Anda di halaman 1dari 107

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN


MASYARAKAT PERKOTAAN PADA KASUS KANKER KOLOREKTAL PRO
TUTUP KOLOSTOMI DI RSUPN CIPTOMANGUNKUSUMO JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

ANNIDA FALAHAINI
1406579460

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


DEPOK
MEI 2019
UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN


MASYARAKAT PERKOTAAN PADA KASUS KANKER KOLOREKTAL PRO
TUTUP KOLOSTOMI DI RSUPN CIPTOMANGUNKUSUMO JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR NERS


Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

ANNIDA FALAHAINI
1406579460

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


DEPOK
MEI 2019

ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang
dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Annida Falahaini

NPM : 1406579460

Tanda Tangan :

Tanggal : 21 Mei 2019

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Karya ilmiah ini diajukan oleh:


Nama : Annida Falahaini
NPM : 1406579460
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul Karya Ilmiah : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Pada Kasus Kanker Kolorektal Pro Tutup Kolostomi di RSUPN
Ciptomangunkusumo Jakarta

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Profesi
Keperawatan pada Program Studi Profesi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Sri Yona, S.Kp., M.N., Ph.D. (....................)

Penguji : Anggri Noorana Zahra, Ns., S.Kep., M.Sc. (....................)

Penguji : Dewi Alfiani, Ns., S.Kep. (....................)

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : ..... Mei 2019

iv
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Annida Falahaini
NPM : 1406579460
Program Studi : Profesi Keperawatan
Tahun Ajaran : 2018 / 2019

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah akhir ners ini yang
berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada
Kasus Kanker Kolorektal Pro Tutup Kolostomi di RSUPN Ciptomangunkusumo
Jakarta”

Bebas dari Plagiarisme dan Bukan Hasil Karya Orang lain

Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian dari karya ilmiah akhir ners
tersebut terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pernyataan ini dibuat dalam keadaan sadar tanpa unsur paksaan dari siapapun.

Depok, 21 Mei 2019

Annida Falahaini

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Kasus Kanker Kolorektal Pro Tutup Kolostomi
Di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta”. Disusunnya karya ilmiah ini merupakan
salah satu syarat kelulusan program profesi Fakultas Ilmu Keperawatan. Selesainya
karya ilmiah ini tidak lepas dari kontribusi beberapa pihak. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Ibu Sri Yona, S.Kp., M.N., Ph.D. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan pengarahan dan pembelajaran serta dukungan moril selama
penyusunan karya ilmiah ini.
2. Ibu Riri Maria, S.Kp., MANP. selaku Ketua Program Studi Sarjana dan Ners
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang memberikan bimbingan
dalam prosedur teknis penyusunan karya ilmiah.
3. Bapak Agus Setiawan, S.Kp., M.N., D.N. sebagai dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan dan jajaran staff akademik FIK UI yang memfasilitasi administrasi
karya ilmiah.
4. Bapak/Ibu Guru pada tahap pendidikan TK, SD, SMP, dan SMA serta segenap
dosen Fakultas Ilmu Keperawatan yang telah mengajarkan ilmu pengetahuan
sehingga penulis dapat sampai pada tahap penyusunan karya ilmiah untuk
memperoleh gelar profesi keperawatan.
5. Ayah, Ibu, dan kakak yang senantiasa menjadi sumber semangat untuk terus
berjuang dalam menyelesaikan pendidikan profesi keperawatan.
6. Sekar Dwi Purnamasari dan Arin hasanudin sebagai kawan seperjuangan dalam
seperbimbingan Ibu Sri Yona yang menjadi tempat berbagi saat suka dan duka
dalam penyusunan karya ilmiah ini.
7. Andinia Fathonah, Siti Maemunah, Lisa Perikani, dan Nur Khotimah sebagai
kawan seperjuangan dalam praktik klinik selama peminatan KMB.
8. Teman-teman satu angkatan FIK UI 2014 yang saling mendukung dan membantu
satu sama lain demi keinginan untuk lulus bersama.

vi
Semoga karya ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi pembaca.

Depok, Mei 2019

Penulis

vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama : Annida Falahaini
NPM : 1406579460
Program Studi : Profesi Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah yang berjudul:

Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada


Kasus Kanker Kolorektal Pro Tutup Kolostomi Di RSUPN Ciptomangunkusumo
Jakarta

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok


Pada tanggal: 21 Mei 2019
Yang menyatakan

(Annida Falahaini)

viii
ABSTRAK

Nama : Annida Falahaini


Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul Karya Ilmiah : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan Pada Kasus Kanker Kolorektal Pro Tutup Kolostomi di RSUPN
Ciptomangunkusumo Jakarta
Pembimbing : Sri Yona, S.Kp., M.N., Ph.D.

Masyarakat perkotan berisiko mengalami kanker kolorektal seiring dengan faktor


lingkungan, sosial, dan gaya hidup yang kurang sehat. Penanganan yang dilakukan
untuk mengevakuasi feses adalah dengan pembuatan kolostomi. Terapi adjuvant
kemudian dapat ditempuh untuk meningkatkan penyembuhan sel kanker sehingga dapat
dilakukan penutupan kolostomi. Komplikasi pembedahan tutup kolostomi adalah
dehisen pada luka operasi dan perlengketan yang mengharuskan dibuatnya ileostomi.
Pasien dengan komplikasi pembedahan tersebut membutuhkan terapi nutrisi yang
mendukung pemulihan. Selain itu, intervensi manajemen jalan napas, manajemen cairan
dan elektrolit, serta perawatan luka juga diberikan sesuai dengan respon pasien paska
operasi.

Kata kunci. Kanker kolorektal, terapi nutrisi, stoma, dehisen.

ix
ABSTRACT

Name : Annida Falahaini


Study Program : Clinical Nursing
Title : Analysis of Urban Health Nursing Care in Colorectal Cancer
Pro Closed Colostomy in Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta
Consellor : Sri Yona, S.Kp., M.N., Ph.D.

Urban communities are at risk of developing colorectal cancer along with unhealthy
environmental, social factor, and bad lifestyle. Treatment to evacuate feces in colorectal
cancer is by making a colostomy. Adjuvant therapy then be taken to improve the
healing of cancer so colostomy closure can be performed. Complications of that surgical
procedure are dehiscence in surgical wounds and adhesions which require an ileostomy.
Patients with surgical complications need nutritional therapy to supports recovery. In
addition, other intervention such as airway management, fluid and electrolyte
management, and wound care are also provided in accordance with the response of
patient in the postoperative phase.

Keywords. Colorectal cancer, nutritional therapy, stoma, dehiscence.

x
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................................. iii


Halaman Judul ................................................................................................................. iv
Halaman Pernyataan Orisinalitas .................................................................................... iii
Halaman Pengesahan ....................................................................................................... iv
Surat Pernyataan ............................................................................................................... v
Kata Pengantar................................................................................................................. vi
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi .................................................................. viii
Abstrak ............................................................................................................................ ix
Daftar Isi .......................................................................................................................... xi
Daftar Tabel ................................................................................................................... xiii
Daftar Gambar ............................................................................................................... xiv
Daftar Lampiran ............................................................................................................. xv
Bab 1 Pendahuluan .......................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................... 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 5
2.1 Konsep Keperawatan Masyarakat Perkotaan ................................................ 5
2.2 Kejadian Kanker Kolorektal Pada Masyarakat Perkotaan............................. 7
2.3 Kanker Kolorektal ......................................................................................... 8
2.4 Asuhan Keperawatan Kanker Kolorektal .................................................... 24
2.5 Manajemen Asuhan Keperawatan Pasca Pembedahan................................ 29
2.6 Terapi Nutrisi ............................................................................................... 31
Bab 3 Laporan Kasus Kelolaan Utama.......................................................................... 36
3.1. Pengkajian Keperawatan ............................................................................. 36
3.2. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 40
3.3. Terapi Kolaborasi ........................................................................................ 44
3.4. Diagnosis Dan Prioritas Masalah Keperawatan .......................................... 45
3.5. Rencana Asuhan Keperawatan .................................................................... 46
3.6. Implementasi Dan Evaluasi Asuhan Keperawatan ...................................... 47
Bab 4 Pembahasan .......................................................................................................... 51
4.1 Analisis Kasus Dengan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat
Perkotaan ............................................................................................................... 51
4.2 Analisis Gambaran Kasus Dengan Teori ..................................................... 52
4.3 Analisis Intervensi Terapi Nutrisi................................................................ 56
Bab 5 Penutup ................................................................................................................. 60
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 60
5.2 Saran ............................................................................................................ 60

xi
Daftar Pustaka ................................................................................................................ 62
Lampiran ........................................................................................................................ 66

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan...............3


Tabel 2.2 Gejala Kanker Kolorektal yang Ditimbulkan Menurut Lokasi.................12
Tabel 2.3 Gambaran Klinik Karsinoma Kolorektal Lanjut.........................................12
Tabel 2.4 Klasifikasi Stadium Kanker Kolorektal Sistem TNM..................................15
Tabel 2.5 Batas ambang indeks masa tubuh (IMT) di Indonesia..............................23
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium...................................................................42
Tabel 4.1 Asupan Nutrisi Pasien.....................................................................................56

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Stadium Kanker Kolorektal.........................................................................13


Gambar 2.2 Kelenjar Getah Bening pada Area Abdomen dan Lapisan Dinding Usus.14
Gambar 2.3 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke A........................................................18
Gambar 2.4 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke B........................................................19
Gambar 2.5 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke C........................................................19
Gambar 2.6 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke D........................................................20

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis Data


Lampiran 2 Rencana Tindakan Keperawatan
Lampiran 3 Dokumentasi Keperawatan
Lampiran 4 Daftar Riwayat Hidup

xv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Masyarakat perkotaan berisiko mengalami masalah kesehatan. Hal tersebut dikarenakan
faktor lingkungan seperti kekurangan suplai air bersih dan polusi udara (Lundy & Janes,
2009). WHO (2018) mengklaim bahwa sepertiga kematian akibat stroke, penyakit
jantung, dan kanker paru berhubungan dengan polusi udara. Penelitian Schulze et al
(2017) membuktikan bahwa partikel polutan dengan kepadatan PM 2,5 dapat
menembus pertahanan paru dan masuk kedalam sistem peredaran darah. Industrialisasi,
pembuangan limbah domestik, limbah radioaktif, pertumbuhan populasi, dan kebocoran
dari tangki air adalah sumber utama pencemaran air dalam tatanan masyarakat
perkotaan (Haseena, 2017).

Sebagian besar masyarakat perkotaan memiliki sistem sosial dan gaya hidup yang
kurang baik. Masalah sosial seperti kekerasan, kriminalisme, dan diskrimanasi ras
menjadi stressor masyarakat perkotaan. Dampak yang ditimbulkan adalah gangguan
kesehatan psikis yang mempengaruhi kondisi fisik. Konsumsi alkohol, penyalahgunaan
narkoba, pola makan tidak sehat, dan kurangnya aktivitas memicu penyakit
bertambahnya penyakit tidak menular (Lundy & Janes, 2009). Salah satunya adalah
kanker.

Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular penyebab kematian di dunia.
WHO (2018) mengestimasi adanya 18,1 juta kasus baru kanker dan 9,6 juta kematian
akibat kanker selama tahun 2018. Di Indonesia, terjadi perubahan tren morbiditas dan
mortalitas penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (PTM). Data
hasil riset kesehatan dasar tahun 2018 menunjukkan jumlah kejadian kanker di
Indonesia mencapai 1.017.290 (Kemenkes, 2018). Kanker merupakan bentuk keganasan
yang terjadi dalam sel tubuh.

Kanker kolorektal menempati peringkat kedua sebagai jenis kanker yang paling sering
terjadi pada wanita dan peringkat ketiga pada laki-laki (Kemenkes, 2015). Jenis kanker
1 Universitas Indonesia
2

lainnya seperti kanker payudara (pada wanita), kanker prostat (pada laki-laki), dan
kanker paru juga menjadi penyebab utama kematian di dunia.

Keganasan pada kolorektal menimbulkan hambatan pada pengeluaran feses. Tindakan


pembuatan kolostomi dapat dilakukan untuk mengatasi obstruksi dan mengevakuasi
feses (Melville & Baker, 2010). Kolostomi juga merupakan bagian dari prosedur
Hartmann yang meliputi reseksi rektosigmoid, penutupan stump rektum, dan pembuatan
end kolostomi (Hallam, Mothe, & Tirumulaju, 2018). Kemoterapi dan radioterapi
dilakukan untuk pengobatan kanker sehingga ukuran sel kanker resectable. Kemudian,
dilakukan prosedur Hartmann reversal untuk mengembalikan fungsi pencernaan dan
defekasi.

Penatalaksanaan keperawatan pasien keganasan kolorektal, termasuk adenokarsinoma


sigmoid pro tutup kolostomi, terintegrasi dari mulai pra hingga paska pembedahan.
Persiapan operasi dilakukan membersihkan lambung dan kolon. Intervensi keperawatan
yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan
pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan enema (Smeltzer et al., 2010).
Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam. Tujuan dari pengosongan lambung dan
kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paru-paru) dan
menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya
infeksi pasca pembedahan. Perawatan paska bedah meliputi terapi nutrisi, perawatan
luka, manajemen eliminasi, penanganan nyeri, latihan fisik, dan pemberian edukasi
terkait perawatan paska operasi (Black & Hawks, 2014).

Nutrisi merupakan bagian yang perlu diperhatikan pada pasien dengan masalah
keganasan saluran cerna. Badrasawi, Shahar, & Sagap (2015) menyebutkan bahwa
komplikasi pada penyakit gastrointestinal antara lain sepsis, malnutrisi, serta
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Keadekuatan nutrisi mendukung pemulihan
paska operasi. Studi yang membandingkan pemberian nutrisi oral segera (setelah 24
jam) paska pembedahan dan tertunda menunjukkan adanya percepatan lama rawat pada
pasien dengan intervensi pemberian nutrisi oral segera (Nematihonar, Salimi, Noorian,
& Samsami, 2018). Asuhan keperawatan berfokus pada intervensi nutrisi untuk

Universitas Indonesia
3

mengembalikan fungsi sistem pencernaan dan mencapai status nutrisi yang normal pada
pasien adenokarsinoma sigmoid pro tutup kolostomi.

1.2 Rumusan Masalah


Masyarakat perkotaan erat kaitannya pola hidup yang kurang sehat. Salah satu aspek
yang membedakan masyarakat perkotaan dan pedesaan adalah pola makan. Kebiasaan
makan makanan tinggi lemak dan rendah serat memicu perlambatan waktu feses berada
pada usus besar yang memperlama paparan mukosa usus terhadap potensi agen
karsinogen. Hal tersebut menjadi penyebab kanker pada kolorektal. Pasien dengan
adenokarsinoma sigmoid membutuhkan evakuasi feses segera dengan pembuatan
kolostomi. Terapi adjuvant kemudian dapat ditempuh untuk menunjang penyembuhan
kanker. Prosedur tutup kolostomi dipilih untuk mengembalikan fungsi normal defekasi.
Asuhan keperawatan paska pembedahan dilakukan secara holistik, salah satunya terapi
nutrisi untuk mendukung pemulihan pasien paska prosedur tutup kolostomi.

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis asuhan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada kasus
adenokarsinoma sigmoid pro tutup kolostomi di RSUPN Ciptomangunkusumo Jakarta.
1.3.2 Tujuan Khusus
2. Untuk menganalisis asuhan keperawatan adenokarsinoma sigmoid pro tutup
kolostomi dengan konsep terkait
3. Untuk menganalisis kasus adenokarsinoma sigmoid pro tutup kolostomi
dengan pendekatan keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan
4. Untuk menganalisis intervensi keperawatan terapi nutrisi pada kasus
adenokarsinoma sigmoid pro tutup kolostomi

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Pelayanan Keperawatan
Rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan lainnya tentu berupaya untuk memberikan
pelayanan yang optimal bagi pasien. Penanganan yang tepat terhadap pasien dengan
masalah keganasan menunjang proses penyembuhan pasien secara efektif dan efisien.
Universitas Indonesia
4

Hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan penyusunan standar pelayanan rumah sakit
dan penyedia layanan kesehatan.

1.4.2 Bagi Profesi Keperawatan


Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi tambahan bagi tenaga keperawatan
dalam menangani pasien dengan adenokarsinoma sigmoid. Identifikasi dini melalui
pengkajian faktor risiko menjadi dasar asuhan keperawatan yang tepat demi tercapainya
derajat kesehatan pasien yang optimal.

1.4.3 Bagi Penelitian


Universitas Indonesia sebagai salah satu institusi penyelenggara pendidikan tinggi
memiliki kewajiban untuk melakukan pembaruan ilmu pengetahuan melalui penelitian.
Sebagai universitas riset, pengembangan ilmu pengetahuan selalu dilakukan. Salah
satunya melalui penelitian berbasis praktik yang dilakukan mahasiswa dalam tahap
pendidikan profesi.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keperawatan Masyarakat Perkotaan


Keperawatan masyarakat perkotaan merupakan perpaduan antara keperawatan dan
kesehatan masyarakat perkotaan yang mengutamakan pelayanan promotif dan preventif
secara berkesinambungan. Hal tersebut menjadi salah satu fokus area keperawatan yang
bertujuan mengoptimalkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat
dalam konteks perkotaan. Keperawatan masyarakat perkotaan menerapkan konsep
keperawatan dalam masyarakat yang bertujuan dalam pengobatan, perawatan, dan
pemulihan bagi masyarakat yang sedang menderita penyakit atau dalam masa
pemulihan dari suatu penyakit (Efendi & Makhfudli, 2009). Konsep ini tentu tanpa
mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif secara terpadu kepada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat (Depkes, 2006). Asuhan keperawatan masyarakat
perkotaan berperan dalam peningkatan kekuatan komunitas serta menekankan pada
aspek pencegahan terhadap berbagai masalah atau penyakit.

Masyarakat terbagi menjadi masyakat perkotaan (urban community) dan pedesaan


(rural community). Masyarakat perkotaan diidentifikasi sebagai masyarakat yang
banyak, padat, dan heterogen; sedangkan masyarakat pedesaan dalam kondisi
sebaliknya, homogen, lebih sedikit dan tidak sepadat masyarakat perkotaan (Lundy &
Janes, 2009). Perbedaan karakteristik keduanya tersaji dalam tabel berikut ini

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Masyarakat Perkotaan dan Pedesaan


Karakteristik Masyarakat Perkotaan Masyarakat Pedesaan
Perubahan sosial Mudah terpengaruh Sulit terpengaruh
Gaya hidup Bebas dan dinamis Kultural dan statis
Hubungan sosial Pendek dan impersonal Panjang dan personal
Sumber : (Lundy & Janes, 2009)

5 Universitas Indonesia
6

Masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami masalah kesehatan. Hal tersebut


dikarenakan banyaknya faktor risiko dibanding masyarakat pedesaan seperti kekurangan
suplai air bersih, polusi udara, kekerasan dan kriminalisme, kemiskinan, ancaman
penyakit, kemacetan dan kepadatan, diskriminasi ras, dan perumahan yang tidak layak
(Lundy & Janes, 2009). Sepertiga kematian akibat stroke, penyakit jantung, dan kanker
paru berhubungan dengan polusi udara (WHO, 2018). Partikel polutan dengan
kepadatan PM 2,5 dapat menembus pertahanan paru dan masuk kedalam sistem
peredaran darah (Schulze et al., 2017). Selain itu, masalah polusi air juga menjadi
ancaman kesehatan masyarakat perkotaan. Industrialisasi, pembuangan limbah
domestik, limbah radioaktif, pertumbuhan populasi, dan kebocoran dari tangki air
adalah sumber utama pencemaran air dalam tatanan masyarakat perkotaan (Haseena,
2017).

Sebagian besar masyarakat perkotaan memiliki gaya hidup yang kurang baik. Konsumsi
alkohol, penyalahgunaan narkoba, pola makan tidak sehat, beban kerja tinggi,
kurangnya dukungan sosial, kurang aktivitas yang dapat memicu penyakit yang erat
kaitannya dengan masyarakat perkotaan. Selain itu, masalah sosial seperti polusi udara,
perumahan yang tidak layak serta kurang sadar terhadap kesehatan yang memicu
bertambahnya penyakit-penyakit infeksi dan menular. Lundy & Janes (2009)
menjelaskan beberapa macam penyakit yang mengancam masyarakat perkotaan antara
lain :
a. Penyakit kronis (masalah psikososial, kanker, gangguan endokrin seperti diabetes
melitus, anemia dan defisiensi nutrisi, gangguan mata, telinga, mulut dan gigi,
masalah kardiovaskular, artritis dan gangguan musculoskeletal, kehamilan,
HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya, PPOK, gangguan GI)
b. Penyakit akut (TBC, pneumonia, influenza, asma, infeksi kandung kemih dan
ginjal, infeksi organ genital, komplikasi diabetes)
c. Gangguan mental (gangguan kepribadian, masalah kriminal, penyalahgunaan
alkohol dan obat, kurangnya dukungam teman dan keluarga, kemiskinan)
d. Gangguan kulit serta cedera (ulcer kulit, skabies, gangguan vaskuler perifer,
varises, selulitis, luka, sprain, strain, kebakaran, kecelakaan kerja dan trasnportasi).

