Anda di halaman 1dari 131

SKRIPSI

PENGARUH KOMBINASI PURSED LIP BREATHING DAN BALLOON


BLOWING TERHADAP ARUS PUNCAK EKSPIRASI PADA PASIEN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS DI RUANG INTERNA 2
RSUD dr. R. SOEDARSONO PASURUAN

PUTRI ASNI NILAM


1501470040

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
MALANG
2018
SKRIPSI

PENGARUH KOMBINASI PURSED LIP BREATHING DAN BALLOON


BLOWING TERHADAP ARUS PUNCAK EKSPIRASI PADA PASIEN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS DI RUANG INTERNA 2
RSUD dr. R. SOEDARSONO PASURUAN

PUTRI ASNI NILAM


1501470040

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
MALANG
2018

ii
iii
PENGARUH KOMBINASI PURSED LIP BREATHING DAN BALLOON
BLOWING TERHADAP ARUS PUNCAK EKSPIRASI PADA PASIEN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS DI RUANG INTERNA 2 RSUD dr.
R. SOEDARSONO PASURUAN

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Terapan Keperawatan (Str.Kep)


Dalam Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan Lawang
Poltekkes Kemenkes Malang

Oleh :
PUTRI ASNI NILAM
1501470040

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
MALANG
2018

iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Putri Asni Nilam


NIM : 1501470040
Tanda Tangan :

Tanggal : Maret 2019

v
Lembar Persetujuan

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL .................

Oleh:

Pembimbing Utama:

Nurul Hidayah, S.Kep. Ns, M.Kep


NIP. 19730615199703 2 001

Pembimbing Pendamping:

Lucia Retnowati, SST, M.Kes


NIP. 19680424198803 2 001

Mengetahui,
Ketua Program Studi
Sarjana Terapan Keperawatan Lawang

Hurun Ain, S.Kep, Ns, M.Kep


NIP. 19680424198803 2 001

vi
Skripsi ini diajukan oleh:
Nama : Putri Asni Nilam
NIM : 1501470040
Program Studi : Sarjana Terapan Keperawatan Lawang
Judul : Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing
Terhadap Arus Puncak Ekspirasi pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronis di Ruang Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono
Pasuruan

Skripsi ini telah diuji dan dinilai:


Oleh panitia penguji pada
Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan Lawang
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang
Pada Tanggal ................................

Panitia Penguji

Penguji Ketua Penguji Anggota Penguji Anggota

Tri Nataliswati, S.Kep, Ns, M.Kep Nurul Hidayah, S.Kep, Ns, M.Kep Lucia Retnowati, SST, M.Kes
NIP. 19651215199703 2 001 NIP. 19730615199703 2 001 NIP. 19680424198803 2 001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Keperawatan


Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

Imam Subekti, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom


NIP.19651205 198912 1 001

vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang, saya yang


bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Putri Asni Nilam
NIM : 1501470040
Program Studi : Sarjana Terapan Keperawatan Lawang
Jurusan : Keperawatan
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-
exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul
Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing Dan Balloon Blowing Terhadap
Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di
Ruang Interna 2 RSUD Dr. R. Soedarsono Pasuruan
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Poltekkes Kemenkes Malang berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Malang
Pada tanggal Maret 2019
Yang menyatakan

Materai 6000

Putri Asni Nilam

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis

dapat menyusun dan menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “Pengaruh

Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing Terhadap Arus Puncak

Ekspirasi pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis di Ruang Interna 2 RSUD

dr. R. Soedarsono Pasuruan”. Penelitian proposal skripsi ini dilakukan dalam

rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Terapan Keperawatan di

Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan Lawang Poltekkes Kemenkes

Malang.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak

sangatlah sulit untuk menyelesaikan proposal skripsi ini. Oleh karena itu, atas

terselesaikannya proposal skripsi ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada :

1. Budi Susatia, S.Kep, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan

Kemenkes Malang.

2. Imam Subekti, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom selaku Ketua Jurusan Keperawatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.

3. Hurun Ain, S.Kep, Ns, M.Kep selaku Ketua Pogram Studi Sarjana Terapan

Keperawatan Lawang.

4. dr. Hendra Romadhon selaku Direktur Utama RSUD dr. R. Soedarsono

Pasuruan beserta staff yang telah memberikan ijin dan memfasilitasi peneliti

untuk melakukan penelitian.

ix
5. Sujono S.Kep, Ns selaku kepala ruangan, beserta staff dan perawat Ruang

Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, yang telah memberikan

kesempatan kepada peneliti dalam melakukan penelitian.

6. Trinataliswati, S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji ketua yang telah

memberikan arahan, masukan, dan bimbingan dalam menyelesaikan

proposal skripsi.

7. Nurul Hidayah, S.Kep, Ns, M.Kep selaku pembimbing utama yang telah

memberikan bimbingan, saran, dan motivasi agar proposal skripsi ini

terselesaikan dengan baik.

8. Lucia Retnowati, SST, M.Kes selaku pembimbing pendamping yang telah

memberikan bimbingan, saran, dan motivasi agar proposal skripsi ini

terselesaikan dengan baik.

9. Seluruh staff pengajar dan karyawan Program Studi Sarjana Terapan

Keperawatan Lawang Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang yang

perhatian dan dengan sabar memberikan bantuan yang tak ternilai.

10. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan bekerja sama dalam

penelitian ini.

11. Ayah Sukamdi, Ibu Pudji Sujati, yang senantiasa memberikan doa,

semangat dan dukungan tiada henti.

12. Sahabat-sahabat kesayanganku Noor Rochmat, Theza, Yusi, Lia, Mita,

Rika, yang selalu membantu memberikan dukungan dan menanggapi keluh

kesahku dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

x
13. Teman-teman seperjuangan, Sarjana Terapan Keperawaan Lawang

angkatan 2015/2016 yang hampir 4 tahun bersama merasakan suka duka

dalam meraih gelar S.Tr Kep.

Penulis menyadari bahwa proposal skripsi ini masih jauh dari sempurna,

penulis berharap, pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat

membangun. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan semua pihak yang

telah membantu dan semoga proposal skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang membutuhkan.

Lawang, November 2018

Penulis

xi
ABTRAK
Prastika, Wahyuni Dwi. 2018. Studi Komparatif Ankle Pumpling Exercise Dan
Elevasi Kaki 30 ̊ Terhadap Penurunan Edema Kaki Pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik Di RSI Sakinah Mojokerto. Skripsi Program Studi Sarjana Terapan
Keperawatan Lawang, Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang. Pembimbing
(Utama) : Ns. Supono, M.Kep, Sp.MB, Pembimbing (Pendamping): Sulastyawati,
S.Kep, Ns, M.Kep

Kata kunci: Edema, Ankle Pumping Exercise, Elevasi kaki 30⁰, Gagal Ginjal
Kronik

Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible,
dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara
keseimbangan cairan elektrolit. Salah satu manifestasinya pada kelebihan volume
cairan adalah edema. edema pada GGK jika tidak ditangani menimbulkan berbagai
macam komplikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas
ankle pumping exercise dan elevasi kaki 30⁰ terhadap penurunan edema pada pasien
gagal ginjal kronik di ruang Kudus Muria RSI Sakinah Mojokerto pada tanggal 01
Januari -01 Februari 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi
Eksperimental Design dengan menggunakan rancangan Non Equvalent Control
Group. Teknik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling, jumlah
sampel yang diambil sebanyak 30 orang yaitu 15 orang untuk kelompok ankle
pumping dan 15 orang untuk kelompok elevasi kaki 30⁰. Hasil penelitian
menyatakan pada kelompok ankle pumping exercise (kelompok perlakuan I) terjadi
penurunan edema yang bermakna. Hal ini dapat dilihat dari uji Wilcoxon dengan
nilai P = 0.005 (P<0.001). Pada kelompok elevasi kaki 30⁰ (kelompok perlakuan II)
melalui uji Wilcoxon diperoleh nilai P = 0.005 (P<0.001) yang berarti terjadi
pengurangan edema yang bermakna pula. Pada perbandingan antara intervensi
penambahan ankle pumping exercise pada posisi elevasi dengan posisi elevasi,
berdasarkan uji Mann-Whitney, diperoleh nilai P = 0.248 (P>0.05) yang berarti
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pemberian ankle pumping dan elevasi
kaki 30⁰ terhadap penurunan kedalaman edema pada pasien gagal ginjal kronik.

xii
ABSTRACT
Prastika, Wahyuni Dwi Comparative Study Ankle Pumpling Exercise And Foot
Elevation 30 ̊ Against Downgrade of Foot Edema In Chronic Kidney Failure
Patients In RSI Sakinah Mojokerto. Essay. Principal Advisor: Ns. Supono, M.Kep,
Sp.MB, Counselor: Sulastyawati, S.Kep, Ns, M.Kep

Keywords: Edema, Ankle Pumping Exercise, Foot Elevation 30⁰, Chronic Kidney
Failure
Chronic renal failure is a progressive and irreversible renal dysfunction, in which
the body is unable to maintain metabolism and fails to maintain electrolyte fluid
balance. One of its manifestations on excess fluid volume is edema. edema in CI is
caused by the inability to excrete fluid. The purpose of this study was to investigate
the effectiveness of ankle pumping exercise and foot elevation of 30⁰ to decrease of
degree of edema in patients with chronic renal failure in Muria RSI Sakinah
Mojokerto Holy Room on 01 January 2018-01 February 2018.The research design
used was Quasi Experimental Design using Non Equvalent Control Group design.
The sampling technique used was consecutive sampling, the number of samples
taken as many as 30 people, 15 people for the ankle pumping group and 15 people
for the 30⁰ foot elevation group.The results stated in the ankle pumping exercise
group (treatment group I) there was a significant reduction of edema. This can be
seen from the Wilcoxon test with P = 0.005 (P <0.001). In the elevation group of
foot 30⁰ (treatment group II) through Wilcoxon test obtained value P = 0.005 (P
<0.001) which means a significant reduction of edema also. In the comparison
between the intervention of the addition of ankle pumping exercise at elevation
position with elevation position, based on Mann-Whitney test, obtained value P =
0.248 (P> 0.05) meaning that there is no significant difference of ankle pumping
and foot elevation 30⁰ to decrease of degree of edema in patients with chronic renal
failure.

xiii
DAFTAR ISI

Halaman
Sampul Depan ................................................................................................. i
Sampul Dalam ................................................................................................. ii
Prasyarat Gelar
Prasyarat Orisinalitas
Lambar Persetujuan .......................................................................................... iii
Lambar Penetapan Panitia ................................................................................ iv
Persetujuan Publikasi
Kata Pengantar ................................................................................................ v
Abstract
Daftar Isi .......................................................................................................... viii
Daftar Tabel .................................................................................................... x
Daftar Gambar .................................................................................................. xi
Daftar Lampiran .............................................................................................. xii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................... 6
1.3.2 Tujuan Khusus ..................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis ................................................................................ 6
1.4.2 Praktis .................................................................................. 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sistem Pernafasan
2.1.1 Definisi Sistem Pernafasan................................................... 8
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan ........................... 9
2.1.3 Mekanisme Pernapasan ........................................................ 13
2.1.4 Volume Paru ......................................................................... 16
2.1.5 Kapasitas Paru ...................................................................... 17
2.2 Konsep Teori Penyakit Paru Obstruktif Kronis
2.2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis ........................... 18
2.2.2 Penyebab Penyakit Paru Obstruktif Kronis .......................... 20
2.2.3 Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis ..................... 21
2.2.4 Pathway Penyakit Paru Obstruktif Kronis ........................... 22
2.2.5 Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis ........................ 23
2.2.6 Tanda dan Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronis ............. 25
2.2.7 Kompliksi Penyakit Paru Obstruktif Kronis ....................... 25
2.2.8 Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronis ............................. 26
2.2.9 Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis
2.2.9.1 Penatalaksanaan Secara Farmakologi ...................... 27
2.2.9.2 Penatalaksanaan Secara Non Farmakologi .............. 29
2.3 Konsep Arus Puncak Ekspirasi
2.3.1 Definisi Arus Puncak Ekspirasi .......................................... 32
2.3.2 Indikasi Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi ....................... 33

xiv
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Arus Puncak
Ekspirasi ....................................................................................... 34
2.3.4 Nilai Normal Arus Puncak Ekspirasi ................................... 36
2.3.5 Prosedur Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi ..................... 37
2.3.6 Hubungan Antara Arus Puncak Ekspirasi dengan Penyakit
Paru Obstruktif Kronis .................................................................. 39
2.3.7 Keterkaitan Arus Puncak Ekspirasi dengan Latihan Pursed
Lip Breathing................................................................................. 40
2.4 Konsep Latihan Pernafasan dengan Pursed Lip Breathing
2.4.1 Definisi Pursed Lip Breathing ............................................. 42
2.4.2 Tujuan Pursed Lip Breathing ............................................... 43
2.4.3 Langkah-Langkah Melakukan Pursed Lip Breathing .......... 43
2.5 Konsep Latihan Pernafasan Tiup Balon (Balloon Blowing)
2.5.1 Definisi Tiup Balon (Balloon Blowing) ............................... 45
2.5.2 Tujuan Tiup Balon (Balloon Blowing) ................................. 45
2.5.3 Langkah-Langkah Melakukan Tiup Balon (Balloon
Blowing) ........................................................................................ 49
2.6 Konsep Teori .............. ................................................................... 51
2.7 Uraian Kerangka Konseptual Penelitian ....................................... 52
2.8 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 53
2.9 Hasil Literatur Review ................................................................... 54
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ............................................................................ 57
3.2 Populasi, Sampel, Perkiraan Besar Sampel dan Teknik Sampling
3.2.1 Populasi ................................................................................ 59
3.2.2 Sampel .................................................................................. 59
3.2.3 Perkiraan Besar Sampel ....................................................... 60
3.2.4 Teknik Sampling (Pengambilan Sampel) ............................. 60
3.3 Variabel Penelitian ......................................................................... 61
3.4 Definisi Operasional ....................................................................... 62
3.5 Instrumen Penelitian ....................................................................... 64
3.6 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 64
3.7 Pengumpulan Data
3.7.1 Tahap Persiapan ................................................................... 64
3.7.2 Tahap Pelaksanaan ............................................................... 65
3.8 Teknik Pengolahan Data ................................................................ 66
3.9 Analisis Data
3.9.1 Analisis Univariat (Analisis Deskriptif)............................... 68
3.9.2 Uji Normalitas ..................................................................... 68
3.9.3 Analisis Bivariat .................................................................. 69
3.10 Penyajian Data .............................................................................. 69
3.11 Etik Penelitian .............................................................................. 70
3.12 Kerangka Operasional .................................................................. 72

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian ......................................... 47
4.2 Karakteristik Data Umum Responden ........................................ 48

xv
4.2.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin ............................................ 49
4.2.2 Distribusi Deskriptif Karakteristik Responden
Berdasarkan Usia ........................................................... 49
4.2.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik responden
Berdasarkan Stadium GGK ............................................ 49
4.3 Hasil Penelitian ........................................................................... 50
4.3.1 Hasil Pengukuran Derajat Edema Pasien Gagal Ginjal
Kronik Sebelum dan Sesudah diberikan Latihan Ankle
Pumping .......................................................................... 50
4.3.2 Perbedaan Kedalaman Edema Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Ankle Pumping ............................................. 50
4.3.3 Hasil Pengukuran Derajat Edema Pasien Gagal Ginjal
Kronik Sebelum dan Sesudah diberikan Elevasi Kaki 300
......................................................................................... 51
4.3.4 Perbedaan Kedalaman Edema Sebelum dan Sesudah
diberikan Elevasi Kaki 30⁰ ............................................ 51
4.3.5 Perbandingan Pemberian Latihan Ankle Pumping Dan
Elevasi Kaki 30⁰ Terhadap Penurunan Derajat Edema
Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.................................... 52
4.4 Pembahasan ................................................................................ 52
4.4.1 Rerata Kedalaman Edema Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Latihan Ankle Pumping................................. 52
4.4.2 Perbedaan Kedalaman Edema Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Latihan Ankle Pumping ................................. 54
4.4.3 Rerata Kedalaman Edema Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Elevasi Kaki 30⁰ .......................................... 55
4.4.4 Perbedaan Kedalaman Edema Sebelum dan Sesudah
Dilakukan Elevasi Kaki 30⁰ ............................................ 57
4.4.5 Perbandingan Pemberian Latihan Ankle Pumping dan
Elevasi Kaki 30⁰ Terhadap Penurunan Derajat Edema
Kaki Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik ......................... 58
4.5 Keterbatasan Penelitian .............................................................. 61

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ................................................................................ 62
5.2 Saran .......................................................................................... 62
5.2.1 Bagi Responden .............................................................. 62
5.2.2 Bagi Pelayanan Keperawatan ......................................... 63
5.2.3 Bagi Ruang Interna ........................................................ 63
5.2.4 Bagi Peneliti Selanjutnya .............................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64

xvi
xvii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut

penyakit paru obstruksi kronis ......................................................................... 28

Tabel 2.2 Nilai prediksi Arus Puncak Ekspirasi normal (L/menit) untuk laki-

laki .................................................................................................................... 37

Tabel 2.3 Nilai prediksi Arus Puncak Ekspirasi normal (L/menit) untuk

perempuan ........................................................................................................ 37

Tabel 2.4 Hasil Literatur Review...................................................................... 54

Tabel 3.1 Desain penelitian one group pra-post test design ............................ 58

Tabel 3.2 Definisi Operasional ........................................................................ 62

xviii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Sistem Respirasi Manusia ............................................................ 9

Gambar 2.2 Bagan Pathway Penyakit Paru Obstruksi Kronis ........................ 22

Gambar 2.3 Pursed Lip breathing exercise...................................................... 44

Gambar 2.4 Bagan Kerangka Konsep Teori ................................................... 51

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Operasional Penelitian ...................................... 72

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Lembar Informasi ........................................................................ 76

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden ................................................... 77

Lampiran 3 Lembar Karakteristik Responden ................................................ 78

Lampiran 4 SOP Pursed Lip Breathing ........................................................... 79

Lampiran 5 SOP Meniup Balon (Balloon Blowing) ........................................ 83

Lampiran 6 SOP Mengukur Arus Puncak Ekspirasi ........................................ 86

Lampiran 7 Lembar Observasi Hasil Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi ...... 89

xx
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan di

seluruh dunia. Prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK mulai meningkat

diseluruh dunia dan diperkirakan merupakan masalah kesehatan yang

membutuhkan perhatian khusus dalam penatalaksanaan pencegahan terhadap

penurunan progesivitas fungsi paru (Oemiati, 2013). PPOK merupakan salah satu

dari kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin

tingginya pajanan faktor resiko, seperti banyaknya jumlah perokok, serta

pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan (Persatuan Dokter Paru

Indonesia, 2011). Berdasarkan sudut pandang epidemiologi, laki-laki lebih berisiko

terkena PPOK dibandingkan dengan wanita karena kebiasaan merokok (Mannino

& Buist, 2007). Kebiasaan merokok diyakini menjadi faktor risiko terbesar untuk

PPOK. Menurut (Riskesdas, 2013) prevalensi penduduk Indonesia usia 15 tahun

keatas yang mengkonsumsi rokok mengalami peningkatan setiap tahunnya. Faktor-

faktor yang berperan dalam peningkatan PPOK antara lain status sosial ekonomi

yang rendah, genetik, umur, asma, bronkitis kronik, infeksi dan jenis kelamin. Jenis

kelamin sangat berpengaruh pada penderita PPOK, dibuktikan dengan angka

kejadian kematian PPOK lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.

Orang yang merokok mempunyai peluang tinggi munculnya gejala pernafasan,

1
2

abnormalitas fungsi paru, penurunan FEV1 dan meningkatnya angka kematian

dibandingkan pada penderita yang tidak merokok (GOLD, 2015).

Maka dari itu orang yang telah didiagnosa PPOK perlu ditangani secara

serius karena pada beberapa keadaan, tetap saja terjadi perburukan dari pernafasan.

Dalam keadaan eksaserbasi, dapat dilihat terjadinya batuk yang hebat disertai atau

tidak sputum, bahkan dapat terancam terjadi kegagalan pernafasan. Pasien secara

fisik diagnosis tampak dalam keadaan dispnea yang berat, takikardi, lemah dan

konfusi (Rab, 2010:397). Terjadinya hipoksia akibat terjadinya hipoksemia akan

menyebabkan metabolisme anaerob yang akan memproduksi asam laktat yang

dapat menyebabkan kelelahan pada otot-otot pernafasan sehingga proses

pernafasan akan menurun (Suprayitno, 2017). Untuk itu perlu diberikan suatu

breathing exercise yang tepat untuk membantu mengembalikan fungsi dari otot-

otot pernafasan, yaitu terapi kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing.

Terapi ini adalah cara yang sangat mudah dilakukan, tanpa memerlukan alat bantu

yang sulit didapatkan bahkan tidak memerlukan alat bantu apapun, dan juga tanpa

efek negatif seperti pemakaian obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2013). Serta dilihat

dari tujuan diberikannya terapi ini yaitu meningkatkan fungsi ventilasi, kerja otot

perut, dan toraks. Kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

diprogramkan untuk pasien PPOK dalam mengatasi kelelahan otot pernafasan dan

udara yang terjebak pada saluran pernafasan dan akan meningkatkan ventilasi

maksimal, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi sesak nafas (Suprayitno,

2017).

