TRIANA ARISDIANI
1306346380
TRIANA ARISDIANI
1306346380
Depok,...........2016
Triana Arisidiani
NPM 1306346380
Tanda tangan :
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Dep ok
Tanggal :
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir (KIA) dengan judul
“Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien Kanker
Payudara dengan Pendekatan Teori Peaceful End Of Life di Rumah Sakit Kanker
Dharmais Jakarta”.
Karya Ilmiah Akhir ini disusun sebagai laporan pelaksanaan Program Praktek
Residensi Ners Spesialis Kekhususan Keperawatan Medical Bedah Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. Pada karya tulis ilmiah ini penulis melaporkan
pelaksanaan mengelola kasus pasien dengan kanker mammae, pelaksanaan EBN,
dan proyek inovasi.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari semua pihak sulit
rasanya untuk menyelesaikan karya tulis ini. Oleh kerena itu, saya menyampaikan
terima kasih tak terhingga kepada:
Ibu Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia; Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta
beserta staf, yang telah memberikan persetujuan atas pelaksanaan praktik
residensi keperawatan onkologi;
Ibu Dewi Irawaty, M.A., Ph.D. selaku supervisor utama yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan dan membimbing saya dalam
penyusunan proposal tesis ini.
Ibu Riri Maria, S.Kp., MANP selaku supervisor yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dalam penyelesaian proposal tesis ini.
Ibu Nani Sutarni, S.Kp., Sp.Onk., M.Kep, selaku kepala Bidang Keperawatan
RS5.Kanker Dharmais
Ibu Retno Jakarta;
Purwanti, S.Kp., Sp.Onk., M.Biomed, dan Ibu Retno Setiowati, Ns.,
S.Kep., Sp.Onk., MKM selaku supervisor klinik dan Ibu Ns. Dewi Handayani
S.Kep serta rekan sejawat keperawatan khususnya ruang Teratai di RS Kanker
Dharmais yang telah sudi berbagi ilmu dan pengalamannya dengan penulis
dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien kanker
vi
Sahabat KMB 2013 super yang banyak membantu dalam menyelesaikan program
residensi dan karya tulis ilmiah ini.
Serta Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis
ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritikan dan saran dari teman sejawat semua sehingga bisa disempurnakan
penulis harapkan. Semoga karya ilmiah akhir ini dapat memberi kemanfaatan
kepada kita semua. Aamiin
Depok, Juni 2016
Penulis
vii
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : Juni 2016
Yang menyatakan,
Triana Arisdiani
viii
Kanker payudara merupakan salah satu tumor ganas pada jaringan payudara yang
paling sering menyerang wanita dan menjadi salah satu penyakit serius di dunia
yang mengancam jiwa. Insiden kanker payudara dilaporkan meningkat dari tahun
ke tahun. Karya Ilmiah Akhir (KIA) ini adalah sebagai laporan praktik residensi
keperawatan medikal bedah peminatan onkologi di RS Kanker Dharmais Jakarta
yang berisi tentang: (1) penerapan teori Peaceful End of Life (PEOL) pada pasien
kanker payudara, (2) intervensi menghirup aromaterapi jahe sebagai evidence
based nursing untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi pasien kanker
payudara (3) proyek inovasi penggunaan Modified Early Warning Score (MEWS)
sebagai alat deteksi awal terhadap perburukan kondisi pasien. Kesimpulan: bahwa
teori Peaceful End Of Life tepat digunakan dalam perawatan paliatif pasien
kanker. Intervensi menghirup aromaterapi jahe dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif pilihan manajemen mual muntah nonfarmakologi. Instrumen MEWS
dapat diterapkan pada unit emergensi dan dapat membantu mengidentifikasi
pasien dengan risiko perburukan kondisi yang membutuhkan peningkatan level
perawatan seperti rawat inap atau masuk ICU.
ix
Breast cancer is a malignant tumor of the breast tissue that most often affects
women and become one of serious diseases in the world and life-threatening. The
incidence of breast cancer was reported increase year to year. This final paper
clinical practice is a clinical report Medical Surgical nursing specialization in
oncology at the Cancer Hospital Dharmais Jakarta which consist of : (1) the
application of the theory of Peaceful End of Life (PEOL) in breast cancer
patients, (2) intervention inhaling aromatherapy ginger as evidence based
nursing to reduce nausea and vomiting due to chemotherapy in breast cancer
patients (3) innovation projects implement the Modified Early Warning Score
(MEWS) as a tools for early detection of the deterioration of the patient's
condition. Conclusion: The theory of Peaceful End of Life is appropriate to use in
the palliative care of cancer patients. Ginger aromatherapy can be used as an
alternative nonpharmacological management of nausea and vomiting. MEWS
instruments can be applied to the emergency unit and may help identify patients
at risk to worsening condition require increased levels of care such as
hospitalization or ICU.
Keywords: Theory of Peaceful End of Life, inhaling aromatherapy intervention,
decrease nausea, vomiting, Modified Early Warning Score (MEWS)
HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME...........................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS..................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................v
KATA PENGANTAR..........................................................................................................vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.............................................................viii
ABSTRAK............................................................................................................................ix
ABSTRACT...........................................................................................................................x
DAFTAR ISI.........................................................................................................................xi
DAFTAR TABEL...............................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................xv
DAFTAR ALGORITMA....................................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................................xvii
BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan...................................................................................................7
1.2.1 Tujuan Umum 7
1.2.2 Tujuan Khusus 7
1.3 Manfaat Penulisan..................................................................................................8
1.3.1 Pelayanan Keperawatan..................................................................................8
1.3.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan.................................................................8
1.3.3 Pendidikan Keperawatan................................................................................8
1.4 Sistematika Penulisan............................................................................................8
BAB 4 PEMBAHASAN...................................................................................................111
4.1 Analisa Kasus Kelolaan Utama.........................................................................111
4.1.1 Pengkajian Kasus Kelolaan Utama.............................................................111
4.1.2 Aplikasi Teori PEOL 117
4.1.2.1 Ketidakefektifan Pola Nafas 119
4.1.2.2 Nyeri Kronis 126
4.1.2.3 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan......................132
4.1.2.4 Ansietas..........................................................................................135
4.1.2.5 Intoleransi Aktivitas.......................................................................140
4.1.2.6 Risiko Infeksi..................................................................................143
4.2 Analisa Penerapan Teori PEOL pada 30 Kasus Kelolaan.................................147
4.3 Analisa Penerapan EBN....................................................................................153
4.3 Analisa Penerapan Proyek Inovasi....................................................................159
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................164
LAMPIRAN-LAMPIRAN..............................................................................................189
xi
ii
Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016
DAFTAR TABEL
xiv
xv
xvii
BAB 1
PENDAHULUA
N
Bab ini membahas tentang latar belakang penulisan ilmiah yang menjelaskan
tentang alasan pemilihan topik, tujuan umum dan tujuan khusus penulisan,
manfaat penulisan, serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang
Kanker payudara merupakan salah satu tumor ganas pada jaringan payudara yang
paling sering menyerang wanita dan menjadi salah satu penyakit serius di dunia
yang mengancam jiwa (Davey, 2006; Desen, 2011; Williams & Wilkins, 2012).
Kanker payudara terjadi karena gangguan sistem pertumbuhan sel di dalam
jaringan payudara. Jaringan payudara tersusun atas kelenjar areolar, tubuli
laktiferi, kelenjar getah bening dan 85%nya jaringan lemak. Sel abnormal bisa
tumbuh di empat bagian tersebut, dan mengakibatkan kerusakan jaringan
payudara (Nurcahyo, 2010). Sel kanker pada payudara tumbuh sebesar 1 cm dalam
waktu 8-12 tahun, sel tersebut berada dalam kelenjar payudara dan dapat
menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening
(Price & Wilson, 2005; Suryaningsih & Sukaca, 2009).
Penyebab kanker payudara belum diketahui secara pasti (Desen, 2011; Black &
Hawks, 2014). Namun beberapa sumber menyebutkan terdapat faktor- faktor
risiko yang dapat memicu terjadinya kanker payudara yaitu riwayat keluarga
dengan kanker payudara dan gen terkait timbulnya kanker payudara BRCA1 dan
BRCA2, paparan radiasi pengion atau karsinogen kimia, nulliparity atau paritas
rendah, kurang intensitas atau tidak menyusui, penggunaan terapi pengganti
estrogen untuk mengatasi gejala menopause, diet tinggi lemak yang
menyebabkan obesitas, kehamilan pertama setelah usia 30 tahun, mulainya haid
pertama sebelum usia 12 tahun dan menopause setelah usia 55 tahun (Desen,
2011; Williams & Wilkins, 2012; Black & Hawks, 2014).
Kanker payudara dialami wanita di 140 negara dari 184 negara di seluruh
dunia. Kejadian kanker payudara diperkirakan meningkat lebih dari 20% sejak
tahun 2008, sementara angka kematiannya meningkat sebesar 14%. Pada tahun
1 Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
mengalami kematian. Pada tahun ini pula sekitar 6,3 juta perempuan telah
terdiagnosis hidup dengan kanker payudara dalam kurun waktu lima tahun
sebelumnya. Menurut World Health Organization (WHO) dan Union for
International Cancer Control (UICC), kanker payudara pada wanita di dunia akan
mengalami peningkatan kasus yang drastis di tahun 2030 yaitu mencapai 300%
(WHO, 2013).
Penderita kanker payudara dan kanker serviks di Indonesia pada tahun
2013 memiliki estimasi jumlah terbesar dibanding jenis kanker lainnya. Insiden
kasus kanker payudara yaitu sebesar 40 per 100.000 total perempuan. Angka
tersebut meningkat dari tahun 2002, dengan insidens kanker payudara yaitu
sebesar 26 per 100.000 total perempuan (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Hal serupa dilaporkan melalui data
statistik rumah sakit di Indonesia dalam Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2013, rata-rata kasus kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien
rawat inap (16,85%), kemudian diikuti kanker leher rahim (11,78%), kanker hati,
kanker saluran empedu intrahepatik (9,69%), Leukemia (7,42%), dan Limfoma non
Hodgkin (LNH) (6,69%) (Depkes RI, 2013).
Menurut data bidang Rekam Medis tahun 2014, kanker payudara memiliki total
kasus tertinggi diantara 10 kasus kanker tersering yang ditemukan di unit rawat
jalan dan rawat inap Rumah Sakit Kanker Dharmais. Total kasus tersebut yaitu
1290 (42,89%) kasus kanker payudara, diikuti 352 (11,71%) kasus kanker
serviks, 219 (7,28%) kanker kolon, 205 (6,82%) kanker paru, 201 (6,68%) kanker
nasofaring, 192 (6,39%) kanker rekti, 175 (5,89%) kanker thyroid, 140 (4,66%)
kanker ovarium, hepatoma dan Limfoma Maligna non Hodkin/LMNH masing-
masing sebanyak 114 (3,79%) kasus.
Pengobatan kanker payudara meliputi pembedahan, radiasi dan kemoterapi
Universitas Indonesia
Dengan adanya masalah mual muntah yang dialami pasien kemoterapi, sebagai
bentuk penanganan penulis menerapkan intervensi menghirup aroma jahe sebagai
Evidence Based Nursing di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Selain melakukan
penerapan bukti mutakhir (Evidence Based Nursing) dalam penatalaksanaan pasien
kanker, dalam menjalankan program residensi ini, penulis juga menerapkan
kompetensi lain terkait peran perawat spesialis yang meliputi pemberian asuhan
keperawatan lanjut pada pasien kanker dan keluarganya, mengoptimalkan
pembelajaran klinik bagi sejawat, serta berperan aktif melalui program inovasi
yang berfokus pada pasien kanker.
Teori Peacefull End of Life (PEOL) bertujuan menyelesaikan permasalahan
kesehatan pasien. PEOL berarti hidup damai diakhir kehidupan. Konsep tersebut
meliputi : bebas dari rasa nyeri, merasa nyaman, merasa dihargai dan dihormati,
merasa damai, dan merasakan kedekatan dengan keluarga atau orang lain yang
bermakna serta peduli dalam kehidupan pasien (Tomey & Alligood, 2010). Tujuan
teori Peacefull End of Life bukan hanya memberikan perawatan yang baik dengan
menggunakan alat-alat yang canggih, tetapi lebih berfokus kepada perawatan yang
mengutamakan kenyamanan pasien serta memaksimalkan keterlibatan keluarga
dalam perawatan pasien. Sehingga diakhir
kematian dengan
kehidupannya, perasaan
pasien dapatdamai. Kualitas hidup
meningkatkan padahidup
kualitas konsepdan
ini menghadapi
didefinisikan
sebagai suatu kepuasan yang dapat dilihat melalui sembuhnya gejala dan
kepuasan hubungan interpersonal (Ruland & Moore, 2001 di dalam Tomey &
Aligood, 2010). Penulis memilih menggunakan teori peaceful end of life dalam
asuhan keperawatan pasien kanker karena teori tersebut sesuai dengan kondisi
yang dialami oleh pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit kanker Dharmais.
Peran perawat spesialis sebagai pemberi asuhan keperawatan dilaksanakan
dengan menerapkan teori Peacefull End of Life (PEOL) sebagai pendekatan
proses keperawatan dalam memanajemen pasien dengan masalah kanker, baik
pasien yang sedang menjalani terapi, pasien dengan kedaruratan onkologi maupun
pasien yang berada dalam tahapan palliative care. Pendekatan proses keperawatan
tersebut dilaksanakan secara dinamis dan berkesinambungan. Proses keperawatan
tersebut meliputi pengkajian, penyusunan intervensi, implementasi dan evaluasi
pada klien dengan berbagai kondisi, baik sehat maupun sakit sepanjang rentang
kehidupan. Penulis melakukan penerapan teori PEOL kepada 30 pasien kelolaan
dengan masalah kanker sebagai target kompetensi di dalam praktik residensi.
Selain melakukan asuhan keperawatan lanjut pada pasien kanker dan keluarganya,
penulis bersama kelompok residensi juga melakukan kegiatan inovasi dan
berperan aktif sebagai inovator. Program inovasi ini bertujuan untuk
mengimplementasikan ilmu baru yang harapannya dapat bermanfaat bagi tenaga
kesehatan khususnya perawat dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan di
rumah sakit. Adapun pelaksanaan kegiatan inovasi yang dilakukan berupa uji coba
penerapan format pengkajian MEWS (modified early warning score) di ruang IGD
RSK Dharmais. Penerapan inovasi tersebut dilatarbelakangi oleh kebutuhan rumah
sakit atas keberadaan suatu sistem informasi yang dapat memudahkan kerja
tenaga kesehatan terutama perawat dalam melayani pasien serta untuk
mengidentifikasi penurunan kondisi pasien secara dini di ruang IGD RSKD.
Banyak pasien yang memiliki risiko mengalami penurunan kondisi klinis secara tiba-
tiba yang disebabkan oleh gangguan pernapasan atau henti jantung hingga terjadi
kematian meskipun peralatan dan obat-obatan yang tersedia di
rumah sakit sangat memadai, dan biasanya untuk menangani masalah tersebut
rumah sakit telah memiliki rapid respon team (RRT) tersendiri (Jones, DeVita, &
Bellomo, 2011). Angka kejadian pasien yang mengalami cardiac arrest selama
masa perawatannya di rumah sakit sekitar 0,7% - 3%. Ketika hal ini terjadi
kondisi pasien akan semakin memburuk dan diperkirakan hanya 15 - 36% pasien
yang dapat diselamatkan (Nadkarni, Gregory & Marry 2006). Henti jantung
(cardiac arrest) biasanya didahului oleh tanda-tanda yang dapat diamati.
Beberapa studi menunjukkan banyak pasien yang memperlihatkan tanda-tanda
dan gejala kerusakan medis yang tidak ditangani secara optimal sebelum serangan
jantung terjadi Tanda-tanda ini muncul 6 sampai dengan 8 jam sebelum henti
jantung terjadi (Duncan & McMullan, 2012). Henti jantung ini dapat dicegah
melalui deteksi perburukan kondisi pasien dan penanganan perburukan sebelum
henti jantung terjadi, dan dalam hal ini aktivitas pemantauan rutin yang dilakukan
perawat merupakan hal yang penting untuk mendeteksi perburukan kondisi pasien
Hasil analisis praktek residensi Keperawatan Medikal Bedah ini diharapkan dapat
menjadi bahan acuan dalam pengembangan keilmuan Keperawatan Medikal
bedah.
Pendidikan Keperawatan
Sistematika pemenulisan karya ilmiah akhir terbagi menjadi bagian awal yang
berisi halaman sampul sampai dengan daftar lampiran, bagian inti terdiri atas 5
bab, dan bagian akhir yang berisi lampiran-lampiran. Adapun susunan bagian
inti sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan membahas tentang latar belakang
membuat penulisan ilmiah dan alasan pemilihan topik, tujuan penulisan, manfaat
penulisan dan sistematika penulisan; Bab 2 Studi Pustaka membahas konsep dan
atau teori dari berbagai sumber pustaka yang berhubungan dengan konsep kanker
payudara, konsep teori Peacefull End of Life (PEOL), konsep kemoterapi, konsep
mual muntah akibat kemoterapi, aromaterapi dan modified early warning score
(MEWS); Bab 3 praktek residensi berisi laporan mengelola kasus kanker mammae
dengan pendekatan PEOL, laporan 30 kasus kelolaan, pemberian intervensi
menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker mammae, dan penerapan modified early warning score
(MEWS) di unit gawat darurat RSK Dharmais; Bab 4 pembahasan tentang analisis
kasus kelolaan utama, analisis 30 kasus kelolaan, analisis hasil pelaksanaan EBN
dan inovasi penerapan MEWS di unit gawat darurat RSK Dharmais Jakarta; Bab 5
kesimpulan dan saran yang berisi tentang kesimpulan implementasi terhadap
peran perawat onkologi dan saran untuk perbaikan kegiatan
selanjutnya.
10
BAB 2
STUDI PUSTAKA
Bab ini membahas tentang berbagai literatur yang terdiri atas tinjauan teoritis dan
tinjauan empiris yang disajikan secara simultan. Tinjauan teoritis membahas
berbagai konsep yang berlandaskan pada berbagai teori tentang kanker payudara,
peaceful end of life, kemoterapi, konsep mual muntah akibat kemoterapi,
aromaterapi jahe dan Modified Early Warning Score (MEWS). Tinjauan empiris
akan menyajikan hasil-hasil penelitian sebelumnya baik kualitatif maupun
kuantitatif yang memperkuat teori yang telah dikemukakan.
Kanker Payudara
Definisi
Kanker, neoplasma, neoplasma ganas, dan tumor adalah istilah-istilah yang sering
digunakan silih berganti oleh tenaga profesional maupun masyarakat umum.
Padahal masing-masing istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Kata tumor
merujuk pada sebuah benjolan, massa, ataupun pembengkakan. Pembengkakan
tersebut dapat berupa keganasan maupun sekedar penumpukan cairan. Kata
neoplasma (berasal dari Bahasa Yunani neos, “baru”, dan plasis “bentuk”) diartikan
sebagai suatu massa jaringan abnormal yang tidak memiliki fungsi dan mungkin
berbahaya bagi penderitanya. Neoplasma terbagi menjadi dua
: benigna (jinak) dan maligna (ganas). Neoplasma benigna biasanya tidaklah
berbahaya dan tidak menyebar atau menginvasi jaringan lain. Tumor benigna tidak
mengisi suatu ruang. Namun apabila terdapat pada saluran vital atau organ dapat
berakibat fatal. Contohnya adalah tumor benigna otak. Neoplasma maligna adalah
suatu massa yang berbahaya, dapat menginvasi jaringan l sama lain dan
bermetastasis
2014). (menyebar) ke organ lain yang letaknya berjauhan (Black & Hawks,
Kanker payudara adalah salah satu tumor ganas yang paling sering
ditemukan pada wanita. Perubahan patologi yang terjadi di dalam sel dan jaringan
tubuh sebagai akibat kanker yang menyebar, penyebarannya melalui darah dan
pembuluh limfe ke daerah lain dari tubuh (Port & Matfin, 2005; American Cancer
Society, 2015). Sedangkan menurut Price dan Wilson (2005), kanker payudara
10 Universitas Indonesia
adalah kanker yang sering terjadi pada kaum wanita (diluar kanker kulit). Kanker
payudara memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang membatasi duktus
atau lobus payudara. Pada awalnya hanya terdapat hiperplasi yang kemudian
berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma.
2.1.2 Etiologi
Penyebab spesifik kanker payudara masih belum diketahui (Conzen,
Tatyana & Olopade, 2008; Desen, 2011; Black & Hawks, 2014). Beberapa faktor
risiko secara umum dijabarkan sebagai berikut :
Usia : Angka kejadian kanker payudara meningkat seiring bertambahnya usia. Data
melaporkan insiden kanker payudara meningkat pada usia di atas 50 tahun
(American Cancer Society, 2002). Hal serupa dilaporkan oleh Lewis (2007), angka
kejadian kanker payudara di bawah 25 tahun sangat sedikit dan meningkat secara
bertahap hingga usia 60 tahun.
Riwayat keluarga dan gen terkait kanker payudara BRCA-1 dan BRCA-2 : Riwayat
keluarga merupakan komponen yang penting dalam riwayat penderita yang akan
dilaksanakan skrining untuk kanker payudara. Terdapat peningkatan risiko
keganasan pada wanita yang keluarganya menderita kanker payudara. Faktor
genetik yang dimaksud adalah adanya mutasi pada beberapa gen yang berperan
penting dalam pembentukan kanker payudara. Gen yang dimaksud adalah
beberapa gen yang bersifat onkogen dan gen yang bersifat mensupresi tumor
(American Cancer Society, 2007). Penelitian menemukan pada wanita dengan
saudara primer seperti ayah/ibu, saudara perempuan ayah/ibu, kakak/ adik yang
menderita kanker payudara, probabilitas terkena kanker payudara lebih tinggi 2-3
kali dibanding wanita tanpa riwayat keluarga dengan kanker payudara
(Webb, 2002 & Dennis 2009). Pada wanita dengan mutasi gen BRCA-1
atau BRCA-2 akan membawa mutasi 50-90% pada keluarganya sehingga
akan meningkatkan angka kejadian kanker payudara dan kemungkinan
perkembangan kanker payudara sebelum usia 50 tahun (Lewis, 2011).
2.1.2.3 Karakteristik reproduktif yang berhubungan dengan risiko terjadinya
kanker payudara adalah menarche pada umur muda. Usia relatif muda
(kurang dari 12 tahun) saat pertama kali mendapatkan menstruasi dapat
Universitas Indonesia
usia 50 tahun berpeluang lebih besar terkena kanker payudara (Eliases, Colditz &
Rosner, 2006). Jing-Hui Wu et. al, (2013) melakukan penelitian case control untuk
membandingkan pola diet dengan risiko kanker payudara terhadap 98 pasien dan
103 pasien kontrol seusianya. Hasilnya menunjukkan bahwa daging dikaitkan
dengan risiko kanker payudara yang lebih tinggi, dan tingginya asupan lemak
mungkin berperan penting dalam hubungan ini. Penelitian lain menyebutkan
wanita yang setiap hari minum 2-3 gelas alkohol meningkatkan risiko terkena
kanker payudara 21%. Risikonya tergantung jenis dan dosis alkohol yang diminum
(Fentiman, 2001; Terry, Zhang & Kabat, 2006). Alkohol dianggap komponen dalam
jalur metabolisme produksi estrogen. Jadi, dengan meningkatkan tingkat sirkulasi
estrogen, alkohol dapat meningkatkan risiko kanker (Zhang, Lee & Manson, 2007).
2.1.3 Manifestasi Klinik
Tanda awal dari kanker payudara adalah ditemukannya benjolan yang terasa
berbeda pada payudara, jika ditekan, benjolan ini tidak terasa nyeri maupun perih,
awalnya benjolan ini berukuran kecil semakin lama semakin membesar dan
akhirnya melekat pada kulit atau menimbulkan perubahan pada kulit payudara
(peau d’orange) atau puting susu, puting susu masuk ke dalam (retraksi), bila
tumor sudah membesar, muncul rasa sakit yang hilang timbul, kulit payudara
terasa seperti terbakar, payudara mengeluarkan darah atau cairan lain tanpa
menyusui, adanya ulkus, payudara sering berbau dan mudah berdarah (Hasdianah
& Suprapto, 2014). Adanya rasa terbakar dan eritema pada kulit payudara dapat
berkaitan dengan inflamasi namun dapat juga mengindikasikan karsinoma
inflamatori. Jika tumor dicurigai berdasarkan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang lainnya sangat disarankan (Black & Hawks, 2014).
2.1.4 Pemeriksaan Diagnostik dan Diagnostik Banding
2.1.4.1 Anamnesis
Mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi, riwayat kelainan
payudara sebelumnya, riwayat keluarga dengan kanker, fungsi kelenjar tiroid,
penyakit ginekologik. Untuk riwayat penyakit sekarang perhatikan waktu
timbunya massa, kecepatan pertumbuhan, dan hubungan dengan haid.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi : (1) Inspeksi : amati ukuran dan kesimetrisan payudara,
perhatikan apakah ada benjolan tumor atau perubahan patologik kulit (misalnya
kemerahan, cekungan, edema, nodul, erosi, dll), perhatikan kedua papila payudara
apakah simetri, ada retraksi, distorsi, erosi, dll; (2) Palpasi : Umumnya dalam posisi
berbaring atau kombinasi duduk dan berbaring. Cara pemeriksaan rapatkan ke
empat jari, gunakan ujung jari putar palpasi lembut pada payudara, pijat areola
payudara, papila payudara perhatikan apakah keluar sekret dan bila ada buat
sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi, jika ada benjolan catat dengan rinci
lokasi, ukuran, konsistensi, kondisi batas, permukaan, mobilitas, dan nyeri tekan
dari benjelon tersebut. Palpasi aksila dan supraklavikular amati bila ada kelainan.
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan yaitu mamografi, USG, MRI
payudara dan pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan sitologi (aspirasi
jarum halus), pemeriksaan histologik (pungsi jarum mandrin) dan pemeriksaan
biopsi (Desen, 2011).
Mamografi : Kelebihan mamografi adalah dapat menampilkan nodul yang
Pemeriksaan laboratorium : Dewasa ini belum ada petanda tumor spesifik untuk
kanker payudara. CEA memiliki nilai positif bervariasi 20- 70%, antibodi
monoklonal CA 15-3 angka positifnya 33-60%, semuanya dapat digunakan untuk
referensi diagnosis dan tindak lanjut klinis.
Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus : Metode ini sederhana, aman, akurasi
mencapai 90% lebih. Data menunjukkan pungsi aspirasi jarum tidak mempengaruhi
hasil terapi.
2.1.5 Patofisiologi
Kanker payudara berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada sistem
duktal, mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan sel-sel atipik.
Sel-sel ini akan berlanjut menjadi carsinoma insitu dan menginvasi stroma.
Carsinoma membutuhkan waktu tujuh tahun untuk tumbuh dari sel tunggal
sampai menjadi massa yang cukup besar sehingga dapat diraba (kira-kira
berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira-kira seperempat dari kanker payudara
telah bermetastasis melalui sistem limfatik ke nodus limfatik aksila. Kanker dapat
bermetastase ke bagian lain yang jauh termasuk paru-paru, liver, tulang dan otak.
Sel kanker akan tumbuh terus-menerus dan sulit untuk dikendalikan. Kanker
payudara bermetastasis
melalui saluran limfe dandengan penyebaran
aliran darah langsung2005;
(Price & Wilson, ke Suryaningsih
jaringan sekitarnya
&
Sukaca, 2009; Black & Hawks, 2014).
2.1.6 Distribusi dan Klasifikasi
Dari seluruh kanker payudara sekitar 50% tumbuh pada kuadran lateral
atas, 10% pada ketiga kuadran lain dan 20% sub areolar (Black & Hawks, 2014).
2.1.6.1 Klasifikasi Patologik Kanker Payudara menurut WHO (2003) :
a. Karsinoma non invasif (Noninfiltratif)
1. Karsinoma in situ duktal : Prakanker noninvasif di mana sel-sel abnormal
ditemukan di dalam lapisan saluran payudara.
2. Karsinoma in situ lobular : Jenis kanker yang menyerang jaringan sekitar
payudara dan belum menembus dinding lobulus atau masih berada di
dalam kelenjar air susu. Karsinoma ini ditandai dengan pelebaran satu
atau lebih duktus terminal dan atau tubulus, tanpa disertai infiltrasi ke dalam
stroma. Sel-sel berukuran lebih besar dari normal, inti bulat kecil dan jarang
disertai mitosis.
Karsinoma papiliform intraduktal : Suatu kondisi medis yang ditandai dengan
pertumbuhan sel-sel yang menyerupai kutil dalam saluran air susu ibu yang kecil di
belakang areola (area gelap di sekeliling puting payudara), menyebabkan
timbulnya benjolan kecil di bawah areola dan sekret puting payudara yang
abnormal. Pada beberapa kasus, orang-orang dengan papiloma intraduktal dapat
merasa nyeri pada daerah yang benjol tersebut.
Karsinoma papiliform intrakistik : Pada karsinoma ini dijumpai daerah yang
berbentuk kista dengan dindingnya terdiri dari jaringan ikat fibrous.
Karsinoma mikroinvasif : Pada karsinoma mikroinvasif, disamping perubahan
derajat pertumbuhan sel meningkat, juga sel tumor menembus membrane basalis
dan invasive pada stroma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrane basalis
Karsinoma Invasif
Karsinoma duktal invasif : Karsinoma duktus infiltrative merupakan karsinoma
payudara yang paling umum terjadi. Secara histologist,
jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk bulat sampai
polygonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada tepi
tumor, tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar
seperti sarang, kawat atau seperti kelenjar.
2. Karsinoma lobuler invasif : Jenis ini merupakan karsinoma infiltrative
yang tersusun atas sel-sel berukuran kecil dan seragam dengan sedikit
pleimorfisme. Karsinoma lobular invasive biasanya memiliki tingkat
mitosis rendah. Sel infiltrative biasanya tersusun konentris disekitar
duktus berbentuk seperti target. Sel tumor dapat berbentuk signet-ring,
tubuloalveolar, atau solid.
d. Karisnoma tubular : Bentuk sel kanker ketika dilihat dibawah microskop
tampilannya lebih baik dari Invasive Ductal Carcinoma dan Invasive Lobular
Carcinoma.
kolumnar, dan sel-sel yang jelas dan sering menunjukkan pertumbuhan kistik
menonjol.
Karsinoma mesenkimal epitelial campuran : Kanker yang berasal dari campuran
jaringan epitel dan mesenkim.
Adenokarsinoma dengan metaplasia sel spindel : Karsinoma sarkomatoid yang
menyerupai gambaran soft tissue sarcoma.
Karsinoma lipoid : Karsinoma yang berasal dari jaringan lemak.
Karsinoma mammae inflamatorik : Tipe kanker payudara yang agresive. Kulit pada
payudara menjadi merah dan bengkak. Atau menjadi tebal/besar. Berbintik-bintik
menyerupai jeruk yang terkelupas. Ini dikarenakan oleh sel kanker yang memblock
pembuluh getah bening yang letaknya dekat permukaan payudara.
Penyakit paget papila mammae : Penyakit paget ditandai dengan gambaran eksim
unilateral, berbatas tegas pada papilla mammae yang merupakan metastasis
epidermal dari adenokarsinoma saluran kelenjar mammae. Mulanya berupa krusta
ertematosa atau keratolitik berbatas tegas, dan terasa gatal. Setelah beberapa
bulan atau tahun menjadi infitratif dan ulseratif.
2.1.6.2 Klasifikasi Tumor Nodul Metastase (TNM) menurut Smeltzer dan Bare
(2002) :
Tumor primer (T) :
T0 Tidak ada bukti tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor kurang dari 2 cm
T2 Tumor lebih dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm
T3 Tumor lebih dari 5 cm
T4 Perluasan kedinding dada, inflamasi
Stadium IIIB T4 N apa saja M0, bertahan hidup 5 tahun 44% pasien T apa saja N3
M0
Stadium IV T apa saja N apa saja M1, bertahan hidup 5 tahun 14% pasien
2.1.7 Penatalaksanaan Kanker Payudara
Ada beberapa penanganan kanker payudara yang tergantung pada stadium klinik
penyakitnya, yaitu pembedahan (operasi), radiasi, dan kemoterapi (Smeltzer, Bare,
Hinkle & Cheever, 2010; Desen, 2011; Black & Hawks, 2014; Hasdianah &
Suprapto, 2014). Operasi sering dilakukan pada pasien kanker payudara stadium I,
II dan III. Pada stadium ini kanker payudara dianggap
operabel dan sifat pengobatannya adalah kuratif. Pengobatan pada stadium I, II
dan IIIa adalah operasi primer, terapi lainnya bersifat adjuvan. Untuk stadium I, II
pengobatannya yaitu mastektomi radikal, mastektomi radikal modifikasi, dengan
atau tanpa radiasi dan sitostatika adjuvan. Jika kelenjar getah bening aksila
mengandung metastase maka diberikan terapi radiasi adjuvan dan sitostatika
adjuvan dengan tindakan operasi mastektomi total, mastektomi segmental dengan
diseksi kelenjar limfe aksilar dan mastektomi segmental dengan diseksi kelenjar
limfe sentinel. Jika kelenjar getah bening aksila tidak mengandung metastase,
maka terapi radiasi dan sitostatika adjuvan tidak diberikan. Stadium IIIa adalah
simpel mastektomi dengan radiasi dengan sitostatika adjuvant. Untuk stadiun
lanjut, yaitu stadium IIIb dan IV sifat pengobatannya adalah paliatif, yaitu
terutama untuk mengurangi penderitaan penderita dan memperbaiki kualitas
hidup. Untuk stadium IIIb atau yang dinamakan locally advanced pengobatan
utama adalah radiasi dan dapat diikuti modalitas lain yaitu hormonal terapi dan
2.2 Konsep Dasar dan Definisi dari Teori Peaceful End Of Life
Peaceful end of life theory merupakan salah satu teori keperawatan yang
dikembangkan oleh Cornelia M. Ruland dan Shirley M. Moore pada tahun 1998
dan termasuk kedalam kategori middle range theory (Fitzpatrick & McCarthy,
2014). Peaceful end of life theory sering digunakan dalam lingkup perawatan
paliatif dan masalah lain yang mengutamakan kedekatan keluarga serta
melibatkan orang yang bermakna dalam perawatan pasien sehingga
mengurangi
dapat gejala dan meningkatkan kepuasan pasien dalam berinteraksi dengan
orang lain. Proses keperawatan paliatif bukan bertujuan meningkatkan
kesembuhan tetapi lebih ditekankan untuk tujuan membebaskan pasien dari rasa
nyeri, memberikan perasaan nyaman, dihargai dan dihormati, damai, dan merasa
dekat dengan sesorang yang bermakna dalam kehidupannya (Tomey & Alligood
2010). Teori ini juga dapat diterapkan pada pasien kuratif yang masih berada pada
stadium awal sampai pada pasien yang penyakitnya sudah tidak responsif
terhadap pengobatan. Pasien diberikan perawatan secara komprehensif dengan
tujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara meringankan nyeri dan
penderitaannya, memberikan dukungan bio-psiko-sosio dan spiritual mulai dari
menetapkan diagnosa sampai mengantarkan pasien pada kematian yang damai
serta memberi dukungan terhadap keluarga yang sedang dalam keadaan berduka
(Tomey & Alligood 2010).
2.2.1 Konsep Utama Teori PEOL
Enam konsep utama teori PEOL yang dirumuskan oleh Ruland & Moore (1998),
yaitu : (1) memantau dan mengelola nyeri pasien dengan memberikan intervensi
farmakologi dan nonfarmakologi sebagai upaya dalam mengurangi nyeri, (2)
mencegah, memantau, menghilangkan dan mengurangi ketidaknyamanan fisik
dengan memfasilitasi istirahat, mengajarkan teknik relaksasi, memberikan
kepuasan dan mencegah komplikasi untuk membantu menciptakan kenyamanan
bagi pasien, (3) melibatkan pasien dan orang yang bermakna dalam kehidupan
pasien dalam pengambilan keputusan terkait perawatan pasien, memperlakukan
pasien dengan bermatabat, bersikap empati dan simpati, serta penuh perhatian
terhadap kebutuhan, keinginan dan hal-hal yang disukai pasien, (4) memberikan
dukungan emosional, memantau pernyataan pasien atas perasaan cemas terhadap
tindakan pengobatan yang dijalani, memonitor dan memenuhi kebutuhan pasien
akan obat anti cemas, membina hubungan saling percaya, menghadirkan pasien
lain yang dengan kondisi sama serta orang terdekat yang bermakna dalam
memberikan bimbingan terhadap masalah-masalah yang dihadapi pasien yang
berkaitan dengan rasa damai, (5) menfasilitasi dan melibatkan partisipasi orang
lain yang bermakna atau keluarga
dalam perawatan
menanggapi pasien, rasa
pertanyaan empati
pasien serta terhadap reaksipasien
memfasilitasi berduka, khawatir
untuk dan
lebih dekat
dengan keluarga dan orang yang merawat pasien (6) Pengalaman pasien terbebas
dari rasa nyeri, merasa nyaman, dihargai, dihormati, damai dan tenang serta dekat
dengan orang yang bermakna dapat membantu pasien menghadapi akhir
kehidupan yang penuh kedamaian (Tomey & Alligood 2010).
2.2.2 Penerapan Teori Peaceful End of Life
Sebagian besar keluarga dan pasien merasa terbebani dengan penyakit
kronis dan kondisi terminal. Kualitas dukungan dalam hidup yang terbaik adalah
suatu pertimbangan penting dalam perawatan (Lorenz, Lynn, Dy, Shugarman,
Wilkinson, Mularski & Shekelle, 2008). Menurut Ruland dan Moore (2001, dalam
Tomey & Alligood 2010), tahapan proses keperawatan lebih ditekankan pada
proses pengkajian dan intervensi yang bertujuan untuk menggali respons
klien
berdasarkan masalah utama dan pencapaian kualitas hidup. Tahapan tersebut
bersifat dinamis dan berkelanjutan. Aplikasi teori peaceful end of life pada asuhan
keperawatan klien kanker mengacu pada lima konsep utama yang merupakan
indikator pencapaian tujuan dari teori tersebut, yaitu:
2.2.2.1 Pengkajian Keperawatan
Nyeri adalah persepsi dalam kondisi sadar yang dihasilkan dari stres lingkungan.
International Association for the study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan, aktual ataupun potensial (IASP, 1996 dalam Black &
Hawks, 2014). Pengkajian nyeri dilakukan untuk mengevaluasi adanya keluhan
nyeri yang dirasakan oleh pasien meliputi keluhan utama, riwayat penyakit yang
diderita, sumber nyeri, karakteristik nyeri, lokasi nyeri, durasi nyeri, perilaku non
verbal yang mengindikasikasikan masalah nyeri, faktor yang mengurangi atau
memperberat nyeri, riwayat penggunaan analgetik (Kemp, 2010; Black & Hawks,
2014). Ada dua jenis pola nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri kronis
dibagi dalam tiga macam yaitu nyeri kronis persisten, nyeri kronis intemiten dan
nyeri kronis malignan (terkait kanker) (Black & Hawks, 2014).
Karena nyeri bersifat subjektif, dibutuhkan alat bantu untuk menilai tingkat nyeri
pasien. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk menilai tingkatan nyeri
pada orang dewasa yaitu VAS (Visual Analoge Scale). Dengan menggunakan alat
bantu tersebut nyeri kanker dapat dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu nyeri
(nilai VASringan ( nilai
7-10), VAS 1-3),
sedangkan nyeri
pada sedang ( dapat
anak-anak nilai VAS 4-6),danFace
digunakan nyeriPain
beratRating
Scale (Scale Wong-Baker FACES) (Campbell, 2009).
b. Pengkajian Rasa Nyaman
Perasaan nyaman diartikan sebagai perasaan terbebas dari rasa
ketidaknyamanan, merasa senang dan puas terhadap sesuatu serta merasa hidup
lebih mudah, damai dan menyenangkan (Ruland & Moore (1998) di dalam
Tomey & Alligood , 2010). Pengkajian rasa nyaman meliputi monitoring sumber
atau penyebab ketidaknyamanan pasien, yang membuat pasien tidak merasa puas
dan semua yang membuat hidup pasien sulit dan tidak nyaman misalnya keadaan
depresi terkait penyakit yang dideritanya yang dinyatakan tidak akan sembuh,
sesak napas, perasaan mengantuk yang disebabkan oleh proses penyakit, merasa
lelah, mual muntah karena proses penyakit maupun terapi, kurang nafsu makan,
dan kurang dukungan finansial, dalam hal ini teori Kolcaba menjadi landasan
dalam pengkajian rasa nyaman. VAS juga dapat digunakan sebagai alat bantu
dalam menilai rasa nyaman pada klien kanker. Misalnya dalam memonitor mual
pasien akibat kemoterapi. Skala VAS mual terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
mual ringan (nilai VAS 1-3), mual sedang (nilai VAS 4-6),dan mual berat (nilai VAS 7-
10) (Borjeson, Hursti, Peterson, Fredikson, Fürst & Lundqvist, 1997 dalam Lua,
Salihah, Mazlan, 2015).
Pengkajian Dihargai dan Dihormati
Setiap klien dengan masalah penyakit terminal ingin dihormati dan dihargai
sebagai manusia seutuhnya. Konsep ini menggunakan prinsip etik- autonomi dan
menghomati orang lain, dimana setiap individu memiliki hak untuk membuat
keputusan sendiri. Dalam menjalani perawatan seringkali pasien merasa lemah,
tidak berguna yang membuat pasien mengisolasi diri. Rasa kecewa, mudah
tersinggung biasanya mengawali perasaan tidak dihargai dan tidak dihormati pada
diri pasien. Pengkajian merasa dihargai dan dihormati dilakukan dengan
mengevaluasi kemampuan pasien dalam membuat keputusan sendiri, mengkaji
kebutuhan pasien terhadap keinginan dan pilihannya dalam proses perawatan.
Pengkajian Perasaan Damai
Damai diartikan sebagai perasaan tenang, harmonis dan puas, bebas dari
kecemasan, kegelisahan,
meliputi fisik, kekhawatiran
psikologis dan spiritual.
dan dimensi takut. ArtiPengkajian
damai dalamdamai
aspekdilakukan
ini
dengan cara mamantau kondisi emosional pasien, mengevaluasi kebutuhan pasien
akan obat anti kecemasan, memantau kebutuhan pasien dan keluarga akan
bimbingan praktis terhadap timbulnya masalah perawatan pasien.
e. Pengkajian Dekat dengan Orang yang Bermakna
Perasaan dekat merupakan perasaan tentang berhubungan dengan individu
lain yang bermakna dalam kehidupan pasien yang terlibat dalam proses perawatan
pasien. Kedekatan ini melibatkan fisik atau kedekatan emosional yang
diekspresikan dalam bentuk kehangatan, hubungan yang baik dengan keluarga,
sahabat, rekan kerja maupun masyarakat sekitar. Pasien selama dirawat
membutuhkan dukungan dan kunjungan orang-orang terdekat sehingga tidak
Hasil dari pengkajian akan teridentifikasi masalah yang terjadi pada pasien baik itu
masalah aktual maupun masalah potensial. Dengan pendekatan teori peaceful end
of life kemungkinan diagnosa keperawatan yang teridentifikasi adalah nyeri,
ansietas, ketidakefektifan bersihan jalan nafas, gangguan pemenuhan nutrisi,
intoleransi aktivitas, kerusakan mobilitas fisik, kerusakan integritas kulit, ansietas,
gangguan konsep diri, resiko infeksi, koping keluarga in efektif, isolasi sosial,
menarik diri, penampilan peran tidak efektif, kerusakan interaksi sosial dan lain-
lain.
Intervensi Keperawatan
Perasaan dihargai dan dihormati pada pasien dapat dilakukan dengan melibatkan
pasien dan orang lain yang bermakna dalam kehidupannya dalam setiap
pengambilan keputusan yang berhubungan dengan perawatan pasien, merawat
pasien dengan menjunjung harga dirinya, berempati, dan memberikan rasa hormat
serta memberikan perhatian terhadap ekspresi, kebutuhan pasien, keinginan dan
pilihannya.
Perasaan Damai
Teori PEOL yang terdiri dari lima konsep yang saling berkaitan, yaitu bebas dari
rasa nyeri, merasa nyaman, dihargai, damai dan dekat dengan orang yang
bermakna dalam kehidupan pasien. Kriteria proses dari setiap konsep tersebut
dapat digabungkan misalnya nyeri, kenyamanan dan damai dapat dijadikan satu
konsep yang sederhana dalam manajemen gejala fisik maupun psikologisnya.
Konsep nyeri dengan dua kriteria proses yaitu memantau dan menghilangkan rasa
sakit serta memberikan tindakan farmakologi dan non farmakologi memiliki
kedekatan hubungan dengan kriteria proses dari kenyamanan yang meliputi
pencegahan, pemantauan dan pengurangan rasa ketidaknyamanan fisik dan
kriteria proses dari kedamaian yaitu memonitor, memenuhi kebutuhan klien
selama perawatan anti cemas. Intervensi non farmakologis yang bisa dilakukan
misalnya terapi musik, humor, relaksasi, menghirup aromaterapi diberikan sebagai
distraksi pasien terminal dan sangat bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri,
kecemasan dan rasa ketidaknyamanan fisik secara umum. Penggabungan kriteria
proses tersebut memudahkan dan menyederhanakan jumlah intervensi yang
diberikan pada pasien. Gambaran
hubungan teori PEOL dapat dilihat pada skema di bawah ini :
30
Sumber: Ruland, C. M., & Moore, S. M. (1998) dalam Alligood & Tomey 2010
2.3 Konsep Kemoterapi
2.3.1 Definisi
Kemoterapi adalah terapi sistemik terhadap kanker sistemik (misal
leukemia, mieloma, limfoma, dll), dan kanker dengan metastase klinis maupun
subklinis (Desen, 2011). Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti
kanker (sitostatika) berbentuk pil, cair, kapsul atau melalui infus yang bertujuan
membunuh sel kanker diseluruh tubuh melalui mekanisme kemotaksis (Hasdianah
& Suprapto, 2014).
2.3.2 Prinsip Kerja Pengobatan Kemoterapi
Prinsip kerja pengobatan kemoterapi adalah dengan meracuni sel-sel kanker yang
bertujuan untuk membunuh, mengontrol pertumbuhan dan menghentikan
pertumbuhan sel-sel kanker agar tidak bermetastasis, atau untuk mengurangi
gejala-gejala seperti nyeri yang disebabkan oleh kanker (Desen, 2011). Kemoterapi
bersifat sistemik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat
setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin
sudah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (Yarbro, Wujcik, Gobel &
Holmes, 2010).
Penggunaan kemoterapi berbeda-beda untuk setiap pasien, kadang-kadang
sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau setelah
operasi atau radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbeda-beda
tergantung jenis kankernya (Iskandar, 2007; Desen, 2011). Sumber lain
menjelaskan kemoterapi bekerja secara langsung ataupun tidak langsung
mengganggu reproduksi sel dengan mengubah proses-proses biokimia yang
penting. Obat kemoterapi tertentu seperti golongan antimetabolit terhadap sel
dalam siklus proliferasi fase G1, S, G2 dan M lebih peka dibandingkan sel dalam
golongan
fase yaitu
statis G0. (1) obat
Menurut non spesifik
perbedaan efekterhadap siklus sel (Cell Cycle Non Specific
Agent/CCNSA)
atas berbagai fasedapat membunuh
multiplikasi sel fase
sel obat istirahat maupun
kemoterapi sel multiplikasi,
dapat dibagi menjadi dua(2)
obat spesifikasi siklus sel (Cell Cycle Specific Agent/CCSA) membunuh sel
multiplikasi lebih banyak dibanding sel statis (Desen, 2011). Hasil yang
diharapkan adalah terkontrolnya semua sel ganas. Beberapa eksperimen dan
pengalaman klinis menyatakan bahwa kebanyakan agen kemoterapi tidak
membunuh sel-sel kanker dalam sekali paparan. Oleh karena itu dosis atau siklus
kemoterapi berulang harus dilangsungkan (Black & Hawks, 2014).