Universitas Indonesia
7

2.2 Kejadian Kanker Kolorektal pada Masyarakat Perkotaan


Kanker kolorektal menempati urutan ketiga yang sering terjadi pada laki-laki sejak
tahun 2012 (WHO, 2015). Sedangkan pada wanita, kanker kolorektal menempati urutan
kedua. Kanker kolorektal menempati urutan keempat penyebab kematian dengan jumlah
kasus kematian sebanyak 694.000 pada tahun 2012. Setiap tahunnya jumlah penderita
kanker di dunia bertambah sekitar 7 juta orang, dan dua per tiga diantaranya berada di
negara-negara yang sedang berkembang (WHO, 2015). Kejadian tersebut akan terjadi
lebih cepat terjadi pada negara miskin dan berkembang (International Union Against
Cancer, 2009). Hal tersebut dapat dikaitkan dengan pola hidup, termasuk pola makan
dan defekasi masyarakat negara miskin dan berkembang yang kurang baik.

Setiap tahun terjadi peningkatan kasus baru kanker, termasuk kanker kolorektal.
Yayasan Kanker Indonesia (2012) menyebutkan bahwa di Indonesia, tiap tahun
diperkirakan terdapat 100 penderita baru per 100.000 penduduk. Jumlah penduduk
Indonesia tahun 2015 sebanyak 255 juta orang (BPS, 2014). Perkiraan pertambahan
jumlah penderita kanker sebanyak 250 ribu orang pertahun. Hal tersebut sejalan dengan
ancama kematian akibat kanker khususnya kanker kolorektal dengan jumlah kematian
sebanyak 17,2 % (Kemenkes, 2015).

Faktor risiko yang menyebabkan tingginya kejadian kanker khususnya kanker


kolorektal di Indonesia yaitu prevalensi merokok 29,3%, kebiasaan BAB yang kurang
baik 17,4%, prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur 93,5%, konsumsi makanan
diawetkan 4,3%, makanan berlemak 40,7%, makanan dengan dibakar 4,4%, konsumsi
mie instant lebih dari 1 kali sehari 10,1% dan makanan dengan penyedap 77,3%.
Sedangkan prevalensi kurang aktivitas fisik sebesar 26,1% (Riskesdas, 2013).

Sebagian besar faktor risiko tersebut terjadi lebih tinggi di masyarakat perkotaan.
Tingginya tingkat kejadian kanker kolorektal pada masyarakat perkotaan tentunya
seiring dengan tingginya faktor resiko yang dimiliki oleh masyakarat tersebut. Namun
terdapat hal lain yang juga mempengaruhi tingginya prevalensi kanker kolorektal di
perkotaan antara lain disebabkan karena terbatasnya kesadaran masyarakat tentang
bahaya kanker, tanda-tanda dini dari kanker, faktor-faktor resiko terkena kanker, cara

Universitas Indonesia
8

penanggulangannya secara benar serta membiasakan diri dengan pola hidup sehat.
Karakteristik masyarakat perkotaan yang sudah terbiasa dengan pola hidup yang kurang
sehat dan disiplin ditambah dengan kurang dukungan sosial yang menyebabkan tidak
sedikit dari mereka yang sudah terkena kanker, dan baru memeriksakan diri ke sarana
pelayanan kesehatan ketika stadiumnya sudah lanjut.

2.3 Kanker Kolorektal

2.3.1 Anatomi dan Fisiologi Kolorektal


Kolon dan rektum merupakan bagian dari usus besar dalam sistem pencernaan. Usus
besar terdiri dari lapisan mukosa, submukosa, muskular, dan serosa (Tortora &
Derricson, 2014). Kolon terdiri dari sekum, ascendending, transverse, descendending,
dan sigmoid. Rektum menjadi tempat penyimpanan feses sementara yang terletak antara
kolon sigmoid dan anus.

Usus besar berfungsi dalam penyerapan air, vitamin, dan elektrolit; ekskresi mucus;
serta penyimpanan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Usus besar menerima
500 mL kim dari usus halus setiap hari (Tortora & Derricson, 2014). Air mengalami
penyerapan sehingga feses 700-1000 mL mengalami penyusutan menjadi 180-200 mL.
Proses pencernaan terjadi pada usus besar. Absorbsi terutama terjadi di kolon
asendending dan transverse. Kolon yang normal selama 24 jam dapat melakukan
absorbsi 2,5 liter air, 403 m.Eq Na, dan 462 m.Eq Cl (Sherwood, 2010). Sebaliknya
kolon mengeluarkan sekresi 45 m.Eq K dan 259 m.Eq bikarbonat. Bakteri usus besar
mensintesis vitamin K dan beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dari sisa-sisa
protein menjadi asam amino. Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 g,
75% diantaranya berupa air sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak diabsorbsi,
bakteri, dan mineral yang tidak diabsorbsi. Pembentukan berbagai gas seperti NH3,
CO2, H2, H2S dan CH4 membantu pembentukan flatus pada kolon.

Udara tertelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan
karbondioksida di dalamnya diserap di usus sedangkan nitrogen bersama dengan gas
hasil pencernaan dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml
sehari (Martini, Nath, & Bartholomew, 2012). Pada infeksi usus, produksi gas

Universitas Indonesia
9

meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di jalan cerna yang
menimbulkan flatulensi (gembung karena kelebihan gas di lambung dan usus).

2.3.2 Definisi, Etiologi, dan Faktor Risiko Kanker Kolorektal


2.3.2.1 Definisi
Kanker kolorektal merupakan keganasan yang terjadi di kolon dan/atau rektum.
American Cancer Society (2014) menyebutkan bahwa kanker kolorektal merupakan
terminologi yang digunakan untuk kanker yang muncul di kolon atau rektum. Kanker
adalah suatu penyakit dimana sel normal disepanjang jaringan mengalami perubahan
menjadi abnormal dan tumbuh tak terkontrol/menyebar ke jaringan sekitarnya (Black &
Hawks. 2014). Karsinoma adalah kanker yang paling umum menyerang manusia,
tumbuh dari jaringan epitelial (jaringan bersel yang menutupi permukaan), seperti kulit
dan lapisan rongga dan organ tubuh, dan jaringan kelenjar, seperti jaringan payudara
dan prostat. Karsinoma yang menyerupai jaringan kelenjar yang berasal dari sel
membuat dan melepaskan lendir/cairan disebut sebagai adenokarsinoma.

2.3.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Kanker kolorektal dapat timbul melalui interaksi antara faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik masih menjadi dugaan penyebab utama berkembangnya
kanker kolorektal. Polip kolon dapat berdegenerasi menjadi maligna sehingga polip
kolon harus dicurigai. Vogelstein et al (1988) dalam Nursing Times (2012) menjelaskan
kejadian polip-kanker klasik merupakan gangguan pada beberpa identifikasi gene
seperti APC dan p53 yang menyebabkan polip kecil pada usus dan berkembang dalam
beberapa tahun menjadi kanker. Kejadian tesebut akan dipercepat dengan adanya
akumulasi lebih banyak gen yang error pada tubuh sesorang. Selain itu, radang kronik
kolon seperti kolitis ulserosa atau kolitis amuba kronik dapat beresiko tinggi menjadi
kanker kolorektal (Triantafil-lidis et al, 2009).

Kanker kolorektal dapat terjadi karena faktor keturunan. Riwayat keluarga hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) merupakan penyakit keturunan dengan risiko
terjadi kanker kolorektal pada usia muda ditemukan pada 5% kasus kanker kolorektal

Universitas Indonesia
10

(Burch, 2008). Familial adenomatous polyposis (FAP) dialami oleh 1% pasien dengan
kanker kolorektal (Burgess, 2005).

Terdapat beberapa faktor risiko kanker kolorektal yang dapat dimodifikasi. Pola makan
dan gaya hidup, makanan rendah serat, makanan dengan kadar lemak dan daging tinggi
dan lamanya waktu transit sisa hasil pencernaan dalam kolon dan rektal meningkatkan
risiko kanker kolorektal. Faktor resiko lain seperti merokok, konsumsi tinggi alkohol,
rendahnya aktivitas fisik, dan tingginya indeks massa tubuh meningkatkan kejadian
kanker kolorektal (World Cancer Research Fund, 2007). Usia lebih dari 40 tahun juga
meningkatkan risiko terjadinya kanker kolorektal hingga 86% terutama usia lebih dari
60 tahun (CRUK, 2011).

2.3.3 Manifestasi Klinis dan Patofisiologi Kanker Kolorektal


Umumnya tumor kolorektal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip
adenoma. Insidensi tumor dari kolon kanan meningkat, meskipun umumnya masih
terjadi di rektum dan kolon sigmoid. Sebagian besar tumor maligna (minimal 50%)
terjadi pada area rektal dan 20–30 % terjadi di sigmoid dan kolon desending (Black &
Hawks, 2014). Kanker kolorektal terutama adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus) sebanyak 95%. Tumor pada kolon asenden lebih banyak ditemukan daripada pada
transversum (dua kali lebih banyak). Lebih dari 95% kanker kolorektal (kolon dan
rektal) berhubungan dengan munculnya polips (adenoma). Polips tersebut tumbuh
dengan lama, rata rata membutuhkan waktu 5 – 10 tahun untuk menjadi maligna. Polip
membesar di lumen dan menempel di dinding kolon/rektal kemudian berkembang
menjadi tumor. Pasien dengan FAP (Familial Adenomatous Polyposis) beresiko sangat
tinggi mengalami kanker kolon, FAP adalah kondisi dimana ratusan polip berada di
kolon dan rektum (Black & Hawks, 2014).

Penyebab kanker kolorektal adalah diet dengan tinggi lemak hewani akan dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri anaerobik pada kolon, terutama jenis clostridium
dan bakteroides. Organisme ini bekerja pada lemak, yang dapat merusak mukosa kolon
dengan aktivitas replikasinya dan secara simultan berperan sebagai promotor untuk
senyawa-senyawa lain yang potensial karsinogenik, dengan pembentukan nitrosamida
Universitas Indonesia
11

dari nitrit (pengawet pada daging agar tidak cepat membusuk) dan amida yang
dilepaskan oleh diet yang tinggi lemak. Kurangnya serat dalam diet akan membuat
konstipasi dan memperlambat waktu pengosongan usus. Keadaan ini memudahkan
proses penyerapan bahan-bahan karsinogen. Karsinogen akan mengubah DNA sel yang
normal menjadi abnormal, sel yang abnormal akan melakukan pembelahan,
berkembang, dan bermetastase ke sistem limfe dan pembuluh darah apabila dibiarkan
terlalu lama (Price & Wilson, 2012).

Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, menimbulkan beberapa gejala. Pada
saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar kedalam lapisan lebih dalam dari
jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan
perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus.
Struktur yang berdekatan, seperti hepar, kurvatura mayor lambung, duodenum, usus
halus, pankreas, limpa, saluran genitourinary, dan dinding abdominal juga dapat dikenai
oleh perluasan. Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari
penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang jauh sudah
dikenai namun kelenjar regional masih normal. Sel-sel kanker dari tumor primer dapat
juga menyebar melalui sistem limpatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti
hepar, paru-paru, otak, tulang, dan ginjal.

Penyebaran kanker kolon dapat melalui 3 cara, yaitu penyebaran secara langsung ke
organ terdekat, melalui sistem limpatikus dan hematogen, serta melalui implantasi sel
ke daerah peritoneal. Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan
bertumbuh sambil menembus dinding dan meluas secara sirkuler ke arah oral dan
aboral. Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya
misalnya ureter, buli-buli, uterus, vagina atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke
kelenjar parailiaka, mesenterium dan paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke
hati. Penyebaran peritoneal mengakibatkan peritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa
asites.

Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit dan fungsi segmen usus
tempat kanker berlokasi. Gejala yang paling menonjol adalah perubahan kebiasaan

Universitas Indonesia
12

defekasi dan dapat juga mencakup anemia yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksia,
penurunan berat badan, dan keletihan. Selain itu terasa nyeri biasanya menyebar di area
umbilicus atau area perianal.

Tabel 2.2 Gejala Kanker Kolorektal yang Ditimbulkan Menurut Lokasi


Kolon kanan Kolon kiri Rektum/ rektosigmoid
 nyeri dangkal abdomen.  obstruksi  evakuasi feses yang
 anemia (nyeri tidak lengkap setelah
 melena (feses hitam, seperti abdomen dan defekasi
ter) kram,  konstipasi dan diare
 dyspepsia penipisan bergantian
 nyeri diatas umbilicus feses,  feses berdarah/
 anorexia, nausea, vomiting konstipasi pendarahan rectal
 rasa tidak nyaman diperut dan distensi)  perubahan bentuk feses
kanan bawah  adanya darah  perubahan kebiasaan
 teraba masa pada palpasi segar dalam defekasi
 perubahan berat badan
feses.  perubahan berat badan
 tenesmus
Sumber: (Smeltzer et al, 2010) (Black & Jacob, 1997 dalam Black & Hawks,
2014)

Tabel 2.3 Gambaran Klinik Karsinoma Kolorektal Lanjut

Kolon kanan Kolon kiri Rektum


Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
Nyeri Karena Karena obstruksi Tenesmi
penyusupan
Defekasi Diare/diare Konstipasi Tenesmi terus
berkala progresif menerus
Obstruksi Tidak jarang
Darah pada Jarang Hampir selalu Makroskopik
feses Okul Okul/makroskopik Perubahan
Feses Normal/diare Normal bentuk
Dispepsi Sering Jarang Jarang
Memburuknya Hampir selalu Lambat Lambat
keadaan
umum Hampir selalu Lambat Lambat
Anemia

Sumber: (Black & Jacob, 1997 dalam Black & Hawks, 2014)
Universitas Indonesia
13

Kejadian kanker kolorektal mengalami peningkatan namun tingkat mortalitas


mengalami penurunan. Dragovich (2016) menjelaskan bahwa kanker kolorektal sering
dideteksi lebih awal dengan screening yang tepat sebelum tanda gejala kanker
kolorektal muncul. Namun pada kasus yang lebih lanjut, gejala seperti anemi akibat
kekurangan zat besi, pendarahan rektal, nyeri abdomen, perubahan pada kebiasaan
defekasi, onstruksi usus atau hingga perforasi dapat ditemukan. Lesi yang tumbuh di
sisis kanan kolon lebih cenderung menyebabkan diare sedangkan lesi pada sebelah kiri
lebih menyebabkan adanya obstruksi. Pada kasus-kasus tertentu yang jarang saat
pemeriksaan fisik dapat pula ditemukan berupa gejala hepatomegali dan asites. Kanker
kolorektal juga serig menyebabkan pendarahan pada saluran gastrointestinal sehingga
terkadang feses dapat terlihat berwarna hitam atau gelap. Seiring berkembangnya waktu
kehilangan darah terus-terusan dapat menyebabkan penurunan sel darah merah sehingga
pada pemeriksaan dapat terlihat gambaran anemia (American Cancer Society, 2016).

2.3.4 Klasifikasi Kanker Kolorektal


Penentuan stadium kanker kolorektal sangat diperlukan sejak awal pasien didiagnosis
terkena kanker kolorektal. Penentuan stadium kanker berguna untuk menentukan
keparahan penyakit dan menentukan rencana penatalaksanaan yang efektif kepada
pasien. Terdapat beberapa klasifikasi atau stadium yang dapat digunakan untuk
penentuan kanker kolorektal.

Gambar 2.1 Stadium Kanker Kolorektal

Sumber: (National Cancer Institute, 2011)

Universitas Indonesia
14

2.3.4.1 Sistem TNM


Stadium karsinoma kolorektal berdasarkan sistem TNM mengacu kepada tiga hal pokok
yaitu tumor, nodus limfe yang terkena dan metastasis.

Gambar 2.2 Kelenjar Getah Bening pada Area Abdomen dan Lapisan
Dinding Usus

Sumber: (American Joint Comittee on Cancer, 2009)

American Joint Comittee on Cancer (AJCC) telah mengeluarkan revisi terbaru


klasifikasi TNM edisi ke 7 pada tahun 2009. Dibawah ini merupakan klasifikasi stadium
kanker kolorektal menurut AJCC.

Universitas Indonesia
15

Tabel 2.4 Klasifikasi Stadium Kanker Kolorektal Sistem TNM


Stadium Grup stadium Deskripsi Stadium
0 Tis, N0, M0 Kanker pada stadium paling awal. Stadium
ini juga dikenal sebagai karsinoma in situ
atau karsinoma intramukosa (Tis). Kanker
belum berkembang di atas lapisan dalam
(mukosa) kolon atau rektum.
I T1 atau T2, Kanker sudah berkembang melewati mukosa
N0, M0 muskularis menuju submukosa (T1) dan sel
tersebut juga mulai berkembang mencapai
muskularis propia (T2). Sel kanker belum
menyebar ke kelenjar getah bening terdekat
(N0) atau menyebar ke tempat lain (M0).
IIA T3, N0, M0 Kanker sudah menyebar ke lapisan terluar
kolon dan rektum namun belum menembus
lapisan tersebut (T3). Juga belum menyebar
ke organ terdekat dan belum menyebar ke
kelenjar getah bening terdekat (N0) atau
organ lain (M0).
IIB T4a, N0, M0 Kanker sudah berkembang menembus
dinding kolon atau rektum namun belum
berkembang ke jaringan atau organ terdekat
(T4a). sel kanker belum menyebar ke
kelenjar getah bening terdekat (N0) atau
metastasis ke organ lain (M0).
IIC T4b, N0, M0 Kanker berkembang melewati dinding kolon
dan rektum dan telah menempel atau
berkembang ke organ atau jaringan terdekat
(T4b). Sel kanker tersebut belum menyebar
ke kelenjar getah bening terdekat (N0) atau
bermetastasis (M0).
IIIA T1 atau T2, Kanker telah berkembang melewati mukosa

Universitas Indonesia
16

Stadium Grup stadium Deskripsi Stadium


N1, M0 ke submukosa (T1), dan sel tersebut juga
mulai berkembang mencapai muskularis
propia (T2). Sel kanker sudah menyebar ke 1
atau 3 kelenjar getah bening terdekat
(N1a/N1b) atau ke area lemak dekat kelenjar
getah bening namun bukan ke kelenjar getah
beningnya (N1c). Belum bermetastasis (M0).
ATAU ATAU
T1, N2a, M0 Kanker sudah berkembang mellewati
mukosa ke submukosa (T1). Sudah
menyebar ke 4 sampai 6 kelenjar getah
bening terdekat (N2a). Belum bermetastasis
(M0).
IIIB T3 atau T4a, Kanker sudah berkembang ke lapisan terluar
N1, M0 kolon atau rektum (T3) atau melewati
peritoneum visceral (T4a) namun belum
mencapai organ terdekat. Sel kanker sudah
menyebar ke 1 sampai 3 kelenjar getah
bening terdekat (N1a/N1b) atau ke area
lemak dekat kelenjar getah bening namun
bukan ke kelenjar getah beningnya (N1c).
Belum bermetastasis (M0).
ATAU ATAU
T2 atau T3, Kanker sudah berkembang ke muskularis
N2a, M0 propia (T2) atau ke lapisan terluar dari kolon
atau rektum (T3). Sudah menyebar ke 4
sampai 6 kelenjar getah bening terdekat
(N2a). Belum bermetastasis (M0).
ATAU ATAU
T1 or T2 N2b, Kanker telah berkembang melewati mukosa
M0 ke submukosa (T1), dan sel tersebut juga

Universitas Indonesia
17

Stadium Grup stadium Deskripsi Stadium


mulai berkembang mencapai muskularis
propia (T2). Sel kanker juga sudah menyebar
ke 7 atau lebih kelenjar getah bening
terdekat (N2b). Belum bermetastasis (M0).
IIIC T4a, N2a, M0 Kanker sudah berkembang melewati dinding
kolon atau rektum (termasuk peritoneum
visceral) namun belum mencapai organ
terdekat (T4a). Sudah menyebar ke 4 sampai
6 kelenjar getah bening terdekat (N2a).
Belum bermetastasis (M0).
ATAU ATAU
T3 atau T4a, Kanker sudah berkembang ke lapisan terluar
N2b, M0 kolon atau rektum (T3) atau melewati
peritoneum visceral (T4a) namun belum
mencapai organ terdekat. Sel kanker juga
sudah menyebar ke 7 atau lebih kelenjar
getah bening terdekat (N2b). Belum
bermetastasis (M0).
ATAU ATAU
T4b, N1 atau Kanker berkembang melewati dinding kolon
N2, M0 dan rektum dan telah menempel atau
berkembang ke organ atau jaringan terdekat
(T4b). Sel kanker juga sudah menyebar ke
minimal satu kelenjar getah bening atau area
lemak dekat kelenjar getah bening (N1 atau
N2). Belum bermetastasis (M0).
IVA Setiap T, Sel kanker sudah atau belum berkembang
Setiap N, M1a melewati dinding kolon atau rektum (Any
T). Sudah atau belum menyebar ke kelenjar
getah bening (Any N). Namun sudah
bermetastasis ke satu organ jauh (seperti hati

Universitas Indonesia
18

Stadium Grup stadium Deskripsi Stadium


atau paru-paru) atau sekumpulan kelenjar
getah bening jauh (M1a).
IVB Setiap T, Sel kanker sudah atau belum berkembang
Setiap N, M1b melewati dinding kolon atau rektum . Sudah
atau belum menyebar ke kelenjar getah
bening. Namun sudah bermetastasis ke satu
organ jauh (seperti hati atau paru-paru) atau
sekumpulan kelenjar getah bening jauh atau
telah menyebar ke area peritoneum jauh
(dinding rongga abdomen) (M1b).
Sumber: (American Joint Comittee on Cancer (AJCC), 2009)

2.3.4.2 Sistem Duke


Penentuan stadium kanker menurut Duke’s dibagi menjadi 4 grup yaitu A, B, C, dan D.
1) Duke A
Kanker masih berada di dinding terdalam lapisan usus atau sedikit berkembang ke
lapisan muscular (menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga
(submukosa/ muskularis propria) tetapi belum menyebar keluar dari
dinding kolon/rektum).