Menurut WHO, diperkirakan sekitar 3 juta kematian disebabkan oleh

penyakit ini pada tahun 2015 yaitu 5% dari semua kematian di seluruh dunia (WHO,
3

2016). Prevalensi PPOK di Indonesia sebanyak 3,7%. Prevalensi PPOK tertinggi di

Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat,

dan Sulawesi Selatan masing masing 6,7%. Prevalensi PPOK Jawa Timur sebesar

3,6% (Yatun, Widayati, & Purwandari, 2016). Pada survey penderita PPOK di 17

Puskesmas yang berada di Jawa Timur, prevalensi emfisema paru 13,5%, bronkitis

kronik 13,5%, dan asma 7,7%.4 (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 10

Oktober 2018 di RSUD dr. R Soedarsono Pasuruan, didapatkan data dari Ruang

Interna 2 pada bulan Januari – September 2018 terdapat 232 pasien dengan

diagnosa Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Menurut wawancara dengan perawat

ruang Interna 2 RSUD dr. R Soedarsono Pasuruan, penatalaksanaan PPOK hanya

diberikan bronkodilator, clapping, dan edukasi batuk efektif, sedangkan tindakan

breathing exercise seperti kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

yang sebenarnya juga merupakan tindakan intervensi di ruangan namun pada

kenyataannya tindakan tersebut jarang dilakukan, karena memang waktu yang

dibutuhkan untuk satu kali intervensi pada satu pasien membutuhkan waktu 15-20

menit yang akan menyita banyak waktu, sedangkan masih banyak juga pasien lain

yang membutuhkan asuhan keperawatan dari perawat ruangan. Padahal dengan

tindakan kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing sangat membantu

untuk memulihkan otot-otot pernafasan pasien yang mengalami kelelahan sehingga

air trapping yaitu masalah utama pada pasien PPOK dapat teratasi sehingga

meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) bukan penyakit tunggal tetapi

merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan penyakit paru


4

kronis yang menyebabkan keterbatasan dalam aliran udara paru. Istilah lebih

umum bronkitis kronis dan emfisema tidak lagi digunakan, tetapi sekarang

termasuk dalam diagnosis PPOK (Naser, Medison, & Erly, 2016). Penderita

PPOK sering mengalami penurunan ventilasi alveolus yang membawa dampak

terjadinya hipoksemia, hipoksia dan hiperkapnia sehingga menyebabkan asidosis

respiratorik yang meningkatkan proses pernafasan dan penggunaan otot-otot bantu

pernafasan (Smeltzer et al., 2006 dalam Suprayitno, 2018). Keadaan tersebut

mengakibatkan pasien PPOK mengalami ketidakmampuan mendasar untuk

mencapai nilai normal aliran udara ketika ekspirasi (Price et al., 2005 dalam

Suprayitno, 2018). Peak expiratory flow rate (PEF) atau arus puncak ekspirasi

merupakan pencapaian aliran udara tertinggi pada saat ekspirasi serta gambaran

perubahan ukuran jalan nafas yang semakin membesar. (Iglesia, 2004 dalam

Suprayitno, 2018). Peak expiratory flow rate (PEF) digunakan sebagai prediktor

kematian rawat inap pasien PPOK yang penting dalam memprediksi kematian

pada pasien PPOK.

Perawat sebagai tenaga kesehatan profesioanl mempunyai peran yang

sangat penting dalam penatalaksanaan penderita PPOK, disamping pemberian

terapi secara farmakologis dan penghentian merokok, juga diperlukan terapi non

farmakologis, salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada

pasien PPOK adalah breathing retraining seperti kombinasi pursed lip breathing

dan balloon blowing. Pada pursed lip breathing exercise pasien dilatih agar selalu

bernafas dengan santai dan perlahan-lahan, inspirasi selalu melalui hidung dan

ekspirasi melalui mulut. Ekspirasi harus diupayakan tanpa paksa, secara perlahan

lahan dan agak lama, sedapat mungkin dua kali lebih lama dari inspirasi. Tujuan
5

pursed lip breathing ialah untuk mengurangi air trapping seberapa bisa, yaitu

melalui ekpirasi yang lebih lama dari inspirasi, sekaligus membantu mobilisasi

dahak kearah kerongkongan agar lebih mudah dibatukkan keluar (Danusantoso,

2017). Teknik meniup balon dapat membantu otot intercosta mengelevasikan otot

diafragma dan costa. Hal ini memungkinkan untuk menyerap oksigen, mengubah

bahan yang masih ada dalam paru dan mengeluarkan karbondioksida dalam paru.

Meniup balon sangat efektif untuk membantu ekpansi paru sehingga mampu

mensuplay oksigen dan mengeluarkan karbondioksida yang terjebak dalam paru

pada pasien PPOK. (Tunik, Rosa, Khoiriyati, 2017).

Menurut hasil penelitian Emdat Suprayitno (2018) tentang pengaruh pursed

lip breathing terhadap peak expiratory flow rate penderita penyakit paru obstruktif

kronis, terbukti dapat meningkatkan nilai PEF pada penderita PPOK. Penelitian

yang dilakukan Dewi Natalia et al., (2007) tentang efektifitas pursed lip breathing

dan tiup balon dalam peningkatan arus puncak ekspirasi (APE) pasien asma

bronchiale, keduanya terbukti dapat meningkatkan APE. Latihan nafas dengan

pursed lip breathing dan tiup balon pada pasien asma bronchiale efektif untuk

membantu mencapai peningkatan APE dan memperbaiki tingkat ekspirasi.

Penelitian yang dilakukan Royani (2007) tentang pengaruh terapi aktivitas bermain

meniup balon terhadap perubahan fungsi paru anak degan asma, terbukti setelah

dilakukan terapi meniup balon didapatkan distribusi frekuensi responden yang

parunya baik sebanyak 18 responden (60%) dan responden yang fungsinya parunya

kurang baik sebanyak 12 responden (40%), terdapat peningkatan pada fungsi paru

anak setelah dilakukan terapi meniup balon.


6

Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh

bagaimanakah pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

terhadap arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut : “Bagaimanakah pengaruh kombinasi pursed

lip breathing dan balloon blowing terhadap arus puncak ekspirasi pada pasien

PPOK?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi pasien PPOK.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi arus puncak ekspirasi pasien PPOK sebelum diberikan

kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing.

2. Mengidentifikasi arus puncak ekspirasi pasien PPOK sesudah diberikan

kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing.

3. Menganalisis pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

terhadap arus puncak ekspirasi pasien PPOK.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Bagi Peneliti : memperoleh pengalaman dalam melaksanakan aplikasi riset

keperawatan di tatanan pelayanan keperawatan, khususnya penelitian tentang

tindakan keperawatan pada pasien penyakit paru obstruktif kronis.


7

2. Bagi Peneliti Selanjutnya : hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi di

perpustakaan yang dapat menjadi acuan bagi peneliti – peneliti selanjutnya

dalam meneliti tentang kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

terhadap arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Pasien : hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

pasien tentang manfaat teknik pernafasan kombinasi pursed lip breathing dan

balloon blowing untuk meningkatkan arus puncak ekspirasi pada pasien yang

didiagnosis penyakit paru obstruktif kronis.

2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan : hasil penelitian ini

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan

pelayanan kesehatan, meningkatkan kinerja perawat dalam memberi asuhan

keperawatan pada klien dengan penyakit paru obstruktif kronis.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sistem Pernafasan

2.1.1 Definisi Sistem Pernafasan

Sistem respirasi manusia merupakan suatu susunan yang sangat kompleks.

Setiap sel dan jaringan yang menyusunnya memiliki fungsi dan peranannya

tersendiri. Strukturnya yang begitu rumit menjadikan sistem ini begitu istimewa

untuk menopang kehidupan manusia. (Kurniasih, 2017). Fungsi utama sistem

pernafasan adalah pertukaran gas. Dalam proses pertukaran ini, udara memasuki

tubuh pada saat inhalasi (inspirasi), kemudian udara pernafasan tersebut berjalan di

sepanjang traktus respiratorius melalui pertukaran antara oksigen dan karbon

dioksida di tingkat jaringan, dan akhirnya karbon dioksida dihembuskan keluar

pada saat ekhalasi (ekspirasi). (Kowalak et al., 2011: 218).

Saluran nafas atas yang tersusun rongga hidung, mulut, faring, laring,

memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru. Daerah ini bertanggung jawab

atas penghangatan, pelembapan (humidifikasi), serta penyaringan udara, dan

dengan demikian melindungi saluran nafas bawah terhadap benda asing. (Kowalak

et al., 2011: 218).

Saluran nafas bawah terdiri atas trakea, bronkus utama, bronkus sekunder

(percabangan bronkus), bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Struktur ini

merupakan ruang hampa anatomik (anatomic dead spaces) dan hanya berfungsi

sebagai lintasan untuk mengalirkan udara ke dalam serta ke luar paru-paru. Di

sebelah distal setiap bronkiolus terminalis terdapat asinus yang terdiri atas

57
58

bronkiolus respiratorik, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris. Bronkiolus serta

duktus berfungsi sebagai saluran penghantar, dan alveoli merupakan unit utama

pertukaran gas. Pembagian akhir percabangan bronkus akan membentuk lobus, unit

fungsional paru-paru. (Kowalak et al., 2011: 218).

Tujuan dari sistem respirasi adalah untuk memperoleh oksigen dari udara

ke jaringan tubuh dan membuang karbondioksida. Pertukaran gas ini sangat

penting. Seluruh sel tubuh membawa oksigen dari respirasi sel untuk memproduksi

ATP atau energi yang dibutuhkan dan dimanfaatkan manusia untuk melakukan

aktivitasnya sehari-hari. (Guyton et al., 2006 dalam Kurniasih, 2017).

Gambar 2.1 Sistem Respirasi Manusia: (A) Tampak anterior dari sistem respirasi
atas dan bawah; (B) Tampak mikroskopik dari alveoli dan kapiler pulmonaris
(Scanlon, 2007 dalam Kurniasih, 2017)

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan

Menurut (Octaviani et al., 2015) :

1. Paru

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk


59

pertukaran udara. Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal

kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis

yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel

dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya. Paru kanan terbagi

menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura obliqus dan horizontal. Paru

kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah. Segmen

lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan.

Namun, secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur

yang masuk dan keluar dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh

kantung pleura yang longgar. Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura

berdinding ganda yang membrannya melapisi bagian dalam toraks dan

menyelubungi permukaan luar paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis

jaringan ikat elastik dan mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura

tersebut terdapat cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan

pleura. Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru

di dalam rongga. Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah

dari arteri bronkialis cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena

bronkialis, yang juga berhubungan dengan vena pulmonalis, mengalirkan

darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli mendapat darah

deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang

teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua

vena pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri

jantung. Drainase limfatik paru mengalir kembali dari perifer menuju

kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan selanjutnya menuju


60

trunkus limfatikus mediastinal. Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang

terletak di pangkal paru. Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus

simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari

pleksus mensarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran

mukosa bronkioli dan alveoli.

2. Saluran Napas

Saluran pernapasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring,

trakea, dan paru. Laring membagi saluran pernapasan menjadi dua bagian,

yakni saluran pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah. Setelah melalui

saluran hidung dan faring, tempat udara pernapasan dihangatkan dan

dilembabkan oleh uap air, udara inspirasi berjalan menuruni trakea, melalui

bronkiolus, bronkiolus respiratorius, dan duktus alveolaris sampai alveolus.

Antara trakea dan kantong alveolar terdapat 23 kali percabangan saluran udara.

Enam belas percabangan pertama saluran udara merupakan zona konduksi

yang meyalurkan udara dari dan ke lingkungan luar. Bagian ini terdiri atas

bronkus, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis. Tujuh percabangan berikutnya

merupakan zona peralihan dan zona respirasi, dimana proses pertukaran gas

terjadi, terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan alveolus.

Adanya percabangan saluran udara yang majemuk ini meningkatkan luas total

penampang melintang saluran udara, dari 2,5 cm2 di trakea, menjadi 11.800

cm2 di alveoli. Akibatnya, kecepatan aliran udara di dalam saluran udara kecil

berkurang ke nilai yang sangat rendah. Tiap alveolus dikelilingi oleh pembuluh

kapiler paru. Di sebagian besar daerah, udara dan darah hanya dipisahkan oleh

epitel alveolus dan endotel kapiler sehingga keduanya hanya terpisah sejauh
61

0,5 μm. Tiap alveolus dilapisi oleh 2 jenis sel epitel, yaitu sel tipe 1 dan sel tipe

2. Sel tipe 1 merupakan sel gepeng sebagai sel pelapis utama, sedangkan sel

tipe 2 (pneumosit granuler) lebih tebal, banyak mengandung badan inklusi

lamelar dan mensekresi surfaktan. Surfaktan merupakan zat lemak yang

berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan.

3. Otot Pernapasan

Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks sebesar

75% selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar

rongga toraks, yang membentuk kubah diatas hepar dan bergerak ke arah

bawah seperti piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma

berkisar antara 1,5 cm sampai 7 cm saat inspirasi dalam. Otot inspirasi utama

lainnya adalah musculus interkostalis eksternus, yang berjalan dari iga ke iga

secara miring ke arah bawah dan ke depan. Poros iga bersendi pada vertebra

sehingga ketika musculus intercostalis eksternus berkontraksi, iga-iga

dibawahnya akan terangkat. Gerakan ini akan mendorong sternum ke luar dan

memperbesar diameter anteroposterior rongga dada. Diameter transversal juga

meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih kecil. Musculus interkostalis

eksternus dan diafragma dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat pada

keadaan istirahat. Musculus scalenus dan musculus sternocleidomastoideus

merupakan otot inspirasi tambahan yang ikut membantu mengangkat rongga

dada pada pernapasan yang sukar dan dalam. Otot ekspirasi akan berkontraksi

jika terjadi ekspirasi kuat dan menyebabkan volume intratoraks berkurang.

Musculus intercostalis internus bertugas untuk melakukan hal tersebut karena

otot-otot ini berjalan miring ke arah bawah dan belakang dari iga ke iga
62

sehingga ketika berkontraksi, otot-otot ini akan menarik rongga dada ke bawah.

Kontraksi otot dinding abdomen anterior juga membantu proses ekspirasi

dengan cara menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam serta dengan

meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan mendorong diafragma ke atas.

2.1.3 Mekanisme Pernapasan

Mekanisme respirasi dapat dibagi menjadi beberapa proses peristiwa

fungsional utama yakni ventilasi paru-paru, difusi oksigen dan karbondioksida di

antara alveolus dan darah, dan transfor oksigen dan karbon dioksida didalam darah

dan cairan tubuh ke dan dari sel (Asmadi, 2008 dalam Widiyani, 2015). Mekanisme

pernafasan juga melibatkan proses inspirasi (inhalasi) udara ke dalam paru-paru dan

ekspirasi (ekshalasi) udara dari paru-paru ke lingkungan luar tubuh (Sloane, 2003

dalam Widiyani, 2015).

1. Ventilasi Paru

Ventilasi paru merupakan suatu peristiwa masuk dan keluarnya udara

pernafasan antar atmosfer dan paru-paru. Proses ventilasi ini melibatkan

beberapa organ penting dalam pernfasan yakni hidung, faring, trakea, bronkus,

bronkiolus, alveolus dan paru-paru (Asmadi, 2008 dalam Widiyani, 2015).

Dalam proses ventilasi, paru-paru dapat dikembang kempiskan melalui dua

cara (Guyton & Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015).

a. Inspirasi

Inspirasi adalah udara yang mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam

trakea, bronkus, bronkiolus dan alveoli (Smeltzer & Bare, 2007 dalam

Widiyani, 2015). Agar udara dapat mengalir masuk ke dalam alveoli,

tekanan di dalam paru harus menjadi lebih rendah dari pada tekanan
63

atmosfer. Selama inspirasi volume pada toraks meningkat ketika otot

rangka interkostalis eksterna dan skalenus pada iga dan diafragma

berkontraksi dan menarik iga ke atas dan ke luar. Gabungan dari kedua

gerakan tersebut dapat membuat bertambahnya volume pada toraks dan

tekanan berkurang, hal ini sesuai dengan hukum boyle dimana terjadi

peningkatan volume yang menyebabkan penurunan tekanan (Silverthorn,

2013). Proses inspirasi terjadi ketika diafragma dan otot interkostal

berkontraksi dan meningkatkan volume rongga dada menyebabkan paru

mengembang dan tekanan dalam kantung alveolar (tekanan intra-alveolar)

menjadi lebih negatif (-3 mmHg) dari tekanan atmosfer. Tekanan negatif

ini dapat udara ke dalam kantung alveolar melalui jalan nafas sehingga

udara dapat masuk pada kantung alveolar. Setelah inspirasi, otot yang

digunakan untuk inspirasi akan berelaksasi dan rongga dada kembali ke

posisi istirahat (Mutaqqin, 2012 dalam Widiyani, 2015).

b. Ekspirasi

Ekspirasi merupakan suatu peristiwa dimana terjadi pergerakan udara

(karbondioksida) dari alveolus menuju atmosfer. Proses ini merupakan

proses pasif normal yang bergantung pada recoil elastisitas (sifat elastis

paru untuk kembali pada posisi semula) dan membutuhkan sedikit kerja

otot atau tidak sama sekali (Potter & Perry, 2005 dalam Widiyani, 2015).

Setelah proses inspirasi, otot yang digunakan untuk inspirasi akan

berelaksasi dan rongga dada kembali ke posisi istirahat. Penurunan ukuran

dada tersebut mengakibatkan tekanan yang dihasilkan paru dan tekanan

intra-alveolar menjadi +1 sampai +3 mmHg. Hal tersebut mengakibatkan


64

proses ekspirasi berlangsung karena tekanan intrapulmonal lebih tinggi

dari pada tekanan udara luar (atmosfer) sehingga udara bergerak ke luar

paru (Muttaqin, 2012 dalam Widiyani, 2015). Selama olahraga atau

pernafasan paksa, nilai-nilai tersebut akan bertambah secara proporsional.

Ekspirasi aktif terjadi selama ekspirasi disengaja dan saat ventilasi

melebihi 30-40 pernafasan per menit. Ekspirasi aktif menggunakan otot

interkostalis interna dan otot abdominalis, yang tidak digunakan selama

inspirasi (Silverthorn, 2013).

2. Difusi

Difusi adalah suatu gerakan molekul dari suatu daerah dengan konsentrasi

yang lebih tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah (Potter &

Perry, 2005 dalam Widiyani, 2015). Di dalam sistem respirasi pengertian difusi

merupakan proses dimana terjadinya pertukaran oksigen dan karbondioksida

pada tempat pertemuan udara dan darah (Smeltzer & Bare, 2007 dalam

Widiyani, 2015). Proses difusi ini terjadi pergerakan O2 dan CO2 dari area yang

bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah. Di dalam alveoli, O2

melintasi membran alveoli-kapiler dari alveoli ke darah karena adanya

perbedaan tekanan PO2 yang tinggi di alveoli (100 mmHg dan tekanan pada

kapiler yang lebih rendah (PO2 40 mmHg), CO2 berdifusi dengan arah

berlawanan akibat perbedaan tekanan PCO2 darah 45 mmHg dan alveoli 40

mmHg (Muttaqin, 2012 dalam Widiyani, 2015). Proses difusi dipengaruhi oleh

faktor ketebalan, luas permukaan, dan komposisi membran; koefisien difusi O2

dan CO2; serta perbedaan tekanan gas O2 dan CO2. Dalam difusi gas ini, organ

pernafasan yang berperan penting adalah alveoli dan darah. Adanya perbedaan
65

tekanan parsial dan difusi pada sistem kapiler dan cairan interstitial akan

menyebabkan O2 dan CO2 yang kemudian akan masuk pada zona respirasi

untuk melakukan difusi respirasi (Potter & Perry, 2005 dalam Widiyani, 2015).

3. Transpor oksigen

Transpor oksigen adalah perpindahan gas dari paru-paru ke jaringan dan

dari jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah). Masuknya O2 ke

dalam sel darah yang bergabung dengan hemoglobin yang kemudian

membentuk oksihemoglobin sebanyak 97% dan sisanya 3% ditransportasikan

ke dalam cairan plasma dan sel (Muttaqin, 2012 dalam Widiyani, 2015). Dalam

sel, oksigen bereaksi dengan berbagai bahan makanan (reaksi metabolisme)

dan menghasilkan karbondioksida. Karbondioksida selanjutnya masuk dalam

kapiler jaringan dan ditranspor kembali ke paru-paru. Selanjutnya akan

dibuang melalui napas (Asmadi, 2008 dalam Widiyani, 2015). Transpor

oksigen dalam mentranspor oksigen ke sel dilakukan oleh hemoglobin (Hb)

dimana 1 gr Hb dapat mengangkut 1,4 ml oksigen. Hal ini terjadi karena

hemoglobin memiliki daya afinitas terhadap oksigen. Faktor yang

mempengaruhi afinitas Hb adalah pH darah, Kadar CO2 darah, kadar 2,3

disfofogliserat dan temperatur tubuh (Asmadi, 2008 dalam Widiyani, 2015).

2.1.4 Volume Paru

Menurut (Dorce, 2006 dalam Wulandari, 2014) volume paru akan berubah-

ubah saat pernapasan berlangsung. Saat inspirasi akan mengembang dan saat

ekspirasi akan mengempis. Pada keadaan normal, pernapasan terjadi secara pasif

dan berlangsung tanpa disadari. Beberapa parameter yang menggambarkan volume

paru adalah :
66

1. Volume tidal (Tidal Volume = TV), adalah volume udara paru yang masuk dan

keluar paru pada pernapasan biasa. Besarnya TV pada orang dewasa sekitar 500

ml

2. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV), volume

udara yang masih dapat dihirup kedalam paru sesudah inpirasi biasa, besarnya

IRV pada orang dewasa adalah sekitar 3100 ml.

3. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV), adalah

volume udara yang masih dapat dikeluarkan dari paru sesudah ekspirasi biasa,

besarnya ERV pada orang dewasa sekitar 1000-1200 ml.

4. Volume Residu (Residual Volume = RV), udara yang masih tersisa didalam

paru sesudah ekspirasi maksimal sekitar 1100ml. TV, IRV, ERV dapat langsung

diukur dengan spirometer, sedangkan RV = TLC – VC

2.1.5 Kapasitas Paru

Menurut (Syaifuddin, 1996 dalam Wulandari, 2014) kapasitas paru-paru

adalah kesanggupan paru- paru dalam menampung udara di dalamnya. Kapasitas

paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Kapasitas total, adalah jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada

inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung

beberapa hal: kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang.

2. Kapasitas vital, adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi

maksimal.

