhana, bermanfaat dan memiliki waktu evaluasi yang singkat. Artikel
ini juga merupakan artikel jurnal yang memiliki tahun publikasi yang tergolong
baru karena tahun terbitnya satu tahun terakhir (tahun 2015). Level atau tingkatan
evidence menurut NICE dalam Bausewein et al. (2008) terdiri dari tingkat I (RCT
atau riview RCT), tingkat II yaitu studi prospektif dengan kelompok pembanding
(non-RCT, good observational study) atau studi retrospektif dengan kontrol
efektif untuk variabel perancu, dan tingkat III yaitu studi retrospektif atau
observasi atau cross-sectional. Sedangkan menurut RTI International University

of North Carolina (RTI-UNC) tingkat kualitas suatu penelitian dari tertinggi sampai
terendah yaitu systematic riviews, randomized controlled trial (RCT), observational
studies dan diagnostic tes studies (Lohr, 2004).
Selain itu, artikel ini juga menjawab pertanyaan klinis yang ditemukan peneliti
selama praktik di ruang rawat inap RS Kanker Dharmais dengan beberapa
pasiennya adalah pasien yang membutuhkan penanganan mual muntah akibat
kemoterapi di antaranya adalah pasien kanker payudara.
3.3.4.3 Kredibilitas Jurnal

Jurnal Complementary Therapies in Medicine merupakan salah satu jurnal yang


telah terindex di Scopus dengan SJR (SCIMago Journal Rank) yaitu 0,512. Indikator
SJR mengukur rata-rata pengaruh ilmiah artikel dalam suatu jurnal atau mengukur
dampak ilmiah rata-rata dari sebuah artikel yang dipublikasikan dalam suatu jurnal.
Nilai IPP (Impact per Publication) jurnal yaitu 1809. IPP adalah nilai faktor dampak
(jumlah sitasi/jumlah artikel publikasi) dalam kurun waktu tertentu (3 tahun) dan
SNIP (Source Normalized Impact per Paper) 1078. SNIP adalah nilai faktor dampak
(jumlah sitasi/jumlah artikel publikasi) dengan mempertimbangkan normalisasi
jumlah sitasi maksimum dan minimum tiap bidang ilmunya.
H-index 42; total dokumen pada tahun 2015 sebesar 80 dokumen, total
citation 422 dan citation per document 1,76. Hal ini menunjukkan Journal
Complementary Therapies in Medicine termasuk jurnal yang memiliki kualitas
baik. Suatu jurnal akan dapat terindex pada scopus setelah melewati peer review
dan sudah terakreditasi sesuai dengan standar publikasi ilmiah internasional.
3.3.5 Telaah Kritis
3.3.5.1 Telaah Validitas
Desain penelitian ini adalah single-blind, randomized, controlled, cross-
over study. Peneliti menyebutkan metode dalam pemilihan subjek penelitian dari
populasi yaitu secara acak. Pemilihan subjek dilakukan dari bulan Desember 2011
sampai Januari 2014, total 145 pasien kanker payudara yang menjalani
pengobatan kemoterapi disaring, di antaranya 99 sudah memenuhi kriteria

kelayakan. Dari 99 pasien tersebut, 24 menolak untuk berpartisipasi dan 75 pasien


yang terdaftar diacak : 37 orang masuk ke Grup 1 dan 38 orang ke Grup 2. Pasien
diacak menggunakan permutasi blok empat randomisasi dengan rasio alokasi 1 :
1. Secara keseluruhan, 30 pasien dari masing-masing kelompok menyelesaikan
semua kunjungan. Dalam penelitian ini total 60 pasien yang dievaluasi untuk
dilakukan analisis data. Jumlah subjek penelitian 60 pasien dihitung dengan alasan
untuk mendapatkan kekuatan sebesar 90% dan tingkat kemaknaan 0,05% dan
kemampuan mendeteksi perubahan VAS sebesar 1 cm. Penggunaan VAS telah
terbukti efektif sebagai alat ukur skala mual dan telah digunakan pada banyak
penelitian. Pembagian responden baik kelompok kontrol dan kelompok intervensi
yang dilakukan oleh peneliti merupakan gold standar dalam pembuktian penelitian
eksperimental. Metode concealment yang digunakan adalah sequentially. Metode
ini merupakan yang paling sederhana. Teknik pencarian data dilakukan secara urut
dari depan ke belakang atau dari awal sampai akhir. Informasi yang disimpan
dalam berkas diproses berdasarkan urutan. Peneliti juga telah melakukan
pengontrolan variabel perancu dengan cara retriksi yaitu membatasi sampel
dengan kriteria tertentu misalnya responden harus berusia
≥18 tahun, terdiagnosa kanker payudara dan mempunyai riwayat mual muntah
akibat kemoterapi.
Hasil pengukuran dasar demografi, karakteristik penyakit dan informasi
pengobatan dikumpulkan dari catatan medis pasien dan tidak terdapat perbedaan
demografi dan data dasar klinis antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Penilaian terhadap treatment yang dilakukan blinding dengan tiga tanggapan
pasien yaitu kategoris ‘percaya minyak esensial jahe, 'percaya minyak wangi jahe'
atau 'tidak tahu baik minyak esensial jahe atau minyak wangi jahe’. Pasien
tidak
mengetahui terapi yang diberikan berupa aromaterapi jahe esensial atau plasebo
terlebih dahulu dan tidak mengetahui dirinya masuk dalam kelompok kontrol
ataupun intervensi. Dalam penelitian ini meskipun tidak disebutkan siapa yang
melakukan analisis namun dijelaskan jenis uji analisis statistik apa yang
digunakan. Jenis uji analisis statistik dalam penelitian ini dilakukan secara
blinding menggunakan paired t-test.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini

valid yang dibuktikan oleh adanya randomisasi dalam pengelompokan subjek


penelitian diikuti concealment sequentially, single blinded dimana subjek penelitian
tidak mengetahui ke dalam kelompok mana subjek dialokasikan. Penelitian ini juga
menggunakan instrumen penilaian mual muntah dan kualitas hidup yang valid,
selain itu penelitian ini mempunyai karakteristik subjek yang setara antara
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
3.3.5.2 Realibility (Kemaknaan Hasil)

Analisis data menggunakan uji Anova memperlihatkan tidak ada perbedaan


signifikan skor VAS mual antara penggunaan minyak esensial jahe (ginger essential
oil) dan minyak wangi aroma jahe (ginger fragrance oil) [F(1,
58) = 1.82, P = 0.183]. Namun ada penurunan yang signifikan skor VAS mual
dengan menghirup minyak esensial jahe [F(1, 58) = 43.98, P < 0.001]. Hal yang
sama dilaporkan tidak ada perbedaan signifikan antara penggunaan minyak
esensial jahe (ginger essential oil) dan minyak wangi aroma jahe (ginger fragrance
oil) dalam menurunkan kejadian muntah [F(1,58) = 0.29, P = 0.594]. Ada perbedaan
yang signifikan dalam kejadian muntah selama periode lima hari pengobatan [F (4,
55) = 9,58, P <0,001]. Tidak ada perbedaan yang signifikan antar waktu dan
kelompok perlakuan serta antara waktu dengan urutan
pengobatan.

Dalam jurnal juga didapatkan hasil bahwa menghirup aromaterapi jahe


signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien meliputi status kesehatan
secara menyeluruh (P < 0.001), fungsi peran (P = 0.001), fatigue (P = 0.002),
mual dan muntah (P < 0.001), nyeri (P = 0.017), kehilangan nafsu makan (P <
0.001) dan konstipasi (P = 0.046). Post hoc tes menggunakan koreksi Bonferroni
menunjukkan bahwa ada perubahan yang signifikan secara statistik dari baseline
90

untuk status kesehatan global (95% CI berarti perbedaan; 4.12, 9.77, P <0,001)
terdeteksi setelah inhalasi minyak esensial jahe. Perbaikan yang signifikan dari
baseline untuk fungsi peran yang dicatat pada kedua kelompok;. minyak esensial
jahe (95% CI berarti perbedaan; 3,08, 16,92, P = 0,002) dan minyak wangi jahe
(95% CI berarti perbedaan ;. 1.96, 14.15, P = 0,006). Meski begitu, selisih skor
yang lebih baik dicatat dengan aplikasi minyak esensial jahe. Untuk skor skala
gejala kelelahan (95% CI berarti perbedaan; -10,98, -2,35, P = 0,001), mual dan
muntah (95% CI berarti perbedaan; -9,07, -2,59, P <0,001), nyeri (95% CI berarti

perbedaan; -10,16, -0,95, P = 0,013) dan kehilangan nafsu makan (95% CI berarti
perbedaan; -16,87, -5,36, P <0,001) secara signifikan dilaporkan telah berkurang
sementara pada pasien dengan minyak esensial jahe. Terakhir skor gejala sembelit
dilaporkan lebih tinggi dari nilai dasar untuk kedua kelompok tetapi perbedaan
skor itu signifikan antara awal dan setelah penggunaan minyak jahe wangi (95% CI
berarti perbedaan; 0,12, 6,55, P = 0.040 ).
Data hasil penelitian yang disajikan peneliti hanya menyajikan nilai p dan
confidence interval sehingga perhitungan secara manual terhadap nilai
kepentingan klinis seperti NNT (number need to treat) tidak bisa dilakukan. NNT
berguna untuk melihat keefektifan treatment dari penelitian ini. Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memberikan hasil yang
baik dan bermakna, efektif dan juga dapat diterima oleh pasien untuk mengelola
keluhan mual muntah akibat kemoterapi meskipun tidak menyajikan nilai
kepentingan klinis (NNT).
3.3.5.3 Aplikabilitas

Meskipun aromaterapi tidak memberikan efek pengobatan secara keseluruhan,


namun peneliti menjelaskan bahwa menghirup aromaterapi jahe
signifikan dalam
peningkatan mengurangi
kualitas intensitas
hidup pasien. mual peneliti
Menurut muntahmenghirup
serta berpengaruh dalam
aromaterapi jahe
merupakan metode yang aman, tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien,
serta mudah untuk melakukannya, dan secara klinis bermanfaat dalam
mengurangi intensitas mual dan muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker
payudara. Menurut penulis karena intervensi menghirup aromaterapi ini begitu
murah, efektif, ditoleransi dengan baik dan bebas efek samping serta tidak
menentang norma-norma budaya yang dianut oleh pasien dan keluarga, maka
hasil dari penelitian ini dapat disarankan untuk diterapkan pada pasien khususnya
pasien dengan kanker payudara yang sedang menjalani kemoterapi. Penerapan
EBN ini tidak diperlukan waktu khusus karena aplikasi EBN ini dilakukan pada
saat praktik sesuai jadwal pasien post-kemoterapi yang diberlakukan di ruangan.
Pasien diperkirakan tidak akan kesulitan karena intervensi ini dilakukam dengan
tidak mengganggu kenyamanan dan istirahat pasien.

Penerapan intervensi menghirup aromaterapi jahe di Ruang Teratai dan Anyelir 1


dan 2 RS Kanker Dharmais
Penerapan evidence based nursing dilakukan di Rumah Sakit Kanker Dharmais
Jakarta khususnya di ruang Teratai dan Anyelir. Tahapan penerapan EBN ini
meliputi :
Tahap persiapan

Pada tahap ini penulis memulai dengan mencari fenomena yang ada selama
praktik residensi, selanjutnya merumuskan masalah dengan pendekatan PICO
(Problem, Intervention, Comparation and Outcome). Kemudian melakukan
penelusuran jurnal dengan kata kunci “aromatherapy”, “ginger”, “nausea and
vomiting post chemotherapy” and “ breast cancer patient”, “randomize clinical
trial” and “randomize control trial”. Kemudian memilih 1 artikel pilihan berjudul
Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting and Health-Related Quality of Life in Women with Breast Cancer. Setelah
itu penulis melakukan konsultasi proposal EBN kepada pembimbing klinik dan
pembimbing akademik untuk mendapatkan masukan dan saran, kemudian setelah
disetujui oleh pembimbing, penulis mengajukan dan mempresentasikan proposal
EBN kepada bagian diklat, bidang keperawatan dan
medik, komite
Setelah etik dan unit dengan
itu berkoordinasi tempat unit
pelaksanaan EBN pada tanggal
tempat pelaksanaan 6 Aprilpenetapan
EBN terkait 2016.
pasien, penetapan waktu pelaksanaan EBN dan pembagian peran serta tanggung
jawab dalam sosialisasi EBN pada perawat dan pasien. Kemudian mempersiapkan
protap pelaksanaan EBN menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual
muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara. Selanjutnya
mensosialisasikan dan memberikan penjelasan kepada perawat yang terlibat
dalam perawatan pasien tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBN
3.3.6.2 Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan EBN ini diawali dengan mengidentifikasi pasien yang cocok
sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian menjelaskan kepada pasien tentang
tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBN. Pasien yang setuju terlibat dalam
pelaksanaan EBN menandatangani lembar persetujuan. Prosedur pelaksanaan ini
yaitu dengan memberikan pasien aromaterapi dengan cara mengkalungkan botol
kecil berisi aromaterapi jahe di leher pasien dan ditempatkan sekitar 20 cm dari
hidung pasien selama lima hari pada siang hari dan malam hari. Pasien diminta
menarik nafas dalam setidaknya tiga kali sehari dalam durasi 2 menit bahkan
disaat tidak muncul gejala. Penggunaan aromaterapi jahe dilakukan diantara
penerimaan kemoterapi yang pertama diikuti kemoterapi selanjutnya.
EBN menghirup minyak aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah
akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara ini dimulai sejak tanggal 28
Maret sampai 22 April 2016, sebanyak 14 pasien terlibat dalam penerapan EBN
ini. Pasien dalam penerapan EBN ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu 7 pasien
dalam grup A dan 7 pasien dalam grup B. Namun dalam pelaksanaannya hanya
12 orang yang dapat melanjutkan sampai akhir karena satu orang dari grup A
mengalami kemunduran jadwal kemoterapi karena penurunan keadaan umum
(sesak nafas) dan satu orang dari grup B jadwal kemoterapi diundur karena akan
dilakukan operasi terlebih dahulu. Penerapan EBN ini dilakukan terutama di
ruang rawat singkat Anyelir 1 dan 2 serta ruang Teratai. Gambaran karakteristik
pasien yang ikut serta dalam penerapan ebn menghirup aromaterapi jahe dapat
dilihat pada tabel 3.1, 3.2 dan 3.3 di bawah ini :
Tabel 3.1 Distribusi Pasien berdasarkan Asal, Riwayat Keluarga dengan
Kanker, Agen Kemoterapi (n=12)
No. Karakteristik Frekuensi (%)

1. Asal

Jakarta 4 (33,3)
Luar Jakarta 8 (66,7)
Total 12 (100)

2. Riwayat keluarga dengan kanker

Ya 3 (25,0)
Tidak 9 (75,0)
Total 12 (100)
3. Agen kemoterapi

FAC 11
(91,7)
FEC 1
(8,3)
Tota 12
l (100)

Dari tabel 3.1 terlihat bahwa lebih dari 50% pasien kanker payudara yang
mengikuti penerapan EBN ini berasal dari luar Jakarta. Sebesar 75% pasien
tidak mempunyai riwayat keluarga dengan kanker. Hanya satu pasien yang
menerima agen kemoterapi FEC (5-FluoroUracil, epyrubicine dan
cyclophosphamide) dan lainnya menerima agen kemoterapi FAC (5-
FluoroUracil , Doxorubicin, dan cyclophosphamide).
Tabel 3.2 Distribusi Pasien berdasarkan Umur, Tahun setelah Terdiagnosa,
Grade Kanker Payudara, Siklus Kemoterapi (n=12)
No. Karakteristik Mean±SD Median (min-maks)

1. Umur 46,67 ± 7,785 48,00 (31-57)

2. Tahun setelah terdiagnosa 1,25 ± ,452 1,00 (1-2)

3. Grade kanker payudara 2,75 ± 0,452 3,00 (2-3)

4 Siklus kemoterapi 2,75 ± 0,866 2,50 (2-4)

Dari tabel 3.2 terlihat bahwa rata-rata pasien yang terlibat dalam
penerapan EBN ini berusia 46,67 tahun dengan standar deviasi 7,785 tahun. Usia
pasien yang paling rendah 31 tahun dan yang paling tinggi 57 tahun. Rata-rata
tahun terdiagnosa kanker yaitu 1,25 tahun. Rata-rata grade kanker payudara pada
pasien adalah 2,75. Dimana grade paling rendah adalah 2 dan yang paling tinggi
adalah 3. Pasien rata-rata berada pada siklus kemoterapi 2,75. Siklus yang paling
rendah siklus ke dua dan siklus yang paling tinggi siklus ke empat.
Tabel 3.3 Distribusi Pasien berdasarkan Umur, Asal, Tahun setelah Terdiagnosa,
Riwayat Keluarga dengan Kanker, Grade Kanker Payudara, Siklus Kemoterapi
dan Agen Kemoterapi Grup A (n=6), Grup B (n=6) dan Seluruh Peserta (n=12)
Karakteristik Minyak Wangi Jahe/ Minyak Esential Jahe/ Seluruh
Minyak Esential Jahe Minyak Wangi Jahe peserta
(n=6) (n=6) (n=12)

Grup A Grup B

Umur 50,83 ± 5,231 42,5 ± 8,019 46,67 ± 7,785

20-39 3 (50,0) 3 (25,0)

40-59 6 (100,0) 3 (50,0) 9 (75,0)

60-79

Asal

Jakarta 3 (50,0) 1 (16,7) 4 (33,3)

Luar Jakarta 3 (50,0) 5 (83,3) 8 (66,7)

Tahun setelah terdiagnosa 1,33 ± 0,516 1,17 ± 0,408 1,25 ± ,452

≤ 1 tahun 4 (66,7) 5 (83,3) 9 (75,0)

≥ 1 tahun 2 (33,3) 1 (16,7) 3 (25,0)

Riwayat keluarga dengan Kanker

Ya 1 (16,7) 2 (33,3) 3 (25,0)

Tidak 5 (83,3) 4 (66,7) 9 (75,0)

Grade Kanker Payudara 2,67 ± 0,516 2,83 ± 0,408 2,75 ± 0,452

Grade I

Grade II 2 (33,3) 1 (16,7) 3 (25,0)

Grade III 4 (66,7) 5 (83,3) 9 (75,0)

Grade IV

Siklus Kemoterapi 2,83 ± 0,983 2,67 ± 0,816 2,75 ± 0,866


2 3 (50,0) 3 (50,0) 6 (50,0)

3 1 (16,7) 2 (33,3) 3 (25,0)

4 2 (33,3) 1 (16,7) 3 (25,0)

Agent Kemoterapi

Risiko Emetik Tinggi


(>90%) :

FAC 6 (100,0) 5 (83,3) 11 (91,7)

FEC 1 (16,7) 1 (8,3)

TAC

Risiko Emetik Rendah (10-30%) :

Docetaxel

Dari tabel 3.3 terlihat karakteristik untuk masing-masing grup. Grup A


seluruh pasien berusia antara 40-59 tahun, rata-rata usia pasien dalam grup A
50,83 tahun dengan standar deviasi 5,231 tahun. Sedangkan grup B 50% usia
pasien berada dalam rentang 20-39 tahun dan sisanya berusia antara 40-59 tahun.
Usia rata-rata pasien dalam grup B 42,5 tahun dengan standar deviasi 8,019
tahun.
Lima puluh persen dari grup A berasal dari Jakarta dan sisanya luar
Jakarta. Sedangkan grup B sebagian besar pasien berasal dari luar Jakarta (83,3
%) dan hanya satu pasien yang berasal dari Jakarta (16,7%). Empat orang
(66,7%) dari grup A terdiagnosa kanker ≤ 1 tahun sisanya lebih dari satu tahun
terdiagnosa kanker. Sedangkan pasien dalam grup B sebagian besar (83,3%)
terdiagnosa kanker ≤ 1 tahun, dan hanya satu orang yang terdiagnosa kanker
lebih dari satu tahun.
Hanya satu orang (16,7%) dari grup A memiliki riwayat keluarga dengan
kanker sedangkan digrup B terdapat 2 orang (33,3%) pasien yang mempunyai
riwayat keluarga dengan kanker. Dalam grup A sebanyak 66,7 % pasien berada
dalam grade III kanker payudara sisanya berada pada grade II kanker payudara.
Sedangkan pada grup B sebagian besar pasien berada dalam grade III kanker
payudara (83,3%) dan hanya satu (16,7%) yang berada dalam grade II kanker
payudara.
Siklus kemoterapi rata-rata dalam grup A yaitu 2,83 dengan standar
deviasi 0,983, dimana 3 orang sedang dalam penerimaan kemoterapi siklus ke-2,
1 orang siklus ke-3 dan 2 orang siklus ke-4. Sedangkan pada grup B rata-rata
siklus kemoterapi yaitu 2,67 dengan standar deviasi 0,816, dimana 3 orang
sedang dalam penerimaan kemoterapi siklus ke-2, 2 orang siklus ke-3 dan 1
orang siklus ke-4. Agen kemoterapi yang diterima pasien dalam grup A
seluruhnya (100%) menerima FAC dan dalam grup B hanya satu orang penerima
agen FEC dan sisanya FAC.
Uji normalitas data dilakukan pada variabel dengan skala numerik untuk
mengetahui sebaran data apakah normal atau tidak. Pemilihan uji disesuaikan
dengan besar sampel. Besar sampel dalam penelitian ini adalah 12 subjek
sehingga dilakukan uji Saphiro-wilk. Hasil uji normalitas data diketahui bahwa
semua data adalah normal (p>0,05). Hasil uji normalitas data dapat dilihat
melalui tabel 3.4 sebagai berikut :
Tabel 3.4 Uji Normalitas Data Skala Mual dan Frekuensi Muntah di RSK
Dharmais April 2016 (N=12)
Variabel Sig.
Aromaterapi Minyak Esensial Jahe (ginger essential oil)
Skala Mual Hari ,078
1 Skala Mual ,195
Hari 2 Skala ,080
Mual Hari 3 ,596
Skala Mual Hari ,099
4 Skala Mual ,087
Hari 5 ,033
Frekuensi Muntah Hari ,372
1 Frekuensi Muntah ,370
Hari 2 Frekuensi ,133
Muntah Hari 3
Frekuensi Muntah Hari
4 Frekuensi Muntah
Hari 5
Aromaterapi Minyak Wangi Jahe (ginger fragrance
oil)
Skala Mual Hari 1 ,131
Skala Mual Hari 2 ,157
Skala Mual Hari 3 ,640
Skala Mual Hari 4 ,370
Skala Mual Hari 5 ,258
Frekuensi Muntah Hari 1 ,083
Frekuensi Muntah Hari ,064
2 Frekuensi Muntah Hari ,304
3 Frekuensi Muntah Hari ,243
4 Frekuensi Muntah Hari ,785
5

Selama proses penerapan EBN, penulis tidak menemukan kendala atau


hambatan yang berarti. Kendala yang ada hanya berupa ketidakpahaman pasien

tentang manfaat pemberian aromaterapi jahe. Pada awal kegiatan ini, beberapa
klien tampak ragu-ragu untuk mengikuti penerapan EBN. Hal ini dikarenakan
perasaan takut akan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan pemberian
aromaterapi jahe. Untuk lebih meyakinkan klien dan keluarganya, maka penulis
memberikan pemahaman berulang kali tentang manfaat dari pemberian
aromaterapi jahe. Disamping itu penulis juga berkoordinasi dengan kepala ruang
perawatan dan beberapa staf perawat yang sedang bertugas pada saat
pelaksanaan EBN, untuk memberikan informasi tentang manfaat dari pemberian
aromaterapi jahe. Setelah memberikan pemahaman kepada responden dan
keluarganya, maka seluruh klien kooperatif terhadap pemberian aromaterapi jahe.
Hasil penerapan menghirup aromaterapi jahe pada pasien kanker payudara
dengan kemoterapi terlihat adanya perbedaan yang signifikan tampak pada skor
mual di hari pertama dan kedua (fase akut) penggunaan aromaterapi (p<0,05).
Skor berkurangnya skala mual pada hari pertama dan kedua pada penggunaan
aromaterapi esensial lebih besar daripada plasebo. Sedangkan pada kejadian
muntah terdapat perbedaan di hari ke-2, ke-3 dan ke-5. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 3.5 yang terdapat pada lampiran.
3.3.6.3 Tahap evaluasi
kanker
Untuk payudara yang
mengevaluasi menjalani kemoterapi
hasil penerapan digunakan Visual
menghirup aromaterapi Analogue Scale
pada pasien
(VAS). Pasien diminta menuliskan skala mual selama lima hari treatment di
dalam sebuah kartu pencatatan. Untuk muntah pasien diminta mencatat
frekuensi, durasi dan banyaknya muntah (cc) dalam lima hari penerapan.
Pencatatan dilakukan pada jam 9 pagi, jam 3 sore dan jam 9 malam tiap 24 jam
sekali selama lima hari berturut-turut.
Selanjutnya mengevaluasi keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan,
pencapaian tujuan, dan kelebihan serta kekurangan pelaksanaan EBN, kemudian
mengevaluasi kepuasan perawat dan pasien setelah pelaksanaan terapi
menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara.

3.4 Proyek Inovasi Penerapan Modified Early Warning Score (MEWS) di


IGD
3.4.1 Latar Belakang

Penggunaan MEWS sebagai alat deteksi awal terhadap perburukan kondisi pasien
masih jarang di Indonesia termasuk di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Sementara
itu berbagai penelitian menunjukkan MEWS dapat meningkatkan patient safety
dan hasil akhir perawatan serta memudahkan dalam mengkomunikasikan kondisi
pasien (Race, 2015). Analisis terhadap hasil pengkajian tanda-tanda fisiologis yang
dilakukan dalam MEWS dapat menentukan resiko perburukan kondisi pada pasien
(Keane, 2012). Hal ini sejalan dengan poin penilaian akreditasi rumah sakit dari
Joint Commision International Accreditation (JCIA) edisi 5 (New Standard) Cop.3.1
tentang deteksi dini perburukan kondisi pasien. Pada point tersebut dijelaskan
tentang perlunya pelatihan perawat untuk dapat mengenali dan berespon
terhadap perubahan kondisi pasien, serta harus dapat mencari bantuan awal
terhadap perburukan kondisi pasien.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi tenaga medis terutama perawat di
Rumah Sakit Kanker Dharmais yang memberikan pelayanan dengan budaya Pro
Care CS (Profesional, Care, Continuitas Improvement and Synergy).
Melalui budaya ini perawat dituntut untuk dapat bekerja secara profesional, peduli

terhadap semua pihak, selalu meningkatkan kompetensi diri (keterampilan dan


pengetahuan) serta mampu melakukan komunikasi yang jelas dan efektif. Oleh
karena itu diperlukan adanya suatu mekanisme yang dapat membantu perawat
dalam meningkatkan profesionalisme kerja sesuai dengan budaya Pro Care CS
terutama dalam melakukan aktivitas rutin pemantauan tanda-tanda vital fisiologis
sehingga memberikan makna yang besar untuk kondisi pasien, dan MEWS
merupakan alat bantu monitoring yang dapat digunakan perawat yang bersifat
sederhana namun sangat cepat dalam penggunaannya dan memiliki nilai
sensitivitas yang tinggi (Bradman & Maconochie, 2011). Berdasarkan hal tersebut
maka kelompok tertarik untuk mengadakan inovasi dengan menerapkan MEWS
dalam melakukan pemantauan rutin terhadap tanda-tanda fisiologis pasien
sehingga dapat mendeteksi secara awal perburukan kondisi klinis yang terjadi.
Penerapan MEWS ini diharapkan dapat memberikan makna penting terhadap

hasil pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan melakukan analisis terhadap tanda-
tanda fisiologis yang didapatkan dan melakukan tindak lanjut sesuai dengan hasil
pengkajian/monitoring yang ditemukan sehingga kejadian yang tidak diinginkan
(kondisi kegawatan, cardiac arrest) dapat dihindari.
3.4.2 Validitas dan Reliabilitas MEWS

Sebuah penelitian kohort prospektif oleh Lam, et al. (2006), menerapkan MEWS
untuk pasien yang dirawat di bangsal observasi gawat darurat rumah sakit
pendidikan. Sebanyak 427 data penerimaan pasien gawat darurat berturut-turut
dikumpulkan dari 7 Juni-4 Juli 2004. Hasil pengukuran yang didapatkan meliputi
jumlah kematian, jumlah pasien yang masuk unit perawatan intensif (ICU) dan
masuk rawat inap rumah sakit. Skor > 4 dikaitkan dengan peningkatan risiko
kematian (OR 54,4, 95% CI = 4,7-633,7), masuk ICU (OR 12,7, 95% CI = 1,1-
147,3) dan perawatan di rumah sakit (OR 9,5, 95% CI = 3,3-27,9). Dari penelitian ini
disimpulakan bahwa MEWS cocok digunakan sebagai bedside application di unit
gawat darurat dan dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko
perburukan kondisi yang membutuhkan peningkatan level perawatan meliputi
masuk rawat inap atau masuk ICU. Penelitian sebelumnya pada tahun 2001 oleh
Kruger, Rutherford dan Gemmel juga telah meneliti tentang validitas MEWS
menunjukkan
kematian (ORskor
5,4,≥95%
5 pada MEWS berhubungan
CI 2,8-10,7), dengan
masuk intensive carepeningkatan risiko
unit/ICU (OR 10,9,
95% CI 2,2-55,6), dan masuk high dependency unit (OR 3,3, 95% CI 1,2-9,2).
Penelitian ini menyimpulkan MEWS dapat diterapkan pada medical admission
unit dan dapat mengidentifikasi risiko perburukan kondisi pasien yang mana
membutuhkan peningkatan perawatan pada level yang lebih tinggi. MEWS
mungkin juga dapat digunakan sebagai triase, untuk mengindentifikasi pasien
100

dengan risiko perburukan kondisi klinis. Penelitian lain yang dilakukan So et al.
(2014) menunjukkan bahwa observasi terhadap pasien di ruang emergensi
menggunakan MEWS memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 98,3% dalam
mendeteksi perburukan kondisi pasien.
MEWS dapat diterapkan pada ruang rawat inap biasa dan cocok dijadikan
sebagai alat untuk manajemen risiko dalam mendeteksi perburukan kondisi pasien
dan mencegah keterlambatan penanganan atau kebutuhan untuk dipindah ke unit

lebih intensif (Gardner-Thorpe et al., 2006). Hal tersebut serupa dengan penelitian
Rita et al., (2008) yang melaporkan bahwa MEWS signifikan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi perburukan pasien yang dirawat di ICU. Hal tersebut
menunjukkan bahwa MEWS dapat menjadi sistem skoring yang terpercaya dan
berguna dalam situasi ICU. Sebaliknya, terdapat satu penelitian yang dilakukan
oleh Kim et al. (2015) yang hasilnya bertolak belakang dengan penelitian-
penelitian terdahulu. Penelitian ini menemukan peningkatan skor MEWS tidak
berhubungan dengan kematian pada pasien rawat inap, sehingga monitoring
menggunakan MEWS sendiri tidak cukup untuk memprediksi terjadinya cardiac
arrest.
Analisis Situasi

Penulis menyusun pendekatan dengan analisis SWOT dalam mengembangkan


inovasi MEWS (Modified Early Warning Score) untuk meningkatkan
profesionalisme dalam melakukan deteksi dini perburukan kondisi pasien sebagai
berikut :
Strength (Kekuatan)

Merupakan atribut internal yang membantu organisasi (dalam hal ini rumah sakit)
mencapai tujuannya, antara lain : (1) RSKD merupakan RS rujukan
kankermemadai
paling nasional dengan sarana prasarana
se-Indonesia, sehingga dan SDM (sumber
menjadi tujuan daya
bagi manusia) yang
pasien untuk
mendapatkan penanganan kanker yang dideritanya; (2) RSKD selalu
mengutamakan pelayanan prima dengan dilengkapi fasilitas kesehatan yang
memadai dan canggih serta layanan yang unggul seperti poli luka, poli paliatif dan
unit deteksi dini yang dapat menunjang pelayanan kesehatan, (3) RSKD berfungsi
sebagai RS pendidikan dan penelitian, mempunyai tenaga ahli dan klinikal
instruktur yang kompeten dibidangnya serta sarana prasarana yang memadai
untuk pelaksanaan proses pendidikan dan penelitian, (4) RSKD memberikan
dukungan pada staf keperawatan untuk melanjutkan pendidikan ke level S1 dan
S2, (5) RSKD menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan-pelatihan internal
training dan eksternal training secara berkesinambungan untuk staf pelaksana
keperawatan untuk pengembangan SDM, (6) RSKD telah membuka pendidikan
program spesialis perawat onkologi klinik dan rata-rata telah memiliki kepala

ruangan seorang spesialis onkologi klinik, (7) RSKD memiliki FGD ( Focus Group
Discussion) dalam bentuk FIG (Focus Interest Group) yang setiap bulannya
mengadakan pertemuan untuk memberikan informasi perkembangan
keperawatan onkologi, (8) RSKD juga bekerjasama dengan berbagai institusi yang
ada di dalam negeri maupun luar negeri yang mengutamakan aspek kontrol
kualitas dan asuransi sehingga keselamatan pasien terjamin, (9) RSKD memberikan
kesempatan pada mahasiswa residensi untuk sharing ilmu kepada staf perawat di
ruangan dalam bentuk siang klinik, (10) Perawat ruangan rata-rata berusia muda,
produktif, dan bersemangat terhadap ilmu baru, (11) RSKD bekerjasama dengan UI
untuk pelaksanaan program residensi mahasiswa S2 FIK UI untuk peminatan
onkologi, (12) Pemantauan tanda-tanda vital fisiologis telah dilakukan oleh semua
perawat ruangan, (13) Telah terdapat tim emergensi pada setiap lantai di ruang
rawat inap
3.4.3.2 Weakness (Kelemahan)

Merupakan atribut internal yang membahayakan bagi organisasi dalam mencapai


tujuannya, antara lain: (1) Beban kerja perawat ruangan cukup tinggi dengan
tingkat ketergantungan pasien parsial total, permasalahan kompleks pada pasien
yang hampir sebagian besar masuk stadium lanjut, (2) Ketidakjelasan
standar
konseptatalaksana pemantauan
baru yang belum dikenalpenurunan kondisi pasien,
dan dapat mengganggu (3) nyaman
zona MEWS merupakan
perawat
dengan keharusan menganalisis hasil pemantauan TTV dengan tindak lanjutnya.

3.4.3.3 Opportunities (Kesempatan)


Merupakan faktor eksternal yang membantu organisasi untuk mencapai
tujuannya antara lain: (1) Mahasiswa residensi keperawatan yang praktik di
RSKD memiliki program inovasi keperawatan dalam kurikulum pendidikannya,
memberikan kesempatan bagi RS untuk meningkatkan profesional staf
perawatnya melalui deteksi dini perburukan kondisi pasien dan pencegahan
terhadap cedera dan kesalahan atau kelalaian, (2) Adanya program akreditasi RS,
KARS maupun JCIA dimana diperlukan ketrampilan staf perawat dalam
memberikan pelayanan emergency melalui skrining pasien baru di IGD dan
memberikan prioritas pengkajian dan pengobatan, (3) Dukungan manajemen
terhadap pengembangan pelayanan keperawatan.
3.4.3.4 Threats (Ancaman)

Merupakan faktor eksternal yang membahayakan organisasi mencapai tujuannya,


antara lain : (1) Banyak RS lain baik pemerintah dan swasta yang memberikan
pelayanan kanker, (2) Undang-undang perlindungan konsumen untuk memberikan
pelayanan yang bermutu termasuk pelayanan yang berkualitas pada pasien dan
keluarga.
Hasil analisa SWOT ini digunakan untuk merumuskan strategi sehingga dapat
diperoleh keunggulan dalam persaingan dan memiliki kualitas pelayanan yang
sesuai dengan keinginan pasien serta mendapatkan dukungan yang optimal dari
sumber daya yang ada. Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan
dengan pengambilan misi, tujuan dan kebijakan rumah sakit. Dengan demikian
perencanaan strategi harus menganalis faktor-faktor yang ada di rumah sakit.
Tujuan perlunya identifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi serta kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki rumah sakit yaitu untuk menelaah lingkungan rumah
sakit dan potensi sumber daya rumah sakit untuk menetapkan sasaran dan
merumuskan strategi rumah sakit yang realistis dalam mewujudkan misi dan
visinya. Analisis SWOT pada rumah sakit juga digunakan untuk
membenarkan faktor-faktor
dianalisis. Apabila internal dan
terdapat kesalahan, agar eksternal rumah
rumah sakit sakit yang
itu berjalan dengantelah
baik
maka rumah sakit tersebut harus mengolah untuk mempertahankan serta
memanfaatkan peluang yang ada secara baik begitu juga pihak rumah sakit harus
mengetahui kelemahan yang dihadapi agar menjadi kekuatan serta mengatasi
ancaman menjadi peluang. Faktor eksternal adalah faktor lingkungan luar rumah
sakit baik langsung maupun tidak langsung. Faktor eksternal ini dapat berdampak
positif ataupun negatif bagi rumah sakit, artinya ada yang memberikan peluang
dan sebaliknya ada yang memberikan ancaman. Faktor internal adalah lingkungan
yang berada dari dalam rumah sakit itu sendiri. Faktor inilah yang menunjukkan
adanya kekuatan atau kelemahan rumah sakit itu sendiri, baik yang sudah lampau,
kini maupun yang akan datang.
3.4.4 Tahapan Inovasi Modified Early Warning Score (MEWS)
Kegiatan inovasi ini dilakukan pada bulan April 2016, kegiatan dalam

tahapan inovasi ini meliputi tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Rangkaian
kegiatan secara umum dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan yang ada
diruangan perawatan, menentukan kegiatan inovasi yang akan dilakukan,
menyusun proyek inovasi, melakukan konsultasi dengan pembimbing akademik
dan pembimbing klinik, melakukan presentasi dan sosialisasi di bidang
keperawatan, mengimplementasikan dan mengevaluasi proyek inovasi. Proyek ini
dilakukan dalam tiga tahapan yaitu :
3.4.4.1 Tahap Persiapan

Pelaksanaan program inovasi diawali dengan pengidentifikasian masalah, dikaitkan


dengan kebutuhan dan keinginan perawat pada khususnya dan RS pada umumnya,
dengan melihat sarana prasarana serta SDM yang tersedia di lahan. Berdasarkan
hasil observasi, RS Kanker Dharmais merupakan RS rujukan kanker nasional
sehingga pasien rata-rata adalah pasien rujukan dari daerah dengan kasus yang
kompleks, kondisi yang beragam dan ekspektasi yang tinggi terhadap hasil akhir
pengobatan ataupun pelayanan kesehatan. Oleh karena itu diperlukan perawat
dengan kemampuan yang profesional dalam melakukan pengkajian dan deteksi
dini terhadap penurunan kondisi pasien sehingga dapat memenuhi harapan
pasien/keluarga terhadap pelayanan. Untuk itu kelompok mempunyai gagasan
untuk melakukan inovasi berupa Modified Modified early warning score.

Selanjutnya kelompok melakukan konsultasi dengan pembimbing


akademik maupun klinik tentang gagasan tersebut untuk mendapatkan
persetujuan. Setelah mendapat persetujuan baik dari pembimbing klinik maupun
akademik, selanjutnya kelompok menyusun proposal inovasi tersebut.
Penyusunan proposal inovasi memuat Bab 1 Pendahuluan, Bab 2 Tinjauan
Teoritis, Bab 3 Telaah Inovasi dan Bab 4 Penutup. Dalam penyusunan proposal
kelompok melakukan studi literatur melalui proquest, ebscohost, sciendirect,
scopus, guidline, evidence, MEDLINE, dan pubmed. Selanjutnya proposal yang
telah disusun dan disetujui disosialisasikan pada hari Rabu tanggal 6 April 2016
untuk mendapatkan kritik dan saran terkait rencana inovasi. Sosialisasi dengan
mengundang bidang keperawatan, pembimbing klinik, supervisor, dan perwakilan
setiap ruangan rawat inap. Kelompok mempresentasikan rencana kegiatan inovasi
dengan materi latar belakang proyek inovasi, fungsi dan keuntungan

menggunakan sistem skoring MEWS, sitem skoring dan algoritma MEWS, rencana
implementasi dan rencana evaluasi. Dalam penyajian kelompok mendapatkan
kritik dan saran yang selanjutnya dilakukan revisi proposal inovasi dan konsultasi
ulang terkait revisi yang dilakukan kemudian melaksanakan proyek inovasi sesuai
dengan proposal di ruang IGD RSK Dharmais.
Tahap Pelaksanaan

Adapun rencana pelaksanaan proyek inovasi ini adalah: (1) Menentukan tempat
pelaksanaan inovasi yaitu ruang IGD sebagai pilot project, (2) Mensosialisaikan
proyek rencana inovasi kepada bidang keperawatan, Memberikan pelatihan awal
tentang MEWS pada perawat IGD dan dilaksanakan selama 1 hari dengan metode
pemberian materi dan role play pada tanggal 11 April 2016. Pelatihan dilakukan
diruang IGD RSKD. Selanjutnya melakukan ujicoba penerapan MEWS pada semua
pasien yang masuk IGD. Uji coba dilaksanakan selama 2 minggu yaitu hari Senin-
Jumat (minggu kedua sampai minggu ketiga bulan April 2016) pukul 08.00-16.00
WIB.
Tahap Evaluasi

Evaluasi dilaksanakan pada minggu ke empat bulan April. Point evaluasi berupa
tingkat kepuasan perawat terhadap MEWS, tingkat kemudahan
penggunaan chart MEWS
Evaluasi dilakukan dan kemampuan
oleh mahasiswa analisismenggunakan
residensi dengan hasil pengukuran TTV.dan
kuesioner
lembar observasi terhadap perawat IGD. Kuesioner terlampir

3.4.5 Penerapan Inovasi Modified Early Warning Score (MEWS) di IGD


Uji coba penggunaan Modified Early Warning System (MEWS) di IGD
RSKD dilaksanakan pada tanggal 11-22 April 2016, hari Senin-Jumat. Sedangkan
evaluasi sebagai respon perawat terhadap penggunaan MEWS selama 2 minggu
tersebut dilakukan pada minggu ketiga April 2016 dengan menggunakan
kuesioner yang dimulai sejak tanggal 21-22 April 2016. Total pasien yang
diikutsertakan dalam pilot project ini berjumlah 49 orang. Berikut dipaparkan
karekteristik pasien yang diikutsertakan dalam pilot project sesuai dengan point-
point penilaian yang terdapat dalam grafik MEWS. Gambaran karakteristik pasien
yang ikut serta dalam pilot project dapat dilihat pada tabel 3.5, sebagai berikut :
Tabel 3.5 Distribusi Pasien berdasarkan Jenis Kelamin, Diagnosis Medis dan Skor
Awal MEWS (N=49)
No Karakteristik Frekuensi (%)
1 Jenis kelamin
Laki-laki 10 (20,4)
Perempuan 39 (79,6)
Total 49 (100)
2 Diagnosis medis
Ca mamae 17 (34,7)
Ca servik 7 (14,3)
AML 4 (8,2)
Ca paru 4 (8,2)
Ca regio colli 2 (4,1)
SIDA+TB 2 (4,1)
SIDA 1 (2,0)
ALL 1 (2,0)
Ca lidah 1 (2,0)
Ca ovarium 1 (2,0)
Ca tiroid 1 (2,0)
Ca caput pankreas 1 (2,0)
Ca mastoid 1 (2,0)
Ca proksimal humerus 1 (2,0)
KNF 1 (2,0)
Limfoma maligna hodgkin 1 (2,0)
Multiple mieloma 1 (2,0)
Sarcoma 1 (2,0)
Tumor otak 1 (2,0)
Total 49 (100)
3 Skor awal MEWS
Low 27 (55,1)
Medium 11 (22,4)
High 11 (22,4)
Total 49 (100)
Dalam tabel 3.5 terlihat sebagian besar pasien yang ikut dalam proyek
inovasi berjenis kelamin perempuan yakni 39 orang (79,6%). Ada 19 macam
diagnosa medis yang mengikuti penerapan proyek inovasi dan diagnosa medis
yang paling banyak berkontribusi diantara 19 macam dignosa medis tersebut
adalah kanker payudara dengan jumlah 17 orang (34,7%). Skor awal pasien yang
mengikuti proyek MEWS ini terbanyak muncul pada tingkat low level yaitu 27
orang (55,1%).
Untuk distribusi pasien berdasarkan usia dan skor awal MEWS dapat
dilihat pada tabel 3.6 berikut ini :
Tabel 3.6 Distribusi Pasien berdasarkan Usia (n=49)
Karakteristik Mean±SD Median (min-mak) 95% CI
Usia 46,14 ± 11,04 49 (25-75) 42,97-49,31
Skor awal MEWS 4,04 ± 2,79 3 (1-14) 3,24 – 4,84

Dari tabel 3.6 terlihat rata-rata pasien berusia 46,14 tahun dengan standar deviasi
11,04 tahun. Pasien paling muda berusia 25 tahun dan paling tua berusia 75 tahun.
Untuk rata-rata skor MEWS awal yang teridentifikasi yaitu 4,04 dengan standar
deviasi 2,79 dimana skor yang paling rendah diperoleh yaitu 1 dan skor yang paling
tinggi diperoleh yaitu 14.
Distribusi pasien berdasarkan nilai kritis hasil laboratorium dapat dilihat pada tabel
3.7 berikut ini :
Tabel 3.7 Distribusi Pasien berdasarkan Critical Value Hasil Laboratorium
No Karakteristik Frekuensi (%)
1 Nilai laboratorium
Hemoglobin
Nilai kritis 6 (12,2)
Nilai aman 28 (57,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 15 (30,6)
Total 49 (100)
2 Leukosit
Nilai kritis 6 (12,2)
Nilai aman 28 (57,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 15 (30,6)
Total 49 (100)
3 Trombosit
Nilai kritis 3 (6,1)
Nilai aman 31 (63,3)
Tidak dilakukan pemeriksaan 15 (30,6)
Total 49 (100)
4 ANC
Nilai kritis 5 (10,2)
Nilai aman 11 (22,4)
Tidak dilakukan pemeriksaan 33 (67,3)
Total 49 (100)
5 D-dimer
Nilai kritis 5 (10,2)
Nilai aman 0 (0)
Tidak dilakukan pemeriksaan 44 (89,8
Total 49 (100)
6 Natrium
Nilai kritis 2 (4,1)
Nilai aman 27 (55,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 20 (42,8)
Total 49 (100)
7 Kalium
Nilai kritis 1 (2)
Nilai aman 28 (57,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 20 (40,8)
Total 49 (100)
8 Glukosa darah sewaktu
Nilai kritis 0 (0)
Nilai aman 22 (44,9)
Tidak dilakukan pemeriksaan 27 (55,1)
Total 49 (100)
Tabel 3.7 memperlihatkan jenis pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
pasien. Pemeriksaan hematologi rutin dilakukan pada 34 orang pasien dan
ditemukan 6 orang memiliki nilai kiritis untuk hemoglobin (≤ 6 g%; diagnosa medis:
1 carsinoma servik, 1 ALL, 1 carsinoma mamae, 1 multiple mieloma, dan 3 AML)
dan 6 orang dengan nilai kritis leukosit (< 2.10 3μL atau > 50.103μL; diagnosa medis:
1 carsinoma servik, 3 carsinoma mamae, dan 2 AML ) serta 3 orang memiliki nilai
kritis untuk trombosit (≤ 20.103μL; diagnosa medis: 1 multiple mieloma, dan 2
AML). Pemeriksaan ANC dilakukan pada 16 orang pasien dan ditemukan 5 orang
(diagnosa medis: 3 carsinoma mamae dan 2 AML) memiliki nilai kritis (< 1,5.10 3μL),
sedangkan pemeriksaan D-dimer dilakukan terhadap 5 orang pasien (diagnosa
medis: 3 carsinoma mamae, tumor otak dan

ALL) dan semuanya memiliki nilai kiritis (> 500 ng/ml). Pemeriksaan elektrolit
dilakukan pada 29 orang pasien dan ditemukan 2 orang memiliki nilai kritis untuk
kadar elektrolit natrium (< 120 mmol/L; diagnosa medis sarcoma dan carsinoma
mamae) dan 1 orang untuk elektrolit kalium (< 2,8 mmol/L; diagnosa medis
sarcoma). Sedangkan untuk pemeriksaan glukosa darah sewaktu dilakukan pada
22 orang pasien dan semuanya tidak memiliki nilai kritis (masih berada dalam
rentang 40-400 mg/dL).
3.4.6 Hasil Evaluasi Perawat terhadap Penggunaan MEWS
Dalam penerapan MEWS ini ada sekitar 10 perawat yang mencoba
pengisian grafik MEWS namun pada saat evaluasi hanya ada 5 perawat yang
berkontribusi di dalamnya. Berikut data distribusi perawat yang ikut dalam
pengisian form evaluasi penggunaan MEWS :
Tabel 3.8 Distribusi Perawat berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan
Jabatan
No. Karakteristik Frekuensi (%)

1. Jenis Kelamin

Laki-laki 3 (60,0)

Perempuan 2 (40,0)

Total 5 (100)

2. Tingkat Pendidikan

Diploma III 4 (80,0)

Strata II 1 (20,0)

Total 5 (100)

3. Jabatan

Perawat Pelaksana 4 (80,0)

Kepala Ruangan 1 (20,0)

Total 5 (100)

Tabel 3.9 Distribusi Perawat berdasarkan


No. Karakteristik
Umur Mean±SD Median (min-maks)

1. Umur 33,8 ± 4,2 33,0 (26-42)

Dari tabel 3.8 terlihat 60% perawat berjenis kelamin laki-laki, 80%
pendidikan Diploma III dan 80% perawat pelaksana. Sisanya berjenis kelamin
perempuan 40%, tingkat pendidikan Strata II 20% dan 20% sebagai kepala ruang.
Sedangkan pada tabel 3.9 rata-rata perawat berusia 33,8 tahun dengan usia
terendah 26 tahun dan tertua 42 tahun.
Untuk evaluasi tingkat kepuasan perawat terhadap penggunaan MEWS di
IGD selama masa uji coba 2 minggu dapat dilihat pada tabel 3.10 sebagai berikut :

Tabel 3.10 Distribusi Frekuensi Kepuasan Perawat dalam Penggunaan MEWS


STS
No Pernyataan TS S SS
(%) (%) (%) (%)
Prosedur MEWS lebih mudah digunakan dalam 0 60 40
1 monitoring kegawatan kondisi pasien 0
Prosedur MEWS membuat kerja saya lebih 0 60 40
2 sistematisdan terstandar 0
Penerapan MEWS memudahkan sayadalam 0 60 40
3 mengidentifikasi kondisi kegawatan pada pasien 0
MEWS memudahkan keteraturan pemantauan 20 40 40
4 kondisi pasien dari waktu ke waktu 0
Penerapan MEWS membantu dan memudahkan 0 80 20
5 clinical judgement dan penanganan tindak lanjut 0
Grafik MEWS mudah dalam pengisian dan tepat 0 80 20
6 guna 0
Sistem MEWS telah mewakili kebutuhan 0 60 40
7 pengkajian dan pemantauan kondisi kegawatan 0
Penerapan MEWS memudahkan kolaborasi dalam
8 melakukan penatalaksanaan terhadap kondisi 0 0 60 40
pasien
Sistem MEWS membantu komunikasi yang 0 60 40
9 efektif sesame kolega tentang kondisi pasien 0
Sistem MEWS dapat mencegah perburukan 20 40 40
10 kondisi pasien 0

Secara umum evaluasi tingkat kepuasan perawat dijabarkan sebagai


berikut:
3.4.6.1 Evaluasi Tingkat Kepuasan Perawat
Sebagian besar perawat menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa
prosedur MEWS membuat kerja perawat lebih sistematis dan terstandar, selain itu
perawat juga setuju dengan sistem MEWS yang telah mewakili kebutuhan
pengkajian dan pemantauan kondisi kegawatan. Melalui pelaksanaan MEWS,
sebagian besar perawat menyatakan bahwa sistem ini membantu mengenal dan
110

mencegah kondisi perburukan pasien serta mencegah blue code serta algoritma
MEWS dirasakan cukup sistematis.
3.4.6.2 Evaluasi Tingkat Kemudahan Penggunaan MEWS
Sebagian besar perawat menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa : (1)
Prosedur MEWS lebih mudah digunakan dalam monitoring kegawatan kondisi
pasien, (2) Prosedur MEWS memudahkan perawat dalam mengidentifikasi
kondisi kegawatan pada pasien, (3) Penerapan MEWS membantu dan

memudahkan clinical judgement dan penanganan tindak lanjut, (4) Grafik MEWS
mudah dalam pengisian, (5) Penerapan MEWS memudahkan kolaborasi dalam
melakukan penatalaksanaan terhadap kondisi pasien, (6) Sistem MEWS membantu
komunikasi yang efektif tim mutidisiplin yang lain tentang kondisi pasien.
Beberapa perawat sebelumnya telah mengenal Early Warning Score dari seminar
dan workshop Blue Code di Rumah Sakit lain. Namun karena sistem ini merupakan
hal baru yang diujicobakan di RS Kanker Dharmais, terdapat perawat yang
menyatakan belum terbiasa menerapkan MEWS. Melalui hasil evaluasi kuesioner
ini juga didapatkan opini perawat IGD bahwa:
Sebagian besar perawat menyatakan sistem MEWS cocok digunakan di IGD jika: (1)
Tenaga kesehatan yang tersedia memadai (perawat menyatakan bahwa pada
situasi tertentu perbandingan antara jumlah perawat dengan pasien adalah 3:25,
(2) Sarana dan prasarana mendukung (bed side monitor jumlahnya memadai serta
kecepatan waktu dari laboratorium dalam mengeluarkan critical value.
Ketersediaan bed side monitor ada 3 buah, tetapi hanya 1 buah bed side monitor
saja yang dirasa cukup akurat bila dilakukan double check pengukuran manual
meskipun telah melalui kalibrasi berkala.
Algoritme MEWS jelas dan dapat dimengerti tetapi belum realistis untuk
dilaksanakan terutama algoritma monitoring tiap 15-30 menit pada kategori
high risk. Hal ini terkait situasi dan kondisi IGD meliputi tenaga, sarana dan
prasarana yang dirasa belum memadai bila bed occupied terisi penuh atau
bahkan ekstra bed. Perawat IGD menyarankan untuk meninjau ulang
algoritma MEWS bila perlu dimodifikasi ulang dan disesuaikan dengan
realita di IGD RS Kanker Dharmais agar mampu laksana.
c. MEWS pada pasien kanker berbeda dengan pasien yang non kanker, sehingga
harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan parameter MEWS
yang tepat untuk kasus kanker.
d. Inovasi MEWS sangat bagus dan berguna bagi seluruh perawat.
e. Chart MEWS disarankan dimodifikasi ulang formatnya menjadi lebih simpel
satu flowsheet saja mencakup seluruh aktivitas perawat.