Gambar 2.3 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke A

Sumber: (Cancer Reasearch UK, 2015)

Universitas Indonesia
19

2) Duke B
Kanker telah melewati lapisan muscular, namun belum menyebar menyebar keluar dari
dinding usus kolon/rektum dan ke jaringan sekitar.

Gambar 2.4 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke B

Sumber: (Cancer Reasearch UK, 2015)

3) Duke C
Kanker telah menyebar minimal pada satu kelenjar getah bening terdekat tetapi belum
pada organ tubuh lainnya.

Gambar 2.5 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke C

Sumber: (Cancer Reasearch UK, 2015)

Universitas Indonesia
20

4) Duke D
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya seperti hati atau paru-paru.

Gambar 2.6 Klasifikasi Kanker Kolorektal Duke D

Sumber: (Cancer Reasearch UK, 2015)

Penentuan stadium kanker kolorektal memerlukan pemeriksaan penunjang yang lebih


detail seperti berdasarkan hasil MRI, CT scan, biopsi, hasil lab patologi, dan lain-lain.
Audisio, Geraghty, & Longo (2001) menjelaskan bahwa penentuan penggunaan sistem
stadium dapat disesuaikan diantara kedua sistem (TNM dan Duke) dengan kembali
melihat tujuan utama dari penentuan stadium untuk menentukan bagaimana perawatan
yang tepat untuk pasien dan menentukan ukuran kesuksesan perawatan yang diberikan.

2.3.5 Penatalaksanaan Kanker Kolorektal


Penatalaksanaan kanker kolorektal dilakukan sesuai dengan gejala yang muncul pada
pasien. Pasien yang mengalami obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan
nasogastrik. Jika pasien mengalami pendarahan hingga terjadi penuruna Hb yang
bermakna, maka pemberian transfusi darah dapat dianjurkan. Pemberian pengobatan
tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi yang muncul. Pengobatan medis untuk
kanker kolorektal paling sering dalam bentuk pendukung atau terapi anjuran.

Universitas Indonesia
21

Terapi anjuran biasanya diberikan selain pengobatan bedah yang mencakup kemoterapi,
terapi radiasi, dan imunoterapi. Terapi radiasi merupakan prosedur terapi menggunakan
sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker pada area yang diberi sinar. Terapi
radiasi sering digunakan sebelum pembedahan untuk menurunkan ukuran tumor dan
membuat mudah untuk direseksi. Intervensi lokal pada area tumor setelah pembedahan
termasuk implantasi isotop radioaktif ke dalam area tumor. Isotop yang digunakan
termasuk radium, sesium, dan kobalt. Iridium digunakan pada rektum. Sedangkan
kemoterapi menggunakan obat-obatan anti kanker guna menyusutkan ukuran atau
membunuh sel kanker. Kemoterapi dilakukan untuk menurunkan metastasis dan
mengontrol manifestasi yang timbul. Pilihan obat yang digunakan pada kemoterapi
seringkali dengan penggunaan obat-obatan (5-flourauracil (5-FU)) untuk membunuh
sel-sel kanker. Kemoterapi merupakan terapi sistemik pengobatan yang diberikan
berjalan melalui seluruh tubuh untuk menghancurkan sel-sel kaker. Setelah operasi
kanker usus besar, beberapa pasien mungkin masih mengandung sel-sel kanker
metastasis microscopic (foci yang kecil dari sel-sel kanker yang tidak dapat dideteksi).
Kemoterapi dapat diberikan juga diberikan segera setelah operasi untuk menghancurkan
sel-sel mikroskopik (adjuvant chemotherapy).

Terapi pembedahan merupakan prosedur treatment primer untuk pasien kanker


kolorektal. Sebagian besar pasien kanker kolorektal akan dilakukan operasi kolostomi
sebagai bagian dari prosedur pembedahannya. Kolostomi merupakan tindakan
pembuatan lubang (stoma) yang dibentuk dari pengeluaran sebagian bentuk kolon (usus
besar) ke dinding abdomen (perut), stoma ini dapat bersifat sementara atau permanen.
Tujuan pembuatan kolostomi adalah untuk tindakan dekompresi usus pada kasus
sumbatan atau obstruksi usus. Sedangkan pilihan tipe pembedahan dengan tujuan
pengangkatan sel kanker tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Pada tumor sekum
dan kolon ascending dilakukan hemikolektomi kanan, lalu anastomosis ujung ke ujung.
Pada tumor transverse dilakukan reseksi kolon transverse kemudian dilakukan
anastomosis ujung ke ujung. Kedua fleksura hepatica dan mesentrium daerah arteria
kolika media termasuk kelenjar limfe. Pada colon desenden dan fkeksura lienalis,
dilakukan hemikolektomi kiri yg meliputi daerah arteri kolika kiri dengan kelenjar limfe
sampai dengan dipangkal arteri mesentrika inferior.

Universitas Indonesia
22

Tumor rektum tipe pembedahan akan terbagi menjadi beberapa tipe lagi. Pada tumor
rektum 1/3 proksimal dilakukan reseksi anterior tinggi (12-18 cm dari garis anokutan)
dengan atau tanpa stapler. Pada tumor rektum 1/3 tengah dilakukan resesksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor 1/3 distal dilakukan amputasi
rektum melalui abdominal perineal. Alat stapler diperlukan untuk membuat anastomosis
di dalam panggul antara ujung rektum yang pendek dan kolon dengan mempertahankan
anus. Reseksi anterior rendah atau low anterior resection (LAR) pada rektum dilakukan
melalui laparatomi dengan menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis
kolorektal/ koloanal rendah. Pada tumor sigmoid, juga dilakukan reseksi sigmoid
termasuk kelenjar di pangkal arteria mesentrika inferior.

Prosedur Hartmann terdiri dari reseksi rektosigmoid, penutupan stump rektum, dan
pembuatan end kolostomi. Idealnya, prosedur Hartmann diikuti dengan Hartmann
reversal yang mengembalikan fungsi intestin. Namun prosedur Hartmann reversal
memiliki tingkat morbiditas sebesar 58% dan mortalitas hingga 3,6% (Hallam, Mothe,
& Tirumulaju, 2018). Tantangan teknis untuk ditegakkannya prosedur Hartmann
reversal adalah kepadatan perlengketan pelvis, infeksi kronik pelvis, dan pendeknya
stump rektum. Hallam, Mothe, & Tirumulaju (2018) menjelaskan faktor prediktor
prosedur Hartmann reversal adalah usia muda (median 58 tahun), ASA ≤ 2, prosedur
Hartmann emergensi, indikasi tumor jinak pada prosedur Hartmann, dan komorbiditas
rendah (skor ≤ 1 dengan Charlson comorbidity score).

2.3.6 Komplikasi Pasca Pembedahan Kanker Kolorektal


Pada pasien dengan pembedahan pada kanker kolorektal memiliki beberapa resiko
komplikasi. Paun, Cassie, MacLean, Dixon, dan Buie (2010) menjelaskan dalam hasil
penelitian mereka bahwa pasien dengan kanker rektal yang mengalami pembedahan
radikal rektum seperti abdominal perineal resection dan anterior resection memiliki
resiko komplikasi kebocoran anastomotis sebanyak 11% , sepsis pelvis sebanyak 12%,
kematian pasca pembedahan sebanyak 2% dan infeksi luka sebanyak 7%. Pasien dengan
pasca pembedahan rektum juga berisiko terkena inkontinensia setelah 5 tahun pasca
pembedahan sebanyak 61,5 % yang mendapat radioterapi preoperatif 38, 5% bagi
pasien yang tidak mendapat radioterapi preoperatif (Lange et al, 2007). Selain itu,
Universitas Indonesia
23

fungsi seksual dan perkemihan juga kemungkinan mengalami efek samping


dikarenakan terjadi cedera saraf otonom selama pembedahan (Kniest & Junginger,
2007). Departemen Surgical dan Critical Care NHS UK (2014) menuliskan dalam
publikasinya terdapat beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh pasien pasca operasi
yaitu:
a. Kehilangan kapasitas normal kolon. Normalnya rektum dapat meregang untuk
mempertahakan feses sebelum pada akhirnya feses dikeluarkan lewat anus. Setelah
operasi anterior resection, sisa dari rektum yang diangkat mempunyai kapasitas
penyimpanan feses yang lebih sedikit dibanding sebelumnya dan kemampuan
meregang dari sisa rektum tersebut sangat terbatas dikarenakan kemungkinan
jaringan skar pasca pembedahan. Beberapa pasien membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk dapat beradaptasi dengan keadaan tersebut.
b. Kerusakan saraf. Operasi reseksi anterior melibatkan otot di sekitar sfingter anal
yang memungkinkan untuk terjadi gangguan atau kerusakan saraf pada area
tersebut. Pada hari hingga bulan awal pasien dapat mengalami kehilangan sensasi
dan kontrol pada area anusnya sehingga mengalami inkontinensia flatus maupun
fekal.
c. Disfungsi seksual. Operasi tersebut juga dapat mempengaruhi saraf yang
berhubungan dengan fungsi seksual. Fungsi seksual dapat terganggu seperti pada
saat ereksi dan ejakulasi. NHS menambahkan risiko tersebut terjadi dan meningkat
sebesar 60-70% terjadi pada laki-laki yang mendapat radioterapi, sedangkan pada
wanta dapat mengalami penyempitan vagina setelah mengalami pembedahan
rektum.
d. Striktur anastomosis merupakan penyempitan pada diameter usus yang dapat
menyebabkan blockage. Umumnya komplikasinya terjadi setelah berbulan-bulan
operasi. Gejala yang dirasakan berupa rasa ingin mengedan dan membuka anus
walaupun feses yang dikeluarkan sedikit-sedikit setiap kali BAB, rasa tidak nyaman
ketika BAB dan rasa kembung pada perut.
e. Komplikasi pada luka luka operasi menjadi faktor komorbiditas paska pembedahan.
Adanya infeksi akibat proses perawatan luka yang tidak menerapkan prinsip steril
menjadi salah salah satu penyebabnya (Potter & Perry, 2013). Selain itu, dehisen

Universitas Indonesia
24

menjadi komplikasi berikutnya akibat hipoalbumin, anemia, dan obesitas


(Ningrum, Mediani, & Isabella, 2017).

2.4 Asuhan Keperawatan Kanker Kolorektal

2.4.1 Pengkajian
Hasil anamnesa kepada pasien pra pembedahan umumnya didapatkan keluhan berupa
perdarahan melalui anus, gangguan pola BAB, nyeri pada abdomen, penurunan berat
badan. Sedangkan pada hasil pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala berupa tanda-
tanda anemia, dapat ditemukan massa yang teraba pada abdomen, atau tanda-tanda
obstruksi usus. Pada pemeriksaan sistemik seluruh tubuh, dapat ditemukan berupa :
a. Aktivitas/istirahat
Pasien dengan kanker kolorektal biasanya merasakan tidak nyaman pada abdomen
dengan keluhan nyeri, perasaan penuh, sehingga perlu dilakukan pengkajian terhadap
pola istirahat dan tidur.
b. Sirkulasi
Pada pemeriksaan sirkulasi, dapat ditemukan gejala anemia, pucat, CRT abnormal
hingga kelemahan, serta perubahan pada tekanan darah.
c. Integritas ego
Pada pemeriksaan integritas ego, dapat dikaji mengenai faktor stress (keuangan,
pekerjaan, atau perubahan peran) dan cara mengatasi stress (misalnya merokok, minum
alkohol, menunda mencari pengobatan, keyakinan religius/ spiritual). Masalah tentang
perubahan dalam penampilan misalnya, alopesia akibat kemoterapi, lesi, cacat,
pembedahan. Menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak mampu,
tidak merasakan, rasa bersalah, kehilangan. Tanda yang biasa muncul berupa perasaan
kurang kontrol diri, depresi, menyangkal, menarik diri, marah.
d. Eliminasi
Adanya perubahan fungsi kolon akan mempengaruhi perubahan pada defekasi pasien,
konstipasi dan diare. Bagaimana kebiasaan di rumah yaitu: frekuensi, komposisi,
jumlah, warna, dan cara pengeluarannya, apakah dengan bantuan alat atau tidak adakah
keluhan yang menyertainya. Apakah kebiasaan di rumah sakit sama dengan di rumah.
Pada pasien dengan kanker kolerektal dapat dilakukan pemeriksaan fisik dengan

Universitas Indonesia
25

observasi adanya distensi abdomen, massa akibat timbunan feses. Massa tumor di
abdomen, pembesaran hepar akibat metastase, asites, pembesaran kelenjar inguinal,
pembesaran kelenjar aksila dan supra klavikula, pengukuran tinggi badan dan berat
badan, lingkar perut, dan colok dubur.
e. Makanan/cairan
Perlu dikaji mengenai kebiasaan makan pasien di rumah dalam sehari, seberapa banyak
dan komposisi setiap kali makan adakah pantangan terhadap suatu makanan, ada
keluhan anoreksia, mual, perasaan penuh, muntah, nyeri ulu hati sehingga menyebabkan
berat badan menurun. Dikaji juga adanya perubahan pada kelembaban/turgor kulit atau
edema.
f. Neurosensori
Pada pasien dapat ditemukan gejala berupa pusing, sinkope, karena pasien kurang
beraktivitas, banyak tidur sehingga sirkulasi darah ke otak tidak lancar.
g. Nyeri/ketidaknyamanan
Derajat nyeri dapat bervariasi misalnya ketidaknyamanan ringan sampai nyeri berat
(dihubungkan dengan proses penyakit).
h. Pernapasan
Dikaji mengenai riwayat merokok pada pasien atau gangguan pada pernafasan seperti
sesak atau suara nafas abnormal yang dapat menunjukkan mulai adanya metastasis ke
paru.
i. Keamanan
Perlu dikaji mengenai riwayat pajanan terhadap zat kimia toksik atau karsinogen, risiko
jatuh, risiko pendarahan, kebutuhan transfusi darah, risiko alergi serta risiko infeksi
dengan tanda seperti demam, ruam kulit, atau ulserasi.
j. Seksualitas
Perlu dikaji mengenai masalah seksual misalnya dampak pada hubungan peruhahan
pada tingkat kepuasan.
k. Interaksi sosial
Dikaji mengenai ketidakadekuatan/ kelemahan sistem pendukung. Riwayat perkawinan
(berkenaan dengan kepuasan di rumah, dukungan, atau bantuan). Masalah tentang
fungsi/ tanggungjawab peran penyuluhan/pembelajaran. Adanya riwayat kanker pada

Universitas Indonesia
26

keluarga serta riwayat pengobatan: pengobatan sebelumnya untuk tempat kanker dan
pengobatan yang diberikan.

2.4.2 Pemeriksaan Penunjang


Selain dilakukan pemeriksaan fisik, perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
lebih menegakkan diagnosis kanker kolorektal serta membantu menentukan pilihan
penanganan ke depannya. Sebelum pasien dapat didiagnosis dengan pasti terkena
penyakit kanker kolorektal, pasien tersebut harus menjalani beberapa pemeriksaan
penunjang untuk mengumpulkan bukti dan data abnormal yang mengarah bahwa
terdapat pertumbuhan massa abnormal pada lumen kolorektalnya. Pasien yang dicurigai
terkena kanker rektum atau riwayat memiliki hemoroid menahun dapat dilakukan colok
dubur untuk mengetahui letak, luas dan mobilitas tumor. Sebenarnya, pemeriksaan
colok dubur dapat dimulai sejak umur 40 tahun dan dilakukan rutin setiap tahun.
Terdapat hal yang perlu diperhatikan saat melakukan colok dubur adalah tonus sfingter
ani (pada pemeriksaan teraba keras atau lembek), mukosa (teraba kasar, kaku, licin atau
tidak), dan ampula rektum (teraba kolaps, kembung, atau terisi feses). Pada saat
melakukan perabaan, tumor dapat teraba atau tidak, mudah berdarah atau tidak, jarak
dari garis anorektal sampai tumor, lokasi, pergerakan dari dasar, permukaan, lumen
yang dapat ditembus jari, batas atas, dan jaringan sekitarnya.

Tes laboratorium juga dapat dilakukan seperti tes guaiac untuk melihat adanya darah
samar atau adanya perdarahan di gastrointestinal. Tes guaiac dianjurkan dilakukan sejak
umur 50 tahun dan dilakukan rutin setiap tahun. Pasien juga dilakukan tes darah
lengkap untuk melihat jumlah sel-sel darah merah sebagai evaluasi anemia akibat
pendarahan. Anemia mikrositik, ditandai dengan sel-sel darah merah yang kecil. Selain
itu, pemeriksaan kimia darah seperti enzim hati, alkaline phosphatase dan kadar
bilirubin untuk mendeteksi adanya indikasi telah mengenai hepar. Test laboratorium
lainnya meliputi serum protein, kalsium, dan kreatinin juga perlu dilakukan.

Pemeriksaan penanda tumor yang biasa dilakukan untuk pasien dengan kenker
kolorektal adalh pemeriksaan carcinoma embryonic antigen (CEA). Pada pemeriksaan
CEA ditegakkan jika ditemukannya glikoprotein di membran sel pada banyak jaringan,
termasuk kanker kolorektal. Antigen ini dapat dideteksi oleh radioimmunoassay dari
Universitas Indonesia
27

serum atau cairan tubuh lainnya dan sekresi. Peningkatan nilai CEA diatas 5 dapat
menunjukkan adanya massa atau tumor. Namun perlu diketahui bahwa pada beberapa
pasien dengan tumor kolorektal dapat juga menunjukkan hasil CEA yang normal.
Karena test ini tidak spesifik bagi kanker kolorektal dan positif pada lebih dari separuh
klien dengan lokalisasi penyakit, ini tidak termasuk dalam skreening atau test diagnostik
dalam pengobatan penyakit. Pemeriksaan CEA digunakan sebagai prediktor pada
prognsis postoperative dan untuk deteksi kekambuhan mengikuti pemotongan
pembedahan. Pada eksisi tumor komplet, kadar CEA yang meningkat harus kembali ke
normal dalam 48 jam. Peningkatan CEA selanjutnya menunjukkan kekambuhan. Selain
itu, digunakan juga untuk mengevaluasi keberhasilan dari terapi yang diberikan untuk
pasien seperti kemoterapi atau radioterapi.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologis dengan


melakukan foto colon dengan barium enema untuk melihat kerusakan atau adanya lesi-
lesi kecil di sepanjang kolon. Barium enema sering digunakan untuk deteksi atau
konfirmasi ada tidaknya dan lokasi tumor. Bila medium kontras seperti barium
dimasukkan kedalam usus bagian bawah, kanker tampak sebagai massa mengisi lumen
usus, konstriksi, atau gangguan pengisian. Dinding usus terfiksir oleh tumor, dan pola
mukosa normal hilang. Foto colon dengan barium enema pada pasien dengan resiko
tinggi, dianjurkan dilakukan setiap 2-3 tahun sekali. Ultrasonografi abdomen juga dapat
dilakukan untuk mngetahui ukuran tumor dan kemungkinan metastasisnya terutama
metastasis ke hati. Pemeriksaan X-ray dada juga perlu dilakukan untuk deteksi adanya
metastasis tumor ke paru-paru. Selain itu, CT (computed tomography) scan atau
magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana sel
kanker sudah mengenai organ lain melalui perluasan langsung atau dari metastasis
tumor.

Pemeriksaan lain yang sering juga digunakan adalah endoskopi saluran cerna
(kolonoskopi) dan biopsi. Kolonoskopi dilakukan untuk melihat kondisi tumor/massa
yang ada di dalam usus besar. Endoskopi dapat dilakukan dengan endoskop rigid untuk
melihat kelainan sampai 20-30 cm dengan menggunakan fiberscope. Alat tersebut dapat
melihat semua kelainan yang ada pada kolon dari rektum sampai sekum. Sigmoidoskopi

Universitas Indonesia
28

fleksibel dapat mendeteksi 50 % sampai 65 % dari kanker kolorektal. Pemeriksaan


rektrosigmoideskopi dianjurkan dilakukan setiap 3-5 tahun sekali. Bila sigmoidoskopi
hasil negatif 2 kali berturut turut maka pemeriksaan dilakukan 1 tahun kemudian,
setelah umur 50 tahun. Pemeriksaan biopsi diperlukan untuk menentukan jenis tumor
secara patologis anatomis apakah sel yang berkembang merupakan sel ganas
(karsinoma) atau sel jinak (benigna).

2.4.3 Diagnosis Keperawatan


Berdasarkan hasil pengkajian, masalah atau diagnosis keperawatan yang mungkin
muncul antara lain
a. Nyeri kronis berhubungan dengan kompresi jaringan sekunder akibat obstruksi
b. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi bedah
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan infeksi saluran
pernapasan paska operasi
d. Risiko konstipasi/diare berhubungan dengan lesi obstruksi
e. Inkontinensia fekal berhubungan pembentukan stoma, penurunan kekuatan sfingter
anal
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi bedah (abdomen dan
perianal), pembentukan stoma, dan kontaminasi fekal terhadap kulit periostomal
g. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kolostomi
h. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan
metabolisme tubuh, mual dan anoreksia
i. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik dan kesulitan bergerak
j. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan dehidrasi
k. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan nyeri akibat massa
abdomen
l. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
m. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan/kulit yang rusak
n. Kecemasan berhubungan dengan prosedur medis pembedahan atau proses
pemulihan paska pembedahan

Universitas Indonesia
29

2.5 Manajemen Asuhan Keperawatan Pasca Pembedahan


Asuhan keperawatan paska pembedahan kanker kolorektal berfokus pada mengatasi
respon yang muncul pada pasien. Perawatan paska laparatomi perlu memperhatikan
pasien secara holistik meliputi sistem eliminasi, nutrisi, mobilisasi, nyeri yang timbul
hingga perawatan luka operasi dan stoma.