Dalam keadaan yang normal, kedua paru-paru dapat menampung udara

sebanyak -5 liter. Waktu ekspirasi, di dalam paru-paru masih tertinggal ±3 liter

udara. Pada saat kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600
67

cm3 (21/2 liter).

Menurut (Hood, 1992 dalam Wulandari, 2014) ada dua macam kapasitas

vital berdasarkan cara pengukurannya :

1. Vital Capacity (VC): pada pengukuran jenis ini individu tidak perlu melakukan

aktivitas pernapasan dengan kekuatan penuh.

2. Forced Vital Capacity (FVC): pada pengukuran ini pemeriksaan dilakukan

dengan kekuatan maksimal.

Pada orang normal tidak ada perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas

vital paksa, tetapi pada keadaan ada gangguan obstruktif terdapat perbedaan antara

kapasitas vital dan kapasitas vital paksa. Vital Capacity merupakan refleks dari

kemampuan elastisitas jaringan paru, atau kekakuan pergerakan dinding toraks.

VC yang menurun dapat diartikan adanya kekakuan jaringan paru atau dinding

toraks, dengan kata lain VC mempunyai korelasi yang baik dengan compliance

paru atau dinding toraks. Pada kelainan obstruktif yang ringan VC hanya

mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.

2.2 Konsep Teori Penyakit Paru Obstruktif Kronis

2.2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis

COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) atau PPOK merupakan

penyakit kronis yang ditandai dengan batuk produktif dan dispnea dan terjadinya

obstruktif saluran nafas sekalipun penyakit ini bersifat kronis dan merupakan

gabungan dari emfisema, bronkiolitis kronik maupun asma, tetapi dalam keadaan

tertentu terjadi perburukan dari fungsi pernafasan. Dalam beberapa keadaan

perburukan dari COPD ini dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan,

oleh karena itu istilah yang sering digunakan adalah Acute on Chronic Respiratory
68

Failure (ACRF). Berbeda dengan asma, penyakit COPD menyebabkan obstruktif

saluran pernafasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada COPD

biasanya terjadi bersama sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini.

Bila penyebabnya adalah bronkitis kronik maka gejala yang utama adalah produksi

sputum yang berlebihan. Akan tetapi bila penyebabnya adalah emfisema maka

gejala utamanya adalah kerusakan pada alveoli dengan keluhan klinis berupa

dispnea yang terjadi sehubungan dengan adanya gerak badan. (Rab, 2010:397-398)

Global initiative for chronic obstructive lung disease (GOLD) mengartikan

PPOK adalah suatu penyakit yang bisa dilakukan pencegahan dan pengobatan.

PPOK memiliki tanda gejala terdapatnya hambatan aliran udara dalam saluran

pernafasan yang bersifat progresif. PPOK juga terdapat peradangan atau inflamasi

pada saluran pernafasan dan paru-paru yang diakibatkan oleh adanya partikel dan

gas yang berbahaya (GOLD, 2013). PPOK merupakan keadaan irreversible yang

ditandai adanya sesak nafas pada saat melakukan aktivitas dan terganggunya aliran

udara masuk dan keluar dari paru-paru (Smeltzer et al., 2013). PPOK merupakan

penyakit kronis ditandai dengan terhambatnya aliran udara karena obstruktif

saluran pernafasan yang disebabkan oleh paparan yang lama terhadap polusi dan

asap rokok. PPOK merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok

penyakit paru-paru yang berlangsung lama (Grace et al., 2011).

PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati yang secara umum

ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus biasanya progresif

dan berhubungan dengan peradangan kronis, peningkatan respon dalam saluran

udara dan paru-paru dari partikel berbahaya atau gas (Vestbo et al., 2013). Penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit radang saluran nafas utama ditandai
69

dengan keterbatasan aliran udara sebagian besar ireversibel yang menghasilkan

hypoxemia dan hiperkapnia. (Huang et al., 2013)

2.2.2 Penyebab Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Berbagai faktor resiko penyebab dari COPD menurut (Rab, 2010:399) adalah :

1. Kebiasaan merokok. Pada perokok berat kemungkinan untuk mendapatkan

COPD menjadi lebih tinggi. Selain itu dapat terjadi penurunan dari refleks

batuk. Rokok akan mengganggu kerja silia serta fungsi sel-sel makrofag dan

menyebabkan inflamasi pada jalan nafas, peningkatan produksi lendir

(mukus), destruksi septum alveolar serta fibrosis peribronkial.

2. Bertambahnya usia. Nilai faal paru terus menurun sesuai bertambahnya umur

karena dengan meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap

penyakit akan bertambah.

3. Polusi lingkungan. Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan

gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Zat yang paling banyak

pengaruhnya terhadap saluran pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida

(SO2), Nitrogen dioksida (NO2), dan ozon. Kandungan SO2, NO2 dan ozon

yang tinggi pada udara dapat menginduksi reaksi inflamasi pada paru dan

gangguan sistem imunitas pada tubuh.

4. Pasien yang tinggal di kota kemungkinan untuk terkena COPD lebih tinggi

dari pada pasien yang tiggal di desa

5. Pekerjaan. Pekerja tambang yang bekerja di ligkungan yang berdebu akan

lebih mudah terkena COPD

6. Berbagai faktor lainnya, yakni :

a. Jenis kelamin, dimana pasien pria lebih banyak daripada wanita


70

b. Status sosial ekonomi, dimana pada status ekonomi yang rendah

kemungkinan untuk mendapatkan COPD lebih tinggi.

c. Infeksi bronkus yang berulang

d. Alergi maupun hipersensitif pada bronkus

e. Faktor genetik, dimana terdapat alfa2 Protease inhibitor yang rendah

(Penghambat alfa 2 protease)

7. Dalam menentukan berbagai faktor risiko untuk mendapatkan serangan ini

harus pula dipertimbangkan efek yang terdapat di luar paru.

2.2.3 Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Merokok, salah satu penyebab utama PPOM, akan mengganggu kerja silia

serta fungsi sel-sel makrofag dan menyebabkan inflamasi pada jalan nafas,

peningkatan produksi lendir (mukus), destruksi septum alveolar serta fibrosis

peribronkial, Perubahan inflamatori yang dini dapat dipulihkan jika pasien berhenti

merokok sebelum penyakit paru meluas.

Sumbatan mukus dan peyempitan jalan nafas menyebabkan udara nafas

terperangkap, seperti pada bronkitis kronik dan emfisema. Hiperinflasi terjadi pada

alveoli paru ketika pasien menghembuskan nafas keluar (ekspirasi). Pada inspirasi,

jalan nafas menjadi sempit dan aliran udara nafas akan terhalang. Keadaan udara

nafas yang terperangkap (yang juga dinamakan ball valving) umumnya terjadi pada

asma dan bronkitis kronik. (Kowalak et al., 2011:241)


71

2.2.4 Pathway Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Bronkitis Kronis Emfisema Asma Bronkial

Penumpukan lendir dan Obstruksi pada pertukaran Jalan nafas menyempit


sekresi yang banyak oksigen dan karbondioksida dan membatasi udara
menyumbat jalan nafas terjadi akibat kerusakan ke paru
dinding alveoli

Gangguan pergerakan udara


dari dalam dan keluar paru

Penurunan kemampuan Peningkatan usaha dan frekuensi


batuk efektif pernafasan, penggunaan otot
bantu pernafasan

Ketidakefektifan bersihan
jalan nafas
Respon sistemis dan psikologis

Peningkatan Keluhan mual, malaise, Keluhan psikososial,


kerja pernafasan kelemahan, keletihan fisik, kecemasan
intake nutrisi tidak adekuat

Kecemasan,
Hipoksemia Pemenuhan nutrisi ketidaktahuan/
kurang dari kebutuhan pemenuhan
informasi
tubuh
Gangguan
pertukaran gas Gangguan pemenuhan ADL

Gambar 2.2 Bagan Pathway PPOK (Muttaqin, 2008: 157 dalam Fitriani, 2018)
72

2.2.5 Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Menurut Jackson (2014) :

1. Asma

Penyakit jalan nafas obstruktif intermien, reversible dimana trakea dan

bronkus berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu (Brunner

et al., 2010).

2. Bronkitis kronis

Bronkitis kronis merupakan batuk produktif dan menetap minimal 3 bulan

secara berturut-turut dalam kurun waktu sekurang-kurangnya selama 2 tahun.

Bronkhitis Kronis adalah batuk yang hampir terjadi setiap hari dengan disertai

dahak selama tiga bulan dalam setahun dan terjadi minimal selama dua tahun

berturut-turut (GOLD, 2010).

3. Emfisema

Emfisema adalah perubahan struktur anatomi parenkim paru yang ditandai

oleh pembesaran alveolus, tidak normalnya duktus alveolar dan destruksi pada

dinding alveolar. (PDPI, 2003).

Secara klinis menurut (Rab, 2010:400) COPD dibagi atas 3 jenis, yaitu:

1. Tipe A / Tipe Emfisema (Pink Puffer)

Secara klinis ditandai dengan dispnea dimana pada permulaannya terjadi

bersamaan dengan adanya gerak badan (exertional dyspnoe), pada keadaan

yang lebih dispnea akan menjadi semakin progresif dimana terjadi juga dalam

keadaan istirahat, terutama pada pasien yang berusia tua. Pada keadaan ini

prognosis biasanya buruk. Bila terjadi infeksi sputum biasanya menjadi kental

dan banyak, serta sulit untuk dikeluarkan. Otot otot nafas tambahan tampak
73

dipergunakan tetapi sianosis jarang terjadi.

Pada tipe A ini biasanya sesak nafas berlangsung secara progresif dan

terdapat gangguan difusi gas serta kegagalan ventrikuler. Pada umumnya tipe

ini progresif buruk.

2. Tipe B / Tipe Bronkitis (Blue Bloter)

Pada tipe B yang disebabkan oleh bronkitis kronik gambaran penyakitnya

berbeda dengan tipe A. Keadaan ini terjadi pada pasien perokok. Secara klinis

ditandai dengan gejala batuk, produksi sputum yang banyak, dan sesak nafas

yang terjadi secara periodik, terutama pada saat batuk. Keluhan ini akan mejadi

lebih jelas bila terjadi infeksi.

Berbeda degan tipe A pasien tidak kurus, bahkan kemungkinan gemuk.

Bila tidak terdapat serangan, maka pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan

adanya kelainan. Pada pasien ini dapat ditemukan adanya sianosis dan edema

yang disebabkan oleh karena adanya kegagalan pada ventrikular kanan, oleh

itu disebut juga dengan blue bloter. Diameter anteroposterior dari rongga

toraks tidak mengalami penambahan, begitu pula dengan gerakan diafragma

tampak terlihat normal. Berbeda dengan tipe A dan tipe B tidak terdapat

kesulitan ekspirasi. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya

penambahan gambaran pembuluh darah ventrikular kanan yang membesar dan

juga terdapat pelebaran dari arteri pulmonalis. Pada EKG terlihat gambaran “P

pulmonale”. Tanda yang karakteristik pada tipe B ini adalah adanya sesak nafas

yang terjadi secara episodik yang disertai dengan kegagalan pada jantung

kanan yang dapat membahayakan.


74

3. Gabungan tipe A dan tipe B

Gabungan dari tipe A dan tipe B ini sebenarnya merupakan bagian dari

COPD yang disebabkan oleh asma. Pada keadaan ini dapat ditemukan adanya

bronkospasme dan emfisema.

2.2.6 Tanda dan Gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Tanda dan Gejala penyakit PPOM menurut (Kowalak et al., 2011:242) :

1. Penurunan kemampuan melakukan aktifitas fisik atau pekerjaan yang cukup

berat dan keadaan ini terjadi karena penurunan cadangan paru.

2. Batuk produktif akibat stimulasi refleks batuk oleh mukus.

3. Dispnea pada aktifitas fisik ringan.

4. Infeksi saluran nafas yang sering terjadi.

5. Hipoksemia intermitten atau kontinue.

6. Hasil tes faal paru yang menunjukkan kelainan yang nyata.

7. Deformitas toraks.

2.2.7 Komplikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Komplikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut (Grace et al.,

2011) dan (Jackson, 2014) :

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal nafas kronik, gagal

nafas akut, infeksi berulang, dan kor pulmonal. Gagal nafas kronis ditunjukkan oleh

hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta Ph

dapat normal. Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis ditandai oleh sesak nafas

dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan

kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan

menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi


75

berulang. Selain itu, pada kondisi kronis ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,

ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonal ditandai

oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dan dapat disertai gagal jantung

kanan (PDPI, 2016)

2.2.8 Derajat Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic Obstruktif

Lung Disiase (GOLD, 2011 dalam Suprayitno, 2017) :

1 Derajat I (Ringan): Gejala batuk kronis dan ada produksi sputum tapi tidak

sering. Pada derajat ini pasien tidak menyadari bahwa menderita PPOK.

2 Derajat II (Sedang): Sesak nafas mulai terasa pada saat beraktifitas terkadang

terdapat gejala batuk dan produksi sputum. Biasanya pasien mulai

memeriksakan kesehatannya pada derajat ini.

3 Derajat III (Berat): Sesak nafas terasa lebih berat, terdapat penurunan

aktifitas, mudah lelah, serangan eksaserbasi bertambah sering dan mulai

memberikan dampak terhadap kualitas hidup.

4 Derajat IV (PPOK Sangat Berat): Terdapat gejala pada derajat I, II dan III

serta adanya tanda-tanda gagal nafas atau gagal jantung kanan. Pasien mulai

tergantung pada oksigen. Kualitas hidup mulai memburuk dan dapat terjadi

gagal nafas kronis pada saat terjadi eksaserbasi sehingga dapat mengancam

jiwa pasien.

2.2.9 Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Penatalaksanaan pada pasien dengan PPOK dibagi menjadi 2, yaitu

penatalaksanaan secara farmakologi dan non farmakologi :


76

2.2.9.1 Penatalaksanaan Secara Farmakologi

Menurut (Ikawati, 2007 dalam Ahda, 2018) :

1. Antikolinergik

Obat golongan antikolinergik dapat menghasilkan perbaikan yang lebih

besar dari pada obat golongan simpatomimetik. Antikolinergik dapat

mempertahankan keefektifannya selama bertahun-tahun dalam penggunaan

obat yang teratur. Contoh dari golongan antikolinergik adalah atropin dan

ipratropium bromida.

2. Simpatomimetik

Golongan simpatomimetik memiliki onset kerja yang cepat, sehingga

biasanya digunakan pada fase eksaserbasi akut. Pada kondisi lain biasanya obat

golongan simpatomimetik dapat digunakan untuk gejala PPOK yang masih

stabil tetapi dikombinasikan dengan obat golongan antikolinergik.

3. Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik

Kombinasi dua golongan obat ini digunakan pada pasien PPOK yang

mengalami gejala yang semakin memburuk, kombinasi dari kedua golongan

bronkodilator ini lebih efektif dari pada sendiri-sendiri.

4. Kortikosteroid

Mekanisme kerja dari kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi dan

memiliki keuntungan yaitu : mereduksi permeabilitas kapiler untuk

mengurangi produksi mukus dan menghambat prostaglandin.

5. Antibiotik

Terapi ini dimulai dalam 24 jam setelah gejala mulai terlihat penurunan

fungsi paru-paru karena iritasi dan sumbatan mukus. Pemilihan obat antibiotik
77

harus berdasarkan bakteri yang menginfeksi.

Tabel 2.1 Terapi Antibiotik Yang Direkomendasikan Untuk Eksaserbasi Akut


Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Karakteristik
Patogen Penyebabnya Terapi yang diberikan
Pasien
1. Eksaserbasi 1. S. Pneumoniae, H. 1. Makrolid (azitromisin)
tanpa 2. Influenzae, H. 2. Sefalosporin generasi
komplikasi 3. Parainfluenzae dan kedua atau tiga,
2. < 4 kali M. Catarrhalis doksisklin.
eksaserbasi
dalam satu
tahun
3. Tidak ada
penyakit
penyerta
4. FEV > 50%
3. Eksaserbasi 1. S. Pneumoniae, H. 1. Amoksisilin
kompleks 2. Influenzae, H. 2. Fluorokuinolon
4. Umur > 65 3. Parainfluenzae dan (levofloksasin,
tahun M. Catarrhalis gatifloksasin,
5. > 4 kali 4. H. Influenzae dan M moksifloksasin)
eksaserbasi catarrhalis penghasil
dalam satu beta-laktamase
tahun
6. FEV1 < 50%
tapi > 35%
3. Eksaserbasi 1. S. Pneumoniae, H. 1. Fluorokuinolon
2. Influenzae, H. (levofloksasin,
kompleks 3. Parainfluenzae dan gatifloksasin,
M. Catarrhalis moksifloksasin)
4. H. Influenzae dan M 2. Terapi IV jika
catarrhalis penghasil diperlukan :
beta-laktamase sefalosporin.
5. P aeruginosa
Sumber : (Bourdet dan William, 2005 dalam Ahda, 2018)

6. Metilksantin

Golongan dari metilksantin seperti teofilin dan aminofilin, umumnya obat

ini digunakan jika pasien intoleran terhadap bronkodilator lainnya. Penggunaan

kombinasi misalnya pada teofilin dan salmeterol dapat meningkatkan fungsi

paru-paru dan mengurangi dyspnea.


78

7. Imunisasi

Pada pasien PPOK sebaiknya mendapatkan vaksin pneumococcal dan

vaksinasi influenza setiap tahunnya.

8. Terapi Oksigen

Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan proses oksigenasi. Pasien PPOK mengalami hipoksemia

yang progresif dan berkepanjangan sehingga menyebabkan kerusakan sel dan

jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot

maupun organ-organ lainnya.

2.2.9.2 Penatalaksanaan Secara Non Farmakologi

Menurut (PDPI, 2016) :

1. Edukasi

Penatalaksanaan edukasi sangat penting pada PPOK keadaan stabil yang

dapat dilakukan dalam jangka panjang karena PPOK merupakan penyakit

kronis yang progresif dan irreversible. Intervensi edukasi untuk menyesuaikan

keterbatasan aktifitas fisik dan pencegahan kecepatan penurunan fungsi paru.

Edukasi dilakukan menggunakan bahasa yang singkat, mudah dimengerti dan

langsung pada inti permasalahan yang dialami pasien. Pelaksanaan edukasi

seharusnya dilakukan berulang dengan materi edukasi yang sederhana dan

singkat dalam satu kali pertemuan.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

a) Mengetahui proses penyakit

b) Melakukan pengobatan yang optimal


79

c) Mencapai aktifitas yang maksimal

d) Mencapai peningkatan kualitas hidup

Materi edukasi yang dapat diberikan yaitu :

a) Dasar- dasar penyakit PPOK

b) Manfaat dan efek samping obat-obatan

c) Mencegah penyakit tidak semakin memburuk

d) Menjauhi faktor penyebab (seperti merokok)

e) Menyesuaikan aktifitas fisik

Materi edukasi menurut prioritas yaitu :

a) Penyampaian berhenti merokok dilakukan pada saat pertama kali

penegakan diagnosis PPOK.

b) Penggunaan dari macam-macam dan jenis obat yang meliputi: cara

penggunaan, waktu penggunaan dan dosis yang benar serta efek samping

penggunaan obat.

c) Waktu dan dosis penggunaan oksigen. Mengenal efek samping kelebihan

dosis penggunaan oksigen dan cara mengatasi efek samping penggunaan

oksigen tersebut.

d) Mengetahui gejala eksaserbasi akut dan penatalaksanannya seperti

adanya sesak dan batuk, peningkatan sputum, perubahan warna sputum,

dan menjauhi penyebab eksaserbasi.

e) Penyesuaian aktifitas hidup dengan berbagai keterbatasan aktifitasnya.

2. Ventilasi mekanis

Ventilasi mekanis pada PPOK diberikan pada eksaserbasi dengan adanya

gagal nafas yang akut, gagal nafas akut pada gagal nafas kronis atau PPOK
80

derajat berat dengan gagal nafas kronis. Ventilasi mekanis dapat dilakukan di

rumah sakit (ICU) dan di rumah.

3. Nutrisi

Pasien PPOK sering mengalami malnutrisi yang disebabkan meningkatnya

kebutuhan energi sebagai dampak dari peningkatan otot pernafasan karena

mengalami hipoksemia kronis dan hiperkapni sehingga terjadi

hipermetabolisme. Malnutrisi akan meningkatkan angka kematian pada pasien

PPOK karena berkaitan dengan penurunan fungsi paru dan perubahan analisa

gas darah.

4. Program Latihan

Program latihan terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial

dan latihan pernapasan. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk mengurangi

dan mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma

dan pursed lip breathing guna memperbaiki ventilasi dan menyinkronkan kerja

otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga untuk melatih ekspektorasi dan

memperkuat otot ekstremitas. Teknik pernapasan dapat membantu dalam

mengatasi kecemasan eksaserbasi akut pada bronkus. Hal ini melibatkan

bernapas melalui hidung sehingga udara dibasahi, dibersihkan dan hangat oleh

sinus, dan kemudian bernapas melalui mulut dengan bibir mengerucut (pursed

lip berathing exercise) untuk membantu mengoptimalkan fungsi paru-paru

(Dufton, 2012). Latihan ini diprogramkan bagi penderita bronkitis yang

mengalami kelelahan pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat

menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi

maksimum yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasam akan


81

mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimum, memperbaiki

kualitas hidup dan mengurangi sesak napas (PDPI, 2003 dalam Widiyani,

2015).

2.3 Konsep Arus Puncak Ekspirasi

2.3.1 Definisi Arus Puncak Ekspirasi

Peak Expiratory Flow rate (PEF) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE) adalah

titik aliran tertinggi yang dapat dicapai oleh ekspirasi yang maksimal. Nilai APE

mencerminkan terjadinya perubahan ukuran jalan nafas menjadi besar (Potter et al.,

2005 dalam Suprayitno, 2017). APE yang diukur dalam satuan liter/menit dapat

memberikan peringatan dini terjadinya penurunan fungsi paru dan menggambarkan

adanya penyempitan atau sumbatan jalan nafas (Siregar, 2007 dalam Suprayitno,

2017). Pengukuran APE berkorelasi dan sama dengan pengukuran FEV1 (Potter et

al., 2005 dalam Suprayitno, 2017). FEV1 adalah volume ekspirasi yang dipaksa

selama 1 detik dan dapat diukur menggunakan spirometri. Pengukuran APE dapat

dilakukan dengan spirometri atau alat yang lebih sederhana, yaitu dengan

menggunakan peak flow meter (Pangestuti, 2014).