Kendala dalam Pelaksanaan Pilot Project MEWS

Secara umum pelaksanaan pilot project MEWS berjalan dengan cukup baik. Namun
terdapat beberapa hal yang dirasa cukup mengganggu, diantaranya terkait dengan
waktu hasil print out pemeriksaan laboratorium pada pasien yang lama dan
terbatasnya fasilitas seperti bedside monitor. Lamanya waktu untuk mendapatkan
hasil pemeriksaan laboratorium menghambat proses identifikasi kegawatdaruratan
onkologi yang mungkin terjadi pada pasien. Sedangkan fasilitas yang terbatas
seperti sedikitnya jumlah bedside monitor menyebabkan durasi pemantauan
dalam jangka waktu singkat pada kategori high risk dilakukan secara manual
sehingga dirasa cukup memberatkan kerja perawat. Selain itu beberapa point
pengukuran seperti urine output dan jumlah perdarahan sedikit, menimbulkan
kesulitan dalam hal cara pengukuran yang tepat sehingga sulit diperoleh hasil yang
akurat.
Rekomendasi untuk Pengembangan Lebih Lanjut

Dalam penggunaan MEWS ini perlu : (1) Dilakukan peninjauan ulang terhadap
kategori-kategori yang di-skor pada MEWS termasuk dengan rentang nilainya
sehingga cocok untuk pasien kanker di Indonesia. Begitu juga dengan algoritme
penatalaksanaan dan frekuensi monitoring sehingga sesuai dengan
kemampuan tata laksana perawat di lapangan. Peninjauan ulang ini membutuhkan

penelitian berkelanjutan untuk memperoleh data yang akurat sesuai dengan


kondisi pasien kanker di RSKD, sehingga outcome akhirnya diharapkan terbentuk
suatu sistem early warning khusus untuk pasien kanker (draf alur rencana
pengembangan MEWS khusus onkologi terlampir), (2) Dukungan penambahan
tenaga atau sarana dan prasarana yang menunjang (seperti bedside monitor atau
alat penimbang) sehingga dalam pelaksanaan monitoring kondisi pasien
mengunakan MEWS tidak menambah beban kerja bagi perawat.

BAB 4
PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis melakukan analisis terhadap laporan kasus kelolaan utama,
30 kasus kelolan, penerapan EBN, dan proyek inovasi yang telah dilaporkan pada
bab 3. Pembahasan ditulis dengan menggunakan teori dan konsep serta bukti-
bukti ilmiah terkini dalam menjelaskan aplikasi teori dan konsep keperawatan
sebagai pendekatan pada pemberian asuhan keperawatan kasus kelolaan,
penerapan EBN, dan proyek inovasi.
Analisa Kasus Kelolaan Utama
Pengkajian Kasus Kelolaan Utama

Ny. S berusia 40 tahun, selain sebagai ibu rumah tangga, pasien juga bekerja
sebagai karyawan swasta di suatu perusaahan. Ny. S dalam bekerja selain
didalam perusahaan juga bekerja di lapangan atau sebagai pekerja lepas. Pasien
didiagnosa kanker payudara sejak tahun 2013. Menurut hasil biopsi tanggal
7/12/2013 : invasive carcinoma, no special type (NST) grade IIIB. Karsinoma
invasif tipe khusus (NST) juga dikenal sebagai karsinoma duktal invasif.
Karsinoma duktal invasif merupakan tipe paling umum dari karsinoma payudara.

Secara histologist, jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk
bulat sampai polygonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada
tepi tumor, tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar seperti
sarang, kawat atau seperti kelenjar. Grade IIIB berarti benjolan dengan berbagai
ukuran, dan kemungkinan kanker telah menyerang dinding dada atau kulit
payudara dengan bukti pembengkakan, peradangan, atau borok (seperti kasus
kanker payudara inflamasi). Kanker payudara juga mungkin telah menginvasi
hingga 9 kelenjar getah bening di dekatnya (Burstein, Polyak & Wong, 2004).
Grade IIIB juga dapat diklasifikasikan melalui TNM klinis yaitu T4 N apa saja
M0 atau T apa saja N3 M0. T4 adalah berapapun ukuran tumor, menyebar
langsung ke dinding thoraks atau kulit (dinding toraks termasuk tulang iga, m.
interkostalis, m. seratus anterior tidak termasuk m. pektorales). N3 adalah
metastasis kelenjar limfe infraklavikular ipsilateral, atau bukti klinis menunjukkan

terdapat metastase kelenjar limfe mamaria interna dan metastasis kelenjar limfe
aksilar. MO adalah tidak ada metastase jauh, T apa saja adalah ukuruan tumor
dapat berada di ukuran berapa saja dan N apa saja adalah metastasis dapat terjadi
di kelenjar limfe mana saja (Desen, 2011). Hasil biopsi tanggal 9/7/2014 : sediaan
mastektomi tidak mengandung sisa massa tumor. Metastase karsinoma payudara
pada 12 dan 14 kelenjar getah bening. Saat ini pasien didiagnosa kanker Mamae
bilateral dan Efusi Pleura metastase paru hepar, brain dan tulang
(TXN3bM1/Tumor primer telah direseksi, metastase kelenjar limfe mamaria
interna, dan aksilar, serta ada metastasis jauh). Hasil pemeriksaan penunjang Ny. S,
foto thorak tanggal 29/1/2016 segmental atelektasis lobus superior kanan, stqa;
bronkophneumonia stqa, dan efusi pleura bilateral stqa; sedangkan hasil USG
toraks tanggal 18/2/2016 efusi pleura bilateral (pleura kanan 292 ml kiri 608 ml).
Menurut keterangan klien dan keluarga pasien mempunyai keluhan sesak sudah 2
bulan sebelum masuk rumah sakit bertambah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mengatakan selain sesak nafas, dada nyeri skala 5 dan meningkat
menjadi 8 bila batuk. Nyeri berlangsung ± 3 menit.
Berdasarkan hasil pengkajian pasien terdiagnosa kanker payudara disertai efusi
pleura dan berdampak pada keluhan sesak nafas pasien. Efusi pleura secara
pleura (Giuseppe
konvensional Lombardi,
didefinisikan Maria,
sebagai Milena, cairan
akumulasi Pasquale, Maurizia,
abnormal Andrea,
di dalam Davide,
rongga
Martin & Vittorina, 2012). Kehadiran dari sel-sel ganas pada cairan pleura
menetapkan diagnosis efusi pleura karena keganasan. Efusi pleura keganasan
merupakan komplikasi yang umum pada kanker metastatik. Banyak hipotesis
mengenai patogenesis efusi pleura karena keganasan pada kanker. Efusi pleura
keganasan bisa terjadi ketika sel-sel kanker menyusup ke dalam pleura,
menghalangi pembuluh limfatik, dan faktor pertumbuhan cepat, seperti faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan menyebabkan kapiler bocor (Cheng, Rodriguez, Perkett,
Rogers, Bienvenu, Lappalainen & Light, 1999). Menurut penelitian epidemiologi,
insiden efusi pleura karena keganasan diperkirakan lebih dari 150.000 kasus baru
per tahun di Amerika Serikat dan 40.000 kasus baru di Inggris (Bennett &
Maskell, 2005). Efusi pleura karena keganasan paling sering disebabkan oleh

karsinoma paru-paru (37%), kanker payudara (25%), dan ovarium (10%). Penyebab
lainnya karena keganasan dari urogenital (7%) atau saluran pencernaan (9%) dan
limfoma (10%) (Lombardi, Zustovich, Nicoletto, Donach, Artioli & Pastorelli, 2010).
Gejala yang paling umum timbul dari efusi pleura karena keganasan yaitu dyspnea,
diikuti dengan batuk, nyeri dada, kelelahan, dan penurunan berat badan (Heffner
& Klein, 2008). Adanya efusi pleura mengurangi pergerakan dinding dada dan
diafragma serta mempengaruhi volume paru-paru. Sesak napas karena efusi pleura
keganasan jika tidak diobati dapat menyebabkan memburuknya gejala dan
biasanya membaik dengan terapi thoracocentesis (Jack, 2013). Hal ini sesuai
dengan hasil pengkajian pada Ny. S yang mengeluhkan sesak nafas, batuk, nyeri
dada, kelelahan dan juga penurunan berat badan yang semula 50 kg menjadi 44 kg
selama didiagnosis kanker payudara dan efusi pleura. Keluhan sesak nafas pada
Ny. S menyebabkaan Ny. S sulit tidur, pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pernafasan cuping hidung kadang bernafas melalui mulut, ada retraksi dinding
dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak
teratur, pemeriksaan TTV didapatkan RR 28x/menit menggunakan O2 nasal kanul
5L/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 37 0C, Nadi 110 x/menit, status
ECOG performance (eatern cooperative
hanya diantara
oncology group) 3tempat tidur dan
yaitu hanya kursimelakukan
mampu lebih dariperawatan
50% dari waktu terjaga.
diri yang Pasien
terbatas,
mengatakan sesak berkurang setelah pengeluaran cairan di paru-parunya.
Hasil pemeriksaan USG toraks Ny. S tanggal 18/2/2016 adalah efusi
pleura bilateral (pleura kanan 292 ml kiri 608 ml). USG toraks dapat
mengkonfirmasi adanya efusi, karakteristik, dan jumlah efusi pleura (Mayo &
Doelken P, 2006; Roberts, Neville, Berrisford, Antunes & Ali, 2010; Koenig,
Narasimhan & Mayo, 2011). USG toraks adalah cara khusus untuk menyelidiki
ukuran kecil efusi pleura atau untuk mengidentifikasi proses patologis yang
mungkin muncul dari gambaran efusi pleura, seperti konsolidasi, kolaps, hernia
diafragma, atau timbulnya hemidiafragma (Kastelik, Alhajji, Faruqi, Teoh &
Arnold, 2009). Lebih penting bila dilakukan oleh operator yang berpengalaman,
USG toraks dapat mendeteksi kelainan tertentu yang mungkin mendasari proses
keganasan, seperti penebalan pleura lebih dari 1 cm, nodularitas pleura, atau

penebalan diafragma lebih atau sama dengan 7 mm (Qureshi, Rahman & Gleeson,
2009). Hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura Ny. S belum ada selama 3 hari
perawatan.
Selain itu Ny. S mengatakan tahun 2009 terdapat benjolan sebesar biji asam di
payudara kiri namun tidak dilakukan pemeriksaan maupun pengobatan apapun
karena tidak terasa nyeri. Tahun 2012 pasien menikah dan mempunyai anak
melalui operasi sesar. Ketika menyusui bayi satu bulan pasien menderita usus
buntu dan dilakukan operasi usus buntu dan berhenti menyusui bayinya karena ASI
tidak keluar setelah operasi. Tahun 2013 benjolan yang ada di payudara kiri
membesar dengan sangat cepat. Tahun 2014 dilakukan operasi payudara kiri di RS
Bekasi. Setelah operasi pasien dianjurkan untuk mengikuti program kemoterapi
dan sudah berjalan 2x. Dua bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan
sering sesak nafas dan aktivitas harus dibantu karena cepat merasa lelah. Pasien
juga mengatakan tidak bisa tidur terlentang dan harus dalam posisi duduk karena
sesak bertambah bila tidur terlentang.
Tanda awal dari kanker payudara adalah ditemukannya benjolan yang terasa
berbeda pada payudara, jika ditekan, benjolan ini tidak terasa nyeri maupun perih,
awalnya benjolan ini berukuran kecil semakin lama semakin membesar dan
(peau d’orange)
akhirnya ataukulit
melekat pada puting
ataususu, puting susu
menimbulkan masuk ke
perubahan dalam
pada kulit(retraksi),
payudara bila
tumor sudah membesar, muncul rasa sakit yang hilang timbul, kulit payudara
terasa seperti terbakar, payudara mengeluarkan darah atau cairan lain tanpa
menyusui, adanya ulkus, payudara sering berbau dan mudah berdarah (Hasdianah
& Suprapto, 2014). Hal ini sesuai dengan keterangan Ny. S yang mengatakan
awalnya muncul benjolan kecil yang tidak terasa nyeri namun benjolan ini
membesar dengan sangat cepat setelah Ny. S berhenti menyusui dan harus
dioperasi.
Dalam pengkajian tersebut juga didapat terkait usia pasien pada saat
menikah dan mempunyai anak, serta riwayat menyusui pasien. Berdasarkan
beberapa sumber kanker payudara sering dialami oleh wanita (Davey, 2006;
Desen, 2011; Williams & Wilkins, 2012). Beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan kanker payudara diantaranya usia, riwayat keluarga, karakteristik

reproduksi, kelainan kelenjar payudara, hormon estrogen, radiasi pengion diet dan
gizi. Pasien menikah dan mempunyai anak di usia 36 tahun (>35 tahun).
Berdasarkan usia, kehamilan pasien termasuk dalam usia tua yang menjadi faktor
risiko kejadian kanker payudara (Rasjidi, 2010). Pasien juga menyampaikan hanya
menyusui anaknya selama 1 bulan. Hal tersebut juga merupakan faktor risiko
kejadian kanker payudara dimana seseorang yang intesitas menyusuinya kurang
atau tidak menyusui berisiko terkena kanker payudara (Desen, 2011; Williams &
Wilkins, 2012; Black & Hawks, 2014).
Hasil pengkajian faktor risiko yang lain didapatkan bahwa pasien tidak mempunyai
riwayat merokok tetapi sebagai perokok pasif karena suaminya dan orang-orang di
tempat kerjanya mayoritas perokok. Merokok telah ditetapkan sebagai faktor
risiko utama untuk sejumlah kanker pada manusia, seperti kanker paru-paru,
rongga mulut, esofagus, laring, dan kandung kemih (Jha, 2009). Namun, hubungan
antara merokok dan kanker payudara masih diperdebatkan (Johnson et al., 2011;
IARC, 2012; U.S, Department of Health and Human Services, 2014). Ada juga bukti
bahwa merokok berkontribusi terhadap risiko kanker payudara pada wanita
(Johnson et al., 2011). Namun, bukti hubungan antara merokok pasif dan kanker
payudara tetap tidak meyakinkan (Johnson,
payudara
2005; telah
Johnson ditemukan
et al., berbeda antara
2011). Hubungan antara wanita
merokokpra dandan
pasif pasca
risikomenopause
kanker
(Johnson, 2005; Roddam et al., 2007; Reynolds et al., 2009; Johnson et al., 2011).
Hubungan sementara ditemukan pada wanita pra-menopause dan tidak konsisten
pada wanita pasca-menopause (Kropp, 2002; Hanaoka et al., 2005, Johnson et al.,
2011). Sebuah penjelasan untuk perbedaan ini adalah bahwa merokok memiliki
dua efek karsinogenik dan anti-estrogenik (IARC, 1986; Slattery et al., 2008.),
Dan kerentanan genetik mungkin terlibat dalam kedua karsinogenik atau jalur
yang terkait estrogen, akibatnya mempengaruhi kinerja efek karsinogenik dan
efek anti-estrogenik (Johnson, 2005). Karsinogen seperti hidrokarbon polisiklik
aromatik (polycyclic aromatic hydrocarbons/PAH), amina aromatik, N-
nitrosamin, dan spesies oksigen reaktif yang ada dalam asap tembakau mengarah
pada pembentukan adduct DNA, dan menyebabkan kerusakan satu atau dua
rangkaian DNA (Friedberg, 2006). Kerusakan DNA yang disebabkan oleh bahan

kimia beracun dalam asap mengaktifkan satu set kompleks jalur perbaikan DNA
(Hoeijmakers, 2001; Hao et al., 2004; Stern et al., 2007). Asap tembakau yang
berasal dari lingkungan juga lebih cepat diserap ke dalam darah dan sistem limfe
(IARC 1986 on Slattery et al., 2008). Sejumlah besar studi epidemiologi lain telah
meneliti hubungan antara rs2234693 dan risiko kanker payudara, dan beberapa
dari mereka telah melaporkan bahwa hal itu adalah terkait dengan kerentanan
kanker payudara (Li et al., 2010). Mengingat efek anti-estrogenik dari merokok,
ESR1 rs2234693 dipertimbangkan menjadi pengubah genetik lain. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa merokok pasif dikaitkan dengan peningkatan
risiko kanker payudara di kalangan baik pra dan pasca menopause perempuan,
sedangkan hubungan tampak bervariasi antara wanita pra dan pasca menopause
dalam arah yang berlawanan, tergantung pada genotipe rs1136410 PARP1 atau
rs2234693 ESR1 (Lu-Ying Tang et al., 2013).
Pasien menstruasi pertama kali usia 11 tahun (<12 tahun). Hal ini juga menjadi
faktor risiko kanker payudara kaitanya dengan karakteristik reproduksi (Rasjidi,
2010). Pasien belum pernah KB. Penelitian yang dilaksanakan oleh National Heart,
Lung, and Blood (NHLBI) tahun 2002 melaporkan penggunaan terapi hormon yang
kurang dari 5 tahun cenderung tidak meningkatkan risiko
lama (lebih
terkena kankerdari 10 tahun)
payudara namunmempunyai resiko
wanita yang tinggi untuk
menggunakan mengalami
terapi ini dalam kanker
waktu
payudara sebelum manopause (National Institutes of Health, 2002; Willett,
Rockhill & Hankinson, 2004). Pasien tidak mempunyai riwayat minum alkohol.
Sebuah penelitian menyebutkan wanita yang setiap hari minum 2-3 gelas alkohol
meningkatkan risiko terkena kanker mamae 21%. Risikonya tergantung jenis dan
dosis alkohol yang diminum (Fentiman, 2001; Terry, Zhang & Kabat, 2006).
Alkohol dianggap komponen dalam jalur metabolisme produksi estrogen. Jadi,
dengan meningkatkan tingkat sirkulasi estrogen, alkohol dapat meningkatkan
risiko kanker (Zhang, Lee & Manson, 2007). Terkait hal ini sangat dimungkinkan
kanker payudara pasien tidak disebabkan oleh faktor penggunaan KB maupun
konsumsi alkohol.
Salah satu faktor risiko lain yang dapat menyebabkan kanker payudara
adalah diet atau gizi (Desen, 2011). Pasien mengatakan tidak suka daging tetapi

sangat menyukai makanan instan. Karsinogen kimia seperti benzo [a] pyrene (BAP)
dan 2-amino-1-metil-6- phenylimidazo [4,5-b] piridin (PhIP) dapat berkontribusi
pada penyebab kanker yang terdapat pada makanan yang sering dikonsumsi
manusia (David, Ebbels & Gooderham, 2016). Dimungkinkan beberapa jenis
makanan yang dikonsumsi Ny. S mengandung zat-zat tambahan yang dapat
memicu pertumbuhan sel kanker. Ny. S juga mengatakan terkadang harus kerja
lapangan sehingga sering terpapar radiasi matahari dan polusi. Kelenjar payudara
relatif peka terhadap paparan radiasi. Paparan radiasi yang berlebih berisiko tinggi
menyebabkan kanker payudara (Desen, 2011)
Hasil riwayat penyakit dahulu pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, asma ataupun alergi. Hasil riwayat kesehatan keluarga pasien
mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien
ataupun penyakit kanker yang lain, demikian juga keluarga dari ibu pasien juga
tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien. Hasil anamnesa
keluarga nenek dan kakek pasien tidak diketahui karena sudah meninggal. Salah
satu faktor predisposisi dari penyakit kanker adalah faktor genetik. Faktor genetik
yang dimaksud adalah adanya mutasi pada beberapa gen yang berperan penting
dalam pembentukan kanker payudara gen yang dimaksud adalah beberapa gen
Society,
yang 2007).
bersifat Penelitian
onkogen menemukan
dan gen padamensupresi
yang bersifat wanita dengan saudara
tumor primer
(American seperti
Cancer
ayah/ibu, saudara perempuan ayah/ibu, kakak/adik yang menderita karsinoma
mamae, probabilitas terkena karsinoma mamae lebih tinggi 2-3 kali dibanding
wanita tanpa riwayat keluarga dengan karsinoma mamae (Webb, 2002 & Dennis
2009). Pada wanita dengan mutasi gen BRCA-1 atau BRCA-2 akan membawa
mutasi 50-90% pada keluarganya sehingga akan meningkatkan angka kejadian
kanker payudara dan kemungkinan perkembangan kanker payudara sebelum usia
50 tahun (Lewis, 2011). Kemungkinan faktor genetik bukan merupakan faktor
risiko kanker payudara pada Ny. S.

4.1.2 Aplikasi Teori Peaceful End of Life


Pengkajian keperawatan yang dilakukan pada Ny. S menggunakan
pendekatan teori peaceful end of life. Pendekatan teori ini sangat tepat diterapkan

pada Ny. S yang didiagnosis kanker dengan stadium lanjut. Didiagnosa dan hidup
dengan penyakit mengancam jiwa seperti kanker adalah peristiwa yang sangat
mempengaruhi beberapa aspek kehidupan individu dan bahkan membuat pasien
mengalami masalah psikologis seperti takut mati dan takut tidak mendapatkan
kesembuhan atau takut mengalami kekambuhan penyakit, serta mengalami
perubahan kualitas hidup (Kang, 1999; Schreier & Williams, 2004), selain itu juga
dapat berdampak pada gejala fisik seperti nyeri dan kelelahan (Miaskowski et al.,
2006). Masalah fisik dan psikologis yang terjadi pada pasien kanker merupakan
peristiwa yang saling terkait (Yang, Jeon, Han, Han, & Eom, 2000),
Pengobatan dan terapi yang diberikan kepada Ny. S bersifat paliatif. Tujuan dari
perawatan paliatif adalah memberikan kenyamanan dan meningkatkan kualitas
hidup pasien di akhir kehidupan (Tomey & Alligod, 2010). Kenyamanan adalah hasil
yang sangat diinginkan oleh pasien dan keluarga pasien dengan kanker, dan
karenanya merupakan tujuan penting dari proses keperawatan (Miaskowski et al.,
2006).
Pengkajian menggunakan pendekatan teori peaceful end of life dimulai dengan
wawancara riwayat kesehatan (anamnesis) serta mengamati Ny. S selama
berinteraksi. Hal tersebut sesuai dengan Black dan Hawks, (2014) yang
keperawatan
menyatakan yangpengkajian
bahwa dimulai dengan wawancara
keperawatan riwayatlangkah
merupakan kesehatan (anamnesis)
pertama proses
serta mengamati klien selama berinteraksi. Pengamatan ini akan mengarahkan
perawat pada aspek yang perlu difokuskan saat pemeriksaan fisik selanjutnya.
Selain itu menurut Ciplaskey (2014) rasa kepercayaan dan kedekatan antara
perawat dan pasien juga menjadi bagian yang penting saat melakukan pengkajian.
Dengan adanya kedekatan dan rasa saling percaya tersebut diharapkan masalah
120

pasien yang sifatnya pribadi dapat digali secara lebih mendalam. Pengkajian yang
dilakukan sesuai dengan teori peaceful end of life meliputi pengkajian nyeri,
kenyamanan, dihargai dan dihormati, kedamaian dan kedekatan dengan keluarga
atau orang yang bermakna bagi pasien (Ruland, C. M., & Moore, S. M. (1998)
dalam Alligood & Tomey 2010). Berdasarkan hasil pengkajian secara umum dan
pengkajian dengan pendekatan teori peaceful end of life, didapatkan beberapa
masalah keperawatan yang muncul pada Ny. S yaitu ketidakefektifan pola nafas,

nyeri kronis, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, ansietas,


intoleransi aktivitas dan resiko infeksi. Dalam hal ini keluhan yang paling sering
dinyatakan Ny. S adalah sesak nafas dan nyeri.
4.1.2.1 Ketidakefektifan Pola Nafas

Ketidakefektifan pola nafas adalah inspirasi/atau ekspirasi yang tidak memberi


ventilasi adekuat (Herdman & Kamitsuru, 2015). Hasil pengkajian yang menjadi
keluhan yang paling dirasakan oleh Ny. S adalah sesak nafas. Sesak nafas
merupakan pengalaman subjektif yang digambarkan sebagai kesulitan bernafas
atau suatu kesadaran yang tidak menyenangkan saat bernafas yang dapat
menyebabkan ketidakmampuan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari
(LeGrand, 2003). Sesak nafas dialami oleh 50-70% pasien terminal (Abernethy,
Currow, & Frith, 2003). Pasien biasanya mengeluhkan pernafasan yang berat, nafas
yang dangkal dan perasaan sesak nafas (Kuebler, 2002). Kelelahan dari efek sesak
nafas dapat mengganggu aktivitas sehari-hari klien. Kondisi ini bila tidak segera
ditangani akan menyebabkan klien mengalami depresi, panik, ansietas dan
insomnia (Abernethy, Currow, & Frith, 2003). Hal tersebut sesuai dengan kondisi
yang dialami Ny. S, karena sesak nafas Ny. S mengalami gangguan tidur/kesulitan
tidur (insomnia) dan hanya bisa tidur dalam posisi duduk memeluk bantal yang
mengurangi kenyamanan
mengeluhkan Ny. Slelah
cepat merasa dalambila
memenuhi kebutuhan
beraktivitas bahkantidurnya. Ny dilakukan
pada saat S juga
wawancara sehingga harus menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses
pengkajian. Skor ESAS kelelahan 7.
Gambaran foto toraks Ny. S ditemukan efusi pleura bilateral (pleura kanan
292 ml kiri 608 ml). Efusi pleura yang dialami Ny. S merupakan suatu pertanda
kondisi yang berat dengan harapan hidup kurang dari 1 tahun (Zarogoulidis,
Zarogoulidis & Darwiche, 2013). Efusi pleura sering dikaitkan dengan keganasan
seperti karsinoma paru-paru atau payudara. Namun, banyak keganasan lain yang
juga dapat mengakibatkan efusi pleura, seperti mesothelioma, ginjal, ovarium,
dan sarkoma (Porcel & Vives, 2003). Lebih dari 150.000 kasus baru efusi pleura
karena keganasan didiagnosa setiap tahun (Neragi-Miandoab, 2006). Efusi pleura
merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura baik dalam bentuk
eksudat maupun transudat (Smeltzer, 2001; Brunner & Suddarth, 2001).

Normalnya rongga pleura berisi cairan dalam jumlah relatif sedikit yaitu 0,1 – 0,2
mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsi cairan pleura adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan (Broaddus, 2009). Ny.
S memiliki berat badan 44 kg sehingga cairan efusi yang seharusnya ada pada Ny. S
adalah sekitar 4,4-8,8 cc. Adanya cairan pleura yang melebihi normal pada Ny. S
menyebabkan keluhan sesak nafas dan nyeri dada pada Ny. S. Efusi pleura
dipertimbangkan sebagai penyebab sesak napas pada pasien dengan riwayat
kanker. Kehadiran tanda-tanda fisik, seperti ekspansi paru-paru menurun, perkusi
redup, dan penurunan udara yang masuk ke dalam paru-paru, mungkin mengarah
ke diagnosis efusi pleura (McGrath & Anderson, 2011). Dalam pemeriksaan fisik
Ny. S nampak pernafasan cuping hidung, kadang bernafas melalui mulut, ada
retraksi dinding dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, pasien nampak gelisah,
pola pernafasan abnormal, nafas cepat 28x/menit meski telah menggunakan O2
nasal kanul 5ltr/menit, pasien tampak pucat sianosis, SaO2 97%, denyut nadi cepat
110x/menit dan perkusi paru yang redup.
Rontgen dada akan menjadi pilihan pemeriksaan karena dapat mendeteksi 200 ml
atau lebih dari cairan pleura (Hooper, Lee & Maskell, 2010). Selain rontgen dada,
USG toraks, Computed Tomography (CT) dan 18F-fluorodeoxy-
penilaian
glucosa pasien
(FDG), dengan efusi pleura
Positron-Emission (Heffner,
Tomography 2010).
(PET) Pada Ny.
CT dapat S telahuntuk
digunakan dilakukan
rontgen dada dan USG toraks yang menggambarkan adanya efusi pleura bilateral.
Sampling cairan pleura melalui thoracocentesis memungkinkan untuk analisis
lebih lanjut yang dapat membantu untuk mendiagnosa asal efusi pleura
keganasan. Sampel cairan pleura secara rutin dianalisis meliputi protein, LDH,
glukosa, dan pH disamping menjalani pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi
(Hooper, Lee & Maskell, 2010). Kadar glukosa cairan pleura yang rendah < 60
mg/dl dan pH < 7.35 menunjukkan kondisi yang buruk akibat efusi pleura karena
keganasan (Rodriguez & Lopez, 1999). Limfosit adalah sel yang paling sering
ditemukan, meskipun dominasi eosinofil dapat dilihat dalam sepertiga kasus efusi
pleura keganasan (Oba & Abu, 2012). Diagnostik hasil analisis sitologi dapat
setinggi 60%, terutama bila digunakan untuk mengidentifikasi adenokarsinoma
metastatik tetapi rendah pada kasus mesothelioma ganas sekitar 20%, karena pada

kasus ini sangat sulit dibedakan antara normal, reaktif, dan sel mesothelial ganas
(Husain, Colby, Ordonez, Krausz, Borczuk & Cagle, 2009). Biopsi pleura
thoracoscopic dapat dilakukan disamping melakukan pemeriksaan sitologi cairan
pleura. Hal tersebut dapat meningkatkan hasil sitologi diagnostik untuk kasus
keganasan sekitar 27% (Swiderek, Morcos, Donthireddy, Surapaneni , Jackson &
Schultz, 2010). Selama pengelolaan Ny. S, hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura
belum ada.
Pasien telah dipasang WSD pigtail kiri tanggal 10/3/2016 dan dilakukan pleurodesis
kanan tanggal 14/3/2016. WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00, 08.00,
11.00, 14.00, 17.00, 20.00 dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD
kiri diloss ganti botol tiap pagi. Kateter pigtail dapat ditempatkan di samping
tempat tidur. Kateter ini jauh lebih kecil dalam ukuran (8-12 French), dan terbuat
dari silikon, sehingga jauh lebih fleksibel dan nyaman bagi pasien. Setelah
ditentukan penempatan yang tepat dalam rongga pleura, kateter ditempatkan
secara tepat, ujung kateter melingkar untuk menguncinya dan mencegah cedera
tembus (Tsai, Chen, Lee, Cheng, Chen, Hsu & Shih, 2006). Pasien yang mengalami
efusi masif dan mengalami pendesakan pada jaringan paru, tindakan pemasangan
kateter yang menetap merupakan pilihan tindakan utama. Namun jika
adalah
tidak adapleurodesis
pendesakan(pleural sklerosis).
terhadap paru, Pada
makabeberapa pasien,
pilihan lain drainase
yang dapat cairan efusi
digunakan
pleura dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh
distorsi diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya
sering berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis
atau pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan
cairan efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Sebuah penelitian non-
randomized didapati bahwa 34 pasien yang memilih menggunakan kateter
menetap, secara signifikan lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang
mengalami rekurensi efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas hidup
dibanding 31 pasien lainnya yang memilih tindakan pleurodesis (Fysh et al.,
2012). Reddy, Ernst, Lamb dan Feller (2011) melaporkan bahwa pasien yang
memilih menggunakan kateter menetap menggambarkan tingkat keberhasilan
92% dibanding dengan pleurodesis dan untuk lama tinggal rumah sakit relatif
singkat berkisar 1,79 hari.

Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakefektifan


pola nafas (kode 00032) berhubungan dengan penurunan energi/keletihan, nyeri,
kelelahan otot-otot pernafasan pada Ny. S adalah dengan Respiratory Monitoring
(3350) dan Oxygen Therapy (3320). Respiratory Monitoring adalah mengumpulkan
dan menganalisa data pasien untuk meningkatkan kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pertukaran gas. Sedangkan Oxygen Therapy adalah pemberian
oksigen dan monitoring keefektifannya (Nursing Interventions Classification/NIC,
2013).
Tindakan utama Respiratory Monitoring yang dilakukan pada Ny. S adalah
memonitor frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, melakukan auskultasi suara
nafas, mencatat adanya suara tambahan, dan memonitor saturasi O2, serta
mengobservasi adanya tanda-tanda hipoventilasi. Hal tersebut dilakukan untuk
memantau abnormalitas kondisi klinis pasien sehingga dapat dilakukan
penatalaksanaan secara cepat dan tepat sesuai dengan data yang ditemukan pada
pasien. Intervensi selanjutnya pemberian bronkodilator melalui nebulazer:
combivent 3x/hari (06.00, 14.00, dan 22.00 WIB) dan pulmicort 2x/hari (06.00 dan
18.00 WIB) dan terapi peroral : OBH sirup 3x1 cth (04.00, 12.00, dan 20.00
WIB), capsul
sesuai racik
advise. Theofilin bronkodilator
Pemberian dan Salbutamol 3x1 membantu
dapat (04.00, 12.00, dan 20.00usaha
menurunkan WIB) nafas
pada pasien yang mengalami kesulitan bernafas (Wickam, 2002). Terapi inhalasi
membutuhkan waktu 10 sampai 15 menit dan setelah itu nebulizer harus
dibersihkan, dikeringkan dan dipasang kembali. Menghirup beberapa obat
nebulizer bisa memakan waktu hingga 45 menit atau lebih. Hal ini sangat jelas
bahwa pasien harus disiplin dan ketat dalam mematuhi waktu penggunaan
prosedur harian ini. Zat obat yang biasa digunakan untuk terapi inhalasi terdiri
albuterol, ipratropium, kromolin, budesonide, tobramycin, colistin dan rhDNAse
dornase alfa (Wolfgang, Astrid & Irene, 2006). Combivent adalah kombinasi obat
yang terdiri atas Salbutamol sulphate (Albuterol) 2.5 mg dan Ipratropium Br 0.5
mg dengan kemasan vial 2,5 ml. Dosis pemberiannya adalah 0,5-1 vial unit dosis
setiap 1 sampai 2 jam dan dilanjutkan setiap 4 sampai 6 jam melalui rute inhalasi
(nebulisasi). Kombinasi antara inhalasi β2–agonis (Salbutamol) dan antikolinergik

(ipatropium) dipercaya dapat memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik


(GINA, 2011). Salbutamol (Albuterol) dan ipratropium adalah bronkodilator yang
mengendurkan otot-otot di saluran nafas dan meningkatkan aliran udara ke paru-
paru. Garrett, Town dan Rodwell P (1997), melaporkan peningkatan signifikan
penggunaan kombinasi albuterol dan ipratropium dibandingkan dengan albuterol
saja dalam perubahan respon volume ekspirasi maksimal pada orang dewasa
dengan asma yang dirawat di unit gawat darurat. Dalam sebuah penelitian serupa,
Rodrigo GJ dan Rodrigo C. (2000) melaporkan peningkatan signifikan spirometri
dengan penambahan dosis tinggi ipratropium untuk albuterol. Sepuluh penelitian
meta-analisis yang membandingkan penggunaan antara albuterol saja dan
albuterol ditambah ipratropium, ada 7,3% (100 ml) perbaikan volume ekspirasi
maksimal dengan albuterol ditambah ipratropium, terutama di penderita asma
sedang sampai berat (Stoodley, Aaron, Dales, 1999). Manfaat menggabungkan
albuterol dan ipratropium adalah untuk mencapai bronkodilatasi maksimal (Arthur
et al., 2008).
Pulmicort berisi budesonide yang merupakan kortikosteroid. Budesonide
mencegah pelepasan zat dalam tubuh yang menyebabkan peradangan. Informasi
resep untuk Pulmicort inhalasi suspensi (merek budesonide) menyatakan bahwa
terbutalin,
inhalasi albuterol,
suspensi dapatkromolin,
dicampuripratropium. Dengan
dengan solusi pencampuran
inhalasi ini akan
lainnya misalnya
memaksimalkan efektifitas hasil pada pasien dengan permasalahan pernafasan
terutama pasien yang menderita penyakit saluran napas kronis, misalnya cystic
fibrosis (CF) atau asma (Wolfgang, Astrid & Irene, 2006). Selain itu Ny. S juga
mendapatkan terapi peroral OBH sirup dan capsul racik Theofilin dan Salbutamol.
OBH adalah obat batuk ekspektoran yang berfungsi mengencerkan dahak.
Salbutamol merupakan suatu senyawa golongan β2-Agonis yang selektif
merangsang reseptor β-2 adrenergik pada otot bronkus dan digunakan sebagai
bronkodilator pada penderita asma bronkial. Salbutamol diberikan secara peroral
kerjanya lebih selektif dan lebih panjang dibandingkan isoprenalin, sehingga
relatif kurang mempengaruhi kecepatan detak jantung. Sedangkan Teofilin adalah
golongan obat metilxantin. Efek bronkodilatasi golongan metil-xantin setara
dengan β2-Agonis yaitu menyebabkan relaksasi otot polos bronkus, lebih-lebih

bila otot bronkus tersebut dalam keadaan konstriksi, misalnya pada keadaan asma.
karena efek samping yang lebih banyak dan batas keamanan yang sempit maka
golongan metilxantin hanya dianjurkan jika pemberian kombinasi inhalasi β2 -
Agonis dan ipatropium bromida tidak memberikan respons (GINA, 2011).
Intervensi selanjutnya yang diberikan untuk Ny. S adalah memposisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi dan mempertahankan jalan nafas yang paten.
Ny. S lebih sering dalam kondisi duduk. Penelitian Tomomi, Tetsuo,
Takeshi, Toru dan Fumio (2011), melaporkan bahwa posisi Semi-fowler menjadi
posisi yang paling efektif untuk mengurangi masalah pernapasan dan dyspnea
khususnya pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease/COPD). Selanjutnya kegiatan yang dilakukan yaitu
memonitor tanda vital secara rutin. Monitoring vital sign telah terbukti menjadi
prediktor paling akurat untuk menilai penurunan kondisi pasien (Matthew, Richa &
Dana, 2016).
Selain itu pemberian informasi tentang pentingnya penerapan teknik relaksasi
nafas dalam untuk memperbaiki pola nafas, mengajarkan batuk efektif dan
menerapkan fisioterapi dada juga dapat membantu mengurangi masalah sesak
nafas yang terjadi pada pasien (Carpenito, 2009). Pada Ny. S selain
efektif. bronkodilator juga diajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan batuk
diberikan
Sedangkan tindakan Oxygen Therapy utama yang dilakukan adalah selain
menjaga kebersihan mulut, hidung dan trakhea dari sekret, yaitu mengatur
perlengkapan pemberian oksigen termasuk kehangatan humidifier, memonitor
ukuran aliran oksigen O2 nasal kanul 5ltr/mnt, memonitor posisi alat pemberian
oksigen, memonitor efektivitas ketepatan pemberian terapi oksigen (saturasi
oksigen, pulse oximetri), memantau status mental, memantau pengeluaran cairan
pleura melalui selang WSD. WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00,
08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00 dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD kiri
diloss ganti botol tiap pagi.
Setelah dilakukan tindakan respiratory monitoring dan oxygen therapy
selama 3 hari perawatan respiratory status dalam skala rating outcome level 3
(cukup menyimpang dari ukuran normal) dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat

pasien masih mengeluh sesak nafas dan masih sulit tidur. Pasien mengatakan
hanya bisa tidur dalam posisi duduk sambil memeluk bantal. Pasien masih nampak
bernafas lewat mulut dan dalam kondisi duduk memeluk bantal, terkadang batuk
disertai dahak. Klien masih tampak bertambah sesak saat diwawancara dan harus
menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses wawancara. Hal ini
dimungkinkan karena ketidakcukupan oksigen yang diterima Ny. S. disamping
karena adanya efusi pleura yang membuat pergerakan kembang kempis paru tidak
optimal. Adanya cairan pleura yang melebihi normal pada Ny. S menyebabkan
ekspansi paru-paru menurun sehingga kebutuhan oksigen Ny. S tidak tercukupi,
selain itu selama pengelolaan, Ny. S hanya mendapat oksigen 5ltr/menit
menggunakan nasal kanul sementara perhitungan kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan pada Ny. S adalah 7-9 liter/menit yang dapat diberikan menggunakan
masker sederhana yang memberikan aliran oksigen sebanyak 5-8 liter/menit atau
menggunakan masker rebreathing 8-12 liter/menit. Rumus menghitung kebutuhan
oksigen MV=VTxRR dimana MV adalah Minute Ventilation, udara yang masuk ke
sistem pernapasan setiap menit, VT adalah Volume Tidal (6-8 ml/kg bb), RR adalah
Respiration Rate (Rogayah, 2009). Karena BB Ny. S saat ini 44 Kg dan
pernafasan Ny. S 28x/menit. Maka
pemeriksaan fisik masih nampak
MV=(44kgx(6-8ml))x28=7-9 pernafasan
ltr/menit. cuping
Skor ESAS hidung,Ny.
kelelahan adaS retraksi
7. Dalamdinding
dada, suara nafas tambahan ronkhi basah. Pemeriksaan TTV RR 28x/menit
menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/mnt, tekanan darah 100/70 mmHg, Suhu
36,80C, Nadi 100 x/menit, SaO2 98%, dan gambaran foto toraks efusi pleura
bilateral. Produksi WSD kanan/3 jam maksimal dikeluarkan 200 cc, perhari rata-
rata 500 cc, kiri di loss produksi ±400 cc/hr. Respiratory monitoring tetap
dilakukan selama pasien mengeluh sesak nafas. Selain itu pasien juga diberikan
tindakan oxygen therapy (3320) dengan harapan pasien akan mampu
mempertahankan respiratory status : ventilation (0403). Setelah pemberian
intervensi rating outcome berada pada level 3 (cukup menyimpang dari ukuran
normal) dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat pasien masih mengeluh sesak
nafas, pasien masih tampak gelisah, adanya pernafasan cuping hidung, pola
pernafasan abnormal, nafas cepat 28x/menit menggunakan O2 nasal kanul 5

ltr/menit, pasien masih tampak pucat, SaO2 meningkat jadi 98%, denyut nadi
cepat 100x/menit dan gambaran foto toraks efusi pleura bilateral. Produksi WSD
kanan ±500 cc/hari, kiri ±400 cc/hr. Intervensi oxygen therapy dilanjutkan.
Bila dilihat dari konsep teori PEOL, sesak nafas dapat dihubungan dengan masalah
kenyamanan. Perasaan nyaman diartikan sebagai perasaan terbebas dari rasa
ketidaknyamanan, merasa senang dan puas terhadap sesuatu serta merasa hidup
lebih mudah, damai dan menyenangkan (Ruland & Moore (1998) di dalam Tomey
& Alligood, 2010). Dengan pemberian tindakan meliputi mencegah, memonitoring
dan membebaskan ketidaknyamanan fisik termasuk ketidaknyamanan karena
sesak nafas, memfasilitasi untuk beristirahat dan relaksasi serta mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi diharapkan kebutuhan kenyamanan Ny. S dapat
dipenuhi.
4.1.2.2 Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik dan emosional tidak menyenangkan


dengan kerusakan aktual atau potensial, atau digambarkan sebagai suatu
kerusakan (International Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba
atau lambat dengan intensitas dari ringan sampai berat, terjadi konstan atau
berulang tanpa akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung
lebih
padadari tigakiri
dada (>3)skala
bulan5(Herdman
meningkat& saat
Kamitsuru, 2015). Pasien
batuk sampai skala mengeluh
8 menjalarnyeri
ke dada
kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul
lebih dari 5 menit, nyeri berkurang jika tidur dan beberapa saat setelah pemberian
obat anti nyeri. Nyeri akan timbul kembali ketika batuk. Nyeri dialami oleh 30-
75% dari orang dengan kanker dan 40-50% mengalami nyeri sedang sampai parah
dan 25-30% mengalami nyeri berat (van den Beuken-van Everdingen MHJ & de
Rijke JM, et al., 2007). Rasa nyeri yang dialami Ny.S berada pada skala sedang
dan apabila batuk menjadi skala berat. Nyeri yang dialami Ny. S merupakan
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan, aktual ataupun potensial (Rasjidi, 2010; IASP, 1996
dalam Black & Hawks, 2014). Selain kelelahan dan gangguan tidur, nyeri
merupakan gejala yang paling umum yang dialami orang dengan kanker
khususnya pasien dengan stadium lanjut. Gejala tersebut terjadi pada lebih dari

50% pasien yang menerima pengobatan kanker (Beck, Dudley & Barsevick, 2005).
Nyeri, kelelahan, dan gangguan tidur memiliki dampak negatif pada pasien seperti
status fungsional dan kualitas hidup (Dodd, Miaskowski & Paul, 2001). Hal yang
sama disampaikan oleh Paice (2011), nyeri kanker merupakan suatu ancaman
besar bagi kualitas hidup pasien. Serupa dengan yang diungkapkan Ny. S, selain
keluhan nyeri Ny. S juga mengeluhkan adanya gangguan tidur dan kelelahan saat
beraktivitas. Dalam pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak gelisah, kadang
pasien menarik nafas panjang sambil memeluk bantal, namun jika batuk timbul,
nampak ekspresi menahan nyeri (menyeringai) yang menunjukkan timbulnya nyeri
pada saat batuk berlangsung. Pasien kadang meringis sambil memegangi dadanya.
Untuk itu nyeri yang terjadi pada Ny. S memerlukan penanganan yang optimal agar
kualitas hidup pasien dan status fungsional pasien dapat ditingkatkan.
Mekanisme nyeri diawali dengan aktivasi nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf
bebas yang tersebar di seluruh tubuh (di perifer kulit, fasia, tulang periosteum,
otot rangka, ligamen, dan membran mukosa). Aktivasi nosiseptor ini dimediasi
secara kimiawi oleh bradikinin, prostaglandin, subtansi P, histamin, serotonin,
leukotrien, dan faktor pertumbuhan saraf. Zat-zat kimia tersebut
muncul sebagai tanda adanya (1) penghancuran dinding sel sebagai akibat
peristiwa kerusakan jaringan, perlukaan, invasi tumor, dan nekrosis sel; (2)
inflamasi; (3) infeksi; (4) kerusakan saraf; dan (5) ekstravasasi plasma dari sistem
sirkulasi berhubungan dengan edema, iskemia atau oklusi pembuluh darah.
Dengan adanya zat kimia tersebut sensitivitas reseptor dan membran serat saraf
meningkat sehingga menghasilkan sinyal sensasi nyeri. Sensasi nyeri tersebut
dibagi menjadi dua cepat dan lambat. Nyeri cepat dihasilkan oleh saraf kecil
bermielin. Saraf ini membuat koneksi sinaps di medulla spinalis. Satu koneksi
mengaktivasi neuron motorik yang memicu refleks pergerakan organ yang terkena
trauma (misal menarik tangan karena adanya sensai panas). Koneksi sinaps yang
lain mengaktivasi urutan neuron yang melewati talamus dan berakhir di korteks
sensori, sistem limbik, dan hipotalamus sehingga memberikan sensasi nyeri
(tajam dan terlokalisasi). Sedangkan nyeri lambat dihasilkan oleh saraf kecil tidak
bermielin. Saraf ini juga banyak membuat koneksi pada medulla spinalis dan

meneruskan informasi ke otak tengah dan formasi retikular serta berkontribusi


terhadap emosional, kognitif, dan komponan situasional oleh nyeri yang bersifat
tumpul dan terbakar (Petel, 2010, Black & Hawks, 2014).
Dalam teori peaceful end of life, nyeri merupakan hal yang sangat mengganggu
kenyamanan pasien dan memerlukan penanganan yang tepat. Keluhan nyeri yang
diungkapkan Ny. S dengan skala nyeri 5 dan meningkat menjadi 8 sangat
mengganggu kenyamanan Ny. S. Perasaan nyaman diartikan sebagai perasaan
terbebas dari rasa ketidaknyamanan, merasa senang dan puas terhadap sesuatu
serta merasa hidup lebih mudah, damai dan menyenangkan (Ruland & Moore
(1998) di dalam Tomey & Alligood , 2010). Teori PEOL yang terdiri dari lima konsep
yang saling berkaitan, yaitu bebas dari rasa nyeri, merasa nyaman, dihargai, damai
dan dekat dengan orang yang bermakna dalam kehidupan pasien. Kriteria proses
dari setiap konsep tersebut dapat digabungkan misalnya nyeri, kenyamanan dan
damai dapat dijadikan satu konsep yang sederhana dalam manajemen gejala fisik
maupun psikologisnya. Konsep nyeri dengan dua kriteria proses yaitu memantau
dan menghilangkan rasa sakit serta memberikan tindakan farmakologi dan non
farmakologi memiliki kedekatan hubungan dengan kriteria proses dari
kenyamanan yang meliputi pencegahan,
kedamaian dan
pemantauan yaitupengurangan
memonitor, rasa
memenuhi kebutuhan fisik
ketidaknyamanan kliendan
selama perawatan
kriteria anti
proses dari
cemas. Intervensi non farmakologis yang bisa dilakukan misalnya terapi musik,
humor, relaksasi, menghirup aromaterapi diberikan sebagai distraksi pasien
terminal dan sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri, kecemasan dan rasa
ketidaknyamanan fisik secara umum (Ruland & Moore (1998) di dalam Tomey &
Alligood , 2010). Terapi nonfarmakologi lain yang dapat menurunkan nyeri pada
130

pasien berupa intervensi fisik untuk memberikan kenyamanan dan meningkatkan


mobilitas dengan cara stimulasi kutaneus, pijat, kompres hangat/dingin,
akupunktur, Transkutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS), dan akupresur,
serta intervensi kognitif-perilaku untuk mengubah persepsi nyeri, menurunkan
ketakutan dan meningkatkan perilaku kontrol terhadap nyeri dengan cara nafas
dalam, relaksasi progresif, musik, guided imagery, distraksi, terapi sentuhan,
meditasi dan humor (Black & Hawks, 2014).

Ny. S juga mengungkapkan karena nyeri menjadikan Ny. S sulit tidur. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Dodd, Miaskowski dan Paul, (2001) yang menyatakan bahwa
nyeri memiliki dampak negatif berupa gangguan tidur sehingga dapat mengganggu
status fungsional dan kualitas hidup pasien.
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah nyeri kronis
(kode 00133) berhubungan dengan proses perkembangan penyakit akibat infiltrasi
sel kanker ke jaringan sekitar menurut NIC pada Ny. S adalah dengan pain
management (1400). Pain management adalah mengurangi, meringankan atau
menurunkan level nyeri sampai pada level kenyamanan sehingga hal tersebut
dapat diterima oleh pasien (Nursing Interventions Classification/NIC, 2013).
Dengan dilakukan tindakan pain management (1400) diharapkan Ny. S akan
mampu mengontrol nyeri (1605) dengan skala rating outcome pada level 5
(menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil mampu mengenali gejala nyeri,
mendiskripsikan faktor penyebab, menggunakan catatan untuk memonitor gejala
setiap waktu, menggunakan tindakan pencegahan, menggunakan tindakan non
farmakologi untuk mengurangi nyeri, menggunakan analgetik yang
direkomendasikan, melaporkan perubahan gejala nyeri kepada petugas kesehatan,
melaporkan tak terkendalinya gejala nyeri kepada petugas kesehatan,
melaporkan nyeri
menggunakan yangyang
sumber dapat dikontrol.
tersedia, mengenali hubungan gejala dengan nyeri,
Tindakan utama yang dilakukan adalah melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset, dan durasi secara berkala.
Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi aspek bio, psiko, sosio
dan spiritual dapat menghindari penilaian yang salah mengenai nyeri yang
dipersepsikan oleh Ny. S. Dengan pengkajian yang komprehensif perawat dapat
memberikan penatalaksanaan nyeri yang tepat terhadap Ny. S. Margo McCaffery
salah seorang penggagas dalam keperawatan nyeri mendefinisikan nyeri sebagai
sesuatu yang dikatakan oleh individu yang merasakan nyeri dan ada ketika nyeri
tersebut dikatakan ada. Nyeri merupakan hal subjektif dan hanya individu yang
mengalami nyeri yang dapat mengungkapkan secara akurat terkait kejadian nyeri
yang dialaminya (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Black & Hawks, 2014).
Untuk itu perawat memiliki tanggungjawab untuk mengkaji secara akurat dan

membantu menolong meredakan nyeri yang dialami oleh pasien (Black & Hawks,
2014). Tujuan utama dari pengkajian nyeri adalah untuk mengidentifikasi
penyebab nyeri, untuk memahami persepsi klien terhadap nyeri, untuk mengukur
karakteristik nyeri, untuk memutuskan tingkatan nyeri sehingga klien dapat
meneruskan partisipasi terhadap aktivitas sehari-hari (activity daily living/ADL) dan
untuk mengimplementasikan teknik manajemen nyeri. Dalam proses pengkajian
perawat mengumpulkan riwayat nyeri termasuk faktor yang dapat memperparah
maupun memperingan nyeri, serta pengumpulan data subjektif dan objektif
dengan menggunakan alat ukur (American Pain Foundation, 2007). National
comprehensive cancer network (NCCN) di Amerika Serikat menekankan pentingnya
pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi intensitas, kualitas, onset, dan
durasi nyeri, tindakan yang dapat meningkatkan maupun mengurangi nyeri,
riwayat penggunaan obat nyeri, hasil laboratorium dan foto terkait organ yang
mengalami nyeri.
Pengelolaan pemberian terapi farmakologi dan non farmakologis dilakukan secara
berkesinambungan sehingga efektifitas dari penerapan keduanya dapat segera
dirasakan oleh pasien. Terapi farmakologi yang digunakan untuk nyeri kronis harus
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan
yang tidak
dengan diinginkan, baik
menyeimbangkan dalamdiperoleh
manfaat jangka pendek maupun dengan
dari analgesik jangka panjang (Bashir
efek samping
& Colvin, 2013). Ny. S diberikan terapi farmakologi berupa ketorolac. Pemberian
ketorolac 30 mg + Ns 100cc tiap 8 jam melalui intravena pada Ny. S diharapkan
akan meningkatkan kenyamanan Ny. S disamping dengan melakukan tindakan
distraksi dan relaksasi sebagai terapi non farmakologi. Ketorolac merupakan
golongan obat non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) atau obat
antiinflamasi non steroid (AINS) yang bekerja menurunkan inflamasi dan
menghambat prostalglandin yang mempunyai efek meredakan nyeri. NSAID
sangat berguna bagi klien yang mengalami nyeri akibat kanker atau pasca operasi
karena faktor utama penyebab nyeri pada klien ini adalah kerusakan sel. Agen ini
juga menghambat agregasi platelet, meningkatkan risiko hemoragi sehingga
dalam pemakaiannya harus dimonitor secara ketat (Brune & Zeilhoffer, 1999
dalam Black & Hawks, 2014).