2.3.3 Agen Kemoterapi pada Kanker
Kombinasi dua atau lebih obat sering digunakan sebagai agen kemoterapi.
Alasan dilakukannya terapi kombinasi adalah untuk menggunakan obat yang
bekerja pada bagian yang berbeda dari proses metabolisme sel, sehingga akan
meningkatkan kemungkinan dihancurkannya jumlah sel-sel kanker. Setiap obat-
obatan yang dipilih untuk kombinasi harus efektif melawan jenis kanker yang akan
diobati. Ketika dikombinasi, agen-agen kemoterapi merusak lebih banyak sel ganas
dan menimbulkan efek samping yang sedikit karena setiap obat mengenai sel
kanker pada tahap-tahap yang berbeda pada siklus sel (Black & Hawks, 2014).
Selain itu, efek samping yang berbahaya dari kemoterapi dapat dikurangi jika obat
dengan efek beracun yang berbeda digabungkan, masing-masing dalam dosis yang
lebih rendah dari pada dosis yang diperlukan jika obat itu digunakan tersendiri
(Iskandar, 2007).
Pada kanker payudara yang sifatnya lokal, kemoterapi adjuvan untuk kanker
stadium awal I dan II umumnya mengikuti intervensi bedah lokal dan meliputi
kombinasi cyclophospamide (Cytoxan), doxorubicin (Adriamycin), methotrexate
(Mexate), 5-Fluorouracil (5-FU), paxlitaxel (Taxol), dan docetaxel (Taxotere). Terapi
adjuvan (kuratif) standar untuk kanker payudara adalah enam siklus
cyclophospamide, methotrexate dan 5-Fluorouracil (CMF) serta empat siklus
doxorubicin dan cyclophospamide dengan methotrexate, 5-Fluorouracil atau
leucovorin (Wellcovorin). Terapi sistemik adjuvan umumnya tidak diberikan pada
klien dengan tumor terbesar berdiameter 0,5 cm atau kurang dan tanpa
keterlibatan nodus limfatik. Kemoterapi sitotoksik menggunakan CMF atau
cyclophospamide,
regimen doxorubicin
cyclophospamide, (AC) tepat 5-Fluorouracil
doxorubicin, untuk klien dengan
(CAF),nodus
ataunegatif.
hanyaBagi
klien yang dengan nodus positif regimen kemoterapi yang mengandung
anthracycline (doxorubicin) lebih disarankan. Tambahan paclitaxel dapat
diberikan pada klien dengan nodus positif yang status reseptor estrogennya
negatif. Bagi klien yang memiliki tumor dengan repseptor estrogen positif, terapi
hormon selama 5 tahun juga direkomendasikan. Terapi hormon yang dapat
diberikan dapat berupa tamoxifen saja, inhibitor aromatase saja, atau kombinasi
antara keduanya (Black &Hawks, 2014). Penelitian menunjukkan adanya manfaat
tambahan jika inhibitor aromatase digunakan segera, atau setelah 2 hingga 3
tahun pemberian tamoxifen, atau setelah menyelesaikan pemberian tamoxifen
selama 5 tahun (Buzdar & Cuzick, 2006).
Jika klien memiliki penyakit yang lebih luas (stadium IIIA dan IIIB) yang
prognosisnya kurang baik umumnya membutuhkan pendekatan yang lebih agresif.
Klien secara khas memiliki ukuran tumor >5cm, invasi langsung pada kulit payudara
atau dinding dada dan limfadenopati aksila yang terfiksasi. Umumnya klien ini
mejalani kemoterapi pra operasi dengan atau tanpa terapi hormon yang diikuti
dengan pembedahan dan radioterapi. Pendekatan alternatif meliputi penggunaan
kemoterapi kombinasi dosis tinggi, diikuti agen kombinasi tambahan yang juga
aktif pada kanker payudara. Tambahan paclitaxel setiap tiga minggu untuk empat
siklus yang dilakukan setelah rejimen standar doxorubicin (Adriamycin) dan
cyclophospamide setiap tiga minggu untuk empat siklus pada perempuan dengan
kanker payudara bernodus positif. Terapi adjuvan lain meliputi paclitaxel dan
antibodi monoklonal transtuzumab (Herceptin) (Black &Hawks, 2014). Beberapa uji
randomisasi terkontrol besar menunjukkan efektifitas transtuzumab dan paclitaxel
sebagai agen tunggal dan kombinasi untuk adjuvan kanker payudara dengan HER-2
positif (Piccart & Gebhart, 2005).
Tujuan Kemoterapi
Kemoterapi Kuratif
Kemoterapi paliatif hanya dapat digunakan untuk mengurangi gejala seperti nyeri
dan memperpanjang angka harapan hidup.
Kemoterapi Investigatif
Kemoterapi investigatif merupakan uji klinis dengan regimen kemoterapi baru atau
obat baru yang sedang diteliti. Untuk menemukan obat atau regimen baru dengan
efektivitas yang tinggi namun toksisitas rendah memang diperlukan adanya
penelitian terkait regimen kemoterapi.
2.3.5 Efek Samping Kemoterapi
berpengalaman untuk mencegah timbulnya efek samping yang serius, dan bila
terjadi efek samping dapat segera diatasi. Agar sel tubuh normal mempunyai
kesempatan untuk memulihkan dirinya, maka pemberian kemoterapi biasanya
harus diberikan dalam selang waktu 2-3 minggu sebelum dimulai lagi pemberian
kemoterapi berikutnya (Hendry, 2007).
Sumber lain menyebutkan terapi dengan sitostatika dapat menyebabkan
mielosupresi sehingga dapat menimbulkan risiko infeksi (neutropenia) dan
perdarahan (trombositopenia). Kerusakan pada membran mukosa menyebabkan
nyeri pada mulut, diare dan stimulasi zona pemicu kemotaksis yang menimbulkan
mual dan muntah (Davey, 2006). Semua kemoterapi bersifat teratogenik.
Beberapa obat menyebabkan toksisitas yang spesifik terhadap organ, seperti ginjal
(cisplatin) dan saraf (vinkristin). Perawatan suportif dengan antagonis 5-HT3, 5
Hidroksitriptamin (serotonin) dan steroid lebih mengatasi rasa mual (Davey, 2006).
Berikut contoh beberapa agen kemoterapi, cara kerja dan efek samping yang
ditimbulkan menurut (Hesketh, 2008) :
Dactinomycin : Cara kerja utamanya adalah mengikat DNA mencegah transkripsi
dan menghambat sintesis DNA. Efek samping mielosupresi, sensitizer radiaso,
stomatitis.
Cysplatine: Cara kerja yang utama yaitu menghambat sintesis DNA, efek samping
yaitu toksisitas renal, tuli, mielosupresi, mual, muntah.
Cycloposphamide : Cara kerja yaitu menghambat sintesis DNA. Efek samping yaitu
sistitis hemoragik, mielosupresi, mual, muntah, sekresi ADH tidak sesuai, alopesia,
karsinogenik.
Cytarabine : Cara kerja utama yaitu menghambat sintesis DNA, Efek samping yaitu
mielosupresi, mual, muntah, diare, demam, hepatotoksisitas, alopesia.
Daunorubicin dan doxorubicin : Cara kerja utama yaitu menghambat sintesis DNA,
Ribonucleic Acid (RNA) dan protein melalui interkalasi DNA. toksisitas jantung,
mielosupresi, alopesia, stomatitis, selulitis lokal akibat ekstravasasi, mual, muntah.
Etoposide : Cara kerja yaitu merusak DNA, menghambat sintesis mitosis.
Mual adalah akibat dari kondisi yang meningkatkan tekanan dinding lambung,
duodenum, atau esofagus bagian bawah akhir. Rangsangan yang tidak nyaman,
distensi, gastritis dan karsinoma lambung dapat mengakibatkan mual. Mual dapat
diikuti dengan muntah maupun tidak. Mual diakibatkan oleh rangsangan emetik
pusat (Black, 2014; Olver , Eliott & Koczwara, 2014). Menurut Kelly, (2013), mual
ditandai perasaan tidak menyenangkan yang mengawali keinginan untuk muntah,
disertai dengan gejala otonom (pucat, berkeringat, peningkatan produk saliva,
takikardia). Sedangkan muntah atau emesis, ditandai dengan kontraksi otot
abdomen, penurunan diafragma, dan pembukaan kardia lambung yang
menghasilkan pengeluaran yang kuat dari isi lambung melalui mulut (Garret, 2003;
Dipiro & Taylor, 2005; Kelly, 2013). Mual muntah akibat kemoterapi adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan presentasi mual, muntah, atau kombinasi
dari keduanya sebagai gejala terkait pemberian sitotoksik kemoterapi (Marx, Kiss,
Alexandra, McCarthy, McKavanagh & Isenring, 2016). Mual dan muntah terjadi
dalam tiga stadium
yaitu mual,2008).
Wilson, retching (gerakan dan suara sebelum muntah) dan muntah (Prince &
2.4.2 Etiologi Mual Muntah akibat Kemoterapi
Etiologi mual muntah dipengaruhi oleh masalah yang berbeda, oleh karena
itu cara mengatasinya juga berbeda, bisa sederhana atau bisa juga kompleks
(Dipiro & Thomas, 2005). Selain disebabkan oleh kemoterapi, mual muntah dapat
disebabkan oleh obstruksi usus, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, uremia,
obat (digitalis, opium) dan metastase otak (Anonim, 2014). Selain adanya potensi
emetik dari agen kemoterapi, adapula beberapa faktor risiko yang menyebabkan
mual muntah akibat kemoterapi. Faktor-faktor ini dapat dikategorikan ke dalam
dua kelompok utama yaitu faktor risiko terkait pengobatan dan faktor-faktor risiko
yang berhubungan dengan pasien (Rangwala et al., 2012). Umumnya,
dibandingkan dengan semua faktor prediktif lain, pemberian agen emetogenicity
intrinsik dari kemoterapi dianggap sebagai faktor dominan untuk terjadinya mual
dan muntah setelah kemoterapi (Hesketh, 2008). Faktor yang berkaitan dengan
pengobatan meliputi jenis kemoterapi (potensi emetogenitas), dosis obat
kemoterapi, jadwal dan rute pemberian (Hawkins & Grunberg 2009). Beberapa
agen kemoterapi dan risiko emetogenik dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Risiko Emetogenik dari Beberapa Agen Kemoterapi
Tingkat emetogenik Intravena Oral
High (emesis risk: Carmustine (BiCNU®), cisplatin, Hexamethylmelamine
>90% without dacarbazine (DTIC-Dome®), melphalan (Hexalen®),
antiemetics) (Alkeran®) (high dose), nitrogen procarbazine
mustard/mechlorethamine (Mustargen®), (Matulane®)
dactinomycin (Cosmegen®),
cyclophosphamide (Cytoxan®, Neosar®)
plus ananthracycline, cyclophosphamide
(>1500 mg/m2), streptozotocin
(Zanosar®)
Moderate (emesis Anthracyclines, carboplatin Cyclophosphamide,
risk: 30-90% without (Paraplatin®), carmustine (high dose), temozolomide
antiemetics) cyclophosphamide (< 1500 mg/m2), (Temodar®),
ifosfamide (Ifex®), irinotecan Etoposide
(Camptosar®), methotrexate (Toposar®,VePesid®,
(Rheumatrex®,Trexall®) (high dose), Etopophos®),
oxaliplatin (Eloxatin®), vinorelbine
topotecan (Hycamtin®) (Navelbine®),
imatinib (Gleevec®,
Glivec®)
Low (emesis risk: 10- Etoposide, 5-fluorouracil Capecitabine
30% without antiemetics) (Adrucil®),gemcitabine (Gemzar®), (Xeloda®),fludarabin
mitoxantrone (Novantrone®) (< 12 e (Fludara®),tegafur-
mg/m2), taxanes, vinblastine uracil (Uftoral®)
(Alkaban- AQ®,Velban®) , etoposide, sunitinib
vinorelbine (Navelbine®), methotrexate (Sutent®), everolimus
(Rheumatrex®,Trexall®) (> 100 (Afinitor®), lapatinib
mg/m2) (Tykerb®),
lenalidomide
(Revlimid®),
thalidomide
(Thalomid®
)
Minimal (emesis risk: < Bortezomib (Velcade®), hormones, vinca , Chlorambucil
10% without alkaloids, bleomycin (Blenoxane®) (Leukeran®),
antiemetics) (Oncovin®,Vincasar PFS®) melphalan (Alkeran®),
busulfan (Busulfex®, Myleran®), erlotinib
vinblastine (AII<aban- (Tarceva®),
AQ®,Velban®), vincristine methotrexate,gefitinib
(Iressa®), sorafenib
(Nexavar®),
hydroxyurea
(Hydrea®,
DroxiaTM®,
Mylocel®), sunitinib,
L-phenylalanine
mustard, 6-
thioguanine
(Tabloid®)
Sumber : Jordan et al., 2007; Herrstedt & Roila, 2009; Roila et al., 2010
2.4.3 Faktor Risiko Mual Muntah
Sedangkan faktor risiko mual muntah yang berhubungan dengan pasien
meliputi usia muda, jenis kelamin perempuan, riwayat mual muntah, morning
sickness dan riwayat konsumsi alkohol (Booth, Clemons, Dranitsaris, Joy, Young
& Callaghan, 2007; Hesketh, Aapro, Street & Carides, 2010). Selain faktor risiko
di atas Feyer dan Jordan, (2011), menambahkan bahwa kecemasan, riwayat
motion sickness, riwayat hiperemesis gravidarum juga menjadi faktor risiko mual
muntah akibat kemoterapi. Berikut penjabaran faktor risiko dari mual muntah
menurut beberapa sumber :
2.4.3.1 Usia : Beberapa penelitian mengemukakan lebih mudah untuk mengontrol
emesis pada pasien dalam usia lanjut. Pada pasien yang lebih muda
biasanya ada kecendrungan untuk perkembangkan kearah reaksi distonik
akut. Pasien yang berusia kurang dari 50 tahun yang mendapat kemoterapi
dengan potensi emetik dan mengalami gangguan mual muntah setelah
pengobatan sebelumnya, berisiko mengalami mual muntah antisipator
(Morrow & Dobkin, 2002). Pada penelitian lain didapatkan bahwa pasien
anak dan orangtua melaporkan kejadian mual muntah lebih berat pada
penggunaan cyclophosphamide dibandingkan dengan Antrasiklin. Dalam
penelitian tersebut juga dilaporkan remaja lebih berat mengalami mual
muntah daripada anak-anak dan perempuan dilaporkan lebih berat
mengalami mual muntah dibandingkan laki-laki (Lebanon, 2006).
2.4.3.2 Jenis kelamin : Lebih sulit untuk mengontrol emesis pada wanita dari pada
laki–laki yang diberikan kemoterapi yang sama termasuk dalam dosis dan
frekuensi pemberiannya. Kemungkinan karena pengaruh hormon, wanita
lebih berisiko mengalami mual muntah dari pada laki-laki (Thompson,
1999 dalam Garret et al., 2003).
2.4.3.3 Riwayat emesis tidak terkontrol : Emesis yang sulit dikontrol sebelum
penggunaan kemoterapi akan menyebabkan pasien lebih sulit untuk
Mekanisme mual muntah akibat kemoterapi belum sepenuhnya dipahami. Hal ini
disebabkan mekanisme yang berbeda bertanggung jawab untuk mual dan
muntah di fase yang berbeda. Selanjutnya, mekanisme satu agen kemoterapi
mungkin berbeda dengan agen lain. Mual muntah setelah pemberian kemoterapi
dirangsang melalui efek pada sejumlah situs. Mekanisme yang terbaik
melibatkan efek pada usus kecil bagian atas (Hesketh, 2008). Setelah pemberian
kemoterapi, sel enterochromaffin (dalam usus) distimulasi, yang mengarah ke
lokal rilis exocytotic serotonin (5-HT), yang kemudian berinteraksi dengan
kemoreseptor 5-HT3, yang terletak di saraf vagus di dinding usus (Bakeret et al.,
40
mual dan muntah melalui interaksi dengan daerah postrema (AP) dalam kompleks
dorsal vagal. Sumber potensial lainnya jalur eferen termasuk struktur di lobus
temporal, seperti amigdala (Hesketh, 2008).
Sumber lain menjelaskan muntah diinduksi oleh berbagai zat kimia, obat sitostatik
dan diperantai melalui CTZ (Schein, 1997). CTZ terletak di pembuluh area postrema
pada permukaan otak. CTZ dapat bereaksi secara langsung terhadap substansi
dalam darah. CTZ dapat diaktifkan oleh sinyal dari lambung dan usus kecil
sepanjang saraf vagal aferen atau oleh aksi langsung dari komponen emetogenik
yang dibawa dalam darah (obat anti kanker, opioid) (Garret et al., 2003). Obat-obat
kemoterapi menstimulasi enterochromaffin dalam sistem pencernaan
menyebabkan sel-sel di usus melepaskan serotonin yang mengaktivasi reseptor
serotonin. Aktivasi reseptor mengaktifkan jalur aferen vagal yang kemudian sensasi
ini diteruskan dan mengaktivasi pusat muntah di otak yaitu di medulla oblongata,
akhir dari proses yang komplek ini ditandai dengan filorus yang mengalami
relaksasi, yang memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak
menuju lambung, akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi
regurgitasi isi lambung melalui esophagus dan faring (Baker, 2005; Hesket, 2008;
Kelly, 2013).
Gambar 2.1 Mekanisme Mual Muntah
Sumber : Moradian & Howell (2015)
2.4.5 Tipe Mual Muntah akibat Kemoterapi
2.4.5.1 Mual muntah akut, biasanya terjadi saat pemberian sitostatika tanpa
pengobatan antiemetik. Mual muntah akut adalah mual dan/atau muntah
dalam 24 jam pertama setelah pemberian kemoterapi (Jordan, Sippel &
Schmoll, 2007; Schwartzberg, 2007). Muntah, dengan tidak adanya
profilaksis antiemetik yang efektif, paling sering dimulai dalam waktu 1-2
jam kemoterapi, dan biasanya memuncak dalam 4-6 jam pertama (Dewan
et al., 2010).
2.4.5.2 Mual muntah tertunda menggambarkan keterlambatan mual muntah akibat
penggunaan terapi sitostatika cisplatin. Terjadi setelah 24 jam setelah
pemberian terapi (Hesketh, 2005). Terlepas dari rejimen yang digunakan,
frekuensi dan jumlah episode mual dan muntah mungkin lebih sedikit
dalam fase tertunda, dibandingkan dengan mual muntah akut. Namun,
mual muntah tertunda, lebih sulit dikelola daripada mual muntah akut
(Grunberg, 2004; Dewan et al., 2010).
2.4.5.3 Antisipator mual muntah, terjadi pada pasien yang merasa mual atau rasa
tidak enak diperut dan cemas sebelum obat sitostatika diberikan. Mual
muntah antisipator sering terjadi pada pasien yang memiliki pengalaman
mual muntah yang tidak terkontrol selama program kemoterapi
sebelumnya (Schwartzberg, 2007).
2.4.6 Dampak Mual Muntah akibat Kemoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 90% dari semua pasien
dengan mual dan/atau muntah akut atau tertunda atau keduanya melaporkan
bahwa hal itu berdampak pada kehidupan sehari-hari mereka. Mual muntah akibat
kemoterapi memiliki dampak negatif pada fisik, kognitif, sosial, emosional dan
fungsi peran (Martin et al., 2003; Bergkvist & Wengstrom, 2006). Penelitian lain
melaporkan bahwa mual memiliki dampak negatif lebih kuat daripada muntah
pada kualitas hidup (Foubert & Vaessen, 2005). Selain itu mual muntah juga
berdampak pada status gizi, kualitas hidup pasien dan tingkat kepatuhan pasien
dalam menjalani pengobatan (Ballatori, Roila & Ruggeri, 2007; Ferna´ndez, Caloto
& Chirveches, 2012; Davidson, Teleni & Muller, 2012).
Terapi Mual dan Muntah
Secara garis besar terapi yang digunakan meliputi 2 macam, yaitu :
Obat ini merupakan lini pertama yang digunakan dalam penanganan mual muntah
akibat kemoterapi. Mekanisme kerjanya adalah dengan memblokade reseptor
dopamin di area postrema (CTZ dan pusat muntah) digunakan untuk mengobati
mual muntah karena kemoterapi dengan emetogenisitas ringan. Fenotiazin yang
diberikan secara IV memiliki efikasi yang lebih baik dibandingkan pemberian secara
peroral. Contoh obat golonganini misalnya : proklorperazin, klorpromazin,
perphenazine, thiethylpirazine dan promethazine. Efek samping yang sering timbul
adalah sedasi, akathisia, hipotensi, dan reaksi diastonik.
Kortikosteroid
reseptor dopaminergik di CTZ dan dapat digunakan untuk segala macam klasifikasi
dari mual muntah akibat kemoterapi. Efek samping yang sering muncul adalah
diare, reaksi ekstrapiramidal, sedasi, dan hipotensi.
Antagonis Reseptor Neurokinin
Obat golongan ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan SSRI dan
kortikosteroid untuk mencegah mual muntah akut dan tunda, misalnya aprepitant
dan fosaprepitant. Obat-obat ini diyakini bertindak terpusat dalam CTZ dengan
menghambat tindakan neuropeptida yang dikenal sebagai zat P60.
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Efek samping yang paling sering timbul adalah kantuk, mulut kering, dan sedasi.
Contoh obat golongan ini adalah difenhidramin, dan hidroksizin.
h. Benzodiazepin.
Mekanisme antiemetik dari obat golongan ini belum dapat diketahui secara pasti.
Efek samping yang paling sering dari obat ini adalah sedasi, pandangan kabur, dan
amnesia. Lorazepam merupakan yang paling sering digunakan dari golongan ini,
walaupun midazolam dan diazepam juga dapat digunakan. Benzodiazepin biasanya
digunakan untuk aktivitas emetogenik yang ringan atau dipilih sebagai terapi
profilaksis dalam penanganan mual dan muntah akut dan antisipatif (Dipiro, 2009).
2.4.7.2 Penanganan Mual muntah secara non Farmakologis
Selain teknik farmakologis yang telah diuraikan di atas, ada beberapa teknik
nonfarmakologis yang termasuk dalam terapi komplementer yang dapat digunakan
untuk mencegah atau mengatasi mual muntah akibat kemoterapi meliputi
penyesuaian asupan makanan dan cairan, relaksasi, olahraga, hipnosis,
biofeedback, pencitraan terarah, desensitasi sistemis, dan inhalasi aromaterapi
(Black & Hawks, 2014). Hal serupa disampaikan oleh Marx et al., (2016) bahwa
terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi mual muntah akibat kemoterapi
diantaranya pengaturan gaya hidup dan diet, sumplementasi jahe dan terapi
Aromaterapi
Pengertian Aromaterapi
Aromaterapi klinis digunakan oleh dokter, terapis pijat, praktisi perawat, terapis
okupasi, dan petugas kesehatan lainnya (Cordell & Buckle, 2013). Aromaterapi
berasal namanya dari kata aroma, yang berarti aroma atau bau dan terapi yang
berarti pengobatan. Terapi ini merupakan cara alami penyembuhan pikiran, tubuh
dan jiwa seseorang (Worwood, 2000). Menurut Hines, Steels, Chang & Gibbons
(2012), aromaterapi adalah praktik menghirup uap minyak atsiri/esensial atau zat
lain untuk mengobati atau meringankan gejala fisik dan/atau emosional. Hal
serupa disampaikan oleh Buckle (2014), aromaterapi merupakan penggunaan
minyak esensial yang diperoleh dari tanaman aromatik, untuk sifat terapeutik yaitu
penanganan yang meliputi masalah psikologis, tubuh, dan motivasi.
Manfaat Aromaterapi
Tsang, Leung & Cheung, 2011). Studi lain tentang penggunaan aromaterapi pada
pasien kanker, dari 160 pasien kanker yang ikut serta dalam penelitian melaporkan
bahwa aromaterapi berpengaruh dalam penurunan kecemasan di 65% pasien,
sedangkan 47% pasien menyatakan bahwa aromaterapi menurunkan efek mual
muntah (Stringer & Donald, 2011). Penelitian RCT lain melaporkan bahwa
aromaterapi telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap hipertensi dan
secara signifikan mengurangi tekanan darah sistolik dan diastolik (Hur, Lee, Kim &
Ernst, 2012).
Klasifikasi Aromaterapi
Aromaterapi dapat digunakan melalui beberapa cara menurut Ali, Naser, Saiba,
Aftab, Shah dan Anwar, (2015) yaitu melalui:
Aromaterapi Kosmetik
Terapi ini menggunakan minyak esensial tertentu untuk produk kosmetik kulit,
tubuh, wajah dan rambut. Produk ini digunakan berfungsi sebagai pembersih,
pelembab, pengeringan dan toning. Kulit yang sehat dapat diperoleh dengan
penggunaan produk minyak esensial pada wajah, kaki dan tangan serta badan,
atau dapat digunakan untuk mandi yang menjadi cara efektif dan sederhana.
Demikian pula, beberapa tetes minyak dapat memberikan peremajaan
dan perevitalisasian (Ziosi, Manfredini, Vertuani, Ruscetta, Radice & Sacchetti,
2010).
2.5.3.2 Aromaterapi Pijat
Terapi aroma dengan cara dipijat, merupakan cara yang sangat digemari
untuk menghilangkan rasa lelah pada tubuh, memperbaiki sirkulasi darah dan
merangsang tubuh untuk mengeluarkan racun serta meningkatkan kesehatan
pikiran. Aromaterapi apabila digunakan melalui pijat dapat dioleskan langsung
diatas kulit. Sebelum menggunakan minyak tersebut perlu diperhatikan adanya
kontraindikasi maupun adanya riwayat alergi (Basch et al., 2004). Beberapa
minyak aromaterapi yang bisa digunakan untuk pijat yaitu anggur, almond dan
lidah buaya (Soden, Vincent, Craske, Lucas & Ashley, 2004; Chang, 2008)
2.5.3.3 Aromaterapi Medis
Pendiri aromaterapi yang modern Rene-Maurice Gattefosse
telah menggunakan minyak esensial untuk memijat pasien selama operasi,
cm antara liontin dan lubang hidung (Luaa, Salihah & Mazlan, 2015), (4)
aromaterapi melalui penyemprotan atau minyak sprai dari minyak yang telah
dipilih sebanyak 100 ml dengan menggunakan botol yang memiliki alat
penyemprot kemudian semprotkan pada tubuh sebagai penyegar (Mackinnon,
2004).
Cara kerja aromaterapi inhalasi dimulai dari organ hidung sebagai organ penghidu
yang mendeteksi aroma. Proses menghidu dimulai dengan proses penerimaan
molekul bau oleh olfactory epithelium yang merupakan reseptor terdiri dari
puluhan juta saraf pembau. Pada saat minyak aromaterapi dilepaskan ke udara,
minyak akan masuk melalui hidung dan akan mencapai nostril pada dasar hidung,
sebelum molekul aromaterapi menempel pada silia sel olfactorius, odoran tersebut
dapat larut dalam mucus yang melapisi silia tersebut. Untuk dapat larut dalam
mucus maka minyak aromaterapi harus bersifat hidrofilik. Struktur dari minyak
esensial ini memiliki sifat yang hidrofilik sehingga dapat larut dalam mucus. Di
bawah mucus pada epitel olfactory, reseptor khusus yang disebut sebagai neuron
reseptor olfactory mendeteksi adanya bau. Setiap sel olfactory hanya memiliki satu
jenis reseptor bau (odorant reseptor/ OD), dan satu reseptor hanya mampu
mendeteksi jumlah terbatas bahan-bahan bau, seperti sel-sel
bau akan
pembau kitaberikatan dengan OD, sehingga
sangat terspesialisasi sejumlahdapat
kecil menyebabkan aktivasi dari
bau. Untuk selanjutnya protein
molekul
G yang kemudian mengaktivasi enzim adenilsiklase dan mengaktifkan cAMP.
Pengaktifan cAMP membuka kanal Na sehingga terjadi influks natrium dan
menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini kemudian
menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan di transmisikan ke
hipotalamus (Guyton, 2006).
Sinyal pada sel mitral yang berada di bulbus olfaktorius menjalar menuju
traktus olfaktorius media dan area olfaktorius lateral. Area olfaktorius lateralis
membawa akson-akson ke area olfaktorius pada korteks serebri, yang disebut
sebagai area periamygdaloidea dan area peripirformis dan area ini dikenal sebagai
area olfaktorius primer (pusat penghidu pada korteks serebri) pada lobus
temporalis bagian inferior medialis. Aktivasi daerah ini menyebabkan adanya
kesadaran terhadap bau tertentu yang dihirup. Selain itu area olfaktorius lateralis
ini akan membawa informasi ke sistem limbik dan hipokampus. Sedangkan area
olfaktorius medial terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior dari
hipotalamus. Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang kemudian
berproyeksi ke hipotalamus dan sistem limbik (Guyton, 2006). Sinyal yang
dihasilkan dari inhalasi aromaterapi akan diterima oleh sistem limbik dan
hipotalamus. Sistem ini akan mengirim pesan kepada otak untuk melepaskan
serotonin dan endorpin untuk dihubungkan dengan sistem saraf tubuh lainnya
sehingga menimbulkan perasaan nyaman sesuai yang diharapkan pikiran dan
tubuh manusia (Krishna, Tiwari & Kumar, 2000)
2.5.3.5 Psiko Aromaterapi
diambil dari seluruh bagian tanaman; jahe, jasmine, bunga jeruk, mawar, ylang-
ylang diambil dari akar dan bunga (Battaglia, 2004).
2.5.4.1 Diskripsi Tanaman Jahe
Zingiber officinale atau lebih dikenal sebagai rimpang jahe merupakan
salah satu herbal yang terkenal karena perannya sebagai agen penyedap makanan
di Asia dan India. Sejak abad ke-16, jahe telah digunakan untuk mengobati
berbagai penyakit medis dan kondisi, termasuk migrain, radang sendi,
gingivitis, stroke, maag, sembelit, diabetes, influenza dan mual. Pada tahun 1807,
William Roscoe, seorang ahli botani Inggris, menamai tanaman jahe "Zingiber"
yang berasal dari kata Sansekerta dan berarti "berbentuk tanduk". Zingiber
officinale merupakan tumbuhan dari suku Zingiberaceae yang terdiri lebih dari
1200 spesies tanaman dalam 53 genera yang berbeda (Shukla & Singh, 2007; Ali,
Blunden, Tanira, 2008). Zingiber officinale merupakan tanaman dengan beberapa
kandungan gizi di dalamnya. Jahe mempunyai kegunaan yang bervariasi antara lain
sebagai rempah-rempah, aroma dan obat herbal (Kumar, 2011).
2.5.4.2 Kandungan Kimia jahe
Jahe terdiri dari minyak atsiri (1-3%) dan senyawa tajam nonvolatile. Penyusun
utama dari jahe segar adalah senyawa homolog fenolik keton yang dikenal sebagai
gingerol. Gingerol sangat tidak stabil dengan adanya panas dan pada suhu tinggi
akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas dan tajam dibandingkan
gingerol. Shogaol merupakan penyusun utama pada jahe kering (Mishra et al.,
2009). Jahe kering mengandung minyak esensial atau atsiri 1%- 3%, oleoresin 5%-
10%, pati 50%-55%, kadar air 7%-12% dan jumlah kecil protein, serat, lemak dan
abu (Eze dan Gabo, 2011). Kandungan minyak atsiri/esensial 1%-3% merupakan
faktor yang mempengaruhi aroma jahe. Jahe
segar kadar
2008). airnya 94%,
Zingiber 17% nya
officinalis mengandungkarbohidrat,
mengandung gingerol 21,15 mg/gserat
lemak, (Ali et al.,energi
dan
dengan persentase yang tinggi (Hussain, 2010).
2.5.4.3 Manfaat Jahe
Jahe mengandung senyawa kimia seperti oleoresin, geranial, neral, b-
fellandren, sineol, borneol, bisabolen, zingiberene, gingerol, shogaol, diterpenes,
lypids, protein, pati dan vitamin yang mempunyai sifat dapat mengobati. Karena
hal tersebut tanaman jahe memperoleh perhatian besar digunakan sebagai
suplemen makanan di Inggris, Amerika dan Eropa. Tanaman ini dilaporkan
memiliki efek anti inflamasi, antimikroba, anti kanker, anti diabetes, anti
lipidemik dan antiemetik (Bhagavathula, Warner & DaSilva, 2009). Selama lebih
dari 2.500 tahun, rimpang jahe (Zingiber officinale) telah digunakan untuk
mengobati gangguan pencernaan, serta nyeri sendi dan otot (Alparslan &
Ozkarman, 2012).
Berdasarkan review artikel dari beberapa peneliti yang dilakukan oleh Banerjee
(2011) manfaat jahe berpengaruh terhadap sistem kardiovaskular yaitu membantu
untuk mengurangi tekanan darah dan beban kerja jantung, memberikan bantuan
terhadap serangan sakit kepala, mengurangi mual muntah, antiinflamasi,
menghambat pertumbuhan bakteri, menekan pertumbuhan sel-sel kanker pada
usus besar dan masih banyak manfaat lain dari jahe. Kandungan air dan minyak
tidak menguap pada jahe berfungsi sebagai enhancer yang dapat meningkatkan
permeabilitas oleoresin menembus kulit tanpa menyebabkan iritasi atau kerusakan
hingga ke sirkulasi perifer (Swarbrick & Boylan, 2002).
Kandungan didalam jahe yang berupa zingirol, zingiberol, zingiberena (zingirona),
bisabilena, flandrena, vitamin A, dan kurkumen dapat memblok serotonin yaitu
suatu neurotransmitter yang disintesiskan pada neuro-neuro serotonergis dalam
sistem saraf pusat dan sel-sel enterokromafin yang dapat memberikan perasaan
nyaman sehingga dapat mengatasi mual muntah (Ahmad, 2013). Ryan, Heckler,
Rosco, Dakhil, Kirshner, Flynn, Hickok dan Morrow, (2009) dari University of
Program Clinical Oncology Pusat Kanker Rochester Community (URCC CCOP) di
Amerika meneliti tentang manfaat jahe pada pasien kanker yang menerima
kemoterapi dengan metode random double blind
signifikan
pada mengurangi
644 pasien. mual
Penelitian akut yang disebabkan
ini menyimpulkan kemoterapi. jahe
bahwa suplementasi Beberapa
secarabukti
ilmiah lain yang tersedia terkait dengan inhalasi aromaterapi juga menyarankan
bahwa inhalasi uap peppermint atau minyak esensial jahe tidak hanya
mengurangi kejadian dan tingkat keparahan mual muntah tetapi juga digunakan
sebagai persyaratan antiemetik yang memuaskan serta perlu ditingkatkan dalam
pemanfaatannya (Lua & Zakaria, 2012). Temuan lain tentang rimpang jahe,
Zingiber, secara resmi dalam sejarah telah digunakan di negara-negara Asia,
khususnya di Cina dan India selama ratusan tahun sebagai bahan penyembuhan
untuk berbagai kondisi seperti sakit kepala, mual, rematik dan pilek. Dalam
penelitian ini juga dilaporkan efektivitas jahe terhadap berbagai kondisi nausea
termasuk mual muntah akibat kehamilan dan pasca operasi (White, 2007).
Menghirup aromaterapi jahe juga dianjurkan sebagai teknik yang efektif
dan mudah yang dapat diterapkan secara mandiri oleh para perawat kepada para
pasien dalam masa kemoterapi guna mengurangi intensitas mual muntah (Luaa,
Salihah & Mazlan, 2015). Petugas medis juga telah menyarankan jahe digunakan
untuk mengatasi mual yang berhubungan dengan morning sickness, pasca operasi
dan kemoterapi pada pasien kanker (Julie & Gary, 2010).
2.5.4.4 Hasil Olahan Jahe
Jahe dapat dibuat berbagai produk yang bermanfaat dalam menunjang industri
obat tradisional, farmasi, kosmetik, makanan atau minuman. Jahe biasanya diolah
dalam bentuk segar, bubuk kering, bubuk dikemas atau ekstrak cair, irisan
diawetkan dalam sirup, dikeringkan dan diawetkan dengan lapisan gula (jahe
kristal/permen jahe) atau sebagai aroma/penyedap rasa (Ali et al., 2008). Hasil
olahan jahe yang lain berupa minyak atsiri atau essential oil (Mucklas dan Slameto,
2008). Minyak atsiri banyak digunakan di berbagai industri, seperti industri parfum,
kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent. Bahkan saat ini dikembangkan
penyembuhan penyakit dengan aromaterapi, yaitu dengan menggunakan minyak
atsiri/esensial yang berasal dari tanaman. Minyak atsiri yang disuling dari jahe
berwarna bening sampai kuning tua bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama
penyulingan dapat berlangsung sekitar 10–15 jam, agar minyak dapat tersuling
semua. Kadar minyak atsiri dari jahe sekitar
1,5%–3% (Ahmad, 2013).
2.5.4.5 Penggunaan Aromaterapi Jahe pada Praktik Klinik
Berdasarkan sejarah, dasar aromaterapi dan aromatologi tak terpisahkan
dengan pengembangan tanaman obat dan obat-obatan modern. Aromaterapi
adalah istilah yang diciptakan pada tahun 1920 oleh seorang ahli kimia Perancis
bernama Gattefosse, namun kemudian terapi minyak esensial dipisahkan dari
fitoterapi. Saat itu tidak ada masalah dalam menggunakan minyak esensial
sehari-hari secara eksternal, internal, atau diencerkan. Bahkan sejak saat itu, di
Perancis, praktek dari semua metode menggunakan minyak esensial berefek
positif. Di Perancis, minyak esensial dikelola secara internal oleh dokter medis
dan fitoterapis sebagai metode yang sangat efektif untuk mengobati gangguan
pencernaan dan dari sistem ekskretoris. Aplikasi topikal (bukan pijat), inhalasi
dan kompres adalah metode yang paling umum digunakan dipraktekkan di
Perancis. Aromaterapis menggunakan minyak esensial (sari tumbuhan alami)
Selama dekade terakhir, jahe terbukti sebagai anti kanker yaitu bekerja dalam
mencegah inisiasi, promosi, dan perkembangan berbagai jenis kanker (Shukla &
Singh, 2007; Kundu, Na, Surh, 2009). Jahe telah menghambat aktivasi NF-kB dan
menekan ekspresi gen NF-kB- yang diinduksi oleh karsinogen (Shukla & Singh,
2007). Efek kemopreventif jahe telah diamati pada binatang untuk kanker kulit,
payudara, dan usus besar. (Nagasawa, Watanabe & Inatomi, 2002; Surh, 2003;
Murakami, Tanaka & Lee, 2004; Shukla & Singh, 2007; Kundu, Na & Surh, 2009).
Dalam sebuah studi, ekstrak jahe diberikan dalam bentuk cair hasilnya signifikan
mengurangi perkembangan tumor payudara (Nagasawa, Watanabe & Inatomi,
2002) dan jahe juga menghambat pertumbuhan tumor kolorektal. (Manju, Nalini,
2005; Shukla & Singh, 2007; Ali et al., 2008). Untuk efektivitas pengobatan
penyakit kulit, jahe telah digunakan secara oral dan topikal (Chung, Jung & Surh,
2001; Murakami, Tanaka & Lee, 2004).
Pada bulan Junianti
pengobatan 2009, adauntuk
mual publisitas
pasienbesar tentang
kanker yangjahe sebagaikemoterapi. Sebuah
menerima
studi multisite, nasional, acak, doubleblind, terkontrol plasebo dari 644 pasien,
dengan peneliti dari University of Cancer Rochester Community Center Clinical
Oncology Program (URCC CCOP), menyimpulkan bahwa suplementasi jahe
signifikan mengurangi mual akut yang dipicu oleh kemoterapi. Hasil awal dari
penelitian ini dipresentasikan pada pertemuan tahun 2009 dari American
Society
of Clinical Oncology (ASCO), dan menunjukkan bahwa semua dosis jahe
signifikan mengurangi mual (P = 0,003). Penurunan terbesar mual terjadi dengan
0,5-g dan 1,0-g dosis jahe. Juga, waktu hari memiliki efek signifikan pada mual
(P <0,001), dengan penurunan mual linear selama 24 jam pada hari 1 kemoterapi
untuk pasien yang menggunakan jahe (Ryan, Heckler & Dakhil, 2009). Jahe
belum terbukti dapat menghambat efektivitas obat kemoterapi (Engdal, Klepp &
Nilsen, 2009).
Early Warning System (EWS) telah menjadi andalan praktik keperawatan selama
lebih dari satu dekade di negara-negara barat. Pada tahun 1997, Morgan, Williams
dan Wright dari Inggris pertama kali mengembangkan dan mempublikasikan EWS
dalam lima parameter yaitu denyut jantung, tekanan darah sistolik, laju
pernafasan, suhu dan tingkat kesadaran. Setiap parameter memiliki warna dan
skor pemicu mulai dari 0 sampai 3 yang digunakan bukan untuk memprediksi hasil
tetapi untuk melayani sistem track and trigger dalam mengidentifikasi tanda-tanda
awal perburukan pasien. EWS merupakan alat monitoring rutin yang terdiri dari
lima parameter fisiologis yang masing-masing diberi skor tertinggi 3 dan terrendah
0 kemudian skor yang didapatkan dari masing-masing parameter tersebut
dijumlahkan untuk mendapatkan total skor dan digunakan sebagai dasar untuk
menggunakan sistem “calling” atau rujukan yang akan diaktifkan. Penggunaan
sistem rujukan ini juga dapat dilakukan ketika satu atau lebih parameter mencapai
nilai ekstrem dari kisaran normal. Penggunaan sistem fisiologis “track and trigger”
ini berupaya untuk meningkatkan modalitas
dengan melakukan
mengalami identifikasi
perburukan kondisitepat waktu
klinis terhadap
(Kyriacos, semua
Jelsma, pasien
James, yang 2014).
& Jorda, berisiko
EWS adalah alat evaluasi samping tempat tidur/bedside observation
berdasarkan lima parameter fisiologis yaitu tekanan darah sistolik, denyut nadi,
laju pernapasan, suhu dan skor AVPU (A untuk ‘peringatan’, V untuk 'responsif
terhadap rangsangan verbal’, P untuk 'responsif terhadap stimulasi yang
menyakitkan', U untuk 'tidak responsif') (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 1993 dalam Lam, Mak, Siu, Lam, Cheung & Rainer,
2006). Kehadiran atau respon tepat waktu untuk pasien tersebut telah
diidentifikasi oleh orang-orang (tenaga medis) yang memiliki keterampilan,
pengetahuan dan pengalaman yang sesuai (Parissopoulos & Kotzabassaki, 2005).
EWS dikembangkan sebagai respon terhadap hasil penelitian yang
menunjukkan terjadinya perburukan kondisi fisiologis pasien beberapa jam (48
jam) sebelum kejadian cardiopulmonary arrest terjadi. EWS dapat digunakan
untuk memprediksi kejadian cardiac arrest dan kematian. Sebuah penelitian oleh
Kellett dan Kim (2012) melaporkan 0,02% dari 49.077 pasien dengan skor 3 (dari 21
poin yang mungkin) meninggal dalam waktu 48 jam. Meskipun nilai yang tinggi
dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk 14% dari 519 pasien dengan skor 1
juga meninggal dalam waktu 48 jam, sebagian besar pasien (86%) dengan nilai
yang tinggi selamat. Studi lain menemukan penurunan signifikan secara statistik
pada kematian setelah pelaksanaan EWS. Studi ini dilakukan di dua rumah sakit
dan ditemukan bahwa kematian pasien dewasa yang masuk rumah sakit berkurang
dari 1,4 menjadi 1,2% (P, 0,0001) di satu rumah sakit dan 1,5 menjadi 1,3% (P,
0,0001) yang lain. Mereka juga menemukan bahwa pasien yang telah menjalani
resusitasi cardiopulmonary memiliki penurunan yang signifikan dalam kejadian
mortalitas di dua rumah sakit tersebut, masing-masing dari 52% menjadi 42% (P,
0,05) dan 70% menjadi 40% (P, 0,0001) (Moon, Cosgrove, Lea, Fairs & Cressey,
2011). Paterson, MacLeod, Thetford, Beattie, Graham dan Lam (2006), mengamati
pengurangan mortalitas di suatu rumah sakit dari 5,8% menjadi 3% setelah
pengenalan sistem peringatan dini/EWS. Terkait cardiac arrest Green dan Williams,
(2006) menemukan penurunan yang signifikan dalam proporsi pasien yang
memiliki serangan jantung (kurangnya denyut nadi atau
EWS
respirasi) hanya
pada saat menyediakan
panggilan "code blue"“track andmenjadi
dari 52,1% trigger system”
35% (P untuk
= 0,0024).
mengidentifikasi tanda-tanda awal perburukan kondisi pasien. Oleh karena itu
beberapa instansi dan negara kemudian melakukan modifikasi terhadap EWS asli
dengan menambahan beberapa parameter yang diharapkan dapat meningkatkan
patient safety dan memperkirakan hasil akhir dari kondisi klinis pasien.
Modifikasi dari EWS ini disebut dengan Modified Early Warning Score (MEWS)
(Kyriacos et al., 2014). Modified Early Warning Score (MEWS) ini telah disahkan
dalam medical admissions pada tahun 2001 (Lam, Mak, Siu, Lam, Cheung &
Rainer, 2006).
2.6.2 Definisi dan Fungsi MEWS
MEWS merupakan pengembangan dari sistem Early Warning Score (EWS)
yang dianggap masih kurang konsisten dalam mengenal dan berespon terhadap
perburukan kondisi klinis pasien (Smith, Prytherch, Schmidt, & Featherstone,
2008). MEWS adalah bedside monitoring dan sistem track and trigger yang dapat
digunakan perawat dalam mengobservasi tanda-tanda vital pasien dan
menjumlahkan skor yang didapatkan untuk memfasilitasi penilaian awal dari
kondisi perburukan pasien. MEWS terdiri dari tujuh parameter yaitu frekuensi
pernapasan, frekuensi jantung/nadi, tekanan darah sistolik, suhu dan tingkat
kesadaran, saturasi oksigen dan urine output (Kyriacos, Jelsma, James & Jordan,
2014). MEWS merupakan sistem penilaian fisiologis yang sederhana, mudah
diterapkan sebagai bedside observation dan dianggap sebagai alat perekam data
fisiologis yang handal dengan menggunakan skoring sesuai dengan kriteria
fisiologis yang muncul (Lam, Mak, Siu, Lam, Cheung & Rainer, 2006). Menurut
Kyriacos, Jelsma, dan Jordan, (2011), MEWS dapat menegaskan keputusan
terhadap observasi rutin data-data fisiologis dan merupakan algoritma sederhana
yang didasarkan pada bedside observation.Serupa dengan yang disampaikan
Bradman dan Maconochie (2011), bahwa MEWS adalah alat bantu monitoring
yang bersifat sederhana dan sangat cepat dalam penggunaannya serta memiliki
nilai sensitivitas yang tinggi.
Penelitian oleh Race (2015), menunjukkan bahwa MEWS dapat meningkatkan
patient safety dan hasil akhir perawatan, serta memudahkan dalam
MEWS dapat jugakondisi
mengkomunikasikan digunakan pada
pasien, pasien
dalam bedah ini
penelitian sebagai bedside assessment.
pula disampaikan bahwa
Menurut Keane, (2012), analisis terhadap hasil pengkajian tanda-tanda fisiologis
dalam MEWS dapat menentukan resiko perburukan kondisi pada pasien. Lam,
Mak, Siu, Cheung, dan Rainer (2006) menyebutkan MEWS mampu
mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami perburukan kondisi dan layak
diterapkan pada unit emergensi sebagai alat screening pasien yang membutuhkan
peningkatan level perawatan seperti rawat inap atau masuk ICU.