2.5.1.1 Nyeri
Nyeri yang timbul akibat pembedahan tergolong ke dalam nyeri berat dengan skala rata-
rata diatas 6 dari 10. Pasien memerlukan pemberian analgesic yang cukup untuk
mengontrol nyerinya. Setelah perban dibuka dan luka dibersihkan, pasien harus mulai
menjalani mandi-duduk tiga hingga empat kali sehari (Black& Hawk, 2009). Terapi
nonfarmakologis juga dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan pasien seperti
tidur miring, distraksi, relaksasi dan aromaterapi.

2.5.1.2 Aktivitas
The Nurse Colorectal Specialist NHS UK (2015) menganjurkan untuk tetap aktif
bergerak dan mencoba latihan ringan segera setelah operasi seperti mulai berjalan
minimal 30 menit. Dalam 6 jam setelah operasi dengan anestesi umum, pasien sudah
boleh miring kanan dan kiri jika sudah tidak ada gangguan hemodinamik dan kesadaran
sudah kembali pulih. Setelah 12-24 jam, pasien dianjurkan mulai latihan duduk dengan
dibantu. Pada hari kedua pasien dianjurkan untuk mampu duduk sendiri atau mulai
mampu tiduran dengan semi hingga high fowler. Mobilisasi pada ekstremitas tidak ada
pembatasan sejak pasien keluar dari ruang operasi.

2.5.1.3 Nutrisi
Pada pasien pasca operasi memerlukan diet bertahap sesuai dengan toleransi dari
saluran gastrointestinal. Norton, Williams, Taylor, Nunwa, dan Whayman (2009)
menjelaskan pada pasien post operasi rektum hari pertama hingga ketiga diberikan clear
fluid, makanan dapat diberikan pada hari ketiga dikarenakan ileus mulai kembali normal
setelah 24-28 jam. Makanan yang diberikan juga harus bertahap dari mulai diet lunak
hingga diet normal. Pemilihan dan edukasi nutrisi khusus bagi pasien dengan kolostomi
dan anterior resection sangat diperlukan. Pemilihan nutrisi berhubungan erat dengan
peningkatan fungsi eliminasi. Prinsip dari pemilihan diet adalah agar oergerakan usus
tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat dan tidak terlalu banyak menghasilkan gas dalam

Universitas Indonesia
30

abdomen. Pada awal pasien mulai makan, dianjurkan untuk makan sedikit namun
sering, makan dengan perlahan, dan minum diantara waktu makan. Pemilihan jenis serat
juga diperlukan. Serat berguna untuk mengabsorpsi air dan membuat usus bekerja lebih
kencang, membuat feses lebih lunak dan mudah dikeluarkan. Pada pasien dengan
keadaan feses yang terlalu cair atau sering, lebih diajurkan untuk mengonsumsi serat
soluble sehingga membantu meningkatkan keadaan konstipasi dan melambatkan
peristaltic usus (NHS UK, 2015).

2.5.1.4 Eliminasi
Kembalinya fungsi gastrointestinal pasca operasi ditunjukkan dengan kembalinya
peristaltic dan motilitas GI yang ditunjukkan dengan adanya kentut; tidak ada nyeri
abdomen; kembung; mual dan muntah (Black & Hawks, 2014). Biasanya pasien masih
terpasang NGT selama beberapa hari dengan tujuan dekompresi lambung hingga
peristaltic kembali dan pasien dapat mulai mendapat asupan cairan dan makanan
peroral. Pasien harus diinformasikan mengenai risiko peningkatan urgensi dan frekuensi
kebiasaan defekasi setelah operasi, risiko inkontinensia flatus, tenesmus, dan disfungsi
seksual dan berkemih (Norton, Williams, Taylor, Nunwa, dan Whayman, 2009).
Kemungkinan risiko tersebut akan membaik dalam 3-12 bulan setelah operasi. Pada hari
pertama pasca operasi pasien sudah seharusnya mampu buang air kecil tanpa gangguan.
Pada hari pertama atau kedua psca operasi, normalnya pasien juga sudah mulai
memproduksi feses dan muncul keinginan untuk defekasi. Hal yang perlu diperhatikan
juga mencegah produksi flatus berlebihan. Minuman bersoda dapat menghasilkan
banyak gas sehingga gerakan usus dapat meningkat. Selain itu, konsumsi sayuran
bedaun hijau termasuk dapat meningkatkan produksi gas sehingga dianjurkan untuk
mengurangi konsumsi sayuran berdaun hijau dalam beberapa minggu (NHS UK, 2015).
Black dan Hawks (2009) menambahkan makanan seperti kacang, jagung, kembang kol,
kubis, brokoli, bungkul, dan polong-polongan merupakan makanan penghasil gas. Gas
juga dapat diproduksi dari makan yang terlalu cepat dan mengunyah permen karet.

2.5.1.5 Perawatan Luka dan Stoma


Pasien dengan stoma perlu dimonitor keluaran stoma dan perlu dilakukan perawatan
khusus untuk menjaga feses jauh dari insisi bedah. Perawat juga perlu mengkaji kondisi
stoma. Stoma harus berwarna kemerahan dan lembap. Kulit sekitar stoma harus bersih
tanpa tanda iritasi. Area peristoma harus dibersihkan dengan air dan sabun lembut
Universitas Indonesia
31

kemudian dikeringkan baru dipasang kantong stoma baru. Kantong stoma harus diganti
dalam 4-5 hari sekali atau jika terjadi kebocoran. Pasien perlu diajarkan untuk
mengosongkan kantong stoma jika sudah penuh 2/3 bagian dan bagaimana
membersihkan kantong stoma. Pasien juga perlu diajarkan tentang pentingnya irigasi
stoma dan pengaturan BAB melalui kolostomi. Waktu terbaik irigasi adalah waktu
dimana dulu pasien dulunya merasa ingin defekasi setiap harinya. Irigasi dilakukan
menggunakan kateter dan air bersih. Jika pasien terpasang drain, maka harus dimonitor
produksi drain dalam 24 jam. Nilailah karakteristik, volume dan bau dari drain (Black &
Hawks, 2014).

2.5.1.6 Discharge Planning


Sebelum pasien dipulangkan, pasien mendapatkan edukasi seputar perawatan di rumah.
Edukasi harus meliputi penggantian perban luka, pembatasan diet atau aktivitas,
perawatan kolostomi, dan manifestasi dari osbtruksi dan perforasi intestinal (Black dan
Hawks, 2014). Pasien juga perlu diberitahu bahwa mungkin membutuhkan waktu
beberapa minggu untuk mengembalikan fungsi eliminasi dan kebiasaan BAB. Selain
itu, pasien dengan stoma perlu dipersiapkan secara mental untuk menerima kondisi
BAB bukan dengan anus. Intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong
pasien terlibat dalma perawatan stoma sejak dalam masa perawatan di rumah sakit
(Burch, 2009).

2.6 Terapi Nutrisi


Pasien dengan kanker kolorektal perlu mendapatkan terapi nutrisi yang sesuai dengan
kondisi penyakitnya. Penyakit yang melibatkan fungsi pencernaan berisiko untuk
menimbulkan perubahan status nutrisi. Hal tersebut berkaitan dengan disfungsi organ
penyerapan makanan maupun efek pengobatan yang menyebabkan penurunan nafsu
makan dan mual muntah (CCAC, 2009). Pasien kanker kolorektal perlu mendapatkan
berbagai komponen nutrisi untuk menunjang pemulihan.

2.6.1 Komponen Nutrisi

2.6.1.1 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama tubuh. Berdasarkan susunan kimianya,
karbohidrat di golongkan menjadi tiga jenis yaitu monosakarida, disakarida, dan
poliskarida. Ketiganya dicerna secara mekanik dan kimia sehingga dapat diabsorpsi
Universitas Indonesia
32

usus. Metabolisme karbohidrat merupakan sumber energi utama tubuh. Hampir 80%
energi dihasilkan dari karbohidrat. Setiap 1 gram karbohidrat akan dihasilkan 4
kilokalori (kkal).

2.6.1.2 Protein
Protein adalah senyawa kompleks yang tersusun atas asam amino atau peptida. Setiap
hari sekitar 200 gr asam amino diabsorbsi melalui ileum dan masuk ke kapiler kalpiler
darah vilis melalui proses difusi, selanjutnya di bawa ke vena porta hepakatika. Protein
menjadi sumber energi dengan menghasilkan 4 kkal setiap 1 gram nya..

2.6.1.3 Lemak
Lemak atau lipid merupakan sumber energi yang menghasilkan jumlah kalori lebih
besar dari pada karbohidrat dan protein. Lemak memberikan kalori dimana dalam 1 gr
lemak pada peristiwa oksidasi akan menghasilkan kalori sebanyak 9 kkal. Metabolisme
lemak terjadi di hati, ketika lemak di absorbsi di usus halus atau di lepaskan dari
jaringan adiposa, gliserol, yang merupakan bagian dari lemakndi pecah menjadi piruvat,
asam lemak, dan komponen lemak lainnya.

2.6.1.4 Vitamin
Vitamin merupakan komponen organic yang di butuhkan tubuh dalam jumlah kecil dan
tidak dapat di produksi dalam tubuh. Vitamin sangat berperan dalam proses
metabolisme karena fungsinya sebagai katalisator. Vitamin yang larut dalam air seperti
vitamin B dan vitamin C, mudah di absorbsi dalam epithelium mukosa usus melalui
proses difusi, kecuali vitamin B12 yang hanya dapat di absorbsi dengan bantuan
intrinsic faktor yang dihasilkan oleh sel pariental lambung. Vitamin B12, diabsorbsi
pada ileum terminal. Sedangkan vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin
A,D,E,dan K akan diabsorbsi dalam lemak seperti vitamin A,D,E,K dan B12 yang di
absorbsi dari darah di simpan dalam hati dan kemudian dipergunakan kembali jika di
perlukan oleh tubuh.

2.6.1.5 Mineral
Mineral adalah ion organik esensial untuk tubuh karena peranannya sebagai katalis
dalam reaksi biokimia. Absorbsi mineral terjadi melalui proses difusi dan transport
aktif. Meningkatkan absorbsi sodium di pengaruhi oleh asupan makanan yang tinggi
natrium dan pengaruh hormon aldosteron. Ion klorida, yodium, bikarbonat, dan nitrat

Universitas Indonesia
33

diabsorbsi melalui proses difusi, sedangkan sulfat dan fosfat masuk ke epitel usus hanya
dengan transport aktif.

2.6.2 Status Nutrisi


Penentuan status nutrisi pasien dengan kanker kolorektal dilakukan untuk menentukan
terapi nutrisi yang sesuai dengan kondisi perkembangan penyakitnya. Terdapat
beberapa metode yang sering digunakan untuk menentukan status nutrisi pasien di
rumah sakit, termasuk dengan Body Mass Index (BMI) dan Ideal Body Weight (IBW).

a. Body Mass Index (BMI)


Body Mass Index atau indeks masa tubuh merupakan ukuran dari gambaran berat badan
seseorang dengan tinggi badan. BMI dihubungkan dengan total lemak dalam tubuh dan
sebagai panduan untuk mengkaji kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas.

Indeks Masa Tubuh =

Tabel 2.5 Batas ambang indeks masa tubuh (IMT) di Indonesia


Kategori IMT
Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat sedang 17,0 ─ 18,5
Normal 18,5 ─ 25,0
Kelebihan berat badan tingkat ringan >25,0 – 27,0
Gemuk
Kelebihan berat badan tingkat berat >27,0
(Sumber: Depkes 2002, dalam Asmadi, 2008)

b. Ideal Body Weight (IBW)


Ideal body weight atau berat badan ideal merupakan perhitungan berat badan optimal
dalam fungsi tubuh yang sehat. Berat badan ideal adalah jumlah tinggi badan dalam
sentimeter dikurangi dengan 100 dan dikurangi 10% dari jumlah itu.
Berat badan ideal (kg) = [Tinggi badan (cm) – 100] –
[10% (Tinggi badan – 100)]

Universitas Indonesia
34

2.6.3 Penghitungan Kebutuhan Energi


Metode yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan energi adalah formula
kebutuhan kalori murni, formula kebutuhan kalori dengan faktor koreksi stres metabolik
dan aktivitas, kalori/kgBB, dan kalorimetri. Dalam kasus obesitas, stress metabolik
dikoreksi sebesar 10% dan aktivitas dikoreksi sebesar 20% (Judges et al, 2012).
Sedangkan angka yang digunakan dalam mengestimasi kalori adalah 25 kkal/kgBB.
Formulasi yang digunakan adalah persamaan Harris-Benedict, Schofield, dan Mifflin
(Porter, 2016) :
 Schofield
Usia (tahun) Laki-laki Perempuan
10 – 17 74 BB + 2,754 56 BB + 2,898
18 – 29 63 BB + 2,896 62 BB + 2,036
30 – 59 48 BB + 3,653 34 BB + 3,358
≥ 60 49 BB + 2,459 38 BB + 2,755
60 – 74 (modifikasi) 49,9 BB + 2,930 38,6 BB + 2,875
≥ 60 (modifikasi) 35 BB + 3,434 41 BB + 2,610

 Harris-Benedict
Laki-laki 66,5 + 13,8 BB + 5,0 TB – 6,8 usia
Perempuan 655,1 + 9,6 BB + 1,8 TB – 4,7 usia

 Mifflin
Laki-laki 10 BB + 6,25 TB – 5 usia + 5
Perempuan 10 BB + 6,25 TB – 5 usia – 161

2.6.4 Peran Perawat dalam Terapi Nutrisi


Transformasi dalam pelayanan kesehatan dan kelompok pasien dibutuhkan seiring
dengan peningkatan kebutuhan pelayanan berbasis bukti dan pembaharuan dalam
praktik keperawatan. Dalam merawat pasien dengan kanker kolorektal, perawat perlu
mendiskusikan kebutuhan nutrisi pasien bersama dengan tim dukungan nutrisi,
memonitor asupan nutrisi, dan memperhatikan perubahan status nutrisi pasien. Pasien

Universitas Indonesia
35

dengan keganasan pada sistem pencernaan rentan mengalami gangguan pemenuhan


kebutuhan nutrisi sehingga perawat mengambil peran strategis untuk mengamati dan
memberikan tindakan yang tepat. Peran perawat dalam terapi nutrisi menurut Boeykens.
& Hecke (2018) antara lain :
a. Mengidentifikasi risiko gangguan nutrisi pasien dan berpartisipasi dalam
pengkajian status nutrisi bersama interdisipliner dengan memasukkan data
keperawatan yang relevan seperti riwayat medis, pengobatan dan nutrisi,
pemeriksaan klinis, serta pertimbangan status fungsional, psikososial, budaya,
faktor ekonomi, dan spiritual pasien.
b. Menganalisis secara independen dan kolaborasi mengenai kebutuhan nutrisi pasien.
c. Mengidentifikasi kebutuhan edukasi dan kemampuan pasien/keluarga dalam
menerapkan terapi nutrisi.
d. Memilih, mengganti, atau memperbaiki akses nutrisi enteral atau parenteral.
e. Merekomendasikan bersama interdisipliner mengenai formulasi terapi nutrisi, rute
pemberian, dan perkembangannya (inisiasi, kemajuan, dan penghentian).
f. Memberikan pendidikan dan dukungan berkelanjutan bagi para profesional
perawatan kesehatan, pasien/keluarga, dan pemberi perawatan.
g. Berpartisipasi dalam perawatan pasien di rumah jika harus diberikan terapi nutrisi
enteral dan parenteral.
h. Membuat prosedur sesuai dengan pedoman berbasis bukti.

Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.1. Pengkajian Keperawatan


Pengkajian dalam proses keperawatan dilakukan melalui metode anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang didukung dengan pemeriksaan penunjang.
3.1.1 Informasi Umum
Nama Klien : Ny.TR
Usia : 58 tahun
Tanggal Lahir : 9 Januari 1961
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 4 April 2019
Diagnosis Medis : Adenokarsinoma sigmoid pro tutup kolostomi

3.1.2 Riwayat Keperawatan


3.1.2.1 Keluhan Utama
Ny.TR (58 tahun) masuk ke intermediate ward RSUPN Cipto Mangunkosumo paska
operasi relaparatomi untuk fistula enterokutan pada kebocoran anastomosis post
Hartmann reversal (tutup kolostomi). Pasien tampak sesak, bernapas cepat, dan tidak
dapat membatukkan dahak. Terdapat luka operasi pada abdomen, drain pada pelvic
floor, dan luka post tutup kolostomi pada abdomen kiri bawah. Pasien terpasang
ileostomi pada abdomen kiri atas dengan high output.

3.1.2.2 Riwayat Penyakit Saat ini


Ny.TR (58 tahun) memiliki keluhan sulit buang air besar. Keluhan baru pertama kali
dirasakan karena kebiasaan BAB 1-2 hari sekali selalu lancar. Pasien mengonsumsi obat
pencahar oral untuk melancarkan BAB namun tidak ada hasil. Pasien juga mencoba
obat pencahar supositori dan hanya terasa mulas tanpa keluar feses. Setelah hari ke 8
tidak BAB, akhirnya pasien memeriksakan diri ke Puskesmas lalu dirujuk ke rumah

36 Universitas Indonesia
37

sakit daerah. Pasien didiagnosis mengalami ileus obstruktif. Kemudian pasien dirujuk
ke RSUPN Cipto Mangunkosumo, didiagnosis mengalami adenokarsinoma sigmoid
T4aN2M0, dan dilakukan operasi pembuatan kolostomi pada 14 Februari 2018. Pasien
telah menjalani kemoterapi 8 siklus, dikatakan ukuran kanker mengecil. Pasien
direncanakan menjalani operasi tutup stoma.

Ny.TR menjalani operasi tutup stoma pada tanggal 15 April 2019. Tindakan
pembedahan yang dilakukan adalah laparatomi adhesiolisis, Hartmann reversal, dan
anastomosis end to end ileo-ileal. Pasien menjalani masa pemulihan paska operasi di
ruang ICU, HCU, kemudian di intermediate ward 401. Pada hari ketiga masa perawatan
di 401, pasien mengalami dehisen pada luka operasi. selain itu, dari hasil tes norit
diketahui adanya feses pada dehisen luka. Pasien diputuskan menjalani relaparatomi.

3.1.2.3 Riwayat Penyakit Masa Lalu


Ny.TR (58 tahun) memiliki riwayat hipertensi sejak 2 tahun lalu. Pasien rutin
mengonsumsi amlodipin 1 x 5 mg sehari. Pasien juga rutin memeriksakan kondisi
kesehatannya ke apotek atau saat ada kegiatan Posbindu satu bulan sekali.

3.1.2.4 Riwayat Kesehatan Keluarga


Ny.TR (58 tahun) memiliki keluarga dengan riwayat penyakit keganasan. Adik kandung
pasien mengalami tumor payudara dan telah dilakukan operasi pengangkatan tumor.
Saat ini adik kandung pasien dalam kondisi sehat. Selain itu, kurang dari 1 tahun lalu
keponakan kandung pasien meninggal akibat kanker hati.

3.1.3 Pengkajian Keperawatan Berdasarkan Kebutuhan Manusia


3.1.3.1 Aktivitas dan Istirahat
Ny.TR menyatakan aktivitasnya berkurang sejak terpasang ileostomi. Pasien takut usus
terburai keluar sehingga membatasi aktivitas sehari-hari. Pasien juga khawatir saat nanti
tiba-tiba kentut saat berinteraksi dengan orang lain sehingga sebisa mungkin berada di
sekeliling orang yang memang mengetahui kondisinya. Selama di rumah sakit, pasien
menjalankan ibadah solat dengan duduk di kasur. Rentang gerak bebas dengan
kelemahan, tidak tremor, dan tidak ada deformitas. Kekuatan otot ektremitas atas dextra

Universitas Indonesia
38

5555, ekstremitas atas sinistra 5555, ekstremitas bawah dextra 5555 dan esktremitas
bawah sinistra 5555. Pasien mampu melakukan perawatan stoma secara mandiri oleh
keluarga.

3.1.3.2 Sirkulasi
Hasil pengkajian pada tanggal 1 Mei 2019 menunjukan tekanan darah 161/95 mmHg,
MAP 117 mmHg, frekuensi nadi 111x/menit kuat teratur, bunyi jantung S1 dan S2
normal, murmur (-), gallop (-), tidak ada distensi vena jugularis, akral hangat, pengisian
kapiler < 3 detik, warna ekstremitas merah muda, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, dan membran mukosa merah pucat.

3.1.3.3 Pernapasan
Hasil pengkajian status pernapasan frekuensi napas cepat, reguler 24x/menit, sesak, dan
tidak tampak tanda sianosis. Pasien mengatakan tidak ada riwayat asma dan penyakit
pernapasan lainnya. Kedalaman nafas normal, retraksi minimal, pengembangan dada
simetris, penggunaan otot bantu nafas (-), nafas cuping hidung (-), taktil fremitus
normal, dan bunyi nafas ronki pada lobus kanan tengah dan atas paru.

3.1.3.4 Nutrisi dan Cairan


Hasil pengkajian tanggal 1 Mei 2019, didapatkan data lingkar lengan atas pasien 32 cm
dan tinggi badan adalah 157 cm. Estimasi berat badan dari lingkar lengan atas adalah
68,8kg. Berdasarkan berat dan tinggi badan, nilai Indeks Massa Tubuh pasien adalah
27,9 (overweight). Turgor kulit normal, membran mukosa lembab, edema (-),
pembesaran tiroid (-), dan tidak ada sariawan. Estimasi kebutuhan energi menggunakan
rumus Mufflin dengan koreksi stres metabolik 10% adalah 1340 kkal.