Sebelum masuk rumah sakit Ny. S mempunyai riwayat mengkonsumsi obat Aspirin
3x1 dalam sehari. Aspirin merupakan golongan obat analgesik non opioid yang
memiliki dosis maksimal namun tidak menyebabkan ketergantungan. Lokasi kerja
aspirin terutama di bagian perifer dari lokasi reseptor dan menjalankan fungsi
sebagai antiinflamasi dan mencegah produksi prostalglandin sehingga mencegah
pelepasan serotonin dengan efek menurunkan atau meredakan nyeri pada
neurotransmiter. Aspirin memiliki efek antiplatelet dan iritan terhadap lambung
untuk itu aspirin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak usia di bawah 12 tahun
(Acute Pain Management Guidline Panel, 1992 dalam Black & Hawks, 2014). Nyeri
skala 5 yang meningkat disaat batuk menjadi 8 pada Ny. S secara fisiologi terjadi
karena adanya kerusakan jaringan akibat adanya desakan sel kanker dan inflamasi,
sehingga pemberian analgetik aspirin dan ketorolac diharapkan akan mengurangi
nyeri yang dialami oleh Ny. S. Seperti yang disampaikan Ny. S bahwa nyeri akan
berkurang sesaat setelah pemberian obat anti nyeri.
Manajemen prosedural nyeri merupakan masalah penting bagi perawat dalam
praktek keperawatan (Turner et. al, 2008). Tindakan nonfarmakologi yang
diberikan pada Ny. S adalah berupa relaksasi nafas dalam yang berkontribusi
dalam meredakan atau menurunkan nyeri dengan mengurangi ketegangan otot
dan
kecemasan serta pemberian teknik distraksi untuk mengalihkan perhatian dari
sensasi nyeri (Kim SD & Kim HS, 2005) dengan menyarankan Ny. S melakukan
aktivitas yang dapat menyenangkan fikiran berupa menonton film atau video
favorit, mendengarkan musik favorit, membaca buku favorit atau berinteraksi
dengan pasien lain. Menurut Dunfort (2010), relaksasi nafas dalam dan distraksi
mampu mengurangi intensitas nyeri kronis maupun nyeri akut karena dapat
memperbaiki kondisi baik dari segi fisik maupun psikologis.
Meningkatkan istirahat dan tidur yang adekuat dengan menganjurkan
pasien untuk beristirahat yang cukup serta mengevaluasi keefektifan kontrol nyeri
pasien setelah dilakukan intervensi keperawatan menjadi bagian intervensi lain
yang dilakukan oleh perawat. Dengan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
diharapkan kenyamanan pasien akan tercapai. Penelitian Lisa, Gillian, Margot,

Peter dan Rosemary, (2015) menjelaskan bahwa tidur memainkan peran mendasar
dalam kesehatan psikologis, kemampuan neurokognitif dan kualitas hidup dari
anak-anak dan orang dewasa yang sehat maupun yang menderita sakit, nyeri,
kecemasan dan tekanan emosional. Pola tidur yang buruk berdampak pada
kualitas hidup dan persepsi serta kemampuan untuk mengatasi tantangan
emosional dan fisik yang terkait dengan kanker dan pengobatannya. Meningkatkan
kebutuhan tidur terkait dengan kanker merupakan tugas kesehatan profesional,
pedoman praktek telah diterbitkan untuk pencegahan, skrining, penilaian dan
pengobatan gangguan tidur pada orang dewasa dengan kanker di Kanada.
4.1.2.3 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan adalah asupan nutrisi tidak


cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik (Herdman & Kamitsuru, 2015).
Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
(00002) berhubungan dengan kurang asupan makanan pada Ny S, diberikan
penatalaksanaan berupa tindakan nutrition management (1100). Nutrition
management adalah menyediakan dan menaikkan keseimbangan masukan nutrisi
(Nursing Interventions Classification/NIC, 2013). Dengan tindakan tersebut
diharapkan Ny. S akan mampu meningkatkan nutritional status food and fluid
intake (1008) dan nutritional status nutrien intake (1009) dengan skala rating
outcome pada level 5 (adekuat total) dengan kriteria hasil mampu memasukkan
makanan dan cairan melalui oral, masukan cairan melalui intravena, masukan
makanan melalui parenteral, masukan kalori, protein, lemak, karbohidrat, serat,
vitamin, mineral, besi, kalsium, dan sodium.
Tindakan utama yang dilakukan perawat terhadap Ny. S adalah mengkaji
faktor pemicu nausea dan apakah ada alergi terhadap makanan dan mengkaji
makanan kesukaan. Pengkajian nutrisi pada pasien kanker merupakan hal penting
pada pasien kanker. Ny. S menyampaikan karena mual dan sesak nafas nafsu
makan menurun. Ny. S juga mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi terhadap
makanan dan sekarang menyukai jus buah. Ny. S juga menyampaikan mengalami
penurunan BB yang tadinya 50 kg menjadi 44 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi,

makan tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir. BB: 44 kg , TB: 155 cm, IMT:
18,33 kg/m2 (kategori: underweight), kehilangan BB > 10%, Hb : 10,7 g/dL, turgor
menurun. Skor ESAS mual 6, skor ESAS tidak nafsu makan 6. Index Masa
Tubuh/IMT adalah penilaian gizi melalui tinggi badan dan berat badan yang diambil
pada kunjungan klinik dengan menggunakan rumus BB/TB (meter) 2. IMT selain
digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh (BMI; dihitung sebagai kg/m2)
juga untuk mengklasifikasikan peserta dalam berat badan normal, kelebihan berat
badan atau obesitas dan underweight (Ogden, Carroll, Kit & Flegal, 2014).
Tidak nafsu makan dan penurunan berat badan pada Ny. S muncul sebagai hasil
dari proses penyakit dan pengobatan. Mekanisma kaheksia dan anoreksia pada
pasien kanker dapat dijelaskan melalui peran sitokin tubuh. Beberapa penelitian
telah mengidentifikasi bahwa sejumlah sitokinase termasuk faktor alfa nekrosis
tumor, interleukin-1, interleukin-6, dan interferon menyebabkan masalah nutrisi
termasuk kaheksia. Substansi-substansi ini diperkirakan merupakan penyebab
anoreksia, peningkatan laju metabolisme yang dapat mengganggu penyimpanan
lemak dan mengakibatkan hilangnya protein dalam otot (McCarthy, 2003). Sumber
lain menyebutkan hal serupa bahwa klien dengan kanker memiliki
risiko malnutrisi protein dan kalori. Hal ini dapat berakibat buruk seperti (1)
berkurangnya toleransi terhadap aktivitas, (2) menurunnya kecepatan
penyembuhan dan (3) berkurangnya kualitas hidup (Rasjidi, 2010; Black &
Hawks, 2014). Manajemen keperawatan untuk mencegah status nutrisi yang
menurun bergantung pada pengkajian kondisi pasien. Jika diindikasikan, pasien
dapat dirujuk ke ahli gizi untuk mendapatkan pemeriksaan secara menyeluruh.
Pasien dapat diberikan kebebasan memilih diet yang disukai dan dianjurkan untuk
mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan tinggi protein yang berasal dari sumber
makanan alami maupun suplemen (National Cancer Institute, 2004).
Penurunan nafsu makan Ny. S dimungkinkan pula karena dampak dari
nyeri kronis, yang dialami Ny. S. Beberapa penelitian menyebutkan nyeri kronis,
mempengaruhi asupan makanan diantaranya perubahan nafsu makan, makanan
tidak tercerna, mual, dan muntah (Pell, Presnell, Edwards, Wood, Harrison &
DeCastro, 2005; Gold, Mahrer, Yee, & Palermo, 2010). Gangguan makan karena

nyeri kronis akan memiliki pengaruh lebih besar terhadap penurunan indeks massa
tubuh (BMI) dibanding tanpa keluhan nyeri kronis (Leslie, Jocelyn, Karen, Tracy &
Barbara, 2016). Selain nyeri kronis, penurunan nafsu makan Ny. S kemungkinan
disebabkan pula karena faktor psikologis (cemas akan kondisi kesehatannya). Hal
ini sesuai dengan penelitian Gupta, Vashi, Lammersfeld dan Braun, (2011) yang
menyatakan bahwa penyebab penurunan nafsu makan pada pasien kanker
bermacam-macam diantaranya karena perubahan rasa dalam pengecapan, efek
samping dari terapi yang dijalani, faktor psikologis (ansietas), dan karena peran
sitokin dalam regulasi makanan.
Pengkajian kebutuhan nutrisi yang cermat dan tepat diperlukan dalam
penatalaksanaan pasien dengan kanker yang sedang menjalani terapi maupun
dalam tahap pemulihan. Menurut kebutuhan metabolit basal kebutuhan nutrisi
pada pasien kanker untuk perempuan dapat diperhitungkan melalui rumus
655,0955 + (9,5634 x BB kg) + (1,8496 x TB cm) – (4,6756 x usia). BMR (basal
metabolic requerement) adalah kebutuhan energi atau kalori yang dibutuhkan
tubuh dalam sehari dalam kondisi istirahat (Harris & Benedict, dalam Rasjidi,
2010). Dari rumus tersebut dapat dihitung BMR pada Ny. S yaitu 655,0955 +
(9,5634 x 44 kg) + (1,8496 x 155 cm) – (4,6756 x 40) = 1175, 5491. Jadi
Kebutuhankalori
kebutuhan kalori Ny.
ini hanya digunakan
S dalam olehistirahat
keadaan aktivitasadalah
organ vital
1175tubuh. Namun
kalori/hari.
jika dilihat dari level aktivitas kebutuhan kalori Ny. S adalah tidak aktiv yang
mana Ny. S tidak melakukan aktivitas olahraga sama sekali dalam seminggu.
Maka melihat dari level aktivitas Ny. S, kebutuhan kalori Ny. S menjadi
1175x1,2=1410 kalori/hari.
Dalam pengkajian Ny. S menyatakan tidak ada alergi makanan. Saat ini
Ny. S menyukai jus buah. Ny. S menerima tambahan terapi nutrisi berupa
amiparen 1000cc per 24 jam dan NaCl 0,9% 1000cc tiap 24 jam. Amiparen adalah
larutan infus steril yang mengandung asam Amino, digunakan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien melalui parenteral. Perhitungan kebutuhan energi pada
pasien kanker bergantung pada kondisi pasien dengan nilai berkisar 28-42 kkal/
kg berat badan/hari. Jadi menurut berat badan, Ny. S memerlukan ± 1232-1842

kkal/hari. Hasil perhitungan BMR Ny. S berada pada rentang kebutuhan kalori
pasien kanker yaitu 1410 kalori/hari. Komposisi zat gizi makro yang dibutuhkan
pasien kanker yaitu protein 10-20% dari kalori total, lemak 20-30% dari kalori total
dan karbohidrat 50-60% dari kalori total (Eldrige, 2005). Menurut rumus tersebut
didapatkan kebutuhan protein Ny. S 141-282 kalori, lemak 282-423 kalori dan
karbohidrat 705-846 kalori. Total kebutuhan Ny. S 1128-1551 kalori.
Perawat juga melakukan kolaborasi dengan ahli gizi dalam memenuhi kebutuhan
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan Ny. S. Nutrisi oral merupakan pilihan yang
utama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Namun karena sebagian besar pasien
kanker mengalami penurunan nafsu makan dan tidak dapat mencukupi kebutuhan
nutrisinya, pemberian nutrisi melalui enteral maupun parenteral mungkin
disarankan. Dalam hal ini Ny. S diberikan tambahan nutrisi melalui parenteral.
Pemberian nutrisi parenteral dapat mendukung sebagian kebutuhan kalori pada
Ny. S karena nutrisi parenteral langsung masuk kedalam sirkulasi pembuluh darah
pasien, sedangkan nutrisi per oral pada Ny. S tetap dilanjutkan dengan pemberian
dukungan dan pendidikan kesehatan terkait pentingnya nutrisi pada orang sakit.
Ny. S diberikan motivasi untuk mengkonsumsi makanan tinggi protein dan tinggi
kalori, zat besi dan vit C, dan
konstipasi.
diberikan Perawatdiit
keyakinan juga menganjurkan
yang pasien untukserat
diberikan mengandung mengkonsumsi
tinggi untuksnack seperti
mencegah
buah segar dan jus buah yang disediakan. Asupan nutrisi oral ini diharapkan
mampu memenuhi kekurangan nutrisi yang terjadi pada Ny. S. Penelitian telah
menunjukkan bahwa konseling gizi dikombinasikan dengan pasokan makanan
yang tepat dan pengobatan efek samping dapat meningkatkan asupan energi dan
protein, mengurangi jumlah dan durasi efek samping dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Ravasco, Monteiro, Vidal & Camilo, 2005; Iversen, Ukrainchenko,
Afanasyev, Hulbekkmo, Choukah & Gulbrandsen, 2008).
4.1.2.4 Ansietas
Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respon otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya

bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman


(Herdman & Kamitsuru, 2015). Masalah keperawatan ansietas (00146)
berhubungan dengan adanya ancaman dan perubahan status kesehatannya
diberikan tindakan berupa anxiety reduction (5820). Anxiety reduction adalah
meminimalkan kekhawatiran, ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi, firasat
atau kegelisahan yang berhubungan dengan antisipasi sumber tak dikenal (Nursing
Interventions Classification/NIC,2013). Dengan tindakan ini harapannya pasien
akan mampu mengontrol kecemasannya (anxiety self control) (1402) dengan skala
rating outcome pada level 5 (menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil
mampu memonitor tingkat kecemasan, menghapus/menghilangkan tanda
kecemasan, mengurangi stimulus yang berasal dari lingkungan ketika khawatir,
merencanakan strategi koping saat dalam situasi stres, menggunakan strategi
koping yang efektif, menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan,
memelihara fungsi peran, memelihara hubungan sosial, memelihara konsentrasi,
memelihara keadekuatan istirahat tidur, memonitor tanda gejala fisik bila muncul
kecemasan, mengontrol respon kecemasan.
Tindakanutamayangdilakukanperawatyaitumengkajitingkat kecemasan klien dan
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan
kecemasan 5 halperasaannya.
pikiran dan ini berarti pasien
Pada berada
tahap pada tingkat didapatkan
pengkajian kekawatiran Skor
menengah.
ESAS
Kecemasan pasien ini ditandai dengan ungkapan pasien tentang munculnya rasa
cemas dan khawatir karena takut akan kondisi kesehatannya. Pasien mengatakan
mual dan mengalami penurunan nafsu makan karena cemas. Pasien juga
mengeluhkan jantungnya terasa berdebar-debar, pemeriksaan TTV didapatkan
pernafasan 28x/menit meski sudah menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/mnt,
tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 110 x/menit. Pasien mengatakan tidak pernah
menduga sebelumnya akan menderita sakit seperti ini karena sebelumnya pasien
sehat dan tidak ada keluhan sakit yang parah sehingga bisa menjalakan aktivitas
sebagai ibu rumah tangga juga karyawan di sebuah perusahaan. Kadang pasien
muncul rasa pesimis dengan kondisi kesehatannya dan terapi yang dijalani, hal ini
ditunjukkan dengan seringnya pasien bertanya mengenai penyakitnya, tentang
keberhasilan atas terapi yang dijalaninya dan bertanya tentang apakah ada harapan
untuk sembuh.

Kecemasan adalah suatu emosi yang ditandai dengan perasaan tegang, pikiran
khawatir pada sesuatu hal yang belum tentu terjadi dan biasanya berpengaruh
pada perubahan tanda-tanda vital seperti peningkatan frekuensi pernafasan,
tekanan darah dan denyut nadi yang biasanya disebabkan oleh masalah psikologis,
stres, keprihatinan spiritual, koping yang tidak memadai terhadap munculnya
gejala, masalah metabolisme, efek samping obat, serta eksistensial (Videbeck,
2008 & Carpenito-Moyet, 2010). Prevalensi kecemasan berdasarkan Skala
Kecemasan dan Depresi Rumah Sakit pada pasien rawat inap dengan kanker lanjut
adalah 34% (Hospital Anxiety and Depression Scale /HADS) (Teunissen, de Graeff,
Voest & de Haes, 2007) dan umumnya meningkat sebagai manifestasi kesadaran
pasien terhadap ketidakefektifan perawatan medis yang mereka jalani,
perkembangan penyakit dan harapan hidup yang terbatas (Roth & Massie, 2007;
Vos & Seerden, 2010). Teunissen et al., (2007), menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara faktor-faktor kecemasan, depresi dan gejala fisik dalam
perawatan paliatif. Namun untuk masalah kecemasan dan depresi dimungkinkan
karena pengaruh informasi tentang prognosis penyakit. Hal ini sesuai dengan
keluhan yang disampaikan Ny. S. Ny. S mengungkapkan tentang munculnya rasa
cemas danpenyakit
terhadap khawatir karena
yang takut akan kondisi kesehatannya dan prognosis
dideritanya.
Kecemasan adalah hal umum yang terjadi pada pasien kanker (Danielle,
Everlien & Saskia, 2016). Kecemasan dan depresi biasanya dialami oleh pasien
dengan masalah nyeri atau gejala memberatkan lainnya, karena mereka berada di
tahap terminal (Smith, Gomm, & Dickens, 2003). Ny. S merupakan pasien kanker
dalam tahap terminal yang juga memiliki keluhan nyeri. Perawat adalah anggota
tim kesehatan yang paling dekat dengan pasien dan memiliki peran penting dalam
mendiagnosis kecemasan serta depresi pasien karena perawat adalah orang yang
pertama kali melihat perubahan emosional/perilaku pasien dan bertanggungjawab
melaporkannya kepada dokter (Hughes, 2006). Dukungan psiko-sosial juga harus
dilakukan oleh perawat onkologi karena kecemasan dan depresi pada pasien
kanker 'dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Smith et al., 2003;
Mystakidou, Parpa, Katsouda, Galanos & Vlahos, 2004.; Little, Dionne & Eaton,

2005; Saevarsdottir, Fridriksdottir & Gunnarsdottir, 2006; Castelli, Binaschi,


Caldera, Mussa & Torta, 2011) dan mempengaruhi pasien dalam pengambilan
keputusan (Latini et al., 2007) serta meningkatkan risiko bunuh diri (Castelli et al.,
2011). Sumber lain menyebutkan hal serupa bahwa gejala depresi dan kecemasan
dapat bertahan selama beberapa tahun (den Oudsten et al., 2009), yang mengarah
ke efek buruk pada kualitas hidup pasien, kepatuhan terhadap pengobatan medis,
kekambuhan, kelangsungan hidup serta pemulihan dari operasi selama tinggal di
rumah sakit (So et al., 2010, Ho et al., 2013 dan Wang et al., 2013). Lloyd-Williams
dan Hughes (2008) menunjukkan fakta bahwa kecemasan sering dikaitkan dengan
rasa takut akan penyakit dan kematian, sehingga berpengaruh pada gejala fisik dan
proses berpikir yang secara signifikan dapat mengganggu kualitas hidup pasien.
Gejala fisik yang timbul menurut Traeger et al., (2012) misalnya nyeri dan dyspnea.
Karena banyak penyebab dan dampak yang berbeda dari kecemasan serta sulitnya
membedakan psikologis dan gejala somatik yang muncul pada pasien, pengobatan
kecemasan merupakan tantangan dalam perawatan paliatif (Roth & Massie, 2007).
Dalam hal ini perawat selalu memfasilitasi pasien dengan memberikan informasi
terkait tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien. Perawat juga selalu
memberikan kesempatan pasien
apa yang
untuk belum dipahaminya.
mengeksplorasi Sesuai
perasaannya sertadengan penelitian
memberikan Lorenzo,bertanya
kesempatan (2004) bahwa
atas
dengan menyediakan sumber informasi yang dibutuhkan pasien akan memberikan
efek positif yakni dapat mengurangi tingkat kecemasan dan depresi yang dialami
oleh pasien sehingga dapat meningkatkan ketenangan bagi pasien. Selain itu
lingkungan yang tenang juga dapat menurunkan tingkat kecemasan yang terjadi
140

pada pasien (Campbell, 2009), sehingga perawat memberikan intervensi berupa


membatasi pengunjung yang masuk untuk membezuk pasien.
Dalam teori PEOL lima hal dalam komponennya saling berhubungan satu
sama lain. Termasuk dalam permasalahan pasien yang menyangkut psikologis
pasien. Dalam teori tersebut kecemasan dapat dihubungkan dengan masalah
kenyamanan, perasaan damai dan kebutuhan akan dihargai dan dihormati.
Pemberian hak autonomi pada pasien dapat meningkatkan kenyamanan pasien

sehingga diharapkan kecemasan pasien dapat teratasi. Bila kecemasan teratasi


perasaan damai akan tercapai. Damai diartikan sebagai perasaan tenang, harmonis
dan puas, bebas dari kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran dan takut. Arti damai
dalam aspek ini meliputi fisik, psikologis dan dimensi spiritual (Ruland&Moore,
1998). Perawat juga melibatkan keluarga atau orang yang bermakna bagi pasien
dalam proses perawatan pasien. Teori peaceful end of life berfokus pada intervensi
yang ditujukan untuk memberikan suasana tenang, selaras dan harmoni seperti
harapan pasien untuk mencapai kepuasan yang realistis (Ruland & Moore, 1998).
Menurut beberapa penelitian, banyak intervensi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kecemasan dan depresi pada pasien wanita dengan kanker payudara,
seperti terapi musik (Kenyon, 2007; Bulfone et al. 2009; Lin et al., 2011, Zhou et al.,
2011, Li et al., 2012), latihan relaksasi (Yoo et al., 2005; Kovacic, 2011; Kasyani et
al., 2012; Kovacic et al., 2013), olahraga (Segar et al., 1998; Eyigor et al., 2010;
Mehnert et al., 2011; Ergun et al., 2013,), intervensi keperawatan kognitif-perilaku
(Yoo et al., 2009), intervensi dukungan (Liao et al., 2010; Björneklett et al., 2012),
terapi tawa (Cho & Oh, 2011), dan lain-lain (misalnya, melatonin, akupresur, atau
meditasi) (Kim et al., 2013; Hansen et al., 2014, Genc & Tan, 2014). Dalam hal ini
perawat memberikan intervensi yang
acaramenurunkan
dapat tv favorit, membaca
kecemasanbuku
Ny. Sfavorit,
denganmendengar laguNy.
menganjurkan favorit, relaksasi
S untuk atau
menonton
berinteraksi dengan keluarga dan pasien lain. Menurut Chlan (2009), musik dapat
meningkatkan keadaan psikologis yang positif dengan menduduki saluran
perhatian di otak dengan bermakna, distraksi dan menenangkan melalui
rangsangan pendengaran. Sedangkan relaksasi adalah intervensi untuk
meningkatkan relaksasi otot seluruh tubuh secara sistematis dan progresif
(misalnya, relaksasi fisik), yang memiliki dampak mengurangi tingkat depresi dan
kecemasan (Yoo et al., 2005). Terapi relaksasi sangat efektif dalam mengatasi
peningkatan depresi, kecemasan, dan stres. Tindakan ini direkomendasikan
sebagai salah satu intervensi keperawatan pada pasien dengan kanker (Khasani,
2012).Tindakan nafas dalam dilakukan pasien ketika ketika timbul perasaan
kurang nyaman sehingga pasien dapat beradaptasi dengan kecemasannya dengan
skor ESAS 2. Hal ini ditunjukkan dengan wajah yang lebih rilek dan tenang.

Pernafasan dan relaksasi yang dilakukan sendiri dapat memainkan peranan penting
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker (Dhillon, 2009). Penerapan
teknik relaksasi ini menjadi tindakan yang padat dilakukan pasien ketika merasa
tidak nyaman, sehingga adanya peningkatan kecemasan tidak berlanjut kedalam
tingkatan yang lebih berat.
4.1.2.5 Intoleransi Aktivitas

Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau fisiologis untuk


mempertahankan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari- hari yang harus
atau yang ingin dilakukan (Herdman & Kamitsuru, 2015). Intoleransi aktivitas (kode
00092) berhubungan dengan sesak nafas (ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen) pada Ny. S ditandai dengan keluhan cepat merasa lelah dan
sesak bertambah bila beraktivitas. Pasien tampak sesak nafas dalam kondisi duduk
memeluk bantal, kadang bernafas dengan mulut. Pasien juga tampak bertambah
sesak saat diwawancara dan harus menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan
proses pengkajian. Aktivitas pasien dibantu oleh perawat dan suami seperti
berpakaian, toileting, dan mandi. Nilai ECOG 3 (hanya mampu melakukan
perawatan diri yang terbatas, hanya diantara tempat tidur dan kursi lebih dari 50%
dari waktu terjaga). Frekuensi nadi pasien meningkat tanpa
adanya aktivitas yaitu 110x/menit.
Pasien dengan Skor ESAS
kanker payudara kelelahan
sering 8. dyspnea dan intoleransi
mengalami
aktivitas, tetapi mekanisme yang mendasari kedua hal tersebut tetap tidak
diketahui secara pasti (Denis, O’Donnell, Katherine, Daniel , Amany, Alberto &
Deborah, 2016). Dyspnea atau sesak nafas dan intoleransi aktivitas yang
merupakan dampak dari masalah kanker payudara diantaranya karena efek buruk
kemoterapi dan/atau radioterapi, dan efek kondisi karena ketidakaktifan tubuh
berpotensi untuk diberikan intervensi pengobatan (Yee, Davis & Beith, 2014).
Beberapa kemungkinan mekanisme multifaktorial yang menyebabkan masalah
sesak dan intoleransi aktivitas yakni : (1) peningkatan ventilasi sekunder kelainan
ventilasi-perfusi (Jaen, azquez & Alonso, 2012), (2) penurunan kapasitas ventilasi
sekunder kelemahan otot inspirasi (Dudgeon, Lertzman & Askew, 2001; Travers,
Dudgeon & Amjadi, 2008), (3) gangguan mekanik dinamis pernapasan sekunder
disfungsi jalan napas perifer atau pembatasan paru-paru (Travers et. al, 2008;

Jaen, 2012; Verbanck, Hanon & Schuermans, 2012), (4) penurunan dari kapasitas
difusi paru sekunder cedera mikrovaskuler (Travers et. al, 2008; Krengli, Sacco &
Loi, 2008), (5) penurunan kardiosirkulasi (Jones, Haykowsky, Swartz, Douglas &
Mackey, 2007); atau (6) kombinasi di atas.
Masalah keperawatan intoleransi aktivitas (00092) yang berhubungan dengan
sesak nafas (ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen) pada Ny. S
diberikan tindakan energy management (0180). Energy management adalah
mengatur penggunaan energi untuk mengobati/merawat atau mencegah
kelelahan dan meningkatkan aktivitas (Nursing Interventions Classification/NIC,
2013). Dengan tindakan tersebut diharapkan Ny. S akan mampu menyimpan
energi untuk beraktivitas (energy conservation) (0002) dengan skala rating
outcome pada level 5 (menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil ada
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, mampu menggunakan waktu istirahat
untuk menyimpan energi, menggunakan teknik penghematan energi, mengatur
aktivitas untuk menghemat energi, membiasakan aktivitas untuk meningkatkan
energi, memelihara keadekuatan intake nutrisi, melaporkan daya tahan
keadekuatan dalam beraktivitas.
Tindakan yang diberikan pada Ny. S dimulai dengan melakukan
pengkajian
kemampuanyang menyebabkan
aktifitas Ny. Sdapat
pasien yang mudah merasa secara
dilakukan lelah dan mengkaji
mandiri. Hasil
pengkajian kelelahan ESAS pada Ny. S adalah 8 dan ECOG 3 yaitu hanya mampu
melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara tempat tidur dan kursi
lebih dari 50% dari waktu terjaga. Hal tersebut menunjukkan Ny. S memiliki
tingkat kelelahan yang berat sehingga membuat Ny. S tidak mampu beraktivitas
secara mandiri. Masalah intoleransi aktivitas pada Ny. S selain disebabkan oleh
adanya sesak nafas, juga disebabkan masalah nutrisi yang dialami Ny. S. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan Lee, Neil, Mark, Stephen dan John (2009),
patofisiologi kanker tertentu mungkin langsung mempengaruhi integritas
fungsional atau struktural dari komponen pertukaran oksigen. Tumor di paru-paru,
baik dari kanker paru primer atau metastasis dari kanker lain misalnya kanker
payudara, dianggap dapat mengganggu pertukaran gas pada paru-paru dan
biasanya disertai dengan penurunan berat badan, anoreksia, anemia, katabolisme

protein, dan kekurangan tenaga otot didefinisikan sebagai peningkatan degradasi


protein myofibrillar dan proteolisis. Hasil laboratorium hemoglobin Ny. S
menunjukkan penurunan dari nilai normal yakni 10,7 g/dl dengan nilai normal 12-
16 g/dl. Hemoglobin adalah zat yang berfungsi mengikat dan mengangkut oksigen
ke seluruh tubuh (Alan, 2008) sehingga dimungkinkan karena kadar hemoglobin
yang rendah ini menyebabkan transport oksigen ke seluruh tubuh terganggu
sehingga menyebabkan Ny. S cepat merasa lelah dalam beraktivitas.
Aktivitas yang mampu dilakukan mandiri oleh Ny. S diantaranya makan, minum
dan menyisir rambut. Namun terkadang Ny. S meminta bantuan suami untuk
melakukannya. Ny. S melakukan semua aktivitasnya di atas tempat tidur dengan
dibantu suami dan perawat. Dalam hal ini perawat selalu memberikan motivasi
pada Ny. S untuk melakukan aktivitas yang masih mampu dilakukan sendiri dengan
mendorong untuk meningkatkan kemampuan aktivitasnya. Manajemen energi
diperlukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan Ny. S terhadap aktivitas
yang dapat dilakukannya. Manajemen energi ini terdiri dari mengevaluasi
pemenuhan kebutuhan oksigen, kebutuhan nutrisi, cairan dan elektrolit serta
kebutuhan istirahat tidur Ny. S. Perawat melakukan monitoring terhadap
pemberian oksigen nasal kanul Ny. S, memantau pemenuhan cairan dan
diberikan.
elektrolit Ny.Sesuai dengan penelitian,
S dan rmemotivasi nutisi
Ny. S untuk sangat penting
menghabiskan bagi
porsi pasienyang
makanan kanker.
Asupan protein yang cukup, sangat penting selama menjalani pengobatan dan
pemulihan kanker, serta untuk menjaga kelangsungan hidup pasien kanker dalam
waktu lama (Victor, Lyuba, Juliet, Christina, Sungmi & Moshe Frenkel, 2015).
Hal serupa disampaikan oleh Vergenaud, (2013) bahwa nutrisi, latihan aktifitas
dan manajemen berat badan yang komprehensif dilaporkan dapat meningkatkan
usia harapan hidup pada pasien kanker (Vergenaud, 2013). Pilihan terbaik untuk
kebutuhan protein adalah makanan yang rendah lemak jenuh seperti daging tanpa
lemak, unggas tanpa kulit, telur, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, dan
biji-bijian (Schattner & Shike, 2006).
Selain itu latihan aktivitas juga dapat dilakukan pada Ny. S. Latihan ini
dilakukan secara bertahap dan dilakukan monitoring pada setiap respon yang
dialami Ny. S. Sesuai dengan penelitian Jonna, Petra, Miranda, Elsken dan Anne,

(2016) latihan aktivitas selama pengobatan kanker payudara memiliki efek


menguntungkan diantaranya mengurangi kelelahan fisik, meningkatkan aktivitas
dan motivasi.
Dengan pendekatan teori peaceful end of life diharapkan Ny. S dapat
meningkatkan kenyamanannya dalam hal pemenuhan kebutuhan oksigen,
aktivitas, dan nutrisi. Dengan terpenuhinya kebutuhan oksigen dan nutrisi
diharapkan aktivitas Ny. S dapat ditingkatkan sehingga kenyamanan Ny. S dapat
tercapai. Perasaan nyaman diartikan sebagai perasaan terbebas dari rasa
ketidaknyamanan, merasa senang dan puas terhadap sesuatu serta merasa hidup
lebih mudah, damai dan menyenangkan (Ruland & Moore (1998) di dalam Tomey
& Alligood , 2010).
Setelah dilakukan tindakan energy management selama 3 hari perawatan, pasien
belum mampu menyimpan energi untuk aktivitas (energy conservation) dengan
skala rating outcome pada level 3 (menunjukkan kadang-kadang) ditandai dengan
pasien masih mengeluhkan lelah dan sesak bila beraktivitas. Aktivitas pasien
dibantu oleh perawat dan suami seperti berpakaian, toileting, dan mandi. Nilai
ECOG 3 (hanya mampu melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara
tempat tidur dan kursi lebih dari 50% dari waktu terjaga. Frekuensi nadi
level meningkat
pasien 4 (sering). Tindakan energy
tanpa adanya management
aktivitas dilanjutkan.Target rating outcome
yaitu 100x/menit.
4.1.2.6 Risiko Infeksi
Risiko infeksi adalah rentan mengalami invasi atau multifikasi organisme
patogenik yang dapat menggangu kesehatan (Herdman & Kamitsuru, 2015).
Ditandai dengan pernyataan pasien meskipun belum pernah panas tetapi
mengalami penururnan nafsu makan. Dalam pemeriksaan laboratorium
didapatkan nampak adanya penurunan kadar hemoglobin 10,7 gr/dl (13-18),
penurunan kadar leukosit 4,94 103/l (5-10), suhu 37oC (36,5-37,5) terdapat bekas
luka pos operasi mastektomi, terpasang infus, terpasang WSD dan terpasang
dower kateter.
Infeksi adalah komplikasi umum yang terjadi pada pasien kanker payudara
dan hasil dari imunosupresi karena pengobatan dan keganasan itu sendiri (Kamboj
& Sepkowitz, 2009; Zembower 2014). Kebanyakan infeksi bersifat sementara,

tetapi konsekuensinya mungkin bertahan lebih lama. Misalnya infeksi berat, telah
dikaitkan dengan rawat inap dan pengobatan jangka panjang (Cooksley, Avritscher,
Rolston & Elting, 2009) dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
di masa depan (Girmenia & Menichetti, 2011).
Perawat melakukan pemantauan suhu tubuh pada Ny. S untuk mengetahui
kenaikan suhu pada Ny. S sebagai salah satu tanda klinis terjadinya infeksi sehingga
dapat dilakukan pencegahan ataupun penatalaksanaan secara tepat dan cermat
apabila infeksi memang terjadi pada Ny. S. Menurut sebuah penelitian demam
yang tidak diketahui (Fever of unknown origin /FUO) seringkali dialami oleh pasien
dengan kanker dan saat ini menjadi masalah klinis yang menantang. Pada pasien
kanker, hal tersebut mungkin terjadi karena kanker itu sendiri atau karena adanya
infeksi. Demam yang tidak diketahui adalah kenaikan suhu lebih dari 38,3 oC (101oF)
dan telah berlangsung selama lebih dari 3 minggu, yang tidak terdiagnosis
meskipun telah menjalani satu minggu perawatan rawat inap (Petersdorf &
Beeson, 1961 dalam Loizidou, Aoun & Klastersky, 2016). Menurut Petersdorf dan
Beeson, demam yang tidak diketahui ini terjadi karena infeksi dimana angka
kejadiannya mencapai 36% pasien, 19% pada kasus keganasan dan 19% penyakit
vaskular. Pada tahun 1973, Klastersky et al. mengeksplorasi
penyebab demam
menunjukkan yanginfeksi
bahwa tidak bertanggung
diketahui inijawab
padaterhadap
pasien dengan kanker
terjadinya demamdanlebih
besar 57% karena pasien itu sendiri dan neoplasia bertanggung jawab sekitar 38%
(Klastersky et al., 1973 dalam Loizidou, Aoun & Klastersky, 2016).
Intervensi Infection control adalah intervensi yang diberikan pada pasien
untuk meminimalkan penerimaan dan penularan agen infeksi (Nursing
Interventions Classification/NIC, 2013). Intervensi keperawatan infection control
(6540) yang diberikan pada Ny. S diharapkan akan mampu mengontrol risiko
(risk control) (1902) pada Ny. S, dengan skala rating outcome pada level 5
(menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil mampu mencari informasi
mutakhir tentang kontrol infeksi, mengidentifikasi faktor resiko infeksi, mengakui
manusia sebagai faktor risiko infeksi, mengakui akibat berhubungan dengan
faktor infeksi, mengidentifikasi faktor risiko dalam aktivitas sehari-hari,
mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi, identifikasi strategi untuk melindungi

diri dari infeksi yang dibawa oleh orang lain, monitor perilaku diri sebagai faktor
yang berkaitan dengan risiko infeksi, monitor lingkungan sebagai faktor yang
berhubungan dengan risiko infeksi, memelihara kebersihan lingkungan,
menggunakan strategi dalam memenuhi pembasmi kuman, meningkatkan strategi
yang efektif dalam mengontrol infeksi, menggunakan tindakan pencegahan
prekausal, mempraktikkan cuci tangan, mempraktikkan strategi kontrol infeksi,
mengatur strategi kontrol infeksi, monitor status kesehatan secara umum,
menggunakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Praktik higiene sama dengan upaya peningkatan kesehatan pasien. Kulit
merupakan garis tubuh utama dari pertahanan melawan infeksi. Dengan
implementasi tindakan higiene pada klien atau membantu keluarga dalam
melakukan tindakan higiene akan meningkatkan kondisi kesehatan pasien atau
akan meningkatkan angka kesembuhan pasien (Potter & Perry, 2006). Tindakan
higiene ini meliputi memandikan pasien, mendorong pasien untuk melakukan
gosok gigi, melakukan perawatan kuku, rambut dan cuci tangan. Melakukan
praktik cuci tangan selama merawat pasien dan mengajarkan pasien serta
pengunjung untuk melakukan cuci tangan sangat efektif dalam pengendalian
infeksi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Shah dan Singhal, (2013)
lama dengan
bahwa tinggal melakukan
pasien di rumah sakit hal
cuci tangan ini berkaitan
selama perawatandengan
pasienmenurunnya angka
akan menurunkan
kejadian infeksi yang akan berpengaruh pada penurunan biaya perawatan pasien
termasuk dalam penggunaan antibiotik. Selain cuci tangan, penerapan prinsip
aseptik dan penggunaan sarung tangan yang sesuai menjadi metode terbaik untuk
mencegah infeksi pada pasien. Transmisi oleh petugas kesehatan yang kurang
memperhatikan ketiga hal tersebut dapat berisiko meningkatkan angka infeksi
nosokomial (Black & Hawks, 2014).
Lokasi yang paling sering terjadi infeksi nosokomial pada pasien adalah
saluran kemih, saluran pernafasan bawah, luka operasi dan aliran darah. Infeksi
saluran kemih adalah infeksi nosokomial yang paling umum ditemukan, baik pada
fasilitas pelayanan akut maupun jangka panjang, serta lebih dari 80% terjadi
akibat kateterisasi uretra (Centers for Disease Control and Prevention, 2005).

Sebagian besar infeksi akibat keteter pada wanita disebabkan karena masuknya
bakteri ke dalam kandung kemih melalui rute periuretra (Wenzel, 2003). Sebagian
infeksi nosokomial saluran kemih dapat ditangani namun dapat juga mengarah ke
bakterimia yang menyebabkan kematian (Mayhall, 2004). Infeksi nosokomial
kedua yang sering diasosiasikan dengan kematian adalah pneumonia (Centers for
Disease Control and Prevention, 2005). Kurangnya pergerakan dari sekresi saluran
nafas yang disebabkan oleh imobilitas dan menurunnya frekuensi batuk
berkontribusi dalam terjadinya pneumonia nosokomial. Aspirasi dari bakteri
orofaringeal atau perut merupakan mekanisme predominan dimana infeksi
nosokomial berkembang. Biasanya hal tersebut terjadi pada pasien post operasi
toraks atau abdomen bagian atas, pasien yang mengalami penurunan kesadaran,
kerusakan menelan, intubasi, usia lanjut, penyakit kronis paru-paru, kardiovaskular
dan malignansi (Mayhall, 2004). Infeksi tempat pembedahan juga merupakan
sumber utama tingkat morbiditas dan mortalitas rumah sakit yang dialami oleh
pasien pos operasi. Infeksi semacam ini biasanya berasal dari mikroorganisme yang
berasal dari pasien itu sendiri atau dari luar yang memasuki area pembedahan
(Wenzel, 2003). Peningkatan infeksi aliran darah disebabkan karena penggunaan
peralatan intravaskular di tatanan rumah sakit. Peralatan
digunakan untuk
intravaskular prosedur
tersebut diagnostik,
diantaranya terapi
infus, danarterial
intra memonitor
infus,hemodinamik. Risiko
peralatan yang
infeksi dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan alat itu sendiri, lokasi
tindakan invasif, teknik yang digunakan untuk memasukkan alat, dan jangka
waktu penggunaan kateterisasi. Kateter jangka panjang dikaitkan dengan 90%
kejadian infeksi nosokomial (Wenzel, 2003). Dalam hal ini perawat memberikan
intervensi berupa perawatan kateter urin, mengajarkan batuk efektif, perawatan
WSD dan perawatan selang intravena serta mengevaluasi bekas luka operasi
mastektomi yang dilakukan sesuai jadwal dan sesuai prosedur untuk menghindari
terjadinya infeksi pada Ny. S.
Setelah dilakukan tindakan intervensi infection control selama 3 hari
pasien menunjukkan mampu mengontrol infeksi dengan skala rating outcome
level 3 (kadang mendemonstrasikan) dengan dibuktikan oleh pasien mampu
menyampaikan tidak terjadi keluhan demam atau luka operasi timbul nyeri,

nanah, bau, pemeriksaan fisik pasien tidak demam suhu 36,8 oC. Nilai leukosit dan
hemoglobin masih di bawah normal, tanda-tanda infeksi tidak muncul, intake
makanan dan minum cukup adekuat. Pasien dan keluarga kadang-kadang
melakukan cuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktivitas. Masih tampak
orang yang membesuk pasien dan kontak dengan pasien tidak melakukan cuci
tangan sebelum dan sesudahnya. Intervensi Infection Control dilanjutkan.
Bila diterapkan pada teori PEOL, pengendalian infeksi merupakan usaha untuk
meningkatkan kenyamanan pasien. Sebagai perawat tindakan yang dilakukan
meliputi mencegah, memonitoring dan membebaskan ketidaknyamanan fisik,
memfasilitasi untuk beristirahat dan relaksasi serta mencegah komplikasi
yang mungkin terjadi yang akan menyebabkan ketidaknyamanan pasien.

4.2 Analisa Teori Peaceful End of Life Pada 30 Kasus Kelolaan

Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah di RS Kanker Dharmais Jakarta


dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai dengan bulan Mei 2016.
Praktik ini merupakan praktik ners spesialis keperawatan medikal bedah
peminatan onkologi yakni praktik yang dilaksanakan dengan tujuan memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien kanker. Praktek residensi ini dilakukan
selama
keperawatan. Penulis menggunakan pendekatan teori Peaceful End of Life
dua semester dengan jumlah 20 SKS untuk menyelesaikan program spesialis
terhadap pasien kanker dalam pemberian asuhan keperawatan. Sesuai target kasus
asuhan keperawatan lanjut onkologi, penulis menyusun sebanyak 30 kasus
laporan kelolaan yang semuanya menggunakan pendekatan teori peaceful end of
life. Penulis menerapkan teori peaceful end of life karena rata-rata pasien yang
menjadi kelolaan adalah pasien paliatif atau stadium lanjut. Teori ini sering
digunakan dalam lingkup perawatan paliatif dan masalah lain yang
mengutamakan kedekatan keluarga serta melibatkan orang yang bermakna dalam
perawatan pasien sehingga dapat mengurangi gejala dan meningkatkan kepuasan
pasien dalam berinteraksi dengan orang lain. Proses keperawatan paliatif bukan
bertujuan meningkatkan kesembuhan tetapi lebih ditekankan untuk tujuan
membebaskan pasien dari rasa nyeri, memberikan perasaan nyaman, dihargai dan
dihormati, damai dan merasa dekat dengan sesorang yang bermakna dalam

kehidupannya (Tomey & Alligood 2010). Menurut Rasjidi (2010), perawatan paliatif
merupakan proses keperawatan yang diberikan pada pasien terminal dan
menghadapi penyakit yang mengancam nyawa serta bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencegahan dan mengurangi
penderitaan. Perawatan paliatif tidak hanya berfokus pada pasien namun juga
keluarga yang ikut berperan dalam perawatan pasien. Tindakan pencegahan
diantaranya dengan cara mengidentifikasi dini, pemeriksaan yang baik, terapi
nyeri, dan menyelesaikan masalah psikososial, serta spiritual.
Pendekatan teori peaceful end of life mampu memberikan kontribusi dalam
peningkatan pengetahuan perawat terutama dalam hal pemberian tindakan
keperawatan yang dapat membantu pasien dalam mencapai kedamaian di akhir
hidupnya. Kedamaian di akhir hidup merupakan harapan pasien paliatif/terminal.
Damai diartikan sebagai perasaan tenang, harmonis dan puas, bebas dari
kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran dan takut. Arti damai dalam aspek ini
meliputi fisik, psikologis dan dimensi spiritual (Ruland & Moore, 1998). Menurut
Ruland dan Moore (2001, dalam Tomey & Alligood 2010), tahapan proses
keperawatan lebih ditekankan pada proses pengkajian dan intervensi yang
bertujuan untuk menggali respons klien berdasarkan masalah utama dan
Aplikasi teori
pencapaian peaceful
kualitas end
hidup. of life pada
Tahapan asuhan
tersebut keperawatan
bersifat dinamisklien kanker mengacu
dan berkelanjutan.
pada lima konsep utama yang merupakan indikator pencapaian tujuan dari teori
tersebut, yaitu pengkajian nyeri, rasa nyaman, dihormati dan dihargai, damai,
kedekatan dengan orang yang bermakna. Pasien diberikan perawatan secara
komprehensif dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara
meringankan nyeri dan penderitaannya, memberikan dukungan bio-psiko-sosio
150

dan spiritual mulai dari menetapkan diagnosa sampai mengantarkan pasien pada
kematian yang damai serta memberi dukungan terhadap keluarga yang sedang
dalam keadaan berduka (Tomey & Alligood 2010).
Pemberian intervensi keperawatan pada kasus klien kanker, disesuaikan
dengan masalah keperawatan yang dihadapi oleh klien. Teori ini mampu memberi
kontribusi dalam peningkatan pengetahuan terutama tentang intervensi yang
diberikan oleh perawat dalam membantu pasien mencapai akhir kehidupan
yang dan tenang. Keterbukaan untuk melihat kenyataan yang sebenarnya utuk
damai
bertindak secara rasional (Ruland & Moore, 1998).
Analisis 30 kasus kelolaan dalam pengkajian faktor risiko pada pasien kanker,
sebagian besar adalah disebabkan gaya hidup yang salah. Faktor-faktor risiko lain
yang menyebabkan insiden kejadian kanker adalah karsinogen (radiasi, zat kimia,
virus dan agen fisik lainnya), hormon dan genetik (Black & Hawks, 2014). Lebih dari
80% pajanan radiasi berasal dari sumber alam. Termasuk radiasi ion dari sinar
kosmik dan radioaktif mineral, seperti gas radon, radium dan uranium. Sinar
matahari dan alat penyamakan (tanning) adalah dua sumber radiasi ultraviolet
(Ullrich, 2005). Sekitar 15% dari pajanan berasal dari alat diagnostik atau terapi,
termasuk radiografi, terapi radiasi, dan radioisotop yang digunakan dalam
pencitraan diagnostik (Yuspa & Shields, 2005). Zat kimia karsinogen yang paling
utama dikenal penyebab kanker adalah tembakau yang didalamnya terdapat zat
nitrosamin. Cole dan Ralu, (2001) menyatakan merokok menyebabkan lebih
banyak kanker terjadi di Amerika Serikat dibanding penyebab lain yang ditemukan.
Selain pajanan zat kimia dari produk tembakau, manusia dapat terapajan zat kimia
dari tempat bekerja. Pajanan di tempat kerja menyebabkan 2- 8% kanker pada
manusia (OSHA, 2006). Virus yang diduga dapat memicu
pertumbuhan sel kanker yaitu hepatitis B, C, Human Papilooma Viruses (HPV)
dan Helicobacter pylori. Ketika virus menginfeksi sel, ia menyebabkan kerusakan
genetik pada Deoxyribonucleid acid (DNA) sel, dan menyebabkan pertumbuhan
kanker (Black & Hawks, 2014). Karakteristik yang mempengaruhi kerentanan
terhadap kejadian kanker adalah usia, jenis kelamin, genetik, etnik atau ras. Usia
berkaitan dengan lamanya pajanan terhadap karsinogen. Wanita memiliki risiko
lebih rendah terkena kanker. Status hormonal berhubungan dengan meningkatnya
risiko neoplasma di jaringan yang bereaksi dengan hormon seperti payudara,
endometrium, prostat, ovarium, tiroid, tulang dan testis. Sebagai tambahan dari
perbedaan biologis dan genetik, faktor budaya dan sosioekonomi seseorang dapat
menempatkan etnik atau ras tertentu dalam risiko kanker tertentu (Black &
Hawks, 2014).
Sesuai dengan target kompetensi, pengelolan kasus asuhan keperawatan
terdiri dari kanker sistem saraf pusat 2 (6,66%) pasien, kanker payudara 7
(23,33%) pasien, kanker gastrointestinal 5 (16,66%) pasien, kanker
genitourinarius dan genital 6 (20%) pasien, kanker kepala dan leher 4 (13,33%)

pasien, kanker darah 3 (10%) pasien, kanker paru 1 (3,33%) pasien, kanker tulang,
otot dan jaringan lunak 2 (6,66%) pasien.
Dalam pengelempokkan tersebut pengelolaan kasus pasien dengan kanker
payudara paling banyak diantara yang lainnya. Hal ini didasarkan pada data pasien
baru atau insiden pasien kanker rumah sakit kanker Dharmais tahun 2014. Kasus
kanker payudara di RSK Dharmais menempati urutan tertinggi diantara 10 kasus
tersering lainnya yaitu sebanyak 1290 kasus (bidang rekam medik rumah sakit
kanker Dharmais, 2014). Hal tersebut menjadi pertimbangan penulis untuk
memfokuskan pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan teori
Keperawatan Peaceful End of Life Theory pada klien dengan kasus kanker
payudara.
Rumusan diagnosa keperawatan yang muncul pada 30 pasien kasus resume yaitu
diagnosa risiko infeksi 93,33%, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh 63,33%, nyeri kronis 56,67%, nyeri akut 10%, kerusakan integritas kulit
33,33%, intoleransi aktivitas 30%, ketidakefektifan pola nafas 20%, resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak dan mual muntah masing-
masing 16,67%,
masing gangguan
13,33%, pertukaran gas
defisit pengetahuan, dan gangguan
ansietas, ventilasi spontan masing-
risiko ketidakseimbangan volume
cairan, nyeri akut, risiko perdarahan masing-masing 10%, gangguan pola tidur
dan konstipasi masing-masing 6,67%, bersihan jalan nafas tidak efektif, diare,
risiko jatuh, konstipasi, retensi urin, dan hambatan mobilitas fisik masing-masing
3,33%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa lima diagnosa yang paling
banyak muncul pada pasien kanker yaitu risiko infeksi, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, nyeri kronis, kerusakan integritas kulit dan
intoleransi aktivitas. Lima permasalahan tersebut dapat dihubungkan dengan
aspek nyeri dan kenyamanan dalam teori PEOL. Untuk itu dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar pasien yang dikelola mengalami permasalahan kenyamanan
termasuk ketidaknyamanan karena masalah nyeri. Perasaan nyaman diartikan
sebagai perasaan terbebas dari rasa ketidaknyamanan, merasa senang dan puas
terhadap sesuatu serta merasa hidup lebih mudah, damai dan menyenangkan
(Ruland & Moore (1998) di dalam Tomey & Alligood , 2010).

Setelah masalah keperawatan dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan,


untuk mencapai hasil maka dirumuskan NOC (Nursing Outcome Classification).
Berdasarkan diagnosa yang paling banyak muncul, yaitu NOC untuk masalah risiko
infeksi yang dirumuskan adalah imune status dan risk control masing-masing
sebanyak 50%, untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, NOC yang dirumuskan nutritional status : food and fluid intake sebanyak
100%, diagnosa nyeri kronis NOC yang dirumuskan pain control sebanyak 100%,
untuk diagnosa kerusakan integritas kulit NOC yang dirumuskan surgical recovery :
convalescence dan tissue integrity : skin masing- masing 50% dan untuk diagnosa
intoleransi aktivitas NOC yang dirumuskan energy conservation sebanyak 66,67%
dan activity tolerance sebanyak 33,33%.
Setelah dirumuskan pencapaian (NOC), kemudian dilakukan penyusunan intervensi
keperawatan yang disebut dengan Nursing Intervention Classification (NIC).
Adapun NIC yang banyak diterapkan pada pasien kanker dengan diagnosa risiko
infeksi yaitu infection control sebanyak 60% dan infection protection sebanyak
40%, untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
sebanyak 89, 47% dengan intervensi nutrition management dan 10,53%
nutrition therapy,
management diagnosa
sebanyak 100%,nyeri kronis integritas
kerusakan intervensikulit
yang dilakukan
wound pain
care sebanyak
60% dan pressure management sebanyak 40%, dan untuk masalah intoleransi
aktivitas intervensi yang diterapkan yaitu dengan energy management sebanyak
66,67% dan activity therapy sebanyak 33,33%.
Tiga masalah yang sering muncul pada 30 kasus kelolan yaitu risiko
infeksi, ketidakseimbangan nutrisi dan nyeri kronis. Masalah risiko infeksi
menjadi masalah tersering diantara 30 kasus kelolaan. Menurut Petersdorf &
Beeson, 1961 dalam Loizidou, Aoun & Klastersky, (2016) infeksi yang dapat
menimbulkan demam yang tidak diketahui ini terjadi pada 36% pasien, masing-
masing pada kasus keganasan dan penyakit vaskular adalah sebesar 19%. Oleh
karena klien berisiko mengalami infeksi ketika di rumah sakit, salah satu poin dari
National Patient Safety Goal dari The Joint Commision (TJC) mengharuskan
institusi kesehatan untuk menurunkan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan.