2.6.3 Keuntungan Penerapan MEWS
Keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan MEWS menurut Avard
et al., 2011: (1) membantu mengidentifikasi dan membuat dokumentasi secara
awal terhadap kondisi perburukan pasien, (2) memberikan arahan perawat tentang
pemantauan frekuensi parameter fisiologis pasien sesuai dengan trigger score
MEWS bukanlah obat mujarab terhadap hasil penilaian akurat pasien tetapi harus
digunakan secara bijaksana dalam hubungannya dengan penilaian klinis (Roberts,
2008). Kehati-hatian dianggap sebagai elemen kunci untuk layanan kesehatan pada
pasien dimasa depan karena dapat memberikan cara yang sangat efektif untuk
mengumpulkan, memonitor dan mengelola parameter fisiologis pasien seperti
tingkat glukosa, tekanan darah dan denyut jantung. Sejumlah perangkat canggih
telah dikembangkan selama beberapa tahun terakhir untuk memantau tanda-
tanda vital pasien tersebut (Lorincz et al 2004; Thiemjarus
et al, 2005; O'Flynn
MEWS et al
agar 2006). dengan benar, pengukuran tanda-tanda vital pasien
berfungsi
harus pada frekuensi yang tepat dan pencatatan harus akurat serta konsisten, selain
itu dalam melakukan pengukuran tanda-tanda vital harus menggunakan set yang
lengkap dan terkalibrasi (O‘Donoghue, O‘Kane, Gallagher, Courtney, Aftab,
Casey, Torres, & Angove, 2011). Untuk membantu memastikan bahwa skor
MEWS yang disajikan berkualitas tinggi perlu diperhatikan : (1) ketepatan waktu,
frekuensi pengumpulan tanda-tanda vital pasien, (2) akurasi, interpretasi tanda-
tanda vital pasien yang dikumpulkan dan perhitungan skor MEWS, (3)
konsistensi, tanda-tanda vital yang dikumpulkan dari seluruh pasien yang tinggal
di rumah sakit, (4) kelengkapan, semua parameter tanda vital yang dikumpulkan
(Kim, Shin, Lee, Huh, Koh & Lim, 2015).
Ketepatan waktu adalah sejauh mana data cukup up to date untuk
dilakukan penanganan. Konsistensi adalah sejauh mana data disajikan dalam
format yang sama. Lengkap adalah sejauh mana data tidak hilang dan dari luas dan
kedalaman cukup untuk dapat ditangani (Leo, Yang, & Richard, 2002). Sedangkan
akurasi menurut Ballou dan Pazer, 1985 dalam O‘Donoghue et al. (2011) adalah
nilai yang tercatat sudah sesuai dengan nilai aktual. Keempat hal tersebut menjadi
dasar penentuan skor MEWS yang memiliki kualitas tinggi.
2.6.5 Komponen dan Algoritma MEWS
Protokol eskalasi terhadap skor MEWS menurut Avard, McKay, Slater, Lamberth,
Daveson dan Mitchell, (2011) dijelaskan sebagai berikut : (1) Frekuensi observasi
dilakukan setiap 12 jam jika total skor = 1, (2) Frekuensi observasi dilakukan setiap
6 jam dan perawat yang bertanggung jawab (seperti penanggung jawab shif,
primary nurse, atau clinical case manager) diminta untuk melakukan pengkajian
ulang jika total skor = 2, (3) Observasi dilakukan setiap 4 jam, perawat yang
bertanggung jawab diminta untuk melakukan pengkajian ulang dalam 1 jam jika
total skor = 3, (4) Jika total skor 4-6 frekuensi rutin observasi dilakukan tiap 1 jam,
perawat yang bertanggung jawab/dokter jaga diminta untuk melakukan pengkajian
ulang dalam 30 menit. Jika setelah diberikan penatalaksaan dan tidak ada respon
dalam 1 jam, pertimbangkan untuk melaporkan pada dokter yang bertanggung
jawab, juga dapat dipertimbangkan untuk dipindahkan pada tingkat perawatan
monitoring dilakukan secara kontinyu setiap 30 menit, perawat yang bertanggung
yang lebih tinggi/intensif, (5) Jika total skor ≥ 7 frekuensi
jawab melaporkan pada dokter residen/konsultan. Dokter residen segera
melakukan pengkajian ulang, rencanakan pasien untuk dipindahkan ke unit yang
lebih tinggi/intensif dan aktifkan Emergensi Respon Sistem/ERS (sesuai
kebijakan rumah sakit). Berikut menurut skema MEWS menurut Avard et al.
(2011) :
60
MEWS 4 – 5
atau : score 3 pada
MEWS 0 MEWS 1 – 3 satu parameter MEWS ≥ 6
Tindakan : Tindakan : Tindakan :
(jumlah perdarahan), turgor kulit, ukuran pupil, dan nilai laboratorium serta terapi
intravena (Kyriacos et al., 2014). Nilai laboratorium yang dicantumkan mengacu
pada nilai ambang kritis pasien dengan masalah kanker meliputi glukosa darah,
ANC, Trombosit, Leukosit, D-dimer, Hemoglobin, Natrium dan Kalium (Chen, Miser,
Kuan, Fanf, Lam, & Li, 2013; Piva, Pellosso, Panello, & Plebani,2014).
Keterbatasan MEWS
Tidak ada alat scoring tunggal yang tervalidasi untuk seluruh diagnosis (Barlow et
al., 2006 & Bell et al., 2006), menggabungkan diagnosis dalam sistem penilaian
mungkin membuatnya terlalu kompleks dan kurang efektif (Subbe et al., 2001).
Variabel fisiologis tertentu yang dipilih dan skor yang dialokasikan untuk menilai
EWS sebagian belum prospektif divalidasi (Goldhill, 2005 & Cuthbertson et al.,
2007); pelaksanaannya belum berdasarkan bukti penelitian yang kuat (McGaughey
et al., 2007).
Jika parameter tunggal diabaikan, pasien sakit berat dapat terjawab.
Sistem skoring memiliki potensi meningkatkan beban kerja (Cuthbertson & Smith,
2007) : jika skoring atau ambang batas tidak akurat atau tidak benar, peristiwa
yang tidak perlu akan dipicu.
Inkonsistensi dalam penilaian neurologis (Smith et al., 2008).
BAB 3
PROSES RESIDENSI
Bab 3 ini menyajikan tentang pelaksanaan praktek residensi yang terdiri atas
laporan analisis kasus pasien dengan kanker payudara, laporan 30 kasus kelolaan,
pelaksanaan Evidence Based Nursing Practice dalam pemberian intervensi
menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara dan proyek inovasi dengan tema penerapan modified
early warning score (MEWS).
Laporan Kasus Utama
Diskripsi Kasus Kelolaan Utama
62 Universitas Indonesia
lelah. Selain itu pasien juga mengatakan tidak bisa tidur terlentang dan harus
dalam posisi duduk karena sesak bertambah bila tidur terlentang.
Keadaan umum pasien nampak sakit sedang dengan kesadaran
komposmentis, status ECOG performance (eatern cooperative oncology group) 3.
Pasien mengeluh sesak nafas hingga sulit tidur, pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya pernafasan cuping hidung kadang bernafas melalui mulut, ada retraksi
dinding dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, pasien batuk berdahak, irama
nafas tidak teratur. bunyi jantung S1 dan S2 tunggal, murmur (-), gallop (-).
Capillary Refill < 3 detik, akral hangat, vokal fremitus simetris paru kanan-kiri,
gerakan paru simetris. Pemeriksaan TTV didapatkan RR 28x/menit menggunakan
O2 nasal kanul 5 liter/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 37 0C, Nadi 110
x/menit. Balance cairan tanggal 13/3/2016 adalah -100 cc.
Hasil riwayat penyakit dahulu pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, asma ataupun alergi. Hasil riwayat kesehatan keluarga pasien
mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien
ataupun penyakit kanker yang lain, demikian juga keluarga dari ibu pasien juga
tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien. Hasil anamnesa
keluarga nenek dan kakek pasien tidak diketahui karena sudah meninggal.
Hasil pengkajian faktor risiko pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat
merokok tetapi sebagai perokok pasif karena suaminya dan orang-orang di tempat
kerjanya mayoritas perokok. Pasien menstruasi pertama kali usia 11 tahun (<12
tahun), jumlah anak saat dikaji satu orang, pasien menikah dan mempunyai anak di
usia 36 tahun (>35 tahun). Pasien menyusui anaknya hanya selama satu bulan
karena pada saat menyusui anaknya, pasien menjalani operasi usus buntu, dan
setelah operasi pasien mengatakan ASI tidak keluar. Pasien belum
tidak suka
pernah dagingtidak
KB. Pasien tapimempunyai
suka makanan instan.
riwayat Karena
minum kerja di
alkohol. kantor
Pasien pasien sering
mengatakan
makan makanan cepat saji. Pasien mengatakan terkadang harus kerja lapangan
sehingga sering terapapar radiasi matahari dan polusi.
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 9/3/201 Hematologi rutin : Hb
10,7g/dL (12-16), leukosit 4,94 103/l (5-10), trombosit 300 103/l (150-440),
eritrosit 5,06 106/l (4-5), hematokrit 43,9% (37-43); Fungsi hati : Protein total
Universitas Indonesia
Total CO2 27,2 mmol/L (22-34), SaO2 98,4% (95-99) dengan nasal kanul 5l/mnt.
Pemeriksaan penunjang lainnya EKG tanggal 25/8/2015, interpretasi :
synus rhytm; toraks foto tanggal 22/2/2016, interpretasi : residu efusi pleura kiri,
efusi pleura kanan, stga., bronkophneumonia; Foto thorak tanggal 29/1/2016
interpretasi : segmental atelektasis lobus superior kanan, stqa. bronkophneumonia
stqa, efusi pleura bilateral stqa; USG toraks: tanggal 18/2/2016 interpretasi : efusi
pleura bilateral (pleura kanan 292 ml kiri 608 ml); Echo tanggal15/1/2016
interpretasi : normal echo; MRI brain tanggal 11/2/2016 kesan : perbaikan lesi
metastase pada serebri dan serebelum. Pertambahan gliosis iradiasi pada lobus
parietal kanan kiri serta lobus frontalis kiri. Hasil biopsi tgl 7/12/2013 : invasive
carcinoma, no special type (NST) grade IIIB; hasil biopsi post mastektomi tanggal
9/7/2014 : sediaan mastektomi tidak mengandung sisa massa tumor. Metastase
karsinoma payudara pada 12 dan 14 kelenjar getah bening.
Terapi medis pasien mendapatkan infus NaCl 0,9% 500 cc/12 jam melalui
intravena, bronkodilator melalui nebulazer : Combivent 3x/hari (06.00, 14.00, dan
22.00 WIB) dan Pulmicort 2x/hari (06.00 dan 18.00 WIB), O2 nasal kanul 3-
5ltr/mnt, terapi peroral : OBH sirup 3x1 cth (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), capsul
racik Theofilin dan Salbutamol 3x1 (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), Cefixim
2x100mg (08.00 dan 20.00 WIB), Ondansentron 3x8 mg (04.00, 12.00, dan 20.00
WIB), HP Pro 3x1 (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB); terapi intravena : Ketorolac 30
mg + Ns 100cc IV tiap 8 jam (04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), Ranitidin 50 mg IV
tiap 12 jam (08.00 dan 20.00 WIB), Methilprednisolon 125 mg IV tiap 8 jam
(04.00, 12.00, dan 20.00 WIB), serta diet lunak TKTP. Pasien direncanakan akan
mendapat kemoterapi yang ke 3 yaitu Paxlitaxel tanggal 15/3/2016. Sebelum
pemberian kemoterapi pasien akan diberikan pre medikasi berupa
Methilprednisolon 62,5 mg, Ranitidin 50 mg, Diphenhidramin 10 mg dan
Ondansentron 8 mg. Dosis Paxlitaxel yang akan diberikan yaitu 115 g dalam Ns
Ecosol 300 ml selama 3 jam pemberian.
Status antropometri Ny. S : BB: 44 kg, TB: 155 cm, IMT: 18,33 kg/m 2
(kategori: underweight). Pasien mengatakan BB sebelumnya 50 kg (kehilangan
BB 10% dalam 6 bulan terakhir). Terpasang dower kateter produksi 2200 cc/24
jam dan hasil perhitungan balance cairan -100 cc. Pasien telah dipasang WSD
pigtail kiri tanggal 10/3/2016 dan dilakukan pleurodesis kanan tanggal 14/3/2016.
WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00, 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00
dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD kiri diloss ganti botol tiap pagi.
Penerapan Peaceful End Life Thoery
Asuhan keperawatan yang dilakukan pada Ny. S menggunakan teori peaceful end
of life. Teori ini diaplikasikan dengan menguraikan lima konsep mulai dari nyeri,
rasa nyaman, bermartabat, damai, dan kedekatan dengan orang yang bermakna.
Pendekatan lima konsep ini dimulai dari pengkajian dengan menempatkan dan
mengelompokkan data-data pasien ke dalam lima konsep peaceful end of life.
Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan pada Ny.S dengan pendekatan teori peaceful end of life.
Pendekatan ini dilakukan dengan mengelompokkan data pasien berdasarkan lima
konsep dari teori peaceful end of life.
a. Nyeri
Pasien mengeluh nyeri pada dada kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai skala 8
menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk
dan hilang timbul lebih dari 5 menit, nyeri berkurang jika tidur dan
beberapa saat setelah pemberian obat anti nyeri. Nyeri akan timbul kembali ketika
batuk. Pasien tampak gelisah, kadang pasien menarik nafas panjang sambil
memeluk bantal, namun jika batuk timbul, nampak ekspresi menahan nyeri
(menyeringai) yang menunjukkan timbulnya nyeri pada saat batuk berlangsung.
Pasien kadang meringis sambil memegangi dadanya. Nilai skor ESAS 7.
b. Rasa Nyaman
Berdasarkan pengkajian rasa nyaman, selain adanya nyeri dada, pasien
juga mengeluhkan sesak nafas, dada berdebar-debar, mual, nafsu makan menurun,
dan cepat merasa lelah bila beraktivitas. Pasien mengatakan sesak nafas dan
karena sesak pasien menjadi sulit tidur. Pasien nampak bernafas lewat mulut
dalam kondisi duduk memeluk bantal, terkadang batuk disertai dahak. Pasien
tampak bertambah sesak saat diwawancara dan harus menunggu sesak berkurang
terjaga). Frekuensi nadi pasien meningkat dan cepat tanpa adanya aktivitas
yaitu 110x/menit. Skor ESAS kelelahan 8.
f. Risiko infeksi (kode 00004) berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan sekunder. Ditandai dengan pernyataan pasien meskipun belum
pernah panas tetapi mengalami penururnan nafsu makan. Dalam pemeriksaan
laboratorium didapatkan nampak adanya penurunan kadar hemoglobin yaitu
10,7 gr/dl (13-18), penurunan kadar leukosit menjadi 4,94 103/l (5-10), suhu
37oC (36,5-37,5), terdapat bekas luka pos operasi mastektomi, terpasang infus,
terpasang WSD dan terpasang dower kateter.
3.1.2.3 Kriteria Hasil
Kriteria hasil yang ingin dicapai merujuk pada standar Nursing Outcome
Classification (NOC).
a. Diagnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas (kode 00032) berhubungan
dengan penurunan energi/keletihan, nyeri, kelelahan otot-otot pernafasan.
Setelah dilakukan tindakan respiratory monitoring (3350) pasien akan mampu
mempertahankan respiratory status (0415) dengan skala rating outcome pada level
5 (tidak menyimpang dari ukuran normal) dengan kriteria hasil kecepatan
pernafasan, irama pernafasan, kedalaman inspirasi pernafasan, suara nafas,
potensi jalan nafas dan saturasi oksigen dalam rentang normal, dan skala rating
outcome pada level 5 (tidak) dengan kriteria hasil tidak menggunakan otot bantu
pernafasan, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan bibir, tidak ada
keluhan sesak nafas saat istirahat maupun aktivitas ringan, tidak sianosis, gelisah,
batuk dan keringat berlebih, tidak ada keluhan kesulitan istirahat. Selain itu pasien
juga diberikan tindakan oxygen therapy (3320) dengan harapan pasien akan
mampu mempertahankan
respiratory status
5 (tidak : ventilationdari
menyimpang (0403) dengan
ukuran skala rating
normal) denganoutcome
kriteria pada
hasil level
kecepatan
pernafasan, irama pernafasan, kedalaman inspiasi, suara perkusi, tidal
volume, kapasitas volum, penemuan gambar foto toraks, dan tes fungsi paru
tidak menyimpang dari ukuran normal, dan skala rating outcome pada level 5
(tidak) tidak menggunakan otot asesori, tidak ada suara nafas abnormal, tidak
ada retraksi dinding dada, tidak ada pernafasan bibir, tidak ada sesak nafas
dalam istirahat maupun dalam aktivitas, taktil fremitus normal, tidak ada
ketidaksimetrisan pengembangan dada, suara tidak lemah, tidak ada
akumulasi sputum.
b. Diagnosa keperawatan nyeri kronis (00133) berhubungan dengan proses
perkembangan penyakit akibat infiltrasi sel kanker ke jaringan. Setelah
dilakukan tindakan pain management (1400), pasien akan mampu mengontrol
nyeri (1605) dengan skala rating outcome pada level 5 (menunjukkan
nebulazer: combivent 3x/hari (06.00, 14.00, dan 22.00 WIB) dan pulmicort 2x/hari
(06.00 dan 18.00 WIB) dan terapi peroral : OBH sirup 3x1 cth (04.00, 12.00, dan
20.00 WIB), capsul racik Theofilin dan Salbutamol 3x1 (04.00, 12.00, dan 20.00
WIB) sesuai advise, (4) memposisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi (5)
memonitor respirasi dan saturasi O2, (6) mempertahankan jalan nafas yang paten,
(7) mengobservasi adanya tanda-tanda hipoventilasi, (8) memonitor vital sign, (9)
menginformasikan pada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk
memperbaiki pola nafas.
Tindakan Oxygen Therapy utama yang dilakukan adalah (1) membersihkan sekret
oral, nasal dan trakhea dengan tepat, (2) melarang merokok,
(3) memelihara kepatenan jalan nafas, (4) mengatur perlengkapan pemberian
oksigen termasuk kehangatan humidifier, (5) memonitor ukuran aliran oksigen O2
nasal kanul 3-5ltr/mnt, (6) memonitor posisi alat pemberian oksigen, (7)
memonitor efektivitas ketepatan pemberian terapi oksigen (saturasi oksigen, pulse
oximetri), (8) memantau status mental, (9) memantau pengeluaran cairan pleura
melalui selang WSD. WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00, 08.00, 11.00,
14.00, 17.00, 20.00 dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD kiri diloss ganti botol
tiap pagi.
Tindakan utama
b. Pain Management yang dilakukan adalah (1) melakukan pengkajian nyeri
(1400)
secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset, dan durasi secara
berkala, (2) mengajarkan teknik nonfarmakologi berupa relaksasi nafas dalam dan
distraksi saat merasakan nyeri, (3) meningkatkan istirahat dan tidur yang adekuat
dengan menganjurkan pasien untuk beristirahat yang cukup, (4) memberikan obat
analgetik ketorolac 30 mg + Ns 100cc IV tiap 8 jam (04.00, 12.00, dan 20.00
WIB), serta (5) mengevaluasi keefektifan kontrol nyeri pasien setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
c. Nutrition Management (1100)
Tindakan yang dilakukan adalah (1) mengkaji apakah ada alergi terhadap
makanan, (2) mengkaji makanan kesukaan, (3) berkolaborasi dengan ahli gizi
tentang jumlah kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan, (4) memotivasi untuk
intake protein, zat besi dan vit C yang cukup (5) meyakinkan diit yang diberikan
Tindakan yang dilakukan adalah (1) mengkaji tingkat kecemasan klien, (2)
memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya, (3) melakukan pendekatan yang menentramkan pasien, (4)
menjelaskan semua prosedur yang akan dilakukan, (5) memberikan informasi yang
nyata tentang diagnosis dan pengobatannya, (6) membantu pasien dalam
mengambil keputusan, (7) membantu pasien mengidentifikasi situasi dan faktor
pencetus cemas, (8) mendukung aktifitas yang dapat menurunkan kecemasan
misalnya dengan menonton tv, membaca buku, atau berinteraksi dengan keluarga
dan pasien lain
mendorong (9) menganjurkan
kunjungan pasien
keluarga atau oranguntuk melakukan
terdekat, relaksasi,lingkungan
(11) menciptakan (10)
yang tenang.
e. Energy Management (0180)
Tindakan yang dilakukan adalah (1) mengkaji faktor yang menyebabkan
kelelahan, (2) mengkaji aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukan, (3) membantu
pasien dalam aktivitas perawatan diri, (4) mengevaluasi motivasi dan keinginan
pasien untuk meningkatkan aktivitas, (5) memotivasi klien untuk menghabiskan
porsi makanan yang diberikan.
f. Infection Control (6540)
Tindakan yang dilakukan adalah (1) membersihkan lingkungan sekitar
setelah digunakan pasien, (2) mengganti peralatan pengobatan pasien setiap
protokol/pemeriksaan, (3) mengisolasi orang yang mempunyai penyakit menular,
(4) membatasi jumlah pengunjung/pembezuk, (5) mengajarkan teknik mencuci
gambaran foto thorak efusi pleura bilateral. Produksi WSD kanan/3 jam ±200
cc,500cc/hr, kiri ±400 cc/hr. Respiratory monitoring tetap dilakukan selama pasien
mengeluh sesak nafas. Selain itu pasien juga diberikan tindakan oxygen therapy
(3320) dengan harapan pasien akan mampu mempertahankan respiratory status :
ventilation (0403) rating outcome level 3 (cukup menyimpang dari ukuran normal)
dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat pasien masih mengeluh sesak nafas,
pasien masih tampak gelisah, adanya pernafasan cuping hidung, pola pernafasan
abnormal, nafas cepat 24x/menit menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/menit, pasien
masih tampak pucat, SaO2 meningkat jadi 98%, denyut nadi cepat 100x/menit dan
gambaran foto thorak efusi pleura bilateral. Produksi WSD kanan/3 jam 200 cc,
perhari paru kanan rata-rata produksi 500 cc, kiri di loss produksi ±400 cc/hr.
Intervensi oxygen therapy dilanjutkan.
b. Nyeri Kronis
Setelah dilakukan tindakan pain management baik secara farmakologi dan non
farmakologi selama 3 hari perawatan target rating oucome pasien mampu
mengontrol nyeri berada pada level 4 (sering) hal ini dapat dilihat dari keluhan
nyeri pasien yang berkurang menjadi skala nyeri 3 dan masih meningkat bila batuk
(skala 6). Pasien mampu menggunakan teknik relaksasi dan distraksi serta
mampu mencatatselama
tetap dilakukan mengidentifikasi nyeri nyeri.
pasien mengeluh yang dirasakannya. Pain management
c. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
Setelah dilakukan nutrition management selama 3 hari perawatan,
nutritional status fluid and intake dan nutritional status nutrien intake berada
pada skala rating outcome pada level 3 (adekuat sedang), ditandai dengan keluhan
mual pasien berkurang. Pasien menerima suplemen HP Pro 3xsehari 1 capsul.
Pasien saat ini menerima tambahan terapi parenteral amiparen 500cc tiap 12 jam,
masukan kalori, karbohidrat, protein dan lemak. Masukan nutrisi melalui oral
semakin meningkat setiap hari mulai dari ¼ porsi habis sampai dengan sisa hanya
¼ porsi dan tidak ada keluhan muntah. Target rating outcome pada level 3 yaitu
cukup adekuat. Intervensi nutrition management dilanjutkan.
d. Ansietas
Setelah dilakukan tindakan anxiety reduction selama 3 hari perawatan,
pasien dapat mengontrol kecemasannya (anxiety self control) dengan skala rating
outcome level 4 (sering). Hal ini ditunjukkan dengan wajah yang lebih rileks dan
tenang. Pasien mengatakan lebih tenang ketika berdoa. skor ESAS 2. Tindakan
anxiety reduction dipertahankan.
Intoleransi aktivitas
timbul nyeri, nanah, bau, pemeriksaan fisik pasien tidak demam suhu 36,8oC.
Nilai leukosit dan hemoglobin masih di bawah normal, tanda-tanda infeksi tidak
muncul, intake makanan dan minum cukup adekuat. Pasien dan keluarga kadang-
kadang melakukan cuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktivitas. Masih
tampak orang yang membezuk pasien dan kontak dengan pasien tidak melakukan
cuci tangan sebelum dan sesudahnya. Intervensi Infection Control dilanjutkan.
3.2 Laporan 30 Kasus Kelolaan
Pada praktek residensi keperawatan medikal bedah dilakukan selama dua
semester dengan jumlah 20 SKS untuk menyelesaikan program spesialis
keperawatan. Praktek residensi dilaksanakan di rumah sakit kanker Dharmais
Jakarta. Selama praktek residensi ini penulis membuat laporan asuhan
keperawatan dan logbook setiap minggu. Ada 22 macam kasus yang pernah
ditemui oleh penulis selama menyusun asuhan keperawatan dan logbook yaitu
kanker paru, kanker payudara, KNF, kanker serviks, kanker kolon, kanker penis,
ALL, kanker tiroid, kanker rekti, kanker maxilla, AML, LNH, Multiple Mieloma,
kanker orbita, Miastemia gravis, Liposarcoma, tumor otak, Rhabdomiosarcoma,
kanker ovarium, kanker bully, kanker lidah dan kanker ginjal.
Sesuai target kasus asuhan keperawatan lanjut kasus onkologi di rumah sakit
kanker Dharmais Jakarta, penulis menyusun laporan asuhan keperawatan
sebanyak 30 kasus kelolaan dengan menggunakan pendekatan teori peaceful end
of life theory terhadap pasien kanker. Dalam target ini, terdapat 18 macam kasus
kanker yang menjadi kelolaan. Jumlah pasien kelolaan dalam masing-masing kasus
yaitu 7 (23,33%) pasien dengan kanker payudara, 3 (10%) pasien dengan kanker
serviks, KNF, AML, tumor otak dan rhabdomiosarcoma masing masing 2 (6,66%)
pasien, kanker paru, kanker kolon, kanker tiroid, kanker rekti, kanker maxilla,
kanker orbita, kanker abdomen, ALL, Kanker ovarium, kanker bulli, kanker lidah,
dan kanker ginjal masing-masing 1 (3,33%) pasien. Berdasarkan data pasien baru
atau insiden pasien kanker rumah sakit kanker Dharmais tahun 2014, kasus kanker
payudara menempati kasus pertama diantara 10 kasus tersering lainnya yaitu
sebanyak 1290 kasus (bidang rekam medik rumah sakit kanker Dharmais, 2014).
Hal tersebut menjadi pertimbangan penulis untuk
Keperawatan Peaceful
memfokuskan pemberianEndasuhan
of Lifekeperawatan
Theory pada dengan
kasus klien dengan kanker
pendekatan teori
payudara.
Jika dikelompokkan sesuai dengan target kompetensi, pengelolan kasus
asuhan keperawatan terdiri dari kanker sistem saraf pusat 2 (6,66%) pasien,
kanker payudara 7 (23,33%) pasien, kanker gastrointestinal 5 (16,66%) pasien,
kanker genitourinarius dan genital 6 (20%) pasien, kanker kepala dan leher 4
(13,33%) pasien, kanker darah 3 (10%) pasien, kanker paru 1 (3,33%) pasien,
kanker tulang, otot dan jaringan lunak 2 (6,66%) pasien.
Rumusan diagnosa keperawatan yang muncul pada 30 pasien kasus
resume yaitu diagnosa risiko infeksi 93,33%, ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh 63,33%, nyeri kronis 56,67%, nyeri akut 10%, kerusakan
integritas kulit 33,33%, intoleransi aktivitas 30%, ketidakefektifan pola nafas
20%, risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak dan mual muntah masing-
masing 16,67%, gangguan pertukaran gas dan gangguan ventilasi spontan masing-
masing 13,33%, defisit pengetahuan, ansietas, risiko ketidakseimbangan volume
cairan, nyeri akut, risiko perdarahan masing-masing 10%, gangguan pola tidur dan
konstipasi masing-masing 6,67%, bersihan jalan nafas tidak efektif, diare, risiko
jatuh, retensi urin, dan hambatan mobilitas fisik masing-masing 3,33%. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa lima diagnosa yang paling banyak muncul pada
pasien kanker yaitu risiko infeksi, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, nyeri kronis, kerusakan integritas kulit dan intoleransi aktivitas.
Setelah masalah keperawatan dirumuskan dalam bentuk diagnosa keperawatan,
untuk mencapai hasil maka dirumuskan NOC (Nursing Outcome Classification).
Berdasarkan diagnosa yang paling banyak muncul, yaitu NOC untuk masalah risiko
infeksi yang dirumuskan adalah imune status dan risk control masing-masing
sebanyak 50%, untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh, NOC yang dirumuskan nutritional status : food and fluid intake sebanyak
100%, diagnosa nyeri kronis NOC yang dirumuskan pain control sebanyak 100%,
untuk diagnosa kerusakan integritas kulit NOC yang dirumuskan surgical recovery :
convalescence dan tissue integrity : skin masing-
masing 50% dan untuk diagnosa intoleransi aktivitas NOC yang dirumuskan
energy conservation sebanyak 66,67% dan activity tolerance sebanyak 33,33%.
Setelah dirumuskan pencapaian (NOC), kemudian dilakukan penyusunan
intervensi keperawatan yang disebut dengan Nursing Intervention Classification
(NIC). Adapun NIC yang banyak diterapkan pada pasien kanker dengan diagnosa
risiko infeksi yaitu infection control sebanyak 60% dan infection protection
sebanyak 40%, untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
80
tubuh sebanyak 89, 47% dengan intervensi nutrition management dan 10,53%
nutrition therapy, diagnosa nyeri kronis intervensi yang dilakukan pain
management sebanyak 100%, kerusakan integritas kulit wound care sebanyak
60% dan pressure management sebanyak 40%, dan untuk masalah intoleransi
aktivitas intervensi yang diterapkan yaitu dengan energy management sebanyak
66,67% dan activity therapy sebanyak 33,33%.
Hasil pelaksanaan intervensi pada seluruh pasien kelolaan bervariasi.
langsung dapat terjadi karena faktor pasien diantaranya karena faktor kecemasan.
Mual muntah yang disebabkan oleh faktor kecemasan memberikan pengaruh
terhadap sistem saraf pusat termasuk pusat muntah (Wood, Shega, Lynch &
Roenn, 2007). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien yang mengalami
muntah pada kemoterapi sebelumnya dapat timbul anticipatory nausea vomiting
(ANV) pada kemoterapi berikutnya (Hesketh, 2008; Mustian , Devine , Ryan,
Janelsins, Sprod & Peppone, 2011). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya oleh Rhodes dan Mc Daniel, (2004), yang melaporkan bahwa persepsi
dan kecemasan pasien terhadap kejadian mual muntah sebelum pemberian
kemoterapi menjadi prediktor kuat terjadinya mual muntah setelah kemoterapi.
Selain status gizi, dampak mual muntah juga mempengaruhi kualitas hidup pasien
dan tingkat kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan (Ballatori, Roila &
Ruggeri, 2007; Ferna´ndez, Caloto & Chirveches, 2012; Davidson, Teleni & Muller,
2012).
Penatalaksanaan mual dan muntah pada pasien post kemoterapi tergantung pada
beratnya gejala. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara farmakologi maupun
nonfarmakologi. Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian antiemetik,
antihistamin, antikolinergik, dan kortikosteroid, namun semua obat
farmakologi,
tersebut terdapat
memiliki banyak intervensi
efek samping dan biaya nonfarmakologi
yang tidak sedikit.yang dapat
Selain membantu
obat-obatan
meredakan mual muntah, terutama ketika digunakan bersamaan dengan obat-
obatan farmakologi. Beberapa intervensi nonfarmakologis mual muntah terkait
kemoterapi meliputi penyesuaian asupan makanan dan cairan, relaksasi, olahraga,
hipnosis, biofeedback, pencitraan terarah, dan desensitasi sistemis (Black, 2014).
Intervensi lain yang dapat dilakukan secara mandiri oleh seorang perawat
untuk mengurangi mual muntah adalah dengan menghirup aromaterapi.
Aromaterapi sebagai bagian dari terapi komplementer dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien (Boelm et al., 2012). Aromaterapi merupakan tindakan
terapeutik dengan menggunakan minyak essensial yang diekstrak dari akar,
bunga, daun dan batang tanaman, serta dari pohon tertentu yang bermanfaat untuk
meningkatkan keadaan fisik dan psikologi sehingga menjadi lebih baik. Setiap
minyak esensial memiliki efek farmakologis yang unik, seperti antibakteri, antivirus,
diuretik, vasodilator, penenang, dan merangsang adrenal. Ketika minyak esensial
dihirup, molekul masuk ke rongga hidung dan merangsang sistem limbik di otak.
Sistem limbik adalah daerah yang mempengaruhi emosi dan memori serta secara
langsung terkait dengan adrenal, kelenjar hipofisis, hipotalamus, bagian- bagian
tubuh yang mengatur denyut jantung, tekanan darah, stess, memori,
keseimbangan hormon, dan pernafasan. Begitu banyak jenis minyak esensial yang
ada. Jenis minyak esensial yang biasa digunakan adalah peppermint, spearmint,
lemon dan jahe (Jaelani, 2009). Pemakaian minyak esensial secara inhalasi
merupakan metode yang dinilai paling efektif, sangat praktis dan memiliki khasiat
yang langsung dapat dirasakan efeknya dibanding dengan tehnik yang lain, tehnik
inhalasi ini lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh tanpa melalui proses
absorbsi membran sel, molekul-molekul uap akan langsung mengenai reseptor
penghidu yang berada pada rongga hidung dan langsung terhubung dengan saraf
olfaktorius (Kohatsu, 2008).
Dengan pertimbangan tersebut diatas maka penulis mencoba menerapkan
intervensi menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah pada
pasien kanker payudara.
Masalah
3.3.2 Masalah Klinisklinis dirumuskan
dan Metodologi dengan menggunakan pendekatan PICO
Pencarian
(Population, Intervention, Comparation dan Outcome). PICO digunakan untuk
merumuskan pertanyaan klinis dalam pelaksanaan evidence based nursing.
Pertanyaan klinis yang telah dirumuskan yaitu “apakah menghirup aromaterapi
jahe mampu mengurangi mual muntah pada pasien kanker payudara setelah
menjalani kemoterapi?”. Adapun pendekatan PICO yang digunakan untuk
merumuskan masalah klinis sebagai berikut :
3.3.2.1 Population : Pasien dengan penyakit kanker payudara yang mengalami
mual muntah akibat kemoterapi
3.3.2.2 Intervention : Intervensi keperawatan dalam mengurangi mual muntah
akibat kemoterapi diberikan dalam bentuk menghirup aromaterapi jahe
3.3.2.3 Comparation : -
penelitian ini : Kriteria inklusi : (1) Pasien berusia ≥ 18 tahun, (2) Memiliki
penciuman yang normal, (3) Terdiagnosi kanker payudara, (4) Menerima
kemoterapi dan mempunyai pengalaman mual dan atau muntah dengan tingkat
keparahan apapun, (5) Memiliki setidaknya sisa penggunaan dua program agen
kemoterapi yang sama, (6) Menyetujui untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini;
Kriteria eksklusi : (1) Memiliki jenis kanker lainnya, (2) Alergi terhadap jahe, parfum
ataupun kosmetik, (3) Pasien yang menjalani kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi, (4) Yang teridentifikasi sebagai pasien yang mengalami masalah pada
penglihatan dan pendengaran, atau kesulitan pada komunikasi verbal; orang-orang
dengan disabilitas mental. Pasien diacak menggunakan pengacakan permutasi blok
empat dengan rasio alokasi 1:1. Izin untuk melakukan studi ini diperoleh dari
Departemen Kesehatan (Depkes) Penelitian Malaysia dan Komite Etik (MREC)
(Ref.no: (2) dlm.KKM / NIHSEC / 08/0804 / P11-42).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas menghirup aromaterapi
jahe pada kejadian mual, muntah dan kualitas kesehatan yang berhubungan
dengan kehidupan (HRQOL) pada pasien kanker payudara setelah kemoterapi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini Single-blind, controlled,
randomized cross-over study. Pasien dibagi dalam kedua kelompok yaitu
kelompok 1 dan kelompok 2. Prosedurnya kalung aromaterapi adalah liontin yang
terbuat dari kaca digantungkan pada leher pasien dan ditempatkan sekitar 20 cm
dari hidung pasien. Setiap hari pasien diminta untuk menghirup dengan menarik
nafas dalam-dalam setidaknya 3 kali sehari dalam 3 periode dan dalam durasi 2
menit. Pasien diminta menghirup ketika ada gejala mual muntah maupun tidak
ada gejala. Kalung aromaterapi ini diisi sekitar 1-2 tetes minyak esensial dan
minyak wangi jahe. Grup 1 menerima minyak wangi jahe (plasebo) pada
kemoterapi pertama, kemoterapi selanjutnya menerima minyak esensial jahe.
Sebaliknya untuk grup 2 menerima minyak esensial jahe terlebih dahulu
dilanjutkan minyak wangi jahe (plasebo). Pasien diinstruksikan untuk
menghentikan penggunaan aromaterapi setelah treatment berakhir. Kedua
aromaterapi yang digunakan didapatkan dari Global Sdn. Bhd. Butterwort, Penang
Malaysia distributor minyak esensial resmi Ungerer Australia. Minyak esensial
jahe dibuat secara alamiah dari rimpang jahe, sedangkan minyak wangi jahe dibuat
dari bahan sintetis (ester, aldehid dan keton) yang biasanya terdapat pada
berbagai produk aromatik. Pada dasarnya kedua minyak yang digunakan dalam
penampilan dan tekstur identik sama tetapi dalam nilai-nilai terapeutik dari minyak
wangi (plasebo) mungkin menurun secara subtansial karena perubahan dalam
struktur kimia yang berasal dari campuran ekstrak jahe dan bahan sintetis. Dalam
hal bau minyak wangi hampir selalu meniru minyak esensial namun sedikit lebih
rendah dari produk murni esensial.
Hasil utama yang didapatkan skor VAS nausea (mual), tingkat frekuensi muntah
dan profil HRQol (skor EORTC QLQ-C-30). Keparahan kejadian mual dan muntah
dinilai dengan sebuah skala analog visual (VAS) 100 mm digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan mual dengan ujung kiri 'tidak ada mual dan kanan
untuk 'mual berat’. Tidak mual didefinisikan sebagai VAS <5 mm-10 mm umumnya
dianggap penting secara klinis. Total tiga tanda perhari yang diperlukan dalam
instrumen ini diselesaikan pada pemberian aromaterapi pada jam 09.00,
15.00 and terakhir 21.00. VAS ini dicatat pada buku harian pasien, beserta dengan
laporan diri tentang frekuensi muntah dalam waktu 24 jam. Muntah didefinisikan
sebagai satu atau lebih episode muntah. Episode dianggap berbeda jika mereka
dan muntah
dipisahkan olehdisetidaknya
buku harian
satuini sampai
menit. Parahari ke-5melaporkan
pasien pasca kemoterapi.
peristiwaSedangkan
mual
dampak kemoterapi yang menyebabkan mual muntah yang berdampak pada
kualitas hidup pasien (Health-related quality of life/HRQOL) dinilai pada awal
(sebelum pemberian kemoterapi) dan hari 8 pasca kemoterapi menggunakan
Kuesioner Kualitas Hidup Organisasi Eropa untuk Penelitian dan Pengobatan
Kanker (European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality
of
Life Questionnaire/EORTC QLQ-C30 ). Dalam penelitian ini versi EORTC QLQ
C-30 diterjemahkan dan divalidasi dalam bahasa Melayu. Kuesioner ini berisi 30
item termasuk lima skala fungsional (fisik, emosi, kognitif, sosial dan fungsi
peran), tiga skala gejala (kelelahan, nyeri, mual dan muntah), kesehatan secara
menyeluruh/skala HRQOL dan enam item tunggal untuk menilai gejala (dyspnea,
gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, sembelit, diare) dan dampak keuangan
dari penyakit. Skoring EORTC QLQ-C30 dilakukan secara manual. Skor EORTC
mentah diubah linear untuk mendapatkan skor standard dikisaran 0-100 untuk
masing-masing skala dan item tunggal. Skor skala tinggi ditandai dengan tingkat
respons yang lebih tinggi.
Dalam penelitian tersebut didapatkan ada sebanyak 60 pasien wanita yang
menyelesaikan studi (usia = 47,3 ± 9.26 tahun; Melayu = 98,3%; kemoterapi yang
sangat emetogenik = 86,7 %). VAS skor mual secara signifikan lebih rendah setelah
inhalasi minyak esensial jahe dibandingkan dengan plasebo selama fase akut (P =
0.040) tetapi tidak signifikan untuk efek pengobatan secara keseluruhan (efek
pengobatan: F = 1.82, P = 0,183; waktu berlaku: F = 43,98, P <0.001; pengobatan ×
waktu berlaku: F = 2.04; P = 0,102). Demikian pula, aromaterapi tidak ada effect
yang signifikan terhadap muntah [F (1, 58) = 0,29, P = 0,594]. Namun, perubahan
yang signifikan secara statistik dapat dilihat pada status kesehatan secara global (P
<0,001) terdeteksi setelah inhalasi minyak esensial jahe. Perbaikan klinis yang
relevan 10 poin dari fungsi peran (P = 0,002) dan kehilangan nafsu makan (P
<0,001) juga didokumentasikan selagi pasien menggunakan minyak esensial jahe.
3.3.4.2 Penjelasan alasan pemilihan artikel
Artikel yang berjudul “Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on Chemotherapy
Induced Nausea and Vomiting and Health-Related Quality of Life
in Women with Breast Cancer” ini ditulis oleh Pei Lin Luaa, Noor Salihahb, Nik
Mazlan pada bulan April tanggal 21 tahun 2015, yaitu sebuah jurnal yang secara
khusus membahas tentang hasil studi yang berhubungan dengan penggunaan
aromaterapi jahe. Artikel ini dipilih karena merupakan evidence tingkat I menurut
National Institute of Clinical Excellence (NICE), dengan jenis intervensi yang
murah, sederhana, bermanfaat dan memiliki waktu evaluasi yang singkat. Artikel
ini juga merupakan artikel jurnal yang memiliki tahun publikasi yang tergolong
baru karena tahun terbitnya satu tahun terakhir (tahun 2015). Level atau tingkatan
evidence menurut NICE dalam Bausewein et al. (2008) terdiri dari tingkat I (RCT
atau riview RCT), tingkat II yaitu studi prospektif dengan kelompok pembanding
(non-RCT, good observational study) atau studi retrospektif dengan kontrol
efektif untuk variabel perancu, dan tingkat III yaitu studi retrospektif atau
observasi atau cross-sectional. Sedangkan menurut RTI International University
of North Carolina (RTI-UNC) tingkat kualitas suatu penelitian dari tertinggi sampai
terendah yaitu systematic riviews, randomized controlled trial (RCT), observational
studies dan diagnostic tes studies (Lohr, 2004).
Selain itu, artikel ini juga menjawab pertanyaan klinis yang ditemukan peneliti
selama praktik di ruang rawat inap RS Kanker Dharmais dengan beberapa
pasiennya adalah pasien yang membutuhkan penanganan mual muntah akibat
kemoterapi di antaranya adalah pasien kanker payudara.
3.3.4.3 Kredibilitas Jurnal
untuk status kesehatan global (95% CI berarti perbedaan; 4.12, 9.77, P <0,001)
terdeteksi setelah inhalasi minyak esensial jahe. Perbaikan yang signifikan dari
baseline untuk fungsi peran yang dicatat pada kedua kelompok;. minyak esensial
jahe (95% CI berarti perbedaan; 3,08, 16,92, P = 0,002) dan minyak wangi jahe
(95% CI berarti perbedaan ;. 1.96, 14.15, P = 0,006). Meski begitu, selisih skor
yang lebih baik dicatat dengan aplikasi minyak esensial jahe. Untuk skor skala
gejala kelelahan (95% CI berarti perbedaan; -10,98, -2,35, P = 0,001), mual dan
muntah (95% CI berarti perbedaan; -9,07, -2,59, P <0,001), nyeri (95% CI berarti
perbedaan; -10,16, -0,95, P = 0,013) dan kehilangan nafsu makan (95% CI berarti
perbedaan; -16,87, -5,36, P <0,001) secara signifikan dilaporkan telah berkurang
sementara pada pasien dengan minyak esensial jahe. Terakhir skor gejala sembelit
dilaporkan lebih tinggi dari nilai dasar untuk kedua kelompok tetapi perbedaan
skor itu signifikan antara awal dan setelah penggunaan minyak jahe wangi (95% CI
berarti perbedaan; 0,12, 6,55, P = 0.040 ).
Data hasil penelitian yang disajikan peneliti hanya menyajikan nilai p dan
confidence interval sehingga perhitungan secara manual terhadap nilai
kepentingan klinis seperti NNT (number need to treat) tidak bisa dilakukan. NNT
berguna untuk melihat keefektifan treatment dari penelitian ini. Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini memberikan hasil yang
baik dan bermakna, efektif dan juga dapat diterima oleh pasien untuk mengelola
keluhan mual muntah akibat kemoterapi meskipun tidak menyajikan nilai
kepentingan klinis (NNT).
3.3.5.3 Aplikabilitas
Pada tahap ini penulis memulai dengan mencari fenomena yang ada selama
praktik residensi, selanjutnya merumuskan masalah dengan pendekatan PICO
(Problem, Intervention, Comparation and Outcome). Kemudian melakukan
penelusuran jurnal dengan kata kunci “aromatherapy”, “ginger”, “nausea and
vomiting post chemotherapy” and “ breast cancer patient”, “randomize clinical
trial” and “randomize control trial”. Kemudian memilih 1 artikel pilihan berjudul
Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting and Health-Related Quality of Life in Women with Breast Cancer. Setelah
itu penulis melakukan konsultasi proposal EBN kepada pembimbing klinik dan
pembimbing akademik untuk mendapatkan masukan dan saran, kemudian setelah
disetujui oleh pembimbing, penulis mengajukan dan mempresentasikan proposal
EBN kepada bagian diklat, bidang keperawatan dan
medik, komite
Setelah etik dan unit dengan
itu berkoordinasi tempat unit
pelaksanaan EBN pada tanggal
tempat pelaksanaan 6 Aprilpenetapan
EBN terkait 2016.
pasien, penetapan waktu pelaksanaan EBN dan pembagian peran serta tanggung
jawab dalam sosialisasi EBN pada perawat dan pasien. Kemudian mempersiapkan
protap pelaksanaan EBN menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual
muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara. Selanjutnya
mensosialisasikan dan memberikan penjelasan kepada perawat yang terlibat
dalam perawatan pasien tentang tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBN
3.3.6.2 Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan EBN ini diawali dengan mengidentifikasi pasien yang cocok
sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian menjelaskan kepada pasien tentang
tujuan, manfaat, dan prosedur pelaksanaan EBN. Pasien yang setuju terlibat dalam
pelaksanaan EBN menandatangani lembar persetujuan. Prosedur pelaksanaan ini
yaitu dengan memberikan pasien aromaterapi dengan cara mengkalungkan botol
kecil berisi aromaterapi jahe di leher pasien dan ditempatkan sekitar 20 cm dari
hidung pasien selama lima hari pada siang hari dan malam hari. Pasien diminta
menarik nafas dalam setidaknya tiga kali sehari dalam durasi 2 menit bahkan
disaat tidak muncul gejala. Penggunaan aromaterapi jahe dilakukan diantara
penerimaan kemoterapi yang pertama diikuti kemoterapi selanjutnya.