3.1.3.5 Eliminasi
Pasien BAK dengan kateter dan BAB melalui ileostomi. Karakteristik urin kuning
jernih. Karakteristik keluaran stoma kuning kehijauan dengan sedikit ampas. Palpasi
abdomen tidak ditemukan distensi dengan bising usus 6 kali permenit dan flatus (+).
Keadaan stoma berwarna merah muda, lembab, tidak terdapat iritasi peristoma berupa
kemerahan pada area disekitar perekat.

Universitas Indonesia
39

3.1.3.6 Higiene
Klien mengatakan semuanya selama ia dirawat yang kedua ini, ia masih mampu
melakukan aktivitas secara mandiri tanpa bantuan seperti dalam hal jalan atau mobilitas,
makan, dan toileting. Akan tetapi, untuk berpakaian dan kebersihan seperti mandi ia
memerlukan bantuan dari keluarga. Alat bantu untuk berjalan tidak ada. Keadaan umum
pasien terlihat rapi, dan sesuai. Akan tetapi, ketika diobservasi selama beberapa hari,
klien terlihat agak kotor terutama di area tangan. Cara berpakaian rapi dan sesuai. Bau
badan dan kutu badan tidak ada.

3.1.3.7 Neurosensori
Pasien tidak mengeluh sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan, kejang, gangguan
penglihatan, maupun gangguan pendengaran. Tidak ada riwayat jatuh atau trauma, pupil
isokor 2mm/2mm, reflex cahaya +/+, reflex tendon normal, paralisis (-), status mental
compos mentis, pasien kooperatif, memori saat ini dan masa lalu baik, alat bantu jalan (-
), lensa kontak (-), alat bantu dengar (-), alat bantu baca (+).

3.1.3.8 Ketidaknyamanan: Nyeri


Pasien mengatakan tidak terasa nyeri pada area stoma. Namun pasien takut terjadi
kebocoran kantung stoma bocor dan luka operasi rusak sehingga cenderung melindungi
area perut.

3.1.3.9 Pernapasan
Hasil pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan diketahui bahwa tidak ada massa atau
tonjolan di area dada. Frekuensi napas pasien adalah 30 kali/menit dan terlihat dangkal
serta cepat. Penggunaan otot bantu aksesoris saat bernafas tidak terlihat. Pernapasan
cuping hidung juga tidak terlihat pada pasien. Pengembangan dada asimetris, terutama
pada dada kiri. Taktil premitus menurun pada area dada kiri. Suara napas vesikuler dan
juga ronki halus pada paru kanan, sedangkan suara napas tidak terdengar pada dada kiri.
Pasien terlihat cukup sering batuk dengan produksi sputum berwarna putih kental dalam
jumlah yang tidak pernah dihitung.

Universitas Indonesia
40

3.1.3.10 Keamanan
Pasien tidak memiliki alergi obat dan makanan. Pengkajian risiko jatuh dengan Morse
Fall Scale menunjukkan risiko rendah jatuh, suhu 36,5⁰ C, diaphoresis (-), kondisi
peristoma tidak terdapat tanda-tanda iritasi berupa kemerahan dan rasa gatal. Risiko
luka tekan rendah dengan Braden Scale.Pasien mengalami luka tekan derajat 2 pada
lipatan gluteus.

3.1.3.11 Integritas Ego dan Interaksi Sosial


Pasien mengatakan menerima dan pasrah kepada Tuhan mengenai kondisi sakinya.
Tidak ada masalah dalam finansial. Pasien memiliki jaminan kesehatan kelas 1. Agama
pasien adalah Islam. Kegiatan keagamaan yang dilakukan saat sakit biasanya solat,
berdoa dan berdzikir. Pasien ditunggu oleh anak atau adiknya secara bergantian.

3.1.3.12 Penyuluhan dan Pembelajaran


Pasien berbicara dalam bahasa Indonesia dan mampu baca tulis dengan tingkat
pendidikan SMA. Tidak ada kesulitan dalam menerima edukasi kesehatan, keluarga
kooperatif membantu pasien menerima edukasi. Kebutuhan edukasi berupa pemilihan
nutrisi, mobilisasi, dan cara merawat luka.

3.2. Pemeriksaan Penunjang


a. CT scan abdomen (02/12/2018)

- Tak tampak dilatasi patologis dan penebalan dinding usus penanda lesi
residif

- Tak tampak limfadenopati regio abdomen pelvis

- Tak tampak kelainan radiologis pada organ intra abdomen

b. Pemeriksaan patologi anatomi (15 Februari 2018)

- Histologik sesuai dengan adenokarsinoma kolon berdiferensiasi baik

- Invasi limfa vaskular dapat ditemukan, batas sayatan tumor bebas tumor

c. USG abdomen (14/02/2018)


Universitas Indonesia
41

- Massa fekolit ec obstruksi kolon suspek massa neoplastik

- Tak tampak kelainan organik pada genitalia interna

d. EKG (04/09/2018)

- Sinus ritmik

e. Kolonoskopi (10/04/2019)

- Polip kolon suspek adenoma

f. USG toraks (09/05/2019)

- Efusi pleura bilateral minimal

g. Radiologi toraks

07/05/2019 ‒ Infiltrat di kedua paru berkurang


‒ Lengkung diafragma kanan letak tinggi dd/ proses subdiafragma
‒ Suspek efusi pleura kanan
‒ Kardiomegali dengan elongasi dan kalsifikasi aorta
29/04/2019 ‒ Infiltrat di kedua paru bertambah
‒ Lengkung diafragma kanan letak tinggi dd/ proses subdiafragma
‒ Kardiomegali dengan elongasi dan kalsifikasi aorta
26/04/2019 ‒ Infiltrat di paru kanan bertambah
‒ Infiltrat di paru kiri berkurang
‒ Kardiomegali
16/04/2019 ‒ Kardiomegali
‒ Infiltrat di lapang tengah paru kiri dd/ pneumonia
‒ Tidak tampak pneumotoraks, pneumomediastinum, dan emfisema
subkutis
15/04/2019 ‒ Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru
09/04/2019 ‒ Kardiomegali dengan CTR 61%

‒ Tak tampak nodul metastasis pada paru

Universitas Indonesia
42

h. Analisa Gas Darah (29/04/2019)

‒ pH 7,54 ↑
‒ HCO3 37,30 ↑
‒ pCO2 40,30
‒ BE 14,5 (basa)
‒ Kesimpulan : alkalosis metabolik

i. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal Jenis Pemeriksaan Hasil Tanda Nilai Rujukan


10/05/2019 Glukosa sewaktu 101 Normal <140 mg/dL
PT 12,3 Tinggi 9,8 – 11,2 detik
APTT 27,2 Rendah 31 – 47 detik
Prokalsitonin 0,53 Tinggi < 0,05 ng/mL
Natrium (Na) darah 128 Rendah 136 – 145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,8 Normal 3,5 – 5,1 mEq/L
Klorida (Cl) darah 87 Rendah 98 – 107 mEq/L
Hemoglobin 9 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 26,6 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 234.000 Normal 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 11.910 Tinggi 5.000 – 10.000 /µL
Albumin 2,6 Rendah 3,5 – 5,2 d/dL
09/05/2019 Ureum darah 34 Normal 21 – 43 mg/dL
Kreatinin darah 0,5 Rendah 0,6 – 1,2 mg/dL
eGFR 107 Tinggi 68 – 102 mL/min/1,72m2
SGPT (ALT) 11 Normal 0 – 55 U/L
SGOT (AST) 22 Normal 5 – 34 U/L
Magnesium (Mg) 1,85 Normal 1,6 – 2,6 mg/dL
darah

Universitas Indonesia
43

Fosfat (P) darah 2,3 Normal 2,3 – 4,7 mg/dL


08/05/2019 Sputum BTA: negatif Normal
Natrium (Na) darah 130 Rendah 136 – 145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,3 Rendah 3,5 – 5,1 mEq/L
Klorida (Cl) darah 87 Rendah 98 – 107 mEq/L
Hemoglobin 9 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 27 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 453.000 Tinggi 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 17.160 Tinggi 5.000 – 10.000 /µL
Albumin 2,6 Rendah 3,5 – 5,2 d/dL
07/05/2019 Sputum BTA: negatif
Natrium (Na) darah 130 Rendah 136 – 145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,3 Rendah 3,5 – 5,1 mEq/L
Klorida (Cl) darah 87 Rendah 98 – 107 mEq/L
Hemoglobin 9 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 26,7 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 426.000 Tinggi 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 19.870 Tinggi 5.000 – 10.000 /µL
Albumin 2,8 Rendah 3,5 – 5,2 d/dL
06/05/2019 Prokalsitonin 0,87 Tinggi < 0,05 ng/mL
05/05/2019 Natrium (Na) darah 128 Rendah 136 – 145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,5 Normal 3,5 – 5,1 mEq/L
Klorida (Cl) darah 89 Rendah 98 – 107 mEq/L
Hemoglobin 9,1 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 26,5 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 382.000 Normal 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 23.410 Tinggi 5.000 – 10.000 /µL
Albumin 2,8 Rendah 3,5 – 5,2 d/dL
03/05/2019 Hemoglobin 9,7 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 29 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 342.000 Normal 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 17.970 Tinggi 5.000 – 10.000 /µL

Universitas Indonesia
44

02/05/2019 Glukosa POCT 78


Glukosa POCT 115
Asam laktat darah 1,5 Normal 0,9 – 1,7 mmol/L
plasma
Ureum darah 32 Normal 21 – 43 mg/dL
Kreatinin darah 0,5 Rendah 0,6 – 1,2 mg/dL
eGFR 107 Tinggi 68 – 102 mL/min/1,72m2
Hemoglobin 8,6 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 25,8 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 355.000 Normal 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 16.460 Tinggi 5.000 – 10.000 /µL
01/05/2019 Prokalsitonin 2,34 Tinggi < 0,05 ng/mL
Natrium (Na) darah 138 Normal 136 – 145 mEq/L
Kalium (K) darah 3,3 Rendah 3,5 – 5,1 mEq/L
Klorida (Cl) darah 92 Rendah 98 – 107 mEq/L
Hemoglobin 8,8 Rendah 12 – 14 g/dL
Hematokrit 15,81 Rendah 37 – 43 %
Trombosit 420.000 Normal 150.000 – 400.000 /µL
Leukosit 23.410 Tinggi 5.0 – 10.000 /µL

3.3. Terapi Kolaborasi


a. Farmakologi
1 Mei 2019
1. Fluimucyl 3 x 200mg (PO)
2. KCl pulv 3 x 500mg (PO)
3. Amlodipin 1 x 10mg (PO)
4. Cefepime 3 x 2g (IV)
5. Paracetamol 3 x 1g (PO)
6. Ranitidine 2 x 50mg (PO) stop 9 Mei 2019
7. Metoclopramide 3 x 10mg (IV)
8. Ventolin 3 x 1ampul (inhalasi)
2 Mei 2019
Universitas Indonesia
45

1. Loperamide 3 x 2mg (PO)


3 Mei 2019
1. Metronidazole 3 x 100cc (IV)
2. Asam folat 1 x 0.5mg (PO)
3. Vitamin C 2 x 50mg (PO)
4. Vitamin B kompleks 3 x 1tablet (PO)
6 Mei 2019
1. NaCl kapsul 2 x 1kapsul (PO)
7 Mei 2019
1. Zink 1 x 20mg (PO)
2. Clindamicyn 4 x 300mg (PO)
3. KSR 3 x 500mg (PO)
9 Mei 2019
1. Omeprazole 1 x 40mg (IV)

b. Terapi cairan
1 Mei 2019
1. Ringerfundin 500 cc per 8 jam (stop 10 Mei 2019)
2. Aminofluid 500 cc per 12 jam (stop 10 Mei 2019)
10 Mei 2019
1. Asering 500 cc per 6 jam

3.4. Diagnosis dan Prioritas Masalah Keperawatan


Secara umum, ada beberapa masalah keperawatan yang ditemukan pada pasien, yaitu:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan infeksi saluran
napas
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan high output
ileostomi
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
gangguan penyerapan makanan
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik: pembedahan
dan penekanan

Universitas Indonesia
46

3.5. Rencana Asuhan Keperawatan


Masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas diatasi dengan manajemen jalan napas.
Intervensi tersebut dilaksanakan secara mandiri oleh perawat dan berkolaborasi dengan
profesi kesehatan lain. Intervensi mandiri meliputi auskultasi bunyi napas, catat bunyi
napas tambahan, pantau frekuensi dan kedalaman pernapasan, catat rasio inspirasi-
ekspirasi, catat adanya derajat dispne (misal: mengeluh sesak napas, cemas/gelisah,
distress pernapasan, penggunaan otot bantu pernapasan), kaji pasien untuk posisi
nyaman (misal: peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur),
observasi karateristik batuk (misal: menetap, batuk pendek, batuk basah), dorong pasien
untuk latihan batuk efektif, dan anjurkan pasien untuk minum air hangat dalam
membantu mengencerkan dahak.

Asuhan keperawatan untuk masalah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit adalah


dengan menegakkan intervensi manajemen cairan dan elektrolit. Intervensi mandiri
yang dilakukan perawat adalah monitor balans cairan, dorong asupan cairan sesuai
kebutuhan tubuh, dan evaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa. Sedangkan
intervensi kolaborasi terkait manajemen cairan dan elektrolit adalah dengan monitor
hasil pemeriksaan laboratorium seperti hematokrit dan elektroli dan berikan cairan
intravena dan elektrolit sesuai indikasi.

Intervensi untuk mengatasi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


adalah dengan pemberian terapi nutrisi. Tindakan yang direncanakan meliputi kaji
status nutrisi, monitor asupan diet, berikan makan sedikit dan sering, dorong kebersihan
mulut, dan berikan edukasi mengenai jenis makanan yang disarankan untuk ileostomi.
Intervensi kolaborasi yang dilakukan yaitu pantau pemeriksaan laboratorium (misal:
BUN, albumin serum, transferin, natrium, dan kalium), konsul dengan dietisien untuk
pemberian nutrisi, dan berikan obat sesuai indikasi seperti sediaan besi, vitamin B
kompleks, dan antiemetik: proklorperazin (compazine), trimetobenzamid (tigan).

Kerusakan integritas kulit diatasi dengan dua intervensi yaitu perawatan luka dan
perawatan luka tekan. Intervensi perawatan luka yaitu bersihkan dressing dan plester

Universitas Indonesia
47

perekat, pantau karakteristik luka, termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau, bersihkan
dengan normal saline, lakukan dressing, sesuaikan dengan tipe luka, pertahankan teknik
dressing steril saat melakukan perawatan luka, inspeksi luka setiap pergantian dressing,
bandingkan dan catat perubahan pada luka, dan dokumentasikan lokasi, ukuran, dan
penampilan luka. Intervensi untuk perawatan luka tekan antara lain lakukan pengkajian
kulit meliputi luka terbuka, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, masase kulit dan
penonjolan tulang, pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan, gunakan kasur
angin, ubah posisi setiap 2 jam , dan lakukan perawatan luka tekan dengan teknik steril.

3.6. Implementasi dan Evaluasi Asuhan Keperawatan


3.6.1 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
Ny.TR masuk ke ruangan intermediate ward dengan napas cepat. Hasil pengkajian fisik
pada 1 Mei 2019 didapatkan RR 24x permenit, SaO2 90%, bunyi napas ronki pada lobus
paru tengah dan atas, dan pasien belum mampu melakukan batuk efektif. Telah
dilakukan implementasi mengkaji pola pernapasan, memberikan posisi semi fowler,
memberikan edukasi batuk efektif, menganjurkan pasien untuk minum air hangat,
melakukan dan mengajarkan fisioterapi dada kepada keluarga, kolaborasi memberikan
terapi oksigen per nasal kanul 5 LPM, dan kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl
3 x 200mg (PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi).

Masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas dapat teratasi pada 10 Mei 2019. Pasien
mengatakan dapat bernapas dengan lega. Hasil pemeriksaan RR 18x permenit dan SaO2
96% tanpa terapi oksigen. Pasien sudah dapat mengeluarkan dahak berwarna putih
kental pada 3 Mei 2019, bertahap hingga merasa dapat mengeluarkan semua dahak pada
hari terakhir implementasi manajemen bersihan jalan napas. Pemeriksaan rontgen toraks
pada 7 Mei 2019 mendapatkan hasil infiltrat kedua lapang paru berkurang. Selain itu,
pemeriksaan dahak pada 7 dan 8 Mei 2019 menujukkan BTA negatif.

3.6.2 Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit


Ny.TR mengalami hight output ileostomi. Pada 3 hari pertama masa perawatan di
intermediate ward, rata-rata output ileostomi perhari mencapai 2.265 mL. Implementasi
yang dilakukan untuk mengatasi masalah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Universitas Indonesia
48

adalah memoonitor balans cairan, mendorong asupan cairan sesuai kebutuhan tubuh,
mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa, kolaborasi pemeriksaan
laboratorium, dan kolaborasi pemberian cairan intravena dan elektrolit sesuai indikasi.

Balans cairan Ny.TR selama masa perawatan cenderung negatif pada awal dan positif
pada akhir masa perawatan. Bagan dibawah ini menyajikan grafik balans cairan Ny.TR :

Balans Cairan
1500

1000

500

-500

-1000

-1500
Balans Cairan

3.6.3 Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang Dari Kebutuhan Tubuh


Ny.TR mendapatkan nutrisi bertahap dari makan cair ke makan lunak. Makan cair
berupa susu LLM diberikan per NGT pada 1 Mei 2019 dan per oral pada 2 Mei 2019.
Selang NGT dilepas pada 2 Mei 2019. Sejak 3 Mei 2019, pasien mendapatkan makan
lunak berupa bubur sumsum atau bubur sayur serta ekstra susu peptamen. Perawat
berperan dalam monitoring nutrisi pasien. Asupan per oral pasien dapat dikatakan
cukup baik dengan menghabiskan ½ hingga 1 porsi makan cair maupun lunak.

Perawat menjalankan peran edukator dalam terapi nutrisi. Pada tanggal 1 Mei 2019,
perawat memberikan edukasi mengenai alasan feses yang keluar melalui stoma lebih
cair dibandingkan sebelumnya. Pasien dan keluarga juga diberikan edukasi mengenai
jenis diet yang sesuai untuk kondisi high output ileostomi. Pada tanggal 4 Mei 2019,
Universitas Indonesia
49

perawat menyarankan pasien untuk mengonsumsi ekstra putih telur rebus dari rumah
untuk menunjang proses penyembuhan luka. Selain itu, kolaborasi bersama dokter gizi
klinik juga menyarankan pasien untuk mengonsumsi tablet albumin 3 x 2 tablet perhari.
Edukasi berikutnya dilakukan pada 6 dan 8 Mei 2019 mengenai peran penting nutrisi
dalam penyembuhan luka.

Pasien mendapatkaan terapi nutrisi untuk menunjang kebutuhan makro dan


mikronutrien. Implementasi kolaborasi dengan pemberian multivitamin menunjang
kebutuhan mikronutrien pasien. Multivitamin yang diberikan sejak tanggal 3 Mei 2019
adalah vitamin C 2 x 50 mg (PO) dan vitamin B kompleks 3 x 1 tablet (PO). Pasien
mendapatkan terapi parenteral berupa aminofluid pada 1 s.d. 10 Mei 2019. Aminofluid
diberikan dengan laju 41,6 mL perjam. Perawat menganalisis kebutuhan terapi
parenteral, memastikan aliran lancar, dan tidak ada plebitis pada akses intravena.

3.6.4 Kerusakan Integritas Kulit


Masalah kerusakan integritas kulit pada Ny.TR diatasi dengan perawatan luka. Pada
tanggal 2 Mei 2019, dilakukan perawatan pada luka post laparatomi. Luka dibersihkan
dengan NaCl kemudian digunakan sorbact gel pada luka insisi operasi yang mengalami
dehisen dan kasa antiseptik pada luka dengan jahitan baik. Kantung stoma dipasang
pada bagian terbawah luka insisi untuk menampung drainage. Luka bekas kolostomi
dibersihkan dan digunakan kasa antiseptik. Begitu pula luka drain pada pelvic floor
dibersihkan dengan NaCl dan dibalut dengan kasa antiseptik. Kondisi luka dehisen
tampak perdarahan minimal dan terdapat pus. Luka bekas kolostomi tampak baik,
jahitan rapat, dan tidak ada drainage. Begitu pula luka pada drain tak tampak komplikasi
tanda gejala infeksi.

Perawatan luka berikutnya dilakukan pada tanggal 6 Mei 2019. Kondisi luka post
laparatomi tampak semakin dehisen. Proses perawatan luka dilakukan sama dengan
sebelumnya, hanya kali ini menggunakan dua buah kantung stoma untuk menampung
drainage dan menutup bagian luka yang mengalami dehisen. Kondisi luka bekas
kolostomi dan drain tampak baik. Selain itu, perawatan ileostomi dilakukan dengan

Universitas Indonesia
50

membersihkan stoma dan mengganti kantung stoma. Kondisi stoma kemerahan dan tak
ada iritasi pada area peristoma.
Sejak tanggal 7 Mei 2019, diputuskan untuk melakukan perawatan luka dehisen pada
Ny.TR menggunakan metode parcel dressing. Luka dibersikan dengan disinfektan,
kemudian dikeringkan. Prinsip steril ditegakkan untuk meminimalkan infeksi. Luka
ditutup dengan sorbact gel dan dilapisi dress pad untuk absorpsi. Area tepi luka dibalut
dengan alginate. Luka kemudian ditutup dengan kasa steril. Parcel dressing dapat
bertahan 3 hari, dengan hanya mengganti bagian kasa steril jika terjadi rembes.
Perawatan luka berikutnya dilakukan dengan metode yang sama dan berdampak baik
terhadap tumbuhnya jaringan baru, slough minimal, dan tidak ada perdarahan.