Nilai APE didapatkan dengan melakukan pengukuran sederhana dengan

menggunakan alat peak expiratory flow meter. Alat ini relatif murah, mudah

dibawa, dan tersedia di beberapa tingkat pelayanan kesehatan seperti puskesmas

maupun instalasi gawat darurat. Alat ini lebih mudah digunakan atau dimengerti

oleh dokter ataupun pasien penyakit paru obstruksi kronis. Alat ini dapat

dipergunakan untuk memantau kondisi pasien dalam kehidupan sehari-hari selama

perawatan dirumah (PDPI, 2010 dalam Suprayitno, 2017). Pengukuran APE adalah

menghitung jumlah aliran udara tertinggi yang bisa dicapai pada saat ekspirasi
82

dalam waktu tertentu. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur aliran udara pada

saluran nafas besar (Menaldi, 2001 dalam Suprayitno, 2017).

2.3.2 Indikasi Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi


Menurut (GINA, 2002 dalam Suprayitno, 2017) :

1. Untuk penegakan diagnosa asma. Pengukuran APE dilakukan secara berkala

yaitu pagi dan sore yang dilakukan setiap hari selama 2 minggu.

2. Penderita penyakit asma dan penyakit PPOK yang dalam keadaan stabil untuk

memperoleh nilai dasar APE.

3. Melakukan evaluasi pengobatan pada pasien asma, PPOK, dan sindrom

obstruktif setelah menderita tuberculosis karena mengalami eksaserbasi akut

setelah diberikan obat bronkodilator.

4. Untuk mengevaluasi perkembangan penyakit.

5. Untuk mendapat variasi harian APE khususnya pada pasien asma dan nilai

terbaik APE yang dilakukan pengukuran pada waktu pagi hari dan sore hari

selama 2-3 minggu dan dilakukan setiap hari.

6. Memonitor fungsi paru-paru.

Beberapa pengukuran APE, yaitu:

1. APE sesaat

a. Bisa dilakukan setiap waktu.

b. Untuk memastikan adanya sumbatan saluran nafas.

c. Mengetahui beratnya obstruktif khususnya bagi yang telah mengetahui nilai

standar normalnya.

d. Nilai APE sesaat dibandingkan dengan nilai APE tertinggi untuk memperleh

nilai persentase.

2. APE tertinggi
83

a. Untuk standar nilai normal APE seorang pasien.

b. Untuk pembanding nilai persentase.

c. APE tertinggi diperoleh dari nilai APE tertinggi hasil pengukuran APE yang

dilakukan selama 2 kali sehari yaitu pagi dan sore dalam waktu 2 minggu.

3. APE variasi harian

a. Untuk mendapatkan nilai tertinggi/nilai standar normal seorang pasien.

b. Mengetahui keadaan stabil pada pasien asma yang terkontrol. Asma memiliki

variasi harian < 20%.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Arus Puncak Ekspirasi

Menurut (Yunus, 2003 dalam Novarin, 2014) nilai arus puncak seseorang

dapat beragam dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang

mempengaruhi nilai APE, yaitu :

1. Faktor Host

a. Umur

Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah atau meningkat volumenya

dan mencapai maksimal pada umur 19-21 tahun. Setelah itu nilai faal paru

terus menurun sesuai bertambahnya umur karena dengan meningkatnya

umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah.

b. Jenis Kelamin

Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin amat penting karena secara

biologis berbeda antara pria dan wanita. Nilai APE pria lebih besar dari pada

wanita berdasarkan tabel nilai normal APE.


84

c. Ras

Pada orang kulit hitam, hasil faal parunya lebih kecil bila dibandingkan

dengan orang kulit putih. Salah satu alasannya adalah bahwa ukuran thoraks

kulit hitam lebih kecil dari pada orang kulit putih. Indonesia yang terdiri dari

banyak suku bangsa belum ada data-data antropologis yang dapat

menerangkan adanya perbedaan anatomis rongga dada dan tentunya juga

akan mempengaruhi faal parunya.

d. Kebiasaan Merokok

Merokok merupakan faktor utama yang dapat mempercepat penurunan

fungsi paru. Walaupun hanya sebagian kecil dari perokok akan

bermanisfestasi klinis menjadi penyakit paru obstruksi dan hanya sebagian

kecil yang akan menyebabkan kerusakan fungsi paru yang berat. Merokok

dapat menyebabkan perubahan struktur jalan napas maupun parenkim paru.

Perubahan struktur jalan napas besar berupa hipertrofi dan hiperplasia

kelenjar mukus. Sehingga dapat mempengaruhi nilai aliran puncak

ekspirasinya (Guyton & Hall, 2007).

2. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti

kebiasaan merokok, polusi udara, dan lingkungan kerja. Polusi udara dapat

menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan fungsi tubuh, termasuk

gangguan faal paru. Zat yang paling banyak pengaruhnya terhadap saluran

pernapasan dan paru adalah sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2),

dan ozon. Kandungan SO2, NO2 dan ozon yang tinggi pada udara dapat
85

menginduksi reaksi inflamasi pada paru dan gangguan sistem imunitas pada

tubuh (Budiono, dalam Novarin, 2014).

Paparan SO2 dapat menimbulkan bronkospasme, sebagian SO2 akan

tertahan di saluran napas atas, karena bereaksi dengan air yang terdapat di

lapisan mukosa. Dan kejadian infeksi saluran napas meningkat pada orang

yang terpapar dengan NO2. Hal itu disebabkan karena terjadi kerusakan silia,

gangguan sekresi mukus dan fungsi makrofage alveolar serta gangguan

imunitas humoral. Sedangkan paparan ozon akan dapat meningkatkan

hiperaktivitas bronkus pada klien asma maupun pada klien sehat (Yunus, dalam

Novarin, 2014).

2.3.4 Nilai Normal Arus Puncak Ekspirasi

Nilai normal pengukuran APE pada laki-laki yaitu 500-700 L/menit. Nilai

normal pengukuran APE pada perempuan yaitu 380-500 L/menit. Variasi dari hasil

pengukuran nilai APE dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: usia, ras, jenis

kelamin, tinggi badan, dan riwayat merokok.

Kategori hasil pengukuran APE menurut (Menaldi, 2001 dalam Suprayitno,


2017) :
1 Obstruktif : < 80% dari nilai prediksi pada orang dewasa apabila hasil

pengukuran APE di dapatkan nilai < 200 L/menit.

2 Obstruktif akut : yaitu nilai APE yang < 80% dari nilai terbaiknya.

3. APE variasi harian = Nilai APE tertinggi-Nilai APE terendah x 100%


Nilai APE tertinggi

Jika didapat nilai APE >15%, berarti sumbatan saluran nafas tidak terkontrol.
86

Tabel 2.2 Nilai Prediksi Arus Puncak Ekspirasi Normal (L/Menit) Untuk Laki-Laki
Height
Age (Years) 152 cm 165 cm 178 cm 191 cm 203 cm
60” 65” 70” 75” 80”
20 554 575 594 611 628
25 580 603 622 640 656
30 594 617 637 655 672
35 599 622 643 661 677
40 597 620 641 659 675
45 591 613 633 651 668
50 580 602 622 640 656
55 566 588 608 625 640
60 551 572 591 607 622
65 533 554 572 588 603
70 515 535 552 568 582
75 496 515 532 547 560
Sumber : (Nunn AJH, Gregg I: Brit Med J 298: 1068-70, 1989 dalam Kusmaharani,
2018)

Tabel 2.3 Nilai Prediksi Arus Puncak Ekspirasi Normal (L/Menit) Untuk
Perempuan
Height
Age 152 cm 165 cm 178 cm 191 cm 203 cm
(Years) 60” 65” 70” 75” 80”
20 444 460 474 486 497
25 455 471 485 497 509
30 458 475 489 502 513
35 458 474 488 501 512
40 453 469 483 498 507
45 446 462 476 488 499
50 437 453 466 478 489
55 427 442 455 467 477
60 415 430 443 454 464
65 403 417 430 441 451
70 390 404 416 427 436
75 377 391 402 413 422
Sumber : (Nunn AJH, Gregg I: Brit Med J 298: 1068-70, 1989 dalam Kusmaharani,
2018)

2.3.5 Prosedur Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi

Prosedur pemerikasaan APE menurut (Jevon et al., 2007 dalam Suprayitno,

2017) adalah sebagai berikut :

1 Mencuci tangan dan mengeringkan tangan.


87

2 Bila memerlukan, pasang mouthpiece ke ujung peak flow meter.

3 Menjelaskan prosedur kepada pasien.

4 Mengatur pointer pada peak flow meter pada skala nol.

5 Mengatur posisi yang nyaman bagi pasien, pasien berdiri atau duduk dengan

punggung tegak dan pegang peak flow meter dengan posisi horisontal

(mendatar) tanpa menyentuh atau mengganggu gerakan marker.

6 Penderita menghirup nafas sedalam mungkin, masukkan mouthpiece ke mulut

dengan bibir menutup rapat mengelilingi mouthpiece, dan buang nafas sesegera

dan sekuat mungkin.

7 Saat membuang nafas, marker bergerak dan menunjukkan angka pada skala,

catat hasilnya.

8 Kembalikan marker pada posisi nol lalu ulangi langkah 2-4 sebanyak 3 kali,

dan pilih nilai paling tinggi. Bandingkan dengan nilai terbaik pasien tersebut

atau nilai prediksi.

9 Pada penderita anak, langkah 3 seolah-olah seperti meniup lilin ulang tahun.

10 Mencatat hasil pengukuran nilai APE kemudian dibandingkan dengan nilai

prediksi untuk memperoleh hasil persentase APE. Menurut (Siregar, 2007)

dalam (Suprayitno, 2017) presentase nilai APE dapat dihitumg melalui cara

sebagai berikut :

Presentase APE : X 100%


Nilai APE prediksi (L/menit)

Interpretasi hasil perhitungan persentase nilai APE menurut (Suprayitno, 2017) :

1. Zona hijau jika hasil perhitungan nilai APE sebesar 80% sampai 100%

dibandingkan dengan nilai prediksi. Hasil ini menunjukkan bahwa fungsi


88

pernafasan masih baik.

2. Zona kuning jika hasil perhitungan nilai APE sebesar 50% sampai 80%

dibandingkan nilai prediksi. Hasil ini menunjukkan mulai terjadi penyempitan

saluran pernafasan.

3. Zona merah jika hasil perhitungan nilai APE ≤ 50% dari nilai prediksi. Hasil

ini menunjukan terjadi penyempitan dalam saluran pernafasan besar.

2.3.6 Hubungan Antara Arus Puncak Ekspirasi dengan Penyakit Paru

Obstruksi Kronis

Meskipun rokok disebut-sebut sebagai faktor resiko utama, akan tetapi

mekanisme terjadinya PPOK sangat kompleks sehingga seringkali faktor tersebut

tidak berdiri sendiri (Muhammad, 2004 dalam Suprayitno, 2017). Faktor resiko

meliputi faktor host, paparan lingkungan dan penyakit biasanya muncul dari

interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor host antara lain genetik,

hiperreaktivitas dan bronkus, umur, jenis kelamin, ras, dan tinggi badan (Alsagaff

et al., 1993 dalam Suprayitno, 2017). Faktor resiko dari lingkungan yaitu: asap

rokok, occupational dusts and chemicals, infeksi saluran nafas, polusi udara,

nutrisi, status sosial ekonomi dan faktor resiko lingkungan sejak bayi (Muhammad,

2004 dalam Suprayitno, 2017). Adanya sumbatan jalan nafas dapat dibuktikan

dengan pengukuran fungsi paru menggunakan spirometer atau dapat juga

menggunakan peak flow meter (Daniel, 2004 dalam Suprayitno, 2017). Dampak

dari sumbatan saluran nafas akan menyebabkan paru mudah mengempis sehingga

nilai APE akan menurun (Guyton et al., 1997 dalam Suprayitno, 2017). Faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi variasi nilai APE yaitu: usia, jenis kelamin, ras,

tinggi badan dan riwayat merokok (Jain, 1998 dalam Suprayitno, 2017).
89

2.3.7 Keterkaitan Arus Puncak Ekspirasi dengan Latihan Pursed Lip

Breathing

Penurunan ventilasi alveolus pada pasien PPOK ditandai dengan

hipoksemia, hipoksia dan hiperkapnia. Keadaan dimana terjadinya hiperkapnia dan

hipoksemia dapat meningkatkan upaya pasien untuk bernafas dengan menggunakan

otot-otot pernafasan (Smeltzer et al., 2007 dalam Suprayitno, 2017). Terjadinya

hipoksia akibat terjadinya hipoksemia akan menyebabkan terjadinya transfer

oksigen ke otot-otot tubuh akan menurun sehingga pembentukan energi akan

berkurang. Selain itu metabolisme anaerob akan memproduksi asam laktat yang

dapat menyebabkan kelelahan pada otot-otot pernafasan sehingga proses

pernafasan akan menurun. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi penurunan pada

FEV (volume ekspirasi paksa) dengan peningkatan RV (volume residu), FRC

(kapasitas residu fungsional) dan menurunkan APE (Guyton et al., 2007 dalam

Suprayitno, 2017). Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien

dengan PPOK adalah memberikan latihan pernafasan. Latihan pernafasan ini terdiri

dari latihan dan praktik pernafasan yang dimanfaatkan untuk mencapai ventilasi

yang lebih terkontrol, efisien dan mengurangi kerja bernafas (Smetlzer et al., 2013

dalam Suprayitno, 2017).

Latihan pernafasan yang dapat diterapkan pada pasien dengan bronkitis

salah satunya adalah pursed lip breathing. PLB merupakan salah satu cara untuk

mempertahankan fungsi pernafasan pada pasien dengan bronkitis. Pernafasan

dengan bibir yang dirapatkan dapat memperbaiki transfer oksigen, membantu untuk

menginduksi pola nafas dan kedalaman, dan membantu pasien mengontrol

pernafasan (Smelzer et al., 2013).


90

Latihan PLB bertujuan untuk meningkatkan fungsi ventilasi, kerja otot perut

dan toraks. PLB ini diprogramkan untuk pasien PPOK dalam mengatasi kelelahan

otot pernafasan dan udara yang terjebak pada saluran pernafasan agar tidak

menghasilkan tekanan insipirasi yang cukup dalam proses ventilasi maksimal yang

dibutuhkan. Latihan PLB akan meningkatkan kemampuan ventilasi maksimal,

meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi sesak nafas. Apabila terdapat

kelelahan otot pernafasan, maka waktu latihan pernafasan dapat ditambah atau

ditingkatkan (PDPI, 2003 dalam Suprayitno, 2017).

Latihan PLB ini akan terjadi dua mekanisme yaitu inspirasi kuat dan

ekspirasi kuat dan panjang. Ekspirasi yang kuat dan memanjang akan melibatkan

kekuatan dari otot intra abdomen sehingga tekanan intra abdomen pun meningkat

yang akan meningkatkan pula pergerakan diafragma ke atas membuat rongga torak

semakin mengecil. Rongga torak yang semakin mengecil ini menyebabkan tekanan

intra alveolus semakin meningkat sehinga melebihi tekanan udara atmosfer.

Kondisi tersebut akan menyebabkan udara mengalir keluar dari paru ke atmosfir.

Ekspirasi yang dipaksa dan memanjang saat bernafas dengan PLB akan

menurunkan resistensi pernafasan sehingga akan memperlancar udara yang dihirup

atau dihembuskan. Ekspirasi yang dipaksa dan memanjang akan memperlancar

udara inspirasi dan ekspirasi sehingga mencegah terjadinya air trapping di dalam

alveolus (Khazanah, 2013).

Latihan PLB yaitu mengeluarkan udara pada saat ekspirasi dengan pelan

melalui mulut dengan bibir dirapatkan dan tertutup. Pada saat melakukan PLB tidak

terdapat aliran udara pernafasan yang terjadi melalui hidung karena sumbatan

involunter nasofaring oleh palatum lunak. Latihan PLB dapat menurunkan tahanan
91

udara dan meningkatkan kepatenan jalan nafas. Latihan ini dapat membantu

menurunkan pengeluaran air trapping yang dapat membantu mengontrol ekspirasi

dan memfasilitasi pengosongan alveoli dengan maksimal (Aini, 2008 dalam

Suprayitno, 2017). Adanya fasilitas pengosongan alveoli secara maksimal akan

meningkatkan peluang masuknya oksigen kedalam ruang alveolus, sehingga proses

difusi dan perfusi berjalan dengan baik. Meningkatnya transfer oksigen ke jaringan

dan otot-otot pernafasan akan menimbulkan suatu metabolisme aerob yang akan

menghasilkan suatu energi (ATP). Energi ini dapat meningkatkan kekuatan otot-

otot pernafasan sehingga proses pernafasan dapat berjalan dengan baik, dengan

proses pernafasan yang baik akan mempengaruhi terhadap arus puncak ekpirasi

yang meningkat pula (Guyton et al., 2007 dalam Suprayitno, 2017).

2.4 Konsep Latihan Pernafasan Dengan Pursed Lip Breathing

2.4.1 Definisi Pursed Lip Breathing

Pursed Lip breathing adalah latihan pernafasan dengan menghirup udara

melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir lebih dirapatkan atau

dimonyongkan dengan waktu ekshalasi lebih di perpanjang. Terapi rehabilitasi

paru-paru dengan cara latihan ini adalah cara yang sangat mudah dilakukan, tanpa

memerlukan alat bantu apapun, dan juga tanpa efek negatif seperti pemakaian obat-

obatan (Smeltzer et al., 2013).

Pursed Lip breathing (PLB) adalah latihan nafas dengan penekanan pada

saat ekspirasi bertujuan dalam memudahkan pengeluaran udara air trapping atau

udara yang terjebak oleh saluran nafas. PLB dapat menghambat udara keluar

dengan menggunakan kedua bibir sehingga menyebabkan tekanan dalam rongga

mulut menjadi lebih positif. Keberhasilan PLB yaitu melakukan latihan dengan
92

keadaan santai (Nurbasuki, 2008 dalam Suprayitno, 2017).

2.4.2 Tujuan Pursed Lip Breathing

Membantu klien memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola nafas

lambat dan dalam, membantu pasien untuk mengontrol pernafasan, mencegah

kolaps dan melatih otot ekspirasi dalam memperpanjang ekshalasi, peningkatan

tekanan jalan nafas selama ekspirasi dan mengurangi terjebaknya udara dalam

saluran nafas (Smeltzer et al., 2013).

PLB dapat membantu mengurangi sesak nafas sehingga pasien mampu

mentoleransi aktifitas fisik dan peningkatan kemampuan dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari. PLB yang dilakukan secara dengan rutin dan benar mampu

meningkatkan fungsi mekanis paru-paru, pembatasan peningkatan volume akhir

ekspirasi paru dan pencegahan dampak hiperinflasi (Sheadan, 2006 dalam

Suprayitno, 2017).

2.4.3 Langkah-Langkah Melakukan Pursed Lip Breathing

Menurut (Smeltzer et al., 2013) latihan nafas ini dengan cara menghirup

nafas melalui hidung sambil menghitung sampai 3 seperti saat menghirup wangi

bunga mawar. Menghembuskan nafas secara pelan dan merata menggunakan bibir

yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot perut, (bibir yang rapat dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intra trakea, menghembuskan melalui mulut

menyebabkan tahanan udara yang dihembuskan lebih sedikit). Menghitung sampai

7 sambil memperpanjang ekspirasi dengan merapatkan bibir seolah-olah sedang

meniup sebuah lilin. Latihan PLB dalam posisi duduk dikursi dilakukan dengan

melipat tangan diatas perut, menghirup nafas melalui hidung dengan menghitung

sampai 3. Setelah itu badan membungkuk ke depan sambil menghembuskan nafas


93

secara pelan melalui bibir yang dirapatkan dan menghitungnya sampai 7.

Menurut (Ignatavicius et al., 2006 dalam Suprayitno, 2017) : PLB dilakukan

dengan mengambil nafas dari hidung dengan menghitung sampai 3 (waktu untuk

menucapkan smell a rose). Menghembuskan secara merata dan lembut dengan

merapatkan bibir sambil merapatkan otot-otot perut sehingga dapat meningkatkan

tekanan trakea. Menghembuskan nafas lewat mulut akan membuat tahanan lebih

sedikit pada udara yang dihembuskan. Menghitung sampai 7 dengan

memperpanjang ekspirasi sambil merapatkan bibir dibutuhkan untuk mengatakan

“blow out the candle”. Melakukan PLB sambil duduk dikursi dapat dilakukan

dengan melipat tangan diatas perut, menghirup nafas dengan hidung dan

menghitung sampai tiga, membungkuk ke arah depan kemudian menghembuskan

nafas secara perlahan dengan merapatkan bibir dan menghitung sampai 7. PLB akan

membuat ekshalasi memanjang dan meningkatkan tekanan saluran nafas pada saat

ekspirasi yang dapat mengurangi terjebaknya udara dan tahanan saluran nafas.

Gambar 2.3 Pursed Lip Breathing Exercise (Smeltzer et al., 2013)


94

2.5 Konsep Latihan Pernafasan Tiup Balon (Balloon Blowing)

2.5.1 Definisi Tiup Balon (Balloon Blowing)

Breathing relaxation, breathing exercise, indeep breathing, pursed lip

breathing merupakan latihan pernapasan yang banyak diteliti dan dilakukan untuk

memperbaiki fungsi dari paru. Metode yang digunakan dalam pelaksanaanya

bermacam-macam, salah satunya adalah dengan menggunakan balon/meniup

balon. Banyak penelitian tentang efek balloon blowing terhadap perokok,

dihasilkan bahwa dengan meniup balon secara rutin dapat memperbaiki fungsi paru

dengan meningkatkan arus puncak ekspirasi pada perokok yang mengalami

gangguan pernafasan (Tunik, 2017).