EBN menghirup minyak aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah
akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara ini dimulai sejak tanggal 28
Maret sampai 22 April 2016, sebanyak 14 pasien terlibat dalam penerapan EBN
ini. Pasien dalam penerapan EBN ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu 7 pasien
dalam grup A dan 7 pasien dalam grup B. Namun dalam pelaksanaannya hanya
12 orang yang dapat melanjutkan sampai akhir karena satu orang dari grup A
mengalami kemunduran jadwal kemoterapi karena penurunan keadaan umum
(sesak nafas) dan satu orang dari grup B jadwal kemoterapi diundur karena akan
dilakukan operasi terlebih dahulu. Penerapan EBN ini dilakukan terutama di
ruang rawat singkat Anyelir 1 dan 2 serta ruang Teratai. Gambaran karakteristik
pasien yang ikut serta dalam penerapan ebn menghirup aromaterapi jahe dapat
dilihat pada tabel 3.1, 3.2 dan 3.3 di bawah ini :
Tabel 3.1 Distribusi Pasien berdasarkan Asal, Riwayat Keluarga dengan
Kanker, Agen Kemoterapi (n=12)
No. Karakteristik Frekuensi (%)
1. Asal
Jakarta 4 (33,3)
Luar Jakarta 8 (66,7)
Total 12 (100)
Ya 3 (25,0)
Tidak 9 (75,0)
Total 12 (100)
3. Agen kemoterapi
FAC 11
(91,7)
FEC 1
(8,3)
Tota 12
l (100)
Dari tabel 3.1 terlihat bahwa lebih dari 50% pasien kanker payudara yang
mengikuti penerapan EBN ini berasal dari luar Jakarta. Sebesar 75% pasien
tidak mempunyai riwayat keluarga dengan kanker. Hanya satu pasien yang
menerima agen kemoterapi FEC (5-FluoroUracil, epyrubicine dan
cyclophosphamide) dan lainnya menerima agen kemoterapi FAC (5-
FluoroUracil , Doxorubicin, dan cyclophosphamide).
Tabel 3.2 Distribusi Pasien berdasarkan Umur, Tahun setelah Terdiagnosa,
Grade Kanker Payudara, Siklus Kemoterapi (n=12)
No. Karakteristik Mean±SD Median (min-maks)
Dari tabel 3.2 terlihat bahwa rata-rata pasien yang terlibat dalam
penerapan EBN ini berusia 46,67 tahun dengan standar deviasi 7,785 tahun. Usia
pasien yang paling rendah 31 tahun dan yang paling tinggi 57 tahun. Rata-rata
tahun terdiagnosa kanker yaitu 1,25 tahun. Rata-rata grade kanker payudara pada
pasien adalah 2,75. Dimana grade paling rendah adalah 2 dan yang paling tinggi
adalah 3. Pasien rata-rata berada pada siklus kemoterapi 2,75. Siklus yang paling
rendah siklus ke dua dan siklus yang paling tinggi siklus ke empat.
Tabel 3.3 Distribusi Pasien berdasarkan Umur, Asal, Tahun setelah Terdiagnosa,
Riwayat Keluarga dengan Kanker, Grade Kanker Payudara, Siklus Kemoterapi
dan Agen Kemoterapi Grup A (n=6), Grup B (n=6) dan Seluruh Peserta (n=12)
Karakteristik Minyak Wangi Jahe/ Minyak Esential Jahe/ Seluruh
Minyak Esential Jahe Minyak Wangi Jahe peserta
(n=6) (n=6) (n=12)
Grup A Grup B
60-79
Asal
Grade I
Grade IV
Agent Kemoterapi
TAC
Docetaxel
tentang manfaat pemberian aromaterapi jahe. Pada awal kegiatan ini, beberapa
klien tampak ragu-ragu untuk mengikuti penerapan EBN. Hal ini dikarenakan
perasaan takut akan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan pemberian
aromaterapi jahe. Untuk lebih meyakinkan klien dan keluarganya, maka penulis
memberikan pemahaman berulang kali tentang manfaat dari pemberian
aromaterapi jahe. Disamping itu penulis juga berkoordinasi dengan kepala ruang
perawatan dan beberapa staf perawat yang sedang bertugas pada saat
pelaksanaan EBN, untuk memberikan informasi tentang manfaat dari pemberian
aromaterapi jahe. Setelah memberikan pemahaman kepada responden dan
keluarganya, maka seluruh klien kooperatif terhadap pemberian aromaterapi jahe.
Hasil penerapan menghirup aromaterapi jahe pada pasien kanker payudara
dengan kemoterapi terlihat adanya perbedaan yang signifikan tampak pada skor
mual di hari pertama dan kedua (fase akut) penggunaan aromaterapi (p<0,05).
Skor berkurangnya skala mual pada hari pertama dan kedua pada penggunaan
aromaterapi esensial lebih besar daripada plasebo. Sedangkan pada kejadian
muntah terdapat perbedaan di hari ke-2, ke-3 dan ke-5. Hal ini dapat dilihat pada
tabel 3.5 yang terdapat pada lampiran.
3.3.6.3 Tahap evaluasi
kanker
Untuk payudara yang
mengevaluasi menjalani kemoterapi
hasil penerapan digunakan Visual
menghirup aromaterapi Analogue Scale
pada pasien
(VAS). Pasien diminta menuliskan skala mual selama lima hari treatment di
dalam sebuah kartu pencatatan. Untuk muntah pasien diminta mencatat
frekuensi, durasi dan banyaknya muntah (cc) dalam lima hari penerapan.
Pencatatan dilakukan pada jam 9 pagi, jam 3 sore dan jam 9 malam tiap 24 jam
sekali selama lima hari berturut-turut.
Selanjutnya mengevaluasi keseluruhan proses pelaksanaan kegiatan,
pencapaian tujuan, dan kelebihan serta kekurangan pelaksanaan EBN, kemudian
mengevaluasi kepuasan perawat dan pasien setelah pelaksanaan terapi
menghirup aromaterapi jahe untuk mengurangi mual muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara.
Penggunaan MEWS sebagai alat deteksi awal terhadap perburukan kondisi pasien
masih jarang di Indonesia termasuk di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Sementara
itu berbagai penelitian menunjukkan MEWS dapat meningkatkan patient safety
dan hasil akhir perawatan serta memudahkan dalam mengkomunikasikan kondisi
pasien (Race, 2015). Analisis terhadap hasil pengkajian tanda-tanda fisiologis yang
dilakukan dalam MEWS dapat menentukan resiko perburukan kondisi pada pasien
(Keane, 2012). Hal ini sejalan dengan poin penilaian akreditasi rumah sakit dari
Joint Commision International Accreditation (JCIA) edisi 5 (New Standard) Cop.3.1
tentang deteksi dini perburukan kondisi pasien. Pada point tersebut dijelaskan
tentang perlunya pelatihan perawat untuk dapat mengenali dan berespon
terhadap perubahan kondisi pasien, serta harus dapat mencari bantuan awal
terhadap perburukan kondisi pasien.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi tenaga medis terutama perawat di
Rumah Sakit Kanker Dharmais yang memberikan pelayanan dengan budaya Pro
Care CS (Profesional, Care, Continuitas Improvement and Synergy).
Melalui budaya ini perawat dituntut untuk dapat bekerja secara profesional, peduli
hasil pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan melakukan analisis terhadap tanda-
tanda fisiologis yang didapatkan dan melakukan tindak lanjut sesuai dengan hasil
pengkajian/monitoring yang ditemukan sehingga kejadian yang tidak diinginkan
(kondisi kegawatan, cardiac arrest) dapat dihindari.
3.4.2 Validitas dan Reliabilitas MEWS
Sebuah penelitian kohort prospektif oleh Lam, et al. (2006), menerapkan MEWS
untuk pasien yang dirawat di bangsal observasi gawat darurat rumah sakit
pendidikan. Sebanyak 427 data penerimaan pasien gawat darurat berturut-turut
dikumpulkan dari 7 Juni-4 Juli 2004. Hasil pengukuran yang didapatkan meliputi
jumlah kematian, jumlah pasien yang masuk unit perawatan intensif (ICU) dan
masuk rawat inap rumah sakit. Skor > 4 dikaitkan dengan peningkatan risiko
kematian (OR 54,4, 95% CI = 4,7-633,7), masuk ICU (OR 12,7, 95% CI = 1,1-
147,3) dan perawatan di rumah sakit (OR 9,5, 95% CI = 3,3-27,9). Dari penelitian ini
disimpulakan bahwa MEWS cocok digunakan sebagai bedside application di unit
gawat darurat dan dapat membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko
perburukan kondisi yang membutuhkan peningkatan level perawatan meliputi
masuk rawat inap atau masuk ICU. Penelitian sebelumnya pada tahun 2001 oleh
Kruger, Rutherford dan Gemmel juga telah meneliti tentang validitas MEWS
menunjukkan
kematian (ORskor
5,4,≥95%
5 pada MEWS berhubungan
CI 2,8-10,7), dengan
masuk intensive carepeningkatan risiko
unit/ICU (OR 10,9,
95% CI 2,2-55,6), dan masuk high dependency unit (OR 3,3, 95% CI 1,2-9,2).
Penelitian ini menyimpulkan MEWS dapat diterapkan pada medical admission
unit dan dapat mengidentifikasi risiko perburukan kondisi pasien yang mana
membutuhkan peningkatan perawatan pada level yang lebih tinggi. MEWS
mungkin juga dapat digunakan sebagai triase, untuk mengindentifikasi pasien
100
dengan risiko perburukan kondisi klinis. Penelitian lain yang dilakukan So et al.
(2014) menunjukkan bahwa observasi terhadap pasien di ruang emergensi
menggunakan MEWS memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 98,3% dalam
mendeteksi perburukan kondisi pasien.
MEWS dapat diterapkan pada ruang rawat inap biasa dan cocok dijadikan
sebagai alat untuk manajemen risiko dalam mendeteksi perburukan kondisi pasien
dan mencegah keterlambatan penanganan atau kebutuhan untuk dipindah ke unit
lebih intensif (Gardner-Thorpe et al., 2006). Hal tersebut serupa dengan penelitian
Rita et al., (2008) yang melaporkan bahwa MEWS signifikan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi perburukan pasien yang dirawat di ICU. Hal tersebut
menunjukkan bahwa MEWS dapat menjadi sistem skoring yang terpercaya dan
berguna dalam situasi ICU. Sebaliknya, terdapat satu penelitian yang dilakukan
oleh Kim et al. (2015) yang hasilnya bertolak belakang dengan penelitian-
penelitian terdahulu. Penelitian ini menemukan peningkatan skor MEWS tidak
berhubungan dengan kematian pada pasien rawat inap, sehingga monitoring
menggunakan MEWS sendiri tidak cukup untuk memprediksi terjadinya cardiac
arrest.
Analisis Situasi
Merupakan atribut internal yang membantu organisasi (dalam hal ini rumah sakit)
mencapai tujuannya, antara lain : (1) RSKD merupakan RS rujukan
kankermemadai
paling nasional dengan sarana prasarana
se-Indonesia, sehingga dan SDM (sumber
menjadi tujuan daya
bagi manusia) yang
pasien untuk
mendapatkan penanganan kanker yang dideritanya; (2) RSKD selalu
mengutamakan pelayanan prima dengan dilengkapi fasilitas kesehatan yang
memadai dan canggih serta layanan yang unggul seperti poli luka, poli paliatif dan
unit deteksi dini yang dapat menunjang pelayanan kesehatan, (3) RSKD berfungsi
sebagai RS pendidikan dan penelitian, mempunyai tenaga ahli dan klinikal
instruktur yang kompeten dibidangnya serta sarana prasarana yang memadai
untuk pelaksanaan proses pendidikan dan penelitian, (4) RSKD memberikan
dukungan pada staf keperawatan untuk melanjutkan pendidikan ke level S1 dan
S2, (5) RSKD menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan-pelatihan internal
training dan eksternal training secara berkesinambungan untuk staf pelaksana
keperawatan untuk pengembangan SDM, (6) RSKD telah membuka pendidikan
program spesialis perawat onkologi klinik dan rata-rata telah memiliki kepala
ruangan seorang spesialis onkologi klinik, (7) RSKD memiliki FGD ( Focus Group
Discussion) dalam bentuk FIG (Focus Interest Group) yang setiap bulannya
mengadakan pertemuan untuk memberikan informasi perkembangan
keperawatan onkologi, (8) RSKD juga bekerjasama dengan berbagai institusi yang
ada di dalam negeri maupun luar negeri yang mengutamakan aspek kontrol
kualitas dan asuransi sehingga keselamatan pasien terjamin, (9) RSKD memberikan
kesempatan pada mahasiswa residensi untuk sharing ilmu kepada staf perawat di
ruangan dalam bentuk siang klinik, (10) Perawat ruangan rata-rata berusia muda,
produktif, dan bersemangat terhadap ilmu baru, (11) RSKD bekerjasama dengan UI
untuk pelaksanaan program residensi mahasiswa S2 FIK UI untuk peminatan
onkologi, (12) Pemantauan tanda-tanda vital fisiologis telah dilakukan oleh semua
perawat ruangan, (13) Telah terdapat tim emergensi pada setiap lantai di ruang
rawat inap
3.4.3.2 Weakness (Kelemahan)
tahapan inovasi ini meliputi tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. Rangkaian
kegiatan secara umum dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan yang ada
diruangan perawatan, menentukan kegiatan inovasi yang akan dilakukan,
menyusun proyek inovasi, melakukan konsultasi dengan pembimbing akademik
dan pembimbing klinik, melakukan presentasi dan sosialisasi di bidang
keperawatan, mengimplementasikan dan mengevaluasi proyek inovasi. Proyek ini
dilakukan dalam tiga tahapan yaitu :
3.4.4.1 Tahap Persiapan
menggunakan sistem skoring MEWS, sitem skoring dan algoritma MEWS, rencana
implementasi dan rencana evaluasi. Dalam penyajian kelompok mendapatkan
kritik dan saran yang selanjutnya dilakukan revisi proposal inovasi dan konsultasi
ulang terkait revisi yang dilakukan kemudian melaksanakan proyek inovasi sesuai
dengan proposal di ruang IGD RSK Dharmais.
Tahap Pelaksanaan
Adapun rencana pelaksanaan proyek inovasi ini adalah: (1) Menentukan tempat
pelaksanaan inovasi yaitu ruang IGD sebagai pilot project, (2) Mensosialisaikan
proyek rencana inovasi kepada bidang keperawatan, Memberikan pelatihan awal
tentang MEWS pada perawat IGD dan dilaksanakan selama 1 hari dengan metode
pemberian materi dan role play pada tanggal 11 April 2016. Pelatihan dilakukan
diruang IGD RSKD. Selanjutnya melakukan ujicoba penerapan MEWS pada semua
pasien yang masuk IGD. Uji coba dilaksanakan selama 2 minggu yaitu hari Senin-
Jumat (minggu kedua sampai minggu ketiga bulan April 2016) pukul 08.00-16.00
WIB.
Tahap Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan pada minggu ke empat bulan April. Point evaluasi berupa
tingkat kepuasan perawat terhadap MEWS, tingkat kemudahan
penggunaan chart MEWS
Evaluasi dilakukan dan kemampuan
oleh mahasiswa analisismenggunakan
residensi dengan hasil pengukuran TTV.dan
kuesioner
lembar observasi terhadap perawat IGD. Kuesioner terlampir
Dari tabel 3.6 terlihat rata-rata pasien berusia 46,14 tahun dengan standar deviasi
11,04 tahun. Pasien paling muda berusia 25 tahun dan paling tua berusia 75 tahun.
Untuk rata-rata skor MEWS awal yang teridentifikasi yaitu 4,04 dengan standar
deviasi 2,79 dimana skor yang paling rendah diperoleh yaitu 1 dan skor yang paling
tinggi diperoleh yaitu 14.
Distribusi pasien berdasarkan nilai kritis hasil laboratorium dapat dilihat pada tabel
3.7 berikut ini :
Tabel 3.7 Distribusi Pasien berdasarkan Critical Value Hasil Laboratorium
No Karakteristik Frekuensi (%)
1 Nilai laboratorium
Hemoglobin
Nilai kritis 6 (12,2)
Nilai aman 28 (57,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 15 (30,6)
Total 49 (100)
2 Leukosit
Nilai kritis 6 (12,2)
Nilai aman 28 (57,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 15 (30,6)
Total 49 (100)
3 Trombosit
Nilai kritis 3 (6,1)
Nilai aman 31 (63,3)
Tidak dilakukan pemeriksaan 15 (30,6)
Total 49 (100)
4 ANC
Nilai kritis 5 (10,2)
Nilai aman 11 (22,4)
Tidak dilakukan pemeriksaan 33 (67,3)
Total 49 (100)
5 D-dimer
Nilai kritis 5 (10,2)
Nilai aman 0 (0)
Tidak dilakukan pemeriksaan 44 (89,8
Total 49 (100)
6 Natrium
Nilai kritis 2 (4,1)
Nilai aman 27 (55,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 20 (42,8)
Total 49 (100)
7 Kalium
Nilai kritis 1 (2)
Nilai aman 28 (57,1)
Tidak dilakukan pemeriksaan 20 (40,8)
Total 49 (100)
8 Glukosa darah sewaktu
Nilai kritis 0 (0)
Nilai aman 22 (44,9)
Tidak dilakukan pemeriksaan 27 (55,1)
Total 49 (100)
Tabel 3.7 memperlihatkan jenis pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
pasien. Pemeriksaan hematologi rutin dilakukan pada 34 orang pasien dan
ditemukan 6 orang memiliki nilai kiritis untuk hemoglobin (≤ 6 g%; diagnosa medis:
1 carsinoma servik, 1 ALL, 1 carsinoma mamae, 1 multiple mieloma, dan 3 AML)
dan 6 orang dengan nilai kritis leukosit (< 2.10 3μL atau > 50.103μL; diagnosa medis:
1 carsinoma servik, 3 carsinoma mamae, dan 2 AML ) serta 3 orang memiliki nilai
kritis untuk trombosit (≤ 20.103μL; diagnosa medis: 1 multiple mieloma, dan 2
AML). Pemeriksaan ANC dilakukan pada 16 orang pasien dan ditemukan 5 orang
(diagnosa medis: 3 carsinoma mamae dan 2 AML) memiliki nilai kritis (< 1,5.10 3μL),
sedangkan pemeriksaan D-dimer dilakukan terhadap 5 orang pasien (diagnosa
medis: 3 carsinoma mamae, tumor otak dan
ALL) dan semuanya memiliki nilai kiritis (> 500 ng/ml). Pemeriksaan elektrolit
dilakukan pada 29 orang pasien dan ditemukan 2 orang memiliki nilai kritis untuk
kadar elektrolit natrium (< 120 mmol/L; diagnosa medis sarcoma dan carsinoma
mamae) dan 1 orang untuk elektrolit kalium (< 2,8 mmol/L; diagnosa medis
sarcoma). Sedangkan untuk pemeriksaan glukosa darah sewaktu dilakukan pada
22 orang pasien dan semuanya tidak memiliki nilai kritis (masih berada dalam
rentang 40-400 mg/dL).
3.4.6 Hasil Evaluasi Perawat terhadap Penggunaan MEWS
Dalam penerapan MEWS ini ada sekitar 10 perawat yang mencoba
pengisian grafik MEWS namun pada saat evaluasi hanya ada 5 perawat yang
berkontribusi di dalamnya. Berikut data distribusi perawat yang ikut dalam
pengisian form evaluasi penggunaan MEWS :
Tabel 3.8 Distribusi Perawat berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan
Jabatan
No. Karakteristik Frekuensi (%)
1. Jenis Kelamin
Laki-laki 3 (60,0)
Perempuan 2 (40,0)
Total 5 (100)
2. Tingkat Pendidikan
Strata II 1 (20,0)
Total 5 (100)
3. Jabatan
Total 5 (100)
Dari tabel 3.8 terlihat 60% perawat berjenis kelamin laki-laki, 80%
pendidikan Diploma III dan 80% perawat pelaksana. Sisanya berjenis kelamin
perempuan 40%, tingkat pendidikan Strata II 20% dan 20% sebagai kepala ruang.
Sedangkan pada tabel 3.9 rata-rata perawat berusia 33,8 tahun dengan usia
terendah 26 tahun dan tertua 42 tahun.
Untuk evaluasi tingkat kepuasan perawat terhadap penggunaan MEWS di
IGD selama masa uji coba 2 minggu dapat dilihat pada tabel 3.10 sebagai berikut :
mencegah kondisi perburukan pasien serta mencegah blue code serta algoritma
MEWS dirasakan cukup sistematis.
3.4.6.2 Evaluasi Tingkat Kemudahan Penggunaan MEWS
Sebagian besar perawat menyatakan setuju atau sangat setuju bahwa : (1)
Prosedur MEWS lebih mudah digunakan dalam monitoring kegawatan kondisi
pasien, (2) Prosedur MEWS memudahkan perawat dalam mengidentifikasi
kondisi kegawatan pada pasien, (3) Penerapan MEWS membantu dan
memudahkan clinical judgement dan penanganan tindak lanjut, (4) Grafik MEWS
mudah dalam pengisian, (5) Penerapan MEWS memudahkan kolaborasi dalam
melakukan penatalaksanaan terhadap kondisi pasien, (6) Sistem MEWS membantu
komunikasi yang efektif tim mutidisiplin yang lain tentang kondisi pasien.
Beberapa perawat sebelumnya telah mengenal Early Warning Score dari seminar
dan workshop Blue Code di Rumah Sakit lain. Namun karena sistem ini merupakan
hal baru yang diujicobakan di RS Kanker Dharmais, terdapat perawat yang
menyatakan belum terbiasa menerapkan MEWS. Melalui hasil evaluasi kuesioner
ini juga didapatkan opini perawat IGD bahwa:
Sebagian besar perawat menyatakan sistem MEWS cocok digunakan di IGD jika: (1)
Tenaga kesehatan yang tersedia memadai (perawat menyatakan bahwa pada
situasi tertentu perbandingan antara jumlah perawat dengan pasien adalah 3:25,
(2) Sarana dan prasarana mendukung (bed side monitor jumlahnya memadai serta
kecepatan waktu dari laboratorium dalam mengeluarkan critical value.
Ketersediaan bed side monitor ada 3 buah, tetapi hanya 1 buah bed side monitor
saja yang dirasa cukup akurat bila dilakukan double check pengukuran manual
meskipun telah melalui kalibrasi berkala.
Algoritme MEWS jelas dan dapat dimengerti tetapi belum realistis untuk
dilaksanakan terutama algoritma monitoring tiap 15-30 menit pada kategori
high risk. Hal ini terkait situasi dan kondisi IGD meliputi tenaga, sarana dan
prasarana yang dirasa belum memadai bila bed occupied terisi penuh atau
bahkan ekstra bed. Perawat IGD menyarankan untuk meninjau ulang
algoritma MEWS bila perlu dimodifikasi ulang dan disesuaikan dengan
realita di IGD RS Kanker Dharmais agar mampu laksana.
c. MEWS pada pasien kanker berbeda dengan pasien yang non kanker, sehingga
harus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan parameter MEWS
yang tepat untuk kasus kanker.
d. Inovasi MEWS sangat bagus dan berguna bagi seluruh perawat.
e. Chart MEWS disarankan dimodifikasi ulang formatnya menjadi lebih simpel
satu flowsheet saja mencakup seluruh aktivitas perawat.
Secara umum pelaksanaan pilot project MEWS berjalan dengan cukup baik. Namun
terdapat beberapa hal yang dirasa cukup mengganggu, diantaranya terkait dengan
waktu hasil print out pemeriksaan laboratorium pada pasien yang lama dan
terbatasnya fasilitas seperti bedside monitor. Lamanya waktu untuk mendapatkan
hasil pemeriksaan laboratorium menghambat proses identifikasi kegawatdaruratan
onkologi yang mungkin terjadi pada pasien. Sedangkan fasilitas yang terbatas
seperti sedikitnya jumlah bedside monitor menyebabkan durasi pemantauan
dalam jangka waktu singkat pada kategori high risk dilakukan secara manual
sehingga dirasa cukup memberatkan kerja perawat. Selain itu beberapa point
pengukuran seperti urine output dan jumlah perdarahan sedikit, menimbulkan
kesulitan dalam hal cara pengukuran yang tepat sehingga sulit diperoleh hasil yang
akurat.
Rekomendasi untuk Pengembangan Lebih Lanjut
Dalam penggunaan MEWS ini perlu : (1) Dilakukan peninjauan ulang terhadap
kategori-kategori yang di-skor pada MEWS termasuk dengan rentang nilainya
sehingga cocok untuk pasien kanker di Indonesia. Begitu juga dengan algoritme
penatalaksanaan dan frekuensi monitoring sehingga sesuai dengan
kemampuan tata laksana perawat di lapangan. Peninjauan ulang ini membutuhkan
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis melakukan analisis terhadap laporan kasus kelolaan utama,
30 kasus kelolan, penerapan EBN, dan proyek inovasi yang telah dilaporkan pada
bab 3. Pembahasan ditulis dengan menggunakan teori dan konsep serta bukti-
bukti ilmiah terkini dalam menjelaskan aplikasi teori dan konsep keperawatan
sebagai pendekatan pada pemberian asuhan keperawatan kasus kelolaan,
penerapan EBN, dan proyek inovasi.
Analisa Kasus Kelolaan Utama
Pengkajian Kasus Kelolaan Utama
Ny. S berusia 40 tahun, selain sebagai ibu rumah tangga, pasien juga bekerja
sebagai karyawan swasta di suatu perusaahan. Ny. S dalam bekerja selain
didalam perusahaan juga bekerja di lapangan atau sebagai pekerja lepas. Pasien
didiagnosa kanker payudara sejak tahun 2013. Menurut hasil biopsi tanggal
7/12/2013 : invasive carcinoma, no special type (NST) grade IIIB. Karsinoma
invasif tipe khusus (NST) juga dikenal sebagai karsinoma duktal invasif.
Karsinoma duktal invasif merupakan tipe paling umum dari karsinoma payudara.
Secara histologist, jaringan ikat padat tersebar berbentuk sarang. Sel berbentuk
bulat sampai polygonal, bentuk inti kecil dengan sedikit gambaran mitosis. Pada
tepi tumor, tampak sel kanker mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitar seperti
sarang, kawat atau seperti kelenjar. Grade IIIB berarti benjolan dengan berbagai
ukuran, dan kemungkinan kanker telah menyerang dinding dada atau kulit
payudara dengan bukti pembengkakan, peradangan, atau borok (seperti kasus
kanker payudara inflamasi). Kanker payudara juga mungkin telah menginvasi
hingga 9 kelenjar getah bening di dekatnya (Burstein, Polyak & Wong, 2004).
Grade IIIB juga dapat diklasifikasikan melalui TNM klinis yaitu T4 N apa saja
M0 atau T apa saja N3 M0. T4 adalah berapapun ukuran tumor, menyebar
langsung ke dinding thoraks atau kulit (dinding toraks termasuk tulang iga, m.
interkostalis, m. seratus anterior tidak termasuk m. pektorales). N3 adalah
metastasis kelenjar limfe infraklavikular ipsilateral, atau bukti klinis menunjukkan
terdapat metastase kelenjar limfe mamaria interna dan metastasis kelenjar limfe
aksilar. MO adalah tidak ada metastase jauh, T apa saja adalah ukuruan tumor
dapat berada di ukuran berapa saja dan N apa saja adalah metastasis dapat terjadi
di kelenjar limfe mana saja (Desen, 2011). Hasil biopsi tanggal 9/7/2014 : sediaan
mastektomi tidak mengandung sisa massa tumor. Metastase karsinoma payudara
pada 12 dan 14 kelenjar getah bening. Saat ini pasien didiagnosa kanker Mamae
bilateral dan Efusi Pleura metastase paru hepar, brain dan tulang
(TXN3bM1/Tumor primer telah direseksi, metastase kelenjar limfe mamaria
interna, dan aksilar, serta ada metastasis jauh). Hasil pemeriksaan penunjang Ny. S,
foto thorak tanggal 29/1/2016 segmental atelektasis lobus superior kanan, stqa;
bronkophneumonia stqa, dan efusi pleura bilateral stqa; sedangkan hasil USG
toraks tanggal 18/2/2016 efusi pleura bilateral (pleura kanan 292 ml kiri 608 ml).
Menurut keterangan klien dan keluarga pasien mempunyai keluhan sesak sudah 2
bulan sebelum masuk rumah sakit bertambah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mengatakan selain sesak nafas, dada nyeri skala 5 dan meningkat
menjadi 8 bila batuk. Nyeri berlangsung ± 3 menit.
Berdasarkan hasil pengkajian pasien terdiagnosa kanker payudara disertai efusi
pleura dan berdampak pada keluhan sesak nafas pasien. Efusi pleura secara
pleura (Giuseppe
konvensional Lombardi,
didefinisikan Maria,
sebagai Milena, cairan
akumulasi Pasquale, Maurizia,
abnormal Andrea,
di dalam Davide,
rongga
Martin & Vittorina, 2012). Kehadiran dari sel-sel ganas pada cairan pleura
menetapkan diagnosis efusi pleura karena keganasan. Efusi pleura keganasan
merupakan komplikasi yang umum pada kanker metastatik. Banyak hipotesis
mengenai patogenesis efusi pleura karena keganasan pada kanker. Efusi pleura
keganasan bisa terjadi ketika sel-sel kanker menyusup ke dalam pleura,
menghalangi pembuluh limfatik, dan faktor pertumbuhan cepat, seperti faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan menyebabkan kapiler bocor (Cheng, Rodriguez, Perkett,
Rogers, Bienvenu, Lappalainen & Light, 1999). Menurut penelitian epidemiologi,
insiden efusi pleura karena keganasan diperkirakan lebih dari 150.000 kasus baru
per tahun di Amerika Serikat dan 40.000 kasus baru di Inggris (Bennett &
Maskell, 2005). Efusi pleura karena keganasan paling sering disebabkan oleh
karsinoma paru-paru (37%), kanker payudara (25%), dan ovarium (10%). Penyebab
lainnya karena keganasan dari urogenital (7%) atau saluran pencernaan (9%) dan
limfoma (10%) (Lombardi, Zustovich, Nicoletto, Donach, Artioli & Pastorelli, 2010).
Gejala yang paling umum timbul dari efusi pleura karena keganasan yaitu dyspnea,
diikuti dengan batuk, nyeri dada, kelelahan, dan penurunan berat badan (Heffner
& Klein, 2008). Adanya efusi pleura mengurangi pergerakan dinding dada dan
diafragma serta mempengaruhi volume paru-paru. Sesak napas karena efusi pleura
keganasan jika tidak diobati dapat menyebabkan memburuknya gejala dan
biasanya membaik dengan terapi thoracocentesis (Jack, 2013). Hal ini sesuai
dengan hasil pengkajian pada Ny. S yang mengeluhkan sesak nafas, batuk, nyeri
dada, kelelahan dan juga penurunan berat badan yang semula 50 kg menjadi 44 kg
selama didiagnosis kanker payudara dan efusi pleura. Keluhan sesak nafas pada
Ny. S menyebabkaan Ny. S sulit tidur, pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pernafasan cuping hidung kadang bernafas melalui mulut, ada retraksi dinding
dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak
teratur, pemeriksaan TTV didapatkan RR 28x/menit menggunakan O2 nasal kanul
5L/menit, tekanan darah 110/70 mmHg, Suhu 37 0C, Nadi 110 x/menit, status
ECOG performance (eatern cooperative
hanya diantara
oncology group) 3tempat tidur dan
yaitu hanya kursimelakukan
mampu lebih dariperawatan
50% dari waktu terjaga.
diri yang Pasien
terbatas,
mengatakan sesak berkurang setelah pengeluaran cairan di paru-parunya.
Hasil pemeriksaan USG toraks Ny. S tanggal 18/2/2016 adalah efusi
pleura bilateral (pleura kanan 292 ml kiri 608 ml). USG toraks dapat
mengkonfirmasi adanya efusi, karakteristik, dan jumlah efusi pleura (Mayo &
Doelken P, 2006; Roberts, Neville, Berrisford, Antunes & Ali, 2010; Koenig,
Narasimhan & Mayo, 2011). USG toraks adalah cara khusus untuk menyelidiki
ukuran kecil efusi pleura atau untuk mengidentifikasi proses patologis yang
mungkin muncul dari gambaran efusi pleura, seperti konsolidasi, kolaps, hernia
diafragma, atau timbulnya hemidiafragma (Kastelik, Alhajji, Faruqi, Teoh &
Arnold, 2009). Lebih penting bila dilakukan oleh operator yang berpengalaman,
USG toraks dapat mendeteksi kelainan tertentu yang mungkin mendasari proses
keganasan, seperti penebalan pleura lebih dari 1 cm, nodularitas pleura, atau
penebalan diafragma lebih atau sama dengan 7 mm (Qureshi, Rahman & Gleeson,
2009). Hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura Ny. S belum ada selama 3 hari
perawatan.
Selain itu Ny. S mengatakan tahun 2009 terdapat benjolan sebesar biji asam di
payudara kiri namun tidak dilakukan pemeriksaan maupun pengobatan apapun
karena tidak terasa nyeri. Tahun 2012 pasien menikah dan mempunyai anak
melalui operasi sesar. Ketika menyusui bayi satu bulan pasien menderita usus
buntu dan dilakukan operasi usus buntu dan berhenti menyusui bayinya karena ASI
tidak keluar setelah operasi. Tahun 2013 benjolan yang ada di payudara kiri
membesar dengan sangat cepat. Tahun 2014 dilakukan operasi payudara kiri di RS
Bekasi. Setelah operasi pasien dianjurkan untuk mengikuti program kemoterapi
dan sudah berjalan 2x. Dua bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengatakan
sering sesak nafas dan aktivitas harus dibantu karena cepat merasa lelah. Pasien
juga mengatakan tidak bisa tidur terlentang dan harus dalam posisi duduk karena
sesak bertambah bila tidur terlentang.
Tanda awal dari kanker payudara adalah ditemukannya benjolan yang terasa
berbeda pada payudara, jika ditekan, benjolan ini tidak terasa nyeri maupun perih,
awalnya benjolan ini berukuran kecil semakin lama semakin membesar dan
(peau d’orange)
akhirnya ataukulit
melekat pada puting
ataususu, puting susu
menimbulkan masuk ke
perubahan dalam
pada kulit(retraksi),
payudara bila
tumor sudah membesar, muncul rasa sakit yang hilang timbul, kulit payudara
terasa seperti terbakar, payudara mengeluarkan darah atau cairan lain tanpa
menyusui, adanya ulkus, payudara sering berbau dan mudah berdarah (Hasdianah
& Suprapto, 2014). Hal ini sesuai dengan keterangan Ny. S yang mengatakan
awalnya muncul benjolan kecil yang tidak terasa nyeri namun benjolan ini
membesar dengan sangat cepat setelah Ny. S berhenti menyusui dan harus
dioperasi.
Dalam pengkajian tersebut juga didapat terkait usia pasien pada saat
menikah dan mempunyai anak, serta riwayat menyusui pasien. Berdasarkan
beberapa sumber kanker payudara sering dialami oleh wanita (Davey, 2006;
Desen, 2011; Williams & Wilkins, 2012). Beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan kanker payudara diantaranya usia, riwayat keluarga, karakteristik
reproduksi, kelainan kelenjar payudara, hormon estrogen, radiasi pengion diet dan
gizi. Pasien menikah dan mempunyai anak di usia 36 tahun (>35 tahun).
Berdasarkan usia, kehamilan pasien termasuk dalam usia tua yang menjadi faktor
risiko kejadian kanker payudara (Rasjidi, 2010). Pasien juga menyampaikan hanya
menyusui anaknya selama 1 bulan. Hal tersebut juga merupakan faktor risiko
kejadian kanker payudara dimana seseorang yang intesitas menyusuinya kurang
atau tidak menyusui berisiko terkena kanker payudara (Desen, 2011; Williams &
Wilkins, 2012; Black & Hawks, 2014).
Hasil pengkajian faktor risiko yang lain didapatkan bahwa pasien tidak mempunyai
riwayat merokok tetapi sebagai perokok pasif karena suaminya dan orang-orang di
tempat kerjanya mayoritas perokok. Merokok telah ditetapkan sebagai faktor
risiko utama untuk sejumlah kanker pada manusia, seperti kanker paru-paru,
rongga mulut, esofagus, laring, dan kandung kemih (Jha, 2009). Namun, hubungan
antara merokok dan kanker payudara masih diperdebatkan (Johnson et al., 2011;
IARC, 2012; U.S, Department of Health and Human Services, 2014). Ada juga bukti
bahwa merokok berkontribusi terhadap risiko kanker payudara pada wanita
(Johnson et al., 2011). Namun, bukti hubungan antara merokok pasif dan kanker
payudara tetap tidak meyakinkan (Johnson,
payudara
2005; telah
Johnson ditemukan
et al., berbeda antara
2011). Hubungan antara wanita
merokokpra dandan
pasif pasca
risikomenopause
kanker
(Johnson, 2005; Roddam et al., 2007; Reynolds et al., 2009; Johnson et al., 2011).
Hubungan sementara ditemukan pada wanita pra-menopause dan tidak konsisten
pada wanita pasca-menopause (Kropp, 2002; Hanaoka et al., 2005, Johnson et al.,
2011). Sebuah penjelasan untuk perbedaan ini adalah bahwa merokok memiliki
dua efek karsinogenik dan anti-estrogenik (IARC, 1986; Slattery et al., 2008.),
Dan kerentanan genetik mungkin terlibat dalam kedua karsinogenik atau jalur
yang terkait estrogen, akibatnya mempengaruhi kinerja efek karsinogenik dan
efek anti-estrogenik (Johnson, 2005). Karsinogen seperti hidrokarbon polisiklik
aromatik (polycyclic aromatic hydrocarbons/PAH), amina aromatik, N-
nitrosamin, dan spesies oksigen reaktif yang ada dalam asap tembakau mengarah
pada pembentukan adduct DNA, dan menyebabkan kerusakan satu atau dua
rangkaian DNA (Friedberg, 2006). Kerusakan DNA yang disebabkan oleh bahan
kimia beracun dalam asap mengaktifkan satu set kompleks jalur perbaikan DNA
(Hoeijmakers, 2001; Hao et al., 2004; Stern et al., 2007). Asap tembakau yang
berasal dari lingkungan juga lebih cepat diserap ke dalam darah dan sistem limfe
(IARC 1986 on Slattery et al., 2008). Sejumlah besar studi epidemiologi lain telah
meneliti hubungan antara rs2234693 dan risiko kanker payudara, dan beberapa
dari mereka telah melaporkan bahwa hal itu adalah terkait dengan kerentanan
kanker payudara (Li et al., 2010). Mengingat efek anti-estrogenik dari merokok,
ESR1 rs2234693 dipertimbangkan menjadi pengubah genetik lain. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa merokok pasif dikaitkan dengan peningkatan
risiko kanker payudara di kalangan baik pra dan pasca menopause perempuan,
sedangkan hubungan tampak bervariasi antara wanita pra dan pasca menopause
dalam arah yang berlawanan, tergantung pada genotipe rs1136410 PARP1 atau
rs2234693 ESR1 (Lu-Ying Tang et al., 2013).
Pasien menstruasi pertama kali usia 11 tahun (<12 tahun). Hal ini juga menjadi
faktor risiko kanker payudara kaitanya dengan karakteristik reproduksi (Rasjidi,
2010). Pasien belum pernah KB. Penelitian yang dilaksanakan oleh National Heart,
Lung, and Blood (NHLBI) tahun 2002 melaporkan penggunaan terapi hormon yang
kurang dari 5 tahun cenderung tidak meningkatkan risiko
lama (lebih
terkena kankerdari 10 tahun)
payudara namunmempunyai resiko
wanita yang tinggi untuk
menggunakan mengalami
terapi ini dalam kanker
waktu
payudara sebelum manopause (National Institutes of Health, 2002; Willett,
Rockhill & Hankinson, 2004). Pasien tidak mempunyai riwayat minum alkohol.
Sebuah penelitian menyebutkan wanita yang setiap hari minum 2-3 gelas alkohol
meningkatkan risiko terkena kanker mamae 21%. Risikonya tergantung jenis dan
dosis alkohol yang diminum (Fentiman, 2001; Terry, Zhang & Kabat, 2006).
Alkohol dianggap komponen dalam jalur metabolisme produksi estrogen. Jadi,
dengan meningkatkan tingkat sirkulasi estrogen, alkohol dapat meningkatkan
risiko kanker (Zhang, Lee & Manson, 2007). Terkait hal ini sangat dimungkinkan
kanker payudara pasien tidak disebabkan oleh faktor penggunaan KB maupun
konsumsi alkohol.
Salah satu faktor risiko lain yang dapat menyebabkan kanker payudara
adalah diet atau gizi (Desen, 2011). Pasien mengatakan tidak suka daging tetapi
sangat menyukai makanan instan. Karsinogen kimia seperti benzo [a] pyrene (BAP)
dan 2-amino-1-metil-6- phenylimidazo [4,5-b] piridin (PhIP) dapat berkontribusi
pada penyebab kanker yang terdapat pada makanan yang sering dikonsumsi
manusia (David, Ebbels & Gooderham, 2016). Dimungkinkan beberapa jenis
makanan yang dikonsumsi Ny. S mengandung zat-zat tambahan yang dapat
memicu pertumbuhan sel kanker. Ny. S juga mengatakan terkadang harus kerja
lapangan sehingga sering terpapar radiasi matahari dan polusi. Kelenjar payudara
relatif peka terhadap paparan radiasi. Paparan radiasi yang berlebih berisiko tinggi
menyebabkan kanker payudara (Desen, 2011)
Hasil riwayat penyakit dahulu pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, asma ataupun alergi. Hasil riwayat kesehatan keluarga pasien
mengatakan dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien
ataupun penyakit kanker yang lain, demikian juga keluarga dari ibu pasien juga
tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien. Hasil anamnesa
keluarga nenek dan kakek pasien tidak diketahui karena sudah meninggal. Salah
satu faktor predisposisi dari penyakit kanker adalah faktor genetik. Faktor genetik
yang dimaksud adalah adanya mutasi pada beberapa gen yang berperan penting
dalam pembentukan kanker payudara gen yang dimaksud adalah beberapa gen
Society,
yang 2007).
bersifat Penelitian
onkogen menemukan
dan gen padamensupresi
yang bersifat wanita dengan saudara
tumor primer
(American seperti
Cancer
ayah/ibu, saudara perempuan ayah/ibu, kakak/adik yang menderita karsinoma
mamae, probabilitas terkena karsinoma mamae lebih tinggi 2-3 kali dibanding
wanita tanpa riwayat keluarga dengan karsinoma mamae (Webb, 2002 & Dennis
2009). Pada wanita dengan mutasi gen BRCA-1 atau BRCA-2 akan membawa
mutasi 50-90% pada keluarganya sehingga akan meningkatkan angka kejadian
kanker payudara dan kemungkinan perkembangan kanker payudara sebelum usia
50 tahun (Lewis, 2011). Kemungkinan faktor genetik bukan merupakan faktor
risiko kanker payudara pada Ny. S.
pada Ny. S yang didiagnosis kanker dengan stadium lanjut. Didiagnosa dan hidup
dengan penyakit mengancam jiwa seperti kanker adalah peristiwa yang sangat
mempengaruhi beberapa aspek kehidupan individu dan bahkan membuat pasien
mengalami masalah psikologis seperti takut mati dan takut tidak mendapatkan
kesembuhan atau takut mengalami kekambuhan penyakit, serta mengalami
perubahan kualitas hidup (Kang, 1999; Schreier & Williams, 2004), selain itu juga
dapat berdampak pada gejala fisik seperti nyeri dan kelelahan (Miaskowski et al.,
2006). Masalah fisik dan psikologis yang terjadi pada pasien kanker merupakan
peristiwa yang saling terkait (Yang, Jeon, Han, Han, & Eom, 2000),
Pengobatan dan terapi yang diberikan kepada Ny. S bersifat paliatif. Tujuan dari
perawatan paliatif adalah memberikan kenyamanan dan meningkatkan kualitas
hidup pasien di akhir kehidupan (Tomey & Alligod, 2010). Kenyamanan adalah hasil
yang sangat diinginkan oleh pasien dan keluarga pasien dengan kanker, dan
karenanya merupakan tujuan penting dari proses keperawatan (Miaskowski et al.,
2006).
Pengkajian menggunakan pendekatan teori peaceful end of life dimulai dengan
wawancara riwayat kesehatan (anamnesis) serta mengamati Ny. S selama
berinteraksi. Hal tersebut sesuai dengan Black dan Hawks, (2014) yang
keperawatan
menyatakan yangpengkajian
bahwa dimulai dengan wawancara
keperawatan riwayatlangkah
merupakan kesehatan (anamnesis)
pertama proses
serta mengamati klien selama berinteraksi. Pengamatan ini akan mengarahkan
perawat pada aspek yang perlu difokuskan saat pemeriksaan fisik selanjutnya.
Selain itu menurut Ciplaskey (2014) rasa kepercayaan dan kedekatan antara
perawat dan pasien juga menjadi bagian yang penting saat melakukan pengkajian.
Dengan adanya kedekatan dan rasa saling percaya tersebut diharapkan masalah
120
pasien yang sifatnya pribadi dapat digali secara lebih mendalam. Pengkajian yang
dilakukan sesuai dengan teori peaceful end of life meliputi pengkajian nyeri,
kenyamanan, dihargai dan dihormati, kedamaian dan kedekatan dengan keluarga
atau orang yang bermakna bagi pasien (Ruland, C. M., & Moore, S. M. (1998)
dalam Alligood & Tomey 2010). Berdasarkan hasil pengkajian secara umum dan
pengkajian dengan pendekatan teori peaceful end of life, didapatkan beberapa
masalah keperawatan yang muncul pada Ny. S yaitu ketidakefektifan pola nafas,
Normalnya rongga pleura berisi cairan dalam jumlah relatif sedikit yaitu 0,1 – 0,2
mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsi cairan pleura adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan (Broaddus, 2009). Ny.
S memiliki berat badan 44 kg sehingga cairan efusi yang seharusnya ada pada Ny. S
adalah sekitar 4,4-8,8 cc. Adanya cairan pleura yang melebihi normal pada Ny. S
menyebabkan keluhan sesak nafas dan nyeri dada pada Ny. S. Efusi pleura
dipertimbangkan sebagai penyebab sesak napas pada pasien dengan riwayat
kanker. Kehadiran tanda-tanda fisik, seperti ekspansi paru-paru menurun, perkusi
redup, dan penurunan udara yang masuk ke dalam paru-paru, mungkin mengarah
ke diagnosis efusi pleura (McGrath & Anderson, 2011). Dalam pemeriksaan fisik
Ny. S nampak pernafasan cuping hidung, kadang bernafas melalui mulut, ada
retraksi dinding dada, suara nafas tambahan ronkhi basah, pasien nampak gelisah,
pola pernafasan abnormal, nafas cepat 28x/menit meski telah menggunakan O2
nasal kanul 5ltr/menit, pasien tampak pucat sianosis, SaO2 97%, denyut nadi cepat
110x/menit dan perkusi paru yang redup.
Rontgen dada akan menjadi pilihan pemeriksaan karena dapat mendeteksi 200 ml
atau lebih dari cairan pleura (Hooper, Lee & Maskell, 2010). Selain rontgen dada,
USG toraks, Computed Tomography (CT) dan 18F-fluorodeoxy-
penilaian
glucosa pasien
(FDG), dengan efusi pleura
Positron-Emission (Heffner,
Tomography 2010).
(PET) Pada Ny.
CT dapat S telahuntuk
digunakan dilakukan
rontgen dada dan USG toraks yang menggambarkan adanya efusi pleura bilateral.