Selain luka operasi, Ny.TR juga mengalami masalah luka tekan. Pada tanggal 3 Mei
2019, dilakukan perawatan luka tekan dengan membersihkan dan mengaplikasikan
balutan luka tekan. Pasien juga mulai menggunakan kasur angin. Pasien dan keluarga
diedukasi untuk melakukan reposisi sebagai upaya pencegahan keparahan luka tekan.
Keluarga telah melakukan massase punggung dan sakrum dengan minyak kelapa pada
pasien. Setelah dilakukan perawatan dengan balutan luka tekan pada 6 Mei 2019, luka
tekan mengalami perbaikan dengan hanya menyisakan ruam kemerahan.

Akses vena sentral dibersihkan dan diganti balutan pada 5 Mei 2019. Terdapat tanda
kemerahan pada area insersi dan pasien mengeluh nyeri. Pada tanggal 8 Mei 2019,
akhirnya akses vena sentral dilepas dan diganti dengan akses perifer. Pasien mengatakan
lebih nyaman dengan selang infus melalui tangan kanan.

Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Analisis Kasus dengan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat


Perkotaan
Kanker rektum merupakan salah satu penyakit degeneratif yang semakin tahun
perkembangannya semakin bertambah. Menurut World Health Organization (WHO)
perkembangan kasus kanker kolorektal bertambah hingga tujuh juta kasus baru tiap
tahunnya. Sedangkan di Indonesia, menurut data hasil Riskesdas (2013) dijelaskan
bahwa kasus kanker kolorektal terjadi lebih tinggi pada masyarakat perkotaan dibanding
masyarakat pedesaan. Hal tersebut didukung oleh data bahwa pada masyarakat
perkotaan cenderung lebih banyak memiliki faktor risiko yang menunjang terjadinya
kanker dibanding masyarakat pedesaan.

Faktor resiko kanker kolorektal seperti pola makan makanan rendah serat, makanan
dengan kadar lemak dan daging tinggi, kebiasaan buruk BAB, dan merokok erat
kaitannya dengan masyarakat perkotaan. Faktor tersebut terbilang cukup tinggi dengan
persentase hasil riset Riskesdas didapatkan data merokok 29,3%, kebiasaan BAB yang
kurang baik 17,4%, prevalensi kurang konsumsi buah dan sayur 93,5%, konsumsi
makanan diawetkan 4,3%, makanan berlemak 40,7%. Hasil pengamatan selama praktik
profesi bahwa pasien-pasien kanker kolorektal di perkotaan memiliki pola faktor risiko
yang sama yaitu riwayat merokok, memiliki kebiasaan pola makan yang tinggi lemak
dan banyak penyedap rasa serta riwayat gangguan pola defekasi.

Risiko kanker kolorektal meningkat berhubungan dengan pola makan. Pada kanker
kolorektal, elemen pada diet lebih diperhatikan dan menjadi hal yang diperhatikan
seperti sayuran, serat dan intale kalsium (Slattery, Curtin, Edwards, Schaffer, 2001;
Slattery et al, 2004). Produk susu tinggi lemak juga dapat meningkatkan risiko kejadian
kanker rektal. Berdasarkan penelitiannya tersebut, hal yang menjadi garis bawah adalah
bahwa peningkatan penanda tumor CIMP+ berhubungan dengan tingginya asam lemak
omega-3 dari makanan. Makanan dengan protein hewan yang tinggi berperan dalam
peningkatan risiko kanker rektum, sedangkan protein nabati dan serta menurunkan
51 Universitas Indonesia
52

risiko kanker rektum. Luchtenborg et al (2005) menjelaskan bahwa konsumsi produk


daging yang sudah diproses (cepat saji) berhubungan dengan mutasi gen APC
sedangkan konsumsi daging sapi tidak menyebabkan mutasi gen tersebut namun
keduanya sama-sama meningkatkan pertumbuhan tumor kolorektal (p 0,04; p 0,01).
Sedangkan konsumsi jenis daging lain seperti daging kambing, domba, kuda juga
meningkatkan risiko pertumbuhan tumor rektum walaupun tanpa mutasi dari gen APC.
Jenis makanan lain yang sering dikonsumsi oleh pasien dengan kanker kolorektal di
perkotaan adalah mereka terbiasa menggunakan penyedap rasa pada masakannya dan
mengkonsumsi masakan cepat saji. Penyedap rasa menyebabkan memicu
perkembangan sel kanker secara langsung maupun tidak langsung (Sjamsuhidajat,
2010).

4.2 Analisis Gambaran Kasus dengan Teori


Ny.TR (58 tahun) didiagnosis mengalami adenokarsinoma sigmoid T4aN2M0.
Klasifikasi TNM tersebut mengindikasikan bahwa sel kanker sudah berkembang
melewati dinding kolorektal dan peritoneum viseral, tetapi belum mencapai organ
terdekat (T4a). Kanker sudah menyebar ke 4 kelenjar getah bening terdekat (N2) dan
belum bermetastasis (M0). Stadium T4aN2M0 termasuk dalam kategori IIIC dalam
sistem TNM. Jika menggunakan sistem Duke, maka stadium kanker kolorektal Ny.TR
adalah Duke C karena kanker telah menyebar pada minimal satu kelenjar getah bening
terdekat tetapi belum pada organ tubuh lainnya. Istilah adenokarsinoma digunakan pada
sel kanker pada jaringan epitel (penutup permukaan) yang menyerupai jaringan kelenjar
dan melepaskan lendir/cairan.

Kanker kolorektal ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang. Pemeriksaan


rectal thouce pada saat Ny.TR datang pertama kali ke RS pada 13 April 2018 mendapati
tonus sphincter ani (TSA) baik, mukosa licin, ampula kolaps, teraba masa ekstra lumen
8 cm dari ACL, dan nyeri tekan tidak ada. Hasil pemeriksaan patologi anatomik pada
tanggal 15 Februari 2018 menunjukkan bahwa jaringan kolon mengandung massa
tumor ganas epitel serta terdapat invasi limfovaskular. Penentuan stadium kanker
kolorektal memerlukan pemeriksaan penunjang seperti berdasarkan hasil hasil
laboratorium patologi. Audisio, Geraghty, & Longo (2001) menjelaskan bahwa

Universitas Indonesia
53

penegakkan diagnosis kanker kolorektal dan berguna untuk menentukan bagaimana


perawatan yang tepat untuk pasien dan menentukan ukuran kesuksesan perawatan yang
diberikan.

Ny.TR menjalani operasi pembuatan stoma pada 14 Februari 2018. Keganasan


kolorektal menimbulkan hambatan pada pengeluaran feses. Tindakan pembuatan
kolostomi dapat dilakukan untuk mengatasi obstruksi dan mengevakuasi feses (Melville
& Baker, 2010). Jenis kolostomi yang dilakukan adalah end kolostomi. End kolostomi
dibuat melalui pembedahan dengan melibatkan konstruksi kolostomi pada regio iliaka
kiri (Burch, 2008). Dibuatnya kolostomi merupakan langkah terakhir saat usaha
konvensional seperti modifikasi pola makan dan obat-obatan tidak dapat mengatasi
gejala. Pada laporan operasi Ny.TR tertanggal 14 Februari 2019, dilakukan reseksi
tumor rektosigmoid selain pembuatan end kolostomi. Reseksi rektosigmoid, penutupan
stump rektum, dan pembuatan end kolostomi merupakan serangkaian prosedur
Hartmann (Hallam, Mothe, & Tirumulaju, 2018). Prosedur Hartmann dapat diikuti
dengan Hartmann reversal untuk menutup stoma setelah dilakukan pemberian terapi
adjuvant yang menunjang kesembuhan dari diagnosis kanker.

Kemoterapi merupakan salah satu terapi lanjutan setelah treatment utama kanker
ditegakkan. Dalam hal ini, Ny.TR menjalani kemoterapi setelah tindakan reseksi tumor
rektosigmoid dilakukan. Jenis kemoterapi yang dijalani Ny.TR adalah XELOX
sebanyak 8 siklus. Kemoterapi XELOX terdiri atas capecitabine (xeloda) dan
oxaliplatin dengan rincian oxaliplatin 130 mg/m2 selama 2 jam pada hari pertama;
capecitabine 1000 mg/m2 sebanyak 2x sehari pada hari pertama s.d. ke hari 14 setiap 3
minggu; dan diulang setiap 3 minggu hingga total 6 bulan terapi perioperatif
(Kemenkes, 2016). Ny.TR mengalami kanker kolorektal pada stadium IIIC yang
memang perlu terapi adjuvant XELOX sesuai protokol Panduan Pelayanan Klinis
Kanker Rektum (PPKRektum) Kemenkes RI.

Setelah menjalani terapi adjuvant dengan kemoterapi, Ny.TR masuk ke ruang


perawatan rumah sakit untuk menjalani prosedur tutup kolostomi. Salah satu
pemeriksaan penunjang yang menjadi prasyarat prosedur pembedahan adalah

Universitas Indonesia
54

kolonoskopi. Pada 10 April 2019, Ny.TR menjalani pemeriksaan kolonoskopi dan


diperoleh hasil terdapat polip kolon suspek adenoma. pembedahan meliputi adhesiolisis,
Hartmann reversal, dan anastomosis end to end ileoileal pada 15 April 2019. Laporan
operasi menjelaskan bahwa terjadi perlengketan antara usus dengan usus, usus dengan
dinding peritoneum, dan usus dengan pelvic floor. Perlengketan atau adesi terjadi ketika
dua jaringan yang seharusnya bebas namun menjadi terhubung oleh jaringan fibrosa.
Ward & Panitch (2011) menyebutkan bahwa pasien yang menjalani pembedahan perut
memiliki peluang 0,93 untuk mengalami adesi. Upaya untuk membebaskan
perlengketan disebut adhesiolisis. Pada Ny.TR, dilakukan adhesiolisis tajam yang
menyebabkan laserasi mukosa ileum. Kemudian dilakukan anastomosis end to end
fungsional ileoileal.

Setelah dilakukan prosedur tutup stoma, Ny.TR mengalami fistula enterokutan. Hal
tersebut diketahui dari keluarnya feses melalui jahitan luka operasi yang mengalami
dehisen. Fistula enterokutan merupakan jalur abnormal antara perut, usus, dan kulit
sehingga isi saluran GI mengalir keluar melalui kulit (Badrasawi, Shahar, & Sagap,
2014). Dalam kasus ini, fistula terjadi akibat kebocoran pada anastomosis ileo-ileal
paska pembedahan sebelumnya. Malignansi merupakan salah satu etiologi fistula
enterokutan (Austin, 2006). Selain itu, kesalahan pada proses pembedahan menjadi
penyebab utama terjadinya fistula enterokutan (Badrasawi, Shahar, & Sagap, 2014).
Upaya untuk mengatasi fistula enterokutan adalah dengan pembedahan (relaparatomi).
Ny.TR menjalani prosedur relaparatomi pada 26 April 2019. Prosedur pembedahan
yang dilakukan adalah adesiolisis dan pembuatan ileostomi. Pada catatan operasi,
tertulis dilakukan eksteriorisasi bagian anastomosis ileoileal yang mengalami kebocoran
sebagai sebagai ileostomi. Ileostomi merupakan lubang yang dibuat pada bagian
anterior abdomen untuk mengeluarkan feses secara langsung dari ileum. Salah satu
indikasi pembuatan ileostomi adalah untuk mengatasi kebocoran yang terjadi pada
anastomosis (Melville & Baker, 2010)..

Produksi ileostomi Ny.TR pada pengamatan hari pertama perawatan di intermediate


ward adalah 1950 mL. Villafranca et al (2018) mendefinisikan high out stoma (HOS)
sebagai produksi ileostomi ≥ 1500 mL per hari. Hal tersebut berkaitan dengan buruknya

Universitas Indonesia
55

status nutrisi pasien saat pulang yang dibuktikan dengan penurunan BMI saat pasien
pulang dan tingginya angka infeksi pada pasien dengan HOS. Terapi nutrisi yang terdiri
dari initial treatment, follow up treatment, dan evaluate treatment dalam penelitian
Villafranca et al (2018) terbukti 100% efektif dalam mencegah perburukan status nutrisi
pasien.

Salah satu komplikasi paska pembedahan adalah timbulnya dehisen pada luka. Ny.TR
dengan status nutrisi overweight memiliki peluang yang besar untuk mengalami
dehisen. Menurut Hahler (2009), pasien yang mengalami obesitas memiliki jaringan
lemak yang sangat rentan terhadap infeksi selama fase pembedahan sehingga rentan
mengalami infeksi dan dehisen pada luka operasi. Sivender et al. (2015) dimana
dehisenbanyak terjadi pada pasien dengan BMI > 25 yaitu sebanyak 13% dan terjadi
pada pasien dengan BMI < 18,5 yaitu 13%. Selain itu, menurut NICE (2008) jaringan
lemak memiliki vaskularisasi yang buruk dan efeknya pada oksigenasi jaringan serta
fungsi respon imun yang dianggap meningkatkan risiko infeksi luka operasi yang
berpotensi menyebabkan terjadinya dehisen.

Nutrisi merupakan aspek penting dalam pemulihan paska pembedahan. Dua hal dapat
yang menjadi indikator tidak tercukupinya nutrisi adalah anemia dan hipoalbuminemia.
Hasil pemeriksaan Hb tertanggal 1 Mei 2019 pada Ny.TR menunjukkan hasil 8,8 g/dL.
Menurut Ramshort et al. (2010), pasien dengan anemia mengalami proses penyembuhan
yang buruk dan cenderung memiliki celah pada luka. Kehilangan darah saat
perioperatif, menurut Sorensen et al. (2005) menjadi prediktor dari komplikasi pada
luka dan jaringan post operatif yang menyebabkan menurunnya oksigenasi ke jaringan
dimana hal ini mengganggu proses penyembuhan dan meningkatkan risiko infeksi serta
kejadian dehisen.

Ny.TR mengalami hipoalbuminemia. Pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Mei 2019


menunjukkan nilai albumin 2,8 d/dL. Hasil penelitian Hennesey et al. (2010)
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia menjadi prediktor independen infeksi luka
operasi pada pasien yang menjalani operasi kolorektal. Menurut Hitesh et al. (2014) dan
Rivadeneira (2007), hipoalbuminemia berkontribusi pada perpanjangan fase inflamasi

Universitas Indonesia
56

dan fibroplasia, proliferasi, proteoglycan dan sintesis kolagen, neoangiogenesis dan


proses remodeling serta penurunan kekebalan tubuh. Pada kondisi hipoalbuminemia
terjadi perubahan dalam metabolisme sitokin terutama aktivitas interleukin-1 yang
terganggu dan kegagalan pada sistem komplemen (Hussein et al., 2015). Oleh karena
itu, pada kondisi hipoalbuminemia umumnya sering ditemukan infeksi dan menjadi luka
dehisen.

4.3 Analisis Intervensi Terapi Nutrisi


Nutrisi yang optimum merupakan kunci utama untuk pemeliharaan seluruh fase
penyembuhan luka. Menurut Meylani et al. (2012) malnutrisi dapat menghambat
penyembuhan luka operasi, daya tahan tubuh, penurunan fungsi otot jantung dan
pernapasan. Pasien dengan status nutrisi buruk (kelebihan atau kekurangan nutrisi)
mempunyai risiko morbiditas lebih tinggi akibat lama rawat yang lebih panjang. Secara
umum, menurut Boyle (2006) malnutrisi dapat memengaruhi imunitas, dan
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi luka operasi, menyebabkan berkurangnya
kekuatan luka sehingga jaringan luka menjadi rapuh.

Rumus Mufflin dapat digunakan untuk menghitung estimasi kebutuhan energi harian
pada pasien obesitas. Kebutuhan energi Ny.TR dihitung menggunakan rumus Mufflin
dengan koreksi stres metabolik 10% adalah 1340 kkal. Asupan nutrisi Ny.TR beserta
jumlah kalorinya tersaji dalam tabel berikut ini :

Tabel 4.1 Asupan Nutrisi Pasien


Kalori Parenteral
Tanggal (Mei 2019) Asupan Total (kkal)
(kkal) (kkal)
1 LLM 300cc 150 420 570
2 LLM 250cc 125 420 545
3 bubur sumsum ½ 200 420 1720
bubur nasi ½ 400
bubur nasi ½ 400
susu LLM 200cc 100
kacang hijau 200
200cc
4 bubur sumsum 200 420 1780
1/2
bubur saring 1/2 400

Universitas Indonesia
57

Kalori Parenteral
Tanggal (Mei 2019) Asupan Total (kkal)
(kkal) (kkal)
bubur saring 1/2 400
telur 3 210
kacang hijau 150cc 150
jeruk 1
5 bubur sumsum 1/2 200 420 2800
bubur nasi 1 800
bubur nasi 1 800
pisang 1
jeruk 1
telur 4 280
kacang hijau 300cc 300
6 bubur nasi 1 800 420 2555
bubur nasi ½ 400
nasi lunak ½ 400
pisang 2
jeruk 1
melon ½
telur 3 210
kacang hijau 200cc 200
susu LLM 250cc 125
7 bubur nasi 1 800 420 2190
bubur nasi ½ 400
bubur nasi ½ 400
peptamen 100cc 100
pisang 2
jeruk 1
telur 1 70
8 bubur nasi 1 800 420 2660
bubur nasi ½ 400
bubur nasi ½ 400
pepaya 1
melon 1
telur 2 140
peptamen 500cc 500
9 bubur nasi ½ 400 420 2960
bubur nasi ½ 400
bubur nasi ½ 400
peptamen 1200cc 1200
telur 2 140
jeruk 1
10 bubur nasi ½ 400 2680
bubur nasi ½ 400

Universitas Indonesia
58

Kalori Parenteral
Tanggal (Mei 2019) Asupan Total (kkal)
(kkal) (kkal)
bubur nasi ½ 400
peptamen 1200cc 1200
telur 4 280
jeruk 2
11 (s.d. pukul 14.00) bubur nasi 1 800 1890
bubur nasi 1 800
jeruk 1
telur 1 70
peptamen 220cc 220

Dalam 10 hari masa perawatan di intermediate ward, Ny.TR memperoleh asupan nutrisi
yang memenuhi kebutuhan. Selain dari total kalori, asupan protein dari sumber protein
hewani (telur) juga dapat menunjang proses pemulihan. Kolaborasi perawat bersama
dokter dan dietisien dalam terapi nutrisi Ny.TR berdampak pada terpenuhinya
kebutuhan nutrisi sesuai kebutuhan. Dalam hal ini, perawat menjalankan peran sebagai
berikut :

1. Menganalisis kebutuhan nutrisi pasien.


2. Mengidentifikasi kebutuhan edukasi dan kemampuan pasien/keluarga dalam
menerapkan terapi nutrisi.
3. Memilih, mengganti, atau memperbaiki akses nutrisi enteral atau parenteral.
4. Merekomendasikan bersama interdisipliner mengenai formulasi terapi nutrisi, rute
pemberian, dan perkembangannya (inisiasi, kemajuan, dan penghentian).
5. Memberikan pendidikan dan dukungan berkelanjutan bagi para profesional
perawatan kesehatan, pasien/keluarga, dan pemberi perawatan.

Keterlibatan perawat dalam pemberian terapi nutrisi memberikan dampak baik kepada
pasien. Penghitungan kebutuhan kalori, monitor asupan nutrisi, edukasi pasien, dan
keterlibatan perawat dalam pemberian nutrisi enteral/parenteral memberikan pengaruh
positif bagi pemulihan kondisi pasien paska operasi. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang mengaitkan hubungan outcome pasien dengan keberadaan perawat
dalam terapi nutrisi pasien. Hasil penelitian Boeykens. & Hecke (2018) menunjukkan
bahwa kehadiran perawat dalam terapi nutrisi menghasilkan penurunan yang signifikan
Universitas Indonesia
59

infeksi terkait kateter pada terapi parenteral dari 33% hingga 4%. Selain itu,
Penghentian keterlibatan perawat dalam tim terapi nutrisi berkaitan dengan sepsis pada
akses TPN yang meningkat dari 8,8% menjadi 13,2%.

Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Penulis menyimpulkan sesuai dengan pemaparan terkait asuhan keperawatan pasien kanker
rektum yaitu:
1. Kasus kanker kolorektal terjadi lebih tinggi pada masyarakat perkotaan dibanding
masyarakat pedesaan dengan faktor resiko seperti pola makan makanan rendah serat,
makanan dengan kadar lemak dan daging tinggi, lamanya waktu transit sisa hasil
pencernaan dalam saluran kolorektal, merokok, konsumsi makanan berpengawet
meningkatkan kejadian kanker kolorektal.
2. Adanya riwayat konstipasi meningkatkan waktu transit feses dalam kolon meningkat
sehingga berkembang menjadi kanker kolorektal. Sisa hasil metabolisme yang
tertahan lama di dalam kolon, menyebabkan peningkatan kontak mukosa kolon
dengan berbagai zat karsinogen yang dapat memicu pertumbuhan sel kanker dalam
mukosa usus.
3. Pada pasien dengan stoma pada kolon asendens terjadi pemendekan rute absorpsi dan
sekresi yang dapat menyebabkan penurunan kadar natrium dan bikarbonat.
4. Masalah keperawatan yang muncul pada pasien adalah ketidakefektifan bersihan jalan
napas, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan, dan kerusakan integritas kulit.
5. Intervensi utama terapi nutrisi pada pasien dengan kanker kolorektal pro tutup
kolostomi.