Untuk mencapai tujuan ini termasuk di dalamnya mematuhi petunjuk cuci tangan
higienis dari CDC, melaporkan kejadian infeksi yang fatal, memberikan vaksin flu
dan pneumokokus kepada klien yang belum mendapatkan vaksin ini sebelum
mereka dirawat di rumah sakit (Black & Hawks, 2014). NOC untuk masalah risiko
infeksi yang dirumuskan adalah imune status dan risk control. NIC yang banyak
diterapkan pada pasien kanker dengan diagnosa risiko infeksi yaitu infection
control sebanyak 60% dan infection protection sebanyak 40%.
Masalah kedua yang sering muncul adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Sebagian besar disebabkan karena mual, muntah, dan
anoreksia. Klien dengan berbagai jenis kanker akan memperlihatkan respon mual,
muntah, dan anoreksia. Penyebab yang mendasari ketiga respon tersebut adalah
produk metabolit kanker dan stres psikologis. Baik produk metabolit kanker
maupun stres psikologis dapat menyebabkan anoreksia melalui perubahan
pengecapan dan penciuman. Perubahan ini akan menyebabkan klien tidak nafsu
makan atau merasa kenyang sehingga menolak untuk makan (Sutandyo, 2006).
Selain itu terapi modalitas kanker seperti kemoterapi dan radiasi juga dapat
menimbulkan respon mual muntah, kesulitan mengunyah dan menelan makanan,
bahkan anoreksia. Perawat diharapkan dapat menjadi fasilitator klien dan keluarga
adekuat.
untuk Dengan
menyusun terapi bersama
rencana nutrisi, diharapkan dapatperubahan
tentang strategi memperbaiki malnutrisi
terapi yang
nutrisi yang
terjadi. Terapi nutrisi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan klien, baik
jumlah, komposisi maupun cara pemberian dan harus dilakukan sejak klien
didiagnosis menderita kanker. Nutrisi merupakan bagian yang penting pada
penatalaksanaan modalitas terapi kanker. Kurang lebih 20-50% pasien kanker
mengalami penurunan status sebelum menjalani modalitas terapi. Gangguan status
nutrisi dapat mempengaruhi kemajuan penyakit, penurunan kekebalan tubuh,
insiden infeksi yang meningkat, perlambatan perbaikan jaringan, kehilangan
fungsi, dan penurunan kemampuan untuk melanjutkan pengobatan antikanker.
Dampak perubahan status nutrisi dapat berupa terjadinya penurunan berat badan
yang berakibat pada penurunan kondisi tubuh. Status nutrisi pada pasien kanker
diketahui berhubungan dengan prognosis dan kualitas hidup (Campbell, 2009).
Untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, NOC

yang dirumuskan nutritional status : food and fluid intake sebanyak 100%, dengan
intervensi nutrition management sebanyak 89, 47% dan nutrition therapy
sebanyak10,53%.
Masalah ketiga yaitu nyeri kronis. Mekanisme nyeri pada kanker dapat disebabkan
oleh aktivasi nosiseptor perifer sebagai akibat adanya penekanan atau infiltrasi
langsung oleh tumor primer atau metastasis ke jaringan yang sehat. Mekanisme
lain adalah akibat kerusakan langsung pada struktur-struktur saraf perifer atau
saraf pusat, yang disebabkan oleh agen modalitas terapi dan oklusi pembuluh
darah oleh tumor (Kemp, 2010). Intervensi yang diberikan pada klien kelolaan
dalam mengatasi nyeri adalah terapi farmakologi dengan pemberian analgesik
ringan sampai opioid, sebagaimana pedoman WHO analgesic ladder dan
manajemen nyeri nonfarmakologis. Pada beberapa pasien, pemberian analgetik
berespon dengan baik. Begitu pula dengan pemberian manajemen nyeri
nonfarmakologi seperti teknik relaksasi, dan imajinasi terbimbing, intervensi
edukasi. Kedua intervensi baik pemberian analgetik maupun manajemen nyeri
nonfarmakologi merupakan standar emas pada terapi nyeri akibat kanker. Terkait
dengan hal tersebut diatas, maka implikasi keparawatannya adalah manajemen
nyeri yang aman digunakan dan dapat mengatasi nyeri yang akhirnya
Network/SIGN,
meningkatkan 2008).hidup
kualitas Diagnosa
kliennyeri kronis
kanker NOC Intercollegiate
(Scottish yang dirumuskan yaitu pain
Guidelines
control sebanyak 100%, intervensi yang dilakukan yaitu pain management
sebanyak 100%.
Hasil pelaksanaan intervensi pada seluruh pasien kelolaan bervariasi.
Lama waktu rawat pada kasus kelolaan tergantung pada tingkat kompleksitas
penyakit kanker yang diderita, termasuk jenis kanker dan penyebarannya, serta
program terapi modalitas

4.3 Analisa Penerapan Evidence Based Nursing Practice (EBNP): Menghirup


Aromaterapi Jahe untuk mengurangi Mual Muntah akibat kemoterapi pada
Pasien Kanker payudara
Penerapan EBN menghirup aromaterapi jahe mengacu pada artikel yang

berjudul “Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on Chemotherapy Induced


Nausea and Vomiting and Health-Related Quality of Life in Women With Breast
Cancer” yang ditulis oleh Pei Lin Luaa, Noor Salihahb, Nik Mazlan pada tahun 2015.
Alasan pemilihan artikel ini adalah karena merupakan evidence tingkat I menurut
National Institute of Clinical Excellence (NICE), dengan jenis intervensi yang murah,
sederhana, bermanfaat dan memiliki waktu evaluasi yang cukup singkat. Selain itu,
artikel ini juga menjawab pertanyaan klinis yang ditemukan peneliti selama praktik
di ruang rawat inap RS Kanker Dharmais dengan beberapa pasiennya adalah pasien
yang membutuhkan penanganan mual muntah akibat kemoterapi di antaranya
adalah pasien kanker payudara. Dengan menghirup aromaterapi jahe, intesitas
mual dan frekuensi muntah pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi
berkurang secara signifikan sehingga berdampak pada tujuan akhir dari penerapan
EBN ini yakni peningkatan kualitas pelayanan keperawatan.
Minyak esensial sering digunakan dengan tujuan terapi, campuran kosmetik,
aromatik, pengharum dan kegunaan spiritual (Evans, 2000). Terapi minyak ini
diyakini dapat meringankan stres, meremajakan dan menumbuhkan semangat
individu untuk bekerja di hari berikutnya. Saraf penciuman dari hidung
ke otak adalah lokasi penting untuk aksi minyak ini. Minyak ini telah terbukti baik

sebagai antibakteri, antibiotik, dan antivirus dan beberapa praktisi telah


menyarankan penggunaan minyak esensial dalam berbagai penyakit seperti
alzheimer, jantung, kanker dan nyeri persalinan pada kehamilan (Perry N & Perry
E, 2006; Shiina, Funabash, Lee, Toyoda, Sekine & Honjo, 2008; Jimbo, Kimura,
Taniguchi, Inoue & Urakami, 2009; Smith, Collins & Crowther, 2011; Lai,
Cheung, Lo, Fung & Tong, 2011). Pada saat ini terdapat peningkatan dalam
pemanfaatan aromaterapi dalam pengobatan kanker dan gangguan tidur
(Marchand, 2014; Lee, Kim, Yeo & Lim , 2015; Hwang & Shin, 2015)
Aromaterapi telah dianjurkan dalam pengobatan kecemasan, hipertensi,
mual dan muntah, dan rasa sakit. Sebuah tinjauan sistematis, 16 percobaan
terkontrol acak (RCT), ditemukan bahwa sebagian besar orang yang
menggunakan aromaterapi dengan gejala kecemasan menunjukkan bahwa
aromaterapi memiliki efek positif dalam mengurangi gejala kecemasan (Lee, Wu,

Tsang, Leung & Cheung, 2011). Studi lain tentang penggunaan aromaterapi pada
pasien kanker, dari 160 pasien kanker yang ikut serta dalam penelitian
melaporkan bahwa aromaterapi berpengaruh dalam penurunan kecemasan di 65%
pasien, sedangkan 47% pasien menyatakan bahwa aromaterapi menurunkan efek
mual muntah (Stringer & Donald, 2011). Penelitian RCT lain melaporkan bahwa
aromaterapi telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap hipertensi dan
secara signifikan mengurangi tekanan darah sistolik dan diastolik (Hur, Lee, Kim &
Ernst, 2012).
Aromaterapi melalui sistem penciuman merupakan salah satu cara yang
diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi aroma yang paling sederhana dan
cepat memberikan reaksi (Halcon & Buckle, 2006). Menurut Kohatsu, (2008),
pemakaian minyak esensial secara inhalasi merupakan metode yang dinilai paling
efektif, dan dalam penggunaannya sangat praktis serta khasiatnya dapat dirasakan
secara langsung dibanding dengan teknik yang lain. Tehnik menghirup aromaterapi
ini lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh tanpa melalui proses absorbsi
membran sel, molekul-molekul uap akan langsung mengenai reseptor penghidu
yang berada pada rongga hidung dan langsung terhubung dengan saraf olfaktorius.
Dengan inhalasi sederhana telah terbukti meningkatkan status
(Price 1991
kesehatan & Maxwell-Hudson,
terkait emosional berupa1995).
ketenangan, relaksasi dan peremajaan tubuh
Cara kerja aromaterapi inhalasi dimulai dari organ hidung sebagai organ
penghidu yang mendeteksi aroma. Proses menghidu dimulai dengan proses
penerimaan molekul bau oleh olfactory epithelium yang merupakan reseptor
terdiri dari puluhan juta saraf pembau. Pada saat minyak aromaterapi dilepaskan
ke udara, minyak akan masuk melalui hidung dan akan mencapai nostril pada
dasar hidung, sebelum molekul aromaterapi menempel dengan silia sel
olfaktorius, odoran tersebut dapat larut dalam mucus yang melapisi silia tersebut.
Untuk dapat larut dalam mucus maka minyak aromaterapi harus bersifat
hidrofilik. Struktur dari minyak esensial ini memiliki sifat yang hidrofilik
sehingga dapat larut dalam mucus. Di bawah mucus pada epitel olfactory, reseptor
khusus yang disebut sebagai neuron reseptor olfactory mendeteksi adanya bau.
Setiap sel olfactory hanya memiliki satu jenis reseptor bau (odorant reseptor/OD),

dan satu reseptor hanya mampu mendeteksi jumlah terbatas bahan-bahan bau,
seperti sel-sel pembau kita sangat terspesialisasi sejumlah kecil bau. Untuk
selanjutnya molekul bau akan berikatan dengan OD, sehingga dapat menyebabkan
aktivasi dari protein G yang kemudian mengaktivasi enzim adenilsiklase dan
mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP membuka kanal Na sehingga terjadi influks
natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini
kemudian menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan di transmisikan
ke hipotalamus (Guyton, 2006).
Sinyal pada sel mitral yang berada di bulbus olfaktorius menjalar menuju traktus
olfaktorius media dan area olfaktorius lateral. Area olfaktorius lateralis membawa
akson-akson ke area olfaktorius pada korteks serebri, yang disebut sebagai area
periamygdaloidea dan area peripirformis dan area ini dikenal sebagai area
olfaktorius primer (pusat penghidu pada korteks serebri) pada lobus temporalis
bagian inferior medialis. Aktivasi daerah ini menyebabkan adanya kesadaran
terhadap bau tertentu yang dihirup. Selain itu area olfaktorius lateralis ini akan
membawa informasi ke sistem limbik dan hipokampus. Sedangkan area olfaktorius
medial terdiri atas sekumpulan nucleus yang terletak pada anterior dari
hipotalamus. Nucleus pada area ini merupakan nucleus septal yang kemudian
dihasilkan ke
berproyeksi darihipotalamus
inhalasi aromaterapi
dan sistem akan
limbikditerima
(Guyton,oleh sistem
2006). Sinyallimbik
yang dan
hipotalamus. Sistem ini akan mengirim pesan kepada otak untuk melepaskan
serotonin dan endorpin untuk dihubungkan dengan sistem saraf tubuh lainnya
sehingga menimbulkan perasaan nyaman sesuai yang diharapkan pikiran dan
tubuh manusia (Krishna, Tiwari & Kumar, 2000)
Menghirup aromaterapi jahe dianjurkan sebagai teknik yang efektif dan
mudah yang dapat diterapkan secara mandiri oleh para perawat kepada para
pasien dalam masa pasca kemoterapi guna mengurangi intensitas mual muntah
(Pei Lin Luaa,, Noor Salihah, & Nik Mazlan, 2015). Petugas medis juga telah
menyarankan jahe digunakan untuk mengatasi mual yang berhubungan dengan
morning sickness, pasca operasi dan kemoterapi pada pasien kanker (Julie &
Gary, 2010).

Kandungan didalam jahe terdapat zingiberena (zingirona), zingiberol, bisabilena,


kurkumen, zingirol, flandrena, vitamin A, yang dapat memblok serotonin yaitu
suatu neurotransmitter yang disintesiskan pada neuro-neuro serotonergis dalam
sistem saraf pusat dan sel-sel enterokromafin yang dapat memberikan perasaan
nyaman sehingga dapat mengatasi mual muntah (Ahmad, 2013). Tanaman ini
dilaporkan memiliki efek anti inflamasi, antimikroba, anti kanker, anti diabetes,
anti lipidemik dan antiemetik (Bhagavathula, Warner & DaSilva, 2009). Selama
lebih dari 2.500 tahun, rimpang jahe (Zingiber officinale) telah digunakan untuk
mengobati gangguan pencernaan, serta nyeri sendi dan otot (Alparslan &
Ozkarman, 2012). Berdasarkan review artikel dari beberapa peneliti yang dilakukan
oleh Banerjee (2011) manfaat jahe adalah berpengaruh terhadap sistem
kardiovaskular yaitu membantu untuk mengurangi tekanan darah dan beban kerja
jantung, memberikan bantuan terhadap serangan sakit kepala, mengurangi mual
dan muntah, antiinflamasi, menghambat pertumbuhan bakteri,menekan
pertumbuhan sel-sel kanker pada usus besar dan masih banyak manfaat lain dari
jahe. Penelitian systematic riview oleh Miranda dan Olateju (2015)
mekomendasikan penggunaan jahe, yoga, dan teknik distraksi dalam mengurangi
mual muntah akibat kemoterapi.
pengobatan
Pada bulan Junianti mual
2009, adauntuk pasien
publisitas kanker
besar yangjahe
tentang menerima
sebagaikemoterapi. Sebuah
studi multisite, nasional, acak, doubleblind, terkontrol plasebo dari 644 pasien,
dengan peneliti dari University of Cancer Rochester Community Center Clinical
Oncology Program (URCC CCOP), menyimpulkan bahwa suplementasi jahe
signifikan mengurangi mual akut yang dipicu oleh kemoterapi. Hasil awal dari
penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahun 2009 dari American Society
of Clinical Oncology (ASCO), dan menunjukkan bahwa semua dosis jahe
signifikan mengurangi mual (P = 0,003). Penurunan terbesar mual terjadi dengan
0,5-g dan 1,0-g dosis jahe. Juga, waktu hari memiliki efek signifikan pada mual
(P <0,001), dengan penurunan mual linear selama 24 jam pada hari 1 kemoterapi
untuk pasien yang menggunakan jahe (Ryan, Heckler & Dakhil, 2009). Jahe
belum terbukti dapat menghambat efektivitas obat kemoterapi (Engdal, Klepp &
Nilsen, 2009).

Beberapa bukti ilmiah lain yang tersedia terkait dengan inhalasi aromaterapi juga
menyarankan bahwa inhalasi uap peppermint atau minyak esensial jahe tidak
hanya mengurangi kejadian dan tingkat keparahan mual dan muntah tetapi juga
digunakan sebagai persyaratan antiemetik yang memuaskan dan perlu
ditingkatkan (Lua & Zakaria, 2012). Di sisi lain, rimpang jahe, Zingiber secara resmi
dalam sejarah telah digunakan di negara-negara Asia, khususnya di Cina dan India
selama ratusan tahun sebagai bahan penyembuhan untuk kondisi seperti sakit
kepala, mual, rematik dan pilek. Dalam penelitian ini juga dilaporkan efektivitas
jahe terhadap berbagai kondisi nausea termasuk mual muntah akibat kehamilan
dan pasca-operasi (White, 2007). Penelitian oleh Montazeri et al., (2013) juga
melaporkan efektifitas penggunaan jahe sebagai obat herbal dalam penanganan
mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker. Selain itu hasil penelitian oleh
Muthia, Wahyu dan Dachriyanus (2013) melaporkan penurunan mual muntah
akibat kemoterapi yang signifikan dengan penggunaan jahe, sehingga peneliti
dalam penelitian ini menyarankan menggunakan jahe sebagai terapi
komplementer dalam pengelolaan mual muntah akibat kemoterapi.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penerapan EBN yang diterapkan pada pasien
kanker payudara yang menjalani kemoterapi di rumah sakit kanker
aromaterapi
Dharmais. Hasiljahe dapat EBN
penerapan menurunkan tingkat
menunjukkan mual.
bahwa Namunmenghirup
intervensi penggunaan
aromaterapi jahe esensial lebih signifikan menurunkan skala mual dan lebih
sedikit terjadi muntah dibandingkan penggunaan plasebo. Hal tersebut dapat
dilihat dari perbedaan rerata skala mual dan frekuensi muntah antara pemberian
aromaterapi esensial jahe dan plasebo (minyak wangi jahe).
160

Dengan penerapan EBN dan didukung dari penelitian-penelitian yang


telah dilakukan maka perawat spesialis dapat melakukan penerapan menghirup
aromaterapi jahe sehingga dapat mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara sehingga penyembuhan pasien tepat pada waktunya,
lama hari rawat dan biaya perawatan berkurang sehingga kepuasan pasien
terhadap pelayanan kesehatan meningkat. Selain itu hasil penerapan EBN ini
dapat dijadikan salah satu intervensi keperawatan yang murah, sederhana dan

nyaman bagi pasien untuk mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara dan dapat memperkaya intervensi keperawatan
bedah onkologi khususnya untuk mengurangi mual dan muntah akibat
kemoterapi pada pasien kanker payudara. Penerapan EBN ini dapat
diintegrasikan dengan penerapan teori Peaceful End of Life pada klien kanker ke
dalam praktik keperawatan berbasis bukti ilmiah. Evidence based nursing
practice merupakan suatu cara untuk membuktikan bahwa perawat adalah
seorang yang mempunyai ketrampilan profesional dan pengetahuan serta
memilki dedikasi dan loyalitas
yang tinggi.
4.4 Analisa Penerapan Proyek Inovasi Modified Early Warning Score (MEWS) di
IGD
Berdasarkan penerapan format pengkajian dalam proyek inovasi yang
dilaksanakan di RS Kanker Dharmais Jakarta didapatkan data Pelaksanaan
monitoring kondisi pasien menggunakan MEWS secara umum dapat diterima
dengan baik oleh perawat-perawat IGD. Perawat terlihat cukup antusias dengan
penggunaan MEWS karena diperoleh standar dalam melakukan monitoring
pasien secara lebih sistematis. Dalam penerapan MEWS ini perlu dukungan
sarana danlebih lanjut sehingga diperoleh MEWS yang benar-benar sesuai dengan
penelitian
prasarana penunjang untuk pelaksanaan MEWS. Perlu pengembangan
kondisi pasien kanker di RSKD.
atau
Proses keperawatan memerlukan pemikiran kritis dari seorang perawat
spesialis untuk mengkaji, mendiagnosis, dan mengobati respon manusia terhadap
kesehatan dan penyakit. Pengkajian keperawatan merupakan bagian integral dari
proses keperawatan. Data dasar klien yang diperoleh melalui pengkajian
keperawatan sangat diperlukan guna mengidentifikasi respon klien terhadap
masalah kesehatan. Dengan demikian, cara perawat melakukan pengkajian dan
mengorganisasikan data adalah hal yang sangat penting, sehingga kebutuhan klien
yang mengalami sesuatu dapat teridentifikasi secara tepat dan cermat (King &
Shell, 2002). Format pengkajian keperawatan merupakan suatu tanggung jawab
dari professional keperawatan, sehingga perawat memiliki tanggung gugat
terhadap klien dan institusi tempat kerja. Dokumentasi berfungsi sebagai alat

komunikasi, edukasi, penelitian dan sebagai standart praktik dalam pelayanan


kesehatan (Dlaune & Ladner, 2002).
Pengkajian keperawatan yang berfokus pada masalah klien dengan kanker sangat
diperlukan dalam menilai status kesehatan klien dengan kanker secara sistematis.
Menetapkan masalah terhadap pemenuhan kebutuhan klien, hanya dapat
diperoleh melalui analisa dari suatu pengkajian. Pengkajian keperawatan
memegang peran penting sebagai parameter yang mendasari seluruh tindakan
yang akan dilakukan. Kondisi dan respon klien mempengaruhi luasnya
pemeriksaan. Keakuratan pemeriksaan fisik mempengaruhi pemilihan terapi yang
akan diterima klien dan evaluasi respon terhadap terapi tersebut. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari seluruh perawat yang menginginkan bahwa format
pengkajian keperawatan yang telah diuji cobakan tersebut, dapat segera
diterapkan. Dengan menggunakan format tersebut, maka dapat meningkatkan
akuntabilitas dan tanggung jawab perawat kepada pasien dan profesi
keperawatan. Selain itu, penerapan pengkajian tersebut juga berdampak pada
pengurangan durasi pengkajian yang tadinya lama menjadi singkat.
Kelompok melakukan ujicoba penerapan MEWS di unit gawat darurat Rumah Sakit
Kanker Dharmais. Hal ini dikarenakan pelayanan gawat darurat
pasien dengan
merupakan ancaman kematian
unit pelayanan dan yang
rumah sakit kecacatan, sehingga
memberikan memerlukan
pelayanan pelayanan
pertama pada
yang segera yaitu cepat, tepat dan cermat untuk mencegah kematian dan
kecacatan dengan indikator mutu pelayanan adalah respon time (waktu tanggap)
(Kemenkes RI, 2005; Kemenkes RI, 2009). Penerapan MEWS di unit gawat
darurat diharapkan dapat memberikan arahan pada perawat dalam melakukan
monitoring kondisi pasien dan membantu menentukan kebutuhan tranfer pasien
ke ruang perawatan lainnya. Lam et al. (2006) menyebutkan MEWS cocok untuk
diterapkan pada unit emergensi dan dapat membantu mengidentifikasi pasien
dengan risiko perburukan kondisi yang membutuhkan peningkatan level
perawatan seperti rawat inap atau masuk ICU.

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari analisis yang dilakukan dan
saran yang terkait dengan uraian pada bab-bab sebelumnya.
Kesimpulan

Pengelolaan terhadap kasus utama klien dengan kanker mammae dilakukan


dengan pendekatan teori “Peaceful End of Life” (PEOL). Teori ini tepat digunakan
sebagai acuan dalam perawatan pasien kanker paliatif karena lebih spesifik
menilai kondisi klien dan kondisi keluarga dan peran perawat pada perawatan
paliatif. Pada dasarnya tujuan peaceful end of life bukanlah mengoptimalkan
perawatan yang paling baik dengan menggunakan teknologi tercanggih, tetapi
lebih berfokus kepada perawatan yang mengutamakan kenyamanan pasien serta
keterlibatan
keluarga yang optimal. Sehingga pasien diakhir kehidupannya dapat

meningkatkan kualitas hidup dan menghadapi kematian dengan tenang dan


damai.
5.1.2 Mual muntah merupakan salah satu efek dari pemberian kemoterapi. Hal
tersebut dapat menyebabkan permasalahan kualitas hidup pada pasien
yang menjalani kemoterapi dan masalah kepatuhan dalam mengikuti
prosedur pengobatan. Berlandaskan beberapa studi/penelitian dalam
jurnal, menghirup aromaterapi jahe telah terbukti efektif dalam
mengurangi mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara.
Menghirup aromaterapi jahe memiliki manfaat yang besar, diantaranya
adalah efisien biaya, dapat dikombinasikan dengan terapi farmakologis
dan terapi modalitas yang lain, serta tidak memiliki efek samping yang
membahayakan klien. Pemberian aromaterapi jahe berbasis bukti ilmiah
ini dapat dilakukan oleh seorang perawat onkologi untuk mengurangi mual
dan muntah akibat kemoterapi khususnya pada pasien kanker payudara

5.1.3 Modified Early Warning Score (MEWS) adalah sebuah sistem skoring
fisiologis (tanda-tanda vital) yang sudah dimodifikasi umumnya digunakan untuk
mendeteksi penurunan kondisi pasien sebelum pasien mengalami kondisi
kegawatan. Sistem ini meliputi pemantauan
nsi pern tanda-
tanda fisiologis yaitu frekueapapasan, frekuensi nadi, tekanan
ksigen,
161 t
darah sistolik, suhu, saturasi oingkat kesadaran, dan produksi urin.

Skoring MEWS disertai dengan algoritme tindakan berdasarkan hasil skoring dari
pengkajian pasien. MEWS membantu perawat dalam mengkomunikasikan
penurunan/perburukan kondisi pasien sehingga meningkatkan kemampuan
clinical judgement dan meningkatkan output
(kepuasan) klien/keluarga.
Saran
Bagi Pelayanan Keperawatan

Perlunya sosialisasi dan dukungan dari semua pihak khususnya bidang


keperawatan terhadap penerapan peaceful end of life theory sebagai pendekatan
dalam pemberian asuhan keperawatan klien dengan kanker, sehingga dapat
memberikan arah dalam praktik keperawatan profesional yang berdampak pada
peningkatan berbagai outcome kesehatan.
Perawat dapat menerapkan terapi komplementer yaitu pemberian
aromaterapi jahe untuk mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi yang
dapat dikombinasikan dengan terapi pengobatan standart secara kontinyu
berdasarkan kebutuhan ruangan sebagai bentuk profesionalitas perawat terhadap
asuhan keperawatan.
MEWS pada pasien kanker berbeda dengan pasien yang non kanker,
sehingga harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan parameter
MEWS yang tepat untuk kasus kanker dan sesuai dengan kondisi pasien kanker di
RSKD. Perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap kategori-kategori yang di-skor
pada MEWS termasuk dengan rentang nilainya sehingga cocok untuk pasien
kanker di Indonesia selain itu penambahan critical value pada kategori-kategori
tertentu misalnya pada kategori nyeri dan perdarahan. Begitu juga dengan

algoritme penatalaksanaan dan frekuensi monitoring sehingga sesuai dengan


kemampuan tata laksana perawat di lapangan. Peninjauan ulang ini membutuhkan
penelitian berkelanjutan untuk memperoleh data yang akurat sesuai dengan
kondisi pasien kanker di RSKD, sehingga outcome akhirnya diharapkan terbentuk
suatu sistem early warning khusus untuk pasien kanker. Dukungan penambahan
tenaga atau sarana dan prasarana yang menunjang seperti bedsite monitor atau
alat penimbang juga diperlukan sehingga dalam pelaksanaan monitoring kondisi
pasien mengunakan MEWS tidak menambah beban kerja bagi perawat.
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan

Perlunya kajian dan penelitian lebih lanjut tentang penerapan peacefull end of life
theory sebagai pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu
pada pasien dengan kanker khusunya pada kondisi paliatif, sehingga memberikan
panduan dalam proses keilmuan keperawatan medikal bedah melalui
pengembangan praktik keperawatan berbasis teori keperawatan.
MEWS dalam setting onkologi dapat diperkenalkan pada peserta didik untuk
dilakukan pengembangan berkelanjutan.
REFERENSI

Acute Pain Management Guidline Panel. (1992). Acute Pain Management in


Adults : Operative Procedures. Quick reference guide for clinicians
(AHCPR Pub. No. 92-0019) Rockville, Md : Agency for Health Care Policy
and Research, U.S. Public Helath Service, U.S. Deparment of Health and
Human Services.
Ahmad. (2013). Aneka Manfaat Ampuh Rimpang Jahe untuk Pengobatan.
Yogyakarta: Dandra Pustaka Indonesia
Ahrens, T. (2008). The most important vital signs are not being
measured. Australian Critical Care, 21, 3–5.
Akcley, B.J., & Ladwig, G.B. (2011). Nursing diagnosis handbook: an evidence
based guide to planning care, 9th ed. Missouri: Mosby, Inc.
Alan N. Schechter. (2008). Hemoglobin research and the origins of molecular
medicine. November 15, 2008; Blood: 112 (10)
http://www.bloodjournal.org/content/112/10/3927?sso-checked=true
Albernethy, A., Currow, D., Frith, P. (2003). Randomised Double Blind, Plasebo
Controlled crossover trial of sustained release morphine for management of
refractory dispnoea. British medical Journal, 327 (7414), 523.
http://proquest- lib.ui.ac.id/pqdweb?
did=421119071dansid=2danFmt=4danclientid=21158d
anRTQ=309danVname=PQD.#
Alexander Molassiotis, RN, PhD, Paul H. Lee, PhD, Thomas A. Burke, PhD,
Mario Dicato, MD, FRCP, Pere Gascon, MD, PhD, Fausto Roila, MD, and
Matti Aapro, MD. (2016). Anticipatory Nausea, Risk Factors, and Its
Impact on Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting: Results From the
Pan European Emesis Registry Study. American Academy of Hospice and
Palliative Medicine. Published by Elsevier Inc. All rights reserved.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2015.12.317; June 2016, Volume
51, Issue 6, Pages 987–993
Ali BH, Blunden G, Tanira MO, et al. (2008). Some phytochemical,
pharmacological and toxicological properties of ginger (Zingiber offi cinale
Roscoe): A review of recent research. Food Chem Toxicol 46(2):409–420.
Ali, Babar, Naser Ali Al-Wabel, Saiba Shams, Aftab Ahamad, Shah Alam Khan,
Firoz Anwar. (2015). Essential oils used in aromatherapy: A systemic
review. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. journal homepage:
www.elsevier.com/locate/apjtb.
http://dx.doi.org/10.1016/j.apjtb.2015.05.007
Alparslan and Ozkarman. (2012). Effect of Ginger on Chemotherapy-Induced
Nausea and Vomiting in Cancer Patients. Journal of the Australian -
Traditional Medicine Society 18 (1), 15-18.
American Medical Association. (2010). Module pain management
pathophysiology of pain and pain assessment. Available
from: www.ama.com
American Pain Foundation. (2007). Pain. www.painfoundation.org
Antonio Llombart-Cussac, Manuel Ramos, Elsa Dalmau , Jose´ A. Garcı´a-Saenz,
Xavier Gonza´lez-Farre´, Laura Murillo, Lourdes Calvo, Serafı´n Morales,
Vicente Caranana, Ana Gonzalez, Luis A. Fernandez-Morales, Fernando
Moreno, Ma Isabel Casas, Ma del Mar Angulo, Ma Carmen Camara, Ana I.
Garcia-Mace, Eva Carrasco, Carlos Jara-Sa´nchez. (2016). Incidence of
chemotherapy-induced nausea and vomiting associated with docetaxel and
cyclophosphamide in early breast cancer patients and aprepitant efficacy as
salvage therapy. Results from the Spanish Breast Cancer Group/2009-02
study. European Journal of Cancer 58 (2016) 122-129.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejca.2016.01.015 0959-8049/ª 2016 Published by
Elsevier Ltd. Available online at www.sciencedirect.com. journal
homepage: www.ejcancer.com
Arthur F. Gelba,, Jill Karpelb , Robert A. Wisec , Cara Cassinod , Philip Johnsond
, Craig S. Conoscentid. (2008). Bronchodilator efficacy of the fixed
combination of ipratropium and albuterol compared to albuterol alone in
moderate-to-severe persistent asthma. doi:10.1016/j.pupt.2008.02.005.
www.elsevier.com/locate/ypupt Pulmonary Pharmacology & Therapeutics
21 (2008) 630–636.
Avard, B., McKay, H., Slater, N., Lamberth, P., Daveson, K., & Mitchell, I.
(2011). Training manual for the national early warning score and
associated education programme. Australia: Compas.
Ayres, G.C. (2009). Nurses’ role in cancer control. Journal Compilation Nursing
Forum, 44(1), January-March, pp. 64-67.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta.
www.depkes.go.id/resources/download/.../Hasil%20Riskesdas%2020
Ballatori E, Roila F, Ruggeri B, et al. (2007). The impact of chemotherapyinduced
nausea and vomiting on health-related quality of life. Support Care Cancer.
2007;15(2):179-185.
Ballatori E, Roila F, Ruggeri B, et al. (2007). The impact of chemotherapyinduced
nausea and vomiting on health-related quality of life. Support Care Cancer.
2007;15(2):179-185.
Banerjee, S., Mullick, H.I.,Banerjee, J. (2011). Zingiber Officinale: A Natural
Gold. International Journal of Pharma and Bio Sciences. Vinayaka
Missions Sikkim University NH 31-A, Tadong-737102, East Sikkim, India
Baratawidjaya, K.G. (2006). Imunologi dasar, Edisi ke-7. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Barlow G.D., Nathwani D. & Davey P.G. (2006). Standardisedearly warning
scoring system. Clinical Medicine 6 (4), 422–423.
Basch, E., Foppa, I., Liebowitz., Nelson, J., Smith, M., Sollars, D., Ulbricht, C.
(2004). Monograph From Natural Standard. Lavender (Lavandula
angustifolia Miller). Journal of Herbal Pharmacotherapy
Bashir, Usman and Colvin, Lesley A. (2013). The place of pharmacological
treatment in chronic pain. Anaesthesia and Intensive Care Medicine.
Volume 14, Issue 12, December 2013, Pages 528–532. http://remote-
lib.ui.ac.id:2057/science/article/pii/S1472029913002555
Battaglia S. (2004). The complete guide to aromatherapy. Brisbane: Perfect
Potion.
Beck, S., Dudley, W.N., & Barsevick, A.M. (2005). Using a mediation model to
test a symptom cluster: Pain, sleep disturbance, and fatigue in cancer
patients [Online Exclusive]. Oncology Nursing Forum, 32, E48–E55. doi:
10.1188/05.ONF.E48-E55
Bell D., Paterson R. & Macleod D. (2006). Letters to the editor –in response to
Barlow et al. Clinical medicine. Journal of the Royal College of Physicians
6 (4), 423–424.
Bennett R, Maskell N. (2005). Management of malignant pleural effusions. Curr
Opin Pulm Med 11:296–300
Bhagavathula N, Warner RL, DaSilva M, et al. (2009). A combination of
curcumin and ginger extract improves abrasion wound healing in
corticosteroid-impaired hairless rat skin. Wound Repair Regen 17(3):360–
366.
Bjorneklett, H.G., Lindemalm, C., Rosenblad, A., Ojutkangas, M.L., Letocha, H.,
€ Strang, P., et al. (2012). A randomised controlled trial of support group
intervention after breast cancer treatment: results on anxiety and
depression. Acta Oncologica 51, 198-207
Black , Joiyce M. & Hawks, Jane Hokanson. 2014. Keperawatan Medikal Bedah.
Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8. Buku 3. Jakarta :
Salemba Medika
Black, J.M., Hawks, J.H. (2009). Medical-surgical nursing clinical management
for positive outcomes, (8th ed). St. Louis. Missouri: Saunders Elsevier.
Blackhers, E., dan Christopher, M. (2002). On the road to Reform Advocacy and
activism in end on life care. Journal of Palliative Medicine, 5(1), 13-22.
Boehm K, Büssing A, Ostermann T. (2012). Aromatherapy as an adjuvant
treatment in cancer care: a descriptive systematic review. Eur J Integr Med.
2012; 4- 1:129
Booth C.M., M. Clemons, G. Dranitsaris, A. Joy, S. Young, W. Callaghan, et al.
(2007). Chemotherapy-induced nausea and vomiting in breast cancer
patients: a prospective observational study, J Support Oncol. 5. 374–380.
Borjeson S, Hursti TJ, Peterson C, Fredikson M, Fürst CJ, Avall-Lundqvist E, et
al. (1997). Similarities and differences in assessingnausea on a verbal
category scale and a visual analog scale.Cancer Nurs 1997;20:260—6.
Bradman, K., & Maconochie, I. (2011). Can paediatric early warning score be
used as a triage tool in paediatric accident and emergency?. Pediatrics,
18(3), e182.
Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland A, Romundstand L, Hals EK,
et al. 2008. Assesment of pain. British Journal of Anesthesia.;101(1):17-24.
Brune, K. And Zeilhoffer, H.U. (1999). Antypiretic (non-narcotic) analgesics. In
P.D. Wall and R melzack (Eds). Textbook of pain. Edisi ke 4. Hlm 1139-
1153. Edinburgh: Churchill Livingstone.
Buckle J. (2014). Clinical Aromatherapy in Healthcare. London, England:
Elsevier
Buckman, Whittaker. (2010). Apa yang Seharusnya Anda Ketahui tentang Kanker
Payudara. Bandung : Intan Sejati
Bulfone, T., Quattrin, R., Zanotti, R., Regattin, L., Brusaferro, S. (2009).
Effectiveness of music therapy for anxiety reduction in women with breast
cancer in chemotherapy treatment. Holistic Nursing Practice 23, 238-242.
Burstein HJ, Polyak K, Wong JS. (2004). Ductal Carcinoma In Situ of the
Breasts. N Engl J Med,; 350:1430
Campbell, L.M. (2009). Nurse to nurse: Palliative care. New York: McGraw-
Hill.
Canadian Association of Nurses in Oncology/Association Canadienne des
Infirmieres en Oncologie (CANO\ACIO). (2012). CANO/ACIO Standards
and competencies for cancer chemotherapy nursing practice
Canadian Association of Psychosocial Oncology (2012). A Pan-Canadian Practice
Guideline: Prevention, Screening, Assessment and Treatment of Sleep
Disturbances in Adults with Cancer
Canadian partnership against cancer. (2011). A Pan-Canadian Practice Guideline:
Screening, Assessment and Care of Cancer-Related Fatigue in Adults with
Cancer
Canadian partnership against cancer. (2011). Manage cancer related fatigue: For
People Affected by Cancer
Cancer care Ontario. (2012).Symptom Management Pocket Guides: Delirium,
Dyspnea, Nausea & Vomiting
Carelle, N.H., Piotto, E.Y., Bellanger, A., Germanaud, J.R., Thuillier, A., Khayat,
D.S. (2002).Changing patient perceptions of the side effects of cancer
chemotherapy.Research in Nursing and Health, 13, 18-25.
Carvajal, A., Centeno, C., Watson, R., Bruera, E. (2011). A comprehensive study
of psychometric properties of the Edmonton Symptom Assessment System
(ESAS) in Spanish advanced cancer patients. European Journal Of Cancer
47 (2011) 1863–1872. doi:10.1016/j.ejca.2011.03.027
Casey, Georgina. (2012). Treating nausea and vomiting. New Zealand Nurses'
Organization. 18 (11), 20-40
Castelli, L., Binaschi, L., Caldera, P., Mussa, A., Torta, R. (2011). Fast screening
of depression in cancer patients: the effectiveness of the HADS. European
Journal of Cancer Care 20, 528-533.
Cebeci, F., Yangın, H.B., & Tekeli, A. (2012). Life experiences of women with
breast cancer in south western Turkey: A qualitative study. European
Centers for Disease Control and Prevention. (2005). National Nosocomial
Infections Surveillance System (NNIS). Diakses 11/6/2016 dari
www.cdc.gov/ncidod/dhqp/nnis.html.
Chang SY. (2008). Effects of aroma hand massage on pain, state anxiety and
depression in hospice patients with terminal cancer. Taehan Kanho Hakhoe
Chi ; 38: 493-502. Korean.
Chang, V.T., Hwang, S.S., Feuerman, M., & Kasimis, B.S. (2000). Symptom and
quality-of-life survey of medical oncology patients at a veteran affairs
medical centre: A role for symptom assessment. Cancer, 88, 1175–1183.
doi: 10.1002/(SICI)1097-0142(20000301)88:5<1175::AID-CNCR30>3.0.
CO;2-N
Chen, C.I., Miser, J. Kuan, C-F, Fanf Y-A, Lam, C. &Li, y-C. (2013). Critical
Laboratory Result Reporting System in Cancer Patients. Computer Methods
and Programs in Biomedicine, III, 249-254.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cmpb.2013.03.008
Chen, M.L., & Lin, C.C. (2007). Cancer symptom clusters: A validation study.
Journal of Pain and Symptom Management, 34, 590–599. doi:
10.1016/j.jpainsymman. 01.008
Cheng D, Rodriguez RM, Perkett EA, Rogers J, Bienvenu G, Lappalainen U,
Light RW. (1999). Vascular endothelial growth factor in pleural fluid.
Chest 116:760–765
Chlan, L. (2009). A review of the evidence for music intervention to manage
anxiety in critically ill patients receiving mechanical ventilatory support.
Archives of Psychiatric Nursing 23, 177-179
Cho, E.A., Oh, H.E. (2011). Effects of laughter therapy on depression, quality of
life, resilience and immune responses in breast cancer survivors. Journal of
Korean Academy of Nursing 41, 285-293
Cho, M.S., Cho, Y.A., Kwon, I.G., Seo, M.J., & Baek, H.J. (2011). Importance,
satisfaction and contribution of advanced practice nurses' role recognized
by health care professionals. J Korean Acad Nurs Adm. 2011
Jun;17(2):168-179. doi.org/10.11111/jkana.2011.17.2.168
Chung WY, Jung YJ, Surh YJ, et al. (2001). Antioxidative and antitumor
promoting effects of [6]-paradol and its homologs. Mutat Res 496(1-
2):199–206.
Cioffi, J. (2000). Nurses’ experiences of making decisions to call emergency
assistance to their patients. Journal of Advanced Nursing 32: 108–114.
Cole, P. & Ralu, B. (2001). Analytic Epidemiology : Cancer Causes, dalam V. T
Devita, S. Hellman and S.A. Rosenberg (Ed). Cancer Principles and Practice
of Oncology. Edisi ke-6. Hlm. 241-252. Philadelphia : Lippincott Williams
and Wilkins.
Cooksley CD, Avritscher EB, Rolston KV, Elting LS. (2009). Hospitalizations for
infection in cancer patients: impact of an aging population. Support Care
Cancer;17:547-54.
Cooksley, T., Kitlowski, E., & Haji-Michael, P. (2012). Effectiveness of modified
early warning score in predicting outcomes in oncology patients. Q J Med,
105, 1083–1088. doi:10.1093/qjmed/hcs138
Cooper,D.S., Doherty, G.M., Haugen, B.R., Kloos, R.T., Lee, S.L., … & Tuttle,
R.M. (2006). Management guidelines for patients with thyroid nodules and
differentiated thyroid cancer. American Thyroid Association, Thyroid,
volume 16, number 2
Coyne, E., & Borbasi, S. (2009). Living the experience of breast cancer
treatment: The younger women‘s perspective. Australian Journal Of
Advanced Nursing, 26(4): 6-13
Cuthbertson B.H., Boroujerdi M., McKie L., Aucott L.& Prescott G. (2007). Can
physiological variables and early warning scoring systems allow early
recognition of the deteriorating surgical patient? Critical Care Medicine 35
(2), 402–409.
Danielle Zweer, Everlien de Graaf, Saskia C.C.M. Teunissen. (2016). Non-
pharmacological nurse-led interventions to manage anxiety in patients with
advanced cancer: A systematic literature review.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2015.10.022 0020-7489/ 2015 Elsevier
Ltd. All rights reserved.
Dantzer, F., et al., (1999). Involvement of poly(ADP-ribose) polymerase in base
excision repair. Biochim. 81, 69–75.
Davey, Patrick. (2006). Kanker Payudara. Dalam: Davey, Patrick, ed. At a
Glance Medicine. Jakarta : Penerbit Erlangga, 341.
170

Davidson W, Teleni L, Muller J, et al. (2012). Malnutrition and chemotherapy-


induced nausea and vomiting: Implications for practice. Oncol Nurs Forum.
2012;39(4):E340-E345
Davidson, A.J., & Chasen, R.M. (2008). Managing cancer cachexia : a guide to
current therapy. Oncology Exchange. 7 (3), 8-11
de Wit, R., van Dam, F., Zandbelt, L., van Buuren, A., van der Hejden, K., et al.
(1997). A pain education program for chronic cancer pain patients:
Follow- up results from a randomized controlled trial. Pain, 73, 55–69.
Denis E. O’Donnell, MD, FRCPC, Katherine A. Webb, MSc, Daniel Langer,
PhD, Amany F. Elbehairy, MD, PhD, J. Alberto Neder, MD, and Deborah J.
Dudgeon, MD. (2016). Respiratory Factors Contributing to Exercise
Intolerance in Breast Cancer Survivors: A Case-Control Study. Journal of
Pain and Symptom Management. American Academy of Hospice and
Palliative Medicine. Published by Elsevier Inc. All rights reserved. 0885-
3924/$ - see front matter
http://dx.doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2016.01.004
Depkes. (2013). Situasi Penyakit Kanker. (Online). Diakses
dalamhttp://www.depkes.go.id
Desen Wan, (2011). Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta.
Devies, L., Welch, H.G. (2006). Increasing incidence of thyroid cancer in the
United States, 1972-2002. Journal American Medical Association, May 10,
2006 – vol 295, No. 18
Dibble, S.L., Israel, J., Nussey, B., Casey, K., & Luce., J. (2003). Delayed
Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Woman Treated for
BreasT Cancer. Oncology Nursing Forum. 30(2), 40-47
Dipiro, Joseph T., Robert L., Gary C. Yee., Gary R. Matzke., Barbara G Wells., &
L.Michael Posey (2005). Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach.
New York: MeGraw-Hill Companies, Inc, 1333-1352
Djoerban & Shatri, (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam: Masalah
psikosomatik klien kanker. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
Dodd MJ, Miaskowski C, Paul S. (2001). Symptom clusters and their effect on the
functional status of patients with cancer. Oncol Nurs Forum;28: 465-470.
Donovan, H.D., & Ward, S. (2001). A representational approach to patient
education. Journal of Nursing Scholarship; Third Quarter 2001; 33, 3;
ProQuest pg. 211
Dudgeon DJ, Lertzman M, Askew GR. (2001). Physiological changes and
clinical correlations of dyspnea in cancer patients. J Pain Symptom
Manage;21:373-379.
Duncan, K., & McMullan, C. (2012). Early warning system. Philadelphia:
Lippincott.
Eliases AH, Colditz GA, Rosner B, et al. (2006). Adult weight change and risk of
postmenopausal breast cancer. JAMA. 2006;296:193–201.
Ellis IO, et all. (2003). Invasive breast carcinoma. In: Tavasolli FA, Devilee P.
Pathology and Genetic of Tumours of the Breast and Female Genital
Organs, WHO Classification of Tumours, IARC Press;: 18-19, 23-43.
Engdal S, Klepp O, Nilsen OG. (2009). Identification and exploration of herb-
drug combinations used by cancer patients. Integr Cancer Ther 8(1):29–36.
Ergun, M., Eyigor, S., Karaca, B., Kisim, A., Uslu, R. (2013). Effects of exercise
on angiogenesis and apoptosis-related molecules, quality of life, fatigue and
depression in breast cancer patients. European Journal of Cancer Care 22,
626-637
Evans WC. (2000). Trease and Evans pharmacognosy. 4th ed. London: WB
Saunders Co.
Eyigor, S., Karapolat, H., Yesil, H., Uslu, R., Durmaz, B. (2010). Effects of
pilates exercises on functional capacity, flexibility, fatigue, depression and
quality of life in female breast cancer patients: a randomized controlled
study. European Journal of Physical and Rehabilitation Medicine 46, 481-
487
Feeney , C., Bryzman , S., Kong, L., Brazil, H., Deutsch, R., & Fritz LC. (1995).
T-lymphocyte subsets in acute illness. Crit Care Med. 1995 Oct;23(10):
1680-5. PMID:7587233 [PubMed - indexed for MEDLINE]
Fentiman IS. (2001). Fixed and modifi able risk factors for breast cancer. Int J
Clin Pract. 2001;55:527–530.
Ferna´ndez-Ortega P, Caloto MT, Chirveches E, et al. (2012). Chemotherapy-
induced nausea and vomiting in clinical practice: impact on patients’
quality of life. Support Care Cancer 2012;20:3141e8.
Ferrel, B.R. (1995). The impact of pain on quality of life. Nursing Clinics of
North America, 30 (4), 609-624
Feyer, P. & Jordan, K. (2011). Update and New Trends in Antiemetic Therapy:
The Continuing Need for Novel Therapies. Ann Oncol. 2011 Jan;22(1):30-8.
doi: 10.1093/annonc/mdq600. Department of Radiooncology, Nuclear
Medicine, Vivantes Clinics Berlin-Neukölln, Berlin.
Feyer, P., Kleeberg, U.R., Steingräber, M., Günther, W., & Behrens, M. (2008).
Frequency of side effects in outpatient cancer care and their influence on
patient satisfaction—A prospective survey using the PASQOC®
Questionnaire. Supportive Care in Cancer, 16, 567–575. doi:
10.1007/s00520-008-0422-4
Fitzgerald JM, Grunfeld A, Pare PD, et al. The clinical efficacy of combination
nebulized anticholinergic and adrenergic bronchodilators vs. nebulized
adrenergic bronchodilator alone in acute asthma. Chest 1997;111:311–5.
Fitzpatrick & McCarthy,
(2014). Fitzpatrick &
McCarthy, (2014).
Fletcher S.J. & Cuthbertson B.H. (2010). Outreach, epistemology and the
evolution of critical care. Anaesthesia 65 (2), 115– 118.
Franklin C, Mathew J (1994) Developing strategies to prevent inhospital cardiac
arrest: analyzing responses of physicians and nurses in the hours before the
event. Critical Care Medicine 22: 244–247.
Friedberg, E.C. (2006). DNA Repair and Mutagenesis, 2nd ed. ASM Press,
Washington, D.C.
Gardner, D.G., & Shoback, D. (2007). Greenspan’s basic & clinical
endocrinology, eighth editions. USA: The McGraw-Hills Companies, Inc.
Garrett JE, Town GI, Rodwell P, et al. (1997). Nebulized salbutamol with and
without ipratropium bromide in the treatment of acute asthma. J Allergy
Clin Immunol;100:165–70.
Garrett JE, Town GI, Rodwell P, et al. Nebulized salbutamol with and without
ipratropium bromide in the treatment of acute asthma. J Allergy Clin
Immunol 1997;100:165–70.
Garrett, K., Tsuruta, K., Walker, S., Jacson, S., & Sweat, M. (2003). Managing
Nausea and Vomiting. Critical Care Nurse, 23 (1), 31-50
Genc, F., Tan, M. (2014). The effect of acupressure application on
chemotherapyinduced nausea, vomiting, and anxiety in patients with breast
cancer. Palliative & Supportive Care.
http://dx.doi.org/10.1017/S1478951514000248.
Gescedi, R., & Decker, G. (2001). Incorporating alternative therapies into pain
management: more pastient are considering complementary approaches.
American Journal of Nursing. 101, Suppl 4, 35-39
Girmenia C, Menichetti F. (2011). Current epidemiology and prevention of
infectious complications in cancer patients. Eur Oncol Haematol;7:270-7.
Giuseppe Lombardi, Maria Ornella Nicoletto, Milena Gusella, Pasquale Fiduccia,
Maurizia Dalla Palma, Andrea Zuin, Davide Fiore, Martin Donach,
Vittorina Zagonel. (2012). Intrapleural paclitaxel for malignant pleural
effusion from ovarian and breast cancer: a phase II study with
pharmacokinetic analysis. Cancer Chemother Pharmacol (2012) 69:781–
787 DOI 10.1007/s00280-011-1765-y
Global Initiative for Asthma (GINA). (2011). Global Strategy for Ashtma
Management and Prevention. Cape Town: University of Cape Town Lung
Institute
Gold, J., Mahrer, N., Yee, J., & Palermo, T. (2010). Pain, fatigue and health-
related quality of life in children and adolescents with chronic pain. Clinical
Journal of Pain, 25(5), 407-412
Goldhill D.R. (2005). Preventing surgical deaths: critical care and intensive care
outreach services in the postoperative period. British Journal of Anaesthesia
95 (1), 88–94.
Gray, R.A. (2000). The use massage therapy in palliative care. Complementary
Therapies I Nursing and Midwifery. 6, 2, 77-82
Green AL, Williams A. (2006). An evaluation of an early warning clinical marker
referral tool. Intensive Crit Care Nurs 2006;22:274–282.
Grunberg, S.M. (2004). Chemotherapy-induced Nausea and Vomiting:
Prevention, Detection,and Treatment- How are We Doing?. The Journal of
SupportiveOncology. 2(1), 1-12
Grunberg, S.M., & Ireland, A. (2005). Epidemiology of Chemoteraphy Induced
Nausea and Vomiting. Advanced Studies in Nursing. 3(1), 9-15.
Gumus, A.B., Cam, O., & Malak A.T. (2011). Relationships between
psychososial adjustment and hopelessness in women with breast cancer.
Asian pasific journal of cancer prevention. April 26, 2013. (Proquest)
database.
Guyton, A,C., Hall, J.E. (2006). Text Book of Medical Physiology 8 Edition.
Pennsylvania : Elsevier Saunders th
Halcon, L.L., Buckle, J. (2006). Aromatherapy. Complementary/Alternative
Therapies in Nursing. 5th Edition Chapter 26. Springer Publishing
Company, Inc. New York.
Hanaoka, T., Yamamoto, S., Sobue, T., Sasaki, S., Tsugane, S. (2005). Active and
passive smoking and breast cancer risk in middle-aged Japanese women.
Int. J. Cancer 114, 317–322.
Hansen, M.V., Andersen, L.T., Madsen, M.T., Hageman, I., Rasmussen, L.S.,
Bokmand, S. (2014). Effect of melatonin on depressive symptoms and
anxiety in patients undergoing breast cancer surgery: a randomized,
double-blind, placebo-controlled trial. Breast Cancer Research and
Treatment 145, 683-695.
Hao, B., et al., 2004. Identification of genetic variants in base excision repair
pathway and their associations with risk of esophageal squamous cell
carcinoma. Cancer Res. 64, 4378–4384.
Hariani, R. (2013, Desember). Dukungan nutrisi pada penderita kanker. Makalah
disampaikan pada pelatihan Pasien Kanker Dengan Kemoterapi, RS Kanker
Dharmais Jakarta
Hawkins, R & Grunberg., S. (2009). Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting: Challenges and Opportunities for Improved Patient Outcomes.
Clin J Oncol Nurs. 2009 Feb;13(1):54-64. doi: 10.1188/09.CJON.54-64.
Heffner JE, Klein JS. (2008). Recent advances in the diagnosis and management
of malignant pleural effusions. Mayo Clin Proc 83(2):235–250
Heffner JE. (2010). Management of the patient with a malignant pleural effusion.
Semin Respir Crit Care Med 1(6):723–733
Heidrich, S.M., Brown, R.L., Egan, J.J., Perez, O.A., Phelan, C.H., Yeom, H., &
Ward, S.E. (2009). An Individualized Representational Intervention to
Improve Symptom Management (IRIS) in Older Breast Cancer Survivors:
Henderson, S. (2006). The role of the clinical nurse specialist in oncology nursing.
MEDSURG Nursing, 13(1), 38-41.
Herdman, Heather, T. & Kamitsuru, Shigemi. (2015). Nanda International Inc
Diagnosis Keperawtaan, Definisi dan Klasifikasi : alih bahasa, Budi Anna
Keliat et.al. Jakarta : EGC
Hesketh PJ. (2005). Management of nausea and vomiting in cancer treatment:
Introduction, scope of the problem. In: Hesketh PJ, ed. Management of
Nausea and Vomiting in Cancer and Cancer Treatment. Sudbury, MA:
Jones and Bartlett; 2005:1-15.
Hesketh PJ. (2008). Chemotherapy-induced nausea and vomiting. Drug therapy.
The New England Journal of Medicine;358 (23):2482-94.
Hesketh, P.J. M. Aapro, J.C. Street, A.D. Carides (2010). Evaluation of risk
factors predictive of nausea and vomiting with current standard-of-care
antiemetic treatment: analysis of two phase III trials of aprepitant in
patients receiving cisplatin-based chemotherapy, Support. Care Cancer 18.
1171–1177.
Hines S, Steels E, Chang A, Gibbons K. (2012). Aromatherapy for treatment of
postoperative nausea and vomiting. Cochrane Database Syst Rev
;CD007598.
Hoeijmakers, J.H., 2001. Genome maintenance mechanisms for preventing
cancer. Nature 411, 366–374
Holmes, S. (2009). Nutrition in the care of patient with cancer cachexia. British
Journal of Community Nursing. 16(7): 314-323
Hooper C, Lee YC, Maskell N. (2010). Investigation of a unilateral pleural
effusion in adults: British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010.
Thorax 65(Suppl 2):ii4–17
Hopkinson, J.B., Wright, D.N.M., & Foster, C. (2008). Management of weight
loss and anorexia. Annals of Oncology. 19(7): 289-293
Hu, J.J., et al. (1997). Poly (ADP-ribose) polymerase in human breast cancer: a
case–control analysis. Pharmacogenet. Genomics 7, 309
Hughes, M. (2006). Psychiatry for the non-psychiatric nurse: caring for the
oncology patient with depression or anxiety. Oncology Nursing Forum 33,
476.
Hur MH, Lee MS, Kim C, Ernst E. (2012). Aromatherapy for treatment of
hypertension: A systematic review. J Eval Clin Pract. 18:37-41.
Husain AN, Colby TV, Ordonez NG, Krausz T, Borczuk A, Cagle PT et al (2009)
Guidelines for pathologic diagnosis of malignant mesothelioma: a
consensus statement from the International Mesothelioma Interest Group.
Arch Pathol Lab Med 133(8):1317–1331
Hussain, J., Bahader, A., Ullah,F., Rehman, N., Khan, A., Ullah, W., Shinwari, Z.
(2010). Proximate and nutrient analysis of the locally manufactured herbal
medicines and its raw material. J. Am. Sci
Hwang E, Shin S. (2015). The effects of aromatherapy on sleep improvement: a
systematic literature review and meta-analysis. J Altern Complement Med
2015; 21(2): 61-8.
IARC (International Agency for Research on Cancer). (1986). Biological Data
Relevant to the Evaluation of Carcinogenic Risk to Humans in IARC
Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risk of Chemicals to
Humans. IARC, Lyon
IARC. Internatinal Agency for Research on Cancer. (2012). IARC Monograph
100E: personal habits and indoor combustions. A review of human
carcinogens. IARC Monograph Series.
Ignatavicius, D.D, Workman, M.L. (2010). Medical-Surgical Nursing critical
thinking for collaborative care. (6th ed.). St. Louis. Missouri: Saunders
Elsevier.
International Agency for Research on Cancer (IARC). (2012). Monographs on the
Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans; Vol. 100D. A Review of
Human Carcinogens. Part D: Radiation/IARC Working Group on the
Evaluation of Carcinogenic Risks to HumansWHO, Lyon, France
Iversen, P.O., Ukrainchenko, E., Afanasyev, B., Hulbekkmo, K., Choukah, A.,
Gulbrandsen, N., et al. (2008). Impaired nutritional status during intensive
chemotherapy in Russian and Norwegian cohorts with acute myeloid
leukemia. Leukemia & Lymphoma 49 (10), 1916-1924.
Jack A. Kastelik. (2013). Management of Malignant Pleural Effusion. Lung
(2013) 191:165–175 DOI 10.1007/s00408-012-9445-1
Jaelani. (2009). Aroma Terapi. Edisi 1. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Jaen J, Vazquez G, Alonso E, et al. (2012). Long-term changes in pulmonary
function after incidental lung irradiation for breast cancer: a prospective
study with 7-year follow-up. Int J Radiat Oncol Biol Phys;84:e565-570.
Jha, P. (2009). Avoidable global cancer deaths and total deaths from smoking.
Nat. Rev. Cancer 9, 655–664
Jimbo D, Kimura Y, Taniguchi M, Inoue M, Urakami K. (2009). Effect of
aromatherapy on patients with Alzheimer's disease. Psychogeriatrics 2009;
9: 173-9.
Jing-Hui Wu, You-Kang Chang, Yi-Cheng Hou, Wen-Jyun Chiu, Jiun-Rong
Chen, Shu-Tzu Chen, Chao-Chuan Wu, Yun-Jau Chang & Yao-Jen Chang.
(2013). Meat-fat dietary pattern may increase the risk of breast cancerdA
caseecontrol study in Taiwan. Tzu Chi Medical Journal 25 (2013) 233-238.
http://dx.doi.org/10.1016/j.tcmj.2013.09.003
Joaquin, A,. Custodio, S., Oliveira, A., & Pimentel, F.L. (2012). Differences
between Cancer Patients’ Symptoms Reported by Themselves and in
Medical Records. Cancer and Clinical Oncology. Vol. 1, No. 1; 2012.
doi:10.5539/cco.v1n1p138
Johnson, K.C. (2005). Accumulating evidence on passive and active smoking and
breast cancer risk. Int. J. Cancer 117, 619–628
Johnson, K.C., Miller, A.B., Collishaw, N.E., et al. (2011). Active smoking and
secondhand smoke increase breast cancer risk: the report of the Canadian
Expert Panel on Tobacco Smoke and Breast Cancer Risk 2009. Tob.
Control. 20 (1), -2
Jones LW, Haykowsky MJ, Swartz JJ, Douglas PS, Mackey JR. (2007). Early
breast cancer therapy and cardiovascular injury. J Am Coll
Cardiol;50:1435-1441.
Jones, D.A., DeVita, M.A., & Bellomo, R. (2011). Rapid-response teams. The
New England Journal of Medicine, 365, 139–146.
Jonna K. van Vulpen, Petra H.M. Peeters, Miranda J. Velthuis, Elsken van der
Wall, Anne M. May. (2016). Effects of physical exercise during adjuvant
breast cancer treatment on physical and psychosocial dimensions of
cancer- related fatigue: A meta-analysis.
journal home page: www.elsevier.com/locate/maturitas.
http://dx.doi.org/10.1016/j.maturitas.2015.12.007 0378-5122/© 2015
Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved
Jordan K, Sippel C, Schmoll H-J. (2007). Guidelines for antiemetic treatmentof
chemotherapy-induced nausea and vomiting: Past, present, andfuture
recommendations. Oncologist. 2007;12(9):1143-1150.
Journal of Oncology Nursing. (2012).16,406-412. 2011 Elsevier Ltd. All rights
reserved
Julie L. Ryan, PhD, MPH, Gary R. Morrow, PhD, MS. (2010). Ginger. oncology
nurse edition. volume 24. number 2 . www.cancernetwork.com
Kaina Zhou , Xiaomei Li, Jin Li, Miao Liu, Shaonong Dang, Duolao Wang & Xia
Xin. (2015). A clinical randomized controlled trial of music therapy and
progressive muscle relaxation training in female breast cancer patients
after radical mastectomy: Results on depression, anxiety and length of
hospital stay. Contents lists available at ScienceDirect European Journal of
Oncology Nursing journal homepage: www.elsevier.com/locate/ejon
http://dx.doi.org/10.1016/j.ejon.2014.07.010 1462-3889/© 2014 Elsevier
Ltd. All rights reserved.
Kamboj M, Sepkowitz KA. (2009). Nosocomial infections in patients with cancer.
Lancet Oncol;10:589-97.
Kang, K. A. (1999). Development of a tool to measure suffering in patients with
cancer. Journal of Korean Academy of Nursing, 29, 1365–1378
Kashani, F., Babaee, S., Bahrami, M., Valiani, M. (2012). The effects of
relaxation on reducing depression, anxiety and stress in women who
underwent mastectomy for breast cancer. Iranian Journal of Nursing and
Midwifery Research 17, 30-33.
Kastelik JA, Alhajji M, Faruqi S, Teoh R, Arnold AG. (2009). Thoracic
ultrasound: an important skill for respiratory physicians. Thorax
64(9):825–826
Keane, S. (2012). Pediatric early warning score policy. United Kingdom:
Children's Clinical Governance Group
Kellett J, Kim A. (2012). Validation of an abbreviated VitalPAC™ Early
Warning Score (ViEWS) in 75,419 consecutive admissions to a Canadian
regional hospital. Resuscitation 2012;83:297–302
Kelly, B., Ward, K. (2013). Nausea and vomiting in palliative care. Nursing
Times, 109 (39), 16-17
Kemp, C. (2010). Terminal illness: A guide to nursing (2nd ed.). Dallas:
Lippincott Williams & Wilkins Inc.
Kenyon, T. (2007). Effects of music therapy on surgical and cancer patients.
Breast Care 2, 217-220
Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia (2009). Standar instalasi gawat
darurat (IGD) rumah sakit. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Kim SD, Kim HS. (2005). Effects of a relaxation breathing exercise on anxiety,
depression, and leukocyte in hemopoietic stem cell transplantation patients.
Cancer Nurs;1:79.
Kim, J. E., Dodd, M., West, C., Paul, S., Facione, N., Schumacher, K., et al.
(2004). The PRO-SELF pain control program improves patients’ knowledge
of cancer pain management. Oncology Nursing Forum, 31, 1137–1143.
Kim, W.Y., Shin, y.J., Lee, J.M., Huh, J.W., Koh, Y., Lim, C-M., & Hong, S.B.
(2015). Modified Early Warning Score Changes Prior to Cardiac Arrest in
General Wards. Plos One, 1-11. doi:10.1371/journal.pone.0130523
Kim, Y.H., Kim, H.J., Ahn, S.D., Seo, Y.J., Kim, S.H. (2013). Effects of
meditation on anxiety, depression, fatigue, and quality of life of women
undergoing radiation therapy for breast cancer. Complementary Therapies
in Medicine 21, 379-387
King, M., & Shell, R. (2002). Teaching and evaluating critical thinking with
concept maps. Nurse Educ, 27(5), 214-219.
Koenig SJ, Narasimhan M, Mayo PH (2011) Thoracic ultrasonography for the
pulmonary specialist. Chest 140(5):1332–1341
Kohatsu, W. (2008) The Word Aromaterapy. Available From URL: http://www.e
therapies net/article/aromatherapy.pdf.
Kovacic, T., Kovacic, M. (2011). Impact of relaxation training according to Yoga
in Daily Life® system on perceived stress after breast cancer surgery.
Integrative Cancer Therapies 10, 16-26.
Kovacic, T., Zagoricnik, M., Kovacic, M. (2013). Impact of relaxation training
according to the Yoga In Daily Life® system on anxiety after breast cancer
surgery. Journal of Complementary & Integrative Medicine 10, 153-164.
Krengli M, Sacco M, Loi G, et al. (2008). Pulmonary changes after radiotherapy
for conservative treatment of breast cancer: a prospective study. Int J
Radiat Oncol Biol Phys;70: 1460-1467.
Kresno, S.B. (2012). Ilmu dasar onkologi. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Krishna A, Tiwari R, Kumar S. (2000). Aromatherapy-an alternative health care
through essential oils. J Med Aromat Plant Sci 2000; 22: 798-804.
Kruger, M., Subbe, C.P., Rutjerford, P., & Gemmel, L. (2001). Validation of a
modified early warning score in medical admissions. Q J Med, 94, 521-526.
Kuebler, K. (2002). Dyspnea. In K. Kuebler, P. Berry and D. Heidrich (Eds). End
of Life Care : Clinical Practice Guidline. Hlm 301-315. Philadelphia :
Saunders
Kumar, G., Karthik, L., Rao, B. (2011). Review on Pharmacological and
Phytochemical Properties of Zingiber officinale Roscoe (Zingiberaceae).
Molecular and Microbiology Research Laboratory, Environmental
Biotechnology Division. School of Bio Science and Technology, VIT
University, Vellore, Tamil Nadu - 632 014. India
Kundu JK, Na HK, Surh YJ. (2009). Ginger-derived phenolic substances with
cancer preventive and therapeutic potential. Forum Nutr 61:182–192.
Kyriacos U, Jelsma J, Jordan S. (2011). Monitoring vital signs using Early
Warning Scoring system: a review of the literature. J Nurs Manag.19:311—
30.
Kyriacos U, Jelsma J, Jordan S. (2011). Monitoring vital signs using Early
Warning Scoring system: a review of the literature. J Nurs Manag.19:311—
30.
Kyriacos, U., Jelsma, J., James, M., & Jorda, S. (2014). Monitoring vital sign:
Developing of a modified early warning scoring (MEWS) system for general
wards in a developing country. Plos One, 9(1), 1-10.
Lai TK, Cheung MC, Lo CK, Ng KL, Fung YH, Tong M, et al. (2011).
Effectiveness of aroma massage on advanced cancer patients with
constipation: a pilot study. Complement Ther Clin Pract. 17: 37-43
Lam, T.S., Mak, P.S.K., Siu, W.S., Lam, M.Y., Cheung, T.F., & Rainer, T.H.
(2006). Validation of a modified early warning score (MEWS) in emergency
departement observation ward patient. Hong Kong Journal of Emergency
Medicine,13, 24-30
Lanes SF, Garrett JE, Wentworth CE, et al. The effect of adding ipratropium
bromide to salbutamol in the treatment of acute asthma. Chest
1998;114:365–72
Lee SH, Kim JY, Yeo S, Kim SH, Lim S. (2015). Meta-analysis of massage
therapy on cancer pain. Integr Cancer Ther 2015; http://
dx.doi.org/10.1177/1534735415572885.
Lee W Jones, Neil D Eves, Mark Haykowsky, Stephen J Freedland, John R
Mackey. (2009). Exercise intolerance in cancer and the role of exercise
therapy to reverse dysfunction. Lancet Oncol 2009; 10: 598–605.
www.thelancet.com/oncology
Lee YL, Wu Y, Tsang HW, Leung AY, Cheung WM. (2011). A systematic review
on the anxiolytic effects of aromatherapy in people with anxiety symptoms. J
Altern Complement Med. 17:101-108.
Lee, J., Dodd, M., Dibble, S., & Abrams, D. (2008). Review of acupressure
studies for chemotherapy-induced nausea and vomiting control. Journal of
Pain and Symptom Management, 36 (5), 529-544.
LeGrand, S. (2003). Opioids, respiratory function and dyspnea. American Journal
of Hospice and Palliative Care, 20(1), 57-61.
Lemone, P., & Burke, M.K. (2008). Medical-surgical nursing: Critical thinking
in client care (4th ed.). New Jersey: Pearson Education Inc.
Leo L. Pipino, Yang W. Lee, and Richard Y. Wang, (2002), Data Quality
Assessment‖ in the Journal of Communications of the ACM, pp 211-218.
Lesage, P., & Portenoy, R.K. (2001). Trends in cancer pain management.
Palliative Cancer Care, 136(45), 245-250.
Leslie A. Sim, PhD, Jocelyn Lebow, PhD, Karen Weiss, PhD, Tracy Harrison,
MD, & Barbara Bruce, PhD. (2016). Eating Disorders in Adolescents With
Chronic Pain. http://dx.doi.org/10.1016/j.pedhc.2016.03.001
Lewis, L.S., Dirksen, R.S., Heitkemper, M.M., Bucher, L., & Camera, M.I. (8th
ed.). (2011). Medical-surgical nursing: Assessment and management of
clinical problems (Vol.1). St. Louis, Missouri: Elsevier-Mosby Inc.
Li, N., Dong, J., Hu, Z., Shen, H., Dai, M., 2010. Potentially functional
polymorphisms in ESR1 and breast cancer risk: a meta-analysis. Breast
Cancer Res. Treat. 121, 177–184.
Li, X.M., Yan, H., Zhou, K.N., Dang, S.N., Wang, D.L., Zhang, Y.P. (2011).
Effects of music therapy on pain among female breast cancer patients after
radical mastectomy: results from a randomized controlled trial. Breast
Cancer Research and Treatment 128, 411-419.
Li, X.M., Zhou, K.N., Yan, H., Wang, D.L., Zhang, Y.P. (2012). Effects of music
therapy on anxiety of patients with breast cancer after radical mastectomy:
a randomized clinical trial. Journal of Advanced Nursing 68, 1145-1155.
Liao, M.N., Chen, P.L., Chen, M.F., Chen, S.C. (2010). Effect of supportive care
on the anxiety of women with suspected breast cancer. Journal of Advanced
Nursing 66, 49-59
Lin, M.F., Hsieh, Y.J., Hsu, Y.Y., Fetzer, S., Hsu, M.C. (2011). A randomized
controlled trial of the effect of music therapy and verbal relaxation on
chemotherapyinduced anxiety. Journal of Clinical Nursing 20, 988-999.
Lindahl, T., Satoh, M.S., Poirier, G.G., Klungland, A. (1995). Post-translational
modification of poly(ADP-ribose) polymerase induced by DNA strand
breaks. Trends Biochem. Sci. 20, 405–411.
Lisa M. Walter , Gillian M. Nixon, Margot J. Davey, Peter A. Downie, Rosemary
S.C. Horne. (2015). Sleep and fatigue in pediatric oncology: A review of the
literature. Sleep Medicine Reviews 24 (2015) 71-82
http://dx.doi.org/10.1016/j.smrv.2015.01.001
Little, L., Dionne, B., Eaton, J. (2005). Nursing assessment of depression among
palliative care cancer patients. Journal of Hospice and Palliative Nursing 7,
98-106
Lockett, K.L., et al. (2004). The ADPRT V762A genetic variant contributes to
prostate cancer susceptibility and deficient enzyme function. Cancer Res.
64, 6344–6348.
Loizidou,A., Aoun, M., Klastersky, J. (2016). Fever of unknown origin in cancer
patients. journal homepage: www.elsevier.com/locate/critrevonc.
http://dx.doi.org/10.1016/j.critrevonc.2016.02.015 1040-8428/© 2016
Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved.
Lombardi G, Zustovich F, Nicoletto MO, Donach M, Artioli G, Pastorelli D.
(2010). Diagnosis and treatment of malignant pleural effusion: a systematic
literature review and new approaches. Am J Clin Oncol 33:420–423
Lorenz, K. A., Lynn, J., Dy, S. M., Shugarman, L. R., Wilkinson, A., Mularski, R.
A., ...&Shekelle, P. G. (2008). Evidence for improving palliative care at the
end of life: a systematic review. Annals of internal medicine, 148(2), 147-
159.http://annals.org/article.aspx?articleid=738989
Lovell, M.R., Forder, P.M., Stockler, M.R., Butow, P., Briganti, E.M., Chye, R.,
… Boyle, F.M. (2010). A Randomized controlled trial of a standardized
educational intervention for patients with cancer pain. Journal of Pain and
Symptom Management. Vol. 40 No. 1 July 2010.
doi:10.1016/j.jpainsymman.2009.12.013
Luaa, Pei Lin, Salihah, Noor, & Mazlan, Nik. (2015). Effects of Inhaled Ginger
Aromatherapy on Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting and
Health- Related Quality Of Life in Women With Breast Cancer. DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ctim.2015.03.009
Lu-Ying Tang, Li-Juan Chen, Mei-Ling Qi, Yi Su, Feng-Xi Su, Ying Lin, Kun-
Peng Wang, Wei-Hua Jia, Zhi-Xiong Zhuang, Ze-Fang Ren. (2013). Effects
of passive smoking on breast cancer risk in pre/post-menopausal women as
modified by polymorphisms of PARP1 and ESR1. journal homepage:
www.elsevier.com/locate/gene. 0378-1119/$ – see front matter © 2013
Elsevier B.V. All rights reserved.
http://dx.doi.org/10.1016/j.gene.2013.04.064
Mackinnon. (2004). Aromatherapy a Practical Approach. United Kingdom :
Scotprint
Maeda K, Ito T, Shioda S. (2012). Medical aromatherapy practice in Japan.
Essence; 10: 14-6.
Manju V, Nalini N. (2005). Chemopreventive efficacy of ginger, a naturally
occurring anticarcinogen during the initiation, post-initiation stages of 1,2
dimethylhydrazine-induced colon cancer. Clin Chim Acta 358(1-2):60–67.
Marchand L. (2014). Integrative and complementary therapies for patients with
advanced cancer. Ann Palliat Med 2014; 3(3): 160-71
Marx Wolfgang, Kiss Nicole, Alexandra, McCarthy & McKavanagh, Isenring
Liz, (2016). Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting: A Narrative
Review to Inform Dietetics Practice. 2212-2672/Copyright ª 2016 by the
Academy of Nutrition and Dietetics.
http://dx.doi.org/10.1016/j.jand.2015.10.020
Masyarakat Paliatif Indonesia. (2010). Bunga rampai perawatan paliatif. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
Matthew M. Churpek, Richa Adhikari, Dana P. Edelson. (2016). The value of
vital sign trends for detecting clinical deterioration on the wards.
http://dx.doi.org/10.1016/j.resuscitation.2016.02.005 0300-9572/© 2016
Elsevier Ireland Ltd. All rights reserved
Maxwell-Hudson C. (1995). Aromatherapy massage book. London: Dorling
Kindersley.
180

Mayhall, C.G. (2004). Hospital Epidemiology and Infection Control. Edisi ke-3.
Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins
Mayo PH, Doelken P. (2006). Pleural ultrasonography. Clin Chest Med
27(2):215–227
McCarthy, D.O. (2003). Rethinking nutritional support for person with cancer
cachexia. Biological research for nursing, 5(1), 3-17.
McCorkle, R., Grant, M., Frank-Stromborg, M., & Baird, S. B. (1996). Cancer
nursing as a speciality. Cancer nursing: a comprehensive textbook.
Philadelphia, PA: WB Saunders.
McGaughey J., Alderdice F., Fowler R., Kapila A., Mayhew A. & Moutray M.
(2007). Outreach and Early Warning Systems (EWS) for the prevention of
intensive care admission and death of critically ill adult patients on general
hospital wards. Cochrane Database of Systematic Reviews (Online).
Available at: http://www.cochrane.org/reviews/en/ab005529.html, accessed
19 Mei 2016
McGrath EE, Anderson PB. (2011). Diagnosis of pleural effusion: a systematic
approach. Am J Crit Care 20(2):119–127
Mehnert, A., Veers, S., Howaldt, D., Braumann, K.M., Koch, U., Schulz, K.H.
(2011). Effects of a physical exercise rehabilitation group program on
anxiety, depression, body image, and health-related quality of life among
breast cancer patients. Onkologie 34, 248-253
Melnyk, M.B., & Overholt, F.E. (2011). Evidence-based practice in nursing
&healthcare: A guide to best practice (2nd ed.). Philadelphia:
LippincottWilliams & Wilkins Inc.
Miaskowski C, Cleary J, Burney R, et al. (2005). Guideline for the Management
of Cancer Pain in Adults and Children. Glenview : American Pain Society
(APS)..
Miaskowski, C., Cooper, B.A., Paul, S. M., Dodd, M., Lee, K., West, C., et al.
(2006). Subgroups of patients with cancer with different symptom
experiences and qualityof-life outcomes: A cluster analysis. Oncology
Nursing Forum, 33, E79–E89.
Miranda L. Ayers & Olateju F. Olowe. (2015). A Systematic Review: Non-
pharmacological Interventions for Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting. Honors Research Projects. Paper 110
Mobily, R., Herr, K., & Kelley, L. (1993) Cognitive-behavioral technique to
reduce pain: A validation study. International Journal of Nursing Studies, 6,
537-548
Mokuau, N., & Braun, K.L. (2007). Family Support for Native Hawaiian Women
with Breast Cancer. Journal of Cancer Education. 2007; 22:191-196.
Moll HA (2010) Challenges in the validation of triage systems at emergency
departments. Journal of Clinical Epidemiology 63: 384–388.
Montazeri, Akram Sadat, Mehdi Raei, Atefeh Ghanbari, Ali Dadgari, Azam Sadat
Montazeri, Azam Hamidzadeh. (2013). Effect of Herbal Therapy to
Intensity Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Cancer Patients.
Iran Red Crescent Med J. 2013:15(2)
Moon A, Cosgrove JF, Lea D, Fairs A, Cressey DM. (2011). An eight year audit
before and after the introduction of modified early warning score (MEWS)
charts, of patients admitted to a tertiary referral intensive care unit after
CPR. Resuscitation 2011;82:150–154.
Moradian, Saeed & Howell, Doris. (2015). Prevention and management of
chemotherapy-induced nausea and vomiting. International Journal of
Palliative Nursing 2015, Vol 21, No 5
Moyet, & Carpenito, J.L. (2008). Nursing Diagnosis : Application to Clinical
Practice. 13rdEd. Philadephia : Lippincort Williams and Wilkins
Muchlas dan Slameto. (2008). Teknologi Budidaya Jahe. Bogor : Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Murakami A, Tanaka T, Lee JY, et al. (2004). Zerumbone, a sesquiterpene in
subtropical ginger, suppresses skin tumor initiation and promotion stages in
ICR mice. Int J Cancer 110(4):481–490.
Mustian KM, Devine K, Ryan JL, Janelsins MC, Sprod LK, Peppone LJ, et al.
Treatment of nausea and vomiting during chemotherapy. Supportive
oncology. 2011. p. 91-7.
Muthia, Rahmi., Wahyu, Wedya., Dachriyanus. (2013). Effect Of Ginger Infusion
On Chemotherapy Induced Nausea And Vomiting In Breast Cancer
Patients. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare www.iiste.org
ISSN 2224-3208 (Paper) ISSN 2225-093X (Online) Vol.3, No.13.
Mystakidou, K., Parpa, E., Katsouda, E., Galanos, A., Vlahos, L. (2004).
Influence of pain and quality of life on desire for hastened death in patients
with advanced cancer. International Journal of Palliative Nursing 10, 476-
483.
Nadkarni, MD; Gregory Luke Larkin MD & Mary Ann. (2006). First documented
rhythm and clinical outcome from inhospital cardiac arrest among children
and adults. Jounal of the American Medical Association, 295(1), 50-57.
Nagasawa H, Watanabe K, Inatomi H. (2002). Effects of bitter melon (Momordica
charantia L.) or ginger rhizome (Zingiber offi cinale Rosc.) on spontaneous
mammary tumorigenesis in SHN mice. Am J Chin Med 30(2-3):195–205,
2002.
NANDA. (2012). Nursing diagonsis definitions & classification 2012 – 2014.
Oxford : Wiley Blackwell
National Cancer Institute. (2004). Eating Hints for Cancer Patient (NIH Pub.
No.98-2079). Washington, DC : U.S. Government Printing Office
Neragi-Miandoab S. (2006). Malignant pleural effusion, current and evolving
approaches for its diagnosis and management. Lung Cancer. ;54:1–
9. [PubMed]
Nurcahyo, J. 2010. Bahaya Kanker Rahim dan Kanker Payudara. Yogyakarta:
Wahana Totalita Publisher.
Nursing Interventions Classification (NIC). (6th ed.). (2013). St. Louis,
Missouri:Mosby Elsevier Inc.
Nursing Outcomes Classification (NOC). (5th ed.). (2013). St. Louis,
Missouri:Mosby Elsevier Inc.
O‘Donoghue, J, O‘Kane, T, Gallagher, J, Courtney, G, Aftab, A, Casey, A,
Torres, J and Angove, P.(2011). Modified Early Warning Scorecard: The
Role of Data/Information Quality within the Decision Making Process‖ The
Electronic Journal Information Systems Evaluation Volume 13 Issue 3,
(pp100-109), available online at www.ejise.com
Oba Y, Abu-Salah T. (2012). The prevalence and diagnostic significance of
eosinophilic pleural effusions: a meta-analysis and systematic review.
Respiration 83(3):198–208
Occupational Safety and Health Administration (OSHA). (2006). Hazardous
drugs : Hazards and solutions. Diakses tanggal 10/6/2016 dari
http://seer.cancer.gov/about.
Oemiati, R., Rahajeng, E., & Kristanto, A.Y. (2011). Prevalensi tumor dan
beberapa faktor yang mempengaruhinya di Indonesia. Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 39, No.4: 190 – 204
Ogden CL, Carroll MD, Kit BK, Flegal KM. (2014). Prevalence of childhood and
adult obesity in the United States, 2011-2012. JAMA.;311(8): 806-814.
Olver IN, Eliott JA, Koczwara B. (2014). A qualitative study investigating
chemotherapy-induced nausea as a symptom cluster. Support Care Cancer.
2014;22(10):2749-2756.
Orrevall, Y., Tishelman, C., & Permert, J. (2005). Home parenteral nutrition: a
qualitative interview study of the experiences of advanced cancer patients
and their families. Clinical Nutrition. 24 (6): 962-970
Otto, S.E. (2001).Oncology Nursing.4th edition. St. Louis ,Missouri:Mosby
Otto, S.E. (2005). Pocket guide to oncology nursing.Terjemahan. Jane Freyana
Budi dan Eny Meiliya. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC
Parissopoulos, S., & Kotzabassaki, S. (2005). Critical care outreach and the use of
early warning scoring systems: A literature review. Icus Nurs Web J, 21, 1-
13
Pasaribu, E.T. (2006). Epidemiologi dan Gambaran Klinis Kanker Tiroid.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3. diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20678/1/mkn-sep2006-
%20sup%20(14).pdf
Paterson R, MacLeod DC, Thetford D, Beattie A, Graham C, Lam S, et al. (2006).
Prediction of in-hospital mortality and length of stay using an early
warning scoring system: clinical audit. Clin Med.; 6(3): 281–4. PMID:
16826863.
Pell, J., Presnell, K., Edwards, C., Wood, M., Harrison, M., DeCastro, L., & .,
Robinson, E. (2005). Moderate chronic pain, weight and dietary intake in
African-American adult patients with sickle cell disease. Journal of the
National Medical Association, 97(12), 1622-1629.
Perry N, Perry E. (2006). Aromatherapy in the management of psychiatric
disorders clinical and neuropharmacological perspectives. CNS Drugs; 20:
257-80.
Perry, A.G., & Potter, P.A. (2006) Clinical nursing skill techniques (6th Ed). St.
Louis: Mosby.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia [PPNI], Asosiasi Institusi Pendidikan Ners
Indonesia [AIPNI], & Asosiasi Institusi Pendidikan Diploma Keperawatan
Indonesia [AIPDiKI], (2012). Standar kompetensi perawat. Diunduh dari
http://hpeq.dikti.go.id/v2/images/Produk/18.3-Draf-STANDAR
KOMPETENSI- PERAWAT.pdf
Peterson, J.S., &Bredow, S.T. (2004). Middle range theories: Application to
nursing research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Inc.
Philip, J., Smith, W.B., Craft, P., & Lickiss, N. (1998) Concurrent validity of the
modified Edmonton Symptom Assessment System with the Rotterdam
Symptom Checklist and the Brief Pain Inventory. Support Care Cancer.
6:539–541
Piva, E. Pellosso, M., Panello, L., & Plebani, M. (2014). Laboratory critical
Values automated notification supports effective clinical decision making.
Clinical Biochemistry, 47, 1163-1168.
http://dx.doi.org/10.1016/j.clinbiochem.2014.05.056
Porcel JM, Vives M. (2003). Etiology and pleural fluid characteristics of large
and massive effusions. Chest. ;124:978–983.[PubMed]
Potter, A.P., & Perry, G.A. (7th ed.). (2009). Fundamentals of nursing
(Vol.1).Singapore: Elsevier Inc. Pte Ltd.
Potter, J., Hami, F., Bryan, T., & Quigley, C. (2003). Symptoms in 400 patients
referred to palliative care services: Prevalence and patterns. Palliative
Medicine, 17, 310–314. doi: 10.1191/0269216303pm760oa
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006) Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep,
proses dan praktik (Edisi 4, Vol 2). (Yasmin, dkk, Alih Bahasa). Jakarta :
EGC
Price & Wilson.(2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit.Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC.
Price S. (1991). Aromatherapy for common ailments. London: Fireside.
Price, S.A., Wilson, L.M. (2002). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit (eds. 6). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, S.A., Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, S.A., Wilson, L.M. (2008). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Pusat Komunikasi Publik-Sekretariat Jenderal Kemenkes. (2012). 143 milyar
dana jamkesmas untuk biaya rawat inap pengobatan kanker. Diunduh dari
www.depkes.go.id
Qureshi NR, Rahman NM, Gleeson FV. (2009). Thoracic ultrasound in the
diagnosis of malignant pleural effusion. Thorax 64(2):139–143
Race, T.K. (2015). Improving patient safety with a modified early warning
scoring system. American Nurse Today, 10(11). Diakses dari
www.americanursetoday.com
Rasjidi (2007). Kemoterapi kanker ginokologi dalam praktik sehari-hari. Jakarta:
Sagung Seto.
Rasjidi, I. (2010). Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri pada Kanker.
Jakarta : CV.Sagung Seto
Ratna, J.M.J. (2003). Dampak Penyakit Kanker Terhadap Aspek Psikologis-Sosial
dan Spiritual Penderita. Makalah Ilmiah
Ravasco, P., Monteiro-Grillo, I., Vidal, P.M., Camilo, M.E. (2005). Dietary
counseling improves patient outcomes: a prospective, randomized,
controlled trial in colorectal cancer patients undergoing radiotherapy.
Journal of Clinical Oncology 23 (7), 1431-1438.
Reddy C, Ernst A, Lamb C, Feller-Kopman D. (2011). Rapid pleurodesis for
malignant pleural effusions: a pilot study. Chest 139(6):1419–1423
Rhodes, V.A., & Mc Daniel, R.W. (2004). Nausea, vomiting, and retching:
Complex problems in palliative care. CA Cancer Journal Clinic, 51(4), 232-
248.
Richardson, L.A., & Jones, G.W. (2009). A review of the reliability and validity of
the Edmonton Symptom Assessment System. Current Oncology, volume 16,
number 1: Multimed Inc.
Rita Chelly Felix Tavares, Ariane Sá Vieira, Ligia Vieira Uchoa, Arnaldo Aires
Peixoto Júnior & Francisco Albano de Meneses. (2008). Validation of an
Early Warning Score in Pre-Intensive Care Unit. Revista Brasileira de
Terapia Intensiva Vol. 20 Nº 2, Abril/Junho, 2008. 2008:20:2:124-127
Roberts ME, Neville E, Berrisford RG, Antunes G, Ali NJ. (2010). Management
of a malignant pleural effusion: British Thoracic Society Pleural Disease
Guideline 2010. Thorax 65(Suppl 2):ii32–ii40
Rodrigo GJ, Rodrigo C. (2000). First-line therapy for adult patients with acute
asthma receiving a multiple-dose protocol of ipratropium bromide plus
albuterol in the emergency department. Am J Respir Crit Care
Med;161:1862–8.
Rodrigo GJ, Rodrigo C. (2002). The role of anticholinergics in acute asthma
treatment. An evidence based evaluation. Chest;121:1977–87.
Rodrigo GJ, Rodrigo C. First-line therapy for adult patients with acute asthma
receiving a multiple-dose protocol of ipratropium bromide plus albuterol in
the emergency department. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1862–8.
Rodrigo GJ, Rodrigo C. The role of anticholinergics in acute asthma treatment.
An evidence based evaluation. Chest 2002;121:1977–87.
Rodriguez-Panadero F, Lopez MJ. (1999). Low glucose and pH levels in
malignant pleural effusions. Diagnostic significance and prognostic value
in respect to pleurodesis. Am Rev Respir Dis 139(3):663–667
Rogayah, Rita. (2009). The Principle of Oxygen Therapy. Dept. Pulmonology and
Respiratory Medicine Medical Faculty of Indonesia University.
Roila F, Herrstedt J, Aapro M, et al. (2010). Guideline update for MASCC and
ESMO in the prevention of chemotherapy- and radiotherapyinduced nausea
and vomiting: Results of the Perugia consensus conference. Ann Oncol.
2010;21(suppl 5):v232-v243.
RSK Dharmais. Visi dan misi rumah sakit. Diunduh dari http://www.dharmais.
co.id/index.php/vision-and-mission-id.html
RSKD. (2013). Materi pelatihan kemoterapi RSKD . Jakarta.
Ryan JL, Heckler C, Dakhil SR, et al. (2009). Ginger for chemotherapy-related
nausea in cancer patients: A URCC CCOP randomized, double-blind,
placebo-controlled clinical trial of 644 cancer patients. J Clin Oncol
27(15s):supplabstr 9511.
Saevarsdottir, T., Fridriksdottir, N., Gunnarsdottir, S. (2006). Quality of life,
symptoms of anxiety and depression, and rehabilitation needs of people
receiving chemotherapy for cancer at the initiation of chemotherapy and
three months later. Oncology Nursing Forum 33, 469.
Saini, T., Murtagh, F.E., Dupont, P.J., McKinnon, P.M., Hatfield, P., & Saunders,
Y. (2006). Comparative pilot study of symptoms and quality of life in
cancer patients and patients with end-stage renal disease. Palliative
Medicine, 20, 631–636. doi: 10.1177/0269216306070236
Schattner M, Shike M. (2006). Nutrition support of the patient with cancer. In:
Shils ME, Shike M, Ross AC, Cabellero B, Cousins RJ, eds. Modern
nutrition in health and disease. Ed 10. Philadelphia, PA: Lippincott
Williams & Wilkins;: pp. 1290-1313.
Schein RM, Hazday N, Pena M, Ruben BH, Sprung CL (1990) Clinical
antecedents to in-hospital cardiopulmonary arrest. Chest 98: 1388–1392.
Schreier, A. M., & Williams, S. A. (2004). Anxiety and quality of life of women
who receive radiation or chemotherapy for breast cancer. Oncology
Nursing Forum, 31, 127–130.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network [SIGN]. (2008). Control of pain in
adults with cancer a national clinical guideline. Edinburgh
Segar, M.L., Katch, V.L., Roth, R.S., Garcia, A.W., Portner, T.I., Glickman, S.G.,
et al., (1998). The effect of aerobic exercise on self-esteem and depressive
and anxiety symptoms among breast cancer survivors. Oncology Nursing
Forum 25, 107-113
Shah, Sweta & Singhal, Tanu. (2013). Hand hygiene and health care associated
infections: What, why and how. journal homepage:
www.elsevier.com/locate/pid. Indian Academy of Pediatrics, Infectious
Disease Chapter. All rights reserved.
http://dx.doi.org/10.1016/j.pid.2013.08.001 pediatric infectious disease 5,
130-134 Available online at www.sciencedirect.com
Sherr, C.J. (1996). Cancer cell cycle. Science, vol. 275. Diunduh dari
http://www.sciencemag.org
Shiina Y, Funabashi N, Lee K, Toyoda T, Sekine T, Honjo S, et al. (2008).
Relaxation effects of lavender aromatherapy improve coronary flow velocity
reserve in healthy men evaluated by transthoracic Doppler
echocardiography. Int J Cardiol; 129: 193-7.
Shukla Y, Singh M. (2007). Cancer preventive properties of ginger: A brief
review. Food Chem Toxicol 45(5):683–690.
Siegel, R., Naishadham, D., & Jemal, A. (2012). Cancer statistics, 2012. CA: A
Cancer Journal for Clinicians; 62: 10–29. American Cancer Society, Inc.
doi:10.3322/caac.20138.
Sierko, E., Werpachowska, T.M., & Wojtukiewicz, Z.M. (2011). Psychological,
physical, and social situation of polish patients with cancer undergoing
firstline palliative care. Oncology Nursing Forum, 38(4), E253-E259.
Slattery, M.L., et al. (2008). Active and passive smoking, IL6, ESR1, and breast
cancer risk. Breast Cancer Res. Treat. 109, 101–111.
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever., (2010). Handbook for Brunner & Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing. Wolters Kluwer Health : USA. th
Smeltzer, C. Suzanne, Bare, G. Brenda. (2001). Brunner and Suddarth’s Text
Book of Medical Surgical Nursing. 8th vol 2 alih bahasa Kuncoro, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC;
Smith CA, Collins CT, Crowther CA. (2011). Aromatherapy for pain
management in labour. Cochrane Database Syst Rev 2011; http://
dx.doi.org/10.1002/14651858.CD009215.
Smith G.B., Prytherch D.R., Schmidt P.E. & Featherstone P.I. (2008). Review and
performance evaluation of aggregate weighted _track and trigger_ systems.
Resuscitation 77 (2), 170–179.
Smith, E.M., Gomm, S.A., Dickens, C.M. (2003). Assessing the independent
contribution to quality of life from anxiety and depression in patients with
advanced cancer. Palliative Medicine 17, 509-513.
Smith, G.B., Prytherch, D.R., Schmidt, P.E., & Featherstone, P.I. (2008). Review
and performance evaluation of aggregate weighted ‘track and trigger’
systems. Resuscitation, 77, 170–179.
Smith, T.R., et al. (2008). Polygenic model of DNA repair genetic polymorphisms
in human breast cancer risk. Carcinogenesis 29, 2132–2138
So, S-N., Ong, C-W., Wong, L-Y., Chung, J.Y.M., & Graham, C.A. (2015). Is the
Modified Early Warning Score able to enhance clinical observation to
detect deteriorating patients earlier in an Accident & Emergency
Department?. Australasian Emergency Nursing Journal, 18, 24-32
Soden K, Vincent K, Craske S, Lucas C, Ashley S. (2004). A randomized
controlled trial of aromatherapy massage in a hospice setting. Palliat Med
2004; 18: 87-92.
Song, M., Kirchhoff, K., Douglas, J., Ward, S., & Hammes, B. (2005). A
randomized controlled trial to improve advance care planning among
cardiac surgery patients. Medical Care, 43, 1049–1053.
Song, M., Kirchhoff, K., Douglas, J., Ward, S., & Hammes, B. (2005). A
randomized controlled trial to improve advance care planning among
cardiac surgery patients. Medical Care, 43, 1049–1053.
Stern, M.C., et al., 2007. DNA repair single-nucleotide polymorphisms in
colorectal cancer and their role as modifiers of the effect of cigarette
smoking and alcohol in the Singapore Chinese Health Study. Cancer
Epidemiol. Biomarkers Prev. 16, 2363–2372
Stern, R.M. Koch, K.L., Andrews, P.L.R. (2011). Nausea: mechanisms and
management, Oxford University Press, New York.
Stoffel-Lowis, N.L. (2011). Rapid response team utilization of modified early
warning scores to improve patient outcomes. http://remote-
lib.ui.ac.id:2073/docview/879637654/fulltextPDF/F7CEE915F85943C3PQ/
7?accountid=17242
Stoodley RG, Aaron SD, Dales RE. (1999). The role of ipratropium bromide in
the emergency management of acute asthma exacerbation: a metaanalysis
of randomized clinical trials. Ann Emerg Med;34:8–18.
Stoodley RG, Aaron SD, Dales RE. The role of ipratropium bromide in the
emergency management of acute asthma exacerbation: a metaanalysis of
randomized clinical trials. Ann Emerg Med 1999;34:8–18.
Stringer J, Donald G. (2011). Aromasticks in cancer care: An innovation not to be
sniffed at. Complement Ther Clin Pract. 17:116-121.
Subbe C.P., Kruger M., Rutherford P. & Gemmel L. (2001). Validation of a
modified Early Warning Score in medical admissions. Quarterly Journal of
Medicine 94 (10), 521–526.
Surh YJ. (2003). Cancer chemoprevention with dietary phytochemicals. Nat Rev
Cancer 3(10):768–780.
Suryaningsih, E. K. dan Sukaca. (2009). Kupas Tuntas Kanker Payudara.
Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Sutandyo, N., &Ririn (2006).Terapi nutris ipada kanker, dalam Sudoyo. Buku
ajar ilmu penyakit dalam (3rd Ed.). Jakarta: Pusat Penerbit Departemen
Penyakit Dalam FKUI.
Swarbrick dan Boylan. (2002). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology.
Second Edition Volume 3. Marcel Dekker, Inc: New York
Swiderek J, Morcos S, Donthireddy V, Surapaneni R, Jackson- Thompson V,
Schultz L et al. (2010). Prospective study to determine the volume of pleural
fluid required to diagnose malignancy. Chest 137(1):68–73
Terry MB, Zhang FF, Kabat G, et al. (2006). Lifetime alcohol intake and breast
cancer risk. Ann Epidemiol. 2006;16:230–240.
Teunissen, S.C., de Graeff, A., Voest, E.E., & de Haes, J.C. (2007). Are anxiety
and depressed mood related to physical symptom burden? A study in
hospitalized advanced cancer patients. Palliative Medicine, 21, 341–346.
doi: 10.1177/0269216307079067
Thomason, T., McCune, J., Bernard, S., Winer, E., Tremont, S., & Lindley, C.
(1998). Cancer pain survey: Patient-centered issues in control. Journal of
Pain and Symptom Management, 15, 275–284.
Three Pilot Studies. Oncology Nursing Forum • Vol. 36, No. 3, May 2009
Henderson, S. (2006). The role of the clinical nurse specialist in oncology
nursing. MEDSURG Nursing, 13(1), 38-41
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theory and their work. (6th ed).
St. Louis , Missouri : Mosby Elsevier
Tomey, A.M. & Alligood, M.R.. (2008). Nursing Theory : Utilization &
Application. 3rd Ed. Missouri :Elvesier Mosby.
Tomomi Ichiba, Tetsuo Miyagawa, Takeshi Kera, Toru Tsuda, Fumio Kokubu.
(2011). Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
http://erj.ersjournals.com/content/38/Suppl_55/p3641
Travers J, Dudgeon DJ, Amjadi K, et al. (2008). Mechanisms of exertional
dyspnea in patients with cancer. J Appl Physiol;104:57-66
Tsai WK, Chen W, Lee J,C, Cheng WE, Chen CH, Hsu WH, Shih CM. (2006).
Pigtail catheters vs large-bore chest tubes for management of secondary
spontaneous pneumothoraces in adults. AJEM. ;24:795–800. [PubMed]
Turner JG, Clark AJ, Gauthier DK, Williams M. (2008). The effect of therapeutic
touch on pain and anxiety in burn patients. J Adv Nurs;1:10–20.
Ullrich, R.L. (2005). Etiology of cancer : Physical Factor, dalam V. T Devita, S.
Hellman and S.A. Rosenberg (Ed). Cancer Principles and Practice of
Oncology. Edisi ke-7. Hlm. 193-200. Philadelphia : Lippincott Williams and
Wilkins.
Van den Beuken-van Everdingen MHJ, de Rijke JM, et al. (2007). Prevalence of
pain in patients with cancer: a systematic review of the past 40 years. Ann
Oncol;18:1437-1449.
Verbanck S, Hanon S, Schuermans D, et al. (2012). Small airways function in
breast cancer patients before and after radiotherapy. Breast Cancer Res
Treat;135:857-865.
Vergenoud, A.C et, al. (2013). Adherence To The Word Cancer Research
Fund/American Institute for Cancer Research Guidlines and Risk of Death
in Europe: Results From The European Prospective Investigation into
Nutrition And Cancer Cohort Study. American Society of Nutrition. Vol. 98.
Page 506-507.
Victor Sierpina, Lyuba Levine, Juliet Mckee, Christina Campbell, Sungmi Lian,
and Moshe Frenkel. (2015). Nutrition, Metabolism, and Integrative
Approaches in Cancer Survivors. Seminars in Oncology Nursing, Vol 31,
No 1 (February), 2015: pp 42-52. 2015 Elsevier Inc. All rights reserved.
0749-2081/3101-$36.00/0. http://dx.doi.org/10.1016/j.soncn.2014.11.005
Ward, S. E., Donovan, H., Gunnarsdottir, S., Serlin, R., Shapiro, G., & Hughes, S.
(2008). A representational intervention to decrease pain. Health
Psychology, 27, 59–67.
Ward, S. E., Goldberg, N., Miller-McCauley, V., Mueller, C., Nolan, A., Pawlik-
Plank, D., et al. (1993). Patient-related barriers to management of cancer
pain. Pain, 52, 319–324
Ward, S.E., Heidrich, S.M., & Donovan, H.S. (2007) An Update on the
Representational Approach to Patient Education . J Nurs Scholarsh. 2007;
39(3): 259–265. doi:10.1111/j.1547-5069.2007.00178.x.
Weel, A.E., et al. (1999). Estrogen receptor polymorphism predicts the onset of
natural and surgical menopause. J. Clin. Endocrinol. Metab. 84, 3146-3150.
Welchek CM, Mastrangelo L, Sinatra RS, Martinez R. (2009). Qualitative and
quantitative assessment of pain. In: Sinatra RS, Casasola OA, Ginsberg B,
Vincusi ER, McQuay H, editors. Acute pain management. New York:
Cambridge University Press; p.147-68.
Wenzel, R.P. (2003). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Edisi ke-
4. Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins
Western Australia Departement of Health. (2007). Pain Management,
Aromatherapy. Section B Clinical Guidelines King Edward Memorial
Hospital Perth Western Australia Universitas
WHO. (2013). Latest world cancer statistics Global cancer burden rises to
14.1million new cases in 2012: Marked increase in breast cancers must be
addressed. https://www.iarc.fr/2013/International Agency for Research on
Cancer
Wieler, S., Gagne, J.P., Vaziri, H., Poirier, G.G., Benchimol, S. (2003).
Poly(ADP-ribose) polymerase-1 is a positive regulator of the p53-mediated
G1 arrest response following ionizing radiation. J. Biol. Chem. 278, 18914–
18921.
Willett W, Rockhill B, Hankinson S, et al. (2004). In: Harris J, Lippman M,
Morrow M, et al, eds. Diseases of the Breast. 3rd ed. Philadelphia, PA:
Lippincott,Williams & Wilkins; 2004:228–240.
Williams Lippincott, Wilkins. (2012). Kapita Selekta Penyakit Dengan Implikasi
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Wolfgang Kamin, Astrid Schwabe, Irene Kra¨mer. (2006). Inhalation solutions –
which one are allowed to be mixed? Physico-chemical compatibility of drug
solutions in nebulizers. Journal of Cystic Fibrosis 5 (2006) 205 – 213,
Published by Elsevier B.V. All rights reserved.
doi:10.1016/j.jcf.2006.03.007
Wood, G.J., Shega, J.W., Lynch, B.,& Roenn, J.H. (2007). Management of
intractable nausea and vomiting in patients at the and of life. Journal of
American Medical Association, 298 (10), 1196-1207
Worwood VA. (2000). Aromatherapy for the healthy child: more than 300
natural, non-toxic, and fragrant essential oil blends. Novato: New World
Library.
Yang, M. J., Jeon,Y.W., Han, S. I., Han, C.W., & Eom, H. S. (2000). Depression
and pain in patients with cancer: A preliminary study. Journal of Korean
Neuropsychiatry Association, 39, 1122–1131.
Yarbro, Connie Henke. Wujcik, Debra. Gobel, Barbara Holmes. (2010). Cancer
nursing : principles and practice / edited by Connie Henke Yarbro, Debra
Wujcik, Barbara Holmes Gobel.—7th ed. p. ; cm. ISBN 978-0-7637-6357-2
Yee J, Davis GM, Beith JM, et al. (2014). Physical activity and fitness in women
with metastatic breast cancer. J Cancer Surviv;8:647-656.
Yoo, H.J., Ahn, S.H., Kim, S.B., Kim, W.K., Han, O.S. (2005). Efficacy of
progressive muscle relaxation training and guided imagery in reducing
chemotherapy side effects in patients with breast cancer and in improving
their quality of life. Supportive Care in Cancer 13, 826-833
Yoo, M.S., Lee, H., Yoon, J.A. (2009). Effects of a cognitive-behavioral nursing
intervention on anxiety and depression in women with breast cancer
undergoing radiotherapy. Journal of Korean Academy of Nursing 39, 157-
165.
Yuspa, S.H. dan P.G. Shield. (2005). Etiology of Cancer : Chemical Factors,
dalam V. T Devita, S. Hellman and S.A. Rosenberg (Ed). Cancer Principles
and Practice of Oncology. Edisi ke-7. Hlm. 185-192. Philadelphia :
Lippincott Williams and Wilkins.
Zarogoulidis K, Zarogoulidis P, Darwiche K, et al. (2013). Malignant pleural
effusion and algorithm management. J Thorac Dis. 2013 Sep. 5 Suppl
4:S413-9. [Medline]. [Full Text].
Zembower TR. (2014). Epidemiology of infections in cancer patients. Cancer
Treat Res;161:43e89. 4.
Zhang SM, Lee IM, Manson JE, et al. (2007). Alcohol consumption and breast
cancer risk in the women’s health study. Am J Epidemiol.;165:676–676.
Zhou, K.N., Li, X.M., Yan, H., Dang, S.N., Wang, D.L. (2011). Effects of music
therapy on depression and duration of hospital stay of breast cancer
patients after radical mastectomy. Chinese Medical Journal 124, 2321-2327.
Ziosi P, Manfredini S, Vertuani S, Ruscetta V, Radice M, Sacchetti G. (2010).
Evaluating essential oils in cosmetics: antioxidant capacity and
functionality. Cosmet Toilet; 125: 32-40.
Zohreh Vanaki, Pegah Matourypour, Roya Gholami, Zahra Zare, Valiolah
Mehrzad, Mojtaba Dehghan .(2016). Therapeutic touch for nausea in breast
cancer patients receiving chemotherapy: Composing a treatment.
Complementary Therapies in Clinical Practice 22 (2016) 64-68.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ctcp.2015.12.004 1744-3881/© 2015 Elsevier
Ltd. All rights reserved. Contents lists available at ScienceDirect. journal
homepage: www.elsevier.com/locate/ctcp
190

Lampiran 1 : Skema Siklus Sel Normal

Sumber: Yarbro, Wujcik, & Gobel, (2011)


Lampiran 2 : Peta Konsep Kanker Payudara

Faktor Risiko : Masalah Keperawatan :


- Usia - Nyeri
- Riwayat Keluarga - Risiko gangguan integritas kulit
dengan kanker/BRCA-1 - Risiko cidera
& BRCA-2 - Risiko ketidakefektifan koping individu
- Karakteristik reproduksi - Ketidakefektifan manajemen rejimen
- Kelainan kelenjar terapeutik
payudara - Ketidakseimbangan nutrisi < kebutuhan
- Hormon estrogen tubuh
- Radiasi pengion - dll.
- Diet/gizi

Sel ephitel normal


Terapi modalitas : Penerapan teori PEOL :
Kerusakan DNA - Operasi - Pengkajian
- Radiasi  Nyeri
Mutasi gen dalam - Kemoterapi  Rasa nyaman
jaringan ephitel  Dihargai & dihormati
dan sitem duktal  Damai
Distribusi dan  Dekat dengan orang
pengklasifikasian kanker yang bermakna
Hiperplasi sel payudara berdasarkan - Diagnosa
patologik dan TNM - Intervensi : dirumuskan
ephitel Carsinoma berdasar NIC
- Evaluasi : dengan melihat
insitu Menginvasi Penatalaksanaan awal : sejauh mana tercapainya
- Mamografi tujuan berdasarkan NOC
stroma - USG
- MRI
- Px. Laboratorium : Peningkatan kualitas
Kanker payudara CEA dan Ca 15-3 asuhan keperawatan
- Px. Sitologi : biopsi ditandai dengan
peningkatan kualitas
Metastase Metastase hidup pasien
melalui sistem melalui
limfatik ke pembuluh
nodus limfatik darah
aksila

Ca. Paru, liver, tulang,


otak

Sumber : Price & Wilson, (2005); Suryaningsih & Sukaca, (2009); Black &
Hawks, (2014); Tomey & Alligood, (2010)
192

Lampiran 3 : Hasil penerapan menghirup aromaterapi jahe pada pasien kanker payudara dengan kemoterapi

Tabel 1.5 Comparison of VAS nausea score and frequency of vomiting between ginger essential oil (EO) and
ginger fragrance oil (FO) at each study phase (phase 1 and 2) and treatment effect
Fase 1 Fase 2

Grup A Grup B P Grup A Grup B P Essential Plasebo P


(Plasebo) (Esential) valuea (Esential) (Plasebo) valuea valueb

Mual
Hari 1 1,17 ± 1,169 1,83 ± 1,169 1,000 1,17 ± 1,169 5,83 ± 3,371 0,207 1,5 ± 1,168 3,5 ± 3,425 -2 ( -3,756 -0,244 ) 0,009
Hari 2 2,83 ± 1,169 2,5 ± 1,378 0,721 2,83 ± 1,169 6,83 ± 2,317 0,103 2,67 ± 1,231 4,83 ± 2,725 -2,167 ( -3,833 -0,5 ) 0,005
Hari 3 5,17 ± 1,169 4,5 ± 1,049 0,873 5,33 ± 0,816 5,83 ± 2,858 0,058 4,92 ± 0,996 5,5 ± 2,111 -0,583 ( -2,029 0,862 ) 0,608
Hari 4 4 ± 0,894 2,5 ± 1,049 0,588 3,5 ± 1,049 3,83 ± 1,941 0,188 3 ± 1,128 3,92 ± 1,443 -0,917 ( -2,142 0,309 ) 0,852
Hari 5 1,33 ± 1,033 1,17 ± 0,753 0,475 1,33 ± 1,033 3,83 ± 2,483 0,098 1,25 ± 0,866 2,58 ± 2,234 -1,333 ( -2,921 0,254 ) 0,046
Muntah
Hari 1 1 ± 1,265 1,67 ± 1,633 0,418 1,5 ± 1,378 2,17 ± 1,472 0,651 1,58 ± 1,443 1,58 ± 1,443 0 ( -1,271 1,271 ) 1
Hari 2 5 ± 1,265 2,67 ± 1,366 0,765 3,17 ± 1,941 5,5 ± 1,049 0,188 2,92 ± 1,621 5,25 ± 1,138 -2,333 ( -3,585 -1,082 ) 0,002
Hari 3 6 ± 0,632 3,17 ± 2,041 0,055 3 ± 1,789 3,33 ± 1,366 0,549 3,08 ± 1,832 4,67 ± 1,723 -1,583 ( -3,003 -0,164 ) 0,032
Hari 4 4,67 ± 1,033 2,67 ± 0,816 0,701 3,17 ± 1,941 3,17 ± 1,169 0,247 2,92 ± 1,443 3,92 ± 1,311 -1 ( -2,271 0,271 ) 0,111
Hari 5 3,83 ± 1,472 1,17 ± 0,753 0,110 1,67 ± 1,033 2,83 ± 1,941 0,113 1,42 ± 0,9 3,33 ± 1,723 -1,917 ( -3,142 -0,691 ) 0,005

Data are mean ± SD, unless otherwise indicated. Bold values shows the significant difference, P < 0.05.
a Independent t-test; significant at P < 0.05.
b Paired t-test; significant at P < 0.05.