Sampling cairan pleura melalui thoracocentesis memungkinkan untuk analisis
lebih lanjut yang dapat membantu untuk mendiagnosa asal efusi pleura
keganasan. Sampel cairan pleura secara rutin dianalisis meliputi protein, LDH,
glukosa, dan pH disamping menjalani pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi
(Hooper, Lee & Maskell, 2010). Kadar glukosa cairan pleura yang rendah < 60
mg/dl dan pH < 7.35 menunjukkan kondisi yang buruk akibat efusi pleura karena
keganasan (Rodriguez & Lopez, 1999). Limfosit adalah sel yang paling sering
ditemukan, meskipun dominasi eosinofil dapat dilihat dalam sepertiga kasus efusi
pleura keganasan (Oba & Abu, 2012). Diagnostik hasil analisis sitologi dapat
setinggi 60%, terutama bila digunakan untuk mengidentifikasi adenokarsinoma
metastatik tetapi rendah pada kasus mesothelioma ganas sekitar 20%, karena pada
kasus ini sangat sulit dibedakan antara normal, reaktif, dan sel mesothelial ganas
(Husain, Colby, Ordonez, Krausz, Borczuk & Cagle, 2009). Biopsi pleura
thoracoscopic dapat dilakukan disamping melakukan pemeriksaan sitologi cairan
pleura. Hal tersebut dapat meningkatkan hasil sitologi diagnostik untuk kasus
keganasan sekitar 27% (Swiderek, Morcos, Donthireddy, Surapaneni , Jackson &
Schultz, 2010). Selama pengelolaan Ny. S, hasil pemeriksaan sitologi cairan pleura
belum ada.
Pasien telah dipasang WSD pigtail kiri tanggal 10/3/2016 dan dilakukan pleurodesis
kanan tanggal 14/3/2016. WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00, 08.00,
11.00, 14.00, 17.00, 20.00 dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD
kiri diloss ganti botol tiap pagi. Kateter pigtail dapat ditempatkan di samping
tempat tidur. Kateter ini jauh lebih kecil dalam ukuran (8-12 French), dan terbuat
dari silikon, sehingga jauh lebih fleksibel dan nyaman bagi pasien. Setelah
ditentukan penempatan yang tepat dalam rongga pleura, kateter ditempatkan
secara tepat, ujung kateter melingkar untuk menguncinya dan mencegah cedera
tembus (Tsai, Chen, Lee, Cheng, Chen, Hsu & Shih, 2006). Pasien yang mengalami
efusi masif dan mengalami pendesakan pada jaringan paru, tindakan pemasangan
kateter yang menetap merupakan pilihan tindakan utama. Namun jika
adalah
tidak adapleurodesis
pendesakan(pleural sklerosis).
terhadap paru, Pada
makabeberapa pasien,
pilihan lain drainase
yang dapat cairan efusi
digunakan
pleura dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh
distorsi diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya
sering berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis
atau pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan
cairan efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Sebuah penelitian non-
randomized didapati bahwa 34 pasien yang memilih menggunakan kateter
menetap, secara signifikan lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang
mengalami rekurensi efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas hidup
dibanding 31 pasien lainnya yang memilih tindakan pleurodesis (Fysh et al.,
2012). Reddy, Ernst, Lamb dan Feller (2011) melaporkan bahwa pasien yang
memilih menggunakan kateter menetap menggambarkan tingkat keberhasilan
92% dibanding dengan pleurodesis dan untuk lama tinggal rumah sakit relatif
singkat berkisar 1,79 hari.
bila otot bronkus tersebut dalam keadaan konstriksi, misalnya pada keadaan asma.
karena efek samping yang lebih banyak dan batas keamanan yang sempit maka
golongan metilxantin hanya dianjurkan jika pemberian kombinasi inhalasi β2 -
Agonis dan ipatropium bromida tidak memberikan respons (GINA, 2011).
Intervensi selanjutnya yang diberikan untuk Ny. S adalah memposisikan pasien
untuk memaksimalkan ventilasi dan mempertahankan jalan nafas yang paten.
Ny. S lebih sering dalam kondisi duduk. Penelitian Tomomi, Tetsuo,
Takeshi, Toru dan Fumio (2011), melaporkan bahwa posisi Semi-fowler menjadi
posisi yang paling efektif untuk mengurangi masalah pernapasan dan dyspnea
khususnya pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (Chronic
Obstructive Pulmonary Disease/COPD). Selanjutnya kegiatan yang dilakukan yaitu
memonitor tanda vital secara rutin. Monitoring vital sign telah terbukti menjadi
prediktor paling akurat untuk menilai penurunan kondisi pasien (Matthew, Richa &
Dana, 2016).
Selain itu pemberian informasi tentang pentingnya penerapan teknik relaksasi
nafas dalam untuk memperbaiki pola nafas, mengajarkan batuk efektif dan
menerapkan fisioterapi dada juga dapat membantu mengurangi masalah sesak
nafas yang terjadi pada pasien (Carpenito, 2009). Pada Ny. S selain
efektif. bronkodilator juga diajarkan teknik relaksasi nafas dalam dan batuk
diberikan
Sedangkan tindakan Oxygen Therapy utama yang dilakukan adalah selain
menjaga kebersihan mulut, hidung dan trakhea dari sekret, yaitu mengatur
perlengkapan pemberian oksigen termasuk kehangatan humidifier, memonitor
ukuran aliran oksigen O2 nasal kanul 5ltr/mnt, memonitor posisi alat pemberian
oksigen, memonitor efektivitas ketepatan pemberian terapi oksigen (saturasi
oksigen, pulse oximetri), memantau status mental, memantau pengeluaran cairan
pleura melalui selang WSD. WSD kanan buka tutup per 3 jam (02.00, 05.00,
08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00 dan 23.00 WIB) dialirkan ± 200cc, WSD kiri
diloss ganti botol tiap pagi.
Setelah dilakukan tindakan respiratory monitoring dan oxygen therapy
selama 3 hari perawatan respiratory status dalam skala rating outcome level 3
(cukup menyimpang dari ukuran normal) dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat
pasien masih mengeluh sesak nafas dan masih sulit tidur. Pasien mengatakan
hanya bisa tidur dalam posisi duduk sambil memeluk bantal. Pasien masih nampak
bernafas lewat mulut dan dalam kondisi duduk memeluk bantal, terkadang batuk
disertai dahak. Klien masih tampak bertambah sesak saat diwawancara dan harus
menunggu sesak berkurang untuk melanjutkan proses wawancara. Hal ini
dimungkinkan karena ketidakcukupan oksigen yang diterima Ny. S. disamping
karena adanya efusi pleura yang membuat pergerakan kembang kempis paru tidak
optimal. Adanya cairan pleura yang melebihi normal pada Ny. S menyebabkan
ekspansi paru-paru menurun sehingga kebutuhan oksigen Ny. S tidak tercukupi,
selain itu selama pengelolaan, Ny. S hanya mendapat oksigen 5ltr/menit
menggunakan nasal kanul sementara perhitungan kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan pada Ny. S adalah 7-9 liter/menit yang dapat diberikan menggunakan
masker sederhana yang memberikan aliran oksigen sebanyak 5-8 liter/menit atau
menggunakan masker rebreathing 8-12 liter/menit. Rumus menghitung kebutuhan
oksigen MV=VTxRR dimana MV adalah Minute Ventilation, udara yang masuk ke
sistem pernapasan setiap menit, VT adalah Volume Tidal (6-8 ml/kg bb), RR adalah
Respiration Rate (Rogayah, 2009). Karena BB Ny. S saat ini 44 Kg dan
pernafasan Ny. S 28x/menit. Maka
pemeriksaan fisik masih nampak
MV=(44kgx(6-8ml))x28=7-9 pernafasan
ltr/menit. cuping
Skor ESAS hidung,Ny.
kelelahan adaS retraksi
7. Dalamdinding
dada, suara nafas tambahan ronkhi basah. Pemeriksaan TTV RR 28x/menit
menggunakan O2 nasal kanul 5 ltr/mnt, tekanan darah 100/70 mmHg, Suhu
36,80C, Nadi 100 x/menit, SaO2 98%, dan gambaran foto toraks efusi pleura
bilateral. Produksi WSD kanan/3 jam maksimal dikeluarkan 200 cc, perhari rata-
rata 500 cc, kiri di loss produksi ±400 cc/hr. Respiratory monitoring tetap
dilakukan selama pasien mengeluh sesak nafas. Selain itu pasien juga diberikan
tindakan oxygen therapy (3320) dengan harapan pasien akan mampu
mempertahankan respiratory status : ventilation (0403). Setelah pemberian
intervensi rating outcome berada pada level 3 (cukup menyimpang dari ukuran
normal) dan 3 (sedang), hal tersebut dapat dilihat pasien masih mengeluh sesak
nafas, pasien masih tampak gelisah, adanya pernafasan cuping hidung, pola
pernafasan abnormal, nafas cepat 28x/menit menggunakan O2 nasal kanul 5
ltr/menit, pasien masih tampak pucat, SaO2 meningkat jadi 98%, denyut nadi
cepat 100x/menit dan gambaran foto toraks efusi pleura bilateral. Produksi WSD
kanan ±500 cc/hari, kiri ±400 cc/hr. Intervensi oxygen therapy dilanjutkan.
Bila dilihat dari konsep teori PEOL, sesak nafas dapat dihubungan dengan masalah
kenyamanan. Perasaan nyaman diartikan sebagai perasaan terbebas dari rasa
ketidaknyamanan, merasa senang dan puas terhadap sesuatu serta merasa hidup
lebih mudah, damai dan menyenangkan (Ruland & Moore (1998) di dalam Tomey
& Alligood, 2010). Dengan pemberian tindakan meliputi mencegah, memonitoring
dan membebaskan ketidaknyamanan fisik termasuk ketidaknyamanan karena
sesak nafas, memfasilitasi untuk beristirahat dan relaksasi serta mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi diharapkan kebutuhan kenyamanan Ny. S dapat
dipenuhi.
4.1.2.2 Nyeri Kronis
50% pasien yang menerima pengobatan kanker (Beck, Dudley & Barsevick, 2005).
Nyeri, kelelahan, dan gangguan tidur memiliki dampak negatif pada pasien seperti
status fungsional dan kualitas hidup (Dodd, Miaskowski & Paul, 2001). Hal yang
sama disampaikan oleh Paice (2011), nyeri kanker merupakan suatu ancaman
besar bagi kualitas hidup pasien. Serupa dengan yang diungkapkan Ny. S, selain
keluhan nyeri Ny. S juga mengeluhkan adanya gangguan tidur dan kelelahan saat
beraktivitas. Dalam pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak gelisah, kadang
pasien menarik nafas panjang sambil memeluk bantal, namun jika batuk timbul,
nampak ekspresi menahan nyeri (menyeringai) yang menunjukkan timbulnya nyeri
pada saat batuk berlangsung. Pasien kadang meringis sambil memegangi dadanya.
Untuk itu nyeri yang terjadi pada Ny. S memerlukan penanganan yang optimal agar
kualitas hidup pasien dan status fungsional pasien dapat ditingkatkan.
Mekanisme nyeri diawali dengan aktivasi nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf
bebas yang tersebar di seluruh tubuh (di perifer kulit, fasia, tulang periosteum,
otot rangka, ligamen, dan membran mukosa). Aktivasi nosiseptor ini dimediasi
secara kimiawi oleh bradikinin, prostaglandin, subtansi P, histamin, serotonin,
leukotrien, dan faktor pertumbuhan saraf. Zat-zat kimia tersebut
muncul sebagai tanda adanya (1) penghancuran dinding sel sebagai akibat
peristiwa kerusakan jaringan, perlukaan, invasi tumor, dan nekrosis sel; (2)
inflamasi; (3) infeksi; (4) kerusakan saraf; dan (5) ekstravasasi plasma dari sistem
sirkulasi berhubungan dengan edema, iskemia atau oklusi pembuluh darah.
Dengan adanya zat kimia tersebut sensitivitas reseptor dan membran serat saraf
meningkat sehingga menghasilkan sinyal sensasi nyeri. Sensasi nyeri tersebut
dibagi menjadi dua cepat dan lambat. Nyeri cepat dihasilkan oleh saraf kecil
bermielin. Saraf ini membuat koneksi sinaps di medulla spinalis. Satu koneksi
mengaktivasi neuron motorik yang memicu refleks pergerakan organ yang terkena
trauma (misal menarik tangan karena adanya sensai panas). Koneksi sinaps yang
lain mengaktivasi urutan neuron yang melewati talamus dan berakhir di korteks
sensori, sistem limbik, dan hipotalamus sehingga memberikan sensasi nyeri
(tajam dan terlokalisasi). Sedangkan nyeri lambat dihasilkan oleh saraf kecil tidak
bermielin. Saraf ini juga banyak membuat koneksi pada medulla spinalis dan
Ny. S juga mengungkapkan karena nyeri menjadikan Ny. S sulit tidur. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Dodd, Miaskowski dan Paul, (2001) yang menyatakan bahwa
nyeri memiliki dampak negatif berupa gangguan tidur sehingga dapat mengganggu
status fungsional dan kualitas hidup pasien.
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah nyeri kronis
(kode 00133) berhubungan dengan proses perkembangan penyakit akibat infiltrasi
sel kanker ke jaringan sekitar menurut NIC pada Ny. S adalah dengan pain
management (1400). Pain management adalah mengurangi, meringankan atau
menurunkan level nyeri sampai pada level kenyamanan sehingga hal tersebut
dapat diterima oleh pasien (Nursing Interventions Classification/NIC, 2013).
Dengan dilakukan tindakan pain management (1400) diharapkan Ny. S akan
mampu mengontrol nyeri (1605) dengan skala rating outcome pada level 5
(menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil mampu mengenali gejala nyeri,
mendiskripsikan faktor penyebab, menggunakan catatan untuk memonitor gejala
setiap waktu, menggunakan tindakan pencegahan, menggunakan tindakan non
farmakologi untuk mengurangi nyeri, menggunakan analgetik yang
direkomendasikan, melaporkan perubahan gejala nyeri kepada petugas kesehatan,
melaporkan tak terkendalinya gejala nyeri kepada petugas kesehatan,
melaporkan nyeri
menggunakan yangyang
sumber dapat dikontrol.
tersedia, mengenali hubungan gejala dengan nyeri,
Tindakan utama yang dilakukan adalah melakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, onset, dan durasi secara berkala.
Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi aspek bio, psiko, sosio
dan spiritual dapat menghindari penilaian yang salah mengenai nyeri yang
dipersepsikan oleh Ny. S. Dengan pengkajian yang komprehensif perawat dapat
memberikan penatalaksanaan nyeri yang tepat terhadap Ny. S. Margo McCaffery
salah seorang penggagas dalam keperawatan nyeri mendefinisikan nyeri sebagai
sesuatu yang dikatakan oleh individu yang merasakan nyeri dan ada ketika nyeri
tersebut dikatakan ada. Nyeri merupakan hal subjektif dan hanya individu yang
mengalami nyeri yang dapat mengungkapkan secara akurat terkait kejadian nyeri
yang dialaminya (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Black & Hawks, 2014).
Untuk itu perawat memiliki tanggungjawab untuk mengkaji secara akurat dan
membantu menolong meredakan nyeri yang dialami oleh pasien (Black & Hawks,
2014). Tujuan utama dari pengkajian nyeri adalah untuk mengidentifikasi
penyebab nyeri, untuk memahami persepsi klien terhadap nyeri, untuk mengukur
karakteristik nyeri, untuk memutuskan tingkatan nyeri sehingga klien dapat
meneruskan partisipasi terhadap aktivitas sehari-hari (activity daily living/ADL) dan
untuk mengimplementasikan teknik manajemen nyeri. Dalam proses pengkajian
perawat mengumpulkan riwayat nyeri termasuk faktor yang dapat memperparah
maupun memperingan nyeri, serta pengumpulan data subjektif dan objektif
dengan menggunakan alat ukur (American Pain Foundation, 2007). National
comprehensive cancer network (NCCN) di Amerika Serikat menekankan pentingnya
pengkajian nyeri secara komprehensif yang meliputi intensitas, kualitas, onset, dan
durasi nyeri, tindakan yang dapat meningkatkan maupun mengurangi nyeri,
riwayat penggunaan obat nyeri, hasil laboratorium dan foto terkait organ yang
mengalami nyeri.
Pengelolaan pemberian terapi farmakologi dan non farmakologis dilakukan secara
berkesinambungan sehingga efektifitas dari penerapan keduanya dapat segera
dirasakan oleh pasien. Terapi farmakologi yang digunakan untuk nyeri kronis harus
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan
yang tidak
dengan diinginkan, baik
menyeimbangkan dalamdiperoleh
manfaat jangka pendek maupun dengan
dari analgesik jangka panjang (Bashir
efek samping
& Colvin, 2013). Ny. S diberikan terapi farmakologi berupa ketorolac. Pemberian
ketorolac 30 mg + Ns 100cc tiap 8 jam melalui intravena pada Ny. S diharapkan
akan meningkatkan kenyamanan Ny. S disamping dengan melakukan tindakan
distraksi dan relaksasi sebagai terapi non farmakologi. Ketorolac merupakan
golongan obat non steroidal anti inflamatory drugs (NSAID) atau obat
antiinflamasi non steroid (AINS) yang bekerja menurunkan inflamasi dan
menghambat prostalglandin yang mempunyai efek meredakan nyeri. NSAID
sangat berguna bagi klien yang mengalami nyeri akibat kanker atau pasca operasi
karena faktor utama penyebab nyeri pada klien ini adalah kerusakan sel. Agen ini
juga menghambat agregasi platelet, meningkatkan risiko hemoragi sehingga
dalam pemakaiannya harus dimonitor secara ketat (Brune & Zeilhoffer, 1999
dalam Black & Hawks, 2014).
Sebelum masuk rumah sakit Ny. S mempunyai riwayat mengkonsumsi obat Aspirin
3x1 dalam sehari. Aspirin merupakan golongan obat analgesik non opioid yang
memiliki dosis maksimal namun tidak menyebabkan ketergantungan. Lokasi kerja
aspirin terutama di bagian perifer dari lokasi reseptor dan menjalankan fungsi
sebagai antiinflamasi dan mencegah produksi prostalglandin sehingga mencegah
pelepasan serotonin dengan efek menurunkan atau meredakan nyeri pada
neurotransmiter. Aspirin memiliki efek antiplatelet dan iritan terhadap lambung
untuk itu aspirin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak usia di bawah 12 tahun
(Acute Pain Management Guidline Panel, 1992 dalam Black & Hawks, 2014). Nyeri
skala 5 yang meningkat disaat batuk menjadi 8 pada Ny. S secara fisiologi terjadi
karena adanya kerusakan jaringan akibat adanya desakan sel kanker dan inflamasi,
sehingga pemberian analgetik aspirin dan ketorolac diharapkan akan mengurangi
nyeri yang dialami oleh Ny. S. Seperti yang disampaikan Ny. S bahwa nyeri akan
berkurang sesaat setelah pemberian obat anti nyeri.
Manajemen prosedural nyeri merupakan masalah penting bagi perawat dalam
praktek keperawatan (Turner et. al, 2008). Tindakan nonfarmakologi yang
diberikan pada Ny. S adalah berupa relaksasi nafas dalam yang berkontribusi
dalam meredakan atau menurunkan nyeri dengan mengurangi ketegangan otot
dan
kecemasan serta pemberian teknik distraksi untuk mengalihkan perhatian dari
sensasi nyeri (Kim SD & Kim HS, 2005) dengan menyarankan Ny. S melakukan
aktivitas yang dapat menyenangkan fikiran berupa menonton film atau video
favorit, mendengarkan musik favorit, membaca buku favorit atau berinteraksi
dengan pasien lain. Menurut Dunfort (2010), relaksasi nafas dalam dan distraksi
mampu mengurangi intensitas nyeri kronis maupun nyeri akut karena dapat
memperbaiki kondisi baik dari segi fisik maupun psikologis.
Meningkatkan istirahat dan tidur yang adekuat dengan menganjurkan
pasien untuk beristirahat yang cukup serta mengevaluasi keefektifan kontrol nyeri
pasien setelah dilakukan intervensi keperawatan menjadi bagian intervensi lain
yang dilakukan oleh perawat. Dengan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
diharapkan kenyamanan pasien akan tercapai. Penelitian Lisa, Gillian, Margot,
Peter dan Rosemary, (2015) menjelaskan bahwa tidur memainkan peran mendasar
dalam kesehatan psikologis, kemampuan neurokognitif dan kualitas hidup dari
anak-anak dan orang dewasa yang sehat maupun yang menderita sakit, nyeri,
kecemasan dan tekanan emosional. Pola tidur yang buruk berdampak pada
kualitas hidup dan persepsi serta kemampuan untuk mengatasi tantangan
emosional dan fisik yang terkait dengan kanker dan pengobatannya. Meningkatkan
kebutuhan tidur terkait dengan kanker merupakan tugas kesehatan profesional,
pedoman praktek telah diterbitkan untuk pencegahan, skrining, penilaian dan
pengobatan gangguan tidur pada orang dewasa dengan kanker di Kanada.
4.1.2.3 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan
makan tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir. BB: 44 kg , TB: 155 cm, IMT:
18,33 kg/m2 (kategori: underweight), kehilangan BB > 10%, Hb : 10,7 g/dL, turgor
menurun. Skor ESAS mual 6, skor ESAS tidak nafsu makan 6. Index Masa
Tubuh/IMT adalah penilaian gizi melalui tinggi badan dan berat badan yang diambil
pada kunjungan klinik dengan menggunakan rumus BB/TB (meter) 2. IMT selain
digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh (BMI; dihitung sebagai kg/m2)
juga untuk mengklasifikasikan peserta dalam berat badan normal, kelebihan berat
badan atau obesitas dan underweight (Ogden, Carroll, Kit & Flegal, 2014).
Tidak nafsu makan dan penurunan berat badan pada Ny. S muncul sebagai hasil
dari proses penyakit dan pengobatan. Mekanisma kaheksia dan anoreksia pada
pasien kanker dapat dijelaskan melalui peran sitokin tubuh. Beberapa penelitian
telah mengidentifikasi bahwa sejumlah sitokinase termasuk faktor alfa nekrosis
tumor, interleukin-1, interleukin-6, dan interferon menyebabkan masalah nutrisi
termasuk kaheksia. Substansi-substansi ini diperkirakan merupakan penyebab
anoreksia, peningkatan laju metabolisme yang dapat mengganggu penyimpanan
lemak dan mengakibatkan hilangnya protein dalam otot (McCarthy, 2003). Sumber
lain menyebutkan hal serupa bahwa klien dengan kanker memiliki
risiko malnutrisi protein dan kalori. Hal ini dapat berakibat buruk seperti (1)
berkurangnya toleransi terhadap aktivitas, (2) menurunnya kecepatan
penyembuhan dan (3) berkurangnya kualitas hidup (Rasjidi, 2010; Black &
Hawks, 2014). Manajemen keperawatan untuk mencegah status nutrisi yang
menurun bergantung pada pengkajian kondisi pasien. Jika diindikasikan, pasien
dapat dirujuk ke ahli gizi untuk mendapatkan pemeriksaan secara menyeluruh.
Pasien dapat diberikan kebebasan memilih diet yang disukai dan dianjurkan untuk
mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan tinggi protein yang berasal dari sumber
makanan alami maupun suplemen (National Cancer Institute, 2004).
Penurunan nafsu makan Ny. S dimungkinkan pula karena dampak dari
nyeri kronis, yang dialami Ny. S. Beberapa penelitian menyebutkan nyeri kronis,
mempengaruhi asupan makanan diantaranya perubahan nafsu makan, makanan
tidak tercerna, mual, dan muntah (Pell, Presnell, Edwards, Wood, Harrison &
DeCastro, 2005; Gold, Mahrer, Yee, & Palermo, 2010). Gangguan makan karena
nyeri kronis akan memiliki pengaruh lebih besar terhadap penurunan indeks massa
tubuh (BMI) dibanding tanpa keluhan nyeri kronis (Leslie, Jocelyn, Karen, Tracy &
Barbara, 2016). Selain nyeri kronis, penurunan nafsu makan Ny. S kemungkinan
disebabkan pula karena faktor psikologis (cemas akan kondisi kesehatannya). Hal
ini sesuai dengan penelitian Gupta, Vashi, Lammersfeld dan Braun, (2011) yang
menyatakan bahwa penyebab penurunan nafsu makan pada pasien kanker
bermacam-macam diantaranya karena perubahan rasa dalam pengecapan, efek
samping dari terapi yang dijalani, faktor psikologis (ansietas), dan karena peran
sitokin dalam regulasi makanan.
Pengkajian kebutuhan nutrisi yang cermat dan tepat diperlukan dalam
penatalaksanaan pasien dengan kanker yang sedang menjalani terapi maupun
dalam tahap pemulihan. Menurut kebutuhan metabolit basal kebutuhan nutrisi
pada pasien kanker untuk perempuan dapat diperhitungkan melalui rumus
655,0955 + (9,5634 x BB kg) + (1,8496 x TB cm) – (4,6756 x usia). BMR (basal
metabolic requerement) adalah kebutuhan energi atau kalori yang dibutuhkan
tubuh dalam sehari dalam kondisi istirahat (Harris & Benedict, dalam Rasjidi,
2010). Dari rumus tersebut dapat dihitung BMR pada Ny. S yaitu 655,0955 +
(9,5634 x 44 kg) + (1,8496 x 155 cm) – (4,6756 x 40) = 1175, 5491. Jadi
Kebutuhankalori
kebutuhan kalori Ny.
ini hanya digunakan
S dalam olehistirahat
keadaan aktivitasadalah
organ vital
1175tubuh. Namun
kalori/hari.
jika dilihat dari level aktivitas kebutuhan kalori Ny. S adalah tidak aktiv yang
mana Ny. S tidak melakukan aktivitas olahraga sama sekali dalam seminggu.
Maka melihat dari level aktivitas Ny. S, kebutuhan kalori Ny. S menjadi
1175x1,2=1410 kalori/hari.
Dalam pengkajian Ny. S menyatakan tidak ada alergi makanan. Saat ini
Ny. S menyukai jus buah. Ny. S menerima tambahan terapi nutrisi berupa
amiparen 1000cc per 24 jam dan NaCl 0,9% 1000cc tiap 24 jam. Amiparen adalah
larutan infus steril yang mengandung asam Amino, digunakan untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pasien melalui parenteral. Perhitungan kebutuhan energi pada
pasien kanker bergantung pada kondisi pasien dengan nilai berkisar 28-42 kkal/
kg berat badan/hari. Jadi menurut berat badan, Ny. S memerlukan ± 1232-1842
kkal/hari. Hasil perhitungan BMR Ny. S berada pada rentang kebutuhan kalori
pasien kanker yaitu 1410 kalori/hari. Komposisi zat gizi makro yang dibutuhkan
pasien kanker yaitu protein 10-20% dari kalori total, lemak 20-30% dari kalori total
dan karbohidrat 50-60% dari kalori total (Eldrige, 2005). Menurut rumus tersebut
didapatkan kebutuhan protein Ny. S 141-282 kalori, lemak 282-423 kalori dan
karbohidrat 705-846 kalori. Total kebutuhan Ny. S 1128-1551 kalori.
Perawat juga melakukan kolaborasi dengan ahli gizi dalam memenuhi kebutuhan
kalori dan jenis nutrisi yang dibutuhkan Ny. S. Nutrisi oral merupakan pilihan yang
utama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Namun karena sebagian besar pasien
kanker mengalami penurunan nafsu makan dan tidak dapat mencukupi kebutuhan
nutrisinya, pemberian nutrisi melalui enteral maupun parenteral mungkin
disarankan. Dalam hal ini Ny. S diberikan tambahan nutrisi melalui parenteral.
Pemberian nutrisi parenteral dapat mendukung sebagian kebutuhan kalori pada
Ny. S karena nutrisi parenteral langsung masuk kedalam sirkulasi pembuluh darah
pasien, sedangkan nutrisi per oral pada Ny. S tetap dilanjutkan dengan pemberian
dukungan dan pendidikan kesehatan terkait pentingnya nutrisi pada orang sakit.
Ny. S diberikan motivasi untuk mengkonsumsi makanan tinggi protein dan tinggi
kalori, zat besi dan vit C, dan
konstipasi.
diberikan Perawatdiit
keyakinan juga menganjurkan
yang pasien untukserat
diberikan mengandung mengkonsumsi
tinggi untuksnack seperti
mencegah
buah segar dan jus buah yang disediakan. Asupan nutrisi oral ini diharapkan
mampu memenuhi kekurangan nutrisi yang terjadi pada Ny. S. Penelitian telah
menunjukkan bahwa konseling gizi dikombinasikan dengan pasokan makanan
yang tepat dan pengobatan efek samping dapat meningkatkan asupan energi dan
protein, mengurangi jumlah dan durasi efek samping dan meningkatkan kualitas
hidup pasien (Ravasco, Monteiro, Vidal & Camilo, 2005; Iversen, Ukrainchenko,
Afanasyev, Hulbekkmo, Choukah & Gulbrandsen, 2008).
4.1.2.4 Ansietas
Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar
disertai respon otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu), perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini
merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya
Kecemasan adalah suatu emosi yang ditandai dengan perasaan tegang, pikiran
khawatir pada sesuatu hal yang belum tentu terjadi dan biasanya berpengaruh
pada perubahan tanda-tanda vital seperti peningkatan frekuensi pernafasan,
tekanan darah dan denyut nadi yang biasanya disebabkan oleh masalah psikologis,
stres, keprihatinan spiritual, koping yang tidak memadai terhadap munculnya
gejala, masalah metabolisme, efek samping obat, serta eksistensial (Videbeck,
2008 & Carpenito-Moyet, 2010). Prevalensi kecemasan berdasarkan Skala
Kecemasan dan Depresi Rumah Sakit pada pasien rawat inap dengan kanker lanjut
adalah 34% (Hospital Anxiety and Depression Scale /HADS) (Teunissen, de Graeff,
Voest & de Haes, 2007) dan umumnya meningkat sebagai manifestasi kesadaran
pasien terhadap ketidakefektifan perawatan medis yang mereka jalani,
perkembangan penyakit dan harapan hidup yang terbatas (Roth & Massie, 2007;
Vos & Seerden, 2010). Teunissen et al., (2007), menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara faktor-faktor kecemasan, depresi dan gejala fisik dalam
perawatan paliatif. Namun untuk masalah kecemasan dan depresi dimungkinkan
karena pengaruh informasi tentang prognosis penyakit. Hal ini sesuai dengan
keluhan yang disampaikan Ny. S. Ny. S mengungkapkan tentang munculnya rasa
cemas danpenyakit
terhadap khawatir karena
yang takut akan kondisi kesehatannya dan prognosis
dideritanya.
Kecemasan adalah hal umum yang terjadi pada pasien kanker (Danielle,
Everlien & Saskia, 2016). Kecemasan dan depresi biasanya dialami oleh pasien
dengan masalah nyeri atau gejala memberatkan lainnya, karena mereka berada di
tahap terminal (Smith, Gomm, & Dickens, 2003). Ny. S merupakan pasien kanker
dalam tahap terminal yang juga memiliki keluhan nyeri. Perawat adalah anggota
tim kesehatan yang paling dekat dengan pasien dan memiliki peran penting dalam
mendiagnosis kecemasan serta depresi pasien karena perawat adalah orang yang
pertama kali melihat perubahan emosional/perilaku pasien dan bertanggungjawab
melaporkannya kepada dokter (Hughes, 2006). Dukungan psiko-sosial juga harus
dilakukan oleh perawat onkologi karena kecemasan dan depresi pada pasien
kanker 'dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien (Smith et al., 2003;
Mystakidou, Parpa, Katsouda, Galanos & Vlahos, 2004.; Little, Dionne & Eaton,
Pernafasan dan relaksasi yang dilakukan sendiri dapat memainkan peranan penting
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien kanker (Dhillon, 2009). Penerapan
teknik relaksasi ini menjadi tindakan yang padat dilakukan pasien ketika merasa
tidak nyaman, sehingga adanya peningkatan kecemasan tidak berlanjut kedalam
tingkatan yang lebih berat.
4.1.2.5 Intoleransi Aktivitas
Jaen, 2012; Verbanck, Hanon & Schuermans, 2012), (4) penurunan dari kapasitas
difusi paru sekunder cedera mikrovaskuler (Travers et. al, 2008; Krengli, Sacco &
Loi, 2008), (5) penurunan kardiosirkulasi (Jones, Haykowsky, Swartz, Douglas &
Mackey, 2007); atau (6) kombinasi di atas.
Masalah keperawatan intoleransi aktivitas (00092) yang berhubungan dengan
sesak nafas (ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen) pada Ny. S
diberikan tindakan energy management (0180). Energy management adalah
mengatur penggunaan energi untuk mengobati/merawat atau mencegah
kelelahan dan meningkatkan aktivitas (Nursing Interventions Classification/NIC,
2013). Dengan tindakan tersebut diharapkan Ny. S akan mampu menyimpan
energi untuk beraktivitas (energy conservation) (0002) dengan skala rating
outcome pada level 5 (menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil ada
keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, mampu menggunakan waktu istirahat
untuk menyimpan energi, menggunakan teknik penghematan energi, mengatur
aktivitas untuk menghemat energi, membiasakan aktivitas untuk meningkatkan
energi, memelihara keadekuatan intake nutrisi, melaporkan daya tahan
keadekuatan dalam beraktivitas.
Tindakan yang diberikan pada Ny. S dimulai dengan melakukan
pengkajian
kemampuanyang menyebabkan
aktifitas Ny. Sdapat
pasien yang mudah merasa secara
dilakukan lelah dan mengkaji
mandiri. Hasil
pengkajian kelelahan ESAS pada Ny. S adalah 8 dan ECOG 3 yaitu hanya mampu
melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara tempat tidur dan kursi
lebih dari 50% dari waktu terjaga. Hal tersebut menunjukkan Ny. S memiliki
tingkat kelelahan yang berat sehingga membuat Ny. S tidak mampu beraktivitas
secara mandiri. Masalah intoleransi aktivitas pada Ny. S selain disebabkan oleh
adanya sesak nafas, juga disebabkan masalah nutrisi yang dialami Ny. S. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan Lee, Neil, Mark, Stephen dan John (2009),
patofisiologi kanker tertentu mungkin langsung mempengaruhi integritas
fungsional atau struktural dari komponen pertukaran oksigen. Tumor di paru-paru,
baik dari kanker paru primer atau metastasis dari kanker lain misalnya kanker
payudara, dianggap dapat mengganggu pertukaran gas pada paru-paru dan
biasanya disertai dengan penurunan berat badan, anoreksia, anemia, katabolisme
tetapi konsekuensinya mungkin bertahan lebih lama. Misalnya infeksi berat, telah
dikaitkan dengan rawat inap dan pengobatan jangka panjang (Cooksley, Avritscher,
Rolston & Elting, 2009) dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
di masa depan (Girmenia & Menichetti, 2011).
Perawat melakukan pemantauan suhu tubuh pada Ny. S untuk mengetahui
kenaikan suhu pada Ny. S sebagai salah satu tanda klinis terjadinya infeksi sehingga
dapat dilakukan pencegahan ataupun penatalaksanaan secara tepat dan cermat
apabila infeksi memang terjadi pada Ny. S. Menurut sebuah penelitian demam
yang tidak diketahui (Fever of unknown origin /FUO) seringkali dialami oleh pasien
dengan kanker dan saat ini menjadi masalah klinis yang menantang. Pada pasien
kanker, hal tersebut mungkin terjadi karena kanker itu sendiri atau karena adanya
infeksi. Demam yang tidak diketahui adalah kenaikan suhu lebih dari 38,3 oC (101oF)
dan telah berlangsung selama lebih dari 3 minggu, yang tidak terdiagnosis
meskipun telah menjalani satu minggu perawatan rawat inap (Petersdorf &
Beeson, 1961 dalam Loizidou, Aoun & Klastersky, 2016). Menurut Petersdorf dan
Beeson, demam yang tidak diketahui ini terjadi karena infeksi dimana angka
kejadiannya mencapai 36% pasien, 19% pada kasus keganasan dan 19% penyakit
vaskular. Pada tahun 1973, Klastersky et al. mengeksplorasi
penyebab demam
menunjukkan yanginfeksi
bahwa tidak bertanggung
diketahui inijawab
padaterhadap
pasien dengan kanker
terjadinya demamdanlebih
besar 57% karena pasien itu sendiri dan neoplasia bertanggung jawab sekitar 38%
(Klastersky et al., 1973 dalam Loizidou, Aoun & Klastersky, 2016).
Intervensi Infection control adalah intervensi yang diberikan pada pasien
untuk meminimalkan penerimaan dan penularan agen infeksi (Nursing
Interventions Classification/NIC, 2013). Intervensi keperawatan infection control
(6540) yang diberikan pada Ny. S diharapkan akan mampu mengontrol risiko
(risk control) (1902) pada Ny. S, dengan skala rating outcome pada level 5
(menunjukkan konsistensi) dengan kriteria hasil mampu mencari informasi
mutakhir tentang kontrol infeksi, mengidentifikasi faktor resiko infeksi, mengakui
manusia sebagai faktor risiko infeksi, mengakui akibat berhubungan dengan
faktor infeksi, mengidentifikasi faktor risiko dalam aktivitas sehari-hari,
mengidentifikasi tanda dan gejala infeksi, identifikasi strategi untuk melindungi
diri dari infeksi yang dibawa oleh orang lain, monitor perilaku diri sebagai faktor
yang berkaitan dengan risiko infeksi, monitor lingkungan sebagai faktor yang
berhubungan dengan risiko infeksi, memelihara kebersihan lingkungan,
menggunakan strategi dalam memenuhi pembasmi kuman, meningkatkan strategi
yang efektif dalam mengontrol infeksi, menggunakan tindakan pencegahan
prekausal, mempraktikkan cuci tangan, mempraktikkan strategi kontrol infeksi,
mengatur strategi kontrol infeksi, monitor status kesehatan secara umum,
menggunakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
Praktik higiene sama dengan upaya peningkatan kesehatan pasien. Kulit
merupakan garis tubuh utama dari pertahanan melawan infeksi. Dengan
implementasi tindakan higiene pada klien atau membantu keluarga dalam
melakukan tindakan higiene akan meningkatkan kondisi kesehatan pasien atau
akan meningkatkan angka kesembuhan pasien (Potter & Perry, 2006). Tindakan
higiene ini meliputi memandikan pasien, mendorong pasien untuk melakukan
gosok gigi, melakukan perawatan kuku, rambut dan cuci tangan. Melakukan
praktik cuci tangan selama merawat pasien dan mengajarkan pasien serta
pengunjung untuk melakukan cuci tangan sangat efektif dalam pengendalian
infeksi. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Shah dan Singhal, (2013)
lama dengan
bahwa tinggal melakukan
pasien di rumah sakit hal
cuci tangan ini berkaitan
selama perawatandengan
pasienmenurunnya angka
akan menurunkan
kejadian infeksi yang akan berpengaruh pada penurunan biaya perawatan pasien
termasuk dalam penggunaan antibiotik. Selain cuci tangan, penerapan prinsip
aseptik dan penggunaan sarung tangan yang sesuai menjadi metode terbaik untuk
mencegah infeksi pada pasien. Transmisi oleh petugas kesehatan yang kurang
memperhatikan ketiga hal tersebut dapat berisiko meningkatkan angka infeksi
nosokomial (Black & Hawks, 2014).
Lokasi yang paling sering terjadi infeksi nosokomial pada pasien adalah
saluran kemih, saluran pernafasan bawah, luka operasi dan aliran darah. Infeksi
saluran kemih adalah infeksi nosokomial yang paling umum ditemukan, baik pada
fasilitas pelayanan akut maupun jangka panjang, serta lebih dari 80% terjadi
akibat kateterisasi uretra (Centers for Disease Control and Prevention, 2005).
Sebagian besar infeksi akibat keteter pada wanita disebabkan karena masuknya
bakteri ke dalam kandung kemih melalui rute periuretra (Wenzel, 2003). Sebagian
infeksi nosokomial saluran kemih dapat ditangani namun dapat juga mengarah ke
bakterimia yang menyebabkan kematian (Mayhall, 2004). Infeksi nosokomial
kedua yang sering diasosiasikan dengan kematian adalah pneumonia (Centers for
Disease Control and Prevention, 2005). Kurangnya pergerakan dari sekresi saluran
nafas yang disebabkan oleh imobilitas dan menurunnya frekuensi batuk
berkontribusi dalam terjadinya pneumonia nosokomial. Aspirasi dari bakteri
orofaringeal atau perut merupakan mekanisme predominan dimana infeksi
nosokomial berkembang. Biasanya hal tersebut terjadi pada pasien post operasi
toraks atau abdomen bagian atas, pasien yang mengalami penurunan kesadaran,
kerusakan menelan, intubasi, usia lanjut, penyakit kronis paru-paru, kardiovaskular
dan malignansi (Mayhall, 2004). Infeksi tempat pembedahan juga merupakan
sumber utama tingkat morbiditas dan mortalitas rumah sakit yang dialami oleh
pasien pos operasi. Infeksi semacam ini biasanya berasal dari mikroorganisme yang
berasal dari pasien itu sendiri atau dari luar yang memasuki area pembedahan
(Wenzel, 2003). Peningkatan infeksi aliran darah disebabkan karena penggunaan
peralatan intravaskular di tatanan rumah sakit. Peralatan
digunakan untuk
intravaskular prosedur
tersebut diagnostik,
diantaranya terapi
infus, danarterial
intra memonitor
infus,hemodinamik. Risiko
peralatan yang
infeksi dipengaruhi oleh faktor yang berkaitan dengan alat itu sendiri, lokasi
tindakan invasif, teknik yang digunakan untuk memasukkan alat, dan jangka
waktu penggunaan kateterisasi. Kateter jangka panjang dikaitkan dengan 90%
kejadian infeksi nosokomial (Wenzel, 2003). Dalam hal ini perawat memberikan
intervensi berupa perawatan kateter urin, mengajarkan batuk efektif, perawatan
WSD dan perawatan selang intravena serta mengevaluasi bekas luka operasi
mastektomi yang dilakukan sesuai jadwal dan sesuai prosedur untuk menghindari
terjadinya infeksi pada Ny. S.
Setelah dilakukan tindakan intervensi infection control selama 3 hari
pasien menunjukkan mampu mengontrol infeksi dengan skala rating outcome
level 3 (kadang mendemonstrasikan) dengan dibuktikan oleh pasien mampu
menyampaikan tidak terjadi keluhan demam atau luka operasi timbul nyeri,
nanah, bau, pemeriksaan fisik pasien tidak demam suhu 36,8 oC. Nilai leukosit dan
hemoglobin masih di bawah normal, tanda-tanda infeksi tidak muncul, intake
makanan dan minum cukup adekuat. Pasien dan keluarga kadang-kadang
melakukan cuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktivitas. Masih tampak
orang yang membesuk pasien dan kontak dengan pasien tidak melakukan cuci
tangan sebelum dan sesudahnya. Intervensi Infection Control dilanjutkan.
Bila diterapkan pada teori PEOL, pengendalian infeksi merupakan usaha untuk
meningkatkan kenyamanan pasien. Sebagai perawat tindakan yang dilakukan
meliputi mencegah, memonitoring dan membebaskan ketidaknyamanan fisik,
memfasilitasi untuk beristirahat dan relaksasi serta mencegah komplikasi
yang mungkin terjadi yang akan menyebabkan ketidaknyamanan pasien.
kehidupannya (Tomey & Alligood 2010). Menurut Rasjidi (2010), perawatan paliatif
merupakan proses keperawatan yang diberikan pada pasien terminal dan
menghadapi penyakit yang mengancam nyawa serta bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien melalui pencegahan dan mengurangi
penderitaan. Perawatan paliatif tidak hanya berfokus pada pasien namun juga
keluarga yang ikut berperan dalam perawatan pasien. Tindakan pencegahan
diantaranya dengan cara mengidentifikasi dini, pemeriksaan yang baik, terapi
nyeri, dan menyelesaikan masalah psikososial, serta spiritual.
Pendekatan teori peaceful end of life mampu memberikan kontribusi dalam
peningkatan pengetahuan perawat terutama dalam hal pemberian tindakan
keperawatan yang dapat membantu pasien dalam mencapai kedamaian di akhir
hidupnya. Kedamaian di akhir hidup merupakan harapan pasien paliatif/terminal.
Damai diartikan sebagai perasaan tenang, harmonis dan puas, bebas dari
kecemasan, kegelisahan, kekhawatiran dan takut. Arti damai dalam aspek ini
meliputi fisik, psikologis dan dimensi spiritual (Ruland & Moore, 1998). Menurut
Ruland dan Moore (2001, dalam Tomey & Alligood 2010), tahapan proses
keperawatan lebih ditekankan pada proses pengkajian dan intervensi yang
bertujuan untuk menggali respons klien berdasarkan masalah utama dan
Aplikasi teori
pencapaian peaceful
kualitas end
hidup. of life pada
Tahapan asuhan
tersebut keperawatan
bersifat dinamisklien kanker mengacu
dan berkelanjutan.
pada lima konsep utama yang merupakan indikator pencapaian tujuan dari teori
tersebut, yaitu pengkajian nyeri, rasa nyaman, dihormati dan dihargai, damai,
kedekatan dengan orang yang bermakna. Pasien diberikan perawatan secara
komprehensif dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup, dengan cara
meringankan nyeri dan penderitaannya, memberikan dukungan bio-psiko-sosio
150
dan spiritual mulai dari menetapkan diagnosa sampai mengantarkan pasien pada
kematian yang damai serta memberi dukungan terhadap keluarga yang sedang
dalam keadaan berduka (Tomey & Alligood 2010).
Pemberian intervensi keperawatan pada kasus klien kanker, disesuaikan
dengan masalah keperawatan yang dihadapi oleh klien. Teori ini mampu memberi
kontribusi dalam peningkatan pengetahuan terutama tentang intervensi yang
diberikan oleh perawat dalam membantu pasien mencapai akhir kehidupan
yang dan tenang. Keterbukaan untuk melihat kenyataan yang sebenarnya utuk
damai
bertindak secara rasional (Ruland & Moore, 1998).
Analisis 30 kasus kelolaan dalam pengkajian faktor risiko pada pasien kanker,
sebagian besar adalah disebabkan gaya hidup yang salah. Faktor-faktor risiko lain
yang menyebabkan insiden kejadian kanker adalah karsinogen (radiasi, zat kimia,
virus dan agen fisik lainnya), hormon dan genetik (Black & Hawks, 2014). Lebih dari
80% pajanan radiasi berasal dari sumber alam. Termasuk radiasi ion dari sinar
kosmik dan radioaktif mineral, seperti gas radon, radium dan uranium. Sinar
matahari dan alat penyamakan (tanning) adalah dua sumber radiasi ultraviolet
(Ullrich, 2005). Sekitar 15% dari pajanan berasal dari alat diagnostik atau terapi,
termasuk radiografi, terapi radiasi, dan radioisotop yang digunakan dalam
pencitraan diagnostik (Yuspa & Shields, 2005). Zat kimia karsinogen yang paling
utama dikenal penyebab kanker adalah tembakau yang didalamnya terdapat zat
nitrosamin. Cole dan Ralu, (2001) menyatakan merokok menyebabkan lebih
banyak kanker terjadi di Amerika Serikat dibanding penyebab lain yang ditemukan.
Selain pajanan zat kimia dari produk tembakau, manusia dapat terapajan zat kimia
dari tempat bekerja. Pajanan di tempat kerja menyebabkan 2- 8% kanker pada
manusia (OSHA, 2006). Virus yang diduga dapat memicu
pertumbuhan sel kanker yaitu hepatitis B, C, Human Papilooma Viruses (HPV)
dan Helicobacter pylori. Ketika virus menginfeksi sel, ia menyebabkan kerusakan
genetik pada Deoxyribonucleid acid (DNA) sel, dan menyebabkan pertumbuhan
kanker (Black & Hawks, 2014). Karakteristik yang mempengaruhi kerentanan
terhadap kejadian kanker adalah usia, jenis kelamin, genetik, etnik atau ras. Usia
berkaitan dengan lamanya pajanan terhadap karsinogen. Wanita memiliki risiko
lebih rendah terkena kanker. Status hormonal berhubungan dengan meningkatnya
risiko neoplasma di jaringan yang bereaksi dengan hormon seperti payudara,
endometrium, prostat, ovarium, tiroid, tulang dan testis. Sebagai tambahan dari
perbedaan biologis dan genetik, faktor budaya dan sosioekonomi seseorang dapat
menempatkan etnik atau ras tertentu dalam risiko kanker tertentu (Black &
Hawks, 2014).