Balloon blowing atau latihan pernapasan dengan meniup balon merupakan

salah satu latihan relaksasi pernapasan dengan menghirup udara melalui hidung dan

mengeluarkan udara melalui mulut kedalam balon. Relaksasi ini dapat

memperbaiki transport oksigen, membantu pasien untuk memperpanjang ekshalasi

dan untuk pengembangan paru yang optimal (Aulia, 2015).

2.5.2 Tujuan Tiup Balon (Balloon Blowing)

Menurut (Raju, 2015) latihan sederhana yang dapat meningktakan kapasitas

paru adalah dengan meniup balon setiap hari. Meniup balon dapat membantu otot

intercosta mengelevasikan diafragma dan costa. Hal ini memungkinkan untuk

menyerap oksigen, mengubah bahan kimia yang masih ada dalam paru dan

mengeluarkan karbondioksida dalam paru. Meniup balon merupakan latihan yang

sangat efektif untuk membantu ekspansi paru. Pengaruhnya dalam alveoli, meniup

balon dapat memudahkan untuk pertukaran karbondioksida selama ekshalasi dan

oksigen selama inhalasi. Banyak oksigen yang tersuplay efek dari latihan meniup
95

balon. Latihan ini mencegah terjadinya sesak napas dan kelemahan karena oksigen

yang masuk dalam tubuh menyediakan energi untuk sel dan otot dengan

mengeluarkan karbondioksida.

Menurut (Boyle, 2010) pernapasan dengan meniup balon dapat

meningkatkan otot neuromuskuler dan saraf parasimpatis menjadi rileks atau dapat

menurunkan tonus otot. Latihan ini dapat menyeimbangkan tekanan intra

abdominal selama inhalasi.

Menurut (Aulia, 2015) tujuan dari tindakan ini adalah :

1. Memperbaiki transport oksigen

2. Menginduksi pola napas lambat dan dalam

3. Memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan napas selama

ekspirasi

4. Mengurangi jumlah udara yang terjebak dalam paru-paru

5. Mencegah terjadinya kolaps paru

Menurut (Kim, 2012) tujuan dari latihan pernapasan dengan meniup balon adalah :

1. Meningkatkan volume ekspirasi maksimal

2. Memperbaiki gangguan sistem saraf pasien dengan perokok

3. Menguatkan otot pernapasan

Latihan sederhana dengan meniup balon ini dapat meningkatkan kapasitas paru.

Meniup balon mengaktifkan otot pada intercosta dan meningkatkan elevasi dari

diafragma dan costa. Proses ini memungkinkan paru mengabsorbsi oksigen dan

mengeluarkan karbondioksida lebih banyak dari paru. Balloon blowing merupakan

latihan yang memberikan kemampuan yang efektif bagi paru untuk melakukan

pengambilan dan pengeluaran udara paru, bukan berpengaruh terhadap ukuran


96

alveoli paru. Selama latihan alveoli akan mengeluarkan karbondioksida yang

terjebak dalam paru selama ekhalasi dan memasukkan oksigen dalam darah selama

inhalasi. (Tunik, 2017).

Penelitian tentang pengaruh balloon blowing exercise terhadap fungsi paru

perokok dewasa banyak dilakukan oleh peneliti sebelumya. Tujuan dari penelitian

yang dilakukannya adalah untuk mengetahui kapasitas paru setelah dilakukan

latihan pernapasan dengan meniup balon. Subjek penelitian terdiri dari kelompok

kontrol dan intervensi, dimana kelompok intervensi melakukan latihan pernapasan

meniup balon 3 x seminggu. Responden dilakukan pengukuran fungsi paru pre dan

post intervensi. Hasil penelitian setelah di uji statistik dengan paired t test, dan

hasilnya menunjukkan nilai signifikasi terhadap perubahan fungsi paru yang dilihat

dari nilai VC, FEC, APE. Dengan balloon blowing dapat meningkatkan otot

ekspirasi selama dilakukan latihan, sehingga dapat mengeluarkan karbondioksida

yang terjebak pada paru seperti yang terjadi pada pasien PPOK, terutama yang

disebabkan oleh perokok. (Tunik, 2017).

Menurut (Arfianto, 2014) terapi bermain meniup balon ditujukan untuk anak-

anak yang mengalami gangguan pada sistem pernapasan khususnya asma dengan

tujuan agar fungsi paru pada anak akan meningkat dan menjadi normal. Terapi ini

dapat dianalogkan dengan latihan napas dalam atau pursed lip breating. Pursed lip

breathing adalah inspirasi dalam dan ekspirasi memanjang dengan mulut

dimonyongkan dengan tujuan untuk membantu pasien mengontrol pola napas,

menurunkan sesak napas, meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan

memperbaiki kelenturan rongga dada sehingga fungsi paru menjadi meningkat.

Fungsi paru terutama ventilasi paru sangat dipengaruhi oleh recoil dan compliance
97

paru. Terapi meniup balon dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan sehingga

akan memaksimalkan recoil dan compliance paru sehingga fungsi paru akan

meningkat pula. Latihan meniup balon dapat meningkatkan kekuatan otot dan

ventilasi paru pasien asma, hal ini disebabkan karena latihan dapat menyebabkan

perangsangan pusat otak yang lebih tinggi pada pusat vasomotor di batang otak

yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri dan peningkatan ventilasi paru.

Terapi bermain meniup balon sangat baik dilakukan pada pasien yang

menderita asma karena dapat memperbaiki kelenturan rongga dada serta diafragma,

serta dapat melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekhalasi dan

meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi, dengan demikian dapat

mengurangi jumlah tahanan dan jebakan udara. Latihan ini juga dapat membantu

menginduksikan pola napas terutama frekuensi napas menjadi lambat dan dalam.

Latihan napas dalam dapat meningkatkan oksigenasi dan membantu sekret atau

mukus keluar dari jalan napas. Latihan pernapasan merupakan hal yang paling

penting dilakukan oleh penderita asma. Latihan pernapasan ini diadaptasi dari seni

pernapasan yang disusun oleh Richard Firshein selama pengalamannya menjadi

penderita asma dan telah digunakannya untuk mengatasi serangan-serangan asma

yang bahkan hampir membunuhnya (Veronika, 2013 dalam Royani, 2017).

Terapi bermain berupa latihan napas pada anak dengan asma bronkhiale

mempunyai hubungan yang timbal balik dengan respirasi atau pernafasan. Bila

seseorang melakukannya dengan teratur sehingga ia menjadi seorang yang terlatih

maka akan terjadi peningkatan efisiensi sistem pernafasan, baik ventilasi, difusi

maupun perfusi. Kapasitas difusi orang terlatih lebih besar daripada orang yang

tidak terlatih, hal ini antara lain disebabkan efektifnya capillary bed diparenkim
98

paru sehingga area untuk berdifusi menjadi lebih luas (Royani, 2017).

2.5.3 Langkah-Langkah Melakukan Tiup Balon (Balloon Blowing)

Prosedur pelaksanaan balloon blowing :

1. Persiapan alat

a. 3 buah balon

b. Jam

2. Persiapan pasien

a. Atur posisi pasien senyaman mungkin, jika pasien mampu untuk berdiri

maka lakukan sambil berdiri (karena dengan posisi berdiri tegak lebih

meningkatkan kapasitas paru dibandingkan dengan posisi duduk)

b. Jika pasien melakukan dengan posisi tidur maka tekuk kaki pasien atau

menginjak tempat tidur (posisi supinasi), dan posisi badan lurus atau tidak

memakai bantal

3. Pelaksanaan

a. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin

b. Rilekskan tubuh, tangan dan kaki (motivasi dan anjurkan pasien untuk

rileks)

c. Siapkan balon/pegang balon dengan kedua tangan, atau satu tangan

memegang balon tangan yang lain rileks disamping kepala (Boyle, 2010

dalam Tunik, 2017)

d. Tarik napas secara maksimal melalui hidung, kemudian tiupkan ke dalam

balon secara maksimal dengan waktu 2 detik lebih lama dari waktu tarik

napas. (tarik napas selama 5 detik dan hembuskan selama 7 detik). (Boyle,

2010 dalam Tunik, 2017) tarik napas selama 3-4 detik ditahan selama 2-3
99

detik kemudian lakukan ekhalasi dengan meniup balon selama 5-8 detik.

e. Tutup balon dengan jari-jari

f. Tarik napas sekali lagi secara maksimal dan tiupkan lagi kedalam balon

g. Istirahat selama 1 menit untuk mencegah kelemahan otot

h. Lakukan 3 set latihan setiap sesion (meniup 3 balon)

i. Hentikan latihan jika terjadi pusing atau nyeri dada.

4. Evaluasi

a. Pasien mampu mengembangkan balon

b. Pasien merasakan otot-otot pernapasan menjadi rileks

c. Pasien dapat mengatur pola napas dalam dan lambat


100
101

2.7 Uraian Kerangka Konseptual Penelitian

Faktor risiko terjadinya PPOK karena kebiasaan merokok, bertambahnya usia,

polusi lingkungan, pekerjaan, dan berbagai faktor lainnya seperti : jenis kelamin,

status sosial ekonomi, infeksi bronkus yang berulang, alergi maupun hipersensitif

pada bronkus, dan faktor genetik (Rab, 2010:399). PPOK menyebabkan,

penumpukan lendir dan sekresi yang banyak menyumbat jalan nafas, obstruksi pada

pertukaran O2 dan CO2 terjadi akibat kerusakan dinding alveoli, jalan nafas

menyempit dan membatasi udara ke paru sehingga menyebabkan hiperinflasi,

ketidakseimbangan ventilasi perfusi, disertai gangguan fungsi otot pernafasan. Hal

ini menyebabkan terjadinya penurunan arus puncak ekspirasi. Nilai dari arus

puncak ekspirasi dipengaruhi oleh beberapa hal atara lain : Faktor host : umur, jenis

kelamin, ras, tinggi badan dan berat badan, kebiasaan merokok, Faktor lingkungan:

kebiasaan merokok, polusi udara, dan lingkungan kerja. (Yunus, 2003 dalam

Novarin, 2014)

Penatalaksanaan PPOK selain dengan terapi farmakologi, juga dilakukan

dengan tindakan non farmakologi yaitu dengan breathing exercise kombinasi

pursed lip breathing dan balloon blowing. Teknik pernafasan dengan pursed lip

breathing membantu klien memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola nafas

lambat dan dalam, membantu pasien untuk mengontrol pernafasan, mencegah

kolaps dan melatih otot ekspirasi dalam memperpanjang ekshalasi, peningkatan

tekanan jalan nafas selama ekspirasi dan mengurangi terjebaknya udara dalam

saluran nafas (Smeltzer et al., 2013).

Latihan sederhana dengan kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing (tiup balon), dapat meningkatkan kapasitas paru. Meniup balon


102

mengaktifkan otot pada intercosta dan meningkatkan elevasi dari diafragma dan

costa. Proses ini memungkinkan paru mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan

karbondioksida lebih banyak dari paru. Meniup balon sangat efektif untuk

membantu ekspansi paru sehingga mampu mensuplay oksigen dan mengeluarkan

karbondioksida yang terjebak dalam paru dan pasien PPOK. Latihan pernafasan

tersebut dapat meningkatkan arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK.

2.8 Hipotesis Penelitian

H1 : Ada pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing terhadap

arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK.

H0 : Tidak ada pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

terhadap arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK.


103

2.9 Hasil Literatur Review

Tabel 2.4 Hasil Literatur Review


No. Peneliti Judul Publikasi dan Hasil Penelitian
Nama Jurnal
1. Aini et al., Pengaruh Breathing Peneliti menyimpulkan bahwa
2008 Retraining Terhadap breathing retraining memberikan
Peningkatan Fungsi pengaruh dalam meningkatkan
Ventilasi Paru Pada fungsi ventilasi paru pasien
Asuhan Keperawatan PPOK.
Pasien PPOK

Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 12,
No. 1, Maret 2008; Hal
36-40
2. Oemiati, Kajian Epidemiologis Gejala PPOK secara umum ada
2013 Penyakit Paru tiga yaitu, batuk, berdahak dan
Obstruktif Kronik sesak napas khsususnya saat
(PPOK) beraktivitas. ATS telah membagi
skala sesak napas dari tingkat 0,
Media Litbangkes Vol. satu, dua, tiga dan empat, yang
23 No. 2, Juni 2013: 82- menuju ke tingkat keparahan.
88 Sedangkan klasifikasi PPOK
terdiri dari ringan sedang dan
berat yang diukur berdasarkan
pemeriksaan spirometri yang
menghasilkan nilai VEP1 dibagi
dengan KVP yaitu besarnya ratio
udara yang mampu dihisap dan
dikeluarkan oleh paru-paru
manusia. Faktor risiko utama
ppok antara lain merokok, polutan
indoor, outdoor dan polutan di
tempat kerja, selain itu ada juga
faktor risiko lain yaitu genetik,
gender, usia, konsumsi alkohol
dan kurang aktivitas fisik.
3. Natalia et Efektifitas Pursed Lip Latihan nafas dengan pursed lip
al., 2007 Breathing dan Tiup breathing dan tiup balon pada
Balon dalam pasien asma bronchiale efektif
Peningkatan Arus untuk membantu mencapai
Puncak Ekspirasi peningkatan APE dan
(APE) Pasien Asma memperbaiki tingkat obstruktif.
Bronchiale Di RSUD
Banyumas

Jurnal Ilmiah
104

Kesehatan
Keperawatan, Volume
3, No. 1, Februari 2007
4. Suprayitno, Pengaruh Pursed Lip 1. Terdapat perbedaan rata-rata
2018 Breathing Terhadap skor nilai APE sebelum dan
Peak Expiratory Flow setelah latihan pursed lip
Rate Penderita Penyakit breathing pada kelompok
Paru Obstruktif Kronis intervensi
2. Tidak terdapat perbedaan
Jurnal Kesehatan rata-rata skor nilai APE pada
“Wiraraja Medika” kelompok kontrol.
3. Terdapat perbedaan selisih
rata-rata nilai APE latihan
pursed lip breathing pada
penderita PPOK.
4. Terdapat pengaruh latihan
pursed lip breathing dalam
meningkatkan nilai APE pada
penderita PPOK.

5. Naser et al., Gambaran Derajat Terdapat hubungan yang


2016 Merokok Pada signifikan dan korelasi yang kuat
Penderita PPOK di antara derajat merokok dengan
Bagian Paru RSUP Dr. derajat keparahan PPOK.
M. Djamil

Jurnal Kesehatan
Andalas. 2016; 5(2)
6. Soeroto et Penyakit Paru Materi PPOK
al., 2014 Obstruktif Kronik

Ina J Chest Crit and


Emerg Med | Vol. 1,
No. 2 | June - August
2014
7. Octaviyani, Perbandingan Nilai Kesimpulan dari penelitian ini
2015 Arus Puncak Ekspirasi yaitu rerata nilai arus puncak
Pada Kelompok ekspirasi pada kelompok pesenam
Pesenam Aqua Zumba aqua zumba lebih tinggi
Dengan Kelompok dibandingkan kelompok, namun
Pesenam Zumba berdasarkan hasil uji statistik
perbedaan tersebut adalah tidak
MEDIA MEDIKA bermakna (p=0,2).
MUDA Volume 4,
Nomor 4, Oktober 2015

8. Royani, Pengaruh Terapi 1. Berdasarkan perubahan fungsi


2017 Aktivitas Bermain paru anak dengan asma setelah
105

Meniup Balon dilakukan terapi meniup balon


Terhadap didapatkan distribusi
Perubahan Fungsi Paru frekuensi responden yang
Pada Anak Dengan fungsi parunya baik sebanyak
Asma 18 responden (60%) dan
Di Rumah Sakit Islam responden yang fungsinya
Siti Khodijah parunya kurang baik sebanyak
Palembang 12 responden (40%).
2. Berdasarkan analisis
Volume 5, Nomor 1, menggunakan paired sample
Juni 2017 t-test didapatkan ada
perbedaan antara perubahan
fungsi paru anak dengan asma
sebelum dilakukan terapi
meniup balon dan setelah
dilakukan terapi meniup
balon dengan nilai p value =
0,000 < 0,05.

09. Tunik, Naskah Publikasi Berdasarkan uji statistik terdapat


2017 Pengaruh Breathing perubahan yang signifikan pada
Relaxation Dengan semua pengukuran setelah
Teknik Balloon dilakukan intervensi balloon
Blowing Terhadap blowing selama 7 hari. Hasil ini
Saturasi Oksigen Dan menunjukkan bahwa terdapat
Perubahan Fisiologis pengaruh pemberian breathing
Kecemasan Pasien relaxation dengan teknik balloon
dengan Penyakit Paru blowing terhadap saturasi oksigen
Obstruktif Kronik dan perubahan fisiologis
(PPOK) Di RSUD Dr. kecemasan yang diukur dari
Soedomo Trenggalek tekanan darah, frekuensi nadi, dan
frekuensi nafas pasien PPOK di
ruang flamboyan RSUD dr.
Soedomo Trenggalek, Jawa timur.

10. Widiyani, Pengaruh Pursed Lip Ada pengaruh pursed lip


2015 Breathing Exercise breathing exercise terhadap arus
Terhadap Arus Puncak puncak ekspirasi pada pasien
Ekspirasi (APE) Pada bronkitis kronis.
Pasien Bronkitis
Kronis.
Universitas Jember : 1-
44
106

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan penelitian yang disusun sedemikian

rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian.

Desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk

mencapai tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk

mencapai tujuan tersebut (Setiadi, 2013:63).

Desain yang digunakan adalah Pre Eksperimental Design dengan jenis

rancangan one group pra-post test design. Metode Pre Eksperimen adalah metode

penelitian eksperimen dengan memberikan pre-test (pengamatan awal), terlebih

dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian

dilakukan post-test (pengamatan akhir) tanpa ada kelompok kontrol (Hidayat,

2008). Pada rancang bangun Pre-Experimental Design tidak ada unsur random

dalam pemilihan kelompok dan/atau kelompok kontrol. (Setiadi, 2013:88)

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group

pra-post test design yaitu mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara

melibatkan satu kelompok subjek. Kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan

intervensi, kemudian di observasi lagi setelah intervensi. (Nursalam, 2016:165).

Dalam penelitian ini peneliti mengobservasi arus puncak ekspirasi pada pasien

PPOK sebelum dilakukan pemberian latihan pernafasan pursed lip breathing

kombinasi balloon blowing, kemudian diobservasi arus puncak ekspirasi setelah


107

dilakukan pemberian latihan pernafasan pursed lip breathing kombinasi balloon

blowing.

Tujuan dari rancangan ini adalah untuk melihat perbedaan arus puncak

ekspirasi sebelum dan sesudah diberikan intervensi. Subjek penelitian diberikan

intervensi kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing, pre-test dilakukan

sebelum intervensi, sedangkan untuk post-test dilakukan setelah intervensi selama

15-20 menit. Hasil sebelum dan sesudah intervensi dibandingkan untuk melihat

perbedaan nilai arus puncak ekspirasi. Rancangan penelitian yang digunakan ini

dapat diilustrasikan sebagai berikut :

Tabel 3.1 Desain penelitian one group pra-post test design (Nursalam, 2016:165)
Subjek Pra Perlakuan Pasca-tes
K O I OI
Waktu 1 Waktu 2 Waktu 3

Keterangan :

K : Subjek (Pasien PPOK)

O : Observasi arus puncak ekspirasi sebelum kombinasi pursed lip breathing

dan balloon blowing (Pre-test)

I : Intervensi (kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing)

OI : Observasi arus puncak ekspirasi sesudah kombinasi pursed lip breathing

dan balloon blowing (Post-test)


108

3.2 Populasi, Sampel, Perkiraan Besar Sampel, Teknik Sampling (Pengambilan

Sampel)

3.2.1 Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang

mempengaruhi kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Setiadi, 2013:101).

Populasi dalam penelitian adalah subyek (misalnya manusia) yang memenuhi

kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2013). Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis yang di rawat inap di

Ruang Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, besar populasi tiap bulannya

lebih kurang sejumlah 26 orang.

3.2.2 Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan obyek yang diteliti dan di

anggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2013:104). Menurut (Notoatmodjo,

2010:115) sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi.

Sampel adalah bagian dari suatu populasi yang dipilih dengan cara tertentu

hingga dianggap mewakili dari populasinya. Sampel pada penelitian ini adalah

sebagian pasien dengan diagnosa penyakit paru obstruksi kronis di Ruang Interna

2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan yang memenuhi kriteria inklusi. Penentuan

kriteria sampel sangat membantu peneliti untuk mengurangi bias hasil penelitian.

Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : inklusi dan eksklusi

(Nursalam, 2008 dalam Nursalam, 2016)


109

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitan dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Pertimbangan ilmiah harus

menjadi pedoman saat menentukan kriteria inklusi.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi :

a. Klien yang didiagnosa PPOK yang sedang dirawat inap di Ruang

Interne 2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan.

b. Klien bersedia menjadi responden.

c. Klien dengan dipsnea ringan.

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab.

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi :

a. Klien yang saat proses sedang berlangsung tiba-tiba membatalkan

karena suatu hal tertentu.

3.2.3 Perkiraan Besar Sampel

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel, sebagian pasien PPOK yang

dirawat inap di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan adalah sebanyak 30 orang

pasien.

3.2.4 Teknik Sampling

Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi untuk menjadi sampel

dari populasi untuk dapat mewakili populasi. Pembagian jenis sampling secara

umum ada dua yaitu probability sampling dan nonprobability sampling (Setiadi,

2013:107-108).
110

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat mewakili

populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam pengambilan

sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan keseluruhan

subjek penelitian (Sastroasmoro & Ismail, 1995; Nursalam, 2008 dalam Nursalam,

2016). Cara pengambilan sampel dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

probability sampling dan nonprobability sampling.

Penelitian ini menggunakan non-probability sampling dengan teknik sampling

accidental sampling yaitu dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang

kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian.