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


193

Lampiran 4 : Resume 30 Kasus Kelolaan

RESUME KEPERAWATAN
PENDEKATAN PEACEFUL END OF LIFE
THEORY
PADA KASUS KELOLAAN KLIEN KANKER
Pengkajian menggunakan konsep Peaceful End of Life Theory, Diagnosa
No. Deskripsi Kasus
Keperawatan, NOC,NIC dan Evaluasi
1. Tn. A (66 th), Islam, menikah, SMTA, PNS, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri dada sebelah kanan, nyeri seperti tertekan dan rasa
tanggal pengkajian 8/9/2015, Diagnosa terbakar di dada, Skala nyeri yaitu angka 5 pada skala 5. Timbulnya nyeri tidak tentu,
Medis: kanker paru kanan stadium IIIB kadang-kadang dan lamanya kira-kira 5-10 menit, wajah klien tampak menyeringai
Keluhan utama: Klien mengungkapkan kesakitan, TTV: Nadi 120 x/mnt, respirasi 36 x/mnt, cepat dan dangkal, tensi 100/60
sesak pada saat beristirahat dan dada terasa mmHg,
nyeri pada saat bernafas, nyeri dirasakan Nyaman: Klien mengungkapkan dada terasa berat dan sesak sekali. Klien mengatakan
setiap hari dan memberat pada hari ini rasa sesak tidak hilang meskipun istirahat, rasa sesak selalu di rasakan oleh klien,
Riwayat penyakit sekarang: Sesak dada, Pemeriksaan fisik : RR 36x/mnt cepat dan dangkal, spo2 95%, sianosis, CRT 4 detik,
yang semakin menghebat 2 hari sebelum perfusi dingin dan pucat., Pemeriksaan paru :Inspeksi: pergerakan dada asimetris;
masuk rumah sakit yaitu pada tgl 6-9-2015 pergerakan dada saat bernafas cepat, tarikan interkosta (+) tampak nafas cuping hidung;
(klien MRS pada tgl 8-9-2015) Klien palpasi: ekspansi paru meningkat, taktil fremitus menurun; Perkusi: perkusi dada redup
mengungkapkan dada terasa berat dan sesak (dullness); Auskultasi: suara wheezing unilateral; Hasil Blood Gas tgl 20-10-2012: pH
sekali. Klien mengatakan rasa sesak tidak 7,471; PCO2 29,2; PO2 62,6; HCO3 20,8, BE – 2,8, Kalium 3,0; Natrium 128; SaO2 93
hilang meskipun istirahat, rasa sesak selalu %
di rasakan oleh klien, klien juga (Alkalosis respiratorik),
mengatakan ia merasa nyeri pada dada Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual, makan 3x sehari sedikit, ±¼ porsi,
kanan atas. klien mengatakan senang minum jus buah; adanya mucositis, stomatitis nyeri eritema
Usaha yang dilakukan adalah duduk tenang, lecet di bibir, BB: 50 kg TB: 174 cm IMT: 16,55 kg/m2 (kategori: underweight)
mernarik napas dalam. Nyeri dirasakan kehilangan BB >20%, dl SGOT: 30 U/L (0-38), SGPT: 16 U/L (0-41), GDS: 102 mg/dl,
seperti tertekan dan rasa terbakar. Skala Hb 11,5 g/dL (12-16), Eritrosit: 9,6 juta/l (4-5)
keparahan yaitu pada skala 5. Timbulnya Bermartabat dan dihormati: klien mengatakan membutuhkan dukungan dari semua
nyeri tidak tentu, kadang-kadang dan keluarga dan perawat juga dokter, klien merasa tertekan dengan penyakitnya karena takut
lamanya kira-kira 5-10 menit, wajah klien anak-anaknya menderita penyakit kanker juga.
tampak menyeringai kesakitan. Lalu oleh Damai: Praktik keagamaan yang dilakukan: berdoa di tempat tidur
keluarga dibawa ke RSUD Dharmais pada Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang akan membantu pasien
pagi hari sekitar pukul 05.30, lalu klien di
sarankan untuk rawat inap
dalam pemenuhan kebutuhan perawatan: istri dan anak
Diagnosa keperawatan: 1) Gangguan pertukaran gas (00030), 2) Nyeri kronis (00133),
Klien dengan riwayat merokok lebih dari
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 4) . Risk control:
40 tahun, menyukai makanan yang
Infection (00004)
dipanggang dan tinggi lemak
Tujuan (NOC): 1) Respiratory status : gas exchange (0402), 2) Pain control (1605), 3)
Sudah menjalani kemoterapi 6x
Nutritional status : food and fluid intake (1008) 4) imune status (0702)
Toraks foto: tanggal 8/7/2015 Interpretasi: :
Intervensi (NIC): 1) Oxygen therapy (3320), 2) Pain management (1400), 3) Nutrition
jantung tampak terdorong ke kiri dan ada
management (1100) , 4) Infection control (6540)
bayangan massa pada daerah parahiler
5) Medication administration (2300): IVFD Ns 0,9%/24 jam, Glabexal tabet 300 mg,
sampai suprahiler kanan. Kesimpulan :
injeksi IV ondancentron 8 mg, drip tramadol 100mg+NS 100 cc, injeksi ranitidin 50 mg
kanker paru kanan stadium IIIB
IV dan ketorolac 50 mg (extra)
Evaluasi: pasien mengatakan sesak nafas berkurang, nyeri berkurang, skala 3, mual
berkurang, masih merasa nyeri menelan, klien mengatakan senang minum jus buah, tidak
ada keluhan panas, nafsu makan menurun, Suhu : 36,5 0C
2. Ny. R (35 th), Islam, menikah, SLTP, IRT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri dada kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai
tanggal pengkajian 14/9/2015, Diagnosa skala 8 menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk
Medis: Ca Mamae Stadium IIIB dan Efusi dan hilang timbul, klien tampak gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 28x/menit
Pleura N : 110x/menit
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
Riwayat penyakit sekarang: Menurut hidung, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit (masker 5L/menit), suara nafas tambahan
keterangan klien dan keluarga pasien sesak ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak teratur, SaO2 95%, sianosis, nafas
bertambah sejak 1 hari sebelum masuk cuping hidung, gambaran foto thorax efusi pleura
rumah sakit. Klien mengatakan selain sesak Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan sesak nafas, klien mengatakan
nafas dada nyeri skala 5 dan meningkat mengalami penurunan BB yang tadinya 50kg menjadi 45 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi
menjadi 8 bila menarik nafas dalam. Nyeri tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, BB: 45 kg, TB: 152 cm, IMT: 19,56 kg/m2
berlangsung ± 3 menit. Klien mengatakan (kategori: normal), kehilangan BB 5%, Hb : 10,7 g/dL, klien tampak kurus dan turgor
tahun 2000 terdapat benjolan sebesar biji menurun
asam di payudara kiri namun tidak klien mengatakan payudara kiri sudah di operasi ada keropeng sedikit kadang
dilakukan pemeriksaan maupun pengobatan mengeluarkan cairan bening sedikit tapi sekarang tidak, tampak luka pos op mastektomi
apapun. Tahun 2012 klien menikah dan payudara kiri, integumen sekitar luka pos op hiperpigmentasi dan terdapat nekrotik 4cm2,
mempunyai anak melalui operasi sesar. tidak ada eksudat, terdapat benjolan dengan kondisi integumen menyerupai kulit jeruk di
Ketika menyusui bayi satu bulan klien payudara kanan dekat dengan sternum
menderita usus buntu dan dilakukan operasi klien mengatakan sesak nafas dan merasa cepat lelah bila beraktivitas, aktivitasnya selalu
usus buntu dan berhenti menyusui bayinya dibantu suami, klien tampak sesak nafas dalam kondisi duduk memeluk bantal, kadang
karena ASI tidak keluar setelah operasi. bernafas dengan mulut, aktivitas dibantu perawat dan suami, nilai ECOG 3 (Hanya
Tahun 2013 benjolan yang ada di payudara mampu melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara tempat tidur dan kursi
kiri membesar dengan sangat cepat. Tahun lebih dari 50% dari waktu terjaga.), klien tampak bertambah sesak saat diwawancara dan

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


2014 dilakukan operasi payudara kiri di RS harus menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses pengkajian
Bekasi. Setelah operasi klien dianjurkan Bermartabat dan dihormati: klien mengatakan dulu tidak berani kemo karena takut
untuk mengikuti program kemoterapi efek samping yang disampaikan oleh masyarakat sekitar, klien tampak bertanya tentang
namun tidak dilakukan karena takut efek efek kemoterapi dan bagaimana cara mengatasinya
samping kemoterapi. Klien minum obat Damai: klien merasa cemas dengan penyakitnya dan kemoterapinya
herbal dan mengikuti pengobatan alternatif Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
selama 10 bulan. Enam bulan sebelum suami
masuk rumah sakit klien mengatakan sering Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Gangguan pertukaran
sesak nafas dan aktivitas harus dibantu gas (00030), 3) Nyeri kronis (00133), 4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
karena cepat merasa lelah. 2 bulan sebelum kebutuhan tubuh(00002), 5) Intoleransi aktivitas (00092), 6) Kerusakan integritas kulit
masuk rumah sakit klien mengatakan tidak (00046), 7) Resiko infeksi (0004), 8) Defisit pengetahuan proses pengobatan (kemoterapi)
bisa tidur terlentang dan harus dalam posisi (00126)
duduk karena sesak bertambah bila tidur Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Respiratory status : gas exchange
terlentang (0402), 3) Pain control (1605), 4) Nutritional status : food and fluid intake (1008), 5)
Lingkungan perokok, konsumsi pil KB, energy conservation (0002), 6) surgical recovery : convalescence (2304), 7) imune status
makanan cepat saji dan mie instan, (0702), 8) konwledge cancer management (1833)
lingkungan dekat pembuangan sampah Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Oxygen therapy (3320), 3) Pain
EKG: tanggal 25/8/2015 Interpretasi: synus management (1400), 4) Nutrition management (1100), 5) Energy management (0180), 6)
rhytm woundcare (3660), 7) Infection control (6540), 8) Chemotherapy management (2240)
Toraks foto: tanggal 10/9/2015 Interpretasi: 9) Medication administration (2300): infus NaCl 0,9% 500 cc + aminophilin 2 amp/24
tampak fibroinfiltral di paru kiri. Hilus dan jam, O2 masker 5L/menit, nebulazer:combivent dan bisolvon, aspirin 3x500mg Ranitidin
pleura tampak infiltrat 50 mg IV, Ondansentron 4 mg Iv
USG payudara : tanggal 10/9/2015 Evaluasi: Kilen mengatakan masih sesak nafas, Klien mengatakan masih nyeri dada kiri
Interpretasi : Lesi benigna superolmedial namun skala sedikit menurun yaitu 4 tetapi tetap meningkat saat batuk sampai skala 8
kiri menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk dan
USG Abdomen, tanggal 10/9/2015 hilang timbul, Klien mengatakan mual berkurang, klien mengatakan masih sesak nafas
Interpretasi: fatty liver, cholelithiasis. Tidak dan merasa lelah bila beraktivitas, aktivitasnya masih dibantu suami dan perawat, klien
nampak kelainan padaorgan intraabdominal mengatakan payudara kiri yang bekas dioperasi ada keropeng sedikit kadang
lainnya mengeluarkan cairan bening sedikit tapi sekarang tidak, Klien mengatakan tidak ada
keluhan panas tetapi nafsu makan menurun, Klien mengatakan sudah paham tentang
kemoterapi dan akan mengikuti prosedur pengobatan yang akan diberikan
3. Ny K (62 th), Islam, menikah, SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan mata terasa nyeri menjalar sampai pipi dan gusi serta
Pensiunan PNS, tanggal pengkajian bibir sebelah kiri terasa panas seperti terbakar, hilang timbul muncul tiba-tiba dan sering
21/9/2015, Diagnosa Medis: KNF timbul saat bicara, dan hilang pada saat istirahat, kadang bibir terasa baal, skala nyeri
Keluhan utama: nyeri sedang 4, klien juga mengungkapkan karena nyeri tidurnya terganggu, Riwayat nyeri
Riwayat penyakit sekarang: Klien metastase, dan kemoterapi yang ke 5, klien mempunyai riwayat minum obat aspirin tablet
mengatakan sering mimisan ± 6 bulan 3x500 mg
terakhir, pilek yang terus menerus sejak 2 Nyaman: Klien mengatakan nafsu makan menurun karena sakit menelan, mual, makan
bulan yang lalu, sudah ke dokter diberi obat 3x sehari sedikit, ±¼ porsi, klien mengatakan senang minum jus buah, adanya mucositis,
pilek tidak sembuh-sembuh, telinga kiri stomatitis nyeri eritema lecet di bibir, IMT 26,48 (obese I) kehilangan BB < 5%, SGOT :
seperti kemasukan air dan berdenging ± 2 14 U/L SGPT 11 U/L, : Hb : 10,7 g/dL (12-16) Eritrosit : 3,72 106/l (4-5) Leukosit :
bulan, mata kiri melihat double dan juling 7,48 103/l (5-10) Trombosit : 408 103/l (150-440) Hematokrit : 31,4 % (37-43)
sejak ± 2 bulan lama-lama mata terasa nyeri Klien mengatakan pipi sebelah kiri agak bengkak dan kulit kering, kulit kering mengkilap
menjalar sampai pipi dan gusi serta bibir di pipi sebelah kiri, Klien mengatakan akan menjalani kemoterapi yang ke 5, tidak ada
sebelah kiri terasa panas, tidak ada keluarga keluhan panas tetapi nafsu makan menurun
yang menderita kanker seperti klien, DM Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
klien terkontrol, klien mengatakan riwayat kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam
suka makanan yang dipanggang, selama
kondisi sakit , klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap
sakit nafsu makan menurun, BB menurun,
klien mengatakan melakukan biopsi tanggal dihargai sesuai dengan fungsinya
27 April 2015 di RSUD Cilegon Damai: klien mengatakan pasrah dan menerima, klien mengatakan masih
Tidak punya riwayat merokok, suka melakukan kegiatan ibadah
makanan panggang, DM sejak 2006 Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi
Foto Toraks : tanggal 18/5/2015 pasien: anak dan suami
Interpretasi: Tak tampak kelinan pada Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronis (00133), 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
jantung dan paru dari kebutuhan tubuh (00002), 3) Kerusakan integritas kulit (00046), 4) Resiko infeksi
Bone Scan : tanggal 22/5/2015 (00004)
Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Nutritional status : food and fluid intake
Interpretasi : aktivitas patologis pada
(1008), 3) surgical recovery : convalescence (2304), 4) Imune status (0702)
costae 5 dan genu kiri, tak tampak Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Nutrition management (1100), 3)
patologis pada tulang lainnya Wound care (3660), 4) Infection protection (6550)
Histopatologis/sitopatologis : tanggal 5) Medication administration (2300):Ns 0,9%/8 jam, aspirin tablet 3x500 mg, meprazole
7/5/2015 Interpretasi : Neoplasia 40 mg IV, Ondansentron 8 mg IV, Dexamethason 10 mg IV
Ganas, kemungkinan Carsinoma sel Evaluasi: Klien mengatakan mata masih terasa nyeri, mual berkurang, masih merasa
transisional nyeri menelan, klien mengatakan senang minum jus buah, pipi sebelah kiri masih
bengkak , kalau diraba kulit licin dan kering, nafsu makan menurun
4. Ny M (57 th), Islam, menikah, SLTP, IRT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri perut bawah skala 3 meningkat saat batuk sampai
tanggal pengkajian 29/9/2015, Diagnosa skala 5 menjalar ke perut kiri dan kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti
Medis: Ca. Cervix ditusuk-tusuk dan hilang timbul, klien tampak menunjukkan area yang kadang sakit RR:
Keluhan utama: nafsu makan menurun 20x/menit N : 84x/menit
karena mual Nyaman: Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan sesak nafas, klien
Klien datang ke rawat singkat dengan mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 40 kg menjadi 33 kg, klien makan
rencana kemoterapi yang ke 2 yaitu 3x/hari ¼ porsi tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, BB: 33 kg, TB: 142 cm, IMT:
carboplatin. TTV : 120/80, N : 84x/menit 16,41 kg/m2, (kategori: underweight), kehilangan BB 5%, Hb : 11,9 g/dL (12-16), klien
RR 20x/menit tampak kurus dan turgor menurun, klien mengatakan tidak panas hanya nafsu makan
Lingkungan perokok, konsumsi lemak, KB menurun
8 tahun Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
EKG: tanggal 25/8/2015 Interpretasi: synus kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
rhytm klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
Pemeriksaan Histopatologi interpretasi : fungsinya
karsinoma squamus tidak berkeratin, Damai: berdoa di atas tempat tidur
diferensiasi sedang, invasif serviks uteri: Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
USG Abdomen, tanggal 10/9/2015 suami
Interpretasi: fatty liver, cholelithiasis. Tidak Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronis (00133), 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
nampak kelainan padao rgan intraabdominal dari kebutuhan tubuh (00002), 3) Resiko infeksi (00004)
lainnya Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Nutritional status : food and fluid intake
(1008), 3) Imune status (0702)
Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Nutrition management (1100), 3)
Infection protection (6550)
5) Medication administration (2300):
Evaluasi: Klien mengatakan sedang tidak merasa mual, klien mengatakan mengalami
penurunan BB yang tadinya 50kg menjadi 45 kg, nyeri perut bawah skala 3 meningkat
saat batuk sampai skala 5 menjalar ke perut kiri dan kanan dan ulu hati seperti
terbakar,
tidak ada keluhan panas, nafsu makan menurun
5. Tn. K (55 th), Islam, menikah, SLTP, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri di sekitar stoma, pedih skala 4, klien tampak
Pensiunan, tanggal pengkajian 1/10/2015, gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 22x/menit N : 92x/menit, kulit sekitar
Diagnosa Medis: Ca. Collon stoma kemerahan
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual, klien makan 3x/hari ¼
Riwayat penyakit sekarang: Menurut porsi tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, BB: 64 kg,TB: 172 cm, IMT: 21,62
keterangan klien bulan januari 2015 rencana kg/m2 (kategori: normal) kehilangan BB <5%, Hb : 10,7 g/dL, klien tampak masih ideal
akan melakukan operasi hernia di RS Mitra dan turgor baik; klien mengatakan kulit sekitar stoma lecet-lecet pedih, tampak coloctomy
keluarga, namun pada saat dilakukan dengan keadaan colon prolaps, dan sekitar stoma hiperemi; klien mengatakan tidak panas
operasi ditemukan kanker usus sehingga hanya nafsu makan menurun, Hb : 10,7g/dL, terdapat luka pos op, leukosit : 7,48 103/l
operasi dilakukan sekaligus untuk Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
mengangkat kanker. Dari RS mitra keluarga kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
pasien disarankan untuk menjalani klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
kemoterapi. Kemudia klien memutuskan fungsinya
untuk melanjutkan pengobatan di RS Damai: pasrah semua sudah ketentuan Allah
Dharmais. Pada bulan Maret dilakukan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
kemoterapi yang pertama. Kemoterapi istri
dilakukan setiap 3 minggu sekali dan pada Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronis (00133), 2) Kerusakan integritas kulit (00046),
saat pengkajian klien sudah menrima 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00004), 4)Resiko infeksi
kemoterapi yang ke 11. Klien mengatakan (00004)
pda saat kemo yang pertama samapai ketiga Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Tissue integrity : skin (1101), 3) Nutritional
pernah mengalami sesak nafas. Kemo yang status : food and fluid intake (1008), 3) Imune status (0702)
sudah berjalan yaitu Eloxatin tiap 3 minggu Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Pressure management (3500),
sekali dan xeloda tablet 2x6 tablet tiap hari 3)Nutrition management (1100), 4) Infection protection (6550)
dan berhenti minum obat xeloda seminggu 5) Medication administration (2300): Ns 0,9%, aspirin 3x500mg, Ondansentron 8 mg Iv
sebelum kemoterapi eloxatin. Klien Evaluasi: Klien mengatakan masih nyeri di area kulit dekat stoma, perih skala 4,
mengatakan sebelum bulan januari 2015 kemerahan di sekitar stoma terjadi setelah adanya usus yang keluar, mual berkurang,
mempunyai kebiasaan merokok sehari 3 klien makan 3x/hari ¼ porsi tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, tidak ada keluhan
bungkus dan berhenti setelah dinyatakan panas, nafsu makan menurun
menderita kanker. Klien mengatakan
merasa mual namun tetap memaksakan diri
untuk makan. Klien mengatakan
colostominya lepas karena sering batuk
sehingga usus keluar. Klien mengatakan
akan melakukan rekontruksi setelah
program kemoterapi selesai. Dan akan
melakukan proses rekontruksi usus di RS
Mitra keluarga Merokok sejak SD,
lingkungan perokok, konsumsi tinggi
lemak, suka mie instan Toraks foto: tanggal
10/9/2015 Interpretasi: tampak fibroinfiltral
di paru kiri. Hilus dan pleura tampakinfiltrat
USG payudara : tanggal 10/9/2015
Interpretasi : Lesi benigna superolmedial
kiri
6. Ny. R (60 th), Islam, menikah, SMTA, IRT, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
tanggal pengkajian 19/10/2015, Diagnosa Nyaman: Klien mengatakan cemas akan menghadapi tindakan ablasi, TD :170/120
Medis: Kanker Thyroid Metastasis Paru mmHg, N : 74x/menit, RR :20x/menit, S : 36,50C; Klien mengatakan tidak bisa tidur
Keluhan utama: cemas nyenyak dalam beberapa hari, dan semalam tidak bisa tidur karena memikirkan tindakan
Riwayat penyakit sekarang: Klien yang akan dijalani, tampak lingkaran hitam di kelopak mata
mengatakan pada tahun 2014 muncul Klien tampak tegang dan beberapa kali menanyakan mengenai prosedur tindakan yang
benjolan di leher. Awalnya klien mengira akan dilakukan
benjolan tersebut adalah gondok biasa. Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
Klien melakukan pemeriksaan PA di RS kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
Cilegon dan hasilnya adalah kanker tiroid klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
kemudian dilakukan operasi pengangkatan fungsinya
benjolan pada tanggal 24 November 2014. Damai: Perasaan terhadap perubahan fisik yang dialami: menerima, pasrah, klien
Klien mengatakan menopause diusia 54 mengatakan masih melakukan kegiatan ibadah doa selama proses ablasi
tahun, adiknya ada yang pernah menderita Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
kanker dan meninggal. Klien mengatakan anak dan suami
ini adalah kunjungan kedua di RS K Diagnosa keperawatan: 1) Cemas (00146), 2) Gangguan pola tidur (000198)
Dharmais. Kunjungan pertama pada tanggal Tujuan (NOC): 1) Anxiety self control (1402), 2) Sleep (0004)
25 maret 2015. Dalam kunjungan pertama, Intervensi (NIC): 1)Relaxation therapy (6040), 2) Sleep enhancement (1850)
klien mengatakan akan dilakukan 3) Medication administration (2300):
tiroidektomi karena muncul benjolan Evaluasi: Klien mengatakan cemas berkurang, akan tidur tepat waktu dan sesuai
kembali di leher. Kemudian kunjungan kebutuhan
kedua berencana akan melakukan radiasi
dengan ablasi sesuai dengan saran dokter.
Selama menunggu terapi berikutnya klien
minum obat thyrax 2x100 mcg stiap hari.
Riwayat KB 8 tahun, adik meninggal karena
kanker, makan tinggi lemak, DM sejak
2006 Foto Toraks : tanggal 18/5/2015
Interpretasi: lesi metastase pada paru
Histopatologis/sitopatologis : tanggal
7/5/2015 Interpretasi : Carsinoma
thyroid papilar variant filokuler
metastase paru
USG Abdomen: tanggal 18/5/2015
Interpretasi: Tak tampak kelainan pada
organ-organ intra abdomen
7. Tn. T (35 th), Islam, menikah, SLTP, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri di perut dan anus hilang timbul seperti terbakar
Swasta, tanggal pengkajian 26/10/2015, kadang seperti ditusuk tusuk skala 10 muncul tiba-tiba, nyeri berkurang dengan sendiri
Diagnosa Medis: Ca. Recti dan Acute Renal lalu tiba-tiba muncul lagi dan sangat nyeri, klien mengatakan tidak bisa tidur karena nyeri
Failure yang selalu timbul, klien juga mengatakan nyerinya membuat nafsu makan dan minum
Keluhan utama: Nyeri perut dan anus menurun, Klien tampak menahan nyeri, tingkah laku berhati-hati (ubah posisi dengan
Riwayat penyakit sekarang: Dua tahun hati-hati), tampak gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau,
yang lalu klien mengeluh BAB darah dan menyeringai), klien kadang tampak terfokus pada diri sendiri, TD : 108/72 mmHg N :
nyeri saat BAB. Klien periksa ke rumah 100x/menit RR : 20x/menit, S : 36,70C, klien tampak gelisah, kadang merintih, perut
sakit “C” dan didiagnosa radang anus, klien besar keras seperti papan terdapat massa dan asites.
5x ke RS “C” dan diberikan obat untuk Nyaman: Klien mengatakan tidak nafsu makan, nyeri perut terasa penuh/begah, tiap kali
radang anus serta minum vegeta. Selama makan muntah, Konjungtiva tampak pucat, A : BB : 53 kg TB :170cm=2,89 IMT : 18,33
berobat di RS “C” tidak ada perubahan (underweigt) Lila : 16,5 (N :32,6) Standar gizi berdasar LILA : (16,5 : 32,6) x100%
kemudian pindah ke klinik “X” 3x =50,61% (gizi buruk), B : tgl 23/10/2015 Hb :11,7 mmHg (13-18), C : Klien tampak
didiagnosis wasir, di klinik “X” klien diberi kurus dengan perut buncit, mata cekung,, D : klien muntah setelah makan satu sendok
obat per 3 hari, tiap minum obat sembuh ataupun minum, klien mendapat diit rendah protein; klien dan keluarga mengatakan BAK
namun bila berhenti minum obat kambuh ada darah dan semacam lendir, perut sudah 7 kali diambil cairan @3liter, minum sedikit 3
lagi. Kemudian klien pindah periksa ke hari 1 liter (kemungkinan tidak masuk karena muntahnya lebih banyak dari asupan), klien
klinik “ R” 3x dan didiagnosis wasir diberi juga mengatakan haus dan lapar tapi klien sekali makan dan minum muntah, klien tampak
obat namun sakit tidak berkurang. Klien lemah, rambut dan kulit kering, tampak urine bercampur darah, tampak sering muntah,
melanjutkan pengobatan ke puskesmas “R” perut buncit berisi cairan asites dan massa, N : 100x/menit, Nilai lab fungsi ginjal :
3x, disana dilakukan pemeriksaan rontsen Ureum : 287 mg/dL (19-44), kreatinin : 5,35 mg/dL (<1,17), eGFR 13,05
dan tusuk anus oleh dokter dan didiagnosis ml/min/1,73m2 (>60), Nilai lab elektrolit : Natrium 125 mmol/L (135-150), Kalium : 6,2
wasir, klien mengatakan tambah kesakitan mmol/L (3,5-5,3), Klorida : 77 mmol/L (95-111), Kalsium : 9,6 (8,1-10,4) mg/dL,
bila mau BAB namun BAB darah kadang Magnesium : 3,5 mg/dL (1,9-2,5), BC : 1650-1100 = +550; keluarga klien me ngatakan
ada kadang tidak ada. Kemudian pindah lagi perut dekat kantong stoma merah-merah dan di pantat bagian kanan lecet, perut terdapat
ke klinik Cina di klinik ini klien dilakukan kemerahan, kulit kering, ada luka lecet di pantat sebelah kanan, klien mengatakan tidak
suntik di pantat kanan dan kiri dan diberikan panas, nafsu makan menurun, Hb : 11,7g/dL (13-18), terdapat colostomy, leukosit : 13,90
obat selama 5 hari, namun ketika obat habis, 103/l (5-10), S : 36,70C
penyakit kambuh lagi. Klien pindah lagi ke Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
klinik dekat rumah dsna dilakukan rontsen kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
ulang dan dokter menyampaikan ada koreng klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
di anus. Di klinik ini klien diberikan salep fungsinya
untuk dioles di anus dan obat minum, Damai: Harapan terhadap diri dengan perubahan fisik yang dialami: ingin sembuh,
namun klien masih merasakan nyeri saat merasa sedih namun semua ketentuan Allah, sejak sakit: berdoa dan istighfar
BAB dan BAB masih berdarah. Klien Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
pindah lagi ke RS “P” disana dilakukan istri
tusuk anus 2x tiap minggu jika kontrol, Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronis (00133), 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
klien diberi obat dan salep. Di rumah sakit dari kebutuhan tubuh (00004), 3) Intoleransi aktivitas (00092), 4) Resiko
“P” ini klien minta rujukan namun tidak ketidakseimbangan cairan, (00025), 5) Kerusakan Integritas kulit (00046), 6) Resiko
diberi. Klien makin merasa nyeri dan infeksi (00046)
berhenti bekerja karena kesakitan dan sulit Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Nutritional status : food and fluid intake
berjalan. Kemudian dengan bos kantor klien (1008), 3) energy conservation (0002), 4)Fluid balance (0601), 5) Surgical recovery :
dibawa ke klinik ”AS” disana diminta hasil convalescence (2304), 6) Imune status (0702)
CT scan, karena tidak ada klien hanya Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Nutritin therapy (1120), 3) Energy
disarankan untuk memberli celana dalam management (0180), 4) Fluid/electrolit management (2080), 6) Infection control (6540)
magnet seharga Rp. 15000000,- namun 7) Medication administration (2300):
klien tidak membelinya karena biaya yang Evaluasi: Klien mengatakan masih nyeri di perut dan anus hilang timbul seperti terbakar
sangat mahal. Kemudian pindah lagi ke RS kadang seperti ditusuk tusuk skala 8 muncul tiba-tiba, masih tidak nafsu makan, nyeri
“O” klg dan klien minta dilakukan perut terasa penuh/begah, lemah tidak bisa duduk bila tidak dibantu oleh perawat maupun
endoscopy tetapi ternyata yang dilakukan keluarga, mengatakan BAK ada darah dan semacam lendir, perut dekat kantong stoma
adalah rontsen yang sama di RS di merah-merah dan di pantat bagian kanan lecet, tidak panas, nafsu makan menurun
kampung. Klien pindah lagi ke RS “BK”
dilakukan tusuk anus lagi dan didiagnosis
tumor ganas lalu disarankan untuk operasi,
klien juga diberikan obat pengurang rasa
sakit yang diminum selama 5 hari. Dari sini
klien merasa sembuh. Namun beberapa hari
merasa nyeri dan berdarah lagi. Kemudian
klien pindah lagi ke RS “PIK” disana
diberikan surat rujukan untuk operasi dan
didiagnosis tumor ganas stadium II melalui
CT scan, namun klien menolak untuk
operasi dan mengikuti saran bos untuk
minum herbal. Klien minum herbal selama
2 bulan berupa minuman dan obat kapsul,
selama minum obat herbal klien
mengatakan tidak nyeri dan tidak BAB
darah lagi. Obat herbal habis kambuh lagi
klien pindah ke RS “B”. Klien diminta
untuk menunggu jadwal operasi. Selama
menunggu jadwal operasi klien
menggunakan herbal dan mengikuti pijat
refleksi serta setrum kaki, hasilnya perut
sakit dan perut makin membuncit. Bulan
februari 2015 klien datang ke RS “B” dan
dilakukan pemeriksaan USG, jantung, paru.
Klien juga membawa hasil biopsi dari
Klinik sehat yang dibacakan hasilnya oleh
dokter di RS “B”. Kemudian setelah
pemeriksaan lengkap klien dilakukan
operasi pada bulan April 2015 dan
dilakukan colostomy. Klien dilakukan
perawatan luka di puskesmas setelah pulih
dari tindakan operasi di RS “B”. Kemudian
setelah stelah melakukan perawatan luka di
puskesmas klien datang kembali ke RS’B”
pada bulan Mei untuk meminta rujukan ke
RS Dharmais karena klien masih merasa
nyeri di anus saat BAB. Klien datang ke RS
Dharmais dan disarankan untuk kemo dan
radiasi, klien mengkonsumsi Xeloda dan
mengatakan saat minum Xeloda nyeri
hilang BAB lancar dan makan minum
selera. Kemudian klien melakukan radiasi
sebanyak 27x pada saat radiasi ke 20 klien
mengalami penurunan kadar Hb : 9,8 mg/dL
dan dilakukan transfusi. Klien mengatakan
pada saat radiasi ke dua perut terasa begah
dan keras. Klien mendapat treatment
seminggu sekali setelah radiasi pungsi
cairan setiap pengambilan cairan asites
didapatkan 3 liter cairan. Klien mengatakan
sudah 7x diambil cairan di perut. Pada
tanggal 21/10/2015 klien dilarikan ke IGD
karena merasa perut penuh dan begah, tidak
selera makan selama 2 minggu dan tidak
bisa BAB selama 2 minggu
Riwayat perokok aktif dan pasif, makan
tinggi lemak, instan, minum alkohol
8. Ny. M (45 th), Islam, menikah, tidak tamat Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri di wajah hilang timbul seperti ditusuk tusuk skala 6
SD, IRT, tanggal pengkajian 2/11/2015, muncul tiba-tiba sering muncul pada saat perawatan luka, nyeri berkurang dengan sendiri,
Diagnosa Medis: Ca. Maxilla post op Klien tampak menahan nyeri, tingkah laku berhati-hati (ubah posisi dengan hati-hati),
Maxilectomy dan flap tampak gangguan tidur (mata sayu, tampak capek), klien kadang tampak terfokus pada
Keluhan utama: Nyeri diri sendiri, TD : 110/80 mmHg N : 90x/menit RR : 20x/menit, S : 36,70C, kadang
Riwayat penyakit sekarang: Keluarga merintih, tampak luka terbuka di wajah (pengangkatan flap yang mengalami kegagalan
mengatakan Ny. M mempunyai benjolan di penyembuhan/mengalami kematian jaringan/nekrosis), luka berbau.
mulut menempel di rahang atas sebesar biji Nyaman: Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, makan melalui selang
jagung. Benjolan tersebut ada sebelum karena tidak memiliki rahang atas, A : BB : 50 kg TB :155 cm IMT : 20,83 (normal), B :
menikah tahun 1991. Tahun 2003 benjolan tgl 27/10/2015 Hb :11,1 g/dL (13-18), C : Klien tampak kurus kulit kering rambut rontok,
tersebut membesar sampai ke pipi kanan klien tidak memiliki rahang atas dan hidung, konjungtiva tampak pucat, D : klien makan
dengan diameter ± 5 cm. Klien mempunyai melalui selang NGT, mendapat nutrisi cair TKTP, Keluarga mengatakan klien masih agak
riwayat KB selama 10 tahun. Setelah lemah dan selalu berbaring dan hari ini baru dianjurkan duduk, Keluarga klien
kelahiran anak kedua tahun 1993. Benjolan mengatakan kulit klien kering, punggung kemerahan
tersebut pernah dua kali dioperasi di RS. Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
Fatmawati tahun 2003 dan 2005. Tahun kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
2009 benjolan membesar kembali dan klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
dibawa ke RS. Dharmais dan dilakukan fungsinya
operasi pengangkatan sebagian rahang. Damai: sedih, ingin mempunyai gigi dan rahang atas lagi, tidak bisa mengerjakan
Keluarga mengatakan setelah operasi pekerjaan IRT, berdoa di atas tempat tidur
tersebut ada rencana untuk pemasangan gigi Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
palsu namun karena terjadi perdarahan tidak suami
jadi dilakukan pemasangan gigi palsu. Diagnosa keperawatan: 1) Bersihan jalan nafas tidak efektif (00031), 2) Nyeri kronis
Selama dirumah pasien makan makanan cair (00133), 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 4)
dan lunak karena tidak mampu mengunyah. Kerusakan Integritas kulit (00046), 5) Intoleransi aktivitas (00092), 6) Resiko infeksi
Tahun 2013 benjolan besar kembali dan (00004)
keluarga membawa pasien ke RS. Dharmais Tujuan (NOC): 1) Respiratory status : airway patency (0410), 2) Pain control (1605), 3)
dan dilakukan kemoterapi 5 hari tiap bulan Nutritional status : food and fluid intake (1008), 4) Surgical recovery : convalescence
selama 3x siklus. Rencana akan dilakukan (2304), 5) Energy conservation (0002), 6) Imune status (0702)
6x siklus namun karena benjolan tidak Intervensi (NIC): 1) Airway suctioning (3160), Pain management (1400), 3) Nutrition
semakin mengecil kemo dihentikan. management (1100), 4) Wound care (3660), 5) Energy management (0180), 6) Infection
Kemudian dilakukan radiasi 3x dihentikan control (6540)
karena benjolan semakin besar, rencananya 7) Medication administration (2300): ketorolac 30 mg dalam Ns 100cc, RL 500cc/24 jam,
radiasi akan dilakukan sebanyak 30x. Combiflex 1000 cc/24 jam, Heparin 10000 ui/24 jam
Kemudian pasien dan keluarga memutuskan Evaluasi: Keluarga mengatakan klien masih batuk dan ada dahak sering dilakukan
untuk pulang. Tahun 2015 keluarga pengisapan oleh perawat, masih mengeluh nyeri di wajah hilang timbul seperti ditusuk
membawa pasien ke RS Dharmais karena tusuk skala 6, klien mengalami penurunan BB, makan melalui selang karena tidak
pasien semakin kesulitan dalam mencerna memiliki rahang atas, kulit klien masih kering, punggung kemerahan, masih agak lemah
makanan karena benjolan makin besar. Dan dan selalu berbaring
dilakukan operasi kembali diankat benjolan
(maxillectomy) dan pemasangan flap.
Namun karena flap tidak berhasil melekat
pada wajah klien karena tidak baiknya
aliran darah. Flap mengalami kemtian
jaringan dan pada tanggal 2 November 2015
flap diangkat kembali. Pasien direncanakan
akan dilakukan operasi pemasangan flap
kembali pada tanggal 6 November 2015
KB 10 tahun
EKG: tanggal 19/10/2015 Interpretasi:
normal synus rythm
Toraks foto: tanggal 27/10/2015
Interpretasi: tak tampak kelainan
jantung dan paru
Pemeriksaan PA adenoma pleomorfik
9. Ny. R (28 th), Kristen, menikah, tamat Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri saat akan BAB hilang timbul seperti ditusuk tusuk
Sarjana, swasta, tanggal pengkajian skala 2 muncul tiba-tiba sering muncul pada saat BAB, nyeri berkurang dengan sendiri
9/10/2015, Diagnosa Medis: AML atau saat istirahat, Klien tampak menahan nyeri, tingkah laku berhati-hati (ubah posisi
Keluhan utama: Mual dengan hati-hati), tampak gangguan tidur (mata sayu, tampak capek), klien kadang
Riwayat penyakit sekarang: Pada bulan tampak terfokus pada diri sendiri, TD : 100/70 mmHg N : 88x/menit RR : 20x/menit, S :
Juli/2015 Pasien masuk RS pertama kali 360C
melalui IGD Dharmais dengan keluhan Nyaman: Klien mengatakan mengalami penurunan BB, makan mengalami penurunan
nyeri kepala, lemas dan nyeri tulang rahang nafsu, bila makan satu sendok merasa mual, A : BB : 39 kg TB :150 cm IMT:
±1 bulan SMRS dan dirawat ± 10hr. Pada 17,33kg/m2, B : tgl 8/11/2015 Hb :9,4 g/dL (13-18), C : Klien tampak kurus kulit kering
tanggal 20/8/2015 pasien datang ke IGD rambut rontok, konjungtiva anemis, tampak pucat, D : klien makan melalui oral,
kembali dengan keluhan lemas, BAB encer mendapat nutrisi TKTP, Klien mengatakan masih agak lemas dan selalu nyaman
dan hitam 2 hari SMRS, gusi berdarah 1 berbaring di tempat tidur, Klien tampak berbaring terlentang, TD: 110/70 mmhg, N :
hari SMRS, pasien juga mengeluh demam. 88x/menit RR : 20x/menit, S : 360C, Hb : 9,4 gr/dL, Klien mengatakan tidak panas, Klien
TTV: TD :110/70 mmHg, N 100x/menit, mengatakan pernah punya riwayat gusi berdarah dan BAB warna hitam
RR 20x/menit, Suhu 36,6oC. Pemeriksaan Bermartabat dan dihormati: Perasaan terhadap perubahan fisik yang dialami: tidak
fisik conjuctiva anemis. Laboratorium berdaya, lemas
tanggal 18/8/2015 Hb 7,0 g/dL, Leukosit Damai: pasrah selalu berdoa berharap diberikan kesembuhan
13540, Trombosit 2000/ul, SGOT:45, Kedekatan dengan orang yang bermakna: orang yang bermakna bagi pasien suami
SGPT:59, Ureum : 20, creatinin 0,58, eGFR Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri akut (00132), 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
: 132,54, as. Urat :2,3, GDS : 106. Pasien dari kebutuhan tubuh (00002), 3) Intoleransi aktivitas (00092), 4) Resiko infeksi (00004),
mendapat terapi transfusi TC 10 unit dan 5) Resiko perdarahan (00206)
PRC 500cc. Pasien di rawat di ruang teratai. Tujuan (NOC): 1) Pain level (2102), 2) Nutritional status : food and fluid intake (1008),
Pasien belum pernah kemotherapy 3) Activity tolerance (0005), 4) Imune status (0702), 5) Blood coagulation (0409)
sebelumnya dan di ruang teratai tanggal Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Nutrition management (1100), 3)
17/9/2015 pasien mendapat kemoterapi Energy mangement (0180), 4) Infection control (6540), 5) Bleeding precautions (4010)
untuk yang pertama kalinya dengan 6) Medication administration (2300): Tramal 2x100mg, Ondansentron 2x8 mg,
protokol kemoterapi induksi LAM VIII. Paracetamol 3x500 mg, Fuconazole 1x200 mg, Meropenem 2x1 gr, Omeprazole 2x40
Tanggal 3/11/2015 pasien dipindahkan ke mg, Amikasin 2x500 mg, vit K, Ardium 3x500mg
ruang isolasi imunitas menurun karena Evaluasi: Klien mengatakan sedang tidak nyeri karena belum BAB, nyeri timbul saat
trombositopeni berat. Pemeriksaan fisik BAB, mengalami penurunan BB, makan mengalami penurunan nafsu, masih agak lemas
pasien masuk RIIM TB 150 cm, BB 39 kg, dan selalu nyaman berbaring di tempat tidur, tidak panas, pernah punya riwayat gusi
LPB/BSA : 1,3, golongan darah O, pasien berdarah dan BAB warna hitam, hari ini belum BAB dan tidak terjadi perdarahan
terpasang CVC, riwayat kesehatan yang lalu
pasien pernah menerima tahapan
kemoterapi induksi protokol kemoterapi
LAM VIII dengan keluhan mual, muntah
dan rambut rontok, tidak ada riwayat
ekstravasasi, mulut terdapat caries. Klien
mampu melakukan semua kegiatan tanpa
hambatan, skala aktivitas ECOG 0 (aktif
penuh), pengkajian ESAS nyeri skala 1,
mual skala 2, mengantuk skala 4, nafsu
makan menurun skala 6, perasaan kurang
sehat dan kurang bugar skala 4, merasa
memiliki masalah skala 6, pengkajian status
fungsional (barthel index) 18 :
ketergantungan ringan, penilaian resiko
jatuh pada pasien dewasa (Morse) 25 :
resiko rendah
Toraks foto: tanggal 28/8/2015
Interpretasi: Bronkhopnemonia
Radiodiagnostik : tanggal 7/8/2015
Interpretasi : kardiomegali, tak tampak
kelainan pada paru
Pemeriksaan PA : Leukemia phenothyping
mieloid lineage sesuai AML
10. Ny. M (45 th), Islam, menikah, SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri di dada, paha dan punggung hilang timbul, nyeri
swasta, tanggal pengkajian 24/11/2015, yang di dada dan paha seperti disayat-sayat skala 6 muncul tiba-tiba, nyeri yang di dada
Diagnosa Medis: CA Mammae post sering muncul pada saat perawatan luka, nyeri berkurang dengan sendiri, yang di paha
mastektomi, reseksi iga 5-6 dan rekontruksi nyeri timbul saat menggerakkan kaki, yang dipunggung nyeri seperti terbakar panas,
tutup defek dinding dada pemasangan flap timbulnya nyeri punggung karena harus tiduran terlentang terus, klien mengatakan susah
Keluhan utama: Nyeri di dada daerah yang tidur karena nyeri hilang timbul, Klien tampak menahan nyeri, tingkah laku berhati-hati
dioperasi (ubah posisi dengan hati-hati), tampak gangguan tidur (mata sayu, tampak capek), klien
Riwayat penyakit sekarang: Pasien datang kadang tampak terfokus pada diri sendiri, TD : 120/80 mmHg N : 94x/menit RR :
karena direncanakan akan dilakukan operasi 20x/menit, S : 360C, kadang merintih, terdapat luka pos mastektomi dan rekontruksi/flap
benjolan di payudara kanan, benjolan timbul di dada, terpasang drain Barovack, terpasang spalk di tangan kanan, terdapat luka di
sekitar satu tahun yang lalu dan makin kedua paha
membesar. Pada saat datang ke rumah sakit Nyaman: Klien mengatakan mengalami penurunan BB, satu tahun lalu BB sampai 60
tanggal 8/11/2015 benjolan berukuran ± satu kg, akhir-akhir ini merasa tidak nafsu makan namun selalu berusaha untuk makan, A : BB
kepala orang dewasa, batas tidak jelas dan : 54 kg, TB :150 cm, IMT : 24 (normal), B : tgl 11/11/2015 Hb :9,9 g/dL (13-18) ,
terasa kebas. Operasi dilakukan 2x hari albumin : 2,4 g/dL (3,2-5,2), C : Kulit kering rambut rontok, konjungtiva tampak pucat,
Selasa tgl 17/11/2015 untuk pengangkatan turgor menurun/kurang elastis, D : klien mendapat nutrisi cair TKTP; Klien mengatakan
benjolan, dan Jum’at tanggal 20/11/2015 lemah karena harus selalu dalam posisi berbaring terlentang, seluruh aktivitas harus
dilakukan rekontruksi pemasngan flap. dibantu suami dan perawat, Klien tampak berbaring terlentang, terpasang spalk di tangan
Toraks foto: tanggal 3/11/2015 kanan, dan sangat terbatas pergerakannya, aktivitas tampak dibantu oleh suami dan
Interpretasi: efusi pleura kanan proses dibantu perawat; Klien mengatakan kulit klien kering, punggung nyeri, dada dan paha
spesifik apikal kiri yang bekas operasi juga nyeri, punggung tampak kemerahan palpasi hangat kering,
terdapat luka pos mastektomi dan rekontruksi/flap di dada, terpasang drain Barovack,
EKG: tanggal 8/11/2015 Interpretasi:
terpasang spalk di tangan kanan, terdapat luka di kedua paha yang ditutup kasa dan
normal synus rhytm dibandage.; Klien mengatakan saat ini sedang tidak panas, tetapi kemarin sempat panas
Pemeriksaan PA : Tanggal 6/12/2014 : Bermartabat dan dihormati:sedih, ingin sembuh
stromal sarcoma mammae dextra Damai: semua atas kehendak Allah, berdoaa dan mengaji di atas tempat tidur
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
suami dan anak
Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronis (00133), 2) Kerusakan Integritas kulit (00046),
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 4) Intoleransi
aktivitas (00092), 5) Resiko infeksi (00004)
Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Surgical recovery : convalescence (2304), 3)
Nutritional status : food and fluid intake (1008), 4) Energy consevation (0002), 5) Risk
control (1902)
Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Wound care (3660), 3) Nutrition
management (1100), 4)Energy management (0180), 5) Infection protection (6550)
5) Medication administration (2300): ketorolac 3x30mg (ketorolac 30 mg dalam Ns
100cc), Ranitidin 2x 50 mg, Ceftriaxon 2x1 g
200