Sesuai dengan target kompetensi, pengelolan kasus asuhan keperawatan
terdiri dari kanker sistem saraf pusat 2 (6,66%) pasien, kanker payudara 7
(23,33%) pasien, kanker gastrointestinal 5 (16,66%) pasien, kanker
genitourinarius dan genital 6 (20%) pasien, kanker kepala dan leher 4 (13,33%)
pasien, kanker darah 3 (10%) pasien, kanker paru 1 (3,33%) pasien, kanker tulang,
otot dan jaringan lunak 2 (6,66%) pasien.
Dalam pengelempokkan tersebut pengelolaan kasus pasien dengan kanker
payudara paling banyak diantara yang lainnya. Hal ini didasarkan pada data pasien
baru atau insiden pasien kanker rumah sakit kanker Dharmais tahun 2014. Kasus
kanker payudara di RSK Dharmais menempati urutan tertinggi diantara 10 kasus
tersering lainnya yaitu sebanyak 1290 kasus (bidang rekam medik rumah sakit
kanker Dharmais, 2014). Hal tersebut menjadi pertimbangan penulis untuk
memfokuskan pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan teori
Keperawatan Peaceful End of Life Theory pada klien dengan kasus kanker
payudara.
Rumusan diagnosa keperawatan yang muncul pada 30 pasien kasus resume yaitu
diagnosa risiko infeksi 93,33%, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh 63,33%, nyeri kronis 56,67%, nyeri akut 10%, kerusakan integritas kulit
33,33%, intoleransi aktivitas 30%, ketidakefektifan pola nafas 20%, resiko
ketidakefektifan perfusi jaringan otak dan mual muntah masing-
masing 16,67%,
masing gangguan
13,33%, pertukaran gas
defisit pengetahuan, dan gangguan
ansietas, ventilasi spontan masing-
risiko ketidakseimbangan volume
cairan, nyeri akut, risiko perdarahan masing-masing 10%, gangguan pola tidur
dan konstipasi masing-masing 6,67%, bersihan jalan nafas tidak efektif, diare,
risiko jatuh, konstipasi, retensi urin, dan hambatan mobilitas fisik masing-masing
3,33%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa lima diagnosa yang paling
banyak muncul pada pasien kanker yaitu risiko infeksi, ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh, nyeri kronis, kerusakan integritas kulit dan
intoleransi aktivitas. Lima permasalahan tersebut dapat dihubungkan dengan
aspek nyeri dan kenyamanan dalam teori PEOL. Untuk itu dapat disimpulkan
bahwa sebagian besar pasien yang dikelola mengalami permasalahan kenyamanan
termasuk ketidaknyamanan karena masalah nyeri. Perasaan nyaman diartikan
sebagai perasaan terbebas dari rasa ketidaknyamanan, merasa senang dan puas
terhadap sesuatu serta merasa hidup lebih mudah, damai dan menyenangkan
(Ruland & Moore (1998) di dalam Tomey & Alligood , 2010).
Untuk mencapai tujuan ini termasuk di dalamnya mematuhi petunjuk cuci tangan
higienis dari CDC, melaporkan kejadian infeksi yang fatal, memberikan vaksin flu
dan pneumokokus kepada klien yang belum mendapatkan vaksin ini sebelum
mereka dirawat di rumah sakit (Black & Hawks, 2014). NOC untuk masalah risiko
infeksi yang dirumuskan adalah imune status dan risk control. NIC yang banyak
diterapkan pada pasien kanker dengan diagnosa risiko infeksi yaitu infection
control sebanyak 60% dan infection protection sebanyak 40%.
Masalah kedua yang sering muncul adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh. Sebagian besar disebabkan karena mual, muntah, dan
anoreksia. Klien dengan berbagai jenis kanker akan memperlihatkan respon mual,
muntah, dan anoreksia. Penyebab yang mendasari ketiga respon tersebut adalah
produk metabolit kanker dan stres psikologis. Baik produk metabolit kanker
maupun stres psikologis dapat menyebabkan anoreksia melalui perubahan
pengecapan dan penciuman. Perubahan ini akan menyebabkan klien tidak nafsu
makan atau merasa kenyang sehingga menolak untuk makan (Sutandyo, 2006).
Selain itu terapi modalitas kanker seperti kemoterapi dan radiasi juga dapat
menimbulkan respon mual muntah, kesulitan mengunyah dan menelan makanan,
bahkan anoreksia. Perawat diharapkan dapat menjadi fasilitator klien dan keluarga
adekuat.
untuk Dengan
menyusun terapi bersama
rencana nutrisi, diharapkan dapatperubahan
tentang strategi memperbaiki malnutrisi
terapi yang
nutrisi yang
terjadi. Terapi nutrisi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan klien, baik
jumlah, komposisi maupun cara pemberian dan harus dilakukan sejak klien
didiagnosis menderita kanker. Nutrisi merupakan bagian yang penting pada
penatalaksanaan modalitas terapi kanker. Kurang lebih 20-50% pasien kanker
mengalami penurunan status sebelum menjalani modalitas terapi. Gangguan status
nutrisi dapat mempengaruhi kemajuan penyakit, penurunan kekebalan tubuh,
insiden infeksi yang meningkat, perlambatan perbaikan jaringan, kehilangan
fungsi, dan penurunan kemampuan untuk melanjutkan pengobatan antikanker.
Dampak perubahan status nutrisi dapat berupa terjadinya penurunan berat badan
yang berakibat pada penurunan kondisi tubuh. Status nutrisi pada pasien kanker
diketahui berhubungan dengan prognosis dan kualitas hidup (Campbell, 2009).
Untuk diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, NOC
yang dirumuskan nutritional status : food and fluid intake sebanyak 100%, dengan
intervensi nutrition management sebanyak 89, 47% dan nutrition therapy
sebanyak10,53%.
Masalah ketiga yaitu nyeri kronis. Mekanisme nyeri pada kanker dapat disebabkan
oleh aktivasi nosiseptor perifer sebagai akibat adanya penekanan atau infiltrasi
langsung oleh tumor primer atau metastasis ke jaringan yang sehat. Mekanisme
lain adalah akibat kerusakan langsung pada struktur-struktur saraf perifer atau
saraf pusat, yang disebabkan oleh agen modalitas terapi dan oklusi pembuluh
darah oleh tumor (Kemp, 2010). Intervensi yang diberikan pada klien kelolaan
dalam mengatasi nyeri adalah terapi farmakologi dengan pemberian analgesik
ringan sampai opioid, sebagaimana pedoman WHO analgesic ladder dan
manajemen nyeri nonfarmakologis. Pada beberapa pasien, pemberian analgetik
berespon dengan baik. Begitu pula dengan pemberian manajemen nyeri
nonfarmakologi seperti teknik relaksasi, dan imajinasi terbimbing, intervensi
edukasi. Kedua intervensi baik pemberian analgetik maupun manajemen nyeri
nonfarmakologi merupakan standar emas pada terapi nyeri akibat kanker. Terkait
dengan hal tersebut diatas, maka implikasi keparawatannya adalah manajemen
nyeri yang aman digunakan dan dapat mengatasi nyeri yang akhirnya
Network/SIGN,
meningkatkan 2008).hidup
kualitas Diagnosa
kliennyeri kronis
kanker NOC Intercollegiate
(Scottish yang dirumuskan yaitu pain
Guidelines
control sebanyak 100%, intervensi yang dilakukan yaitu pain management
sebanyak 100%.
Hasil pelaksanaan intervensi pada seluruh pasien kelolaan bervariasi.
Lama waktu rawat pada kasus kelolaan tergantung pada tingkat kompleksitas
penyakit kanker yang diderita, termasuk jenis kanker dan penyebarannya, serta
program terapi modalitas
Tsang, Leung & Cheung, 2011). Studi lain tentang penggunaan aromaterapi pada
pasien kanker, dari 160 pasien kanker yang ikut serta dalam penelitian
melaporkan bahwa aromaterapi berpengaruh dalam penurunan kecemasan di 65%
pasien, sedangkan 47% pasien menyatakan bahwa aromaterapi menurunkan efek
mual muntah (Stringer & Donald, 2011). Penelitian RCT lain melaporkan bahwa
aromaterapi telah terbukti memiliki pengaruh positif terhadap hipertensi dan
secara signifikan mengurangi tekanan darah sistolik dan diastolik (Hur, Lee, Kim &
Ernst, 2012).
Aromaterapi melalui sistem penciuman merupakan salah satu cara yang
diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi aroma yang paling sederhana dan
cepat memberikan reaksi (Halcon & Buckle, 2006). Menurut Kohatsu, (2008),
pemakaian minyak esensial secara inhalasi merupakan metode yang dinilai paling
efektif, dan dalam penggunaannya sangat praktis serta khasiatnya dapat dirasakan
secara langsung dibanding dengan teknik yang lain. Tehnik menghirup aromaterapi
ini lebih mudah untuk masuk ke dalam tubuh tanpa melalui proses absorbsi
membran sel, molekul-molekul uap akan langsung mengenai reseptor penghidu
yang berada pada rongga hidung dan langsung terhubung dengan saraf olfaktorius.
Dengan inhalasi sederhana telah terbukti meningkatkan status
(Price 1991
kesehatan & Maxwell-Hudson,
terkait emosional berupa1995).
ketenangan, relaksasi dan peremajaan tubuh
Cara kerja aromaterapi inhalasi dimulai dari organ hidung sebagai organ
penghidu yang mendeteksi aroma. Proses menghidu dimulai dengan proses
penerimaan molekul bau oleh olfactory epithelium yang merupakan reseptor
terdiri dari puluhan juta saraf pembau. Pada saat minyak aromaterapi dilepaskan
ke udara, minyak akan masuk melalui hidung dan akan mencapai nostril pada
dasar hidung, sebelum molekul aromaterapi menempel dengan silia sel
olfaktorius, odoran tersebut dapat larut dalam mucus yang melapisi silia tersebut.
Untuk dapat larut dalam mucus maka minyak aromaterapi harus bersifat
hidrofilik. Struktur dari minyak esensial ini memiliki sifat yang hidrofilik
sehingga dapat larut dalam mucus. Di bawah mucus pada epitel olfactory, reseptor
khusus yang disebut sebagai neuron reseptor olfactory mendeteksi adanya bau.
Setiap sel olfactory hanya memiliki satu jenis reseptor bau (odorant reseptor/OD),
dan satu reseptor hanya mampu mendeteksi jumlah terbatas bahan-bahan bau,
seperti sel-sel pembau kita sangat terspesialisasi sejumlah kecil bau. Untuk
selanjutnya molekul bau akan berikatan dengan OD, sehingga dapat menyebabkan
aktivasi dari protein G yang kemudian mengaktivasi enzim adenilsiklase dan
mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP membuka kanal Na sehingga terjadi influks
natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini
kemudian menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan di transmisikan
ke hipotalamus (Guyton, 2006).
Sinyal pada sel mitral yang berada di bulbus olfaktorius menjalar menuju traktus
olfaktorius media dan area olfaktorius lateral. Area olfaktorius lateralis membawa
akson-akson ke area olfaktorius pada korteks serebri, yang disebut sebagai area
periamygdaloidea dan area peripirformis dan area ini dikenal sebagai area
olfaktorius primer (pusat penghidu pada korteks serebri) pada lobus temporalis
bagian inferior medialis. Aktivasi daerah ini menyebabkan adanya kesadaran
terhadap bau tertentu yang dihirup. Selain itu area olfaktorius lateralis ini akan
membawa informasi ke sistem limbik dan hipokampus. Sedangkan area olfaktorius
medial terdiri atas sekumpulan nucleus yang terletak pada anterior dari
hipotalamus. Nucleus pada area ini merupakan nucleus septal yang kemudian
dihasilkan ke
berproyeksi darihipotalamus
inhalasi aromaterapi
dan sistem akan
limbikditerima
(Guyton,oleh sistem
2006). Sinyallimbik
yang dan
hipotalamus. Sistem ini akan mengirim pesan kepada otak untuk melepaskan
serotonin dan endorpin untuk dihubungkan dengan sistem saraf tubuh lainnya
sehingga menimbulkan perasaan nyaman sesuai yang diharapkan pikiran dan
tubuh manusia (Krishna, Tiwari & Kumar, 2000)
Menghirup aromaterapi jahe dianjurkan sebagai teknik yang efektif dan
mudah yang dapat diterapkan secara mandiri oleh para perawat kepada para
pasien dalam masa pasca kemoterapi guna mengurangi intensitas mual muntah
(Pei Lin Luaa,, Noor Salihah, & Nik Mazlan, 2015). Petugas medis juga telah
menyarankan jahe digunakan untuk mengatasi mual yang berhubungan dengan
morning sickness, pasca operasi dan kemoterapi pada pasien kanker (Julie &
Gary, 2010).
Beberapa bukti ilmiah lain yang tersedia terkait dengan inhalasi aromaterapi juga
menyarankan bahwa inhalasi uap peppermint atau minyak esensial jahe tidak
hanya mengurangi kejadian dan tingkat keparahan mual dan muntah tetapi juga
digunakan sebagai persyaratan antiemetik yang memuaskan dan perlu
ditingkatkan (Lua & Zakaria, 2012). Di sisi lain, rimpang jahe, Zingiber secara resmi
dalam sejarah telah digunakan di negara-negara Asia, khususnya di Cina dan India
selama ratusan tahun sebagai bahan penyembuhan untuk kondisi seperti sakit
kepala, mual, rematik dan pilek. Dalam penelitian ini juga dilaporkan efektivitas
jahe terhadap berbagai kondisi nausea termasuk mual muntah akibat kehamilan
dan pasca-operasi (White, 2007). Penelitian oleh Montazeri et al., (2013) juga
melaporkan efektifitas penggunaan jahe sebagai obat herbal dalam penanganan
mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker. Selain itu hasil penelitian oleh
Muthia, Wahyu dan Dachriyanus (2013) melaporkan penurunan mual muntah
akibat kemoterapi yang signifikan dengan penggunaan jahe, sehingga peneliti
dalam penelitian ini menyarankan menggunakan jahe sebagai terapi
komplementer dalam pengelolaan mual muntah akibat kemoterapi.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penerapan EBN yang diterapkan pada pasien
kanker payudara yang menjalani kemoterapi di rumah sakit kanker
aromaterapi
Dharmais. Hasiljahe dapat EBN
penerapan menurunkan tingkat
menunjukkan mual.
bahwa Namunmenghirup
intervensi penggunaan
aromaterapi jahe esensial lebih signifikan menurunkan skala mual dan lebih
sedikit terjadi muntah dibandingkan penggunaan plasebo. Hal tersebut dapat
dilihat dari perbedaan rerata skala mual dan frekuensi muntah antara pemberian
aromaterapi esensial jahe dan plasebo (minyak wangi jahe).
160
nyaman bagi pasien untuk mengurangi mual dan muntah akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara dan dapat memperkaya intervensi keperawatan
bedah onkologi khususnya untuk mengurangi mual dan muntah akibat
kemoterapi pada pasien kanker payudara. Penerapan EBN ini dapat
diintegrasikan dengan penerapan teori Peaceful End of Life pada klien kanker ke
dalam praktik keperawatan berbasis bukti ilmiah. Evidence based nursing
practice merupakan suatu cara untuk membuktikan bahwa perawat adalah
seorang yang mempunyai ketrampilan profesional dan pengetahuan serta
memilki dedikasi dan loyalitas
yang tinggi.
4.4 Analisa Penerapan Proyek Inovasi Modified Early Warning Score (MEWS) di
IGD
Berdasarkan penerapan format pengkajian dalam proyek inovasi yang
dilaksanakan di RS Kanker Dharmais Jakarta didapatkan data Pelaksanaan
monitoring kondisi pasien menggunakan MEWS secara umum dapat diterima
dengan baik oleh perawat-perawat IGD. Perawat terlihat cukup antusias dengan
penggunaan MEWS karena diperoleh standar dalam melakukan monitoring
pasien secara lebih sistematis. Dalam penerapan MEWS ini perlu dukungan
sarana danlebih lanjut sehingga diperoleh MEWS yang benar-benar sesuai dengan
penelitian
prasarana penunjang untuk pelaksanaan MEWS. Perlu pengembangan
kondisi pasien kanker di RSKD.
atau
Proses keperawatan memerlukan pemikiran kritis dari seorang perawat
spesialis untuk mengkaji, mendiagnosis, dan mengobati respon manusia terhadap
kesehatan dan penyakit. Pengkajian keperawatan merupakan bagian integral dari
proses keperawatan. Data dasar klien yang diperoleh melalui pengkajian
keperawatan sangat diperlukan guna mengidentifikasi respon klien terhadap
masalah kesehatan. Dengan demikian, cara perawat melakukan pengkajian dan
mengorganisasikan data adalah hal yang sangat penting, sehingga kebutuhan klien
yang mengalami sesuatu dapat teridentifikasi secara tepat dan cermat (King &
Shell, 2002). Format pengkajian keperawatan merupakan suatu tanggung jawab
dari professional keperawatan, sehingga perawat memiliki tanggung gugat
terhadap klien dan institusi tempat kerja. Dokumentasi berfungsi sebagai alat
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari analisis yang dilakukan dan
saran yang terkait dengan uraian pada bab-bab sebelumnya.
Kesimpulan
5.1.3 Modified Early Warning Score (MEWS) adalah sebuah sistem skoring
fisiologis (tanda-tanda vital) yang sudah dimodifikasi umumnya digunakan untuk
mendeteksi penurunan kondisi pasien sebelum pasien mengalami kondisi
kegawatan. Sistem ini meliputi pemantauan
nsi pern tanda-
tanda fisiologis yaitu frekueapapasan, frekuensi nadi, tekanan
ksigen,
161 t
darah sistolik, suhu, saturasi oingkat kesadaran, dan produksi urin.
Skoring MEWS disertai dengan algoritme tindakan berdasarkan hasil skoring dari
pengkajian pasien. MEWS membantu perawat dalam mengkomunikasikan
penurunan/perburukan kondisi pasien sehingga meningkatkan kemampuan
clinical judgement dan meningkatkan output
(kepuasan) klien/keluarga.
Saran
Bagi Pelayanan Keperawatan
Perlunya kajian dan penelitian lebih lanjut tentang penerapan peacefull end of life
theory sebagai pendekatan dalam memberikan asuhan keperawatan yang bermutu
pada pasien dengan kanker khusunya pada kondisi paliatif, sehingga memberikan
panduan dalam proses keilmuan keperawatan medikal bedah melalui
pengembangan praktik keperawatan berbasis teori keperawatan.
MEWS dalam setting onkologi dapat diperkenalkan pada peserta didik untuk
dilakukan pengembangan berkelanjutan.
REFERENSI
Mayhall, C.G. (2004). Hospital Epidemiology and Infection Control. Edisi ke-3.
Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins
Mayo PH, Doelken P. (2006). Pleural ultrasonography. Clin Chest Med
27(2):215–227
McCarthy, D.O. (2003). Rethinking nutritional support for person with cancer
cachexia. Biological research for nursing, 5(1), 3-17.
McCorkle, R., Grant, M., Frank-Stromborg, M., & Baird, S. B. (1996). Cancer
nursing as a speciality. Cancer nursing: a comprehensive textbook.
Philadelphia, PA: WB Saunders.
McGaughey J., Alderdice F., Fowler R., Kapila A., Mayhew A. & Moutray M.
(2007). Outreach and Early Warning Systems (EWS) for the prevention of
intensive care admission and death of critically ill adult patients on general
hospital wards. Cochrane Database of Systematic Reviews (Online).
Available at: http://www.cochrane.org/reviews/en/ab005529.html, accessed
19 Mei 2016
McGrath EE, Anderson PB. (2011). Diagnosis of pleural effusion: a systematic
approach. Am J Crit Care 20(2):119–127
Mehnert, A., Veers, S., Howaldt, D., Braumann, K.M., Koch, U., Schulz, K.H.
(2011). Effects of a physical exercise rehabilitation group program on
anxiety, depression, body image, and health-related quality of life among
breast cancer patients. Onkologie 34, 248-253
Melnyk, M.B., & Overholt, F.E. (2011). Evidence-based practice in nursing
&healthcare: A guide to best practice (2nd ed.). Philadelphia:
LippincottWilliams & Wilkins Inc.
Miaskowski C, Cleary J, Burney R, et al. (2005). Guideline for the Management
of Cancer Pain in Adults and Children. Glenview : American Pain Society
(APS)..
Miaskowski, C., Cooper, B.A., Paul, S. M., Dodd, M., Lee, K., West, C., et al.
(2006). Subgroups of patients with cancer with different symptom
experiences and qualityof-life outcomes: A cluster analysis. Oncology
Nursing Forum, 33, E79–E89.
Miranda L. Ayers & Olateju F. Olowe. (2015). A Systematic Review: Non-
pharmacological Interventions for Chemotherapy-Induced Nausea and
Vomiting. Honors Research Projects. Paper 110
Mobily, R., Herr, K., & Kelley, L. (1993) Cognitive-behavioral technique to
reduce pain: A validation study. International Journal of Nursing Studies, 6,
537-548
Mokuau, N., & Braun, K.L. (2007). Family Support for Native Hawaiian Women
with Breast Cancer. Journal of Cancer Education. 2007; 22:191-196.
Moll HA (2010) Challenges in the validation of triage systems at emergency
departments. Journal of Clinical Epidemiology 63: 384–388.
Montazeri, Akram Sadat, Mehdi Raei, Atefeh Ghanbari, Ali Dadgari, Azam Sadat
Montazeri, Azam Hamidzadeh. (2013). Effect of Herbal Therapy to
Intensity Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Cancer Patients.
Iran Red Crescent Med J. 2013:15(2)
Moon A, Cosgrove JF, Lea D, Fairs A, Cressey DM. (2011). An eight year audit
before and after the introduction of modified early warning score (MEWS)
charts, of patients admitted to a tertiary referral intensive care unit after
CPR. Resuscitation 2011;82:150–154.
Moradian, Saeed & Howell, Doris. (2015). Prevention and management of
chemotherapy-induced nausea and vomiting. International Journal of
Palliative Nursing 2015, Vol 21, No 5
Moyet, & Carpenito, J.L. (2008). Nursing Diagnosis : Application to Clinical
Practice. 13rdEd. Philadephia : Lippincort Williams and Wilkins
Muchlas dan Slameto. (2008). Teknologi Budidaya Jahe. Bogor : Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Murakami A, Tanaka T, Lee JY, et al. (2004). Zerumbone, a sesquiterpene in
subtropical ginger, suppresses skin tumor initiation and promotion stages in
ICR mice. Int J Cancer 110(4):481–490.
Mustian KM, Devine K, Ryan JL, Janelsins MC, Sprod LK, Peppone LJ, et al.
Treatment of nausea and vomiting during chemotherapy. Supportive
oncology. 2011. p. 91-7.
Muthia, Rahmi., Wahyu, Wedya., Dachriyanus. (2013). Effect Of Ginger Infusion
On Chemotherapy Induced Nausea And Vomiting In Breast Cancer
Patients. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare www.iiste.org
ISSN 2224-3208 (Paper) ISSN 2225-093X (Online) Vol.3, No.13.
Mystakidou, K., Parpa, E., Katsouda, E., Galanos, A., Vlahos, L. (2004).
Influence of pain and quality of life on desire for hastened death in patients
with advanced cancer. International Journal of Palliative Nursing 10, 476-
483.
Nadkarni, MD; Gregory Luke Larkin MD & Mary Ann. (2006). First documented
rhythm and clinical outcome from inhospital cardiac arrest among children
and adults. Jounal of the American Medical Association, 295(1), 50-57.
Nagasawa H, Watanabe K, Inatomi H. (2002). Effects of bitter melon (Momordica
charantia L.) or ginger rhizome (Zingiber offi cinale Rosc.) on spontaneous
mammary tumorigenesis in SHN mice. Am J Chin Med 30(2-3):195–205,
2002.
NANDA. (2012). Nursing diagonsis definitions & classification 2012 – 2014.
Oxford : Wiley Blackwell
National Cancer Institute. (2004). Eating Hints for Cancer Patient (NIH Pub.
No.98-2079). Washington, DC : U.S. Government Printing Office
Neragi-Miandoab S. (2006). Malignant pleural effusion, current and evolving
approaches for its diagnosis and management. Lung Cancer. ;54:1–
9. [PubMed]
Nurcahyo, J. 2010. Bahaya Kanker Rahim dan Kanker Payudara. Yogyakarta:
Wahana Totalita Publisher.
Nursing Interventions Classification (NIC). (6th ed.). (2013). St. Louis,
Missouri:Mosby Elsevier Inc.
Nursing Outcomes Classification (NOC). (5th ed.). (2013). St. Louis,
Missouri:Mosby Elsevier Inc.
O‘Donoghue, J, O‘Kane, T, Gallagher, J, Courtney, G, Aftab, A, Casey, A,
Torres, J and Angove, P.(2011). Modified Early Warning Scorecard: The
Role of Data/Information Quality within the Decision Making Process‖ The
Electronic Journal Information Systems Evaluation Volume 13 Issue 3,
(pp100-109), available online at www.ejise.com
Oba Y, Abu-Salah T. (2012). The prevalence and diagnostic significance of
eosinophilic pleural effusions: a meta-analysis and systematic review.
Respiration 83(3):198–208
Occupational Safety and Health Administration (OSHA). (2006). Hazardous
drugs : Hazards and solutions. Diakses tanggal 10/6/2016 dari
http://seer.cancer.gov/about.
Oemiati, R., Rahajeng, E., & Kristanto, A.Y. (2011). Prevalensi tumor dan
beberapa faktor yang mempengaruhinya di Indonesia. Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 39, No.4: 190 – 204
Ogden CL, Carroll MD, Kit BK, Flegal KM. (2014). Prevalence of childhood and
adult obesity in the United States, 2011-2012. JAMA.;311(8): 806-814.
Olver IN, Eliott JA, Koczwara B. (2014). A qualitative study investigating
chemotherapy-induced nausea as a symptom cluster. Support Care Cancer.
2014;22(10):2749-2756.
Orrevall, Y., Tishelman, C., & Permert, J. (2005). Home parenteral nutrition: a
qualitative interview study of the experiences of advanced cancer patients
and their families. Clinical Nutrition. 24 (6): 962-970
Otto, S.E. (2001).Oncology Nursing.4th edition. St. Louis ,Missouri:Mosby
Otto, S.E. (2005). Pocket guide to oncology nursing.Terjemahan. Jane Freyana
Budi dan Eny Meiliya. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta: EGC
Parissopoulos, S., & Kotzabassaki, S. (2005). Critical care outreach and the use of
early warning scoring systems: A literature review. Icus Nurs Web J, 21, 1-
13
Pasaribu, E.T. (2006). Epidemiologi dan Gambaran Klinis Kanker Tiroid.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3. diunduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20678/1/mkn-sep2006-
%20sup%20(14).pdf
Paterson R, MacLeod DC, Thetford D, Beattie A, Graham C, Lam S, et al. (2006).
Prediction of in-hospital mortality and length of stay using an early
warning scoring system: clinical audit. Clin Med.; 6(3): 281–4. PMID:
16826863.
Pell, J., Presnell, K., Edwards, C., Wood, M., Harrison, M., DeCastro, L., & .,
Robinson, E. (2005). Moderate chronic pain, weight and dietary intake in
African-American adult patients with sickle cell disease. Journal of the
National Medical Association, 97(12), 1622-1629.
Perry N, Perry E. (2006). Aromatherapy in the management of psychiatric
disorders clinical and neuropharmacological perspectives. CNS Drugs; 20:
257-80.
Perry, A.G., & Potter, P.A. (2006) Clinical nursing skill techniques (6th Ed). St.
Louis: Mosby.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia [PPNI], Asosiasi Institusi Pendidikan Ners
Indonesia [AIPNI], & Asosiasi Institusi Pendidikan Diploma Keperawatan
Indonesia [AIPDiKI], (2012). Standar kompetensi perawat. Diunduh dari
http://hpeq.dikti.go.id/v2/images/Produk/18.3-Draf-STANDAR
KOMPETENSI- PERAWAT.pdf
Peterson, J.S., &Bredow, S.T. (2004). Middle range theories: Application to
nursing research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Inc.
Philip, J., Smith, W.B., Craft, P., & Lickiss, N. (1998) Concurrent validity of the
modified Edmonton Symptom Assessment System with the Rotterdam
Symptom Checklist and the Brief Pain Inventory. Support Care Cancer.
6:539–541
Piva, E. Pellosso, M., Panello, L., & Plebani, M. (2014). Laboratory critical
Values automated notification supports effective clinical decision making.
Clinical Biochemistry, 47, 1163-1168.
http://dx.doi.org/10.1016/j.clinbiochem.2014.05.056
Porcel JM, Vives M. (2003). Etiology and pleural fluid characteristics of large
and massive effusions. Chest. ;124:978–983.[PubMed]
Potter, A.P., & Perry, G.A. (7th ed.). (2009). Fundamentals of nursing
(Vol.1).Singapore: Elsevier Inc. Pte Ltd.
Potter, J., Hami, F., Bryan, T., & Quigley, C. (2003). Symptoms in 400 patients
referred to palliative care services: Prevalence and patterns. Palliative
Medicine, 17, 310–314. doi: 10.1191/0269216303pm760oa
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006) Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep,
proses dan praktik (Edisi 4, Vol 2). (Yasmin, dkk, Alih Bahasa). Jakarta :
EGC
Price & Wilson.(2006). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit.Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC.
Price S. (1991). Aromatherapy for common ailments. London: Fireside.
Price, S.A., Wilson, L.M. (2002). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit (eds. 6). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, S.A., Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, S.A., Wilson, L.M. (2008). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Pusat Komunikasi Publik-Sekretariat Jenderal Kemenkes. (2012). 143 milyar
dana jamkesmas untuk biaya rawat inap pengobatan kanker. Diunduh dari
www.depkes.go.id
Qureshi NR, Rahman NM, Gleeson FV. (2009). Thoracic ultrasound in the
diagnosis of malignant pleural effusion. Thorax 64(2):139–143
Race, T.K. (2015). Improving patient safety with a modified early warning
scoring system. American Nurse Today, 10(11). Diakses dari
www.americanursetoday.com
Rasjidi (2007). Kemoterapi kanker ginokologi dalam praktik sehari-hari. Jakarta:
Sagung Seto.
Rasjidi, I. (2010). Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri pada Kanker.
Jakarta : CV.Sagung Seto
Ratna, J.M.J. (2003). Dampak Penyakit Kanker Terhadap Aspek Psikologis-Sosial
dan Spiritual Penderita. Makalah Ilmiah
Ravasco, P., Monteiro-Grillo, I., Vidal, P.M., Camilo, M.E. (2005). Dietary
counseling improves patient outcomes: a prospective, randomized,
controlled trial in colorectal cancer patients undergoing radiotherapy.
Journal of Clinical Oncology 23 (7), 1431-1438.
Reddy C, Ernst A, Lamb C, Feller-Kopman D. (2011). Rapid pleurodesis for
malignant pleural effusions: a pilot study. Chest 139(6):1419–1423
Rhodes, V.A., & Mc Daniel, R.W. (2004). Nausea, vomiting, and retching:
Complex problems in palliative care. CA Cancer Journal Clinic, 51(4), 232-
248.
Richardson, L.A., & Jones, G.W. (2009). A review of the reliability and validity of
the Edmonton Symptom Assessment System. Current Oncology, volume 16,
number 1: Multimed Inc.
Rita Chelly Felix Tavares, Ariane Sá Vieira, Ligia Vieira Uchoa, Arnaldo Aires
Peixoto Júnior & Francisco Albano de Meneses. (2008). Validation of an
Early Warning Score in Pre-Intensive Care Unit. Revista Brasileira de
Terapia Intensiva Vol. 20 Nº 2, Abril/Junho, 2008. 2008:20:2:124-127
Roberts ME, Neville E, Berrisford RG, Antunes G, Ali NJ. (2010). Management
of a malignant pleural effusion: British Thoracic Society Pleural Disease
Guideline 2010. Thorax 65(Suppl 2):ii32–ii40
Rodrigo GJ, Rodrigo C. (2000). First-line therapy for adult patients with acute
asthma receiving a multiple-dose protocol of ipratropium bromide plus
albuterol in the emergency department. Am J Respir Crit Care
Med;161:1862–8.
Rodrigo GJ, Rodrigo C. (2002). The role of anticholinergics in acute asthma
treatment. An evidence based evaluation. Chest;121:1977–87.
Rodrigo GJ, Rodrigo C. First-line therapy for adult patients with acute asthma
receiving a multiple-dose protocol of ipratropium bromide plus albuterol in
the emergency department. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1862–8.
Rodrigo GJ, Rodrigo C. The role of anticholinergics in acute asthma treatment.
An evidence based evaluation. Chest 2002;121:1977–87.
Rodriguez-Panadero F, Lopez MJ. (1999). Low glucose and pH levels in
malignant pleural effusions. Diagnostic significance and prognostic value
in respect to pleurodesis. Am Rev Respir Dis 139(3):663–667
Rogayah, Rita. (2009). The Principle of Oxygen Therapy. Dept. Pulmonology and
Respiratory Medicine Medical Faculty of Indonesia University.
Roila F, Herrstedt J, Aapro M, et al. (2010). Guideline update for MASCC and
ESMO in the prevention of chemotherapy- and radiotherapyinduced nausea
and vomiting: Results of the Perugia consensus conference. Ann Oncol.
2010;21(suppl 5):v232-v243.
RSK Dharmais. Visi dan misi rumah sakit. Diunduh dari http://www.dharmais.
co.id/index.php/vision-and-mission-id.html
RSKD. (2013). Materi pelatihan kemoterapi RSKD . Jakarta.
Ryan JL, Heckler C, Dakhil SR, et al. (2009). Ginger for chemotherapy-related
nausea in cancer patients: A URCC CCOP randomized, double-blind,
placebo-controlled clinical trial of 644 cancer patients. J Clin Oncol
27(15s):supplabstr 9511.
Saevarsdottir, T., Fridriksdottir, N., Gunnarsdottir, S. (2006). Quality of life,
symptoms of anxiety and depression, and rehabilitation needs of people
receiving chemotherapy for cancer at the initiation of chemotherapy and
three months later. Oncology Nursing Forum 33, 469.
Saini, T., Murtagh, F.E., Dupont, P.J., McKinnon, P.M., Hatfield, P., & Saunders,
Y. (2006). Comparative pilot study of symptoms and quality of life in
cancer patients and patients with end-stage renal disease. Palliative
Medicine, 20, 631–636. doi: 10.1177/0269216306070236
Schattner M, Shike M. (2006). Nutrition support of the patient with cancer. In:
Shils ME, Shike M, Ross AC, Cabellero B, Cousins RJ, eds. Modern
nutrition in health and disease. Ed 10. Philadelphia, PA: Lippincott
Williams & Wilkins;: pp. 1290-1313.
Schein RM, Hazday N, Pena M, Ruben BH, Sprung CL (1990) Clinical
antecedents to in-hospital cardiopulmonary arrest. Chest 98: 1388–1392.
Schreier, A. M., & Williams, S. A. (2004). Anxiety and quality of life of women
who receive radiation or chemotherapy for breast cancer. Oncology
Nursing Forum, 31, 127–130.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network [SIGN]. (2008). Control of pain in
adults with cancer a national clinical guideline. Edinburgh
Segar, M.L., Katch, V.L., Roth, R.S., Garcia, A.W., Portner, T.I., Glickman, S.G.,
et al., (1998). The effect of aerobic exercise on self-esteem and depressive
and anxiety symptoms among breast cancer survivors. Oncology Nursing
Forum 25, 107-113
Shah, Sweta & Singhal, Tanu. (2013). Hand hygiene and health care associated
infections: What, why and how. journal homepage:
www.elsevier.com/locate/pid. Indian Academy of Pediatrics, Infectious
Disease Chapter. All rights reserved.
http://dx.doi.org/10.1016/j.pid.2013.08.001 pediatric infectious disease 5,
130-134 Available online at www.sciencedirect.com
Sherr, C.J. (1996). Cancer cell cycle. Science, vol. 275. Diunduh dari
http://www.sciencemag.org
Shiina Y, Funabashi N, Lee K, Toyoda T, Sekine T, Honjo S, et al. (2008).
Relaxation effects of lavender aromatherapy improve coronary flow velocity
reserve in healthy men evaluated by transthoracic Doppler
echocardiography. Int J Cardiol; 129: 193-7.
Shukla Y, Singh M. (2007). Cancer preventive properties of ginger: A brief
review. Food Chem Toxicol 45(5):683–690.
Siegel, R., Naishadham, D., & Jemal, A. (2012). Cancer statistics, 2012. CA: A
Cancer Journal for Clinicians; 62: 10–29. American Cancer Society, Inc.
doi:10.3322/caac.20138.
Sierko, E., Werpachowska, T.M., & Wojtukiewicz, Z.M. (2011). Psychological,
physical, and social situation of polish patients with cancer undergoing
firstline palliative care. Oncology Nursing Forum, 38(4), E253-E259.
Slattery, M.L., et al. (2008). Active and passive smoking, IL6, ESR1, and breast
cancer risk. Breast Cancer Res. Treat. 109, 101–111.
Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever., (2010). Handbook for Brunner & Suddarth’s
textbook of medical-surgical nursing. Wolters Kluwer Health : USA. th
Smeltzer, C. Suzanne, Bare, G. Brenda. (2001). Brunner and Suddarth’s Text
Book of Medical Surgical Nursing. 8th vol 2 alih bahasa Kuncoro, Andry
Hartono, Monica Ester, Yasmin Asih. Jakarta: EGC;
Smith CA, Collins CT, Crowther CA. (2011). Aromatherapy for pain
management in labour. Cochrane Database Syst Rev 2011; http://
dx.doi.org/10.1002/14651858.CD009215.
Smith G.B., Prytherch D.R., Schmidt P.E. & Featherstone P.I. (2008). Review and
performance evaluation of aggregate weighted _track and trigger_ systems.
Resuscitation 77 (2), 170–179.
Smith, E.M., Gomm, S.A., Dickens, C.M. (2003). Assessing the independent
contribution to quality of life from anxiety and depression in patients with
advanced cancer. Palliative Medicine 17, 509-513.
Smith, G.B., Prytherch, D.R., Schmidt, P.E., & Featherstone, P.I. (2008). Review
and performance evaluation of aggregate weighted ‘track and trigger’
systems. Resuscitation, 77, 170–179.
Smith, T.R., et al. (2008). Polygenic model of DNA repair genetic polymorphisms
in human breast cancer risk. Carcinogenesis 29, 2132–2138
So, S-N., Ong, C-W., Wong, L-Y., Chung, J.Y.M., & Graham, C.A. (2015). Is the
Modified Early Warning Score able to enhance clinical observation to
detect deteriorating patients earlier in an Accident & Emergency
Department?. Australasian Emergency Nursing Journal, 18, 24-32
Soden K, Vincent K, Craske S, Lucas C, Ashley S. (2004). A randomized
controlled trial of aromatherapy massage in a hospice setting. Palliat Med
2004; 18: 87-92.
Song, M., Kirchhoff, K., Douglas, J., Ward, S., & Hammes, B. (2005). A
randomized controlled trial to improve advance care planning among
cardiac surgery patients. Medical Care, 43, 1049–1053.
Song, M., Kirchhoff, K., Douglas, J., Ward, S., & Hammes, B. (2005). A
randomized controlled trial to improve advance care planning among
cardiac surgery patients. Medical Care, 43, 1049–1053.
Stern, M.C., et al., 2007. DNA repair single-nucleotide polymorphisms in
colorectal cancer and their role as modifiers of the effect of cigarette
smoking and alcohol in the Singapore Chinese Health Study. Cancer
Epidemiol. Biomarkers Prev. 16, 2363–2372
Stern, R.M. Koch, K.L., Andrews, P.L.R. (2011). Nausea: mechanisms and
management, Oxford University Press, New York.
Stoffel-Lowis, N.L. (2011). Rapid response team utilization of modified early
warning scores to improve patient outcomes. http://remote-
lib.ui.ac.id:2073/docview/879637654/fulltextPDF/F7CEE915F85943C3PQ/
7?accountid=17242
Stoodley RG, Aaron SD, Dales RE. (1999). The role of ipratropium bromide in
the emergency management of acute asthma exacerbation: a metaanalysis
of randomized clinical trials. Ann Emerg Med;34:8–18.
Stoodley RG, Aaron SD, Dales RE. The role of ipratropium bromide in the
emergency management of acute asthma exacerbation: a metaanalysis of
randomized clinical trials. Ann Emerg Med 1999;34:8–18.
Stringer J, Donald G. (2011). Aromasticks in cancer care: An innovation not to be
sniffed at. Complement Ther Clin Pract. 17:116-121.
Subbe C.P., Kruger M., Rutherford P. & Gemmel L. (2001). Validation of a
modified Early Warning Score in medical admissions. Quarterly Journal of
Medicine 94 (10), 521–526.
Surh YJ. (2003). Cancer chemoprevention with dietary phytochemicals. Nat Rev
Cancer 3(10):768–780.
Suryaningsih, E. K. dan Sukaca. (2009). Kupas Tuntas Kanker Payudara.
Yogyakarta: Paradigma Indonesia.
Sutandyo, N., &Ririn (2006).Terapi nutris ipada kanker, dalam Sudoyo. Buku
ajar ilmu penyakit dalam (3rd Ed.). Jakarta: Pusat Penerbit Departemen
Penyakit Dalam FKUI.
Swarbrick dan Boylan. (2002). Encyclopedia of Pharmaceutical Technology.
Second Edition Volume 3. Marcel Dekker, Inc: New York
Swiderek J, Morcos S, Donthireddy V, Surapaneni R, Jackson- Thompson V,
Schultz L et al. (2010). Prospective study to determine the volume of pleural
fluid required to diagnose malignancy. Chest 137(1):68–73
Terry MB, Zhang FF, Kabat G, et al. (2006). Lifetime alcohol intake and breast
cancer risk. Ann Epidemiol. 2006;16:230–240.
Teunissen, S.C., de Graeff, A., Voest, E.E., & de Haes, J.C. (2007). Are anxiety
and depressed mood related to physical symptom burden? A study in
hospitalized advanced cancer patients. Palliative Medicine, 21, 341–346.
doi: 10.1177/0269216307079067
Thomason, T., McCune, J., Bernard, S., Winer, E., Tremont, S., & Lindley, C.
(1998). Cancer pain survey: Patient-centered issues in control. Journal of
Pain and Symptom Management, 15, 275–284.
Three Pilot Studies. Oncology Nursing Forum • Vol. 36, No. 3, May 2009
Henderson, S. (2006). The role of the clinical nurse specialist in oncology
nursing. MEDSURG Nursing, 13(1), 38-41
Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2010). Nursing theory and their work. (6th ed).
St. Louis , Missouri : Mosby Elsevier
Tomey, A.M. & Alligood, M.R.. (2008). Nursing Theory : Utilization &
Application. 3rd Ed. Missouri :Elvesier Mosby.
Tomomi Ichiba, Tetsuo Miyagawa, Takeshi Kera, Toru Tsuda, Fumio Kokubu.
(2011). Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD).
http://erj.ersjournals.com/content/38/Suppl_55/p3641
Travers J, Dudgeon DJ, Amjadi K, et al. (2008). Mechanisms of exertional
dyspnea in patients with cancer. J Appl Physiol;104:57-66
Tsai WK, Chen W, Lee J,C, Cheng WE, Chen CH, Hsu WH, Shih CM. (2006).
Pigtail catheters vs large-bore chest tubes for management of secondary
spontaneous pneumothoraces in adults. AJEM. ;24:795–800. [PubMed]
Turner JG, Clark AJ, Gauthier DK, Williams M. (2008). The effect of therapeutic
touch on pain and anxiety in burn patients. J Adv Nurs;1:10–20.
Ullrich, R.L. (2005). Etiology of cancer : Physical Factor, dalam V. T Devita, S.
Hellman and S.A. Rosenberg (Ed). Cancer Principles and Practice of
Oncology. Edisi ke-7. Hlm. 193-200. Philadelphia : Lippincott Williams and
Wilkins.
Van den Beuken-van Everdingen MHJ, de Rijke JM, et al. (2007). Prevalence of
pain in patients with cancer: a systematic review of the past 40 years. Ann
Oncol;18:1437-1449.
Verbanck S, Hanon S, Schuermans D, et al. (2012). Small airways function in
breast cancer patients before and after radiotherapy. Breast Cancer Res
Treat;135:857-865.
Vergenoud, A.C et, al. (2013). Adherence To The Word Cancer Research
Fund/American Institute for Cancer Research Guidlines and Risk of Death
in Europe: Results From The European Prospective Investigation into
Nutrition And Cancer Cohort Study. American Society of Nutrition. Vol. 98.
Page 506-507.
Victor Sierpina, Lyuba Levine, Juliet Mckee, Christina Campbell, Sungmi Lian,
and Moshe Frenkel. (2015). Nutrition, Metabolism, and Integrative
Approaches in Cancer Survivors. Seminars in Oncology Nursing, Vol 31,
No 1 (February), 2015: pp 42-52. 2015 Elsevier Inc. All rights reserved.
0749-2081/3101-$36.00/0. http://dx.doi.org/10.1016/j.soncn.2014.11.005
Ward, S. E., Donovan, H., Gunnarsdottir, S., Serlin, R., Shapiro, G., & Hughes, S.
(2008). A representational intervention to decrease pain. Health
Psychology, 27, 59–67.
Ward, S. E., Goldberg, N., Miller-McCauley, V., Mueller, C., Nolan, A., Pawlik-
Plank, D., et al. (1993). Patient-related barriers to management of cancer
pain. Pain, 52, 319–324
Ward, S.E., Heidrich, S.M., & Donovan, H.S. (2007) An Update on the
Representational Approach to Patient Education . J Nurs Scholarsh. 2007;
39(3): 259–265. doi:10.1111/j.1547-5069.2007.00178.x.
Weel, A.E., et al. (1999). Estrogen receptor polymorphism predicts the onset of
natural and surgical menopause. J. Clin. Endocrinol. Metab. 84, 3146-3150.
Welchek CM, Mastrangelo L, Sinatra RS, Martinez R. (2009). Qualitative and
quantitative assessment of pain. In: Sinatra RS, Casasola OA, Ginsberg B,
Vincusi ER, McQuay H, editors. Acute pain management. New York:
Cambridge University Press; p.147-68.
Wenzel, R.P. (2003). Prevention and Control of Nosocomial Infections. Edisi ke-
4. Philadelphia : Lippincott Williams dan Wilkins
Western Australia Departement of Health. (2007). Pain Management,
Aromatherapy. Section B Clinical Guidelines King Edward Memorial
Hospital Perth Western Australia Universitas
WHO. (2013). Latest world cancer statistics Global cancer burden rises to
14.1million new cases in 2012: Marked increase in breast cancers must be
addressed. https://www.iarc.fr/2013/International Agency for Research on
Cancer
Wieler, S., Gagne, J.P., Vaziri, H., Poirier, G.G., Benchimol, S. (2003).
Poly(ADP-ribose) polymerase-1 is a positive regulator of the p53-mediated
G1 arrest response following ionizing radiation. J. Biol. Chem. 278, 18914–
18921.
Willett W, Rockhill B, Hankinson S, et al. (2004). In: Harris J, Lippman M,
Morrow M, et al, eds. Diseases of the Breast. 3rd ed. Philadelphia, PA:
Lippincott,Williams & Wilkins; 2004:228–240.
Williams Lippincott, Wilkins. (2012). Kapita Selekta Penyakit Dengan Implikasi
Keperawatan. Jakarta : EGC.