(Notoatmodjo, 2012:125).

3.3 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibagi menjadi variabel independen dan dependen

yang dijelaskan sebagai berikut:

1. Variabel bebas (variabel independen) yaitu variabel yang dimanipulasi oleh

peneliti untuk menciptakan suatu dampak pada variabel terikat (dependen).

Variabel bebas adalah yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahannya atau timbulnya variabel dependen. (Setiadi, 2013:116). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah pursed lip breathing kombinasi balloon

blowing.

2. Variabel tergantung (variabel dependen) adalah variabel yang dipengaruhi oleh

variabel bebas. (Setiadi, 2013:116). Variabel dependen dalam penelitian ini

adalah arus puncak ekspirasi.


111

3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional
sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian. (Setiadi, 2013:122)
No Variabel Definisi Operasional Parameter Instrumen Skala Skor
1 2 3 4 5 6
1. Variabel Pursed lips breathing 1. Diberikan intervensi 1. SOP pursed lip Nominal
Independen: kombinasi balloon kombinasi pursed breathing
kombinasi blowing adalah latihan lip breathing dan 2. SOP balloon
pursed lip pernafasan dengan ballon blowing. blowing
breathing dan menghirup udara melalui Frekuensi 3. Balon tiup
balloon hidung (sambil pemberian
blowing menghitung sampai 3) kombinasi pursed
dan mengeluarkan udara lip breathing dan
dengan cara bibir lebih balloon blowing
dirapatkan atau pada tiap pasien
dimonyongkan, udara 1x/hari selama 3
dihembuskan melalui hari, lama tiap 1 kali
mulut sambil meniup latihan 15-20 menit
balon (sambil untuk seluruh
menghitung hingga 7), tahapan.
dengan waktu ekhalasi
lebih di perpanjang.
2. Variabel Arus puncak ekspirasi 1. Nilai normal 1. Peak flow Rasio 1. Hasil sesuai
Dependen : adalah titik aliran pengukuran PEF meter pengukuran arus
arus puncak tertinggi yang dapat pada laki-laki yaitu 2. Lembar puncak ekspirasi
ekspirasi dicapai oleh ekspirasi 500-700 L/menit. observasi yang dinyatakan
yang maksimal, dapat 3. Alat tulis dalam L/menit.
112

dilihat dari angka 2. Nilai normal 4. SOP


maksimal yang pengukuran PEF pengukuran
diperoleh pasien dari pada perempuan arus puncak
hasil pengukuran dengan yaitu 380-500 ekspirasi
peak flow meter, dimulai L/menit.
dari angka 0 hingga
menunjukkan angka
tersebut berada di garis
warna yang telah di
tentukan oleh alat.
3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mendapatkan

atau mengumpulkan data (Sugiyono, 2010:348). Instrumen yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu peak flow meter, alat tulis, lembar observasi, balon tiup, SOP

pursed lip breathing, SOP balloon blowing, SOP pengukuran arus puncak ekspirasi.

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono

Pasuruan.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 07 Januari 2018 - 11 Februari 2018.

3.7 Pengumpulan Data

3.7.1 Tahap Persiapan

1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian ke Direktur Poltekkes

Malang yang ditujukan ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Pasuruan

dan Dinas Kesehatan Kota Pasuruan.

2. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Pasuruan mengeluarkan surat

rekomendasi penelitian kepada Direktur RSUD dr. Soedarsono Pasuruan dan

tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Pasuruan.

3. Peneliti menentukan subjek penelitian yaitu pasien PPOK di Ruang Interna 2

RSUD dr. R. Soearsono Pasuruan.

4. Peneliti mendapatkan surat balasan dari Kepala Bidang Diklit RSUD dr. R.

Soedarsono Pasuruan untuk pengambilan data.

57
114

5. Setelah mendapatkan ijin dari Kepala Rumah Sakit untuk melakukan

penelitian, kemudian melakukan perijinan kepada Kepala Ruang Interna 2

RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan.

3.7.2 Tahap Pelaksanaan

1. Setelah mendapat ijin dari Kepala Ruang Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono

Pasuruan kemudian peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria inklusi

yang dijadikan sebagai sampel penelitian.

2. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan sendiri tanpa bantuan

eneumerator.

3. Peneliti memperkenalkan diri. Sebelum pengambilan data pasien diberikan

penjelasan tentang tujuan, manfaat penelitian dan prosedur penelitian yang

akan dilaksanakan bagi responden yang bersedia untuk mengikuti penelitian

maka mengisi surat persetujuan (informed concent).

4. Apabila pada saat penelitian ada responden yang tiba-tiba membatalkan untuk

dilaksanakan penelitian maka peneliti akan mengganti responden dengan

responden baru yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

5. Pasien yang bersedia diteliti, dimintai persetujuan dengan menandatangani

lembar persetujuan menjadi responden. Bagi yang tidak bersedia peneliti tidak

memaksa dan menghormati keputusan pasien.

6. Peneliti mulai melakukan pengukuran arus puncak ekspirasi dengan peak flow

meter sebelum dilakukan intervensi (pre-test).

7. Dilakukan intervensi kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing

(balon yang digunakan merk stationery transparant balloons) pada tiap pasien

1x/hari selama 3 hari, lama tiap 1 kali latihan 15-20 menit untuk seluruh
115

tahapan. Intervensi diberikan pagi hari sebelum diberikannya obat atau

bronkodilator.

8. Melakukan pengukuran arus puncak ekspirasi dengan peak flow meter

langsung setelah dilakukan intervensi kombinasi pursed lip breathing dan

balloon blowing (post-test).

9. Setelah sudah didapatkan 3 data pre test dan 3 data post test dari responden,

selajutnya akan dilakukan analisis sesuai dengan uji statistika yang ditetapkan

sebelumnya.

3.8 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh

data atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan

menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan.

(Setiadi, 2013:139).

Ada 5 tahap pengolahan data menurut (Setiadi, 2013:139), yaitu :

1. Editing/memeriksa

Adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para

pengumpul data. Pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah selesai ini

dilakukan terhadap :

a. Kelengkapan jawaban, apakah tiap pertanyaan sudah ada jawabannya,

meskipun jawaban hanya berupa tidak tahu atau tidak mau menjawab.

b. Keterbacaan tulisan, tulisan yang tidak terbaca akan mempersulit

pengolahan data atau berakibat pengolahan data salah membaca.

c. Relevansi jawaban, bila ada jawaban yang kurang atau tidak relevan maka

editor harus menolaknya.


116

2. Memberi tanda kode/coding

Adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para respondenke dalam

bentuk angka/bilangan. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi

tanda/kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban. Kegunaan pada

coding adalah untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga

mempercepat pada saat entry data.

3. Processing

Setelah semua kuesioner terisi penuh dan benar, serta sudah melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar data yang

sudah di-entry dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-

entry data dari kuesioner ke paket program komputer. Salah satu paket program

yang sudah umum digunakan untuk entry data adalah paket program SPSS for

Window.

4. Cleaning

Pembersihan data, lihat variabel apakah data sudah benar atau belum.

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data

yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan tersebut

dimungkinkan terjadi pada saat kita meng-entry data ke komputer.

5. Mengeluarkan informasi

Disesuaikan dengan tujuan penelitian yang dilakukan.

3.9 Analisis Data

Setelah data diolah kemudian dianalisa, sehingga hasil analisa data dapat

digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam penanggulangan masalah.

Setelah kita selesai melakukan pengolahan data, maka langkah selanjutnya adalah
117

menganalisis data. Analisis data merupakan kegiatan yang sangat penting dalam

suatu penelitian, karena dengan analisislah data dapat mempunyai arti/makna yang

dapat berguna untuk memecahkan masalah penelitian. (Setiadi, 2013:147).

3.9.1 Analisis Univariate (Analisis Deskriptif)

Analisis Univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel. Misalnya

distribusi frekuensi responden berdasarkan : umur, jenis kelamin, tingkat

pendidikan, dan sebagainya. (Notoatmodjo, 2012:182).

Analisis univariate dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin, tinggi

badan, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, riwayat merokok, lama merokok.

3.9.2 Uji Normalitas

Uji normalitas pada variabel arus puncak ekspirasi dari masing-masing fase

pengukuran dilakukan sebelum peneliti melakukan analisis bivariat. Uji normalitas

ini dilakukan untuk mengambil keputusan yang valid mengenai jenis uji apa yang

digunakan untuk melakukan analisis bivariat (Hastono, 2007).

Adapun hasil tingkat kemaknaan hasil uji statistik adalah jika didapatkan p

> 0,05 maka distribusi tersebut dikatakan normal. Namun, jika hasil yang

didapatkan p < 0,05 maka distribusi tersebut dikatakan tidak normal. Pada

penelitian ini, peneliti menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk. Selanjutnya

setelah menentukan hasil dan bagaimana hasil pendistribusiannya, maka

selanjutnya peneliti bisa menentukan jenis uji apa yang digunakan untuk melakukan

analisis bivariat. Analisis statistik menggunakan aplikasi berbasis komputer.


118

3.9.3 Analisis Bivariate

Analisis Bivariate yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Misalnya variabel umur dengan variabel penyakit

jantung, variabel jenis kelamin dengan variabel jenis penyakit yang diderita, dan

sebagainya. (Notoatmodjo, 2012:183).

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui perbedaan skor pada variabel

yaitu arus puncak ekspirasi antara sebelum dan sesudah intervensi. Analisa data

ditunjukkan untuk menjawab tujuan penelitian dan menguji hipotesis dengan uji

paired t-test, yaitu menguji hipotesis komparatif numerik dua kelompok

berpasangan, apabila datanya berdistribusi normal. Uji paired t-test digunakan

untuk menentukan ada tidaknya perbedaan rata-rata dua sampel bebas. Data yang

dimaksud adalah sampel yang sama namun mempunyai dua data (Sujarweni, 2014).

3.10 Penyajian Data

Data statistik perlu disajikan dalam bentuk yang mudah dibaca dan

dimengerti. Tujuannya adalah memberikan informasi dan memudahkan interpretasi

hasil analisis. Secara garis besar ada 3 cara yang sering dipakai untuk peyajian data,

yaitu : tulisan, tabel, dan diagram. (Setiadi, 2013:142).

1. Tulisan atau narasi.

Dibuat dalam bentuk narasi mulai dari pengambilan data sampai

kesimpulam. Kelemahan kurang menggambarkan bentuk statistik bila terlalu

banyak datanya.

2. Tabel atau daftar (tabuler)


119

Penyajian dalam bentuk angka (data numeric) yang disusun dalam kolom

dan baris dengan tujuan untuk menunjukkan frekuensi kejadian dalam kategori

yang berbeda.

3.11 Etik Penelitian

Menurut (Nursalam, 2016:194) secara umum prinsip etika dalam

penelitian/pengumpulan data dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu :

1. Prinsip Manfaat

a. Bebas dari penderitaan

Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan

kepada subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

b. Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari keadaan

yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya

dalam penelitain atau informasi yang telah diberikan, tidak akan

dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk

apapun.

c. Risiko (benefits ratio)

Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human digity)

a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self determination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak

memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak, tanpa


120

adanya sangsi apa pun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika

mereka seorang klien.

b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right to

full disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara terperinci serta

bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.

c. Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada informed consent

juga perlu dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan

dipergunakan untuk pengembangan ilmu.

3. Prinsip keadilan (right to justice)

a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Subjek harus diperlakukan secara adil baik sebelum, selama, dan

sesudah keikutsertaannya dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi

apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

b. Hak dijaga kerahasiannya (right to justice)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (anonymity) dan

rahasia (confidentiality).
121

3.12 Kerangka Operasional


Populasi :
Semua pasien PPOK yang dirawat di Ruang Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan

Accidental Sampel :
Sampling Sebagian Pasien PPOK yang dirawat di Ruang Interna 2 RSUD dr.
R. Soedarsono Pasuruan yang memenuhi kriteria inklusi

Variabel Independen : Variabel Dependen :


Pemberian Kombinasi Pursed Lip Breathing Arus Puncak Ekspirasi
dan Balloon Blowing

Pengukuran APE (Pre Test)

Kombinasi Pursed Lip Breathing Tiap responden


15-20 menit dan Balloon Blowing 1x/hari selama 3 hari

Pengukuran APE (Post Test)


Editing, Coding,
Processing, Cleaning,
Pengolahan Data Mengeluarkan informasi

Analisa Data :
Analisis Univariate : umur, jenis kelamin, riwayat pekerjaan, riwayat
merokok, lama merokok
Uji Normalitas : Shapiro Wilk
Analisis Bivariate : Uji paired t-test

Data disajikan dalam bentuk tabel dan narasi

Hasil

Kesimpulan

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Operasional Penelitian


122

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian

RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan adalah Instansi Pemerintah yang

mempunyai tugas melaksanakan pelayanan kesehatan paripurna, pendidikan,

penelitian dan pengembangan penapisan teknologi bidang kesehatan. Rumah sakit

ini bertempat di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo No. 1-4 Pasuruan, Kota Pasuruan,

Indonesia. Lokasi RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan sangat strategis yaitu di

persimpangan jalan utama Banyuwangi – Surabaya. Adapun fungsinya : Pelayanan

Medis, Pelayanan Penunjang Medis dan Non Medis, Pelayanan dan Asuhan

Keperawatan, Pelayanan Rujukan, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan

Pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan, Pelayanan administrasi

umum dan keuangan, Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai

dengan tugas dan fungsinya.

Penelitian ini dilakukan di Ruang Interna 2. Ruang Interna 2 merupakan

ruang rawat inap penyakit dalam kelas 3 dengan kapasitas keseluruhan 61 pasien.

Ruang Interna 2 dibagi menjadi beberapa ruang, yaitu Ruang Soka bawah no bed

1-6, Ruang Soka atas no bed 7-8, Ruang Krisan atas no bed 7-9, Ruang Krisan

bawah no bed 2-6 dan Ruang IMC (Intermediet Care). Jumlah tenaga kesehatan

yang tersedia di ruang Interna 2 sebanyak 35 orang, yaitu 1 orang kepala ruang, 2

orang ketua tim, 32 perawat, dan 1 orang tata usaha. Dengan perbandingan 30 orang

DIII Keperawatan dan 2 orang S1 Keperawatan. Pembagian shift pagi berjumlah 9

orang, siang 7 orang dan malam 7 orang.


123

Ruang Interna 2 yang digunakan sebagai penelitian adalah Ruang soka

bawah terdiri dari soka 1-6. Berdasarkan wawancara dengan perawat ruangan,

penatalaksanaan pada pasien PPOK di Ruang Interna 2 RSUD Dr. R Soedarsono

Pasuruan yaitu dengan pemasangan oksigen, nebulizer, dan pemberian obat. Tidak

pernah terlihat adanya pemberian tindakan non farmakologi sebagai terapi

pendukung seperti latihan pernafasan pursed lip breathing dan balloon blowing.

4.2 Karakteristik Dasar Sampel

4.2.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin


di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
Jenis Kelamin Frequency Percent
Laki-Laki 24 80,0
Perempuan 6 20,0
Total 30 100,0

Tabel 4.1 menunjukkan sebagian besar sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak

24 orang (80%), dan sisanya berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (20%).

4.2.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur di RSUD


dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
Klasifikasi Umur Frequency Percent
36-45 3 10,0
46-55 13 43,3
56-65 12 40,0
66-sampai atas 2 6,7
Total 30 100,0

Tabel 4.2 menunjukkan rentang umur paling banyak pada pasien PPOK pada umur

46-55 tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%) dan umur 56-65 tahun sebanyak 12

orang (40%).
124

4.2.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat

Pekerjaan

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat


Pekerjaan di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari
2019.
Riwayat Pekerjaan Frequency Percent
Tidak Bekerja 1 3,3
Swasta/Buruh pabrik 9 30,0
Wiraswasta 3 10,0
Pedagang 4 13,3
Sopir 3 10,0
Petani 1 3,3
Nelayan 2 6,7
Pembantu Rumah Tangga 1 3,3
Kuli Bangunan 2 6,7
PNS 2 6,7
Serabutan 2 6,7
Total 30 100,0

Tabel 4.3 menunjukkan riwayat pekerjaan responden paling banyak sebagai pekerja

swasta/buruh pabrik yaitu sebanyak 9 orang (30%).

4.2.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat

Merokok

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Riwayat


Merokok di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari
2019.
Riwayat Merokok Frequency Percent
Merokok 24 80,0
Tidak Merokok 6 20,0
Total 30 100,0

Tabel 4.4 menunjukkan sebagian besar memiliki riwayat merokok dengan jumlah

24 orang (80%) yang semuanya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya tidak

merokok sebanyak 6 orang (20%) yang berjenis kelamin perempuan.


125

4.2.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Lama Merokok

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel Berdasarkan Lama Merokok


di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
Lama Merokok Frequency Percent
0–10 tahun 9 30,0
11–20 tahun 4 13,3
21–30 tahun 11 36,7
31–40 tahun 6 20,0
Total 30 100,0

Tabel 4.5 menunjukkan paling banyak lama merokok dari responden yaitu rentang

21-30 tahun sebanyak 11 orang (36,7%).

4.3 Hasil Penelitian

4.3.1 Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Dilakukan Kombinasi Pursed Lip

Breathing dan Balloon Blowing

Tabel 4.6 Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Dilakukan Kombinasi Pursed Lip
Breathing dan Balloon Blowing di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7
Januari – 11 Februari 2019.
N Mean Min Max Std. Deviation
APE 30 128 100 150 17,10011

Berdasarkan tabel 4.6 menunjukkan nilai APE sebelum pemberian kombinasi

Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing pada klien PPOK yang berjumlah 30

orang didapatkan hasil, minimal 100 L/menit dan maksimal 150 L/menit dengan

rata rata sebesar 128 L/menit.

4.3.2 Arus Puncak Ekspirasi Setelah Dilakukan Kombinasi Pursed Lip

Breathing dan Balloon Blowing

Tabel 4.7 Arus Puncak Ekspirasi Setelah Dilakukan Kombinasi Pursed Lip
Breathing dan Balloon Blowing di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7
Januari – 11 Februari 2019.
N Mean Min Max Std. Deviation
APE 30 186,6667 150 240 24,95974

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan nilai APE setelah pemberian kombinasi Pursed

Lip Breathing dan Balloon Blowing pada klien PPOK yang berjumlah 30 orang
126

diberi perlakuan yang sama dan pengukuran yang sama didapatkan hasil, minimal

150 L/menit dan maksimal 240 L/menit dengan rata rata sebesar 186,7 L/menit.

4.3.3 Menganalisis pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi pasien PPOK.

Tabel 4.8 Arus Puncak Ekspirasi Pre Test, Post Test dan Selisih Pre-Post Test
Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing di RSUD dr. R.
Soedarsono Pasuruan, periode 7 Januari – 11 Februari 2019.
N Mean Min Max Std.
Deviation
APE Pre Test 30 128 100 150 17,10011
APE Post Test 30 186,6667 150 240 24,95974
Selisih APE Pre Test dan Post 30 58,6667 30 90 14,79360
Test

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan selisih nilai arus puncak ekspirasi antara

sebelum dan sesudah pemberian Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon

Blowing pada pasien PPOK yang berjumlah 30 orang diperoleh rata-rata selisih

58,6667 dengan minimal selisih 30 L/menit dan maksimal selisih 90L/menit.

Tabel 4.9 Tabel Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon Blowing
Terhadap Arus Puncak Ekspirasi di RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan, periode 7
Januari – 11 Februari 2019.
Rerata (s.b) Selisih (s.b) Nilai p
APE Pre-Test 128 (17,1) 58,66667 (14,7) 0,000
(n=30)
APE Post-Test 186,6667 (24,9)
(n=30)

Berdasarkan tabel 4.9 menunjukkan hasil uji paired t test setelah intervensi

kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing didapatkan hasil Pvalue =

0,000 < 0,05 yang artinya ada pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi.


127

4.4 Pembahasan

4.4.1 Arus Puncak Ekspirasi Sebelum Diberikan Teknik Pursed Lip Breathing

dan Balloon Blowing pada Klien PPOK

PPOK merupakan penyakit kronis saluran pernafasan yang ditandai dengan

hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi akibat penyempitan jalan nafas

yang menyebabkan keterbatasan aliran udara (Pengembangan, 2013). Tanda

keterbatasan aliran udara ialah penurunan rasio volume ekspirasi yang dipaksa

selama 1 detik atau arus puncak ekspirasi (Yatun et all, 2016). Adapun faktor yang

mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi antara lain usia, jenis kelamin, riwayat

pekerjaan, dan riwayat merokok.

Pada tabel 4.1 Distribusi frekuensi klien berdasarkan jenis kelamin pada

klien PPOK di Ruang Interna 2 RSUD dr. R Soedarsono Pasuruan menunjukkan

sebagian besar sampel didominasi berjenis kelamin laki-laki sebanyak 24 orang

(80%), dan sisanya berjenis kelamin perempuan sebanyak 6 orang (20%). Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Amoros (2008) menyebutkan bahwa

mayoritas penderita PPOK 92% adalah laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh

Kara et al, (2006) menyebutkan 75% responden dalam penelitiannya adalah laki-

laki. Volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 % lebih kecil

dari pada pria (Guyton & Hall, 2008). Kapasitas vital paru rata-rata pria dewasa

muda kurang lebih 4,4 L dan perempuan muda kurang lebih 3,1 L, meskipun nilai

jauh lebih besar pada beberapa orang dengan berat badan sama (Antarudin, 2003).

Secara biologis antara pria dan wanita berbeda. Nilai APE pria lebih besar dari pada

wanita berdasarkan tabel nilai normal APE karena frekuensi pernapasan pada laki-

laki lebih cepat dari pada perempuan, karena laki-laki membutuhkan banyak energi
128

untuk beraktivitas, berarti semakin banyak pula oksigen yang diambil dari udara

hal ini terjadi karena lelaki umumnya beraktivitas lebih banyak dari pada

perempuan sehingga recoil dan compliance parunya lebih terlatih (Guyton & Hall,

2005).

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan rentang umur paling banyak pada

pasien PPOK pada umur 46-55 tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%) dan umur

56-65 tahun sebanyak 12 orang (40%). Usia merupakan faktor utama yang

mempengaruhi gangguan fungsi paru. Usia berkaitan dengan proses penuaan

dimana semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin besar kemungkinan

terjadinya penurunan kapasitas fungsi paru (Meita, 2012). Menurut Darmojo (2011)

sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada sekitar usia 20-25

tahun, setelah itu sistem respirasi akan mulai menurun fungsinya mulai pada usia

30 tahun. Fungsi paru terutama APE dapat dipengaruhi oleh faktor usia (Guyton &

Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Berdasarkan rata-rata usia responden termasuk

dalam rentang usia dewasa pertengahan yaitu usia 40-65 tahun (Potter & Perry,

2007 dalam Widiyani, 2015). Menurut Yunus (dalam Novarin, 2014) fungsi paru

sejak masa kanak-kanak bertambah atau meningkat volumenya dan mencapai

maksimal pada umur 19-21 tahun yang dapat dibuktikan di tabel prediksi nilai APE

dimana nilai APE akan semakin berkurang dengan bertambahnya umur seseorang,

setelah itu nilai fungsi paru terus menurun sesuai bertambahnya umur karena

dengan meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan

bertambah. Hal tersebut dikarenakan sistem biologis manusia akan menurun secara

perlahan karena terjadi penurunan elastisitas dinding dada. Perubahan struktur

pernafasan dimulai pada usia dewasa pertengahan, dan seiring bertambahnya usia
129

elastisitas dinding dada, elastisitas alveoli, dan kapasitas paru mengalami

penurunan serta akan terjadi penebalan kelenjar bronkial (Guyton & Hall, 2007

dalam Widiyani, 2015). Perubahan tersebut mempunyai dampak terhadap

kerentanan terhadap penyakit yang bertambah dan mudah terjadi infeksi pada

saluran pernafasan yang memicu munculnya mukus yang dapat mengobstruksi

saluran pernafasan. Adanya obstruksi yang terjadi pada saluran pernafasan dapat

menurunkan nilai dari APE seseorang (Potter & Perry, 2007 dalam Widiyani,

2015). Bertambahnya usia juga dapat mengakibatkan frekuensi pernafasan menjadi

semakin lambat. Energi yang dibutuhkan pada usia lanjut lebih sedikit

dibandingkan pada usia pertumbuhan sehingga O2 yang dibutuhkan relatif sedikit.

Kebutuhan O2 yang sedikit akan berdampak pada kadar SaO2. Kebutuhan energi

yang sedikit pada usia lanjut juga dapat menyebabkan kemampuan

menghembuskan energi juga menurun sehingga menurunkan nilai PEF (Barnett,

2006).

Hasil penelitian didapatkan bahwa usia responden termasuk dalam rentang

usia dewasa pertengahan yang memungkinkan mengalami penurunan dalam fungsi

paru. Hal tersebut dapat memunculkan suatu resiko penurunan nilai APE karena

seiring bertambahnya usia elastisitas dinding dada, elastisitas alveoli, dan kapasitas

paru mengalami penurunan serta akan terjadi penebalan kelenjar bronkial.

Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan riwayat pekerjaan responden paling

banyak sebagai pekerja swasta/buruh pabrik yaitu sebanyak 9 orang (30%). Faktor

lingkungan yang meliputi polusi udara didalam dan diluar ruangan seperti asap

rokok, asap kendaraan bermotor ditempat kerja akan menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi paru (Yunus dalam Novarin, 2014). Manusia banyak


130

menghabiskan waktunya pada lingkungan rumah (indoor) seperti rumah, tempat

kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan kendaraan. Polutan indoor yang penting

antara lain SO2, NO2 dan CO yang dihasilkan dari memasak dan kegiatan

pemanasan, zat-zat organik yang mudah menguap dari cat, karpet, bahan percetakan

dan alergi dari gas dan hewan peliharaan serta perokok pasif (Oemiati, 2013).

Paparan SO2 dapat menimbulkan bronkospasme, sebagian SO2 akan tertahan di

saluran napas atas, karena bereaksi dengan air yang terdapat di lapisan mukosa. Dan

kejadian infeksi saluran napas meningkat pada orang yang terpapar dengan NO2.

Hal itu disebabkan karena terjadi kerusakan silia, gangguan sekresi mukus dan

fungsi makrofage alveolar serta gangguan imunitas humoral. Sedangkan paparan

ozon akan dapat meningkatkan hiperaktivitas bronkus pada klien asma maupun

pada klien sehat (Yunus, dalam Novarin, 2014).

Berdasarkan kategori riwayat merokok pada tabel 4.4 menunjukkan

sebagian besar memiliki riwayat merokok dengan jumlah 24 orang (80%) yang

semuanya berjenis kelamin laki-laki dan sisanya tidak merokok sebanyak 6 orang

(20%) yang berjenis kelamin perempuan. Riwayat merokok merupakan salah satu

faktor yang juga dapat mempengaruhi kualitas dari fungsi paru klien (Guyton &

Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Merokok merupakan faktor utama yang dapat

mempercepat penurunan fungsi paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan

struktur jalan napas maupun parenkim paru. Perubahan struktur jalan nafas besar

berupa hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga akan mempengaruhi

nilai APE (Guyton & Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Asap rokok dapat

melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas yang dapat menyebabkan

mudahnya kolonisasi bakteri sehingga kejadian menimbulkan inflamasi, juga


131

semakin melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan terjadinya infeksi

kronis sehingga memicu terjadinya bronkitis kronis (Sutoyo, 2010).

Hasil penelitian didapatkan semua responden laki-laki memiliki riwayat

merokok sebelumnya. Keadaan tersebut memicu terjadinya PPOK karena asap

rokok dapat melemahkan sistem pertahanan yang terdapat pada saluran pernafasan

yang memudahkan kolonisai bakteri di saluran pernafasan. Mudahnya kolonisasi

bakteri menyebabkan terjadinya perubahan struktur jalan nafas besar berupa

hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, sehingga akan mempengaruhi nilai APE.

Data responden tentang lama merokok terbanyak berdasarkan tabel 4.5

yaitu 21-30 tahun sebanyak 11 orang (36,7%). Riwayat lama merokok yang paling

lama terjadi adalah 40 tahun. Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap

dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat

mengalami PPOK (Suradi, 2007 dalam Widiyani, 2015). Kandungan zat nikotin

didalam rokok dapat menurunkan fungsi sel epitel pada saluran pernafasan

sehingga memicu terjadinya peradangan dan pengeluran mukus yang berlebih dan

pada akhirnya mengakibatkan obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas akan

menurunkan nilai APE (Guyton& Hall, 2007 dalam Wisiyani, 2015).

Hasil penelitian menunujukkan semua responden laki-laki memiliki riwayat

merokok dimana lama merokok yang paling lama yakni selama 40 tahun dan lama

merokok terbanyak berdasarkan tabel 4.5 yaitu 21-30 tahun. Merokok merupakan

salah satu penyebab yang memicu terjadinya PPOK. Rokok dapat menimbulkan

kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkhus sehingga drainase lendir terganggu.

kumpulan lendir ini merupakan media yag baik untuk berkumpulnya pertumbuhan
132

bakteri, jika hal tersebut terjadi secara terus-menerus maka akan memicu terjadi

respon inflamasi yang lama dan akhirnya menyebabkan PPOK.

Pada tabel 4.6 di atas menunjukkan hasil tabulasi data arus puncak ekspirasi

sebelum diberikan intervensi pursed lip breathing dan balloon blowing pada klien

PPOK sejumlah 30 orang didapatkan hasil minimum 100 L/menit, maksimum 150

L/menit dan rata-rata 128 L/menit.

4.4.2 Arus Puncak Ekspirasi Sesudah Diberikan Teknik Pursed Lip Breathing

dan Balloon Blowing pada Klien PPOK

Berdasarkan tabel 4.7 setelah dilakukan pursed lip breathing dan balloon

blowing selama selama 3 hari dalam sehari 1 kali, semua responden mengalami

peningkatan arus puncak ekspirasi, didapatkan hasil nilai APE dari 30 responden,

minimum 150 L/menit, maksimum 240 L/menit dan rata-rata 186,7 L/menit. Rata-

rata arus puncak ekspirasi sebelum intervensi yaitu 128 L/menit. Rata-rata arus

puncak ekspirasi sesudah intervensi yaitu 186,7 L/menit dan rata rata selisih arus

puncak ekspirasi sebelum dan sesudah yaitu 58, 7.

Pada latihan pernafasan pursed lip breathing akan terjadi dua mekanisme

yaitu inspirasi kuat dan ekspirasi kuat dan panjang. Ekspirasi yang kuat dan

memanjang akan melibatkan kekuatan dari otot intra abdomen sehingga tekanan

intra abdomen pun meningkat yang akan meningkatkan pula pergerakan diafragma

ke atas membuat rongga torak semakin mengecil. Rongga torak yang semakin

mengecil ini menyebabkan tekanan intra alveolus semakin meningkat sehinga

melebihi tekanan udara atmosfer. Kondisi tersebut akan menyebabkan udara

mengalir keluar dari paru ke atmosfir. Ekspirasi yang dipaksa dan memanjang saat

bernafas dengan pursed lip breathing akan menurunkan resistensi pernafasan


133

sehingga akan memperlancar udara yang dihirup atau dihembuskan. Ekspirasi yang

dipaksa dan memanjang akan memperlancar udara inspirasi dan ekspirasi sehingga

mencegah terjadinya air trapping di dalam alveolus (Khazanah, 2013).

Latihan pursed lip breathing yaitu mengeluarkan udara pada saat ekspirasi

dengan pelan melalui mulut dengan bibir dirapatkan dan tertutup. Pada saat

melakukan pursed lip breathing tidak terdapat aliran udara pernafasan yang terjadi

melalui hidung karena sumbatan involunter nasofaring oleh palatum lunak. Latihan

pursed lip breathing dapat menurunkan tahanan udara dan meningkatkan kepatenan

jalan nafas. Latihan ini dapat membantu menurunkan pengeluaran air trapping

yang dapat membantu mengontrol ekspirasi dan memfasilitasi pengosongan alveoli

dengan maksimal (Aini, 2008 dalam Suprayitno, 2017). Adanya fasilitas

pengosongan alveoli secara maksimal akan meningkatkan peluang masuknya

oksigen kedalam ruang alveolus, sehingga proses difusi dan perfusi berjalan dengan

baik. Meningkatnya transfer oksigen ke jaringan dan otot-otot pernafasan akan

menimbulkan suatu metabolisme aerob yang akan menghasilkan suatu energi

(ATP). Energi ini dapat meningkatkan kekuatan otot-otot pernafasan sehingga

proses pernafasan dapat berjalan dengan baik, dengan proses pernafasan yang baik

akan mempengaruhi terhadap arus puncak ekpirasi yang meningkat pula (Guyton

et al., 2007 dalam Suprayitno, 2017).

Sedangkan Latihan pernafasan dengan meniup balon (balloon blowing) dapat

meningkatkan kapasitas paru. Meniup balon mengaktifkan otot pada intercosta dan

meningkatkan elevasi dari diafragma dan costa. Proses ini memungkinkan paru

mengabsorbsi oksigen dan mengeluarkan karbondioksida lebih banyak dari paru.

Balloon blowing merupakan latihan yang memberikan kemampuan yang efektif


134

bagi paru untuk melakukan pengambilan dan pengeluaran udara paru, bukan

berpengaruh terhadap ukuran alveoli paru. Selama latihan alveoli akan

mengeluarkan karbondioksida yang terjebak dalam paru selama ekhalasi dan

memasukkan oksigen dalam darah selama inhalasi. (Tunik, 2017).

Terapi ini dapat dianalogkan dengan latihan napas dalam atau pursed lip

breating. Pursed lip breathing adalah inspirasi dalam dan ekspirasi memanjang

dengan mulut dimonyongkan dengan tujuan untuk membantu pasien mengontrol

pola napas, menurunkan sesak napas, meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan

memperbaiki kelenturan rongga dada sehingga fungsi paru menjadi meningkat.

Terapi meniup balon dapat meningkatkan kekuatan otot pernapasan sehingga akan

memaksimalkan recoil dan compliance paru sehingga fungsi paru akan meningkat

pula. Latihan meniup balon dapat meningkatkan kekuatan otot dan ventilasi paru

pasien asma, hal ini disebabkan karena latihan dapat menyebabkan perangsangan

pusat otak yang lebih tinggi pada pusat vasomotor di batang otak yang

menyebabkan peningkatan tekanan arteri dan peningkatan ventilasi paru. Terapi

bermain meniup balon sangat baik dilakukan pada pasien yang menderita asma atau

PPOK karena dapat memperbaiki kelenturan rongga dada serta diafragma, serta

dapat melatih otot-otot ekspirasi untuk memperpanjang ekhalasi dan meningkatkan

tekanan jalan napas selama ekspirasi, dengan demikian dapat mengurangi jumlah

tahanan dan jebakan udara yang akan meningkatkan arus puncak ekspirasi.

Peneliti menyimpulkan bahwa dari 30 responden setelah diberikan

intervensi semuanya mengalami peningkatan arus puncak ekspirasi. Peneliti

berpendapat bahwa teknik pursed lip breathing dan balloon blowing dapat

mengurangi terjadinya air trapping sehingga akan menghasilkan metabolisme


135

aerob yang akan meningkatkan kekuatan dari otot-otot pernafasan sehingga dapat

meningkatkan arus puncak ekspirasi.

4.4.3 Menganalisis Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing Dan Balloon

Blowing Terhadap Arus Puncak Ekspirasi Pasien PPOK.

Setelah dilakukan uji normalitas pada selish pre-post didapatkan hasil

Pvalue = 0,145 > 0,05 maka data disimpulkan berdistribusi normal. Berdasarkan

tabel 4.9 menunjukkan hasil uji paired t test setelah intervensi kombinasi pursed lip

breathing dan balloon blowing didapatkan hasil Pvalue = 0,000 < 0,05 yang artinya

ada pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon blowing terhadap arus

puncak ekspirasi.

Nilai arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK menggambarkan seberapa

berat obstruksi yang terjadi pada pasien tersebut (Guyton & Hall, 2007 dalam

Widiyani, 2015). Obstruksi yang terjadi pada pasien PPOK diakibatkan oleh adanya

mukus yang kental. Akibat adanya obstruksi yang terjadi pada saluran pernafasan

terutama saat ekspirasi mengakibatkan terperangkapnya udara di bagian distal paru

sehingga paru menjadi kolaps. Adanya air trapping mengakibatkan penurunan

ventilasi alveolus yang ditandai dengan penurunan PO2 (hipoksemia) dan

peningkatan PCO2 (hiperkapnia) dalam darah (Somantri, 2007). Terjadinya

hipoksemia, hipoksia dan hiperkapnia pada pasien PPOK akan menyebabkan

terjadinya asidosis respiratorik sehingga terjadi meningkatkan proses pernafasan

dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan (Smeltze & Bare, 2007 dalam Widiyani,

2015). Hipoksia yang terjadi di dalam tubuh akan menyebabkan hipoksia terhadap

otot juga, sehingga akan terjadi metabolisme anaerob yang dapat menghasilkan

asam laktat. Peningkatan asam laktat dalam tubuh akan menyebabkan kelelahan
136

otot. Kelelahan otot yang terjadi di saluran pernafasan dapat menurunkan nilai APE

(Guyton & Hall, 2007 dalam Widiyani, 2015). Intervensi keperawatan yang dapat

dilakukan pada pasien dengan PPOK adalah memberikan latihan pernafasan.

Latihan pernafasan ini terdiri dari latihan dan praktik pernafasan yang dimanfaatkan

untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol, efisien dan mengurangi kerja

bernafas (Smetlzer et al., 2013 dalam Suprayitno, 2017).

Pursed Lip breathing adalah latihan pernafasan dengan menghirup udara

melalui hidung dan mengeluarkan udara dengan cara bibir lebih dirapatkan atau

dimonyongkan dengan waktu ekshalasi lebih diperpanjang. Terapi rehabilitasi

paru-paru dengan cara latihan ini adalah cara yang sangat mudah dilakukan, tanpa

memerlukan alat bantu apapun, dan juga tanpa efek negatif seperti pemakaian obat-

obatan (Smeltzer et al., 2013).

Tujuan dari latihan pursed lip breathing dapat membantu klien

memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola nafas lambat dan dalam,

membantu pasien untuk mengontrol pernafasan, mencegah kolaps dan melatih otot

ekspirasi dalam memperpanjang ekshalasi, peningkatan tekanan jalan nafas selama

ekspirasi dan mengurangi terjebaknya udara dalam saluran nafas (Smeltzer et al.,

2013). PLB dapat membantu mengurangi sesak nafas sehingga pasien mampu

mentoleransi aktifitas fisik dan peningkatan kemampuan dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari. PLB yang dilakukan secara rutin dan benar mampu

meningkatkan fungsi mekanis paru-paru, pembatasan peningkatan volume akhir

ekspirasi paru dan pencegahan dampak hiperinflasi (Sheadan, 2006 dalam

Suprayitno, 2017).

Breathing relaxation, breathing exercise, indeep breathing, pursed lip


137

breathing merupakan latihan pernapasan yang banyak diteliti dan dilakukan untuk

memperbaiki fungsi dari paru. Metode yang digunakan dalam pelaksanaanya

bermacam-macam, salah satunya adalah dengan menggunakan balon/meniup

balon. Banyak penelitian tentang efek balloon blowing terhadap perokok,

dihasilkan bahwa dengan meniup balon secara rutin dapat memperbaiki fungsi paru

dengan meningkatkan arus puncak ekspirasi pada perokok yang mengalami

gangguan pernafasan (Tunik, 2017).

Balloon blowing atau latihan pernapasan dengan meniup balon merupakan

salah satu latihan relaksasi pernapasan dengan menghirup udara melalui hidung dan

mengeluarkan udara melalui mulut kedalam balon. Relaksasi ini dapat

memperbaiki transport oksigen, membantu pasien untuk memperpanjang ekshalasi

dan untuk pengembangan paru yang optimal (Aulia, 2015). Menurut (Aulia, 2015)

tujuan dari tindakan ini adalah, memperbaiki transport oksigen, menginduksi pola

napas lambat dan dalam, memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan

jalan napas selama ekspirasi, mengurangi jumlah udara yang terjebak dalam paru-

paru dan mencegah terjadinya kolaps paru.

Penelitian tentang pengaruh balloon blowing exercise terhadap fungsi paru

perokok dewasa banyak dilakukan oleh peneliti sebelumya. Tujuan dari penelitian

yang dilakukannya adalah untuk mengetahui kapasitas paru setelah dilakukan

latihan pernapasan dengan meniup balon. Subjek penelitian terdiri dari kelompok

kontrol dan intervensi, dimana kelompok intervensi melakukan latihan pernapasan

meniup balon 3 x seminggu. Responden dilakukan pengukuran fungsi paru pre dan

post intervensi. Hasil penelitian setelah di uji statistik dengan paired t test, dan

hasilnya menunjukkan nilai signifikasi terhadap perubahan fungsi paru yang dilihat
138

dari nilai VC, FEC, APE. Dengan balloon blowing dapat meningkatkan otot

ekspirasi selama dilakukan latihan, sehingga dapat mengeluarkan karbondioksida

yang terjebak pada paru seperti yang terjadi pada pasien PPOK, terutama yang

disebabkan oleh perokok. (Tunik, 2017).

Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil penelitian Emdat Suprayitno (2018)

tentang pengaruh pursed lip breathing terhadap peak expiratory flow rate penderita

penyakit paru obstruktif kronis, terbukti dapat meningkatkan nilai PEF pada

penderita PPOK. Penelitian yang dilakukan Dewi Natalia et al., (2007) tentang

efektifitas pursed lip breathing dan tiup balon dalam peningkatan arus puncak

ekspirasi (APE) pasien asma bronchiale, keduanya terbukti dapat meningkatkan

APE. Latihan nafas dengan pursed lip breathing dan tiup balon pada pasien asma

bronchiale efektif untuk membantu mencapai peningkatan APE dan memperbaiki

tingkat ekspirasi. Penelitian yang dilakukan Royani (2007) tentang pengaruh terapi

aktivitas bermain meniup balon terhadap perubahan fungsi paru anak degan asma,

terbukti setelah dilakukan terapi meniup balon didapatkan distribusi frekuensi

responden yang parunya baik sebanyak 18 responden (60%) dan responden yang

fungsinya parunya kurang baik sebanyak 12 responden (40%), terdapat peningkatan

pada fungsi paru anak setelah dilakukan terapi meniup balon.

4.5 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian

antara lain :

1. Terdapat beberapa responden yang mendapat terapi oksigen sehingga dapat

mempengaruhi hasil pengukuran Arus Puncak Ekspirasi.

2. Hasil akhir dari penelitian ini dipengaruhi oleh umur responden yang
139

bervariasi karena berpengaruh terhadap otot-otot pernafasan yang

mempengaruhi Arus Puncak Ekspirasi.

3. Responden mendapatkan terapi obat dan bronkodilator. Secara umum cara

kerja dari bronkodilator yaitu melebarkan saluran nafas, obat anti inflamasi

untuk meredakan proses inflames yang terjadi dan obat mukolitik yang

dapat memecah molekul mukus menjadi lebih kecil dan mudah bergerak

sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran Arus Puncak Ekspirasi.


BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengaruh kombinasi pursed

lip breathing dan balloon blowing terhadap arus puncak ekspirasi pada pasien

PPOK di Ruang Interna 2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Rata rata arus puncak ekspirasi sebelum dilakukan terapi kombinasi pursed

lip breathing dan balloon blowing pada klien PPOK yang berjumlah 30

orang yaitu 128 L/menit.

2. Rata rata arus puncak ekspirasi setelah dilakukan terapi kombinasi pursed

lip breathing dan balloon blowing pada klien PPOK yang berjumlah 30

orang yaitu 186,7 L/menit.