Evaluasi: Klien mengatakan masih nyeri di dada bagian yang dioperasi, kulit klien
kering, punggungnya masih nyeri, mengalami penurunan BB, masih lemah karena harus
selalu dalam posisi berbaring terlentang, sedang tidak panas, tetapi kemarin sempat panas
11. Ny. I (57 th), Islam, janda, tamat SD, IRT, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
tanggal pengkajian 30/11/2015, Diagnosa Nyaman: Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6 bulan lalu BB sampai
Medis: Ca Serviks dan isufisiensi ginjal 50 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit mengalami penurunan
Keluhan utama: Penurunan kesadaran nafsu makan, mual, muntah, dan diare, Keluarga mengatakan punggung dan pantat klien
Riwayat penyakit sekarang: Bicara kacau terdapat luka, Keluarga mengatakan klien saat ini sedang tidak panas, tetapi kemarin
sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, sempat panas
gelisah, sulit diajak komunikasi, mual, Bermartabat dan dihormati:pasrah
muntah 2x, berisi air, nafsu makan Damai: ibu bisa meninggal dengan tenang dalam kondisi yang sebaik-baiknya
menurun, BAB encer sejak 5 hari sebelum Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
masuk rumah sakit, frekuensi 5x/hari, tidak anak
ada ampas, kuning kecoklatan, 3 hari Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan jaringan serebral (00201) , 2)
terakhir ada bercak darahnya, BAK sedikit Gangguan ventilasi spontan (000033), 3) Kerusakan Integritas kulit (00046), 4)
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 5) Resiko infeksi
pasien sudah didiagnosa kanker serviks (00004)
sejak tahun 2013, disarankan kemoterapi Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Respiratory status : ventilation (0403),
dan operasi menolak, terakhir berobat ke RS 3) Tissue integrity : skin (1101), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008), Risk
cengkareng 5/11/2015 dikatakan sudah control (1902)
tidak dapat dioperasi lagi karena sudah Intervensi (NIC): 1) Neurological monitoring (2620), 2) Oxygen therapy (3320), 3)
advance Riwayat KB 12 bulan, makan Pressure management (3500), 4) Nutrition management, 5) Infection control (6540)
tinggi lemak, Tumor marker: Tanggal 5) Medication administration (2300): nasal kanul 3ltr/mnt , Clinimix 1000cc/24 jam
12/2/2013 karsinoma sel skuamosa tidak NaCl 0,9%/24 jam, imodium 3x2mg, serenase/haloperidol 2x5mg (saat ini sedang
berkeratin, berdiferensiasi buruk dipuasakan), Ceftriaxon 3x1 gr, Ranitidin 2 x 40 mg , Dexamethasone : 2x5 mg , Lasix :
1 x 20 mg , Transamin : 500 mg (ektra), Fluconazole : 1x200 mg , Vit K 1 amp (ekstra),
Transamin : 3x 1 gr
Evaluasi:
12. Ny. K (53 th), Islam, Kawin, tamat Sarmud, Bebas nyeri: Keluarga klien mengatakan ketika klien sadar selalu kesakitan, kadang
IRT, tanggal pengkajian 7/12/2015, sampai menangis, tangan dan pinggangnya menekuk ke arah dalam karena klien merasa
Diagnosa Medis: Ca Mammae bilateral, nyaman dengan posisi tersebut namun karena selalu dalam posisi menekuk tangan dan
meta brain dan meta tulang pinggang sebelah kiri tidak bisa kembali ke posisi semula, kaku, TD : 100/56 mmHg, N :
Keluhan utama: Penurunan kesadaran 123x/mnt, RR : 26x/mnt (terpasang NRM 12 ltr/mnt), S : 39,5oC, klien terpasang
RPS : Klien penurunan kesadaran 30 menit Durogesic patch 600 meq (9 lembar di punggung deltoid kanan, 2 lembar di abdomen 100
SMRS (5/12/2015), setengah jam meq), terpasang epidural line dengan terapi ketaral dan Marcaine)
sebelumnya klien sedang minum obat, oleh Nyaman: Pasien tampak Dyspnea menggunakan oksigen NRM 12 ltr/mnt, Kesadaran
keluarga riwayat tersedak disangkal, sesak sopor, E2M3V1, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6 bulan lalu BB
nafas disangkal, klien sejak pagi sudah sampai 54 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit mengalami
dalam keadaan meracau (bicara kacau), penurunan nafsu makan, mual, muntah, Keluarga klien mengatakan dada, perut,
klien muntah 2x, berisi air, klien didiagnosa punggung, tangan kiri terdapat luka kanker dan pantat klien terdapat luka tekan
kanker payudara sejak 4 tahun yang lalu, Bermartabat dan dihormati: Perubahan peran selama sakit: keluarga mengatakan klien
bermula dari payudara kanan dan menjalar tidak mampu melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga, dan semua aktifitas dibantu
ke payudara kiri, kanker menjalar ke oleh keluarga
payudara kiri sejak riwayat berobat di Damai: ibu bisa meninggal dengan tenang dalam kondisi yang sebaik-baiknya
alternatif 2 tahun lalu, dan melakukan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
kemoterapi 6x dan belum pernah radiasi, anak
lengan kiri tampak keunguan, bengkak, kulit Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Resiko
kaku, tampak luka kanker luas di dada, ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201), 3) Gangguan ventilasi spontan (000033),
perut, punggung, tangan kiri, diraba keras 4) Nyeri kronis (00133), 5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
dan kaku, terdapat eritema, fistula, dan (00002), 6) Kerusakan integritas kulit (00046), 7) Resiko infeksi (00004)
jaringan nekrotik, piting edema grade 2 di Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 20 neurologic status (0909), 3) Respiratory
kedua kaki, keluarga membawa klien ke status : ventilation (0403), 4) Pain control (1605), 5) Nutritional status : food & fluid
IGD RSK Dharmais, pemeriksaan awal di intake (1008), 6) Tissue integrity : skin (1101), 7) Imune status (0702)
IGD didapatkan jalan nafas terdapat Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Neurologic monitoring (2620), 3)
sumbatan, ronkhi basah di seluruh lapang Oxygen therapy, 4) Pain management (1400), 5) Nutrition therapy (1120), 6) Woundcare
paru, menggunakan otot bantu pernafasan, (3660), 7) Infection control (6540)
RR : 40x/menit, N : 158x/menit, TD 126/79 8) Medication administration (2300): infus I : Clinimic 1000cc/24 jam II : Ns 0,9%
mmHg, takikardi, tampak pucat GCS : 500cc/12 jam III : Ns 0,9% 50cc + Heparin 7500ui/24jam, Actrapid bronkodilator :
E2M1V1 total 4, besar pupil kanan 5 mm Ventolin 2,5 mg (nebulazer), Ceftazidime 3x1 gr, Ranitidin 2 x 40 mg, Dexamethasone :
kiri 3 mm, akral dingin CRT <3detik, 2x5 mg, Cholinar : 3x500 mg, PCT drip (extra)
penilaian resiko jatuh skor 8 (kriteria : Evaluasi: Pasien tampak Dyspnea menggunakan oksigen NRM 12 ltr/mnt, Kesadaran
resiko tinggi) sopor, E2M3V1, Keluarga klien mengatakan ketika klien sadar selalu kesakitan, Keluarga
Lingkungan perokok, KB 12 bulan, DM mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6 bulan lalu BB sampai 54 kg, dan terakhir
sejak usia 30 tahun BB menjadi 35 kg, Keluarga klien mengatakan dada, perut, punggung, tangan kiri
Toraks foto: tanggal 16/7/2014 terdapat luka kanker dan pantat klien terdapat luka tekan, Keluarga mengatakan klien saat
Interpretasi: efusi pleura kiri ini sedang panas
USG toraks: tanggal 5/2/2015
Interpretasi: DVT pada subklavikula
dan vena radialis kiri
USG Abdomen, tanggal 16/72014
Interpretasi: Fatty liver, endometrium
dan parametrium tidak nampak
kelainan, tak tampak kelainan pada
organ pelvik lain
Tumor marker: Tanggal 30/1/2015 CA 15-3
: 19 U/mL (<31,3), CEA 1,27 ng/mL (<5)
13. Ny. M (66 th), Islam, Kawin, tamat SMTP, Bebas nyeri: Klien mengatakan mata kirinya pegel, tadi pagi nyeri cekit-cekit, sekarang
IRT, tanggal pengkajian 15/12/2015, pegel, Posisi tampak menahan nyeri , Tingkah laku berhati-hati, Mata kiri ditutup
Diagnosa Medis: Post op Ca Orbita menggunakan kasa dan plester tampak rembesan warna coklat (mirip cairan betadyn)
Keluhan utama: Mata kiri sakit pegel Nyaman: Klien mengatakan kemarin baru operasi jam 12.00 WIB, klien mengatakan ini
Riwayat penyakit sekarang: Klien operasi ketiga,
mengatakan tahun sebleumnya di kelopak Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
mata bawah sebelah kiri ada tahi lalat, kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
karena gatal kadang tidak sengaja digaruk, klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
tahun 2010 bekas garukan melebar dan fungsinya
berdarah, mata merah dan menonjol, bila Damai: Semua karena ketentuan Allah, berdoa dan shalat di tempat tidur
mau melihat kelopak mata atas harus Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
diangkat ke atas, klien periksa ke RSCM suami
dan dinyatakan tumor kemudian dianjurkan Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri Akut b/d agen injuri fisik (insisi pembedahan) (00132),
operasi, klien mengatakan beberapa bulan 2) Risiko infeksi (00004)
setelah operasi kelopak mata dan mata Tujuan (NOC): 1) Pain level (2102), 2) Risk control 91902)
menonjol lagi, karena trauma operasi klien Intervensi (NIC): 1) Pain mangement (1400), 2) Infection protection (6550)
periksa ke alternatif, dan minum obat 3) Medication administration (2300): Ketorolac 30 mg dalam NS 100 cc 3x, Ceftriaxon
herbal, namun karena tidak sembuh dan 2x1 gr
mata kiri semakin menonjol klien kembali Evaluasi: Klien mengatakan mata kirinya masih sakit cenut-cenut skala 3, Klien
periksa ke pelayanan kesehatan terdekat di mengatakan hanya ditunggui anak, tetapi sebentar lagi keluarga menjemput untuk pulang,
Depok, dari RS Depok diberi rujukan untuk Klien mengtakan mata kirinya masih pegel tetapi paha kirinya tidak berasa sakit,Klien
ke RS Dharmais, di RSK Dharmais klien tampak ditemani oleh anak, anak tampak membantu aktivitas klien dan melakukan cuci
dianjurkan untuk operasi pengangkatan tangan sebelum dan setelah memberikan bantuan
bola mata kiri. Kemudian tanggal 30
Oktober 2015 dilakukan pengangkatan bola
mata kiri. Setelah operasi dan dirawat
selama 3 hari klien diperbolehkan pulang
dan dianjurkan kontrol rutin dan melakukan
perawatan luka operasi mata kiri dengan
kompres madu, setelah dinyatakan jaringan
baik klien dianjurkan untuk rawat inap
kembali untuk dilakukan operasi rekontruksi
pada mata kirinya. Operasi dilakukan
tanggal 14/12/2015
EKG: tanggal 10/12/2015 Interpretasi:
Synus Rhytm
Toraks foto: tanggal 10/12/2015
Interpretasi: tak tampak kelainan pada
jantung dan paru
14. Ny. S (38 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan terdapat benjolan di payudara kanan, benjolan kadang
IRT, tanggal pengkajian 21/12/2015, terasa nyeri cekit-cekit hilang timbul , Skala nyeri 3, Terdapat benjolan di payudara
Diagnosa Medis: Ca Mamae Rencana kanan dekat areola mammae, diameter ± 3cm, batas tidak tegas, terfiksir, TD 110/70
Lumpectomy mmHg, N=82x/I, RR=18x/I, suhu=36,20C
Keluhan utama: cemas Nyaman: Klien mengatakan cemas menghadapi operasi besok, klien juga mengatakan
Riwayat penyakit sekarang: Klien masuk selain memikirkan diri akan operasi cemas memikirkan anaknya yang masuk rumah sakit
rumah sakit dengan rencana operasi karena sakit thypus
payudara. Klien menyampaikan sekitar 3 Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
bulan yang lalu muncul benjolan kira-kira kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
sebesar biji jagung, makin kesini makin klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
besar dan kadang muncul nyeri cekit-cekit fungsinya
skala 3-4. Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua karena Allah, Allah yang
Mammografi tgl 20/11/2015 : lesi noduler menentukan, pasrah saja, siap ataupun tidak harus dihadapi
maligna pada periareola kanan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Riwayat KB suntik 3 tahun, makan mie keluarga
instan Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronik (00133), 2) Ansietas (00146)
EKG: tanggal 6/12/2015 Interpretasi: Tujuan (NOC) : 1) pain control (1605), 2) Anxiety self control (1402)
normal sinus rhtym Intervensi (NIC) : 1) Pain management (1400), 2) Anxiety reduction (5820)
Toraks foto: tanggal 26/11/2015 3) Medication administration (2300): , asam mefenamat 500 mg
Interpretasi: tak tampak kelainan pada Evaluasi: Klien mengatakan nyeri pada bekas operasi hilang timbul, terasa cekit-cekit,
jantung dan paru saat ini sedang tidak terasa nyeri,
PA tgl 24/11/2015 : sitologik sesuai dengan Skala nyeri 3-4, sudah tidak cemas
karsinoma mamae
Hasil mammografi tgl 20/11/2015 : lesi
noduler maligna pada periareola kanan
15. Tn. S (46 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan perutnya terasa sakit/begah , skala nyeri 7 bila terlambat
Swasta, tanggal pengkajian 7/3/2016, minum obat anti nyeri, kadang klien terlihat meringis, merintih dan mengelus-elus
Diagnosa Medis: Ca Abdomen perutnya, klien terlihat melindungi area perutnya, perut tampak buncit dan keras,
Keluhan utama: perut begah Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal 30/3/2012 Kesan pemeriksaan : liposarcoma, kista
RPS : klien datang kerumah sakit dengan peritoneal dengan perdarahan
riwayat sesak nafas karena perut yang Nyaman: Klien mengatakan perutnya besar berisi cairan tiap hari harus diambil cairan
membesar. Klien mengatakan perut 2x, pagi dan sore @ 1 liter, Klien mengatakan mengalami penurunan BB (+),Perut
membesar sejak tahun 2012 dan berobat ke tampak asites, terpasang pigtail, Turgor kulit menurun, Laboratorium: tgl 2/3/2016 Hb :
RSUD Sardjito, disana dilakukan 11,3 g/dL (13-18) Albumin 2,2 g/dL (3,2-5,2) protein total 4,3 g/dL (6,6-8,7) Globulin
pemeriksaan patologi anatomi kemudian 2,1 g/dL (1,5-3), Intake: 700 cc/24 jam Output: 2100 cc/24jam Balans cairan: -
didiagnosa liposarcoma, kista peritonial 1400 cc/24jam, Konsentrasi urine meningkat BAK 8-10x/hari, Membran mukosa/kulit
dengan perdarahan dan dilakukan kering, Kehilangan berat badan secara tiba-tiba, Klien mengatakan pernah panas dan
kemoterapi sebanyak 6x terakhir tanggal diberi penurun panas, Klien mengatakan ngantuk semalam tidak bisa tidur karena
20/1/2016. Kemudian pasien dirujuk ke terganggu pasien sebelah yang teriak-teriak, Klien mengatakan klien sering mual, tidak
RSKD tahun 2015. TTV awal masuk IGD ada nafsu makan
TD : 110/70 mmHg N : 92x/mnt S : 36oC Bermartabat dan dihormati: keluarga dan lingkungan mendukung, klien berharap tetap
RR : 22x/mnt memperoleh fasilitas pelyanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya.
Lingkungan perokok, sering minum Walaupun dalam kondisi sakit , klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap
minuman penambah stamina, makan dihargai sesuai dengan fungsinya
makanan isntan Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, Praktik
EKG: tanggal 3/2/2016 Interpretasi: synus keagamaan yang dilakukan: shalat dan berdoa
tachycardi Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
USG toraks: tanggal 1/3/2016 Interpretasi: anak
perbaikan efusi pleura inferior kanan Diagnosa keperawatan:1) Nyeri kronis (00133), 2) Resiko ketidakseimbangan volume
Echocardiografi: tanggal 23/2/2016 cairan (00025), 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 4)
Interpretasi: normal echo Resiko infeksi (00004), 5) Gangguan pola tidur (00192)
Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Fluid balance (0601), 3) Nutritional status :
30/3/2012 Kesan pemeriksaan : food & fluid intake (1008), 4) Imune status (0702), 5) Sleep (0004)
liposarcoma, kista peritoneal dengan Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Fluid/electrolyte management (2080),
perdarahan 3) Nutrition management (1100), 4) Infection control (6540), 5) Sleep enhancement
MRI Abdomen pelvis, tanggal 2/3/2016 (1850)
Interpretasi : Massa mesenterial pada 5) Medication administration (2300): MST 2x10 mg, Aldactone 1x100 mg,, Lasix 2x40
seluruh mesocolon disertai tanda fokal-fokal mg, Laxadyne syrup 3x1 sdm (jika perlu), Ns 0,9%/8 jam, OMZ 1x40 mg, Ondansentron
stenosis usus halus dan colon, disertai asites 3x8mg
pada seluruh kwadran abdomen. Evaluasi: Klien mengatakan perutnya masih nyeri begah, Klien mengatakan perutnya
Hidronefrosis kiri. Tidak tampak kelainan masih buncit dan masih selalu dilakukan pungsi sehari 2x @ 1 liter, Klien mengatakan
pada organ intrabdominal dan pelvis lainnya klien selama di RS tidak pernah menghabiskan makanannya karena perut terasa penuh,
Klien mengatakan pernah panas badan namun saat ini tidak, Klien mengatakan tadi bisa
tidur siang walaupun sejam
16. Ny. M (46 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
IRT, tanggal pengkajian 7/3/2016, Diagnosa Nyaman: klien mengatakan mules dan sudah BAB 6 x semenjak tadi malam selesai
Medis: Ca Mammae Sinistra Post kemoterapi, hiperperistaltik, BAB > 4 x konsistensi cair; Klien mengatakan tidak panas,
Mastektomy leukosit : 22,54 103/l (5-10), S : 360C terdapat luka post mastectomy tertutup tidak
Keluhan utama: diare tampak luka terbuka dan eksudat
RPS : Pasien datang ke RSKD karena Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
direncanakan akan melakukan klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
kemoterapi , klien mengatakan belum fungsinya
pernah radiasi, pasien didiagnosa Damai: pasrah, semua atas ketentuan Allah, shalat dan berdoa
kanker payudara sejak Agustus 2015 Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi
dengan hasil biopsi dari RSUD Banten pasien:suami dan anak
kemudian pasien dirujuk ke RSKD. Di Diagnosa keperawatan:1) Diare, 2) Resiko infeksi
RSKD dilakukan mastektomi pada Tujuan (NOC): 1) Bowel continence (0500), 2) Risk control (1902)
Intervensi (NIC): 1) Diarrhe management (0460), 2) Infection protection (6550)
tanggal 8 November 2015 dan setelah
3) Medication administration (2300): Ns 0,9%/8 jam Ceftazidime 3x1 gr, Dexamethasone
mastektomi pasien mengikuti : 2x5 mg, Drip paracetamol 500 mg
perawatan luka di poli luka RSKD. Evaluasi: Klien mengatakan diare sudah berkurang BAB ada yang cair dan lembek,
Hari ini pasien direncanakan akan Klien mengatakan tidak mengalami panas badan
dilakukan kemoterapi yang pertama.
TTV 120/70 mmHg, N : 82x/mnt, S :
36oC. TB 150 cm, BB 56 kg. ECOG 1
Lingkungan perokok, KB setahun,
konsumsi tinggi lemak, dan makanan
instan
Pemeriksaan Imuno Histokimia tanggal
8/12/2015 : Estrogen reseptor : negatif
(kontrol internal positif); Progesteron
reseptor : negatif (kontrol internal
positif); HER 2 : positif grade 3; Ki 67
: positif pada 40% sel tumor, intensitas
kuat; Kesimpulan hasil biopsi :
invasive carcinoma, no special type
(NST) grade 2, tidak terdapat invasi
limfovaskular batas sayatan tidak
mengandung massa tumor, tidak
terdapat anak sebar karsinoma pada
KGB aksila
17. Ny. S (40 th), Kristen, Kawin, tamat PT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri dada kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai
Pekerja lepas, tanggal pengkajian skala 8 menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk
14/3/2016, Diagnosa Medis: Ca Mamae dan hilang timbul, klien tampak gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 28x/menit
Stadium IIIB dan Efusi Pleura N : 110x/menit
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
Riwayat penyakit sekarang: Menurut hidung, kadang menggunakan mulut, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit (nasal kanul
keterangan klien dan keluarga pasien 3L/menit), suara nafas tambahan ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak
mempunyai keluhan sesak sudah 2 bulan teratur, SaO2 97%, sianosis, nafas cuping hidung, gambaran foto thorax efusi pleura;
SMRS bertambah sejak 1 hari sebelum Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan sesak nafas, klien mengatakan
masuk rumah sakit. Klien mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 50kg menjadi 44 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi
selain sesak nafas, dada nyeri skala 5 dan tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, Status antropometri : BB: 44 kg, TB: 155 cm,
meningkat menjadi 8 bila menarik nafas IMT: 18,33 kg/m2 (kategori: underweight). Klien mengatakan BB sebelumnya 50 kg
dalam. Nyeri berlangsung ± 3 menit. Klien (kehilangan BB 10% dalam 6 bulan terakhir). Hb : 10,7 g/dL, turgor menurun; nafsu
mengatakan tahun 2009 terdapat benjolan makan menurun, sesak nafas dan merasa cepat lelah bila beraktivitas, aktivitasnya selalu
sebesar biji asam di payudara kiri namun dibantu suami
tidak dilakukan pemeriksaan maupun Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
pengobatan apapun. Tahun 2012 klien kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
menikah dan mempunyai anak melalui klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
operasi sesar. Ketika menyusui bayi satu fungsinya
bulan klien menderita usus buntu dan Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: pasrah semua sudah ketentuan Tuhan,
dilakukan operasi usus buntu dan berhenti berdoa
menyusui bayinya karena ASI tidak keluar Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
setelah operasi. Tahun 2013 benjolan yang suami
ada di payudara kiri membesar dengan Diagnosa keperawatan : 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Gangguan
sangat cepat. Tahun 2014 dilakukan operasi pertukaran gas (00030), 3) Nyeri kronis (00133), 4) Resiko ketidakseimbangan nutrisi
payudara kiri di RS Bekasi. Setelah operasi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 5) Resiko infeksi (00004), 6) Intoleransi aktivitas
klien dianjurkan untuk mengikuti program (00092)
kemoterapi dan sudah berjalan 2x. Dua Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Respiratory status : gas exchange
bulan sebelum masuk rumah sakit klien (0402), 3) Pain control (1605), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008), 5)
mengatakan sering sesak nafas dan aktivitas Imune
harus dibantu karena cepat merasa lelah. 2 status (0702), 6) Energy conservation (0002)
bulan sebelum masuk rumah sakit klien Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Oxigen therapy (3320), 3) Pain
mengatakan tidak bisa tidur terlentang dan management (1400), 4) Nutrition management (1100), 5) Infection control (6540), 6)
harus dalam posisi duduk karena sesak Energy management (0180)
bertambah bila tidur terlentang, ;lingkungan 7) Medication administration (2300): NaCl 0,9% 500 cc + aminophilin 2 amp/24 jam,
perokok, menyusui sebulan,, menikan nebulazer:combivent dan bisolvon, Ranitidin 50 mg IV, Ondansentron 4 mg Iv
>35thn, bekerja di lapangan Evaluasi: Kilen mengatakan masih sesak nafas, nyeri dada kiri skala 5 meningkat saat
EKG: tanggal 25/8/2015 Interpretasi: synus batuk sampai skala 8 menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar, mual
rhytm berkurang, masih sesak nafas dan merasa lelah bila beraktivitas, nafsu makan menurun
Foto thorak : tanggal 29/1/2016 interpretasi
: segmental atelektasis lobus superior kanan,
stqa. Bronkophneumonia stqa. Efusi pleura
bilateral stqa
USG toraks: tanggal 18/2/2016 Interpretasi:
Efusi pleura bilateral (pleura kanan 292 ml
kiri 608 ml)
Kesimpulan hasil biopsi tgl 7/1/2014 :
invasive carcinoma, no special type (NST)
grade III
Kesimpulan hasil biopsi : sediaan
mastektomi tidak mengandung sisa massa
tumor. Metastase karsinoma payudara pada
12 dan 14 kelenjar getah bening
18. Ny. I (57 th), Islam, Janda, tamat SD, IRT, Bebas nyeri: tidak terkaji
tanggal pengkajian 14/3/2016, Diagnosa Nyaman: Kesadaran somnolen, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6
Medis: Ca Serviks dan isufisiensi ginjal bulan lalu BB sampai 50 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit
Keluhan utama: Penurunan kesadaran mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan diare, Keluarga mengatakan
Riwayat penyakit sekarang: Bicara punggung dan pantat klien terdapat luka, Keluarga mengatakan klien saat ini sedang tidak
panas, tetapi kemarin sempat panas
kacau sejak 5 hari sebelum masuk
Bermartabat dan dihormati: keluarga berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
rumah sakit, gelisah, sulit diajak kesehatan yang terbaik untuk pasien. Walaupun dalam kondisi sakit , klg meminta pasien
komunikasi, mual, muntah 2x, berisi diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan fungsinya
air, nafsu makan menurun, BAB encer Damai: keluarga berharap ibu bisa meninggal dengan tenang dalam kondisi yang sebaik-
sejak 5 hari sebelum masuk rumah baiknya
sakit, frekuensi 5x/hari, tidak ada Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
ampas, kuning kecoklatan, 3 hari anak
terakhir ada bercak darahnya, BAK Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan jaringan serebral (00201) , 2)
Gangguan ventilasi spontan (000033), 3) Kerusakan Integritas kulit (00046), 4)
sedikit sejak 4 hari sebelum masuk Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 5) Resiko infeksi
rumah sakit, pasien sudah didiagnosa (00004)
kanker serviks sejak tahun 2013, Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Respiratory status : ventilation (0403),
3) Tissue integrity : skin (1101), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008)
disarankan kemoterapi dan operasi
Intervensi (NIC): 1) Neurological monitoring (2620), 2) Oxygen therapy (3320), 3)
menolak, terakhir berobat ke RS Pressure management (3500), 4) Nutrition management, 5) Infection control (6540)
cengkareng 5/11/2015 dikatakan sudah 6) Medication administration (2300): imodium 3x2mg,, serenase/haloperidol 2x5mg (saat
tidak dapat dioperasi lagi karena sudah ini sedang dipuasakan), Ceftriaxon 3x1 gr, Ranitidin 2 x 40 mg, Dexamethasone : 2x5
advance mg, Lasix : 1 x 20 mg, Transamin : 500 mg (ektra), Fluconazole : 1x200 mg, Vit K 1
Lingkungan perokok, KB setahun, amp (ekstra), Transamin : 3x 1 gr
makan tinggi lemak dan instan Evaluasi: penuurunan kesadaran, Keluarga mengatakan tiap pagi dan sore klien di
Tumor marker: Tanggal 12/2/2013 mandikan dengan dilap dan diganti pakaian 1 hari sekali, Keluarga mengatakan punggung
dan pantat klien ada luka lecet, Keluarga klien mengatakan klien tidak ada riwayat alergi
karsinoma sel skuamosa tidak
makanan maupun obat-obatan, Keluarga mengatakan ya akan cuci tangan sebelum dan
berkeratin, berdiferensiasi buruk setelah aktifitas dan dalam membantu aktifitas klien
19. Tn. I (29 th), Islam, Belum Kawin, tamat Bebas nyeri: Klien mengatakan matanya kadang muncul sakit seperti ada yang
SD, Swasta, tanggal pengkajian 22/3/2016, mengganjal kadang pedih skala 4, kadang klien terlihat meringis dan memegang kelopak
Diagnosa Medis: Tumor Otak mata, Kelopak mata tampak lebih cenderung menutup, Retina memerah
Keluhan utama: perut begah Nyaman: Klien dan keluarga mengatakan bahwa klien sering kencing, kantong
RPS : klien datang kerumah sakit penampung kencing sehari dikosongkan sampai 3-4x karena cepat penuh, Turgor kulit
dengan keluhan kepala berdenyut menurun, Laboratorium: tgl 22/3/2016 Na : 138 mmol/L (135-150), K : 3,8 mmol/L (3,5-
5,3), Cl : 108 mmol/L ( 95-111), Ca : 9 mg/dL (8,1-10,4), Mg : 2,2 mg/dL (1,9-2,5),
disertai mual muntah, terjadi
Laboratorium: tgl 19/3/2016 Prot total : 7,1 g/dL (6,6-8,7) Albumin 4,1 g/dL (3,2-5,2),
kelemahan anggota tubuh bagian kiri Globulin 3 g/dL (1,5-3), ureum darah 45 mg/dL (19-44), Kreatinin darah 0,87 mg/dL
sejak Februari 2016. Riwayat operasi (<1,17) eGFR :110,27 ml/min/1,73m2 (>60), Intake: 4300 cc/24 jam Output: 5800
2x, tahun 2013 dan Desember tahun cc/24jam Balans cairan: -1500 cc/24jam, Membran mukosa/kulit kering;
2015, radiasi 30x pada tahun 2013 Keluarga mengatakan klien pernah panas sampai kejang ; Klien mengatakan tidak
setelah operasi yang pertama. bisa melihat, hanya melihat bayang-bayang, tangan kiri dan kaki kirinya lemah
Pemeriksaan fisik pupil bulat anisokor Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
diameter 4mm/2mm TTV awal masuk kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
IGD TD : 120/80 mmHg N : 96x/mnt
fungsinya
S Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian : semua atas ketentuan Allah, yang
: 36oC RR : 22x/mnt dilakukan sejak sakit : shalat dan berdoa
Lingkungan perokok, makan tinggi Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
lemak, minum minuman penambah ibu
stamina, kerja di toko besi Diagnosa keperawatan:1) Nyeri kronis (00133), 2) Risiko ketidakseimbangan volume
USG toraks: tanggal 18/3/2016 cairan (00025), 3) Resiko infeksi (00004), 4) Risiko jatuh b.d Kelemahan, penglihatan
Interpretasi: tak tampak kelainan menurun, penurunan sensasi taktil, penurunan koordinasi otot, tangan-mata (00155)
Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Fluid balance (0601), 3) Risk control (1902),
Echocardiografi: tanggal 20/3/2016 4) Fall prevention behavior (1909),
Interpretasi: normal echo Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Fluid/electrolyte management (2080),
EKG: tanggal 13/2/2016 Interpretasi: 3) Infection control (6540), 4) Fall prevention (6490)
synus rythm 5) Medication administration (2300): Depakhene sirup 2x500mg, Amilodipin 1x 5 mg,
Ofloxacin 1x 400mg, Osteocare 1x1, Fluconazole 2x1, Metronidazol 2x500mg, Prosogan
2x30 mg, Ondansentron 2x8mg, Ranitidin 1x50mg, Lasix 1x20, Kutoin 2x100mg,
Methylprednisolon 1x62,5mg (setiap tanggal ganjil)
Evaluasi: Klien mengatakan matanya masih sering muncul sakit seperti ada yang
mengganjal skala 3 hilang timbul, Keluarga mengatakan klien minum banyak tetapi
kencingnya lebih banyak, Klien mengatakan pernah panas badan namun saat ini tidak,
Klien mengatakan matanya hanya melihat bayangan, tangan dan kaki kirinya bisa
digerakkan tapi lemah
20 Ny K (50 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
IRT, tanggal pengkajian 22/3/2016, Nyaman: klien mengatakan dari semalam mual dan sempat muntah 1x, pagi ini masih
Diagnosa Medis: Ca Mammae Sinistra merasa mual skala 5, klien mengatakan nafsu makan menurun, makan tidak habis hanya
Post Mastektomy 2-3 sendok makan, mulut tidak enak, tampak sisa makanan ½ porsi; Klien mengatakan
Keluhan utama: diare tidak panas, leukosit : 10,44 103/l (5-10), S : 360C terdapat luka post mastectomy di
RPS : Pasien datang ke RSKD karena payudara sebelah kanan tertutup tidak tampak luka terbuka dan eksudat
Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
direncanakan akan melakukan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
kemoterapi yang pertama, klien klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
mengatakan belum pernah radiasi, fungsinya
pasien mengeluh adanya benjolan di Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, shalat dan
payudara sejak dua tahun yang lalu, berdoa
kemudian klien berobat ke RS Sumber Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Waras dan dilakukan biopsi hasilnya anak
Diagnosa keperawatan: 1) Mual, muntah (00134), 2) Resiko infeksi (00004)
invasive breast carcinoma grade II
Tujuan (NOC): 1) Nausea and vomiting control (1618), 2) Risk control (1902)
metastase pada kelejar getah bening Intervensi (NIC): 1) Nausea management (1450) & Vomiting management (1570), 2)
(8/12/2015) dan disarankan untuk Infection protection (6550)
operasi pengangkatan payudara sebelah 3) Medication administration (ondansentron 3x 8 mg, metoclopramide 3X10mg
kanan. TTV 110/90 mmHg, N : Ceftazidime 3x1 gr (jam 06.00, 14.00, 22.00)
82x/mnt, S : 36oC. TB 157 cm, BB 53 Dexamethasone : 2x5 mg (jam 12.00, 24.00)
kg. Lingkungan perokok, sering makan Drip paracetamol 500 mg (extra) IVFD : NaCl 0,9% 500 cc
makanan instan, Evaluasi: Klien mengatakan mual berkurang dengan aromaterapi jahe, Klien mengatakan
tidak mengalami panas badan
Patologi anatomi tanggal 18/12/2015
Kesimpulan hasil biopsi : invasive
breast carcinomagrade 2, batas reseksi
tepi dan dasar bebas tumor, metastase
pada kelenjar getah bening
21. Nn. S (19 th), Islam, Belum Kawin, tamat Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
SMTA, IRT, tanggal pengkajian 26/3/2016, Nyaman: Klien mengatakan lemes tapi tidak pernah panas selama sakit, Nilai leukosit =
Diagnosa Medis: ALL 186,17 103/uL, Hb 3,2 g/dL, Terpasang CVC pada subklavia kanan, kemerahan (+), nyeri
Keluhan utama: Mual (-), Suhu tubuh 360C, Klien mengatakan pernah mimisan, Klien mengatakan cepat
RPS : Pasien masuk RS pertama kali merasa lelah dan letih. Klien mengatakan ia dapat tidur malam cukup nyenyak, Klien
mengatakan aktivitasnya dibatasi di tempat tidur, Klien terlihat pucat, lemah,
melalui IGD Dharmais tgl 26/3/2016
Konjungtiva anemis, Siang hari klien terlihat sering tidur, Nilai hemoglobin = 3,2 g/dL,
dengan keluhan pusing kepala sebelah TD 130/80 mmHg, N= 104x/menit, Nilai trombosit = 157.103 /uL
kanan (migrain), pendengaran menurun Bermartabat dan dihormati: Klien mengatakan belum memahami ALL dan
(tinitus), lemas dan jantung berdebar. perawatannya serta tentang proses kemoterapi, Klien tampak sering bertanya tentang
TTV: TD :90/70 mmHg, N 72x/menit, penyakitnya dan proses kemoterapi, klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
RR 20x/menit, Suhu 36oC. Pemeriksaan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
fisik conjuctiva anemis, hati dan limfa klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
teraba. Pasien rujukan dari rumah sakit fungsinya
Damai: semua karena ketentuan Allah, berdoa dan shalat
Tangerang dengan hasil BMP ALL.
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Laboratorium tanggal 26/3/2016 Hb 3,2 orangtua
g/dL, Leukosit 186170, Trombosit Diagnosa keperawatan: 1) Resiko infeksi (00004), 2) Resiko perdarahan (00206), 3)
57000/ul, Tanggal 14/3/2016 D-dimer Intoleransi aktivitas ((00092), 4) Defisit pengetahuan tentang penyakit (00126)
5890. Pasien mendapat terapi transfusi Tujuan (NOC): 1) Imune status (0702), 2) Blood coagulation (0409), 3) Activity
TC 10 unit dan PRC 500cc. Pasien di tolerance (0005), 4) Information processing (0907)
rawat di ruang teratai. Pasien belum Intervensi (NIC): 1) Infection control (6540), 2) Bleeding precautions (4010), 3)
pernah kemotherapy sebelumnya dan Activity therapy (4310), 4) Health education (5510)
5) Medication administration (2300): nistatin oral 3x1 dan cairan minosep, Ciprofloxacin
dirawat ruang teratai. Pasien
per oral 2x500mg, paracetamol tablet 500 mg, Acyclovir 3x600mg dan parenteral
direncanakan mendapat kemoterapi Dexamethason 2x 5mg, asam traneksamat 500 mg dalam NS 100 cc, provera tab 10 mg,
untuk yang pertama kalinya dengan Thrombocyte Concentrate (TC) 500 cc
protokol kemoterapi ALL 80. TB 155 Evaluasi: Klien mengatakan tidak ada demam, sudah tidak pernah mimisan lagi, aktifitas
cm, BB 45 kg, golongan darah A, dibantu keluarga
pasien direncanakan pasang CVC
Riwayat kesehatan sebelumnya: klien
tidak mempunyai riwayat DM,
hipertensi disangkal, alergi disangkal
Lingkungan perokok, setiap hari
mengkonsumsi mie instan
Toraks foto: tanggal 15/3/2016
Interpretasi: tak tampak kelainan pada
jantung dan paru
Hasil BMP tgl 2/3/2016 : ALL
22. Tn. R (61 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
Pensiunan Yankes, tanggal pengkajian Nyaman: klien mengatakan dari semalam mual, makan tidak ada rasa, pagi ini masih
28/3/2016, Diagnosa Medis:KNF merasa mual skala 3, klien mengatakan nafsu makan menurun, makan tidak habis hanya
Keluhan utama: mual 2-3 sendok makan, mulut tidak enak, tampak sisa makanan ½ porsi; Klien mengatakan
RPS : Pasien datang ke RSKD karena tidak panas, leukosit : 6,30 103/l (5-10), S : 36,80C, TD 120/70 mmHg, N 80x/menit,
direncanakan akan melakukan RR 20x/menit
kemoterapi yang ke empat, klien Bermartabat dan dihormati: pasrah, ingin sembuh, pneyakit kankernya tidak timbul
lagi, klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan kesehatan yang terbaik untuk
mengatakan belum pernah radiasi, kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit , klien meminta untuk
pasien mengeluh adanya benjolan di di diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan fungsinya
leher kanan sejak oktober 2015, Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, shalat dan
kemudian klien berobat ke RSKD dan berdoa
dilakukan biopsi hasilnya Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
nonkeratizing undifferentiated istri
nasopharyngeal carcinoma DD/ diffuse Diagnosa keperawatan: 1) Mual muntah (00134), 2) Resiko infeksi (00004)
Tujuan (NOC): 1) Nausea and vomiting control (1618), 2) Risk control (1902)
malignant lymphoma dan disarankan
Intervensi (NIC): 1) Nausea management (1450) and Vomiting management (1570), 2)
untuk langsung mengikuti program Infection protection (6550)
kemoterapi setelah biopsi eksisi. TTV 3) Medication administration (2300): nasea 0,3mg melalui iv, Dexamethasone : 1x5 mg
awal masuk TD 110/90 mmHg, N : Evaluasi: Klien mengatakan mual berkurang skala 2, tidak muntah tapi mulut masih
82x/mnt, S : 36oC. TB 156 cm, BB 62 terasa tidak enak, Klien mengatakan tidak mengalami panas badan
kg, Perokok pasif dan aktif, makan
tinggi lemak
Patologi anatomi tanggal 18/12/2015
Kesimpulan hasil biopsi :
nonkeratizing undifferentiated
nasopharyngeal carcinoma DD/ diffuse
malignant lymphoma
23. Ny. F (48 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan telinganya sangat sakit kadang sampai berdengung skala
IRT, tanggal pengkajian 4/4/2016, Diagnosa 7, seperti ditusuk-tusuk hilang timbul, Kadang klien terlihat meringis dan memegang
Medis : Rhabdomyosarcoma telinga
Keluhan utama: nyeri telinga kanan Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
RPS : klien datang kerumah sakit hidung, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit (Kanul 3L/menit), suara nafas tambahan
ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak teratur; klien mengatakan dari
dengan keluhan batuk, sesak nafas
semalam mual dan sempat muntah 1x, pagi ini masih merasa mual skala 5, klien
sejak SMRS, nyeri di perut kiri seperti mengatakan nafsu makan menurun, makan tidak habis hanya 2-3 sendok makan, mulut
ditusuk-tusuk skala 7, riwayat tahun tidak enak, tampak sisa makanan ½ porsi; Keluarga mengatakan klien pernah panas, Lab
2005 amputasi tangan sebelah kiri, tanggal 27/3/2016 Leukosit 11,61.103/µL (5-10), Hb : 10,7 g/dL (13-18), hematokrit 35,3
sudah kemoterapi dan radiasi sejak % (40-54), Suhu 36,6oC, Laboratorium: tgl 25/3/2016 Prot total : 7,5 g/dL (6,6-8,7)
januari 2016, batuk memberta berobat Albumin 3,4 g/dL (3,2-5,2), Globulin 4,1 g/dL (1,5-3)
ke rumah sakit Tarakan tgl 20 Maret Bermartabat dan dihormati: pasrah, ingin sembuh, pneyakit kankernya tidak timbul
2016 sudah CT Scan di RS Tarakan lagi, klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan kesehatan yang terbaik untuk
kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit , klien meminta untuk
ditemukan penyebaran di tulang iga
diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan fungsinya
(tumor) Rhabdomyosarcoma. TTV Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian : semua atas ketentuan Allah, shalat dan
IGD TD 90/70 mmHg, N 80x/menit, S berdoa
: 36oC, lingkungan perokok, makan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
tinggi lemak suami
Radiologi tanggal 14/3/2016 Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Nyeri kronis (00133),
Interpretasi : Susp. Tumor paru kiri 3) Mual, muntah (00134), 4) Resiko infeksi (00004)
atas yang meluas ke bahu kiri disertai Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Pain control (1605), 3) Nausea and
vomiting control (1618), 4) Risk control (1902)
destruksi iga 1 kiri
Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Pain management (1400), 1)
Sups metastase paru kanan atas. Fibro- Nausea management (1450) and Vomiting management (1570), 3) Infection protection
infiltrat posterior paru kiri. Sup TB (6550)
paru 4) Medication administration (2300) : Pronici 1x1, Rifampisin 1x1, Pyrazinamid 1x1½,
Toraks foto: tanggal 29/3/2016 Etambutol 1x 1½, Isoniazid 1x3, MST 2x10mg, B1,B6,B12, Asam folat 1x1,
Interpretasi : pneumonitis iradiasi Ondansentron 3x1 (selama kemo), Ketorolac 3x1, Asam mefenamat 3x1, Cefadroxil
disertai efusi terlokalisir apikal kiri. 3x2,Ondansentron 3x1 4 hari selama kemo, Karbogliserin 4x3 tetes
Brokhopnemonia kanan - Valsatran 20 mg
- Spirolacton 6,25 1x1
USG toraks: tanggal 18/3/2016
- Bisoppolol 1,25
Interpretasi: tak tampak kelainan Evaluasi: Klien mengatakan telinganya masih sering muncul sakit skala 3 hilang timbul,
Echocardiografi: tanggal 28/3/2016 Kilen mengatakan masih sesak nafas, Klien mengatakan mual berkurang, Klien
Interpretasi: LVD mengatakan pernah panas badan namun saat ini tidak
Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal
11/2/2005 Kesan pemeriksaan : sesuai
dengan embryonal
Rhabdominosarcoma grade 4
24 Ny. Y (57 th), Kristen, Janda, tamat PT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri perut skala 5 meningkat saat batuk sampai skala 8
PNS, tanggal pengkajian 4/4/2016, menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk dan
Diagnosa Medis : Ca ovarium dan Efusi hilang timbul, klien tampak gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 28x/menit N :
Pleura 110x/menit
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
Riwayat penyakit sekarang: Menurut hidung, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit, suara nafas tambahan ronkhi basah, klien
keterangan klien dan keluarga pasien datang batuk berdahak, irama nafas tidak teratur, klien terpasang pigtail WSD, SaO2 96,7%,
ke IGD dengan keluhan kanker ovarium sianosis, nafas cuping hidung, Toraks foto: tanggal 30/3/2016 Interpretasi: progresifitas
perdarahan lewat anus dan vagina selama 4 brokhopneumonia kanan dengan efusi pleura inferior kiri, USG toraks: tanggal 14/3/2016
hari dirumah, pasien juga mengeluhkan Interpretasi: tampak efusi pleura kiri dengan volume sekitar 1172 ml dan kanan dengan
nyeri di tungkai bawah kiri skala nyeri 4, volume sekitar 1318 ml, pH 7,319 (7,35-7,44) PaO2 97,3 mmHg(85-95) PaCO2 40,5
mual dan mengalami penurunan nafsu mmHg (35-45) HCO3 20,8 mmol/L (21-25) BE -4,5 mmol/L ((-2,4)-2,3 Total CO2 22,1
makan. TTV TD 90/50 mmHg N 88x/menit mmol/L (22-34) SaO2 96,7% (95-99), Klien mengatakan nafsu makan menurun karena
P 20x/menit S 36,4oC, anemis HB 4,6, mual dan sesak nafas, klien mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 60kg
leukosit 30,89 Trombosit 312, Ureum 65 menjadi 42 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir,
Kreatinin 1,86, Kedua kaki edema BB: 42 kg dari 60 kg TB: 156 cm IMT: 17,25 kg/m2 (kategori: underweight),
Lingkungan perokok, DM sejak tahun2011, Albumin: 2,2 g/dl (3,2-5,2) Globulin : 2,4 g/dL (1,5-3,0) Protein total : 4,6 g/dL (6,6-
makan tinggi lemak 8,7), klien tampak kurus dan turgor menurun, Hb 10,9 g/dL (12-16), leukosit : 15,70
EKG: tanggal 25/8/2015 Interpretasi: synus 103/L, trombosit : 177 (150-440) 103/L, Eritrosit: 4,09 juta/l (4-5) , Hematokrit
rhytm 35,3% (37-43) ; klien mengatakan tidak panas hanya nafsu makan menurun, merasa
Toraks foto: tanggal 3/3/2016 Interpretasi: cepat lelah bila beraktivitas, aktivitasnya selalu dibantu anak
brokhopneumonia dengan efusi pleura Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
inferior kanan kiri kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
USG toraks: tanggal 14/3/2016 Interpretasi: klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
tampak efusi pleura kiri dengan volume fungsinya
sekitar 1172 ml dan kanan dengan volume Damai: : pasrah semua sudah ketentuan Allah, berdoa,
sekitar 1318 ml Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Toraks foto: tanggal 30/3/2016 Interpretasi: anak
progresifitas brokhopneumonia kanan Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Gangguan
dengan efusi pleura inferior kiri pertukaran gas (00032), 3) Nyeri kronis (00133, 4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
CT Scan abdomen Pelvis, tanggal dari kebutuhan tubuh (00002), 5) Intoleransi aktivitas (00092)
16/9/2015, Interpretasi : Progresifitas massa Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Respiratory status : gas exchange
pada superior pungtum dengan tanda fistula (0402), 3) Pain control (1605), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008), 5)
pericolon sigmoid. Seeding pada area Energy conservation (00020
hepatorenal dengan asites subdiafragma Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Oxygen therapy (3320), 3) Pain
kanan. Progresifitas metastasis pada segmen management (1400), 4) Nutrition management (1100), 5) Energy management (0180)
7 hepar. Tidak tampak kelainan pada organ 6) Medication administration (2300) : nebulazer:combivent dan bisolvon, Ranitidin 50
intra abdominal lainnya. mg IV (12.00), Ondansentron 4 mg Iv
MSCT SCAN ABDOMEN PELVIS : Evaluasi: Kilen mengatakan masih sesak nafas, masih nyeri perut namun skala sedikit
tanggal 3/2/2015, Interpretasi : residif massa menurun yaitu 4, mual berkurang, lelah saat aktivitas misalnya turun dari tempat tidur
pada superior pungtum dengan mesenterial untuk ke kamar kecil, tidak ada keluhan panas, nafsu makan menurun,
seeding pada perisigmoid hepatorenal dan
splenorenal disertai asites subdiafragma
kanan. Dicurigai lesi metastase pada hepar
kanan. Contracted kidney bilateral. Tidak
tampak kelainan pada organ intra abdominal
lainnya
Pemeriksaan Biopsi tanggal 15/1/2015 : ca.
Ovarium. Hematoschezia. Proktitis kronik
(rektum)
25. Tn. R (47 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tak dapat dikaji klien bicara kacau
Swasta, tanggal pengkajian 12/4/2016, Nyaman: Keluarga mengatakan klien bicara kacau tidak bisa dipahami sejak tadi pagi
Diagnosa Medis : Tumor Otak setelah mual muntah >10x, Gangguan status mental : agitasi, Perubahan perilaku : klien
Keluhan utama: penurunan kesadaran, tampak kedinginan, bicara kacau, gelisah, Abnormalitas bicara : bicara kacau, TTV TD
agitasi 90/60, N 56, RR 24, S 36,1 SaO2 98%, Nilai Lab 12/4/2016 : glukosa darah 140 mg/dL,
RPS : Ny. R 47 th, dibawa ke IGD Trombosit 389x103/µL, leukosit 21,74x103/µL, D-dimer 1320 ng/ml, Hb 13,7 gr/%, Na
141mmol/L, Kalium 3,1 mmol/L, Keluarga mengatakan klien pernah panas sampai
dalam keadaan penurunan kesadaran.
kejang
Keluarga menyampaikan Ny. R sudah Bermartabat dan dihormati: Perubahan peran selama sakit: tidak dapat bekerja kembali
kurang lebih satu minggu mengalami dan bergantung pada keluarga, keluarga dan lingkungan mendukung Damai: semua atas
mual muntah dan SMRS klien muntah ketentuan Allah
hebat menyemprot lebih dari 10x. Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Pemeriksaan TTV TD 90/60 mmHg, N anak
56x/menit RR 24x/menit S : 36,1oC, Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201), 2)
SaO2 98%, dan tampak agitasi. Klien Risiko ketidakseimbangan volume cairan (00025), 3) Resiko infeksi (00004)
Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Fluid balance (0601), 3) Imune status
tampak bicara kacau, pucat, akral
(0702)
dingin. E4M6V4, lingkungan perokok, Intervensi (NIC): 1) Neurologic monitoring (2620), 2) Fluid/electrolyte managemnet
kadang makan makanan instan (2080), 3) Infection control (6540)
4) Medication administration (2300) : Ondansentron 2x8mg, Ranitidin 1x50mg,
Methylprednisolon 1x125 mg
Evaluasi: Bicara kacau, Keluarga mengatakan klien tadi minum sedikit, Minta BAK ke
toilet tapi bicara kacau, Keluarga mengatakan klien pernah panas badan namun saat ini
tidak
26. Ny. L (58 th), Kristen, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan perutnya sakit skala 9, seperti ditusuk-tusuk hilang
Swasta, tanggal pengkajian 13/4/2016, timbul (dikatakan setelah kejang teratasi), Kadang klien terlihat meringis dan memegang
Diagnosa Medis : Rhabdomyosarcoma perut dan kejang berulang
Keluhan utama: kejang Nyaman: Keluarga mengatakan klien bicara kejang-kejang saat akan periksa ke poli ,
RPS : Ny. L 58 th, dibawa ke IGD sebelumnya klien muntah darah, Gangguan status mental : agitasi, Perubahan perilaku :
klien bicara kacau, memberontak, Abnormalitas bicara : bicara kacau, TTV TD 140/80
dalam keadaan kejang. Keluarga
mmHg, N 141x/menit, RR 28x/menit, S 34,1oC SaO2 98%, Nilai Lab 13/4/2016 : glukosa
menyampaikan Ny. L baru pertama darah 344 mg/dL, Trombosit 415x103/µL, leukosit 27,89x103/µL, Hb 10,4 gr/%, eritrosit
kali dibawa ke RSK Dharmais. Tadi 3,65x106/µL, hematokrit 29,6 %, Keluarga mengatakan klien pernah panas
pagi klien muntah darah dan ketika Bermartabat dan dihormati: keluarga berharap klientetap memperoleh fasilitas
akan periksa ke poli pasien tiba-tiba pelyanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam
kejang-kejang. Pemeriksaan TTV TD kondisi sakit , keluarga meminta untuk memperlakukan klien dengan baik dan tetap
140/80 mmHg, N 141x/menit RR dihargai sesuai dengan fungsinya
28x/menit S : 34,1oC, SaO2 98%. Klien Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian : semua atas ketentuan Tuhan
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
tampak bicara kacau, pucat, akral
anak
dingin. Tampak beberapa benjolan di Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201),, 2)
pinggang kanan, padat dan terfiksasi. Nyeri kronis (00133), 3) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 4) Resiko infeksi (00004)
Lingkungan perokok, KB 2 tahun, Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Pain control (1605), 3) Respiratory
sering makan cepat saji status (0415), 4) Imune status (0702),
USG toraks: tanggal 18/3/2016 Intervensi (NIC): 1) Neurologic monitoring (2620), 2) Pain managemnt (1400), 3)
Interpretasi: tak tampak kelainan CT Respiratory monitoring (3350), 4) Infection control (6540)
scan abdomen, tanggal 11/3/2016 5) Medication administration (2300): Ketorolac, Ondansentron 1x8mg, Ranitidin
Interpretasi : Hepar : DBN, tak tampak 1x50mg, Methylprednisolon 1x125 mg
efusi pleura kanan kiri, tak tampak Evaluasi: Klien mengatakan perutnya masih sakit seperti ditusuk-tusuk skala 7 hilang
asites, kandung empedu DBN, timbul, Keluarga mengatakan klien pernah panas badan namun saat ini tidak
Pankreas dan lien DBN, Ginjal kanan
kiri DBN, Aorta abdominal DBN,
Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal
11/2/2016 Kesan pemeriksaan : sesuai
dengan embryonal
Rhabdominosarcoma grade 4
27. Ny. P (26 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
IRT, tanggal pengkajian 18/4/2016, Nyaman: Klien mengatakan lemes tapi tidak pernah panas selama sakit, Laboratorium
Diagnosa Medis : AML, tanggal 15/4/2016 Hb 5,8 g/dL (12-16), Leukosit 0,63 103/µL (5-10), Trombosit 11
Trombositopenia, Anemis 103/µL(150-440), eritrosit 2,17 106/µL(4-5), hematokrit 17 %(37-43), MCV 78,3 fL(80-
Keluhan utama: Lemes 100), MCH 26,7 pg(26-34), MCHC 34,1 g/dL(32-36), RDW-CV 13,3 %(11,7-14,4),
ANC 0,16 103/µL(2,5-7)., Suhu tubuh 360C; Klien mengatakan pernah mimisan; Klien
Riwayat penyakit sekarang: Pasien
mengatakan cepat merasa lelah dan letih. Klien mengatakan ia dapat tidur malam cukup
masuk RS melalui IGD Dharmais tgl nyenyak; Klien mengatakan aktivitasnya dibatasi di tempat tidur, Klien terlihat pucat,
18/4/2016 dengan keluhan lemas dan lemah, Konjungtiva anemis, Siang hari klien terlihat sering tidur
jantung berdebar. TTV: TD : 110/70 Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
mmHg, N 113x/menit, RR 18x/menit, kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
Suhu 36oC. Pemeriksaan fisik klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
conjunctiva anemis, hati dan limfa fungsinya
teraba. Pasien rujukan dari rumah sakit Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua karena ketentuan Allah, yang
dilakukan sejak sakit: berdoa dan shalat
Tangerang dengan hasil BMP AML.
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Laboratorium tanggal 15/4/2016 Hb suami
5,8 g/dL (12-16), Leukosit 0,63 103/µL Diagnosa keperawatan: 1) Resiko infeksi (00004), 2) Resiko perdarahan (00206), 3)
(5-10), Trombosit 11 103/µL(150-440), Intoleransi aktivitas (00092)
eritrosit 2,17 106/µL(4-5), hematokrit Tujuan (NOC): 1) Imune status (0702), 2) Blood coagulation (0409), 3) Activity
17 %(37-43), MCV 78,3 fL(80-100), tolerance (0005)
MCH 26,7 pg(26-34), MCHC 34,1 Intervensi (NIC): 1) Infection control (6540), 2) Bleeding precaution (4010), 3) Activity
g/dL(32-36), RDW-CV 13,3 %(11,7- therapy (4310)
4) Medication administration (2300): Diphenhidramin 10 mg, Dexamethason 5mg,
14,4), ANC 0,16 103/µL(2,5-7). Pasien
Ranitidin 25 mg Ns 0,9% 500cc/8jam, PRC 600 CC, TC Aferesis
direncanakan mendapat terapi transfusi Evaluasi: Klien mengatakan tidak demam, Klien mengatakan pernah misisan, Klien
TC 10 unit dan PRC 500cc dan setelah mengatakan lemas dan merasa letih, lelah, Klien mengatakan merasa pusing
transfusi pulang. TB 155 cm, BB 45
kg, golongan darah A.
Lingkungan perokok, sering makan
junk food
Toraks foto: tanggal 15/3/2016
Interpretasi: tak tampak kelainan pada
jantung dan paru
Hasil BMP tgl 2/3/2016 : AML
28. Ny. R (57 th), Islam, Janda, tamat SD, IRT, Bebas nyeri: tak terkaji
tanggal pengkajian 19/4/2016, Diagnosa Nyaman: Kesadaran Sopor, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6
Medis : Ca Mammae Dextra bulan lalu BB sampai 50 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit
Keluhan utama: Penurunan kesadaran mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan diare, Keluarga mengatakan klien
Riwayat penyakit sekarang: Bicara sering panas, Pemeriksaan TTV : TD 140/80 mmHg, N 110 x/mnt, RR 30x/mnt S 38oC,
Hb 11,1 g/dL (12-16), Leukosit 1,82 103/µL (5-10)
kacau sejak 5 hari sebelum masuk
Bermartabat dan dihormati: keluarga berharap klientetap memperoleh fasilitas
rumah sakit, gelisah, sulit diajak pelyanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam
komunikasi, mual, muntah 2x, berisi kondisi sakit , keluarga meminta untuk memperlakukan klien dengan baik dan tetap
air, nafsu makan menurun sebelum dihargai sesuai dengan fungsinya
masuk rumah sakit, 3 hari terakhir Damai: Harapan keluarga terhadap kondisi saat ini: ibu bisa meninggal dengan tenang
riwayat kemo, BAK sedikit sejak 4 hari dalam kondisi yang sebaik-baiknya
sebelum masuk rumah sakit, pasien Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
sudah didiagnosa kanker mammae anak
Diagnosa keperawatan : 1) Risiko ketidakefektifan jaringan serebral (00201) , 2)
sejak tahun 2013. Pemeriksaan TTV :
Gangguan ventilasi spontan (000033), 3) Kerusakan Integritas kulit (00046), 4)
TD 140/80 mmHg, N 110 x/mnt, RR Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 5) Resiko infeksi
30x/mnt S 38oC Saturasi awal datang (00004)
94%. Pemeriksaan Laboratorium tgl Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Respiratory status : ventilation (0403),
19/4/2016 Hematologi Rutin : Hb 3) Tissue integrity : skin (1101), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008)
11,1 g/dL (12-16), Leukosit 1,82 Intervensi (NIC): 1) Neurological monitoring (2620), 2) Oxygen therapy (3320), 3)
103/µL (5-10), Trombosit 244 103/µL Pressure management (3500), 4) Nutrition management, 5) Infection control (6540)
(150-440), Eritrosit 4,04 106/µL(4-5), 6) Medication administration (2300): NaCl 0,9% 500ml/8 jam, Parenteral : Ranitidin 50
mg , Ondansentron 8 mg, Paracetamol drip 1gr
Hematokrit 33,1 % (37-43), MCV 81,9
Evaluasi: penurunan kesadaran, Keluarga klien mengatakan klien tidak ada riwayat
fL (80-100), MCH 27,5 pg (26-34), alergi makanan maupun obat-obatan, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan
MCHC 33,5 g/dL (32-36), RDW CV
14,2 % (11,7-14,4), ANC 0,76 103/µL BB, Keluarga mengatakan ya akan cuci tangan sebelum dan setelah aktifitas dan dalam
(2,5-7). Hemostasis : BT pasien 12,9 membantu aktifitas
detik (11,3-14,7) kontrol : 13,7 detik
(12-16), APTT pasien : 23,4 detik
(24,8-34,4) kontrol 30,5 detik (25-37),
fibrinogen 549 mg/dL (187-451) D-
dimer 11060 ng/mL (<500). Kimia
Klinik : Natrium 137 mmol/L (137-
150), Kalium 3,7 mmol/L (3,5-5,3),
Klorida 99 mmol/L (99-111), Kalsium
9,1 mg/dL (8,1-10,4), Magnesium 2,1
mg/dL (1,9-2,5), AGD : pH 7,474
(7,35-7,44), pO2 315,4 mmHg (85-95),
pCO2 34,9 mmHg (35-45), HCO3-
25,6 mmol/L (21-25), BE 2,9 mmol/L
((-2,4)-2,3), CO2 total 26,7 mmol/L
(22-34), Sat O2 99,8 % (95-99).
Lingkungan perokok, KB satu tahun,
suka makan ikan asin
Tumor marker: invasive carcinoma, no
special type (NST) grade III
29. Tn. S (61 th), Islam, Kawin, tamat SD, Bebas nyeri: Klien mengatakan luka operasinya masih terasa nyeri, nyeri hilang timbul,
Petani, tanggal pengkajian 25/4/2016, nyeri bertambah saat bergerak dan batuk, Klien mengtakan bila batuk nyeri terasa sangat
Diagnosa Medis : Ca Bully post tajam skala 10, Klien juga mengatakan kalau bergerak banyak perutnya makin sakit, Bila
Nefrektomy kiri, radikal sistektomi dan tidak sedang bergerak maupun batuk nyeri skala 3-5, Klien mengatakan malam hari
ileal conduit tidurnya kadang terganggu karena rasa sakit pada bekas operasinya tiba-tiba muncul,
sehingga pagi-pagi selalu merasa ngantuk, Terlihat sesekali meringis menahan sakit, TD=
Keluhan utama: Nyeri luka operasi
170/80 mmHg, N=92 x/menit RR= 22 x/menit, Terlihat gerakan berhati-hati dan
RPS : Klien mengatakan gejala yang melindungi area yang sakit
dirasakan klien sudah sejak setahun Nyaman: Klien mengatakan tidak ada nafsu makan, Klien mengatakan mual dan muntah,
terakhir ini. klien mengatakan tidak ada Klien mengatakan hanya makan 2-3 sendok porsi makan yang diberikan RS, yang
gejala apa-apa, kemudian tiba-tiba dimakan hanya nasinya saja, lauknya tidak karena menyebabkan mual, BB = 58 Kg, TB=
perut terasa tidak enak, sakit dan buang 165 cm IMT 21,3, Protein total = 5,4 gr/dL (6,6-8,7), Albumin = 3 gr/dL (3,2-5,2),
air kecil terganggu. Buang air kecil jadi Globulin = 2,4 gr/Dl (1,5-3,0), Hb = 10,9 gr/dL (13-18), Tidak menghabiskan porsi
sakit, susah dan berdarah. Kemudian makan yang diberikan, Klien terlihat mual dan sering meludah, Klien mengatakan
lukanya terasa sakit, sempat panas badan setelah operasi, Terdapat insisi bedah pada
klien memeriksakan diri ke RSKD dan
midline abdomen mulai dari umbilikus sampai simfisis pubis ± 12-13 cm, 2-3 cm
ternyata kanker. Kemudian disarankan dibagian bawah luka terlihat ada sedikit pus, Leukosit = 12,23 103/µL (5-10), Suhu
untuk dilakukan tindakan operasi. Saat 36,80C
pengkajian klien dalam kondisi post Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
operasi nefrektomi, radikal sistektomi kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
dan ileal conduit hari ke-7 (op tgl klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
18/4/2016). Riwayat kemoterapi dan fungsinya
radiasi (-). TTV awal masuk IGD TD : Damai: semua atas ketentuan Allah , yang dilakukan sejak sakit : shalat dan berdoa
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
120/80 mmHg N : 96x/mnt S : 36oC
anak
RR : 22x/mnt, riwayat perokok aktif Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, 2)
dan pasif, sering minum minuman Nyeri akut, 3) Resiko infeksi
bersoda, makan makanan isntan Tujuan (NOC): 1) Nutritional status : food & fluid intake (1008), 2) Pain level (2102), 3)
Toraks foto: tanggal 21/12/2015 Risk control (1902)
Interpretasi : cor dan pulmo dalam Intervensi (NIC): 1) Nutrition management (1100), 2) Pain management (1400), 3)
batas normal Infection protection (6550)
USG toraks: tanggal 18/4/2016 4) Medication administration (2300) : Ambroxol 4x1, PCT 3x500mg, Transamin 3x500,
Vit K (Ns 100) 3x1, Cefoferazon 2x1 gr, Omeprazol 2x40 mg, Vit C 1x600, Ranitidin
Interpretasi: tak tampak kelainan
2x50mg, Farmadol 3x1, Alinamin F 3x10 ml
Echocardiografi: tanggal 20/4/2016 Evaluasi: Klien mengatakan masih mual, Klien mengatakan bekas operasinya masih
Interpretasi: normal echo sakit
USG Abdomen Lengkap, tanggal
29/3/2016 Interpretasi: Hidronefrosis
dengan hidroureter sinistra grade IV
dengan internal echo, suspek
pyohidronefrosis, Hidronefrosis dengan
hidroureter dextra grade I. Sugestif
massa bulli dd/blood cloth
CT Scan Abdomen non kontras tanggal
2/4/2016 Interpretasi : Massa solid di
sebagian pelvis renalis sampai ureter
setinggi paravertebra L4 kiri dan di
210