Wolfgang Kamin, Astrid Schwabe, Irene Kra¨mer. (2006). Inhalation solutions –
which one are allowed to be mixed? Physico-chemical compatibility of drug
solutions in nebulizers. Journal of Cystic Fibrosis 5 (2006) 205 – 213,
Published by Elsevier B.V. All rights reserved.
doi:10.1016/j.jcf.2006.03.007
Wood, G.J., Shega, J.W., Lynch, B.,& Roenn, J.H. (2007). Management of
intractable nausea and vomiting in patients at the and of life. Journal of
American Medical Association, 298 (10), 1196-1207
Worwood VA. (2000). Aromatherapy for the healthy child: more than 300
natural, non-toxic, and fragrant essential oil blends. Novato: New World
Library.
Yang, M. J., Jeon,Y.W., Han, S. I., Han, C.W., & Eom, H. S. (2000). Depression
and pain in patients with cancer: A preliminary study. Journal of Korean
Neuropsychiatry Association, 39, 1122–1131.
Yarbro, Connie Henke. Wujcik, Debra. Gobel, Barbara Holmes. (2010). Cancer
nursing : principles and practice / edited by Connie Henke Yarbro, Debra
Wujcik, Barbara Holmes Gobel.—7th ed. p. ; cm. ISBN 978-0-7637-6357-2
Yee J, Davis GM, Beith JM, et al. (2014). Physical activity and fitness in women
with metastatic breast cancer. J Cancer Surviv;8:647-656.
Yoo, H.J., Ahn, S.H., Kim, S.B., Kim, W.K., Han, O.S. (2005). Efficacy of
progressive muscle relaxation training and guided imagery in reducing
chemotherapy side effects in patients with breast cancer and in improving
their quality of life. Supportive Care in Cancer 13, 826-833
Yoo, M.S., Lee, H., Yoon, J.A. (2009). Effects of a cognitive-behavioral nursing
intervention on anxiety and depression in women with breast cancer
undergoing radiotherapy. Journal of Korean Academy of Nursing 39, 157-
165.
Yuspa, S.H. dan P.G. Shield. (2005). Etiology of Cancer : Chemical Factors,
dalam V. T Devita, S. Hellman and S.A. Rosenberg (Ed). Cancer Principles
and Practice of Oncology. Edisi ke-7. Hlm. 185-192. Philadelphia :
Lippincott Williams and Wilkins.
Zarogoulidis K, Zarogoulidis P, Darwiche K, et al. (2013). Malignant pleural
effusion and algorithm management. J Thorac Dis. 2013 Sep. 5 Suppl
4:S413-9. [Medline]. [Full Text].
Zembower TR. (2014). Epidemiology of infections in cancer patients. Cancer
Treat Res;161:43e89. 4.
Zhang SM, Lee IM, Manson JE, et al. (2007). Alcohol consumption and breast
cancer risk in the women’s health study. Am J Epidemiol.;165:676–676.
Zhou, K.N., Li, X.M., Yan, H., Dang, S.N., Wang, D.L. (2011). Effects of music
therapy on depression and duration of hospital stay of breast cancer
patients after radical mastectomy. Chinese Medical Journal 124, 2321-2327.
Ziosi P, Manfredini S, Vertuani S, Ruscetta V, Radice M, Sacchetti G. (2010).
Evaluating essential oils in cosmetics: antioxidant capacity and
functionality. Cosmet Toilet; 125: 32-40.
Zohreh Vanaki, Pegah Matourypour, Roya Gholami, Zahra Zare, Valiolah
Mehrzad, Mojtaba Dehghan .(2016). Therapeutic touch for nausea in breast
cancer patients receiving chemotherapy: Composing a treatment.
Complementary Therapies in Clinical Practice 22 (2016) 64-68.
http://dx.doi.org/10.1016/j.ctcp.2015.12.004 1744-3881/© 2015 Elsevier
Ltd. All rights reserved. Contents lists available at ScienceDirect. journal
homepage: www.elsevier.com/locate/ctcp
190
Sumber : Price & Wilson, (2005); Suryaningsih & Sukaca, (2009); Black &
Hawks, (2014); Tomey & Alligood, (2010)
192
Lampiran 3 : Hasil penerapan menghirup aromaterapi jahe pada pasien kanker payudara dengan kemoterapi
Tabel 1.5 Comparison of VAS nausea score and frequency of vomiting between ginger essential oil (EO) and
ginger fragrance oil (FO) at each study phase (phase 1 and 2) and treatment effect
Fase 1 Fase 2
Mual
Hari 1 1,17 ± 1,169 1,83 ± 1,169 1,000 1,17 ± 1,169 5,83 ± 3,371 0,207 1,5 ± 1,168 3,5 ± 3,425 -2 ( -3,756 -0,244 ) 0,009
Hari 2 2,83 ± 1,169 2,5 ± 1,378 0,721 2,83 ± 1,169 6,83 ± 2,317 0,103 2,67 ± 1,231 4,83 ± 2,725 -2,167 ( -3,833 -0,5 ) 0,005
Hari 3 5,17 ± 1,169 4,5 ± 1,049 0,873 5,33 ± 0,816 5,83 ± 2,858 0,058 4,92 ± 0,996 5,5 ± 2,111 -0,583 ( -2,029 0,862 ) 0,608
Hari 4 4 ± 0,894 2,5 ± 1,049 0,588 3,5 ± 1,049 3,83 ± 1,941 0,188 3 ± 1,128 3,92 ± 1,443 -0,917 ( -2,142 0,309 ) 0,852
Hari 5 1,33 ± 1,033 1,17 ± 0,753 0,475 1,33 ± 1,033 3,83 ± 2,483 0,098 1,25 ± 0,866 2,58 ± 2,234 -1,333 ( -2,921 0,254 ) 0,046
Muntah
Hari 1 1 ± 1,265 1,67 ± 1,633 0,418 1,5 ± 1,378 2,17 ± 1,472 0,651 1,58 ± 1,443 1,58 ± 1,443 0 ( -1,271 1,271 ) 1
Hari 2 5 ± 1,265 2,67 ± 1,366 0,765 3,17 ± 1,941 5,5 ± 1,049 0,188 2,92 ± 1,621 5,25 ± 1,138 -2,333 ( -3,585 -1,082 ) 0,002
Hari 3 6 ± 0,632 3,17 ± 2,041 0,055 3 ± 1,789 3,33 ± 1,366 0,549 3,08 ± 1,832 4,67 ± 1,723 -1,583 ( -3,003 -0,164 ) 0,032
Hari 4 4,67 ± 1,033 2,67 ± 0,816 0,701 3,17 ± 1,941 3,17 ± 1,169 0,247 2,92 ± 1,443 3,92 ± 1,311 -1 ( -2,271 0,271 ) 0,111
Hari 5 3,83 ± 1,472 1,17 ± 0,753 0,110 1,67 ± 1,033 2,83 ± 1,941 0,113 1,42 ± 0,9 3,33 ± 1,723 -1,917 ( -3,142 -0,691 ) 0,005
Data are mean ± SD, unless otherwise indicated. Bold values shows the significant difference, P < 0.05.
a Independent t-test; significant at P < 0.05.
b Paired t-test; significant at P < 0.05.
Universitas Indonesia
RESUME KEPERAWATAN
PENDEKATAN PEACEFUL END OF LIFE
THEORY
PADA KASUS KELOLAAN KLIEN KANKER
Pengkajian menggunakan konsep Peaceful End of Life Theory, Diagnosa
No. Deskripsi Kasus
Keperawatan, NOC,NIC dan Evaluasi
1. Tn. A (66 th), Islam, menikah, SMTA, PNS, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri dada sebelah kanan, nyeri seperti tertekan dan rasa
tanggal pengkajian 8/9/2015, Diagnosa terbakar di dada, Skala nyeri yaitu angka 5 pada skala 5. Timbulnya nyeri tidak tentu,
Medis: kanker paru kanan stadium IIIB kadang-kadang dan lamanya kira-kira 5-10 menit, wajah klien tampak menyeringai
Keluhan utama: Klien mengungkapkan kesakitan, TTV: Nadi 120 x/mnt, respirasi 36 x/mnt, cepat dan dangkal, tensi 100/60
sesak pada saat beristirahat dan dada terasa mmHg,
nyeri pada saat bernafas, nyeri dirasakan Nyaman: Klien mengungkapkan dada terasa berat dan sesak sekali. Klien mengatakan
setiap hari dan memberat pada hari ini rasa sesak tidak hilang meskipun istirahat, rasa sesak selalu di rasakan oleh klien,
Riwayat penyakit sekarang: Sesak dada, Pemeriksaan fisik : RR 36x/mnt cepat dan dangkal, spo2 95%, sianosis, CRT 4 detik,
yang semakin menghebat 2 hari sebelum perfusi dingin dan pucat., Pemeriksaan paru :Inspeksi: pergerakan dada asimetris;
masuk rumah sakit yaitu pada tgl 6-9-2015 pergerakan dada saat bernafas cepat, tarikan interkosta (+) tampak nafas cuping hidung;
(klien MRS pada tgl 8-9-2015) Klien palpasi: ekspansi paru meningkat, taktil fremitus menurun; Perkusi: perkusi dada redup
mengungkapkan dada terasa berat dan sesak (dullness); Auskultasi: suara wheezing unilateral; Hasil Blood Gas tgl 20-10-2012: pH
sekali. Klien mengatakan rasa sesak tidak 7,471; PCO2 29,2; PO2 62,6; HCO3 20,8, BE – 2,8, Kalium 3,0; Natrium 128; SaO2 93
hilang meskipun istirahat, rasa sesak selalu %
di rasakan oleh klien, klien juga (Alkalosis respiratorik),
mengatakan ia merasa nyeri pada dada Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual, makan 3x sehari sedikit, ±¼ porsi,
kanan atas. klien mengatakan senang minum jus buah; adanya mucositis, stomatitis nyeri eritema
Usaha yang dilakukan adalah duduk tenang, lecet di bibir, BB: 50 kg TB: 174 cm IMT: 16,55 kg/m2 (kategori: underweight)
mernarik napas dalam. Nyeri dirasakan kehilangan BB >20%, dl SGOT: 30 U/L (0-38), SGPT: 16 U/L (0-41), GDS: 102 mg/dl,
seperti tertekan dan rasa terbakar. Skala Hb 11,5 g/dL (12-16), Eritrosit: 9,6 juta/l (4-5)
keparahan yaitu pada skala 5. Timbulnya Bermartabat dan dihormati: klien mengatakan membutuhkan dukungan dari semua
nyeri tidak tentu, kadang-kadang dan keluarga dan perawat juga dokter, klien merasa tertekan dengan penyakitnya karena takut
lamanya kira-kira 5-10 menit, wajah klien anak-anaknya menderita penyakit kanker juga.
tampak menyeringai kesakitan. Lalu oleh Damai: Praktik keagamaan yang dilakukan: berdoa di tempat tidur
keluarga dibawa ke RSUD Dharmais pada Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang akan membantu pasien
pagi hari sekitar pukul 05.30, lalu klien di
sarankan untuk rawat inap
dalam pemenuhan kebutuhan perawatan: istri dan anak
Diagnosa keperawatan: 1) Gangguan pertukaran gas (00030), 2) Nyeri kronis (00133),
Klien dengan riwayat merokok lebih dari
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 4) . Risk control:
40 tahun, menyukai makanan yang
Infection (00004)
dipanggang dan tinggi lemak
Tujuan (NOC): 1) Respiratory status : gas exchange (0402), 2) Pain control (1605), 3)
Sudah menjalani kemoterapi 6x
Nutritional status : food and fluid intake (1008) 4) imune status (0702)
Toraks foto: tanggal 8/7/2015 Interpretasi: :
Intervensi (NIC): 1) Oxygen therapy (3320), 2) Pain management (1400), 3) Nutrition
jantung tampak terdorong ke kiri dan ada
management (1100) , 4) Infection control (6540)
bayangan massa pada daerah parahiler
5) Medication administration (2300): IVFD Ns 0,9%/24 jam, Glabexal tabet 300 mg,
sampai suprahiler kanan. Kesimpulan :
injeksi IV ondancentron 8 mg, drip tramadol 100mg+NS 100 cc, injeksi ranitidin 50 mg
kanker paru kanan stadium IIIB
IV dan ketorolac 50 mg (extra)
Evaluasi: pasien mengatakan sesak nafas berkurang, nyeri berkurang, skala 3, mual
berkurang, masih merasa nyeri menelan, klien mengatakan senang minum jus buah, tidak
ada keluhan panas, nafsu makan menurun, Suhu : 36,5 0C
2. Ny. R (35 th), Islam, menikah, SLTP, IRT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri dada kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai
tanggal pengkajian 14/9/2015, Diagnosa skala 8 menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk
Medis: Ca Mamae Stadium IIIB dan Efusi dan hilang timbul, klien tampak gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 28x/menit
Pleura N : 110x/menit
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
Riwayat penyakit sekarang: Menurut hidung, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit (masker 5L/menit), suara nafas tambahan
keterangan klien dan keluarga pasien sesak ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak teratur, SaO2 95%, sianosis, nafas
bertambah sejak 1 hari sebelum masuk cuping hidung, gambaran foto thorax efusi pleura
rumah sakit. Klien mengatakan selain sesak Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan sesak nafas, klien mengatakan
nafas dada nyeri skala 5 dan meningkat mengalami penurunan BB yang tadinya 50kg menjadi 45 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi
menjadi 8 bila menarik nafas dalam. Nyeri tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, BB: 45 kg, TB: 152 cm, IMT: 19,56 kg/m2
berlangsung ± 3 menit. Klien mengatakan (kategori: normal), kehilangan BB 5%, Hb : 10,7 g/dL, klien tampak kurus dan turgor
tahun 2000 terdapat benjolan sebesar biji menurun
asam di payudara kiri namun tidak klien mengatakan payudara kiri sudah di operasi ada keropeng sedikit kadang
dilakukan pemeriksaan maupun pengobatan mengeluarkan cairan bening sedikit tapi sekarang tidak, tampak luka pos op mastektomi
apapun. Tahun 2012 klien menikah dan payudara kiri, integumen sekitar luka pos op hiperpigmentasi dan terdapat nekrotik 4cm2,
mempunyai anak melalui operasi sesar. tidak ada eksudat, terdapat benjolan dengan kondisi integumen menyerupai kulit jeruk di
Ketika menyusui bayi satu bulan klien payudara kanan dekat dengan sternum
menderita usus buntu dan dilakukan operasi klien mengatakan sesak nafas dan merasa cepat lelah bila beraktivitas, aktivitasnya selalu
usus buntu dan berhenti menyusui bayinya dibantu suami, klien tampak sesak nafas dalam kondisi duduk memeluk bantal, kadang
karena ASI tidak keluar setelah operasi. bernafas dengan mulut, aktivitas dibantu perawat dan suami, nilai ECOG 3 (Hanya
Tahun 2013 benjolan yang ada di payudara mampu melakukan perawatan diri yang terbatas, hanya diantara tempat tidur dan kursi
kiri membesar dengan sangat cepat. Tahun lebih dari 50% dari waktu terjaga.), klien tampak bertambah sesak saat diwawancara dan
Universitas Indonesia
Evaluasi: Klien mengatakan masih nyeri di dada bagian yang dioperasi, kulit klien
kering, punggungnya masih nyeri, mengalami penurunan BB, masih lemah karena harus
selalu dalam posisi berbaring terlentang, sedang tidak panas, tetapi kemarin sempat panas
11. Ny. I (57 th), Islam, janda, tamat SD, IRT, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
tanggal pengkajian 30/11/2015, Diagnosa Nyaman: Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6 bulan lalu BB sampai
Medis: Ca Serviks dan isufisiensi ginjal 50 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit mengalami penurunan
Keluhan utama: Penurunan kesadaran nafsu makan, mual, muntah, dan diare, Keluarga mengatakan punggung dan pantat klien
Riwayat penyakit sekarang: Bicara kacau terdapat luka, Keluarga mengatakan klien saat ini sedang tidak panas, tetapi kemarin
sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, sempat panas
gelisah, sulit diajak komunikasi, mual, Bermartabat dan dihormati:pasrah
muntah 2x, berisi air, nafsu makan Damai: ibu bisa meninggal dengan tenang dalam kondisi yang sebaik-baiknya
menurun, BAB encer sejak 5 hari sebelum Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
masuk rumah sakit, frekuensi 5x/hari, tidak anak
ada ampas, kuning kecoklatan, 3 hari Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan jaringan serebral (00201) , 2)
terakhir ada bercak darahnya, BAK sedikit Gangguan ventilasi spontan (000033), 3) Kerusakan Integritas kulit (00046), 4)
sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 5) Resiko infeksi
pasien sudah didiagnosa kanker serviks (00004)
sejak tahun 2013, disarankan kemoterapi Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Respiratory status : ventilation (0403),
dan operasi menolak, terakhir berobat ke RS 3) Tissue integrity : skin (1101), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008), Risk
cengkareng 5/11/2015 dikatakan sudah control (1902)
tidak dapat dioperasi lagi karena sudah Intervensi (NIC): 1) Neurological monitoring (2620), 2) Oxygen therapy (3320), 3)
advance Riwayat KB 12 bulan, makan Pressure management (3500), 4) Nutrition management, 5) Infection control (6540)
tinggi lemak, Tumor marker: Tanggal 5) Medication administration (2300): nasal kanul 3ltr/mnt , Clinimix 1000cc/24 jam
12/2/2013 karsinoma sel skuamosa tidak NaCl 0,9%/24 jam, imodium 3x2mg, serenase/haloperidol 2x5mg (saat ini sedang
berkeratin, berdiferensiasi buruk dipuasakan), Ceftriaxon 3x1 gr, Ranitidin 2 x 40 mg , Dexamethasone : 2x5 mg , Lasix :
1 x 20 mg , Transamin : 500 mg (ektra), Fluconazole : 1x200 mg , Vit K 1 amp (ekstra),
Transamin : 3x 1 gr
Evaluasi:
12. Ny. K (53 th), Islam, Kawin, tamat Sarmud, Bebas nyeri: Keluarga klien mengatakan ketika klien sadar selalu kesakitan, kadang
IRT, tanggal pengkajian 7/12/2015, sampai menangis, tangan dan pinggangnya menekuk ke arah dalam karena klien merasa
Diagnosa Medis: Ca Mammae bilateral, nyaman dengan posisi tersebut namun karena selalu dalam posisi menekuk tangan dan
meta brain dan meta tulang pinggang sebelah kiri tidak bisa kembali ke posisi semula, kaku, TD : 100/56 mmHg, N :
Keluhan utama: Penurunan kesadaran 123x/mnt, RR : 26x/mnt (terpasang NRM 12 ltr/mnt), S : 39,5oC, klien terpasang
RPS : Klien penurunan kesadaran 30 menit Durogesic patch 600 meq (9 lembar di punggung deltoid kanan, 2 lembar di abdomen 100
SMRS (5/12/2015), setengah jam meq), terpasang epidural line dengan terapi ketaral dan Marcaine)
sebelumnya klien sedang minum obat, oleh Nyaman: Pasien tampak Dyspnea menggunakan oksigen NRM 12 ltr/mnt, Kesadaran
keluarga riwayat tersedak disangkal, sesak sopor, E2M3V1, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6 bulan lalu BB
nafas disangkal, klien sejak pagi sudah sampai 54 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit mengalami
dalam keadaan meracau (bicara kacau), penurunan nafsu makan, mual, muntah, Keluarga klien mengatakan dada, perut,
klien muntah 2x, berisi air, klien didiagnosa punggung, tangan kiri terdapat luka kanker dan pantat klien terdapat luka tekan
kanker payudara sejak 4 tahun yang lalu, Bermartabat dan dihormati: Perubahan peran selama sakit: keluarga mengatakan klien
bermula dari payudara kanan dan menjalar tidak mampu melakukan aktivitas sebagai ibu rumah tangga, dan semua aktifitas dibantu
ke payudara kiri, kanker menjalar ke oleh keluarga
payudara kiri sejak riwayat berobat di Damai: ibu bisa meninggal dengan tenang dalam kondisi yang sebaik-baiknya
alternatif 2 tahun lalu, dan melakukan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
kemoterapi 6x dan belum pernah radiasi, anak
lengan kiri tampak keunguan, bengkak, kulit Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Resiko
kaku, tampak luka kanker luas di dada, ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201), 3) Gangguan ventilasi spontan (000033),
perut, punggung, tangan kiri, diraba keras 4) Nyeri kronis (00133), 5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
dan kaku, terdapat eritema, fistula, dan (00002), 6) Kerusakan integritas kulit (00046), 7) Resiko infeksi (00004)
jaringan nekrotik, piting edema grade 2 di Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 20 neurologic status (0909), 3) Respiratory
kedua kaki, keluarga membawa klien ke status : ventilation (0403), 4) Pain control (1605), 5) Nutritional status : food & fluid
IGD RSK Dharmais, pemeriksaan awal di intake (1008), 6) Tissue integrity : skin (1101), 7) Imune status (0702)
IGD didapatkan jalan nafas terdapat Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Neurologic monitoring (2620), 3)
sumbatan, ronkhi basah di seluruh lapang Oxygen therapy, 4) Pain management (1400), 5) Nutrition therapy (1120), 6) Woundcare
paru, menggunakan otot bantu pernafasan, (3660), 7) Infection control (6540)
RR : 40x/menit, N : 158x/menit, TD 126/79 8) Medication administration (2300): infus I : Clinimic 1000cc/24 jam II : Ns 0,9%
mmHg, takikardi, tampak pucat GCS : 500cc/12 jam III : Ns 0,9% 50cc + Heparin 7500ui/24jam, Actrapid bronkodilator :
E2M1V1 total 4, besar pupil kanan 5 mm Ventolin 2,5 mg (nebulazer), Ceftazidime 3x1 gr, Ranitidin 2 x 40 mg, Dexamethasone :
kiri 3 mm, akral dingin CRT <3detik, 2x5 mg, Cholinar : 3x500 mg, PCT drip (extra)
penilaian resiko jatuh skor 8 (kriteria : Evaluasi: Pasien tampak Dyspnea menggunakan oksigen NRM 12 ltr/mnt, Kesadaran
resiko tinggi) sopor, E2M3V1, Keluarga klien mengatakan ketika klien sadar selalu kesakitan, Keluarga
Lingkungan perokok, KB 12 bulan, DM mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6 bulan lalu BB sampai 54 kg, dan terakhir
sejak usia 30 tahun BB menjadi 35 kg, Keluarga klien mengatakan dada, perut, punggung, tangan kiri
Toraks foto: tanggal 16/7/2014 terdapat luka kanker dan pantat klien terdapat luka tekan, Keluarga mengatakan klien saat
Interpretasi: efusi pleura kiri ini sedang panas
USG toraks: tanggal 5/2/2015
Interpretasi: DVT pada subklavikula
dan vena radialis kiri
USG Abdomen, tanggal 16/72014
Interpretasi: Fatty liver, endometrium
dan parametrium tidak nampak
kelainan, tak tampak kelainan pada
organ pelvik lain
Tumor marker: Tanggal 30/1/2015 CA 15-3
: 19 U/mL (<31,3), CEA 1,27 ng/mL (<5)
13. Ny. M (66 th), Islam, Kawin, tamat SMTP, Bebas nyeri: Klien mengatakan mata kirinya pegel, tadi pagi nyeri cekit-cekit, sekarang
IRT, tanggal pengkajian 15/12/2015, pegel, Posisi tampak menahan nyeri , Tingkah laku berhati-hati, Mata kiri ditutup
Diagnosa Medis: Post op Ca Orbita menggunakan kasa dan plester tampak rembesan warna coklat (mirip cairan betadyn)
Keluhan utama: Mata kiri sakit pegel Nyaman: Klien mengatakan kemarin baru operasi jam 12.00 WIB, klien mengatakan ini
Riwayat penyakit sekarang: Klien operasi ketiga,
mengatakan tahun sebleumnya di kelopak Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
mata bawah sebelah kiri ada tahi lalat, kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
karena gatal kadang tidak sengaja digaruk, klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
tahun 2010 bekas garukan melebar dan fungsinya
berdarah, mata merah dan menonjol, bila Damai: Semua karena ketentuan Allah, berdoa dan shalat di tempat tidur
mau melihat kelopak mata atas harus Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
diangkat ke atas, klien periksa ke RSCM suami
dan dinyatakan tumor kemudian dianjurkan Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri Akut b/d agen injuri fisik (insisi pembedahan) (00132),
operasi, klien mengatakan beberapa bulan 2) Risiko infeksi (00004)
setelah operasi kelopak mata dan mata Tujuan (NOC): 1) Pain level (2102), 2) Risk control 91902)
menonjol lagi, karena trauma operasi klien Intervensi (NIC): 1) Pain mangement (1400), 2) Infection protection (6550)
periksa ke alternatif, dan minum obat 3) Medication administration (2300): Ketorolac 30 mg dalam NS 100 cc 3x, Ceftriaxon
herbal, namun karena tidak sembuh dan 2x1 gr
mata kiri semakin menonjol klien kembali Evaluasi: Klien mengatakan mata kirinya masih sakit cenut-cenut skala 3, Klien
periksa ke pelayanan kesehatan terdekat di mengatakan hanya ditunggui anak, tetapi sebentar lagi keluarga menjemput untuk pulang,
Depok, dari RS Depok diberi rujukan untuk Klien mengtakan mata kirinya masih pegel tetapi paha kirinya tidak berasa sakit,Klien
ke RS Dharmais, di RSK Dharmais klien tampak ditemani oleh anak, anak tampak membantu aktivitas klien dan melakukan cuci
dianjurkan untuk operasi pengangkatan tangan sebelum dan setelah memberikan bantuan
bola mata kiri. Kemudian tanggal 30
Oktober 2015 dilakukan pengangkatan bola
mata kiri. Setelah operasi dan dirawat
selama 3 hari klien diperbolehkan pulang
dan dianjurkan kontrol rutin dan melakukan
perawatan luka operasi mata kiri dengan
kompres madu, setelah dinyatakan jaringan
baik klien dianjurkan untuk rawat inap
kembali untuk dilakukan operasi rekontruksi
pada mata kirinya. Operasi dilakukan
tanggal 14/12/2015
EKG: tanggal 10/12/2015 Interpretasi:
Synus Rhytm
Toraks foto: tanggal 10/12/2015
Interpretasi: tak tampak kelainan pada
jantung dan paru
14. Ny. S (38 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan terdapat benjolan di payudara kanan, benjolan kadang
IRT, tanggal pengkajian 21/12/2015, terasa nyeri cekit-cekit hilang timbul , Skala nyeri 3, Terdapat benjolan di payudara
Diagnosa Medis: Ca Mamae Rencana kanan dekat areola mammae, diameter ± 3cm, batas tidak tegas, terfiksir, TD 110/70
Lumpectomy mmHg, N=82x/I, RR=18x/I, suhu=36,20C
Keluhan utama: cemas Nyaman: Klien mengatakan cemas menghadapi operasi besok, klien juga mengatakan
Riwayat penyakit sekarang: Klien masuk selain memikirkan diri akan operasi cemas memikirkan anaknya yang masuk rumah sakit
rumah sakit dengan rencana operasi karena sakit thypus
payudara. Klien menyampaikan sekitar 3 Bermartabat dan dihormati: Klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
bulan yang lalu muncul benjolan kira-kira kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
sebesar biji jagung, makin kesini makin klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
besar dan kadang muncul nyeri cekit-cekit fungsinya
skala 3-4. Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua karena Allah, Allah yang
Mammografi tgl 20/11/2015 : lesi noduler menentukan, pasrah saja, siap ataupun tidak harus dihadapi
maligna pada periareola kanan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Riwayat KB suntik 3 tahun, makan mie keluarga
instan Diagnosa keperawatan: 1) Nyeri kronik (00133), 2) Ansietas (00146)
EKG: tanggal 6/12/2015 Interpretasi: Tujuan (NOC) : 1) pain control (1605), 2) Anxiety self control (1402)
normal sinus rhtym Intervensi (NIC) : 1) Pain management (1400), 2) Anxiety reduction (5820)
Toraks foto: tanggal 26/11/2015 3) Medication administration (2300): , asam mefenamat 500 mg
Interpretasi: tak tampak kelainan pada Evaluasi: Klien mengatakan nyeri pada bekas operasi hilang timbul, terasa cekit-cekit,
jantung dan paru saat ini sedang tidak terasa nyeri,
PA tgl 24/11/2015 : sitologik sesuai dengan Skala nyeri 3-4, sudah tidak cemas
karsinoma mamae
Hasil mammografi tgl 20/11/2015 : lesi
noduler maligna pada periareola kanan
15. Tn. S (46 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan perutnya terasa sakit/begah , skala nyeri 7 bila terlambat
Swasta, tanggal pengkajian 7/3/2016, minum obat anti nyeri, kadang klien terlihat meringis, merintih dan mengelus-elus
Diagnosa Medis: Ca Abdomen perutnya, klien terlihat melindungi area perutnya, perut tampak buncit dan keras,
Keluhan utama: perut begah Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal 30/3/2012 Kesan pemeriksaan : liposarcoma, kista
RPS : klien datang kerumah sakit dengan peritoneal dengan perdarahan
riwayat sesak nafas karena perut yang Nyaman: Klien mengatakan perutnya besar berisi cairan tiap hari harus diambil cairan
membesar. Klien mengatakan perut 2x, pagi dan sore @ 1 liter, Klien mengatakan mengalami penurunan BB (+),Perut
membesar sejak tahun 2012 dan berobat ke tampak asites, terpasang pigtail, Turgor kulit menurun, Laboratorium: tgl 2/3/2016 Hb :
RSUD Sardjito, disana dilakukan 11,3 g/dL (13-18) Albumin 2,2 g/dL (3,2-5,2) protein total 4,3 g/dL (6,6-8,7) Globulin
pemeriksaan patologi anatomi kemudian 2,1 g/dL (1,5-3), Intake: 700 cc/24 jam Output: 2100 cc/24jam Balans cairan: -
didiagnosa liposarcoma, kista peritonial 1400 cc/24jam, Konsentrasi urine meningkat BAK 8-10x/hari, Membran mukosa/kulit
dengan perdarahan dan dilakukan kering, Kehilangan berat badan secara tiba-tiba, Klien mengatakan pernah panas dan
kemoterapi sebanyak 6x terakhir tanggal diberi penurun panas, Klien mengatakan ngantuk semalam tidak bisa tidur karena
20/1/2016. Kemudian pasien dirujuk ke terganggu pasien sebelah yang teriak-teriak, Klien mengatakan klien sering mual, tidak
RSKD tahun 2015. TTV awal masuk IGD ada nafsu makan
TD : 110/70 mmHg N : 92x/mnt S : 36oC Bermartabat dan dihormati: keluarga dan lingkungan mendukung, klien berharap tetap
RR : 22x/mnt memperoleh fasilitas pelyanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya.
Lingkungan perokok, sering minum Walaupun dalam kondisi sakit , klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap
minuman penambah stamina, makan dihargai sesuai dengan fungsinya
makanan isntan Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, Praktik
EKG: tanggal 3/2/2016 Interpretasi: synus keagamaan yang dilakukan: shalat dan berdoa
tachycardi Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
USG toraks: tanggal 1/3/2016 Interpretasi: anak
perbaikan efusi pleura inferior kanan Diagnosa keperawatan:1) Nyeri kronis (00133), 2) Resiko ketidakseimbangan volume
Echocardiografi: tanggal 23/2/2016 cairan (00025), 3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 4)
Interpretasi: normal echo Resiko infeksi (00004), 5) Gangguan pola tidur (00192)
Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Fluid balance (0601), 3) Nutritional status :
30/3/2012 Kesan pemeriksaan : food & fluid intake (1008), 4) Imune status (0702), 5) Sleep (0004)
liposarcoma, kista peritoneal dengan Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Fluid/electrolyte management (2080),
perdarahan 3) Nutrition management (1100), 4) Infection control (6540), 5) Sleep enhancement
MRI Abdomen pelvis, tanggal 2/3/2016 (1850)
Interpretasi : Massa mesenterial pada 5) Medication administration (2300): MST 2x10 mg, Aldactone 1x100 mg,, Lasix 2x40
seluruh mesocolon disertai tanda fokal-fokal mg, Laxadyne syrup 3x1 sdm (jika perlu), Ns 0,9%/8 jam, OMZ 1x40 mg, Ondansentron
stenosis usus halus dan colon, disertai asites 3x8mg
pada seluruh kwadran abdomen. Evaluasi: Klien mengatakan perutnya masih nyeri begah, Klien mengatakan perutnya
Hidronefrosis kiri. Tidak tampak kelainan masih buncit dan masih selalu dilakukan pungsi sehari 2x @ 1 liter, Klien mengatakan
pada organ intrabdominal dan pelvis lainnya klien selama di RS tidak pernah menghabiskan makanannya karena perut terasa penuh,
Klien mengatakan pernah panas badan namun saat ini tidak, Klien mengatakan tadi bisa
tidur siang walaupun sejam
16. Ny. M (46 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
IRT, tanggal pengkajian 7/3/2016, Diagnosa Nyaman: klien mengatakan mules dan sudah BAB 6 x semenjak tadi malam selesai
Medis: Ca Mammae Sinistra Post kemoterapi, hiperperistaltik, BAB > 4 x konsistensi cair; Klien mengatakan tidak panas,
Mastektomy leukosit : 22,54 103/l (5-10), S : 360C terdapat luka post mastectomy tertutup tidak
Keluhan utama: diare tampak luka terbuka dan eksudat
RPS : Pasien datang ke RSKD karena Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
direncanakan akan melakukan klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
kemoterapi , klien mengatakan belum fungsinya
pernah radiasi, pasien didiagnosa Damai: pasrah, semua atas ketentuan Allah, shalat dan berdoa
kanker payudara sejak Agustus 2015 Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi
dengan hasil biopsi dari RSUD Banten pasien:suami dan anak
kemudian pasien dirujuk ke RSKD. Di Diagnosa keperawatan:1) Diare, 2) Resiko infeksi
RSKD dilakukan mastektomi pada Tujuan (NOC): 1) Bowel continence (0500), 2) Risk control (1902)
Intervensi (NIC): 1) Diarrhe management (0460), 2) Infection protection (6550)
tanggal 8 November 2015 dan setelah
3) Medication administration (2300): Ns 0,9%/8 jam Ceftazidime 3x1 gr, Dexamethasone
mastektomi pasien mengikuti : 2x5 mg, Drip paracetamol 500 mg
perawatan luka di poli luka RSKD. Evaluasi: Klien mengatakan diare sudah berkurang BAB ada yang cair dan lembek,
Hari ini pasien direncanakan akan Klien mengatakan tidak mengalami panas badan
dilakukan kemoterapi yang pertama.
TTV 120/70 mmHg, N : 82x/mnt, S :
36oC. TB 150 cm, BB 56 kg. ECOG 1
Lingkungan perokok, KB setahun,
konsumsi tinggi lemak, dan makanan
instan
Pemeriksaan Imuno Histokimia tanggal
8/12/2015 : Estrogen reseptor : negatif
(kontrol internal positif); Progesteron
reseptor : negatif (kontrol internal
positif); HER 2 : positif grade 3; Ki 67
: positif pada 40% sel tumor, intensitas
kuat; Kesimpulan hasil biopsi :
invasive carcinoma, no special type
(NST) grade 2, tidak terdapat invasi
limfovaskular batas sayatan tidak
mengandung massa tumor, tidak
terdapat anak sebar karsinoma pada
KGB aksila
17. Ny. S (40 th), Kristen, Kawin, tamat PT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri dada kiri skala 5 meningkat saat batuk sampai
Pekerja lepas, tanggal pengkajian skala 8 menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk
14/3/2016, Diagnosa Medis: Ca Mamae dan hilang timbul, klien tampak gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 28x/menit
Stadium IIIB dan Efusi Pleura N : 110x/menit
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
Riwayat penyakit sekarang: Menurut hidung, kadang menggunakan mulut, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit (nasal kanul
keterangan klien dan keluarga pasien 3L/menit), suara nafas tambahan ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak
mempunyai keluhan sesak sudah 2 bulan teratur, SaO2 97%, sianosis, nafas cuping hidung, gambaran foto thorax efusi pleura;
SMRS bertambah sejak 1 hari sebelum Klien mengatakan nafsu makan menurun karena mual dan sesak nafas, klien mengatakan
masuk rumah sakit. Klien mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 50kg menjadi 44 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi
selain sesak nafas, dada nyeri skala 5 dan tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir, Status antropometri : BB: 44 kg, TB: 155 cm,
meningkat menjadi 8 bila menarik nafas IMT: 18,33 kg/m2 (kategori: underweight). Klien mengatakan BB sebelumnya 50 kg
dalam. Nyeri berlangsung ± 3 menit. Klien (kehilangan BB 10% dalam 6 bulan terakhir). Hb : 10,7 g/dL, turgor menurun; nafsu
mengatakan tahun 2009 terdapat benjolan makan menurun, sesak nafas dan merasa cepat lelah bila beraktivitas, aktivitasnya selalu
sebesar biji asam di payudara kiri namun dibantu suami
tidak dilakukan pemeriksaan maupun Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
pengobatan apapun. Tahun 2012 klien kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
menikah dan mempunyai anak melalui klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
operasi sesar. Ketika menyusui bayi satu fungsinya
bulan klien menderita usus buntu dan Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: pasrah semua sudah ketentuan Tuhan,
dilakukan operasi usus buntu dan berhenti berdoa
menyusui bayinya karena ASI tidak keluar Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
setelah operasi. Tahun 2013 benjolan yang suami
ada di payudara kiri membesar dengan Diagnosa keperawatan : 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Gangguan
sangat cepat. Tahun 2014 dilakukan operasi pertukaran gas (00030), 3) Nyeri kronis (00133), 4) Resiko ketidakseimbangan nutrisi
payudara kiri di RS Bekasi. Setelah operasi kurang dari kebutuhan tubuh (00002), 5) Resiko infeksi (00004), 6) Intoleransi aktivitas
klien dianjurkan untuk mengikuti program (00092)
kemoterapi dan sudah berjalan 2x. Dua Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Respiratory status : gas exchange
bulan sebelum masuk rumah sakit klien (0402), 3) Pain control (1605), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008), 5)
mengatakan sering sesak nafas dan aktivitas Imune
harus dibantu karena cepat merasa lelah. 2 status (0702), 6) Energy conservation (0002)
bulan sebelum masuk rumah sakit klien Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Oxigen therapy (3320), 3) Pain
mengatakan tidak bisa tidur terlentang dan management (1400), 4) Nutrition management (1100), 5) Infection control (6540), 6)
harus dalam posisi duduk karena sesak Energy management (0180)
bertambah bila tidur terlentang, ;lingkungan 7) Medication administration (2300): NaCl 0,9% 500 cc + aminophilin 2 amp/24 jam,
perokok, menyusui sebulan,, menikan nebulazer:combivent dan bisolvon, Ranitidin 50 mg IV, Ondansentron 4 mg Iv
>35thn, bekerja di lapangan Evaluasi: Kilen mengatakan masih sesak nafas, nyeri dada kiri skala 5 meningkat saat
EKG: tanggal 25/8/2015 Interpretasi: synus batuk sampai skala 8 menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar, mual
rhytm berkurang, masih sesak nafas dan merasa lelah bila beraktivitas, nafsu makan menurun
Foto thorak : tanggal 29/1/2016 interpretasi
: segmental atelektasis lobus superior kanan,
stqa. Bronkophneumonia stqa. Efusi pleura
bilateral stqa
USG toraks: tanggal 18/2/2016 Interpretasi:
Efusi pleura bilateral (pleura kanan 292 ml
kiri 608 ml)
Kesimpulan hasil biopsi tgl 7/1/2014 :
invasive carcinoma, no special type (NST)
grade III
Kesimpulan hasil biopsi : sediaan
mastektomi tidak mengandung sisa massa
tumor. Metastase karsinoma payudara pada
12 dan 14 kelenjar getah bening
18. Ny. I (57 th), Islam, Janda, tamat SD, IRT, Bebas nyeri: tidak terkaji
tanggal pengkajian 14/3/2016, Diagnosa Nyaman: Kesadaran somnolen, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6
Medis: Ca Serviks dan isufisiensi ginjal bulan lalu BB sampai 50 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit
Keluhan utama: Penurunan kesadaran mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan diare, Keluarga mengatakan
Riwayat penyakit sekarang: Bicara punggung dan pantat klien terdapat luka, Keluarga mengatakan klien saat ini sedang tidak
panas, tetapi kemarin sempat panas
kacau sejak 5 hari sebelum masuk
Bermartabat dan dihormati: keluarga berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
rumah sakit, gelisah, sulit diajak kesehatan yang terbaik untuk pasien. Walaupun dalam kondisi sakit , klg meminta pasien
komunikasi, mual, muntah 2x, berisi diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan fungsinya
air, nafsu makan menurun, BAB encer Damai: keluarga berharap ibu bisa meninggal dengan tenang dalam kondisi yang sebaik-
sejak 5 hari sebelum masuk rumah baiknya
sakit, frekuensi 5x/hari, tidak ada Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
ampas, kuning kecoklatan, 3 hari anak
terakhir ada bercak darahnya, BAK Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan jaringan serebral (00201) , 2)
Gangguan ventilasi spontan (000033), 3) Kerusakan Integritas kulit (00046), 4)
sedikit sejak 4 hari sebelum masuk Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 5) Resiko infeksi
rumah sakit, pasien sudah didiagnosa (00004)
kanker serviks sejak tahun 2013, Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Respiratory status : ventilation (0403),
3) Tissue integrity : skin (1101), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008)
disarankan kemoterapi dan operasi
Intervensi (NIC): 1) Neurological monitoring (2620), 2) Oxygen therapy (3320), 3)
menolak, terakhir berobat ke RS Pressure management (3500), 4) Nutrition management, 5) Infection control (6540)
cengkareng 5/11/2015 dikatakan sudah 6) Medication administration (2300): imodium 3x2mg,, serenase/haloperidol 2x5mg (saat
tidak dapat dioperasi lagi karena sudah ini sedang dipuasakan), Ceftriaxon 3x1 gr, Ranitidin 2 x 40 mg, Dexamethasone : 2x5
advance mg, Lasix : 1 x 20 mg, Transamin : 500 mg (ektra), Fluconazole : 1x200 mg, Vit K 1
Lingkungan perokok, KB setahun, amp (ekstra), Transamin : 3x 1 gr
makan tinggi lemak dan instan Evaluasi: penuurunan kesadaran, Keluarga mengatakan tiap pagi dan sore klien di
Tumor marker: Tanggal 12/2/2013 mandikan dengan dilap dan diganti pakaian 1 hari sekali, Keluarga mengatakan punggung
dan pantat klien ada luka lecet, Keluarga klien mengatakan klien tidak ada riwayat alergi
karsinoma sel skuamosa tidak
makanan maupun obat-obatan, Keluarga mengatakan ya akan cuci tangan sebelum dan
berkeratin, berdiferensiasi buruk setelah aktifitas dan dalam membantu aktifitas klien
19. Tn. I (29 th), Islam, Belum Kawin, tamat Bebas nyeri: Klien mengatakan matanya kadang muncul sakit seperti ada yang
SD, Swasta, tanggal pengkajian 22/3/2016, mengganjal kadang pedih skala 4, kadang klien terlihat meringis dan memegang kelopak
Diagnosa Medis: Tumor Otak mata, Kelopak mata tampak lebih cenderung menutup, Retina memerah
Keluhan utama: perut begah Nyaman: Klien dan keluarga mengatakan bahwa klien sering kencing, kantong
RPS : klien datang kerumah sakit penampung kencing sehari dikosongkan sampai 3-4x karena cepat penuh, Turgor kulit
dengan keluhan kepala berdenyut menurun, Laboratorium: tgl 22/3/2016 Na : 138 mmol/L (135-150), K : 3,8 mmol/L (3,5-
5,3), Cl : 108 mmol/L ( 95-111), Ca : 9 mg/dL (8,1-10,4), Mg : 2,2 mg/dL (1,9-2,5),
disertai mual muntah, terjadi
Laboratorium: tgl 19/3/2016 Prot total : 7,1 g/dL (6,6-8,7) Albumin 4,1 g/dL (3,2-5,2),
kelemahan anggota tubuh bagian kiri Globulin 3 g/dL (1,5-3), ureum darah 45 mg/dL (19-44), Kreatinin darah 0,87 mg/dL
sejak Februari 2016. Riwayat operasi (<1,17) eGFR :110,27 ml/min/1,73m2 (>60), Intake: 4300 cc/24 jam Output: 5800
2x, tahun 2013 dan Desember tahun cc/24jam Balans cairan: -1500 cc/24jam, Membran mukosa/kulit kering;
2015, radiasi 30x pada tahun 2013 Keluarga mengatakan klien pernah panas sampai kejang ; Klien mengatakan tidak
setelah operasi yang pertama. bisa melihat, hanya melihat bayang-bayang, tangan kiri dan kaki kirinya lemah
Pemeriksaan fisik pupil bulat anisokor Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
diameter 4mm/2mm TTV awal masuk kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
IGD TD : 120/80 mmHg N : 96x/mnt
fungsinya
S Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian : semua atas ketentuan Allah, yang
: 36oC RR : 22x/mnt dilakukan sejak sakit : shalat dan berdoa
Lingkungan perokok, makan tinggi Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
lemak, minum minuman penambah ibu
stamina, kerja di toko besi Diagnosa keperawatan:1) Nyeri kronis (00133), 2) Risiko ketidakseimbangan volume
USG toraks: tanggal 18/3/2016 cairan (00025), 3) Resiko infeksi (00004), 4) Risiko jatuh b.d Kelemahan, penglihatan
Interpretasi: tak tampak kelainan menurun, penurunan sensasi taktil, penurunan koordinasi otot, tangan-mata (00155)
Tujuan (NOC): 1) Pain control (1605), 2) Fluid balance (0601), 3) Risk control (1902),
Echocardiografi: tanggal 20/3/2016 4) Fall prevention behavior (1909),
Interpretasi: normal echo Intervensi (NIC): 1) Pain management (1400), 2) Fluid/electrolyte management (2080),
EKG: tanggal 13/2/2016 Interpretasi: 3) Infection control (6540), 4) Fall prevention (6490)
synus rythm 5) Medication administration (2300): Depakhene sirup 2x500mg, Amilodipin 1x 5 mg,
Ofloxacin 1x 400mg, Osteocare 1x1, Fluconazole 2x1, Metronidazol 2x500mg, Prosogan
2x30 mg, Ondansentron 2x8mg, Ranitidin 1x50mg, Lasix 1x20, Kutoin 2x100mg,
Methylprednisolon 1x62,5mg (setiap tanggal ganjil)
Evaluasi: Klien mengatakan matanya masih sering muncul sakit seperti ada yang
mengganjal skala 3 hilang timbul, Keluarga mengatakan klien minum banyak tetapi
kencingnya lebih banyak, Klien mengatakan pernah panas badan namun saat ini tidak,
Klien mengatakan matanya hanya melihat bayangan, tangan dan kaki kirinya bisa
digerakkan tapi lemah
20 Ny K (50 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
IRT, tanggal pengkajian 22/3/2016, Nyaman: klien mengatakan dari semalam mual dan sempat muntah 1x, pagi ini masih
Diagnosa Medis: Ca Mammae Sinistra merasa mual skala 5, klien mengatakan nafsu makan menurun, makan tidak habis hanya
Post Mastektomy 2-3 sendok makan, mulut tidak enak, tampak sisa makanan ½ porsi; Klien mengatakan
Keluhan utama: diare tidak panas, leukosit : 10,44 103/l (5-10), S : 360C terdapat luka post mastectomy di
RPS : Pasien datang ke RSKD karena payudara sebelah kanan tertutup tidak tampak luka terbuka dan eksudat
Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
direncanakan akan melakukan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
kemoterapi yang pertama, klien klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
mengatakan belum pernah radiasi, fungsinya
pasien mengeluh adanya benjolan di Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, shalat dan
payudara sejak dua tahun yang lalu, berdoa
kemudian klien berobat ke RS Sumber Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Waras dan dilakukan biopsi hasilnya anak
Diagnosa keperawatan: 1) Mual, muntah (00134), 2) Resiko infeksi (00004)
invasive breast carcinoma grade II
Tujuan (NOC): 1) Nausea and vomiting control (1618), 2) Risk control (1902)
metastase pada kelejar getah bening Intervensi (NIC): 1) Nausea management (1450) & Vomiting management (1570), 2)
(8/12/2015) dan disarankan untuk Infection protection (6550)
operasi pengangkatan payudara sebelah 3) Medication administration (ondansentron 3x 8 mg, metoclopramide 3X10mg
kanan. TTV 110/90 mmHg, N : Ceftazidime 3x1 gr (jam 06.00, 14.00, 22.00)
82x/mnt, S : 36oC. TB 157 cm, BB 53 Dexamethasone : 2x5 mg (jam 12.00, 24.00)
kg. Lingkungan perokok, sering makan Drip paracetamol 500 mg (extra) IVFD : NaCl 0,9% 500 cc
makanan instan, Evaluasi: Klien mengatakan mual berkurang dengan aromaterapi jahe, Klien mengatakan
tidak mengalami panas badan
Patologi anatomi tanggal 18/12/2015
Kesimpulan hasil biopsi : invasive
breast carcinomagrade 2, batas reseksi
tepi dan dasar bebas tumor, metastase
pada kelenjar getah bening
21. Nn. S (19 th), Islam, Belum Kawin, tamat Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
SMTA, IRT, tanggal pengkajian 26/3/2016, Nyaman: Klien mengatakan lemes tapi tidak pernah panas selama sakit, Nilai leukosit =
Diagnosa Medis: ALL 186,17 103/uL, Hb 3,2 g/dL, Terpasang CVC pada subklavia kanan, kemerahan (+), nyeri
Keluhan utama: Mual (-), Suhu tubuh 360C, Klien mengatakan pernah mimisan, Klien mengatakan cepat
RPS : Pasien masuk RS pertama kali merasa lelah dan letih. Klien mengatakan ia dapat tidur malam cukup nyenyak, Klien
mengatakan aktivitasnya dibatasi di tempat tidur, Klien terlihat pucat, lemah,
melalui IGD Dharmais tgl 26/3/2016
Konjungtiva anemis, Siang hari klien terlihat sering tidur, Nilai hemoglobin = 3,2 g/dL,
dengan keluhan pusing kepala sebelah TD 130/80 mmHg, N= 104x/menit, Nilai trombosit = 157.103 /uL
kanan (migrain), pendengaran menurun Bermartabat dan dihormati: Klien mengatakan belum memahami ALL dan
(tinitus), lemas dan jantung berdebar. perawatannya serta tentang proses kemoterapi, Klien tampak sering bertanya tentang
TTV: TD :90/70 mmHg, N 72x/menit, penyakitnya dan proses kemoterapi, klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
RR 20x/menit, Suhu 36oC. Pemeriksaan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
fisik conjuctiva anemis, hati dan limfa klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
teraba. Pasien rujukan dari rumah sakit fungsinya
Damai: semua karena ketentuan Allah, berdoa dan shalat
Tangerang dengan hasil BMP ALL.
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Laboratorium tanggal 26/3/2016 Hb 3,2 orangtua
g/dL, Leukosit 186170, Trombosit Diagnosa keperawatan: 1) Resiko infeksi (00004), 2) Resiko perdarahan (00206), 3)
57000/ul, Tanggal 14/3/2016 D-dimer Intoleransi aktivitas ((00092), 4) Defisit pengetahuan tentang penyakit (00126)
5890. Pasien mendapat terapi transfusi Tujuan (NOC): 1) Imune status (0702), 2) Blood coagulation (0409), 3) Activity
TC 10 unit dan PRC 500cc. Pasien di tolerance (0005), 4) Information processing (0907)
rawat di ruang teratai. Pasien belum Intervensi (NIC): 1) Infection control (6540), 2) Bleeding precautions (4010), 3)
pernah kemotherapy sebelumnya dan Activity therapy (4310), 4) Health education (5510)
5) Medication administration (2300): nistatin oral 3x1 dan cairan minosep, Ciprofloxacin
dirawat ruang teratai. Pasien
per oral 2x500mg, paracetamol tablet 500 mg, Acyclovir 3x600mg dan parenteral
direncanakan mendapat kemoterapi Dexamethason 2x 5mg, asam traneksamat 500 mg dalam NS 100 cc, provera tab 10 mg,
untuk yang pertama kalinya dengan Thrombocyte Concentrate (TC) 500 cc
protokol kemoterapi ALL 80. TB 155 Evaluasi: Klien mengatakan tidak ada demam, sudah tidak pernah mimisan lagi, aktifitas
cm, BB 45 kg, golongan darah A, dibantu keluarga
pasien direncanakan pasang CVC
Riwayat kesehatan sebelumnya: klien
tidak mempunyai riwayat DM,
hipertensi disangkal, alergi disangkal
Lingkungan perokok, setiap hari
mengkonsumsi mie instan
Toraks foto: tanggal 15/3/2016
Interpretasi: tak tampak kelainan pada
jantung dan paru
Hasil BMP tgl 2/3/2016 : ALL
22. Tn. R (61 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
Pensiunan Yankes, tanggal pengkajian Nyaman: klien mengatakan dari semalam mual, makan tidak ada rasa, pagi ini masih
28/3/2016, Diagnosa Medis:KNF merasa mual skala 3, klien mengatakan nafsu makan menurun, makan tidak habis hanya
Keluhan utama: mual 2-3 sendok makan, mulut tidak enak, tampak sisa makanan ½ porsi; Klien mengatakan
RPS : Pasien datang ke RSKD karena tidak panas, leukosit : 6,30 103/l (5-10), S : 36,80C, TD 120/70 mmHg, N 80x/menit,
direncanakan akan melakukan RR 20x/menit
kemoterapi yang ke empat, klien Bermartabat dan dihormati: pasrah, ingin sembuh, pneyakit kankernya tidak timbul
lagi, klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan kesehatan yang terbaik untuk
mengatakan belum pernah radiasi, kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit , klien meminta untuk
pasien mengeluh adanya benjolan di di diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan fungsinya
leher kanan sejak oktober 2015, Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua atas ketentuan Allah, shalat dan
kemudian klien berobat ke RSKD dan berdoa
dilakukan biopsi hasilnya Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
nonkeratizing undifferentiated istri
nasopharyngeal carcinoma DD/ diffuse Diagnosa keperawatan: 1) Mual muntah (00134), 2) Resiko infeksi (00004)
Tujuan (NOC): 1) Nausea and vomiting control (1618), 2) Risk control (1902)
malignant lymphoma dan disarankan
Intervensi (NIC): 1) Nausea management (1450) and Vomiting management (1570), 2)
untuk langsung mengikuti program Infection protection (6550)
kemoterapi setelah biopsi eksisi. TTV 3) Medication administration (2300): nasea 0,3mg melalui iv, Dexamethasone : 1x5 mg
awal masuk TD 110/90 mmHg, N : Evaluasi: Klien mengatakan mual berkurang skala 2, tidak muntah tapi mulut masih
82x/mnt, S : 36oC. TB 156 cm, BB 62 terasa tidak enak, Klien mengatakan tidak mengalami panas badan
kg, Perokok pasif dan aktif, makan
tinggi lemak
Patologi anatomi tanggal 18/12/2015
Kesimpulan hasil biopsi :
nonkeratizing undifferentiated
nasopharyngeal carcinoma DD/ diffuse
malignant lymphoma
23. Ny. F (48 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan telinganya sangat sakit kadang sampai berdengung skala
IRT, tanggal pengkajian 4/4/2016, Diagnosa 7, seperti ditusuk-tusuk hilang timbul, Kadang klien terlihat meringis dan memegang
Medis : Rhabdomyosarcoma telinga
Keluhan utama: nyeri telinga kanan Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
RPS : klien datang kerumah sakit hidung, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit (Kanul 3L/menit), suara nafas tambahan
ronkhi basah, klien batuk berdahak, irama nafas tidak teratur; klien mengatakan dari
dengan keluhan batuk, sesak nafas
semalam mual dan sempat muntah 1x, pagi ini masih merasa mual skala 5, klien
sejak SMRS, nyeri di perut kiri seperti mengatakan nafsu makan menurun, makan tidak habis hanya 2-3 sendok makan, mulut
ditusuk-tusuk skala 7, riwayat tahun tidak enak, tampak sisa makanan ½ porsi; Keluarga mengatakan klien pernah panas, Lab
2005 amputasi tangan sebelah kiri, tanggal 27/3/2016 Leukosit 11,61.103/µL (5-10), Hb : 10,7 g/dL (13-18), hematokrit 35,3
sudah kemoterapi dan radiasi sejak % (40-54), Suhu 36,6oC, Laboratorium: tgl 25/3/2016 Prot total : 7,5 g/dL (6,6-8,7)
januari 2016, batuk memberta berobat Albumin 3,4 g/dL (3,2-5,2), Globulin 4,1 g/dL (1,5-3)
ke rumah sakit Tarakan tgl 20 Maret Bermartabat dan dihormati: pasrah, ingin sembuh, pneyakit kankernya tidak timbul
2016 sudah CT Scan di RS Tarakan lagi, klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan kesehatan yang terbaik untuk
kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit , klien meminta untuk
ditemukan penyebaran di tulang iga
diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan fungsinya
(tumor) Rhabdomyosarcoma. TTV Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian : semua atas ketentuan Allah, shalat dan
IGD TD 90/70 mmHg, N 80x/menit, S berdoa
: 36oC, lingkungan perokok, makan Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
tinggi lemak suami
Radiologi tanggal 14/3/2016 Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Nyeri kronis (00133),
Interpretasi : Susp. Tumor paru kiri 3) Mual, muntah (00134), 4) Resiko infeksi (00004)
atas yang meluas ke bahu kiri disertai Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Pain control (1605), 3) Nausea and
vomiting control (1618), 4) Risk control (1902)
destruksi iga 1 kiri
Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Pain management (1400), 1)
Sups metastase paru kanan atas. Fibro- Nausea management (1450) and Vomiting management (1570), 3) Infection protection
infiltrat posterior paru kiri. Sup TB (6550)
paru 4) Medication administration (2300) : Pronici 1x1, Rifampisin 1x1, Pyrazinamid 1x1½,
Toraks foto: tanggal 29/3/2016 Etambutol 1x 1½, Isoniazid 1x3, MST 2x10mg, B1,B6,B12, Asam folat 1x1,
Interpretasi : pneumonitis iradiasi Ondansentron 3x1 (selama kemo), Ketorolac 3x1, Asam mefenamat 3x1, Cefadroxil
disertai efusi terlokalisir apikal kiri. 3x2,Ondansentron 3x1 4 hari selama kemo, Karbogliserin 4x3 tetes
Brokhopnemonia kanan - Valsatran 20 mg
- Spirolacton 6,25 1x1
USG toraks: tanggal 18/3/2016
- Bisoppolol 1,25
Interpretasi: tak tampak kelainan Evaluasi: Klien mengatakan telinganya masih sering muncul sakit skala 3 hilang timbul,
Echocardiografi: tanggal 28/3/2016 Kilen mengatakan masih sesak nafas, Klien mengatakan mual berkurang, Klien
Interpretasi: LVD mengatakan pernah panas badan namun saat ini tidak
Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal
11/2/2005 Kesan pemeriksaan : sesuai
dengan embryonal
Rhabdominosarcoma grade 4
24 Ny. Y (57 th), Kristen, Janda, tamat PT, Bebas nyeri: Klien mengatakan nyeri perut skala 5 meningkat saat batuk sampai skala 8
PNS, tanggal pengkajian 4/4/2016, menjalar ke dada kanan dan ulu hati seperti terbakar kadang seperti ditusuk-tusuk dan
Diagnosa Medis : Ca ovarium dan Efusi hilang timbul, klien tampak gelisah dan menyeringai saat nyeri timbul RR: 28x/menit N :
Pleura 110x/menit
Keluhan utama: sesak nafas Nyaman: Kilen mengatakan sesak nafas sehingga sulit tidur, adanya pernafasan cuping
Riwayat penyakit sekarang: Menurut hidung, retraksi dinding dada, RR : 28x/menit, suara nafas tambahan ronkhi basah, klien
keterangan klien dan keluarga pasien datang batuk berdahak, irama nafas tidak teratur, klien terpasang pigtail WSD, SaO2 96,7%,
ke IGD dengan keluhan kanker ovarium sianosis, nafas cuping hidung, Toraks foto: tanggal 30/3/2016 Interpretasi: progresifitas
perdarahan lewat anus dan vagina selama 4 brokhopneumonia kanan dengan efusi pleura inferior kiri, USG toraks: tanggal 14/3/2016
hari dirumah, pasien juga mengeluhkan Interpretasi: tampak efusi pleura kiri dengan volume sekitar 1172 ml dan kanan dengan
nyeri di tungkai bawah kiri skala nyeri 4, volume sekitar 1318 ml, pH 7,319 (7,35-7,44) PaO2 97,3 mmHg(85-95) PaCO2 40,5
mual dan mengalami penurunan nafsu mmHg (35-45) HCO3 20,8 mmol/L (21-25) BE -4,5 mmol/L ((-2,4)-2,3 Total CO2 22,1
makan. TTV TD 90/50 mmHg N 88x/menit mmol/L (22-34) SaO2 96,7% (95-99), Klien mengatakan nafsu makan menurun karena
P 20x/menit S 36,4oC, anemis HB 4,6, mual dan sesak nafas, klien mengatakan mengalami penurunan BB yang tadinya 60kg
leukosit 30,89 Trombosit 312, Ureum 65 menjadi 42 kg, klien makan 3x/hari ¼ porsi tidak pernah habis dalam 6 bulan terakhir,
Kreatinin 1,86, Kedua kaki edema BB: 42 kg dari 60 kg TB: 156 cm IMT: 17,25 kg/m2 (kategori: underweight),
Lingkungan perokok, DM sejak tahun2011, Albumin: 2,2 g/dl (3,2-5,2) Globulin : 2,4 g/dL (1,5-3,0) Protein total : 4,6 g/dL (6,6-
makan tinggi lemak 8,7), klien tampak kurus dan turgor menurun, Hb 10,9 g/dL (12-16), leukosit : 15,70
EKG: tanggal 25/8/2015 Interpretasi: synus 103/L, trombosit : 177 (150-440) 103/L, Eritrosit: 4,09 juta/l (4-5) , Hematokrit
rhytm 35,3% (37-43) ; klien mengatakan tidak panas hanya nafsu makan menurun, merasa
Toraks foto: tanggal 3/3/2016 Interpretasi: cepat lelah bila beraktivitas, aktivitasnya selalu dibantu anak
brokhopneumonia dengan efusi pleura Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
inferior kanan kiri kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
USG toraks: tanggal 14/3/2016 Interpretasi: klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
tampak efusi pleura kiri dengan volume fungsinya
sekitar 1172 ml dan kanan dengan volume Damai: : pasrah semua sudah ketentuan Allah, berdoa,
sekitar 1318 ml Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Toraks foto: tanggal 30/3/2016 Interpretasi: anak
progresifitas brokhopneumonia kanan Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 2) Gangguan
dengan efusi pleura inferior kiri pertukaran gas (00032), 3) Nyeri kronis (00133, 4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang
CT Scan abdomen Pelvis, tanggal dari kebutuhan tubuh (00002), 5) Intoleransi aktivitas (00092)
16/9/2015, Interpretasi : Progresifitas massa Tujuan (NOC): 1) Respiratory status (0415), 2) Respiratory status : gas exchange
pada superior pungtum dengan tanda fistula (0402), 3) Pain control (1605), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008), 5)
pericolon sigmoid. Seeding pada area Energy conservation (00020
hepatorenal dengan asites subdiafragma Intervensi (NIC): 1) Respiratory monitoring (3350), 2) Oxygen therapy (3320), 3) Pain
kanan. Progresifitas metastasis pada segmen management (1400), 4) Nutrition management (1100), 5) Energy management (0180)
7 hepar. Tidak tampak kelainan pada organ 6) Medication administration (2300) : nebulazer:combivent dan bisolvon, Ranitidin 50
intra abdominal lainnya. mg IV (12.00), Ondansentron 4 mg Iv
MSCT SCAN ABDOMEN PELVIS : Evaluasi: Kilen mengatakan masih sesak nafas, masih nyeri perut namun skala sedikit
tanggal 3/2/2015, Interpretasi : residif massa menurun yaitu 4, mual berkurang, lelah saat aktivitas misalnya turun dari tempat tidur
pada superior pungtum dengan mesenterial untuk ke kamar kecil, tidak ada keluhan panas, nafsu makan menurun,
seeding pada perisigmoid hepatorenal dan
splenorenal disertai asites subdiafragma
kanan. Dicurigai lesi metastase pada hepar
kanan. Contracted kidney bilateral. Tidak
tampak kelainan pada organ intra abdominal
lainnya
Pemeriksaan Biopsi tanggal 15/1/2015 : ca.
Ovarium. Hematoschezia. Proktitis kronik
(rektum)
25. Tn. R (47 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tak dapat dikaji klien bicara kacau
Swasta, tanggal pengkajian 12/4/2016, Nyaman: Keluarga mengatakan klien bicara kacau tidak bisa dipahami sejak tadi pagi
Diagnosa Medis : Tumor Otak setelah mual muntah >10x, Gangguan status mental : agitasi, Perubahan perilaku : klien
Keluhan utama: penurunan kesadaran, tampak kedinginan, bicara kacau, gelisah, Abnormalitas bicara : bicara kacau, TTV TD
agitasi 90/60, N 56, RR 24, S 36,1 SaO2 98%, Nilai Lab 12/4/2016 : glukosa darah 140 mg/dL,
RPS : Ny. R 47 th, dibawa ke IGD Trombosit 389x103/µL, leukosit 21,74x103/µL, D-dimer 1320 ng/ml, Hb 13,7 gr/%, Na
141mmol/L, Kalium 3,1 mmol/L, Keluarga mengatakan klien pernah panas sampai
dalam keadaan penurunan kesadaran.
kejang
Keluarga menyampaikan Ny. R sudah Bermartabat dan dihormati: Perubahan peran selama sakit: tidak dapat bekerja kembali
kurang lebih satu minggu mengalami dan bergantung pada keluarga, keluarga dan lingkungan mendukung Damai: semua atas
mual muntah dan SMRS klien muntah ketentuan Allah
hebat menyemprot lebih dari 10x. Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Pemeriksaan TTV TD 90/60 mmHg, N anak
56x/menit RR 24x/menit S : 36,1oC, Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201), 2)
SaO2 98%, dan tampak agitasi. Klien Risiko ketidakseimbangan volume cairan (00025), 3) Resiko infeksi (00004)
Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Fluid balance (0601), 3) Imune status
tampak bicara kacau, pucat, akral
(0702)
dingin. E4M6V4, lingkungan perokok, Intervensi (NIC): 1) Neurologic monitoring (2620), 2) Fluid/electrolyte managemnet
kadang makan makanan instan (2080), 3) Infection control (6540)
4) Medication administration (2300) : Ondansentron 2x8mg, Ranitidin 1x50mg,
Methylprednisolon 1x125 mg
Evaluasi: Bicara kacau, Keluarga mengatakan klien tadi minum sedikit, Minta BAK ke
toilet tapi bicara kacau, Keluarga mengatakan klien pernah panas badan namun saat ini
tidak
26. Ny. L (58 th), Kristen, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: Klien mengatakan perutnya sakit skala 9, seperti ditusuk-tusuk hilang
Swasta, tanggal pengkajian 13/4/2016, timbul (dikatakan setelah kejang teratasi), Kadang klien terlihat meringis dan memegang
Diagnosa Medis : Rhabdomyosarcoma perut dan kejang berulang
Keluhan utama: kejang Nyaman: Keluarga mengatakan klien bicara kejang-kejang saat akan periksa ke poli ,
RPS : Ny. L 58 th, dibawa ke IGD sebelumnya klien muntah darah, Gangguan status mental : agitasi, Perubahan perilaku :
klien bicara kacau, memberontak, Abnormalitas bicara : bicara kacau, TTV TD 140/80
dalam keadaan kejang. Keluarga
mmHg, N 141x/menit, RR 28x/menit, S 34,1oC SaO2 98%, Nilai Lab 13/4/2016 : glukosa
menyampaikan Ny. L baru pertama darah 344 mg/dL, Trombosit 415x103/µL, leukosit 27,89x103/µL, Hb 10,4 gr/%, eritrosit
kali dibawa ke RSK Dharmais. Tadi 3,65x106/µL, hematokrit 29,6 %, Keluarga mengatakan klien pernah panas
pagi klien muntah darah dan ketika Bermartabat dan dihormati: keluarga berharap klientetap memperoleh fasilitas
akan periksa ke poli pasien tiba-tiba pelyanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam
kejang-kejang. Pemeriksaan TTV TD kondisi sakit , keluarga meminta untuk memperlakukan klien dengan baik dan tetap
140/80 mmHg, N 141x/menit RR dihargai sesuai dengan fungsinya
28x/menit S : 34,1oC, SaO2 98%. Klien Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian : semua atas ketentuan Tuhan
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
tampak bicara kacau, pucat, akral
anak
dingin. Tampak beberapa benjolan di Diagnosa keperawatan: 1) Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak (00201),, 2)
pinggang kanan, padat dan terfiksasi. Nyeri kronis (00133), 3) Ketidakefektifan pola nafas (00032), 4) Resiko infeksi (00004)
Lingkungan perokok, KB 2 tahun, Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Pain control (1605), 3) Respiratory
sering makan cepat saji status (0415), 4) Imune status (0702),
USG toraks: tanggal 18/3/2016 Intervensi (NIC): 1) Neurologic monitoring (2620), 2) Pain managemnt (1400), 3)
Interpretasi: tak tampak kelainan CT Respiratory monitoring (3350), 4) Infection control (6540)
scan abdomen, tanggal 11/3/2016 5) Medication administration (2300): Ketorolac, Ondansentron 1x8mg, Ranitidin
Interpretasi : Hepar : DBN, tak tampak 1x50mg, Methylprednisolon 1x125 mg
efusi pleura kanan kiri, tak tampak Evaluasi: Klien mengatakan perutnya masih sakit seperti ditusuk-tusuk skala 7 hilang
asites, kandung empedu DBN, timbul, Keluarga mengatakan klien pernah panas badan namun saat ini tidak
Pankreas dan lien DBN, Ginjal kanan
kiri DBN, Aorta abdominal DBN,
Pemeriksaan Histopatologi: Tanggal
11/2/2016 Kesan pemeriksaan : sesuai
dengan embryonal
Rhabdominosarcoma grade 4
27. Ny. P (26 th), Islam, Kawin, tamat SMTA, Bebas nyeri: tidak ada keluhan nyeri
IRT, tanggal pengkajian 18/4/2016, Nyaman: Klien mengatakan lemes tapi tidak pernah panas selama sakit, Laboratorium
Diagnosa Medis : AML, tanggal 15/4/2016 Hb 5,8 g/dL (12-16), Leukosit 0,63 103/µL (5-10), Trombosit 11
Trombositopenia, Anemis 103/µL(150-440), eritrosit 2,17 106/µL(4-5), hematokrit 17 %(37-43), MCV 78,3 fL(80-
Keluhan utama: Lemes 100), MCH 26,7 pg(26-34), MCHC 34,1 g/dL(32-36), RDW-CV 13,3 %(11,7-14,4),
ANC 0,16 103/µL(2,5-7)., Suhu tubuh 360C; Klien mengatakan pernah mimisan; Klien
Riwayat penyakit sekarang: Pasien
mengatakan cepat merasa lelah dan letih. Klien mengatakan ia dapat tidur malam cukup
masuk RS melalui IGD Dharmais tgl nyenyak; Klien mengatakan aktivitasnya dibatasi di tempat tidur, Klien terlihat pucat,
18/4/2016 dengan keluhan lemas dan lemah, Konjungtiva anemis, Siang hari klien terlihat sering tidur
jantung berdebar. TTV: TD : 110/70 Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
mmHg, N 113x/menit, RR 18x/menit, kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
Suhu 36oC. Pemeriksaan fisik klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
conjunctiva anemis, hati dan limfa fungsinya
teraba. Pasien rujukan dari rumah sakit Damai: Makna hidup, penyakit dan kematian: semua karena ketentuan Allah, yang
dilakukan sejak sakit: berdoa dan shalat
Tangerang dengan hasil BMP AML.
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
Laboratorium tanggal 15/4/2016 Hb suami
5,8 g/dL (12-16), Leukosit 0,63 103/µL Diagnosa keperawatan: 1) Resiko infeksi (00004), 2) Resiko perdarahan (00206), 3)
(5-10), Trombosit 11 103/µL(150-440), Intoleransi aktivitas (00092)
eritrosit 2,17 106/µL(4-5), hematokrit Tujuan (NOC): 1) Imune status (0702), 2) Blood coagulation (0409), 3) Activity
17 %(37-43), MCV 78,3 fL(80-100), tolerance (0005)
MCH 26,7 pg(26-34), MCHC 34,1 Intervensi (NIC): 1) Infection control (6540), 2) Bleeding precaution (4010), 3) Activity
g/dL(32-36), RDW-CV 13,3 %(11,7- therapy (4310)
4) Medication administration (2300): Diphenhidramin 10 mg, Dexamethason 5mg,
14,4), ANC 0,16 103/µL(2,5-7). Pasien
Ranitidin 25 mg Ns 0,9% 500cc/8jam, PRC 600 CC, TC Aferesis
direncanakan mendapat terapi transfusi Evaluasi: Klien mengatakan tidak demam, Klien mengatakan pernah misisan, Klien
TC 10 unit dan PRC 500cc dan setelah mengatakan lemas dan merasa letih, lelah, Klien mengatakan merasa pusing
transfusi pulang. TB 155 cm, BB 45
kg, golongan darah A.
Lingkungan perokok, sering makan
junk food
Toraks foto: tanggal 15/3/2016
Interpretasi: tak tampak kelainan pada
jantung dan paru
Hasil BMP tgl 2/3/2016 : AML
28. Ny. R (57 th), Islam, Janda, tamat SD, IRT, Bebas nyeri: tak terkaji
tanggal pengkajian 19/4/2016, Diagnosa Nyaman: Kesadaran Sopor, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan BB, 6
Medis : Ca Mammae Dextra bulan lalu BB sampai 50 kg, dan terakhir BB menjadi 35 kg, sebelum masuk rumah sakit
Keluhan utama: Penurunan kesadaran mengalami penurunan nafsu makan, mual, muntah, dan diare, Keluarga mengatakan klien
Riwayat penyakit sekarang: Bicara sering panas, Pemeriksaan TTV : TD 140/80 mmHg, N 110 x/mnt, RR 30x/mnt S 38oC,
Hb 11,1 g/dL (12-16), Leukosit 1,82 103/µL (5-10)
kacau sejak 5 hari sebelum masuk
Bermartabat dan dihormati: keluarga berharap klientetap memperoleh fasilitas
rumah sakit, gelisah, sulit diajak pelyanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam
komunikasi, mual, muntah 2x, berisi kondisi sakit , keluarga meminta untuk memperlakukan klien dengan baik dan tetap
air, nafsu makan menurun sebelum dihargai sesuai dengan fungsinya
masuk rumah sakit, 3 hari terakhir Damai: Harapan keluarga terhadap kondisi saat ini: ibu bisa meninggal dengan tenang
riwayat kemo, BAK sedikit sejak 4 hari dalam kondisi yang sebaik-baiknya
sebelum masuk rumah sakit, pasien Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
sudah didiagnosa kanker mammae anak
Diagnosa keperawatan : 1) Risiko ketidakefektifan jaringan serebral (00201) , 2)
sejak tahun 2013. Pemeriksaan TTV :
Gangguan ventilasi spontan (000033), 3) Kerusakan Integritas kulit (00046), 4)
TD 140/80 mmHg, N 110 x/mnt, RR Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (00002) 5) Resiko infeksi
30x/mnt S 38oC Saturasi awal datang (00004)
94%. Pemeriksaan Laboratorium tgl Tujuan (NOC): 1) Neurological status (0909), 2) Respiratory status : ventilation (0403),
19/4/2016 Hematologi Rutin : Hb 3) Tissue integrity : skin (1101), 4) Nutritional status : food & fluid intake (1008)
11,1 g/dL (12-16), Leukosit 1,82 Intervensi (NIC): 1) Neurological monitoring (2620), 2) Oxygen therapy (3320), 3)
103/µL (5-10), Trombosit 244 103/µL Pressure management (3500), 4) Nutrition management, 5) Infection control (6540)
(150-440), Eritrosit 4,04 106/µL(4-5), 6) Medication administration (2300): NaCl 0,9% 500ml/8 jam, Parenteral : Ranitidin 50
mg , Ondansentron 8 mg, Paracetamol drip 1gr
Hematokrit 33,1 % (37-43), MCV 81,9
Evaluasi: penurunan kesadaran, Keluarga klien mengatakan klien tidak ada riwayat
fL (80-100), MCH 27,5 pg (26-34), alergi makanan maupun obat-obatan, Keluarga mengatakan klien mengalami penurunan
MCHC 33,5 g/dL (32-36), RDW CV
14,2 % (11,7-14,4), ANC 0,76 103/µL BB, Keluarga mengatakan ya akan cuci tangan sebelum dan setelah aktifitas dan dalam
(2,5-7). Hemostasis : BT pasien 12,9 membantu aktifitas
detik (11,3-14,7) kontrol : 13,7 detik
(12-16), APTT pasien : 23,4 detik
(24,8-34,4) kontrol 30,5 detik (25-37),
fibrinogen 549 mg/dL (187-451) D-
dimer 11060 ng/mL (<500). Kimia
Klinik : Natrium 137 mmol/L (137-
150), Kalium 3,7 mmol/L (3,5-5,3),
Klorida 99 mmol/L (99-111), Kalsium
9,1 mg/dL (8,1-10,4), Magnesium 2,1
mg/dL (1,9-2,5), AGD : pH 7,474
(7,35-7,44), pO2 315,4 mmHg (85-95),
pCO2 34,9 mmHg (35-45), HCO3-
25,6 mmol/L (21-25), BE 2,9 mmol/L
((-2,4)-2,3), CO2 total 26,7 mmol/L
(22-34), Sat O2 99,8 % (95-99).
Lingkungan perokok, KB satu tahun,
suka makan ikan asin
Tumor marker: invasive carcinoma, no
special type (NST) grade III
29. Tn. S (61 th), Islam, Kawin, tamat SD, Bebas nyeri: Klien mengatakan luka operasinya masih terasa nyeri, nyeri hilang timbul,
Petani, tanggal pengkajian 25/4/2016, nyeri bertambah saat bergerak dan batuk, Klien mengtakan bila batuk nyeri terasa sangat
Diagnosa Medis : Ca Bully post tajam skala 10, Klien juga mengatakan kalau bergerak banyak perutnya makin sakit, Bila
Nefrektomy kiri, radikal sistektomi dan tidak sedang bergerak maupun batuk nyeri skala 3-5, Klien mengatakan malam hari
ileal conduit tidurnya kadang terganggu karena rasa sakit pada bekas operasinya tiba-tiba muncul,
sehingga pagi-pagi selalu merasa ngantuk, Terlihat sesekali meringis menahan sakit, TD=
Keluhan utama: Nyeri luka operasi
170/80 mmHg, N=92 x/menit RR= 22 x/menit, Terlihat gerakan berhati-hati dan
RPS : Klien mengatakan gejala yang melindungi area yang sakit
dirasakan klien sudah sejak setahun Nyaman: Klien mengatakan tidak ada nafsu makan, Klien mengatakan mual dan muntah,
terakhir ini. klien mengatakan tidak ada Klien mengatakan hanya makan 2-3 sendok porsi makan yang diberikan RS, yang
gejala apa-apa, kemudian tiba-tiba dimakan hanya nasinya saja, lauknya tidak karena menyebabkan mual, BB = 58 Kg, TB=
perut terasa tidak enak, sakit dan buang 165 cm IMT 21,3, Protein total = 5,4 gr/dL (6,6-8,7), Albumin = 3 gr/dL (3,2-5,2),
air kecil terganggu. Buang air kecil jadi Globulin = 2,4 gr/Dl (1,5-3,0), Hb = 10,9 gr/dL (13-18), Tidak menghabiskan porsi
sakit, susah dan berdarah. Kemudian makan yang diberikan, Klien terlihat mual dan sering meludah, Klien mengatakan
lukanya terasa sakit, sempat panas badan setelah operasi, Terdapat insisi bedah pada
klien memeriksakan diri ke RSKD dan
midline abdomen mulai dari umbilikus sampai simfisis pubis ± 12-13 cm, 2-3 cm
ternyata kanker. Kemudian disarankan dibagian bawah luka terlihat ada sedikit pus, Leukosit = 12,23 103/µL (5-10), Suhu
untuk dilakukan tindakan operasi. Saat 36,80C
pengkajian klien dalam kondisi post Bermartabat dan dihormati: klien berharap tetap memperoleh fasilitas pelyanan
operasi nefrektomi, radikal sistektomi kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan penyakitnya. Walaupun dalam kondisi sakit ,
dan ileal conduit hari ke-7 (op tgl klien meminta untuk diperlakukan dengan baik dan tetap dihargai sesuai dengan
18/4/2016). Riwayat kemoterapi dan fungsinya
radiasi (-). TTV awal masuk IGD TD : Damai: semua atas ketentuan Allah , yang dilakukan sejak sakit : shalat dan berdoa
Kedekatan dengan orang yang bermakna: Orang yang paling bermakna bagi pasien:
120/80 mmHg N : 96x/mnt S : 36oC
anak
RR : 22x/mnt, riwayat perokok aktif Diagnosa keperawatan: 1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, 2)
dan pasif, sering minum minuman Nyeri akut, 3) Resiko infeksi
bersoda, makan makanan isntan Tujuan (NOC): 1) Nutritional status : food & fluid intake (1008), 2) Pain level (2102), 3)
Toraks foto: tanggal 21/12/2015 Risk control (1902)
Interpretasi : cor dan pulmo dalam Intervensi (NIC): 1) Nutrition management (1100), 2) Pain management (1400), 3)
batas normal Infection protection (6550)
USG toraks: tanggal 18/4/2016 4) Medication administration (2300) : Ambroxol 4x1, PCT 3x500mg, Transamin 3x500,
Vit K (Ns 100) 3x1, Cefoferazon 2x1 gr, Omeprazol 2x40 mg, Vit C 1x600, Ranitidin
Interpretasi: tak tampak kelainan
2x50mg, Farmadol 3x1, Alinamin F 3x10 ml
Echocardiografi: tanggal 20/4/2016 Evaluasi: Klien mengatakan masih mual, Klien mengatakan bekas operasinya masih
Interpretasi: normal echo sakit
USG Abdomen Lengkap, tanggal
29/3/2016 Interpretasi: Hidronefrosis
dengan hidroureter sinistra grade IV
dengan internal echo, suspek
pyohidronefrosis, Hidronefrosis dengan
hidroureter dextra grade I. Sugestif
massa bulli dd/blood cloth
CT Scan Abdomen non kontras tanggal
2/4/2016 Interpretasi : Massa solid di
sebagian pelvis renalis sampai ureter
setinggi paravertebra L4 kiri dan di
210
Responden yang kami hormati, berdasarkan hal tersebut di atas, kami sebagai
mahasiswa residensi keperawatan medikal bedah memohon kesediaan Anda
secara sukarela untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan penerapan evidence-based
nursing practice (EBN) ini. Kami menjamin bahwa tindakan ini tidak akan
berdampak negatif terhadap status kesehatan Anda. Kami sangat mengutamakan
keamanan dan kenyamanan Anda selama berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Adapun tujuan, manfaat dan prosedur dari pelaksanaan penerapan EBN ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan penerapan EBN untuk mengatasi mual muntah akibat kemoterapi.
Mual adalah perasaan tidak menyenangkan yang mengawali keinginan untuk
muntah, sering disertai dengan gejala otonom (seperti pucat, berkeringat,
peningkatan produk saliva, peningkatan denyut jantung) (Kelly, 2013).
Muntah adalah pengeluaran paksa isi lambung melalui mulut (Kelly, 2013).
Oleh karena itu dengan menggunakan aromaterapi jahe sangat bermanfaat
dalam membantu mengurangi atau mengatasi masalah mual muntah akibat
kemoterapi.
2. Hasil dari tindakan ini diharapkan dapat dijadikan kebijakan berupa protokol
tindakan mengatasi mual muntah akibat kemoterapi bagi pelayanan kesehatan
di RSKD Jakarta.
3. Penerapan EBN ini dilaksanakan setelah Anda menjalani kemoterapi.
4. Dalam penerapan EBN ini, kami menggunakan kalung aromaterapi jahe dan
lembar observasi untuk dokumentasi pelaksanaan EBN.
5. Penerapan EBN ini dilaksanakan mulai hari pertama sampai hari kelima post
kemoterapi adapun prosedur pelaksanaannya sbb : Selain menerima perawatan
standar dari rumah sakit, aromaterapi diberikan kepada pasien dengan cara
mengkalungkan botol kecil berisi aromaterapi jahe di leher pasien dan
ditempatkan sekitar 20 cm dari hidung pasien selama lima hari pada siang hari
dan malam hari. Pasien diminta menarik nafas dalam setidaknya tiga kali
sehari dalam durasi 2 menit bahkan disaat tidak muncul gejala. Penggunaan
Demikian penjelasan singkat tentang pelaksanaan penelitian ini, jika anda sudah
memahami dan bersedia untuk menjadi partisipan dalam EBN ini, maka anda
disilahkan untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi partisipan.Kami
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan anda sebagai
partisipan dalam penelitian ini.
Jakarta, 2016
Mahasiswa Residen Keperawatan Onkologi
(Triana Arisdiani)
NPM 1306346380
Lampiran 6 : Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan EBN
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan dari
pihak mana pun.
Jakarta, 2016
( )
Lampiran 7 : Instrumen Pengkajian Mual Muntah
Ibu diminta untuk menunjuk salah satu angka yang menunjukkan tingkat
keparahan mual dan muntahnya dengan menggunakan visual analog scale.
5
LEMBAR PENGKAJIAN MUNTAH
5
Lampiran 8 : Lembar Observasi Partisipan EBN
Nama :
Umur :
No. MR :
Diagnosa :
Jenis Kemoterapi :
Grup A
Grup B
No. Sebelum mendapat Perawatan Perawatan
Responden treatment aromaterapi Standar RS dan Standar RS dan
(Perawatan Standar RS) Treatment I Treatment II
Mual (hari) Muntah Mual Muntah Mual Muntah
(kali) (hari) (kali) (hari) (kali)
1
2
3
4
5
6
Ket : Diawali dengan pemberian aromaterapi plasebo
Lampiran 9 : Prosedur Pelaksanaan Menghirup Aromaterapi Jahe
Tangga
Ruangan:
Medis:
Diagnosa
Tanda-tanda Vital Parameter l
Waktu
Respirasi ≥ 30 3
21-29 2
15-20 1
12-14 0
10-11 1
8-9 2
≤8 3
Nadi ≥ 130 3
111-129 2
101-110 1
60-100 0
51-59 1
40-50 2
< 40 3
Tekanan darah sistolik ≥ 180 3
170-179 2
150-169 1
101-149 0
81-100 1
71-80 2
≤ 70 3
Nilai tekanan darah diastolik
Suhu ≥ 39,6 3
38,6-39,5 2
37,8-38,5 1
36-37,7 0
35,1-35,9 1
34-35 2
< 34 3
SpO2 < 85 3
85-89 2
90-94 1
≥ 95 0
Tingkat kesadaran Unresponsive (U) 3
Respons to Pain (P) 2
Respons to Voice (V) 1
Alert (A) 0
Agitasi 1
Urine Output ≤ 20 ml/jam 3
(dalam 2 jam) ≤ 30 ml/jam 2
≤ 50 ml/jam 1
60 ml/jam 0
>300 ml/jam 3
TOTAL MEWS
Perfusi : CRT (detik)
Normal (N)
Warna kulit : Pucat (P)
Sianosis (S)
Ringan (1-3)
Skala Nyeri Sedang (4-6)
Berat (7-10)
Obat nyeri (Ya/Tidak)
Berkeringat
:(Ya/Tidak)
JumlahPerdarahan
(cc) :
Turgor kulit (detik)
Pupil (size/ RC) :
Lab:
< 40 mg/dL
40 – 400 mg/dL
Glukosa darah >400 mg/dL
< 1,5 x 103/µL’
ANC ≥1,5 x103/µL
≤ 20 x 103/µL
>20 x 103/µL –
1x106/µL
Trombosit >1 x106/µL
< 2 x 103/µL
2 x 103/µL – 50 x
103/µL
Leukosit >50 x 103/µL
< 500 ng/ml
D-dimer ≥ 500 ng/ml
≤ 6 gr%
Hb >6 gr%
< 120 mmol/L
120 – 160 mmol/L
>160 mmol/L
Na
< 2.8 mmol/L
2.8 – 6 mmol/L
K > 6mmol/L
Lainnya:
TTD/NAMA
Lampiran 11 : Petunjuk Pengisian MEWS
3 2 1 0 1 2 3
Respirasi ≤8 8-9 10-11 12-14 15-20 21-29 ≥ 30
Nadi < 40 40 - 50 51 - 59 60-100 101 – 111 – ≥ 130
110 129
Tekanan ≤ 70 71 – 80 81 - 100 101 - 150 - 170 - ≥ 180
darah 149 169 179
sistolik
Suhu < 34 34-35 35.1–35.9 36.0- 37.8- 38.6- ≥39.6
37.7 38.5 39.5
SpO2 < 85 85-89 90-94 ≥ 95
Tingkat Unresponsive Respons Respons Alert Agitasi
kesadaran to Pain to Voice
Urine ≤ 20ml/jam ≤ 30 ≤ 60 >300ml/jam
Output ml/jam 50ml/jam ml/jam
(dalam 2
jam) Keterangan:
cek dan catat hasil pengukuran berdasarkan parameter diatas, kemudian lakukan
skoring MEWS. Setelah itu jumlahkan semua skor dan catat kategori MEWS dan
lakukan tata laksana sesuai algoritma
Lampiran 13 : Alogaritma MEWS
Algoritma MEWS :
an untuk transfer
ke ruang intensif
Lampiran 13 : Alur Tata Laksana MEWS
Sistem MEWS
diterminasi
Lampiran 14 : Kuesioner Evaluasi terhadap Penerapan MEWS Perawat IGD
1. Inisial :
2. Jenis kelamin : Laki-laki / Perempuan*
3. Usia :
4. Tingkat Pendidikan :
5. Perawat : Pelaksana / Primer / Karu)*
*Coret yang tidak perlu
Petunjuk pengisian
Berikan tanda ceklist (√) pada salah satu kolom (“STS = sangat tidak setuju”, “TS
= tidak setuju”, “S = setuju”, “SS = sangat setuju”) sesuai dengan pernyataan
dibawah ini.
No Pernyataan STS TS S SS
1 Prosedur MEWS lebih mudah digunakan dalam
monitoring kegawatan kondisi pasien
2 Prosedur MEWS membuat kerja saya lebih
sistematis dan terstandar
3 Penerapan MEWS memudahkan saya dalam
mengidentifikasi kondisi kegawatan pada pasien
4 MEWS memudahkan keteraturan pemantauan
kondisi pasien dari waktu ke waktu
5 Penerapan MEWS membantu dan memudahkan
clinical judgement dan penanganan tindak lanjut
6 Grafik MEWS mudah dalam pengisian dan tepat
guna
7 Sistem MEWS telah mewakili kebutuhan
pengkajian dan pemantauan kondisi kegawatan
8 Penerapan MEWS memudahkan kolaborasi dalam
melakukan penatalaksanaan terhadap kondisi
pasien
9 Sistem MEWS membantu komunikasi yang efektif
sesama kolega tentang kondisi pasien
10 Sistem MEWS dapat mencegah perburukan kondisi
pasien
11) Apakah sebelumnya Anda telah mengenal EWS (Early Warning Score)? Jika
iya darimana Anda mendapatkan info tersebut?
12) Silahkan pilih salah satu pernyataan yang cocok dengan Anda saat
menggunakan EWS :
( ) membantu mengenal kondisi perburukan pasien
( ) membuat saya merasa aman
( ) mudah karena tidak mengharuskan tindakan invasif
( ) menurunkan beban kerja saya
13) Apakah Anda menemui kesulitan dalam menggunakan EWS? Jelaskan?
14) Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan di IGD? Jelaskan jawaban
Anda?
15) Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti? Jelaskan jawaban Anda?
16) Komentar dan Saran :
228
Periodewaktu 2
Periodewaktu ± 3 Periodewaktu ± 1 bulan
minggu
bulan
Survey,
UJI COBA FASE 1 Samplimg
Collecting
UJI COBA FASE 2 data
Statistical
UJI COBA FASE 3
Analyze
JANGKA PENDEK
Draft
Formula
JANGKA PANJANG
Riview / Evaluasi
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Triana Arisdiani, FIK UI, 2016
229
No.
Responden Pertanyaan Pernyataan responden
Apakah sebelumnya Anda telah mengenal
EWS (Early Warning Score)? Jika iya “belum”
darimana Anda mendapatkan info tersebut?
Silahkan pilih salah satu pernyataan yang
cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
pasien”
c) mudah karena tidak
mengharuskan tindakan invasif
d) menurunkan beban kerja saya
R1
Apakah Anda menemui kesulitan dalam
“tidak”
menggunakan EWS? Jelaskan?
“cocok bila tenaga kesehatan
memadai, karena kadang pada
Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan
situasi tertentu perbandingan
di IGD? Jelaskan jawaban Anda?
antara perawat banding
pasien
= 3 : 25”
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti?
“ya”
Jelaskan jawaban Anda?
Komentar dan Saran : -
Apakah sebelumnya Anda telah mengenal
EWS (Early Warning Score)? Jika iya “belum”
darimana Anda mendapatkan info tersebut?
Silahkan pilih salah satu pernyataan yang
cocok dengan Anda saat menggunakan EWS :
a) membantu mengenal kondisi
“membantu mengenal
perburukan pasien
kondisi perburukan
b) membuat saya merasa aman
pasien”
c) mudah karena tidak
mengharuskan tindakan invasif
R2 d) menurunkan beban kerja saya
Apakah Anda menemui kesulitan dalam
“tidak”
menggunakan EWS? Jelaskan?
Apakah menurut Anda EWS cocok digunakan
“cocok”
di IGD? Jelaskan jawaban Anda?
Apakah algoritme jelas dan dapat dimengerti?
“jelas”
Jelaskan jawaban Anda?
Komentar dan Saran : “kalau bisa lembar observasi
MEWS lebih simpel”
Universitas Indonesia
CURICULUME VITAE
A. PERSONAL DATA
1. Name : Triana Arisdiani, SKep., Ns., M.Kep,
Sp.KMB, CWCCA
2. Place and Date of birth : Kendal, October 13, 1986
3. Gender : Women
4. Status : Married
5. TOEFL Test 476
6. lntitution : Health Science College of Kendal
7. Position : The Lecturer
8. NIPS 120 211 044
9. Institution address/teip/fax : STIKES Kendal, Jl. Laut 31 Kendal
Central Java Indonesia 51311- Telp.
0294-381343 Fax: 0294-381834
10. Home Address : Flamboyan Street Number 20 Rt:
014 Rw:006 Pegulon Kendal,Central
Java 51313
11. Address for Correspondence : STIKES Kendal, Jl. Laut 31 Kendal
Central Java
12. Phone Number : +62 8985513887/+62 87700069708
13. Email : arisdiani@yahoo.com
B. PRIMARY SCHOOL
a. I was graduated of Langenharjo I Elernentary Islamic School Kendal
in 1998
b. I was graduated of Junior High School 2 Kendal in 2001
c. I was graduated of Senior High School 1 Kendal in 2004
d. I was graduated of Bachelor of Science in Nursing Study Program
of STIKES Kendal in 2009
e. I was graduated of Nurse of Science in Nursing Study Program
of STIKES Kendal in 2010
f. I was graduated of Magister of Science in Nursing Program of
University Indonesia in 2015
g. I was graduated of Spesialis of Science inMedical Surgical Nursing
Program of University Indonesia in 2016
D. WORK EXPERIENCE
I hereby decalre that theabove written particulars are true to the best of my
college and beliefe.
Best Regard,
Triana Arisdiani