5.2 Saran
a. Pada pasien-pasien dengan gangguan pola BAB dalam jangka waktu yang lama,
seperti konstipasi, dianjurkan untuk melakukan screening kanker kolorektal sejak usia
dewasa muda serta mengubah kebiasaan pola makan yang kurang baik.
b. Setelah mendapatkan tindakan operasi atau terapi medis untuk mengatasi kankernya,
pasien perlu mendapatkan pemeriksaan ulang untuk mengevaluasi keefektifan dari
terapi yang telah diberikan.
c. Penurunan kadar natrium yang tejadi pada pasien dengan stoma kolon ascendent
dapat diatasi seiring perbaikan pola, frekuensi, dan konsistensi BAB yang dapat
60 Universitas Indonesia
61

dintervensi dengan melakukan edukasi pemilihan diet dan kolaborasi pemberian terapi
yang dapat mengurangi risiko peningkatan motilitas usus.

Universitas Indonesia
Daftar Pustaka

American Cancer Society. (2014). Colorectal cancer, diakses dari www.cancer.org


American Joint Committee of Cancer. (2009). Colon and rectum cancer staging 7th ed,
diakses dari www.cancerstaging.com
Arenas Villafranca, J. J., López-Rodríguez, C., Abilés, J., Rivera, R., Gándara Adán, N., &
Utrilla Navarro, P. (2015). Protocol for the detection and nutritional management of
high-output stomas. Nutrition journal, 14, 45. doi:10.1186/s12937-015-0034-z
Austin, T. (2006). Nutrition management of enterocutaneous fistula. Nursing and Allied
Health, 28(6): 10.
Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., dan Wagner, C. M. (2013). Nursing
interventions classification (NIC) 6th ed. Philadephia: Elsevier.
Badrasawi, M., Shahar, S., & Sagap, I. (2015). Nutritional Management in Enterocutaneous
Fistula. What is the evidence?. The Malaysian journal of medical sciences : MJMS,
22(4), 6–16.
Black, J. M. dan Hawk, J. H. (2014). Medical-surgical nursing: clinical management for
positive outcome. Elsevier: St.Louis
Boeykens., K. dan Hecke, .V. (2018). Advanced practice nursing: Nutrition Nurse Specialist
role and function. Clinical Nutrition ESPEN, 26(2018), 72-76. doi:
10.1016/j.clnesp.2018.04.011
BPS. (2014). Presentase penduduk daerah perkotaan menurut provinsi 2010-2035, diakses
dari www.bps.do.id
Burch, J. (2008). Stoma care. New Jersey: Wiley Blackwell
CCAS. (2008). Learning about colorectal cancer, diakses dari
www.colorectalcancercanada.com
CRUK. (2015). Dukes’s stages of bowel cancer, diakses dari www.cancerresearchuk.org
Departemen Kesehatan. (2006). Pedoman penyelenggaraan upaya keperawatan kesehatan
masyarakat di Puskesmas (Kepmenkes Nomor 279/Menkes/SK/IV/2006), diakses
dari www.peraturan.bkpm.go.id
Dragovich, T. (2016). Colon cancer clinical presentation, diakses dari
www.emedicine.medscape.com
Efendi, F. dan Makhfudli. (2009). Keperawatan kesehatan komunitas teori dan praktik dalam
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
62 Universitas Indonesia
63

Hallam, S., Mothe, B. S., dan Tirumulaju, R. (2018). Hartmann's procedure, reversal and rate
of stoma-free survival. Annals of the Royal College of Surgeons of England, 100(4),
301-307. doi:10.1308/rcsann.2018.0006
Hanna, T. P. dan Kangolle, A. C. (2010). Cancer control in developing countries: using
health data and health services research to measure and improve access, quality and
efficiency. BMC international health and human rights, 10, 24. doi:10.1186/1472-
698X-10-24
Haseena, M., Malik, M.F., Javed, A., Arshad, S., Asif, N., Zulfiqar, S., dan Hanif, J. (2017).
Water pollution and human health. Allied Academy Journal, 1(3). doi:
10.4066/2529-8046.100020
Herdman, T. H., dan Kamitsuru, S. (2014). NANDA international nursing diagnoses:
Definitions & Classification 2015-2017 10th ed. Oxford: Wiley Blackwel.
Hussein, A. F., Fares, K.M., Mostafa, M.A.M., Mohammed, S.A., Hamed, H.B., & Hagras,
A.M.G. (2015). Implication of Hypoalbuminemia in Early Postoperative
Complications. SECI Oncology. DOI: 10.18056/seci2015.3
Judges, D., Knight, A., Graham, E., dan Goff, L. M. (2012). Estimating energy requirements
in hospitalized underweight and obese patients requiring nutritional support: A
survey of dietetic practice in the united kingdom. European Journal of Clinical
Nutrition, 66(3), 394-8. doi: 10.1038/ejcn.2011.211
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Riset kesehatan dasar 2018, diakses dari
labmandat.litbang.depkes.go.id
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar 2013, diakses dari
labmandat.litbang.depkes.go.id
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Situasi penyakit kanker, diakses dari www.depkes.go.id
Kementerian Kesehatan. (2016). Panduan pelayanan klinis kanker rektum, diakses dari www.
kanker.kemkes.go.id
Kneist, W. dan Junginger, T. (2007). Male Urogenital Function After Confirmed Nerve-
Sparing Total Mesorectal Excision with Dissection in Front of Denonvilliers’ Fascia.
World J Surg, 31: 1323. doi: 10.1007/s00268-007-9008-4
Lüchtenborg, M., Weijenberg, M.P., de Goeij, A.F.P.M. et al. (2005). Cancer Causes
Control, 16(9): 1041. doi: 10.1007/s10552-005-0239-0
Lundy, K.S. dan Janes, S. (2009). Community health nursing: caring for the public’s health
2nd ed. Subdury: Jones and Bartlett Publisher

Universitas Indonesia
64

Martini, F. H., Nath, J. L., dan Bartholomew, E. (2012). Fundamentals of anatomy and
physiology 9th ed. USA: Pearson Benjamin Cummings
Meilany, T.A., Alexandra., Arianto, A., Bausat, Q., Endang., Prihartono, J., & Sjarif, D.R..
(2012). Pengaruh Malnutrisi dan Faktor lainnya terhadap Kejadian Wound
Dehiscence pada Pembedahan Abdominal Anak Pada Periode Perioperatif. Sari
Pediatri. 14(2).
Melville, D. dan Baker, C. (2010). Ileostomies and colostomies. Surgery, 29(1), 39-43. doi:
10.1016/j.mpsur.2010.10.001
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., dan Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
classification 5th ed. Philadelphia: Elsevier.
National Institute for Health and Clinical Excellence. (2008). Surgical Site Infection:
Prevention and Treatment of Surgical Site Infection Clinical Guideline 74. NICE.
London
National Cancer Institute. (2011). Colorectal cancer, diakses dari www.cancer.gov
Nematihonar, B., Salimi, S., Noorian, V., dan Samsami, M. (2018). Early Versus Delayed
(Traditional) Postoperative Oral Feeding in Patients Undergoing Colorectal
Anastomosis. Advanced biomedical research, 7(30). doi:10.4103/abr.abr_290_16
Ningrum, T. P., Mediani, H. Z., dan Isabella, C. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kejadian Wound Dehiscence pada Pasien Post Laparatomi. Jurnal
Keperawatan Padjajaran, 5(2).
Norton, C., Williams, J., Taylor, C., Nunwa, A., dan Whayman, K. (2008). Oxford hanbook
of gastrointestinal nursing. New York: Oxford University Press
Pantow, R. W, Waleleng, B.J., dan Sedli, B. P. (2017). Profil Adenokarsinoma Kolon di
RSUP Prof Dr. R. D. Kandou dan Siloam Hospitals Periode Januari 2016 – Juni
2017. Jurnal e-clinic, 5(2), 326-331. Diakses dari www.ejournal.unsrat.ac.id
Paun, B.C., Cassie, S., MacLean, A.R., Dixon, E., dan Buie, D. (2010). Postoperative
complications following surgery for rectal cancer. Annals of Surgery, 251(5): 807-
818. doi: 10.1097/SLA.0b013e3181dae4ed.
Porter, L. (2016). Dietitian practice and skill: Estimating Energy Requirements. California:
Cinahl Information System
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2013). Fundamental nursing: concepts, process, and practice 8th
ed. St. Louis: Mosby Year Book
Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit 6th
ed. Jakarta: EGC
Universitas Indonesia
65

Schulze, F., Gao, X., Virzonis, D., Damiati, S., Schneider, M. R., dan Kodzius, R. (2017). Air
Quality Effects on Human Health and Approaches for Its Assessment through
Microfluidic Chips. Genes, 8(10), 244. doi:10.3390/genes8100244
Sherwood, L. (2010). Human physiology: from cell to systems 7th ed. USA: Cengage
Learning
Sivender, A., Ilaiah, M., &Reddy, S. (2015) A Clinical Study on risk factors causing
abdominal wound dehiscence and management. IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences, 14(10), 18–23.
Slattery, M. L., Curtin, K., Wolff, R. K., Herrick, J. S., Caan, B. J., & Samowitz, W. (2010).
Diet, physical activity, and body size associations with rectal tumor mutations and
epigenetic changes. Cancer causes & control : CCC, 21(8), 1237–1245.
doi:10.1007/s10552-010-9551-4
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., Cheever, K. H. (2010). Medical Surgical Nursing
12th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Sorensen, L.T. (2012). Wound Healing and Infection Surgery : The Clinical Impact of
Smoking and Smoking Cessation : A Systematic Review and Meta-analysis. Arc
Surg, 147(4):37–383
Taylor, C. (2012). Best practice in colorectal cancer care. Nursing Time, 108(12): 22-25,
diakses dari www.nursingtimes.net
Tortora, G. J. dan Derricson, B. (2014). Principles of anatomy and physiology 14th ed. USA:
Wiley
Ward, B.C. dan Panitch, A. (2011). Abdominal Adhesions: Current and Novel Therapies.
Journal of Surgical Research , 165(1), 91 – 111. doi:10.1016/j.jss.2009.09.015
WHO. (2018a). Air Quality Effects on Human Health, diakses dari www.who.int
WHO. (2018b). Latest global cancer data, diakses dari www.who.int
WHO. (2015). Cancer, diakses dari www.who.int
Yayasan Kanker Indonesia. (2012). YKI – Jakarta Race, diakses dari
www.yayasankankerindonesia.org

Universitas Indonesia
Lampiran 1
Analisis Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS : Infeksi saluran napas Ketidakefektifan bersihan
‒ Pasien mengatakan sesak jalan napas
dan sulit bernapas
‒ Pasien merasa ada dahak
yang tidak dapat keluar
dari tenggorokan
‒ Keluarga mengatakan
pasien tidak dapat
terlepas dari oksigen
masker sebelumnya
DO :
‒ RR 24x permenit, SaO2
90%
‒ Pasien bernapas dengan
bantuan otot
sternokleidomastoideus
‒ Retraksi dinding dada
minimal
‒ Bunyi napas whezing
pada lobus paru tengah
dan atas
‒ Klien belum mampu
melakukan batuk efektif
‒ Rontgen toraks : infiltrat
pada kedua lapang paru
‒ AGD : alkalosis
metabolik
DS : High output ileostomi Ketidakseimbangan cairan
‒ Pasien mengatakan lemas dan elektrolit
‒ Keluarga mengatakan
produksi ileostomi
banyak
‒ Pasien mengatakan sering
muntah-muntah semenjak
sakit
DO :
‒ TD 116/95; CRT <3 detik
‒ Produksi ileostomi hari
sebelumnya 1900cc
dalam 24 jam
‒ Elektrolit Na 138↓ / K
3,3↓ / Cl 88↓
‒ Bibir kering, mukosa
mulut merah pucat
DS : Gangguan penyerapan Ketidakseimbangan nutrisi
66 Universitas Indonesia
67

‒ Pasien mengatakan BB makanan kurang dari kebutuhan


turun semenjak sakit
‒ Pasien mengatakan sering
merasa mual
‒ Pasien mengatakan
percuma makan karena
akan keluar banyak
melalui ileostomi
DO :
‒ Klien tampak lemah
‒ Konjungtiva anemis
‒ DPL Hb 8,8↓ / Ht 15,81↓
/ trombosit 420.000 /
leukosit 23.410↑
DS : Faktor mekanik: pembedahan Kerusakan integritas kulit
‒ Pasien mengatakan pantat dan penekanan
panas
‒ Pasien mentakan tadi
pagi balutan rembes
‒ Pasien mengatakan nyeri
sedikit pada luka operasi
dan area pemasangan
drain
DO :
‒ Tampak luka tekan
derajat 2 pada lipatan
gluteus
‒ Stoma tampak
kemerahan, area sekitar
stoma bersih dan tidak
ada pus
‒ Akses vena sentral
tampak kemerahan

Universitas Indonesia
Lampiran 2

Rencana Tindakan Keperawatan

Nursing Outcome Nursing Intervention


Diagnosis Keperawatan Rasional
Classification (NOC) Classification (NIC)

Ketidakefektifan bersihan jalan Status pernapasan: Manajemen jalan napas


napas kepatenan jalan napas Mandiri
‒ Bunyi napas bersih ‒ Auskultasi bunyi napas, ‒ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi
‒ RR dalam batas catat bunyi napas tambahan dengan obstruksi jalan napas dan
normal (12- dimanifestasikan adanya bunyi napas
24x/menit) tambahan (misal: ronki, krakels, mengi)
‒ Frekuensi dan ‒ Pantau frekuensi dan ‒ Takipnea dapat ditemukan pada penerimaan
kedalaman kedalaman pernapasan, catat atau selama stress/adanya proses infeksi akut
pernapasan normal rasio inspirasi-ekspirasi
‒ Penggunaan otot ‒ Catat adanya derajat dispnea ‒ Disfungsi pernapasan bergantung pada tahap
bantu pernapasan (misal: mengeluh sesak proses kronis selain proses akut yang
minimal napas, menimbulkan perawatan di RS
‒ Penggunaan cemas/gelisah, distress
pernapasan cuping pernapasan, penggunaan otot
hidung minumal bantu pernapasan)
‒ Pasien menunjukkan ‒ Kaji pasien untuk posisi ‒ Peninggian kepala tempat tidur
perilaku untuk nyaman mempermudah fungsi pernapasan dengan
memperbaiki jalan (misal: peninggian kepala mneggunakan gravitasi untuk memperluas
napas (contoh: tempat tidur, duduk pada ekspansi dada
mampu batuk sandaran tempat tidur)
efektif dan ‒ Observasi karateristik batuk ‒ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
mengeluarkan (misal: menetap, batuk khususnya bila sakit akut atau adanya
dahak) pendek, batuk basah) kelemahan
‒ Dorong pasien untuk latihan ‒ Batuk efektif digunakan untuk membantu
batuk efektif pasien mengeluarkan sekret yang tertahan.
68 Universitas Indonesia
69

Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi


atau kepala dibawah setelah perkusi dada
‒ Anjurkan pasien untuk ‒ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan
minum air hangat dalam sekret dan mempermudah pengeluaran dengan
membantu mengencerkan batuk efektif
dahak
Kolaborasi
‒ Berikan obat sesuai indikasi: ‒ Merilekskan otot halus serta menurunkan
 Bronkodilator: albuterol spasme jalan napas dan mengi
(proventil, ventolin),
epinefrin (adrenain,
vaponefrin), terbutalin
(brethine, brethaire),
isoetarin (brokosol,
bronkometer)
‒ Berikan terapi oksigen ‒ Menurunkan kemampuan sistem
pernapasan dalam konsumsi O2
‒ Monitor hasil AGD dan ‒ Membuat dasar pengawasan kemajuan
rontgen toraks atau kemunduran proses penyakit dan
atau komplikasi

Ketidakseimbangan cairan dan Status hidrasi Manajemen cairan dan


elektroit ‒ CRT <2 detik elektrolit
‒ Membran mukosa Mandiri
lembab ‒ Monitor balans cairan ‒ Ileostomi menyebabkan fungsi penyerapan
‒ Turgor kulit baik air terganggu sehingga berisiko memperburuk
‒ Keseimbangan input status hidrasi
dan output cairan ‒ Dorong asupan cairan sesuai ‒ Mendukung keadekuatan cairan
kebutuhan tubuh
‒ Evaluasi turgor kulit, CRT, ‒ Merefleksikan status hidrasi dan
dan membran mukosa kemungkinan penggantian cairan tubuh

Universitas Indonesia
70

Kolaborasi
‒ Monitor hasil pemeriksaan ‒ Mendeteksi homeostasis dan keseimbangan
laboratorium seperti cairan
hematokrit dan elektrolit
‒ Berikan cairan intravena dan ‒ Kemungkinan diperlukan untuk mendukung
elektrolit sesuai indikasi perfusi jaringan dan organ yang adekuat
Ketidakseimbangan nutrisi kurang Status nutrisi Terapi nutrisi
dari kebutuhan tubuh ‒ Asupan nutrisi sesuai Mandiri
kebutuhan tubuh ‒ Kaji status nutrisi ‒ Mengidentifikasi level defisiensi dan dasar
‒ Tidak terjadi penentuan intervensi
penurunan berat ‒ Monitor asupan diet ‒ Kondisi fisik umum (misal: mual, anoreksia,
badan gangguan rasa) dan pembatasan diet
‒ Tidak ada tanda- mempengaruhi asupan makanan
tanda malnutrisi
‒ Berikan makan sedikit dan ‒ Meminimalkan anoreksia dan mual
sering sehubungan dengan status peristaltik

‒ Dorong kebersihan mulut ‒ Meningkatkan kenyamanan dan proses


makan
‒ Berikan edukasi mengenai ‒ Diet ileostomi berfungsi untuk mencegah
jenis makanan yang sumbatan, mengurangi gas dan bau,
disarankan untuk ileostomi mencegah diare, dan memadatkan feses
Kolaborasi
‒ Pantau pemeriksaan ‒ Indikator kebutuhan nutrisi, pembatasan, dan
laboratorium (misal: BUN, kebutuhan efektivitas terapi.
albumin serum, transferin,
natrium, dan kalium)
‒ Konsul dengan dietisien ‒ Menentukan kalori individu dan kebutuhan
untuk pemberian nutrisi nutrisi dalam pembatasan, dan
mengidentifikasi rute paling efektif untuk
pemberian nutrisi
‒ Berikan obat sesuai indikasi: ‒ Defisiensi besi dapat terjadi bila protein

Universitas Indonesia
71

 Sediaan besi dibatasi, pasien anemia, atau gangguan fungsi


pencernaan

 Vitamin B kompleks ‒ Vitamin B sebagai koenzim pada


pertumbuhan dan perkembangan sel
 Antiemetik: ‒ Diberikan untuk menghilangkan mual/muntah
proklorperazin dan dapat meningkatkan pemasukan oral.
(compazine),
trimetobenzamid (tigan)
Kerusakan integritas kulit Penyembuhan luka:Perawatan luka
intensi sekunder Mandiri
‒ Penurunan ukuran ‒ Bersihkan dressing dan ‒ Menghindari resiko infeksi akibat dari
luka plester perekat dressing yang sudah lama terpasang
‒ Drainase purulen dan ‒ Pantau karakteristik luka, ‒ Mengetahui perkembangan karakteristik dari
serosa minimal termasuk drainase, warna, luka
‒ Tidak terdapat tanda ukuran, dan bau
gejala inflamasi pada‒ Bersihkan dengan normal ‒ Agar tidak terjadi reaksi inflamasi akibat dari
luka saline cairan pembersih luka
‒ Tidak terjadi
komplikasi pada area ‒ Lakukan dressing, ‒ Pemilihan dressing yang tepat dapat
sekitar luka sesuaikan dengan tipe luka mempengaruhi keadaan luka
‒ Tidak terdapat bau ‒ Pertahankan teknik dressing ‒ Mencegah resiko infeksi pada luka
busuk pada luka steril saat melakukan
perawatan luka
Integritas jaringan: ‒ Inspeksi luka setiap ‒ Melihat adanya tanda-tanda yang
kulit dan membran pergantian dressing menggambarkan kondisi luka
mukosa ‒ Bandingkan dan catat ‒ Mengetahui adanya perubahan pada kondisi
‒ Pigmentasi kulit perubahan pada luka luka
normal ‒ Dokumentasikan lokasi, ‒ Bahan acuan untuk melakukan intervensi
‒ Tidak terjadi eritema ukuran, dan penampilan selanjutnya

Universitas Indonesia
72

‒ Tidak terdapat lesi luka


pada kulit
‒ Tidak terjadi Perawatan luka tekan
perubahan sensasi Mandiri ‒ Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit
pada kulit ‒ Lakukan pengkajian kulit dan masalah yang mungkin terjadi
meliputi luka terbuka,
kemerahan, perdarahan,
perubahan warna ‒ Meningkatkan sirkulasi pada area penonjolan
‒ Masase kulit dan penonjolan tulang
tulang ‒ Menurunkan tekanan pada area yang peka
‒ Pertahankan tempat tidur dan risiko abrasi/kerusakan kulit
kering dan bebas kerutan ‒ Mengurangi friksi tubuh dengan tempat tidur
‒ Gunakan ngt
‒ Mengurangi tekanan konstan pada area yang
‒ Ubah posisi setiap 2 jam sama dan meminimalkan risiko kerusakan
kulit
‒ Mempercepat proses penyembuhan luka
‒ Lakukan perawatan luka
tekan dengan teknik steril

Universitas Indonesia
Lampiran 3

Dokumentasi Keperawatan

Rabu, 1 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak, sulit bernapas, lebih
jalan napas ‒ Memberikan posisi semi fowler nyaman dengan posisi semi fowler dibandingkan
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5 terlentang, tidak dapat batuk karena takut jahitan pada
LPM perut rusak, dan dahak tidak dapat dikeluarkan.
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg O : RR 24, SaO2 90%, asianosis perifer dan sentral, bunyi
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi) napas ronki pada lobus kanan tengah dan atas, taktil
fremitus normal, tidak mampu mengeluarkan dahak.
A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
P : Ajarkan teknik batuk efektif.
Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan lemas
dan elektrolit ‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir kering,
elektrolit mukosa mulut merah pucat, hasil pemeriksaan elektrolit
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin darah Na 138 / K 3,3↓ / Cl 88↓
62,5 cc perjam A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x teratasi.
500mg (PO) P : Lakukan pemeriksaan Ur/Cr
Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi S : Pasien mengatakan ingin bisa makan nasi.
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet cair 6 x 50 cc O : Susu diberikan per NGT, hasil pemeriksaan DPL Hb
tubuh ‒ Mengonsultasikan dengan dietisien untuk pemberian 8,8↓ / Ht 15,81↓ / trombosit 420.000 / leukosit 23.410↑
nutrisi bertahap A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

73 Universitas Indonesia
74

‒ Kolaborasi memberikan medikasi Ranitidine 2 x 50mg tubuh belum teratasi.