3. Terdapat pengaruh terapi kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi pada klien PPOK di Ruang Interna

2 RSUD dr. R. Soedarsono Pasuruan dengan p value = 0,000.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil dan beberapa keterbatasan penelitian ini, maka peneliti

memberikan saran sebagai berikut :

a. Bagi Pasien

Diharapkan pasien dapat memahami dan menerapkan latihan

pernafasan pursed lip breathing dan balloon blowing sehingga dapat

meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri tanpa obat-obatan dan

efek samping.

69
b. Bagi Institusi Kesehatan

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi panduan dan acuan dalam

bekerja terutama dalam melakukan tindakan keperawatan untuk

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Serta hasil penelitian ini agar

dijadikan sebagai bahan masukan dalam menerapkan pengetahuan dan

tindakan keperawatan secara non farmakologi tentang latihan pernafasan

pursed lip breathing dan balloon blowing terhadap arus puncak ekspirasi

pada pasien PPOK.

c. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman baru sehingga peneliti dapat menerapkannya di tatanan

keperawatan khususnya dalam meningkatkan arus puncak ekspirasi pada

pasien PPOK dengan memberikan latihan kombinasi pursed lip breathing

dan balloon blowing.

d. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan untuk menjadi salah satu

sumber data dan informasi untuk pelaksanaan penelitian bidang

keperawatan tentang pengaruh kombinasi pursed lip breathing dan balloon

blowing terhadap arus puncak ekspirasi pada pasien PPOK dengan jumlah

sampel yang lebih banyak dan membandingkan lebih efektif terapi pursed

lip brteathing atau ballon blowing.

70
DAFTAR PUSTAKA

Ahda, P.M.A. 2018. Studi Komparatif Buteyko Breathing Technique dan Pursed
Lip Breathing Exercise Terhadap Penurunan Respirasi Rate Pada Pasien
PPOK Di Ruang Interna 2 RSUD dr. R Soedarsono Pasuruan. Poltekkes
Kemenkes Malang. Malang.

Aini, F., Sitorus, R., Budiharto. (2008). Pengaruh Breathing Retraining Terhadap
Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru Pada Asuhan Keperawatan Pasien
PPOK. Jurnal Keperawatan Indonesia,12 (1), 29-33.

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.

Dahlan, M,S. 2014. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif,


Bivariat, dan Multivariat, edisi 6. Jakarta: Epidemiologi Indonesia.

Danusantoso, H. 2017. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, edisi 3. Jakarta: EGC.

Fitriani, S. 2018. Efektivitas Pursed Lip Breathing dan Latihan Ekstremitas Atas
Terhadap Perubahan Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien PPOK Di RSUD
dr. R Soedarsono Pasuruan. Poltekkes Kemenkes Malang. Malang

GOLD. 2015. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevension.


Global Initiatif For Chronic Of Lung Disease, Inc.

Hartono. (2015). Peningkatan Kapasitas Vital Paru Pada Pasien PPOK


Menggunakan Metode Pernapasan Pursed Lips. Jurnal Terpadu Ilmu
Kesehatan, 4 (1), 59–63.

Hidayat, A.A.I. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah, edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Kowalak, J.P., Weilsh, W., Mayer, B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Kusmaharani, D. 2018. Studi Komparatif Pemberian Active Cycle of Breathing


Technique (ACBT) dan Posisi Semi Fowler Terhadap Fungsi Ventilasi Paru
(Respiratory Rate dan Arus Puncak Ekspirasi) Pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronis Di RSUD Lawang. Poltekkes Kemenkes Malang. Malang.

Mulyani, S., IP, E.M., Yohastuti, F. (2018). Effectiveness of Pursed Lip Breathing
To Changes Respiratory Rate In The Patients With COPD In Lung Room
RSUD Dr R. Sosodoro Djatikoesomo Bojonegoro 2017. LPPM AKES
Rajekwesi Bojonegoro, 8 (2), 33-38.

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

71
Naser, F.E., Medison, I., Erly. (2016). Gambaran Derajat Merokok Pada Penderita
PPOK di Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas,
5(2), 306-311.

Natalia, D., Saryono., Indrati, D. (2007). Efektifitas Pursed Lips Breathing Dan
Tiup Balon Dalam Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi (APE) Pasien Asma
Bronchiale Di RSUD Banyumas. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 3
(1), 52-58.

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam, 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan


Pedoman Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian Keperawatan, edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam, 2013. Konsep Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:


Salemba Medika.

Octaviyani, A., Ambarwati, E., Hardian. (2015). Perbandingan Nilai Arus Puncak
Ekspirasi Pada Kelompok Pesenam Aqua Zumba Dengan Kelompok
Pesenam Zumba. Media Medika Muda, 4 (4), 246-254.

Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Media Litbangkes, 23 (2), 82-88.

Oktaria, D., Ningrum, M,S. (2017). Pengaruh Merokok dan Defisiensi Alfa-1
Antitripsin terhadap Progresivitas Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
dan Emfisema. Majority, 6 (2), 42-47.

PDPI. 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) Diagnosa dan


Penatalaksanaan. Jakarta.

Pearce, E.C. 2011 Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Potter, P.A, &Perry, A.G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik, edisi 4,volume 2. Jakarta: EGC.

Price, S.A., Wilson, L.M. 2012. Fisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
edisi 6, vol 2. Jakarta: EGC.

Rab T. 2007. Ilmu Penyakit Paru. Q Lintang S, (Ed). Jakarta: Hipokrates.

Riskesdas, 2013. Profil Kesehatan Indonesia, Data Dan Informasi Tahun 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Kesehatan RI.

Royani, E. (2017). Pengaruh Terapi Aktivitas Bermain Meniup Balon Terhadap


Perubahan Fungsi Paru Pada Anak Dengan Asma Di Rumah Sakit Islam Siti
Khodijah Palembang. Masker Medika, 5 (1), 79-87.

72
Sepdianto, T.C., Diah, M., & Tyas C. (2015). Peningkatan Forced Expiratory
Volume Melalui Latihan Breathing Retraining Pada Pasien PPOK. Jurnal
Keperawatan Terapan, 1(1), 31-35.

Setiadi. 2007. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan, edisi pertama.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiadi. 2013. Konsep & Praktik Penulisan Riset Keperawatan, edisi 2.


Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:


Alfabeta.

Suprayitno, E. 2017. Pengaruh Pursed Lips Breathing Terhadap Peak Expiratory


Flow Rate Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis. Jurnal Kesehatan
Wiraraja Medika, 7 (2), 56-60.

Soeroto, A.Y., Suryadinata, H. (2014). Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J


Chest Crit and Emerg Med, 1 (2), 83-88.

Stephen, J.M., William, F.G. 2011. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju


Kedokteran Klinis, edisi 5. Jakarta: EGC.

Tunik. 2017. Pengaruh Breathing Relaxation Dengan Teknik Balloon Blowing


Terhadap Saturasi Oksigen Dan Perubahan Fisiologis Kecemasan Pasien
Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Di RSUD Dr. Soedomo
Trenggalek. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.

WHO. 2015. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Diakses 18


September 2018.http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/chronic-
obstructive-pulmonary-disease-(copd).

Widiyani, C. T. C. (2015). Pengaruh Pursed Lip Breathing Exercise Terhadap Arus


Puncak Ekspirasi (APE) Pada Pasien Bronkitis Kronis. Universitas Negeri
Jember. Jember.

Yatun, R.U., Widayati, N., Purwandari.R. (2016). Hubungan Nilai Aliran Puncak
Ekspirasi (APE) dengan Kualitas Tidur pada Pasien PPOK di Poli Spesialis
Paru B Rumah Sakit Paru Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 4 (1), 86-
94.

73
Lampiran 1
PLAN OF ACTION
(Agustus 2018 – Maret 2019)

Agustus Sept Okt Nov Des Jan Feb Maret April Mei Juni
No Kegiatan Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Tahap Persiapan
a. Perencanaan Judul
b. Mencari Literatur
c. Penyusunan Propsal
d. Konsultasi Proposal
e. Perbaikan Proposal

f. Ujian Sidang
Proposal dan Revisi
g. Pengurusan Ijin
2. TahapPelaksanaan
a. Pegambilan Data
b. Pengolahan Data
c. Analisa dan
Pengolahan Data
d. Konsultasi Hasil
4. TahapEvaluasi
a. Perbaikan Hasil
b. Pencatatan dan
Pelaporan Hasil
c. Ujian Sidang Hasil

69
70

Lampiran 2
LEMBAR INFORMASI
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Putri Asni Nilam
NIM : 1501470040
Status : Mahasiswi Poltekkes Kemenkes Malang Program Studi Sarjana Terapan
Keperawatan Lawang
Saat ini saya sedang menyelesaikan tugas akhir, akan melaksanakan
penelitian dengan judul “Pengaruh Kombinasi Pursed Lip Breathing dan Balloon
Blowing Terhadap Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronis”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan arus puncak
ekspirasi setelah dilakukan intervensi kombinasi pursed lip breathing dan balloon
blowing pada penderita penyakit paru obstruktif kronis.
Bersama dengan surat ini, saya sebagai peneliti mohon bantuan serta
kesediaan Bapak/Ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini selama 3 hari
kedepan. Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi
Bapak/Ibu sebagai responden. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Identitas serta
informasi yang Bapak/Ibu berikan pada penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya
dan digunakan untuk kepentingan penelitian.
Demikian permohonan ini peneliti sampaikan. Atas perhatian dan
kerjasama Bapak/Ibu, peneliti mengucapkan terima kasih.

Pasuruan, 2018
Peneliti

Putri Asni Nilam


71

Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Kode Responden :

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Pekerjaan :

Alamat :

Setelah membaca penjelasan penelitian, saya menyadari bahwa penelitian

ini tidak menimbulkan akibat yang merugikan bagi saya. Saya mengerti bahwa

peneliti dapat menghargai hak-hak saya sebagai responden. Saya menyatakan

dengan penuh kesadaran serta tanpa paksaan, saya bersedia menjadi responden

penelitian ini.

Demikian surat persetujuan ini saya buat, saya percayakan pada peneliti

bahwa semua informasi yang saya berikan dalam penelitian ini akan dijamin

kerahasiaannya.

Pasuruan, 2018

Yang membuat persetujuan

(........................................)
72

Lampiran 4

KARAKTERISTIK RESPONDEN

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis kelamin :

a. Laki-laki

b. Perempuan

4. Riwayat pekerjaan :

a. Tidak bekerja

b. PNS

c. Wiraswasta

d. Petani

e. Lain-lain : ................................

5. Riwayat merokok

a. Tidak merokok

b. Merokok

6. Lama merokok : ............. Tahun ............. Bulan


73

Lampiran 5

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR) PURSED LIP

BREATHING

A. Definisi

Latihan pernafasan dengan menghirup udara melalui hidung dan

mengeluarkan udara dengan cara bibir yang lebih dirapatkan atau

menguncup dengan waktu ekspirasi yang dipanjangkan .

B. Tujuan

1. Membantu pasien dalam memperbaiki transpor oksigen.

2. Menginduksi pola nafas lambat dan dalam, membantu pasien untuk

mengontrol pernafasan.

3. Mencegah kolaps dan melatih otot-otot ekspirasi untuk

memperpanjangkan ekshalasi.

4. Meningkatkan tekanan jalan napas selama ekspirasi dan mengurangi

jumlah udara yang terjebak.

C. Indikasi

1. Klien post operasi dengan keluhan nyeri atau dengan mobilitas

terbatas.

2. Dispnea saat istirahat atau aktivitas minimal.

3. Ketidakmampuan untuk melakukan ADL akibat dispnea.

4. Klien dengan pola pernapasan tidak efektif.

D. Persiapan alat

1. Bed/tempat tidur.

2. Kursi (apabila klien melakukan dengan posisi duduk).


74

3. Jam tangan.

E. Persiapan perawat

1. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada.

2. Mencuci tangan.

3. Menempatkan alat di dekat klien dengan benar.

F. Persiapan klien

1. Klien diberi penjelasan hal-hal yang akan dilakukan.

2. Posisi klien diatur dalam keadaan tidur atau duduk. Jika pasien dalam

keadaan tidur, atur posisi semifowler.

G. Prosedur

1. Lakukan verifikasi data sebelumnya bila ada.

2. Tempatkan alat di dekat klien dengan benar.

3. Berikan salam sebagai pendekatan terapeutik.

4. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien.

5. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman.

6. Sebelum melakukan pursed lip breating, ajarkan terlebih dahulu teknik

pernafasan abdominal pada pasien.

7. Letakan satu tangan di atas dada dan tangan yang lain dibawah tulang

iga (di atas abdomen). Hal ini akan membuat klien merasakan

pergerakan diafragma selama pernapasan.

8. Napaslah dengan lambat dan dalam melalui hidung, biarkan abdomen

menonjol sebesar mungkin.

9. Kontraksikan otot abdomen, dan keluarkan napas melalui bibir yang

dirapatkan secara perlahan. Tangan yang berada di atas dada, sebisa


75

mungkin tidak bergerak untuk memastikan tidak adanya kontraksi otot

interkosta.

10. Setelah pasien bisa melakukan pernafasan abdominal dengan benar.

Lanjutkan untuk melatih pasien melakukan pernafasan pursed lip

breathing.

11. Instruksikan pasien untuk menghirup nafas (seperti teknik pernafan

abdominal) melalui hidung sambil menghitung sampai 3 seperti saat

menghirup wangi dari bunga mawar.

12. Instruksikan pasien untuk menghembuskan dengan lambat dan rata

melalui bibir yang dirapatkan sambil mengencangkan otot-otot

abdomen (merapatkan bibir meningkatkan tekanan intratrakeal;

menghembuskan melalui mulut memberikan tahanan lebih sedikit

pada udara yang dihembuskan).

13. Hitung hingga 7 sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang

dirapatkan seperti sedang meniup lilin.

Klien dalam posisi duduk

14. Instruksikan klien untuk duduk dengan nyaman, lutut ditekuk dan bahu,

kepala serta leher dalam keadaan rileks.

15. Lipat tangan di atas abdomen.

16. Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan sambil menghitung

hingga 7 (lakukan seperti nomor 11-13) .

H. Evaluasi

1. Kaji respon verbal pasien setelah melakukan latihan.

2. Kaji respon non verbal pasien setelah melakukan latihan.


76

I. Terminasi

1. Berikan reinforcement positif pada pasien setelah melakukan latihan

2. Kontrak waktu untuk latihan selanjutnya

J. Hasil

1. Catat tanggal dan jam pemberian tindakan

2. Catat respon klien verbal dan non verbal

Hal-hal yang perlu diperhatikan :

Hentikan tindakan apabila klien lelah, dan mulai lagi tindakan setelah jeda istirahat

selama 2 menit. (Smeltzer & Bare, 2007 dalam Widiyani, 2015).


77

Lampiran 6

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR) MENIUP BALON

(BALLOON BLOWING)

A. Definisi

Latihan pernapasan dengan meniup balon merupakan salah satu latihan

relaksasi pernapasan dengan menghirup udara melalui hidung dan

mengeluarkan udara melalui mulut kedalam balon.

B. Tujuan

1. Memberikan informasi kepada pasien yang mengalami PPOK untuk

melakukan relaksasi pernapasan.

2. Membantu pasien PPOK mencegah terjadinya perburukan penyakit.

C. Manfaat

1. Meningkatkan volume ekspirasi maksimal

2. Memperbaiki gangguan sistem saraf pasien dengan perokok

3. Menguatkan otot pernapasan

4. Memperbaiki transport oksigen

5. Menginduksi pola napas lambat dan dalam

6. Memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan napas selama

ekspirasi

7. Mengurangi jumlah udara yang terjebak dalam paru-paru

8. Mencegah terjadinya kolaps paru

D. Persiapan alat

1. 3 buah balon (merk Stationery, transparant balloons)

2. Jam
78

E. Persiapan pasien

1. Atur posisi pasien senyaman mungkin, jika pasien mampu untuk berdiri

maka lakukan sambil berdiri (karena dengan posisi berdiri tegak lebih

meningkatkan kapasitas paru dibandingkan dengan posisi duduk)

2. Jika pasien melakukan dengan posisi tidur maka tekuk kaki pasien atau

menginjak tempat tidur (posisi supinasi), dan posisi badan lurus atau tidak

memakai bantal.

F. Pelaksanaan

1. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin

2. Rilekskan tubuh, tangan dan kaki (motivasi dan anjurkan pasien untuk

rileks)

3. Siapkan balon/pegang balon dengan kedua tangan, atau satu tangan

memegang balon tangan yang lain rilek disamping kepala

4. Tarik napas secara maksimal melalui hidung (3-4 detik), ditahan selama 2-

3 detik kemudian tiupkan ke dalam balon secara maksimal selama 5-8

detik (balon mengembang)

5. Tutup balon dengan jari-jari

6. Tarik napas sekali lagi secara maksimal dan tiupkan lagi kedalam balon

(ulangi prosedur nomor 5)

7. Istirahat selama 1 menit untuk mencegah kelemahan otot

8. Sambil istirahat tutup balon/ikat balon yang telah mengembang

9. Ambil balon berikutnya dan ulangi prosedur nomor 5

10. Lakukan 3 set latihan setiap sesion (meniup 3 balon)

11. Hentikan latihan jika terjadi pusing atau nyeri dada.


79

G. Evaluasi

1. Pasien mampu mengembangkan balon.

2. Perasaan merasakan otot-otot pernapasan rilek.

3. Pasien rilek, tenang dan dapat mengatur pernapasan.

4. Pertukaran gas dalam paru baik dengan peningkatan arus puncak ekspirasi.
80

Lampiran 7

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR) MENGUKUR ARUS

PUNCAK EKSPIRASI (APE)

A. Pengertian

Mengukur titik aliran tertinggi yang dapat dicapai ekspirasi maksimal

dengan menggunakan alat peak flow meter, titik ini mencerminkan

terjadinya perubahan ukuran jalan napas.

B. Tujuan

1. Mengetahui ape klien dalam satuan liter/menit.

2. Memberikan peringatan dini terjadinya penurunan fungsi paru dan

menggambarkan adanya penyempitan atau sumbatan jalan napas.

3. Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan

baik.

4. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau

penghentian obat.

5. Memutuskan kapan klien meminta bantuan medis/dokter/IGD.

C. Indikasi

1. Pemantauan berkala dirawat jalan, klinik, dan praktek dokter.

2. Pemantauan sehari-hari dirumah, terutama pada klien setelah perawatan

dirumah sakit.

3. Klien dengan gangguan fungsi pernapasan, seperti asma dan penyakit

paru obstruktif (bronkitis dan emfisema).

4. Klien yang sulit atau tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal

beresiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.


81

D. Persiapan alat

1. Alat pengukur ape (peak flow meter).

2. Hand scoon

3. Alcohol swab untuk membersihkan.

4. Alat tulis untuk mencatat hasil pengukuran.

E. Persiapan perawat

1. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada.

2. Mencuci tangan.

3. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar.

F. Persiapan klien

1. Klien diberi penjelasan hal-hal yang akan dilakukan.

2. Posisi diatur, sesuai kenyamanan klien.

G. Prosedur

1. Lakukan verifikasi data sebelumnya bila ada.

2. Cuci tangan.

3. Tempatkan alat di dekat klien dengan benar.

4. Berikan salam sebagai pendekatan terapeutik.

5. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/ klien.

6. Tanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.

7. Jaga privasi klien.

8. Atur posisi klien. Bila memungkinkan, klien harus duduk dengan dada

bebas dari kontak dengan tempat tidur atau kursi. Bila tidak

memungkinkan, atur posisi klien ke posisi fowler atau posisi fowler

tinggi.
82

9. Set kembali penanda pada meteran aliran ke posisi nol.

10. Bantu klien menggunakan alat peak flow meter.

11. Minta klien untuk mengambil napas dalam.

12. Minta klien untuk meletakan mouthpiece di mulut dengan gigi di sekitar

lubang mouthpiece dan bibir mengatup rapat.

13. Minta klien untuk mengeluarkan udara secepat dan sekuat mungkin. Bila

dicurigai klien mengeluarkan sejumlah udara yang signifikan dari

hidung, maka pasang penjepit hidung.

14. Lakukan langkah 9-13 sebanyak 2 kali, catat tingkat tertinggi yang

dicapai klien.

H. Evaluasi

1. Dokumentasikan hasil pengukuran pada catatan klien atau lembar

pemantauan klien.

2. Evaluasi tindakan yang telah dilakukan.

I. Terminasi

1. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.

2. Berpamitan dengan klien.

3. Bereskan peralatan.

4. Cuci tangan.

J. Hasil

2. Catat hasil pengukuran ape dalam lembar observasi

3. Respon klien selama pengukuran ape (Kozier & Erb et al., 2009 dalam

Widiyani, 2015)
83

Lampiran 8

LEMBAR OBSERVASI
HASIL PENGUKURAN ARUS PUNCAK EKSPIRASI

Nilai APE
Kode Responden Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3
Pre Post Pre Post Pre Post
A1 150 170 170 210 220 240
A2 120 130 130 140 150 170
A3 150 160 160 190 180 220
A4 140 150 140 160 160 170
A5 120 130 120 140 150 180
A6 130 150 140 160 170 200
A7 100 110 120 130 120 150
A8 140 150 160 170 170 210
A9 120 140 120 150 160 180
A10 110 120 110 130 140 150
A11 110 120 110 130 140 160
A12 120 130 130 140 150 180
A13 120 130 120 140 150 170
A14 120 130 120 140 150 170
A15 120 150 110 140 150 180
A16 140 150 160 180 180 220
A17 120 150 160 180 170 200
A18 120 150 130 160 150 160
A19 110 120 140 160 140 170
A20 120 130 120 140 150 180
A21 100 130 120 140 130 150
A22 150 170 140 160 180 230
A23 100 130 110 140 160 180
A24 150 160 170 190 180 210
A25 120 150 140 160 150 170
A26 150 180 150 200 190 220
A27 150 170 170 200 180 200
A28 140 150 150 160 150 170
A29 150 170 150 180 180 200
A30 150 180 160 180 180 210
84

Anda mungkin juga menyukai