dalam vesica urinaria ec. Sugestif TCC.


Hidronefrosis dextra grade IV. Scan
organ-organ intraabdominal dalam
batas normal
Pemeriksaan Patologi Anatomi
tanggal2/1/2016 Kesan : menunjukkan
transitional cell carcinoma a/r ureter &
buli-buli.
30. Tn. U (45 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien tidak mengeluhkan nyeri
Petani, tanggal pengkajian 28/4/2016, Nyaman: klien mengatakan dari semalam mual, makan tidak ada rasa, pagi ini masih
Diagnosa Medis : Ca. Lidah merasa mual skala 3, klien mengatakan nafsu makan menurun, mulut tidak enak, klien
Keluhan utama: mual juga mengatakan batuk dahak yang membuat mual selain itu klien mengeluh ada
RPS : Pasien datang ke RSKD karena sariawan, tampak kilen sering meludah, Klien mengatakan tidak pana, Hb 10,1 g/dL (13-
direncanakan akan melakukan 18), Leukosit 23,94 103/µL, Trombosit 349 103/µL, eritrosit 3,48 106/µL (4,6-6,2)
hematokrit 30,3 % (40-54), TD : S : 36,80C, TD 120/70 mmHg, N 80x/menit, RR
kemoterapi yang pertama, klien
20x/menit, saturasi 99%, Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan
mengatakan belum pernah radiasi, sesak nafas, klien mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 80 kg menjadi 45
pasien mengeluh adanya benjolan di kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir sekarang dapat
lidah sebelah kiri sejak Desember bubur saring sehari 6x, BB: 45 kg TB: 165 cm IMT: 16,6 kg/m2 (gizi kurang),
2015, kemudian klien berobat ke kehilangan BB >20%, Hb : 10,7 g/dL, turgor menurun, Bentuk diet CB 6x300 cair, rute
RSKD dan dilakukan biopsi tanggal oral, kebutuhan energi 1800kal, protein 67 gram
20/2/2016 hasilnya histologik sesuai Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
dengan karsinoma skuamosa kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
berdiferensiasi buruk dan disarankan
fungsinya
untuk langsung mengikuti program Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, Harapan
kemoterapi setelah biopsi eksisi. TTV keluarga terhadap kondisi saat ini: sembuh dan tidak muncul lagi kankernya, Nilai dan
awal masuk TD 130/90 mmHg, N : keyakinan keagamaan yang dilakukan sejak sakit: shalat dan berdoa
88x/mnt, S : 36,5oC, RR 20x/mnt. TB Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
165 cm, BB 45 kg, riwayat merokok istri
sejak remaja, makan instan dan tinggi Diagnosa keperawatan: 1) Mual, muntah (00134), 2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
lemak dari kebutuhan tubuh (00002), 3) Resiko infeksi (00004)
Tujuan (NOC): 1) Nausea and vomiting control (1618), 2) Nutritional status : food &
Toraks foto: tanggal 25/4/2016
fluid intake (1008), 3) Risk control (1902)
interpretasi tak tampak kelainan pada Intervensi (NIC): 1) Nausea management (1450) & Vomiting management (1570), 2)
jantung dan paru Nutrition management (1100), 3) Infection control (6540)
Pemeriksaan Patologi anatomi tanggal 5) Medication administration (2300) : Ondansentron 3x8mg, Metoclorpamid 3x8mg,
20/2/2016 hasilnya histologik sesuai Neurobion 2x1tab, Folic acid 2x1, Fluconazole 3x50mg, Enystin 3x1, Codipront syr
dengan karsinoma skuamosa 3x1cth Infus I : Ns 500 ml + 15 Meq KCI 6jam/kolf, Infus II : Ns 500ml 12 jam/kolf
berdiferensiasi buruk Evaluasi: Klien mengatakan mual berkurang skala 2, tidak muntah tapi mulut masih
terasa tidak enak, Klien mengatakan tidak mengalami panas badan
31. Ny. W (56 th), Islam, Janda, tamat SD, Bebas nyeri: Klien mengatakan kaki, tulang ekor dan anusnya sakit. Kakinya seperti
Petani, tanggal pengkajian 2/5/2016, tertimpa bata, anus dan tulang ekornya seperti ditusuk-tusuk jarum, panas, skala 10 bila
Diagnosa Medis : Kanker Ginjal bergerak alih posisi, bila tetap dalam posisi skala 7, Karena nyeri klien mengeluhkan
Keluhan utama: Nyeri tidak nafsu makan (Anoreksia) dan tidak nyenyak tidur, Keluarga mengatakan semalam
Riwayat penyakit sekarang: Pasien klien mengerang-ngerang kesakitan tidak bisa tidur, Keluarga mengatakan klien dulunya
masuk RS pertama kali melalui IGD gemuk sampai sekitar 60 kg sekarang kurus 45 kg dan kakinya mengecil, Klien tampak
:atropi otot kaki, Gangguan aktifitas, seluruh aktivitas dibantu keluarga dan perawat,
Dharmais tgl 28/4/2016 dengan
Posisi menahan nyeri, Tingkah laku berhati-hati, Gangguan tidur (mata sayu, tampak
keluhan nyeri pada tungkai kiri dan capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai), Terfokus pada diri sendiri, Tampak
sulit digerakkan, kaki mengecil selama berkeringat, TTV : Tekanan darah: 120/80 mmHg Suhu: 36,20C Nadi: 84x/menit
± satu bulan. Pemeriksaan TTV di IGD Pernapasan: 22x/menit, Tingkah laku gelisah, merintih, menangis, iritabel, nafas
TD 110/70 mmHg nadi 81x/mnt. panjang/berkeluh kesah, Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Menurut keterangan keluarga pada Nyaman: Klien mengatakan belum BAB sudah 10 hari, perut nyeri, tegang dan terasa
tahun 2007 klien mengeluhkan sakit penuh, tidak nafsu makan, perasaan adanya tekanan pada rektum, mual, Keluarga
perut bagian kanan kemudian berobat mengatakan klien sering kentut tapi melalui lubang vagina, Distensi abdomen, Bising
usus hiperperistaltik, Teraba massa abdomen, Perkusi tumpul, Sering flatus; Klien
ke alternatif, di alternatif klien
mengatakan tidak nafsu makan, mual, perut terasa penuh, BB sebelumnya 60kg BB
dilakukan pemijatan. Kemudian rasa sekarang : 45 kg, TB: 155cm, IMT: 18,75kg/m2 (kategori: normal), Laboratorium: tgl
sakit hilang. Sekitar 3 bulan yang lalu 29/4/2016 Protein total 7,2 g/dL (6,6-8,7) Albumin: 3,6 g/dL (3,2-5,2) Globulin : 3,6 g/dL
klien mengeluhkan kaki kiri sakit dan (1,5-3) SGOT: 33 U/L (0-32) SGPT: 8 U/L (0-31) GDS: 103 mg/dl (<180), Perut
sulit digerakkan, klien berobat ke distensi, Bising usus hiperperistaltik; Klien mengatakan tidak bisa jalan, kakinya lemah,
alternatif dan diberikan susu tinggi bisa diangkat tapi tidak mampu berjalan, kaki terasa ditimpa batu bata, telapak kaki terasa
kalsium. Selama kurang lebih satu tebal, Kekuatan otot 5555 5555/4444 3333, Kaki tampak mengecil (atrofi); Klien
bulan susu dikonsumsi. Dan tiba-tiba mengatakan lemes tapi tidak pernah panas selama sakit; Klien mengatakan tidak bisa
kencing kalau tidak dipasang selang; Klien mengatakan belum memahami penyakitnya
klien mengeluhkan susah BAB dan
dan perawatannya serta klien menyatakan ingin tahu tentang proses kemoterapi
BAK dan kakinya tetap sakit seperti Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
kondisi awal berobat ke alternatif. kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
Kemudian klien dibawa ke rumah sakit klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
terdekat dan disana didiagnosa batu fungsinya
ginjal kemudian dilakukan operasi. Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua karena ketentuan Allah, pasrah,
Pada saat operasi batu ginjal, shalat dan berdoa di atas tempat tidur
ditemukan dua benjolan yang Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
anak
kemudian dilakukan pengangkatan
Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronis (00133), 2) Konstipasi (00011), 3) Retensi urin
untuk dilakukan biopsi. Setelah operasi (00023), 4) Hambatan mobilitas fisik (00085), 5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
dan dirawat kurang lebih 10 hari di RS kebutuhan tubuh (00002), 6) Resiko infeksi (00004), 7) Defisit pengetahuan tentang
Urip Sumoharjo, klien disarankan penyakit dan kemoterapi (00126)
untuk berobat ke RSK Dharmais Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Bowel elimination (0500), 3) Urinary
karena ditemukan hasil histopatologi elimination (0503), 4) Body positioning : self initiated (0203), 5) Nutritional status : food
anatomi yang menyatakan bahwa & fluid intake (1008), 6) Imune status (0702), 7) Knowledge cancer management (1833)
benjolan tersebut adalah kanker yaitu Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Constipation/impaction management
(0450), 3) Urinary retention care (0620), 4) Exercise therapy ambulation (0221), 5)
Renal cell carcinoma. Nutrition management (1100), 6) Infection control (6540), 7) Chemotherapy management
Lingkungan perokok, Kb spiral selama (2240)
35 tahun tahun 2000 diambil, suka 8) Medication administration (2300): MO MST 2x10 mg, Laxadyn sirup 3x15cc,
makan ikan asin Profenid supp K/P, I : Ns EMG, II : Ns 50 + heparin 10.000 ui/24 jam
EKG: tanggal 29/4/2016 Interpretasi: Evaluasi: Klien mengatakan kaki, tulang ekor dan anusnya masih sakit. skala berkurang
sinus rhythm yang tadinya 10 bila bergerak alih posisi sekarang 5, bila tetap dalam posisi skala 2,
USG Abdomen upper dan lower, Keluarga mengatakan klien hari ini belum BAB, perut masih tegang dan penuh, Keluarga
tanggal 23/3/2016 Interpretasi: mengatakan klien masih tidak bisa jalan, Keluarga mengatakan hari ini klien belum
makan karena dipuasakan
Kesimpulan : hidronefrosis dextra
grade III dengan nephrolitiasis dextra.
Hepar, vesica felea, pankreas, lien, ren
sinistra, vesica urinaria, dan uterus
tidak nampak kelainan
Hasil Patologi anatomi Histopatologi
tanggal 29/3/2016 interpretasi renal
cell carcinoma
32. Ny. S (39 th), Islam, Kawin, tamat SD, Bebas nyeri: klien tidak mengeluhkan nyeri
Petani, tanggal pengkajian 2/5/2016, Nyaman: klien mengatakan pernah mempunyai pengalaman mual muntah pada saat
Diagnosa Medis : Ca Mammae Bilateral menerima kemoterapi. Karena mual ia menjadi lelah dan tidak nyaman serta tidak selera
Post Mastektomy Pro Kemo makan, Klien juga mengatakan sekarang ini mual, dan tidak nafsu makan, mulutnya
Keluhan utama: diare terasa pahit setelah kemo tadi malam, TTV TD 140/90 mmHg, N 98x/mnt RR 20x/mnt S
: 36,2oC, klien mengatakan pernah mempunyai pengalaman konstipasi pada saat
RPS : Pasien datang ke RSKD karena
menerima kemoterapi, pagi ini belum BAB biasanya setelah shalat subuh sudah BAB,
direncanakan akan melakukan klien mengatakan tetap merasa sedikit cemas setiap akan dilakukan kemoterapi walaupun
kemoterapi. Klien mengatakan ini ini bukan kemo yang pertama, klien mengatakan cemas harus mengulang kemo dan
kunjungan yang ke 10. Klien radiasi lagi tapi tetap optimis bisa sembuh dengan rutin menjalani pengobatan, Klien
terdiagonsa kanker mammae sejak mengatakan tidak panas
tahun 2013 pada tahun 2013 klien DO : leukosit : 22,54 103/l (5-10), S : 360C terdapat luka post mastectomy tertutup tidak
menjalani radiasi sebanyak 15x namun tampak luka terbuka dan eksudat
karena muncul benjolan di ketiak klien Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
dilakukan operasi pengangkatan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
payudara sebelah kiri (mastektomi). fungsinya
Setelah operasi klien melakukan Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, Harapan
pengobatan berupa kemoterapi keluarga terhadap kondisi saat ini: sembuh dan tidak muncul lagi kankernya, Nilai dan
sebanyak 6x dan dilanjutkan kembali keyakinan keagamaan yang dilakukan sejak sakit: shalat dan berdoa
radiasi sebanyak 30x. Selama radiasi Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi
klien minum obat sesuai anjuran yaitu pasien:suami dan anak
Tamoxifen tablet 1x20 mg setiap hari Diagnosa keperawatan: 1) Mual, muntah (00134), 2) Konstipasi (00011), 3) Ansietas
(00145), 4) Resiko infeksi (00004)
(1x1 tablet) dan tahun 2014 klien
Tujuan (NOC): 1) Nausea and vomiting control (1618), 2) Bowel elimination (0501), 3)
dilakukan pengangkatan rahim serta Anxiety self control (1402), 4) Risk control (1902)
indung telur (menaupause dini). Intervensi (NIC): 1) Nausea management (1450) & Vomiting management (1570), 2)
Setelah operasi klien diberikan obat Bowel management (0430), 3) Anxiety reduction (5820), 4) Infection protection (6550)
Arimidex yang dikonsumsi 1x1mg 5) Medication administration (2300): MO Captrophil 3x12,5 mg, Methilprednisolon 3x8
setiap hari (1x1 tablet). Klien mg, Omeprazole 2x20 mg IVFD : NaCl 0,9% 500 cc
melakukan kontrol rutin dan tahun Evaluasi: Klien mengatakan saat ini tidak mengalami muntah hanya sedikit mual, Klien
2015 ditemukan benjolan di ketak mengatakan tadi siang (13.00 WIB) BAB, Klien mengatakan biasanya konstipasi terjadi
kanan. Oleh dokter klien dianjurkan setelah kemo saat dirumah, Klien mengatakan masih merasa cemas walaupun sudah
sering melakukan kemo, Klien mengatakan tidak mengalami panas badan
untuk melakukan operasi payudara
sebelah kanan. Tanggal 14/8/2015
klien dilakukan operasi pengangkatan
payudara sebelah kanan. Saat ini klien
dianjurkan untuk melakukan
pengobatan kemoterapi kembali. Klien
mengatakan mempunyai pengalaman
mual, muntah, konstipasi dan rambut
rontok ketika melakukan kemoterapi
pada saat kanker payudara sebelah kiri.
Pemeriksaan TTV TD 140/90 mmHg,
N 98x/mnt RR 20x/mnt S : 36,2oC,
lingkungan perokok, KB 11 tahun,
selalu makan makanan cepat saji,
jarang makan buah dan sayur, kerja di
tempat dekat dengan karsinogen
EKG: tanggal 1/5/2016 Interpretasi:
Synus Rhytm
Toraks foto: tanggal 26/6/2015
Interpretasi tak tampak kelainan
jantung dan paru
USG Abdomen, tanggal 10/8/2015
Interpretasi: fatty liver. Tak tampak
kelainan pada organ intraabdominal
lainnya
Pemeriksaan Imuno Histokimia tanggal
27/8/2016 : Estrogen reseptor : negatif,
Progesteron reseptor : negatif, HER 2 :
negatif, Ki 67 : positif pada 70% sel
tumor, Kesimpulan hasil biopsi :
sediaan mastektomi tidak mengandung
sisa massa tumor. Metastase karsinoma
payudara pada 12 dan 14 kelenjar getah
bening
USG Payudara 26/5/2015Interpretasi :
dicurigai nodal metastase pada aksila
kanan edema subcutis payudara kanan
Mamografi 26/6/2016 Interpretasi :
Penebalan kutis dan subkutis payudara
kanan. Limfadenopati aksila kanan
Penanda tumor 24/2/2016 CA 15-3
24,5 U/ml (<31,3)
Lampiran 5 : Surat Permohonan Menjadi Partisipan EBN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMINATAN KEPERAWATAN ONKOLOGI

PENJELASAN PELAKSANAAN EBN

PENGARUH MENGHIRUP AROMATERAPI JAHE TERHADAP MUAL


MUNTAH PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG MENJALANI
KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS
JAKARTA

Responden yang kami hormati, berdasarkan hal tersebut di atas, kami sebagai
mahasiswa residensi keperawatan medikal bedah memohon kesediaan Anda
secara sukarela untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan penerapan evidence-based
nursing practice (EBN) ini. Kami menjamin bahwa tindakan ini tidak akan
berdampak negatif terhadap status kesehatan Anda. Kami sangat mengutamakan
keamanan dan kenyamanan Anda selama berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Adapun tujuan, manfaat dan prosedur dari pelaksanaan penerapan EBN ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan penerapan EBN untuk mengatasi mual muntah akibat kemoterapi.
Mual adalah perasaan tidak menyenangkan yang mengawali keinginan untuk
muntah, sering disertai dengan gejala otonom (seperti pucat, berkeringat,
peningkatan produk saliva, peningkatan denyut jantung) (Kelly, 2013).
Muntah adalah pengeluaran paksa isi lambung melalui mulut (Kelly, 2013).
Oleh karena itu dengan menggunakan aromaterapi jahe sangat bermanfaat
dalam membantu mengurangi atau mengatasi masalah mual muntah akibat
kemoterapi.
2. Hasil dari tindakan ini diharapkan dapat dijadikan kebijakan berupa protokol
tindakan mengatasi mual muntah akibat kemoterapi bagi pelayanan kesehatan
di RSKD Jakarta.
3. Penerapan EBN ini dilaksanakan setelah Anda menjalani kemoterapi.
4. Dalam penerapan EBN ini, kami menggunakan kalung aromaterapi jahe dan
lembar observasi untuk dokumentasi pelaksanaan EBN.
5. Penerapan EBN ini dilaksanakan mulai hari pertama sampai hari kelima post
kemoterapi adapun prosedur pelaksanaannya sbb : Selain menerima perawatan
standar dari rumah sakit, aromaterapi diberikan kepada pasien dengan cara
mengkalungkan botol kecil berisi aromaterapi jahe di leher pasien dan
ditempatkan sekitar 20 cm dari hidung pasien selama lima hari pada siang hari
dan malam hari. Pasien diminta menarik nafas dalam setidaknya tiga kali
sehari dalam durasi 2 menit bahkan disaat tidak muncul gejala. Penggunaan

aromaterapi jahe dilakukan diantara penerimaan kemoterapi yang pertama


diikuti kemoterapi selanjutnya. Dalam pelaksanaanya kami berupaya untuk tetap
mengutamakan kenyamanan Anda.
Jika ada hal yang belum dimengerti atau belum disampaikan, anda dapat
menanyakan langsung kepada kami.
Demikian penjelasan singkat tentang pelaksanaan EBN ini, jika anda sudah
memahami dan bersedia untuk dilibatkan/berpartisipasi dalam kegiatan ini,
maka kami akan melampirkan lembar persetujuan menjadi responden pada
kegiatan ini.

Demikian penjelasan singkat tentang pelaksanaan penelitian ini, jika anda sudah
memahami dan bersedia untuk menjadi partisipan dalam EBN ini, maka anda
disilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan.Kami
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan anda sebagai
partisipan dalam penelitian ini.

Jakarta, 2016
Mahasiswa Residen Keperawatan Onkologi

(Triana Arisdiani)
NPM 1306346380
Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan EBN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
UNIVERSITAS INDONESIA
PEMINATAN KEPERAWATAN ONKOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENERAPAN EBN


(Informed Concent)
Kode
responden

Yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Umur :
Alamat:

Berdasarkan penjelasan tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan


penerapan EBN-Practice menghirup aromaterapi jahe yang telah kami terima dari
mahasiswa residensi keperawatan medical bedah pendidikan spesialis
keperawatan onkologi FIK-UI, maka dengan ini kami menyatakan bersedia ikut
serta secara sukarela untuk menjadi responden dalam kegiatan ini.

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari
pihak mana pun.

Jakarta, 2016

( )
Lampiran 7 : Instrumen Pengkajian Mual Muntah

FORM PENGALAMAN MUAL MUNTAH POST KEMOTERAPI

1. PENGALAMAN MUAL POST KEMOTERAPI

Apakah anda memiliki pengalaman mual : ( ) ya ( ) tidak

Hari ke berapa Anda mulai mengalami mual :

Berapa lama Anda mengalami mual : Tuliskan skala

mual yang pernah Anda alami :


Pengalaman/ Keparahan/Intensitas mual dan muntah
( visual analog scale )

Tidak mual Mual Mual


sedang sangat
hebat

Ibu diminta untuk menunjuk salah satu angka yang menunjukkan tingkat
keparahan mual dan muntahnya dengan menggunakan visual analog scale.

2. PENGALAMAN MUNTAH POST KEMOTERAPI

Apakah anda memiliki pengalaman muntah : ( ) ya( ) tidak

Hari ke berapa Anda mulai mengalami muntah :

Berapa lama Anda mengalami muntah :

Berapa kali Anda mengalami muntah :

Berapa cc setiap Anda mengalami muntah :


LEMBAR PENGKAJIAN MUAL

HARI KE- KELUHAN DURASI INTENSITAS KETERANGAN


(tulis hari MUAL MUAL MUAL (tulis
dan (tulis jam (berapa sesuai
tanggal) dimana lama Anda keluhan
keluahan merasa mulai dari 0
mual mual) untuk tidak
terjadi) ada keluhan
Note : jam mual s.d 10
wajib Anda untuk
nilai 09.00, keluhan yang
15.00 dan sangat hebat)
21.00 WIB semakin
besar nilanya
,semakin
berat
mualnya
1

5
LEMBAR PENGKAJIAN MUNTAH

HARI KE- KELUHAN DURASI BANYAKNYA KETERANGAN


(tulis hari MUNTAH MUNTAH MUNTAH
dan (tulis jam (berapa (tulis jumlah
tanggal) dimana lama Anda muntah dalam
keluahan mengalami cc/ml dengan
muntah muntah) menggunakan
terjadi) gelas ukur)
Note : jam
wajib Anda
nilai 09.00,
15.00 dan
21.00 WIB
1

5
Lampiran 8 : Lembar Observasi Partisipan EBN

LEMBAR OBSERVASI PASIEN EVIDENCE BASED NURSING


PENGARUH MENGHIRUP AROMATERAPI JAHE TERHADAP
MUAL MUNTAH PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG
MENJALANI KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER
DHARMAIS
JAKARTA

Nama :
Umur :
No. MR :
Diagnosa :
Jenis Kemoterapi :

Sebelum mendapat Perawatan Standar RS Perawatan Standar RS


treatment aromaterapi dan dan
(Perawatan Standar RS) Treatment I Treatment II
Berapa lama Anda
mengalami mual ?
(hari)
Berapa kali Anda
mengalami
muntah ?
Berapa lama Anda
tidak nafsu makan
(mengalami
penurunan nafsu
makan setelah
kemoterapi) ?
Adakah perbedaan
yang Anda
rasakan dari
sebelum Anda
menggunakan
aromaterapi dan
setelah
menggunakan
aromaterapi ?
jelaskan?
Menurut Anda
aromaterapi mana
yang lebih
bermanfaat I atau
II?jelaskan?
220

HASIL OBSERVASI PASIEN EVIDENCE BASED NURSING


PENGARUH MENGHIRUP AROMATERAPI JAHE TERHADAP
MUAL MUNTAH PADA PASIEN KANKER PAYUDARA YANG
MENJALANI KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER
DHARMAIS
JAKARTA

Grup A

No. Sebelum mendapat Perawatan Perawatan


Responden treatment aromaterapi Standar RS dan Standar RS dan
(Perawatan Standar RS) Treatment I Treatment II
Mual (hari) Muntah Mual Muntah Mual Muntah
(kali) (hari) (kali) (hari) (kali)
1
2
3
4
5
6
Ket : Diawali dengan pemberian aromaterapi essential

Grup B
No. Sebelum mendapat Perawatan Perawatan
Responden treatment aromaterapi Standar RS dan Standar RS dan
(Perawatan Standar RS) Treatment I Treatment II
Mual (hari) Muntah Mual Muntah Mual Muntah
(kali) (hari) (kali) (hari) (kali)
1
2
3
4
5
6
Ket : Diawali dengan pemberian aromaterapi plasebo
Lampiran 9 : Prosedur Pelaksanaan Menghirup Aromaterapi Jahe

Prosedur intervensi penelitian ini selain menerima perawatan standar, kalung


aromaterapi diberikan kepada pasien untuk dipakai selama lima hari pada siang
dan malam hari. Kalung aromaterapi adalah liontin yang terbuat dari kaca yang
digantungkan pada leher pasien dan ditempatkan sekitar 20 cm dari hidung pasien.
Setiap hari pasien diminta untuk menghirup dengan menarik nafas dalam-dalam
setidaknya 3 kali sehari dalam 3 peride dan dalam duarsi 2 menit. Pasien diminta
menghirup ketika ada gejala mual muntah maupun tidak ada gejala. Kalung
aromaterapi ini diisi sekitar 1-2 tetes minyak esensial dan minyak wangi jahe. Grup
1 menerima minyak wangi jahe (plasebo) pada kemoterapi pertama, kemoterapi
selanjutnya menerima minyak esensial jahe. Sebaliknya untuk grup 2 menerima
minyak esensial jahe terlebih dahulu dilanjutkan minyak wangi jahe (plasebo).
Jarak penerimaan kemoterapi pertama dan kedua berkisar 2-3 minggu. Pasien
diinstruksikan untuk menghentikan penggunaan aromaterapi setelah treatment
berakhir.
Lampiran 10 : Lembar Observasi Modified Early Warning Score (MEWS)

LEMBAR OBSERVASI MODIFIED EARLY WARNING SCORE (MEWS)

Tangga

Ruangan:

Medis:

Diagnosa
Tanda-tanda Vital Parameter l
Waktu
Respirasi ≥ 30 3
21-29 2
15-20 1
12-14 0
10-11 1
8-9 2
≤8 3
Nadi ≥ 130 3
111-129 2
101-110 1
60-100 0
51-59 1
40-50 2
< 40 3
Tekanan darah sistolik ≥ 180 3
170-179 2
150-169 1
101-149 0
81-100 1
71-80 2
≤ 70 3
Nilai tekanan darah diastolik
Suhu ≥ 39,6 3
38,6-39,5 2
37,8-38,5 1
36-37,7 0
35,1-35,9 1
34-35 2
< 34 3
SpO2 < 85 3
85-89 2
90-94 1
≥ 95 0
Tingkat kesadaran Unresponsive (U) 3
Respons to Pain (P) 2
Respons to Voice (V) 1
Alert (A) 0
Agitasi 1
Urine Output ≤ 20 ml/jam 3
(dalam 2 jam) ≤ 30 ml/jam 2
≤ 50 ml/jam 1
60 ml/jam 0
>300 ml/jam 3
TOTAL MEWS
Perfusi : CRT (detik)
Normal (N)
Warna kulit : Pucat (P)
Sianosis (S)
Ringan (1-3)
Skala Nyeri Sedang (4-6)
Berat (7-10)
Obat nyeri (Ya/Tidak)
Berkeringat
:(Ya/Tidak)
JumlahPerdarahan
(cc) :
Turgor kulit (detik)
Pupil (size/ RC) :
Lab:
< 40 mg/dL
40 – 400 mg/dL
Glukosa darah >400 mg/dL
< 1,5 x 103/µL’
ANC ≥1,5 x103/µL
≤ 20 x 103/µL
>20 x 103/µL –
1x106/µL
Trombosit >1 x106/µL
< 2 x 103/µL
2 x 103/µL – 50 x
103/µL
Leukosit >50 x 103/µL
< 500 ng/ml
D-dimer ≥ 500 ng/ml
≤ 6 gr%
Hb >6 gr%
< 120 mmol/L
120 – 160 mmol/L
>160 mmol/L
Na
< 2.8 mmol/L
2.8 – 6 mmol/L
K > 6mmol/L
Lainnya:
TTD/NAMA
Lampiran 11 : Petunjuk Pengisian MEWS

3 2 1 0 1 2 3
Respirasi ≤8 8-9 10-11 12-14 15-20 21-29 ≥ 30
Nadi < 40 40 - 50 51 - 59 60-100 101 – 111 – ≥ 130
110 129
Tekanan ≤ 70 71 – 80 81 - 100 101 - 150 - 170 - ≥ 180
darah 149 169 179
sistolik
Suhu < 34 34-35 35.1–35.9 36.0- 37.8- 38.6- ≥39.6
37.7 38.5 39.5
SpO2 < 85 85-89 90-94 ≥ 95
Tingkat Unresponsive Respons Respons Alert Agitasi
kesadaran to Pain to Voice
Urine ≤ 20ml/jam ≤ 30 ≤ 60 >300ml/jam
Output ml/jam 50ml/jam ml/jam
(dalam 2
jam) Keterangan:
cek dan catat hasil pengukuran berdasarkan parameter diatas, kemudian lakukan
skoring MEWS. Setelah itu jumlahkan semua skor dan catat kategori MEWS dan
lakukan tata laksana sesuai algoritma
Lampiran 13 : Alogaritma MEWS

Algoritma MEWS :

NORMAL LOW MEDIUM HIGH

MEWS 0 MEWS 1 – 3 MEWS ≥ 6


MEWS 4 – 5

atau : score 3 pada


satu parameter
Tindakan :
Tindakan : Tindakan :
Pengkajian ulang
Monitoring tiap Lapor PJ Shift
oleh PN/ PJ Shift/
shift oleh Tindakan : Lapor
CCM
perawat Supervisor/
Pengkajian ulang Pengkajian ulang oleh
pelaksana konsultan senior
tiap 4-6 jam oleh PN/ PJ Shift/ CCM Hubungi Tim Code
perawat pelaksana Lapor dokter jaga/ Blue
residen Aktifkan
Dokter jaga melaporkan code blue
pada DPJP Treatment Inisiasi
Treatmen Inisiasi Continue monitoring
Monitoring tiap 1 jam tiap 15-30 menit
hingga MEWS <4 hingga MEWS <4
Pertimbangk

an untuk transfer
ke ruang intensif
Lampiran 13 : Alur Tata Laksana MEWS

Perawat Dokter IGD


pasie pasien
n IGD / Spesialis
asesment
n contac
t Treatment /
Immediate
intervention
s
Automatic alert

Warning Zone (MEWS ≥6)

Transfer ke Transfer ke ICU DNR


ruang rawat
inap

Sistem MEWS
diterminasi
Lampiran 14 : Kuesioner Evaluasi terhadap Penerapan MEWS Perawat IGD

1. Inisial :
2. Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan*
3. Usia :
4. Tingkat Pendidikan :
5. Perawat : Pelaksana / Primer / Karu)*
*Coret yang tidak perlu

Petunjuk pengisian
Berikan tanda ceklist (√) pada salah satu kolom (“STS = sangat tidak setuju”, “TS
= tidak setuju”, “S = setuju”, “SS = sangat setuju”) sesuai dengan pernyataan
dibawah ini.

No Pernyataan STS TS S SS
1 Prosedur MEWS lebih mudah digunakan dalam
monitoring kegawatan kondisi pasien
2 Prosedur MEWS membuat kerja saya lebih
sistematis dan terstandar
3 Penerapan MEWS memudahkan saya dalam
mengidentifikasi kondisi kegawatan pada pasien
4 MEWS memudahkan keteraturan pemantauan
kondisi pasien dari waktu ke waktu
5 Penerapan MEWS membantu dan memudahkan
clinical judgement dan penanganan tindak lanjut
6 Grafik MEWS mudah dalam pengisian dan tepat
guna
7 Sistem MEWS telah mewakili kebutuhan
pengkajian dan pemantauan kondisi kegawatan
8 Penerapan MEWS memudahkan kolaborasi dalam
melakukan penatalaksanaan terhadap kondisi
pasien
9 Sistem MEWS membantu komunikasi yang efektif
sesama kolega tentang kondisi pasien
10 Sistem MEWS dapat mencegah perburukan kondisi
pasien
11) Apakah sebelumnya Anda telah mengenal EWS (Early Warning Score)? Jika
iya darimana Anda mendapatkan info tersebut?
12) Silahkan pilih salah satu pernyataan yang cocok dengan Anda saat
menggunakan EWS :
( ) membantu mengenal kondisi perburukan pasien
( ) membuat saya merasa aman
( ) mudah karena tidak mengharuskan tindakan invasif
( ) menurunkan beban kerja saya
13) Apakah Anda menemui kesulitan dalam menggunakan EWS? Jelaskan?
14) Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan di IGD? Jelaskan jawaban
Anda?
15) Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti? Jelaskan jawaban Anda?
16) Komentar dan Saran :
228

Lampiran 15: Rencana Tindak Lanjut Pengembangan MEWS Onkologi

Initial (Pilot Riview


sintesis
Uji Coba Launching
project) Berkelanjutan ulang
Lampiran 16: Daftar Riwayat Hidup

Periodewaktu 2
Periodewaktu ± 3 Periodewaktu ± 1 bulan
minggu
bulan

Survey,
UJI COBA FASE 1 Samplimg

Collecting
UJI COBA FASE 2 data

Statistical
UJI COBA FASE 3
Analyze
JANGKA PENDEK
Draft
Formula
JANGKA PANJANG

Riview / Evaluasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016
229

Lampiran 16 : Evaluasi hasil kuesioner (pertanyaan terbuka)

No.
Responden Pertanyaan Pernyataan responden
Apakah sebelumnya Anda telah mengenal
EWS (Early Warning Score)? Jika iya “belum”
darimana Anda mendapatkan info tersebut?
Silahkan pilih salah satu pernyataan yang
cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
pasien”
c) mudah karena tidak
mengharuskan tindakan invasif
d) menurunkan beban kerja saya
R1
Apakah Anda menemui kesulitan dalam
“tidak”
menggunakan EWS? Jelaskan?
“cocok bila tenaga kesehatan
memadai, karena kadang pada
Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan
situasi tertentu perbandingan
di IGD? Jelaskan jawaban Anda?
antara perawat banding
pasien
= 3 : 25”
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti?
“ya”
Jelaskan jawaban Anda?
Komentar dan Saran : -
Apakah sebelumnya Anda telah mengenal
EWS (Early Warning Score)? Jika iya “belum”
darimana Anda mendapatkan info tersebut?
Silahkan pilih salah satu pernyataan yang
cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
pasien”
c) mudah karena tidak
mengharuskan tindakan invasif
R2 d) menurunkan beban kerja saya
Apakah Anda menemui kesulitan dalam
“tidak”
menggunakan EWS? Jelaskan?
Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan
“cocok”
di IGD? Jelaskan jawaban Anda?
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti?
“jelas”
Jelaskan jawaban Anda?
Komentar dan Saran : “kalau bisa lembar observasi
MEWS lebih simpel”

Universitas Indonesia

Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016


230

Apakah sebelumnya Anda telah mengenal


EWS (Early Warning Score)? Jika iya
“iya, dari seminar-seminar”
darimana Anda mendapatkan info tersebut?

Silahkan pilih salah satu pernyataan yang


cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
pasien”
c) mudah karena tidak
mengharuskan tindakan invasif
d) menurunkan beban kerja saya
Apakah Anda menemui kesulitan dalam
“tidak”
menggunakan EWS? Jelaskan?
R3 Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan
“iya”
di IGD? Jelaskan jawaban Anda?
“jelas, cuma untuk penerapan
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti? di IGD kurang tepat, karena
Jelaskan jawaban Anda? untuk observasi Tensi Nadi per
15 menit dengan jumlah pasien
dan
jumlah perawat kurang sesuai”
“untuk monitoring pasien
bagus, tapi untuk observasi per
15 menit dengan jumlah pasien
dan jumlah perawat yang
Komentar dan Saran :
bertugas kurang tepat”
“seperti flowsheet di ICU, 1
lembar saja untuk semua
aktivitas perawat”
Apakah sebelumnya Anda telah mengenal
EWS (Early Warning Score)? Jika iya “sudah, dari seminar”
darimana Anda mendapatkan info tersebut?
Silahkan pilih salah satu pernyataan yang
cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
R4 pasien”
c) mudah karena tidak
mengharuskan tindakan invasif
d) menurunkan beban kerja saya

Apakah Anda menemui kesulitan dalam


“tidak”
menggunakan EWS? Jelaskan?
Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan “cocok, asalkan jumlah tenaga
di IGD? Jelaskan jawaban Anda? memadai, sarana dan prasarana
231

mendukung (bed side monitor


jumlahnya cukup, kecepatan
lab
dalam mengeluarkan hasil)”
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti? “jelas, tapi belum realistis
Jelaskan jawaban Anda? dengan kondisi IGD Dharmais
(tenaga, sarana, prasarana)”
“algoritme
Komentar dan Saran : diusahakan/disesuaikan
dengan realita IGD RS Kanker
Dharmais agar mampu laksana”
Apakah sebelumnya Anda telah mengenal “sudah, dari seminar dan
EWS (Early Warning Score)? Jika iya workshop MEWS & blue code
darimana Anda mendapatkan info tersebut? di RS Pertamina
Silahkan pilih salah satu pernyataan yang
cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
pasien”
c) mudah karena tidak mengharuskan
tindakan invasif
d) menurunkan beban kerja saya
Apakah Anda menemui kesulitan dalam “iya, karena belum
menggunakan EWS? Jelaskan? terbiasa diterapkan
ditempat kerja”
“sangat cocok untuk membantu
R5 mengenali kondisi perburukan
Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan
pasien dan bisa
di IGD? Jelaskan jawaban Anda?
menurunkan/mencegah
terjadinya blue code”
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti?
“ys, sangat sistematis”
Jelaskan jawaban Anda?
“ untuk MEWS pada pasien
kanker berbeda dengan pasien
yang non kanker, jadi harus
dilakukan penelitian untuk
menemukan rumus MEWS yang
Komentar dan Saran tepat”
“riset yang dilakukan oleh
mahasiswi S2 FKUI sangat
bagus dan berguna bagi
seluruh perawat yang bekerja
diinstansi yang dilakukan riset”
Lampiran 17 : Daftar Riwayat Hidup

CURICULUME VITAE

A. PERSONAL DATA
1. Name : Triana Arisdiani, SKep., Ns., M.Kep,
Sp.KMB, CWCCA
2. Place and Date of birth : Kendal, October 13, 1986
3. Gender : Women
4. Status : Married
5. TOEFL Test 476
6. lntitution : Health Science College of Kendal
7. Position : The Lecturer
8. NIPS 120 211 044
9. Institution address/teip/fax : STIKES Kendal, Jl. Laut 31 Kendal
Central Java Indonesia 51311- Telp.
0294-381343 Fax: 0294-381834
10. Home Address : Flamboyan Street Number 20 Rt:
014 Rw:006 Pegulon Kendal,Central
Java 51313
11. Address for Correspondence : STIKES Kendal, Jl. Laut 31 Kendal
Central Java
12. Phone Number : +62 8985513887/+62 87700069708
13. Email : arisdiani@yahoo.com

B. PRIMARY SCHOOL
a. I was graduated of Langenharjo I Elernentary Islamic School Kendal
in 1998
b. I was graduated of Junior High School 2 Kendal in 2001
c. I was graduated of Senior High School 1 Kendal in 2004
d. I was graduated of Bachelor of Science in Nursing Study Program
of STIKES Kendal in 2009
e. I was graduated of Nurse of Science in Nursing Study Program
of STIKES Kendal in 2010
f. I was graduated of Magister of Science in Nursing Program of
University Indonesia in 2015
g. I was graduated of Spesialis of Science inMedical Surgical Nursing
Program of University Indonesia in 2016

C. LIST HONORS AND AWARDS RECEIVED.


Honors And Awards Date
Partisipate in The National Seminar Towards
Indonesia Advanced Breast Cancer-Free in October 31, 2015
2030
Participate in The Nursing Workshop
Measurement of Intra-cranial pressure October 3, 2015
and
external Drainage

Participate in The Seminary Early detection October 3, 2015


and management of brain cancer
Participate in Training Residensi September 3, 2015
Participate in Training Basic trauma and
September 10-16, 2014
Cardiac Life Support (BTCLS)
Participate in Training The 2-Day
April 12-13, 2014
Comprehensive Course in ECG Interpretation
Participate in Basic ECG Interpretation and
Nursing Role in Critical Arrhythmias March 22, 2014
Management Seminar
Participate In Workshop Improving The
Quality Of Lecturer In Writing And Publish February 9, 2013
Book
Participate In Seminary Implementasi Nursing
February 23, 2013
By Laws
Participate In Training Wound Care Clinician
January 10-13, 2013
Associate Program
Participate In Seminary Breaking Trough,
Breaking Free To Be The Asia Pasific January 13, 2013
Leader
In Wound Healing
Comite In Seminary National Seminar On
Mothers Day In Order To Warn
"Breastfeeding Initiation And Early Asi An
December 29, 2012
Exclusive Opportunity And Challenges In
Determining The Modern Era Generation Of
Superior"
Partipate In Workshop Nurse Competency
Juny 16, 2012
Test With Central Java Paper Based Test
Participate In Training Nursing Management
Ward And Initial Development Model April 11-14, 2012
Professional Nursing Practice
Comite In Seminary Credentials Health As A
Solution In Improving Quality Of Health Juny 16, 2012
Care
Participate In Workshop Item Riview Nurse
January 10-11, 2012
Competency Test
Participate In Training Quantum Power
April 22-23, 2011
Learning
August 31-September 1,
Parcipate In Training Student Center Learning
2010
Participate In Seminary Nursing Challege In
April 3, 2010
Globalization
Participate In Training Basic Trauma Life
Mei 4-8,2010
Support And Basic Cardiac Life Support
Participate In Seminary Nurses Employment
April 18, 2009
Opportunities In The Era Of Global

D. WORK EXPERIENCE

a. A have been Working at School of health Sciences Kendal From March


2011 Until Now

I hereby decalre that theabove written particulars are true to the best of my
college and beliefe.

Best Regard,

Triana Arisdiani

Anda mungkin juga menyukai