(IV) dan Metoclopramide 3 x 10mg (IV) P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam
Kerusakan integritas kulit ‒ Mengkaji adanya luka tekan S : Pasien mengatakan pantat panas.
‒ Memantau kondisi balutan luka operasi O : Tidak ada rembesan pada luka operasi dan drain,
‒ Memantau tanda gejala infeksi stoma kemerahan dan tak ada iritasi pada area peristoma,
‒ Membereskan tempat tidur untuk memastikan linen luka tekan derajat 2 pada lipatan gluteus.
bersih dan tidak ada lipatan A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka.

Kamis, 2 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan masih sesak, nyaman dengan
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi semi fowler batuk menggunakan bantal pada perut, dan dahak belum
‒ Memberikan edukasi batuk efektif dapat dibatukkan.
‒ Menganjurkan pasien untuk minum air hangat O : RR 28; SaO2 97%; asam laktat darah plasma 1,5;
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5 asianosis perifer dan sentral, bunyi napas ronki pada
LPM lobus kanan tengah dan atas, dapat melakukan batuk
‒ Kolaborasi memberikan medikas Fluimucyl 3 x 200mg efektif, namun tidak dapat mengeluarkan dahak.
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi) A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
P : Lakukan fisioterapi dada

Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan bibir perih.
dan elektrolit ‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab

Universitas Indonesia
75

Ur/Cr dengan madu, mukosa mulut merah pucat, hasil


‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin pemeriksaan Ur 32 / Cr 0,5↓ / eGRF 107↑ / Hb 8,6↓
62,5 cc perjam A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x teratasi.
500mg (PO) P : Konsultasikan dengan dokter mengenai kebutuhan
transfusi darah

Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi S : Pasien mengatakan


kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet cair 6 x 100 cc O : Susu diberikan per NGT, hasil pemeriksaan DPL Hb
tubuh ‒ Melepas NGT 8,6↓ / Ht 25,8↓ / trombosit 355.000 / leukosit 16.460↑,
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Ranitidine 2 x 50mg glukosa POCT 115
(IV) dan Metoclopramide 3 x 10mg (IV) A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid tubuh belum teratasi.
41,6cc perjam P : Berikan diet bubur saring.

Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan drain. S : Pasien mengatakan pantat panas berkurang.
‒ Memantau tanda gejala infeksi O : Luka operasi tampak dehisen, drainage ditampung
‒ Menganjurkan keluarga untuk melakukan massase dalam kantung stoma, tampak pus dan perdarahan
punggung untuk mencegah penambahan luka tekan minimal.
A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka.

Jumat, 3 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak berkurang, senang dapat

Universitas Indonesia
76

jalan napas ‒ Memberikan posisi fowler mengeluarkan dahak, dan nyaman dengan posisi duduk
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif bersandar.
‒ Menganjurkan pasien untuk minum air hangat sebelum O : RR 21, SaO2 96%, asianosis perifer dan sentral, bunyi
batuk napas ronki pada lobus kanan tengah, dahak putih
‒ Melakukan fisitoterapi dada kental,.
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5 A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
LPM P : Ajarkan teknik fisioterapi dada kepada keluarga
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg pasien.
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)

Ketidakseimbangan cairan S : Pasien mengatakan lebih merasa sehat dan tidak lemas
dan elektrolit ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa dibandingkan hari sebelumnya.
‒ Memberikan transfusi darah PRC 300cc O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab,
‒ Melakukan pengambilan darah vena post transfusi mukosa mulut merah, hasil pemeriksaan Hb post transfusi
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin 9,7↓
62,5 cc perjam A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x teratasi.
500mg (PO) P : Konsultasikan dengan dokter mengenai kebutuhan
transfusi darah

Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi S : Pasien mengatakan


kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur sumsum O : Susu diberikan per NGT, hasil pemeriksaan DPL Hb
tubuh ‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg 9,7↓ / Ht 29↓ / trombosit 342.000 / leukosit 17.970↑
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
x 10mg (IV) tubuh belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x P : Pantau asupan nutrisi per oral.
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B

Universitas Indonesia
77

kompleks 3 x 1 tablet (PO)


‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam
Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan drain S : Pasien mengatakan pantat terasa panas.
‒ Memantau tanda gejala infeksi O : Tidak ada rembesan pada luka operasi dan drain,
‒ Menganjurkan keluarga untuk melakukan massase stoma kemerahan dan tak ada iritasi pada area peristoma.
punggung untuk mencegah penambahan luka tekan A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka tekan.

Sabtu, 4 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak berkurang namun bertambah
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler saat duduk tanpa sandaran saat akan dilakukan fisioterapi
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif dada.
‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum O : RR 30, SaO2 95%, asianosis perifer dan sentral, bunyi
batuk napas ronki pada lobus kanan tengah, dahak putih kental
‒ Mempraktekkan teknik fisitoterapi dada di depan belum sepenuhnya dapat dikeluarkan.
keluarga pasien (anak) A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5 P : Dorong penggunaan teknik fisioterapi dada oleh
LPM keluarga pasien.
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)

Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan stoma banyak keluar.

Universitas Indonesia
78

dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin dengan madu, mukosa mulut merah pucat.
62,5 cc perjam A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x teratasi.
500mg (PO) P : Lakukan pemeriksaan elektrolit darah besok.

Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah.
putih telur A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg tubuh belum teratasi.
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
x 10mg (IV)
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam

Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan drain S : Pasien mengatakan pantat terasa panas.
‒ Memantau tanda gejala infeksi O : Tidak ada rembesan pada luka operasi dan drain,
‒ Melakukan perawatan luka tekan stoma kemerahan dan tak ada iritasi pada area peristoma,
‒ Menganjurkan keluarga untuk melakukan massase luka tekan derajat 2 dibalut dengan duoderm extra thin.
punggung untuk mencegah penambahan luka tekan A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
‒ Melatih mobilisasi duduk tanpa sandaran P : Lakukan perawatan akses vena sentral.

Minggu, 5 Mei 2019

Universitas Indonesia
79

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak sedikit dan merasa dahak
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler sudah kelar semua setelah batuk.
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif O : RR 22, SaO2 95%, asianosis perifer dan sentral, bunyi
‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum napas ronki pada lobus kanan tengah, dahak putih kental.
batuk A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
‒ Mempraktekkan teknik fisitoterapi dada di depan P : Pantau penggunaan teknik fisioterapi dada oleh
keluarga pasien (adik) keluarga pasien.
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5
LPM
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)

Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah minum banyak.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab, hasil
‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan pemeriksaan elektrolit darah Na 128↓ / K 3,5 / Cl 89↓.
elektrolit A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin teratasi.
62,5 cc perjam P : Konsultasikan dengan dokter untuk tambahan
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x elektrolit per oral.
500mg (PO)

Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.

Universitas Indonesia
80

tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah, hasil
putih telur pemeriksaan DPL Hb 9,1↓ / Ht 26,5↓ / trombosit 382.000
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg / leukosit 23.410↑, alb 2,8↓
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
x 10mg (IV) tubuh belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam

Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan drain S : Pasien mengatakan sulit menggerakkan leher karena
‒ Memantau tanda gejala infeksi perih pada infus.
‒ Melakukan perawatan akses vena sentral O : Tidak ada rembesan pada luka operasi dan drain,
‒ Menganjurkan keluarga untuk melakukan massase stoma kemerahan dan tak ada iritasi pada area peristoma,
punggung untuk mencegah penambahan luka tekan akses vena sentral tampak kemerahan.
‒ Melatih mobilisasi duduk tanpa sandaran A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka.

Senin, 6 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak sedikit dan dapat batuk dan
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler mengeluarkan dahak.
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif O : RR 18, SaO2 96%, asianosis perifer dan sentral, bunyi

Universitas Indonesia
81

‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum napas tambahan minimal (ronki) pada lobus kanan
batuk tengah, dahak putih kental.
‒ Memantau penggunaan teknik fisitoterapi dada oleh A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
keluarga pasien (adik) P : Kolaborasi pemeriksaan rontgen toraks dan cek dahak.
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5
LPM
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)

Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah minum banyak.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab.
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
62,5 cc perjam teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x P : Lakukan pemeriksaan elektrolit darah besok.
500mg (PO) dan NaCl kapsul 2 x 1 kapsul (PO)
Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah, hasil
putih telur pemeriksaan DPL Hb 9,1↓ / Ht 26,5↓ / trombosit 382.000
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg / leukosit 23.410↑, alb 2,8↓
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
x 10mg (IV) tubuh belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid

Universitas Indonesia
82

41,6cc perjam

Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan drain S : Pasien mengatakan sulit menggerakkan leher karena
‒ Memantau tanda gejala infeksi perih pada infus.
‒ Melakukan perawatan akses vena sentral O : Tidak ada rembesan pada luka operasi dan drain,
‒ Menganjurkan keluarga untuk melakukan massase stoma kemerahan dan tak ada iritasi pada area peristoma,
punggung untuk mencegah penambahan luka tekan akses vena sentral tampak kemerahan.
‒ Melatih mobilisasi duduk tanpa sandaran A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka.

Selasa, 7 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak saat dalam perjalanan
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler menuju pemeriksaan dan berhaap hasilnya bagus.
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif O : RR 22; SaO2 94%; T 37,9; hasil cek BTA negatif,
‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum rontgen toraks menunjukkan suspek efusi pleura kanan
batuk dan infiltrat kedua paru berkurang, asianosis perifer dan
‒ Mengajarkan teknik pengambilan sampel dahak ke sentral, bunyi napas tambahan minimal (ronki) pada lobus
dalam botol kanan tengah, dahak putih kental.
‒ Mengantar pasien untuk melakukan pemeriksaan A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
rontgen toraks P : Cek ulang dahak.
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5
LPM
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)

Universitas Indonesia
83

Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah minum banyak.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab, hasil
‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan pemeriksaan elektrolit Na 130↓ / K 3,3↓ / Cl 87↓
elektrolit A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin teratasi.
62,5 cc perjam P : Lakukan pemeriksaan elektrolit darah besok.
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x
500mg (PO), NaCl kapsul 2 x 1 kapsul (PO), Zink 1 x
20mg (PO), dan KSR 3 x 500mg (PO)
Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah, hasil
putih telur pemeriksaan DPL Hb 9↓ / Ht 26,7↓ / trombosit 426.000↑
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg / leukosit 19.870↑, alb 2,8↓
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
x 10mg (IV) tubuh belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam
Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan drain S : Pasien mengatakan sulit menggerakkan leher karena
‒ Memantau tanda gejala infeksi perih pada infus.
‒ Melakukan perawatan akses vena sentral O : Tidak ada rembesan pada luka operasi dan drain,
‒ Menganjurkan keluarga untuk melakukan massase stoma kemerahan dan tak ada iritasi pada area peristoma,

Universitas Indonesia
84

punggung untuk mencegah penambahan luka tekan akses vena sentral tampak kemerahan.
A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka dengan modern dressing
besok.

Rabu, 8 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak saat dalam perjalanan
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler menuju pemeriksaan dan berhaap hasilnya bagus.
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif 0 : RR 22, SaO2 97%, asianosis perifer dan sentral, bunyi
‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum napas tambahan minimal (ronki) pada lobus kanan
batuk tengah, dahak putih kental.
‒ Mengajarkan teknik pengambilan sampel dahak ke A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
dalam botol P : Lakukan pemeriksaan USG toraks dan follow up hasil
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5 pemeriksaan dahak.
LPM
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)
Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah bebas menggerakkan leher.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab, hasil
‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan pemeriksaan elektrolit Na 130↓ / K 3,3↓ / Cl 87↓
elektrolit A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Melepas akses vena sentral dan memasang akses perifer teratasi.
tangan kanan P : Lakukan pemeriksaan Ur/Cr darah besok.
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin

Universitas Indonesia
85

62,5 cc perjam
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x
500mg (PO), NaCl kapsul 2 x 1 kapsul (PO), Zink 1 x
20mg (PO), dan KSR 3 x 500mg (PO)
Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah, hasil
putih telur pemeriksaan DPL Hb 9↓ / Ht 27↓ / trombosit 453.000↑ /
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg leukosit 17.160↑, alb 2,7↓
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
x 10mg (IV) tubuh belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam
Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dengan modern S : Pasien mengatakan nyaman setelah diganti balutan
dressing dan dilepas akses infus pada leher, pantat panas
‒ Melepas akses vena sentral berkurang, makan telur rebus 3 buah tadi pagi.
‒ Mengkaji luka dekubitus O : Akses vena sentral tampak kemerahan, tidak ada
‒ Melakukan massase punggung perdarahan setelah akses vena sentral terlepas; luka
‒ Menganjurkan makan telur rebus untuk penyembuhan operasi perdarahan minimal, sudah mulai tumbuh
luka granulasi dibalut dengan alginate, tampak slough keras
dibalut dengan cutimed sorbac jel dan dress pad; luka
tekan grade 1, dimassase dengan minyak zaitun.
A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.

Universitas Indonesia
86

P : Ganti balutan sekunder luka operasi dengan kasa


bersih jika rembes, perawatan luka akan dilakukan
tanggal 11/05/2019.

Kamis, 9 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan sesak sedikit.


jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler O : RR 20, SaO2 96%, hasil pemeriksaan BTA negatif,
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif USG toraks menunjukkan efusi pleura bilateral minimal,
‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum asianosis perifer dan sentral, bunyi napas tambahan
batuk minimal (ronki) pada lobus kanan tengah, dahak putih
‒ Mengantar pasien melakukan pemeriksaan USG toraks kental.
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5 A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas belum teratasi.
LPM P : Pantau pola pernapasan.
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)
Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah bebas menggerakkan leher.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab, hasil
‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan pemeriksaan Ur 34 / Cr 0,5↓ / eGRF 107↑.
Ur/Cr A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Melepas kateter urin teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Ringerfundin P : Kolaborasi penggantian cairan intravena.
62,5 cc perjam
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x
500mg (PO), NaCl kapsul 2 x 1 kapsul (PO), Zink 1 x

Universitas Indonesia
87

20mg (PO), dan KSR 3 x 500mg (PO)


Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah, hasil
putih telur pemeriksaan SGPT 11 / SGOT 22, Mg 1,85 / P 2,3
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 tubuh belum teratasi.
x 10mg (IV) P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
‒ Kolaborasi memberikan nutrisi parenteral Aminofluid
41,6cc perjam
Kerusakan integritas kulit ‒ Mengganti dressing sekunder dengan kasa bersih S : Pasien mengatakan baluran luka operasi rembes sejak
‒ Mengkaji luka tekan subuh.
‒ Mendorong keluarga melakukan massase punggung O : Balutan rembes minimal berwarna kecoklatan, tidak
pasien berbau, stoma kemerahan tanpa pus, keluarga dapat
‒ Menganjurkan makan telur rebus untuk penyembuhan melakukan massase punggung dan area selangkangan.
luka A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Ganti balutan sekunder dengan kasa bersih.

Jumat, 10 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Universitas Indonesia
88

Ketidakefektifan bersihan ‒ Mengkaji pola pernapasan S : Pasien mengatakan hanya sesak saat ke toilet.
jalan napas ‒ Mempertahankan posisi fowler O : RR 18, SaO2 96%, asianosis perifer dan sentral, bunyi
‒ Mendorong penggunaan batuk efektif napas vesikular, dahak putih kental.
‒ Mengingatkan pasien untuk minum air hangat sebelum A : Ketidakefektifan bersihan jalan napas teratasi.
batuk P : Pantau pola pernapasan.
‒ Mengamati teknik fisioterapi dada oleh keluarga
‒ Kolaborasi memberikan terapi oksigen per nasal kanul 5
LPM
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Fluimucyl 3 x 200mg
(PO) dan Ventolin 3 x 2,5mg (inhalasi)
Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah bebas menggerakkan leher.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab, hasil
‒ Melakukan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan pemeriksaan elektrolit Na 128↓ / K 3,8 / Cl 87↓.
elektrolit A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Asering 83,3 teratasi.
cc perjam P : Dorong asupan cairan per oral adekuat.
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x
500mg (PO), NaCl kapsul 2 x 1 kapsul (PO), Zink 1 x
20mg (PO), dan KSR 3 x 500mg (PO)
Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah, hasil
putih telur pemeriksaan DPL Hb 9↓ / Ht 26,6↓ / trombosit 234.000 /
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg leukosit 11.910↑, alb 2,6↓, GDS 101
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
x 10mg (IV) tubuh belum teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B

Universitas Indonesia
89

kompleks 3 x 1 tablet (PO)


Kerusakan integritas kulit ‒ Mengganti dressing sekunder dengan kasa bersih S : Pasien mengatakan baluran luka operasi rembes sejak
‒ Mengkaji luka tekan semalam.
‒ Mendorong keluarga melakukan massase punggung O : Balutan rembes berwarna kecoklatan, tidak berbau,
pasien stoma kemerahan tanpa pus, hasil pemeriksaan PT 12,3↑
‒ Menganjurkan makan telur rebus untuk penyembuhan / APTT 27,2↓, keluarga dapat melakukan massase
luka punggung dan area selangkangan.
A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Lakukan perawatan luka dengan modern dressing.
Sabtu, 11 Mei 2019

Diagnosis Keperawatan Implementasi Evaluasi

Ketidakseimbangan cairan ‒ Mengevaluasi turgor kulit, CRT, dan membran mukosa S : Pasien mengatakan sudah bebas menggerakkan leher.
dan elektrolit ‒ Menghitung masukan dan keluaran cairan O : CRT < 3detik, turgor kulit normal, bibir lembab.
‒ Kolaborasi memberikan cairan intravena Asering 83,3 A : Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit belum
cc perjam teratasi.
‒ Kolaborasi memberikan elektrolit serbuk KCl 3 x P : Dorong asupan cairan per oral adekuat dan monitor
500mg (PO), NaCl kapsul 2 x 1 kapsul (PO), Zink 1 x balans cairan.
20mg (PO), dan KSR 3 x 500mg (PO)
Ketidakseimbangan nutrisi ‒ Mengkaji status nutrisi dan hidrasi S : Pasien mengatakan sarapan dihabiskan setengah porsi,
kurang dari kebutuhan ‒ Memberikan diet bubur saring dan susu 3 x 150cc mual muntah tidak ada.
tubuh ‒ Memberikan edukasi mengenai manfaat mengonsumsi O : Sarapan dihabiskan, tidak ada muntah.
putih telur A : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
‒ Kolaborasi memberikan medikasi Loperamide 3 x 2mg tubuh belum teratasi.
(PO), Ranitidine 2 x 50mg (IV) dan Metoclopramide 3 P : Pantau asupan kalori harian dan keluaran ileostomi.

Universitas Indonesia
90

x 10mg (IV)
‒ Kolaborasi memberikan mikronutrien Asam folat 1 x
0.5mg (PO), Vitamin C 2 x 50mg (PO), dan Vitamin B
kompleks 3 x 1 tablet (PO)
Kerusakan integritas kulit ‒ Melakukan perawatan luka operasi dan luka drain S : Pasien mengatakan nyaman setelah diganti balutan,
‒ Memantau keluarga melakukan teknik massase pantat panas sudah tidak terasa, makan telur rebus 2 buah
punggung pasien sejak tadi pagi.
‒ Mendorong pasien makan putih telur rebus untuk O : Luka operasi perdarahan minimal, tepi luka sudah
penyembuhan luka mulai tumbuh granulasi dibalut dengan alginate, tampak
slough keras dibalut dengan cutimed sorbac gel dan dress
pad; tidak terdapat luka tekan pada area punggung dan
gluteus, dimassase dengan minyak kelapa oleh keluarga.
A : Kerusakan integritas kulit belum teratasi.
P : Ganti balutan sekunder luka operasi dengan kasa
bersih jika rembes.

Universitas Indonesia
Lampiran 4

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Annida Falahaini

Tempat, Tanggal Lahir : Tegal, 1 Maret 1996

Alamat : Jalan Situnggul 43 RT.15 RW.4 Pesarean Adiwerna Tegal

Riwayat Pendidikan :

SD SMP SMA
Nama Institusi SD N Adiwerna 02 SMP N 1 Adiwerna SMA N 1 Tegal
Jurusan - - IPA
Tahun masuk-lulus 2002-2008 2008-2011 2011-2014

No.HP : 085740724795

Email : annida.falahaini@ui.ac.id, annidafalah@gmail.com

91 Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai