Anda di halaman 1dari 115

GAMBARAN ACADEMIC BUOYANCY SISWA SMA DI KOTA PADANG

PADA MASA PEMULIHAN KRISIS PEMBELAJARAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar


Sarjana Psikologi

HANIFATUZZAHRAH
1910322009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2023
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini, Hanifatuzzahrah, menyatakan

dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

GAMBARAN ACADEMIC BUOYANCY SISWA SMA DI KOTA PADANG

PADA MASA PEMULIHAN KRISIS PEMBELAJARAN

Adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini,

saya bersedia menerima sanksi dari Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Padang, 16 Agustus 2023


Yang menyatakan,

Hanifatuzzahrah

i
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

GAMBARAN ACADEMIC BUOYANCY SISWA SMA DI KOTA PADANG

PADA MASA PEMULIHAN KRISIS PEMBELAJARAN

Oleh:

HANIFATUZZAHRAH
No. BP. 1910322009

Hasil penelitian skripsi ini telah diperiksa, disetujui dan siap untuk

dipertahankan dihadapan tim penguji Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas

Padang, 16 Agustus 2023

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dessy Arisanty, M.Sc Yantri Maputra, M.Ed., Ph.D


NIP. 197801122010122002 NIP. 197901072008121001

ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI

Skripsi dengan judul:

GAMBARAN ACADEMIC BUOYANCY SISWA SMA DI KOTA PADANG

PADA MASA PEMULIHAN KRISIS PEMBELAJARAN

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh:

HANIFATUZZAHRAH
No. BP. 1910322009

Telah diuji dan dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas pada Tanggal, 16 Agustus
2023 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima

Tim Penguji

Nama Jabatan Tanda tangan

Dr. Dessy Arisanty, M.Sc Ketua Tim Penguji


NIP. 197801122010122002

Yantri Maputra, M.Ed., Ph.D Sekretaris


NIP. 197901072008121001

Rani Armalita S.Psi., MA Anggota


NIP. 198810262019032009

Amatul Firdausa Nasa M.Psi., Psikolog Anggota


NIP. 199008092018032013

iii
PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Dessy Arisanty, M.Sc Yantri Maputra, M.Ed., Ph.D


NIP. 197801122010122002 NIP. 197901072008121001

Disahkan oleh:
Ketua Prodi Psikologi FK Unand

Nila Anggreiny, M.Psi., Psikolog


NIP. 198012042008122003

Diketahui oleh :
Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran

Dr. dr. Efrida, Sp. PK (K)., M. Kes.


NIP. 197010021999032002

iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya mahasiswa Universitas Andalas yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama lengkap : Hanifatuzzahrah

No. BP/NIM/NIDN : 1910322009

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Kedokteran

Jenis Tugas Akhir : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan

kepada Universitas Andalas hak atas publikasi online tugas akhir saya yang

berjudul:

GAMBARAN ACADEMIC BUOYANCY SISWA SMA DI KOTA PADANG

PADA MASA PEMULIHAN KRISIS PEMBELAJARAN

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan), Universitas Andalas juga berhak

untuk menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola, merawat, dan

mempublikasikan karya saya di atas, selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis/ pencipta sebagai pemilik hak cipta. Demikian pernyataan ini saya

buat dengan sebenar-benarnya.

Padang, Agustus 2023

Yang Menyatakan

Hanifatuzzahrah

v
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

puji syukur penulis ucapkan atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Skripsi ini penulis

ajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana psikologi dengan

judul “Gambaran Academic Buoyancy Siswa SMA di Kota Padang pada Masa

Pemulihan Krisis Pembelajaran.”

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari

dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dari itu, dengan segala

kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. dr. Afriwardi, SH, Sp.KO, M.A selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas.

2. Ibu Nila Anggreiny, M.Psi., Psikolog selaku Ketua Program Studi Psikologi

Universitas Andalas.

3. Ibu Septi Mayang Sarry, M.Psi., Psikolog selaku Sekretaris Program Studi

Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

4. Ibu Mafaza, S.Psi., M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah

memberikan bimbingan kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

5. Ibu Dr. Dessy Arisanty, M.Sc dan Bapak Yantri Maputra, M.Ed., Ph.D selaku

dosen pembimbing yang yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan

masukan tanpa hentinya kepada penulis. Terima kasih atas segala ilmu dan

vi
waktu yang telah Ibu dan Bapak berikan mulai dari awal hingga selesainya

penulisan skripsi ini.

6. Ibu Rani Armalita S.Psi., MA dan Ibu Amatul Firdausa Nasa M.Psi., Psikolog

selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan serta saran yang

bermanfaat bagi penulis.

7. Bapak/Ibu Dosen dan staff administrasi Program Studi Psikologi Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas yang telah memberikan ilmu pengetahuan,

dukungan dan bantuan selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi

Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

8. Ketiga partisipan penelitian yang telah bersedia meluangkan waktu dan

energinya untuk memberikan informasi yang bermanfaat dalam penyusunan

skripsi ini.

9. Ayah, Umi, Dayad, dan Lisa yang senantiasa mendukung dan mendoakan setiap

tahap dalam proses penyusunan skripsi ini.

10. Almarhumah Nenek Husni selaku sosok inspirasi yang senantiasa

mengingatkan penulis untuk rajin menuntut ilmu dan tidak mudah putus asa.

11. Nadiya a pair through thick and thin, support system since 21 years ago and

still count, mainly for her existence during thesis work period.

12. Mbak, Ica, Kak Au, dan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan

dalam penyusunan skripsi ini.

13. Ipeh, Tasya, Resty, Nada, Nazri, Rani, Aini, Barada dan teman-teman lainnya

yang sejak awal penyusunan skripsi senantiasa memberi masukan, bantuan, dan

dukungan kepada penulis.

vii
14. Naks Unand Aselole alias Mione Chapter Yunend yang telah membersamai

semenjak masih SMA, menjadi mahasiswa baru, hingga akhirnya menuju tahap

akhir perkuliahan; menjadi sarjana.

15. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi ini yang

tidak dapat dituliskan satu-persatu.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini dari segi

penulisan dan penyampaian. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan

saran dari pembaca sekalian demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Padang, Agustus 2023

Penulis

viii
Academic Buoyancy of High School Students in Padang City
During the Learning Loss Recovery

Hanifatuzzahrah1), Dessy Arisanty2), Yantri Maputra3)


Rani Armalita3), Amatul Firdausa Nasa3)
1) Psychology Student, Faculty of Medicine, Universitas Andalas
2) Department of Biomedical, Faculty of Medicine, Universitas Andalas
3) Department of Psychology, Faculty of Medicine, Universitas Andalas

htzahrahh@gmail.com

ABSTRACT

Changes in learning methods from online to offline have a continued


impact, high school students experience difficult situations in the learning loss
recovery period. The existence of academic buoyancy can encourage students
ability to build positive behaviors and beliefs, to form resilience in the face of
obstacles in the learning loss recovery. This study aims to describe the academic
buoyancy of high school students in Padang city during the learning loss recovery.
This study used a qualitative method with a phenomenological approach. The data
collection is conducted through the interview method and analyzed using the
interpretative phenomenological analysis (IPA) method. This study was conducted
on three participants who were high school students in Padang city and had
participated in online and offline learning methods. Based on the analysis of
research results, there are two main themes: everyday hassles and coping. The
theme related to everyday hassles consists of increased task load, more complicated
learning materials, increased grade targets, and favorite school demands.
Furthermore, the coping theme consists of time management, self-study initiative,
looking at obstacles optimistically, and focusing on goals. The results of this study
show that academic buoyancy among high school students in Padang city will be
able to handle learning obstacles that arise during the learning loss recovery.

Keywords: Academic Buoyancy, High School Students, Learning Loss Recovery

ix
Gambaran Academic Buoyancy Siswa SMA di Kota Padang
pada Masa Pemulihan Krisis Pembelajaran

Hanifatuzzahrah1), Dessy Arisanty2), Yantri Maputra3)


Rani Armalita3), Amatul Firdausa Nasa3)
1) Mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
2) Departemen Biomedis, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
3) Departemen Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

htzahrahh@gmail.com

ABSTRAK

Perubahan metode belajar dari daring menuju luring memberikan dampak


lanjutan, siswa SMA mengalami situasi yang sulit di masa pemulihan krisis
pembelajaran. Adanya academic buoyancy dapat mendorong kemampuan siswa
untuk membangun perilaku dan keyakinan positif sehingga membentuk ketahanan
dalam menghadapi hambatan di masa pemulihan krisis pembelajaran. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran academic buoyancy siswa SMA di
kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode pengambilan data
menggunakan wawancara yang kemudian di analisis dengan metode interpretative
phenomenological analysis (IPA). Penelitian ini dilakukan kepada tiga orang
partisipan yang merupakan siswa SMA di kota Padang serta pernah mengikuti
metode pembelajaran daring dan luring. Berdasarkan analisis hasil penelitian,
terdapat dua tema utama yaitu everyday hassles dan coping. Untuk tema everyday
hassles terdiri atas peningkatan beban tugas, materi pembelajaran semakin rumit,
target nilai meningkat, dan tuntutan sekolah favorit. Selanjutnya, tema coping
dengan bentuk upaya manajemen waktu, berinisiatif belajar mandiri, memandang
hambatan secara optimis, dan fokus pada tujuan. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa dengan adanya academic buoyancy, siswa SMA di kota
Padang akan mampu menangani hambatan pembelajaran yang muncul di masa
pemulihan krisis pembelajaran.

Kata Kunci: Academic Buoyancy, Siswa SMA, Pemulihan Krisis Pembelajaran

x
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi


ABSTRACT ............................................................................................................. ix
ABSTRAK .............................................................................................................. x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Pertanyaan Penelitian ............................................................................ 11
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 11
1.4.1 Manfaat Teoritis .......................................................................... 11
1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................................ 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 13


2.1 Academic Buoyancy ............................................................................... 13
2.1.1 Definisi Academic Buoyancy ....................................................... 13
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Academic Buoyancy ........... 17
2.2 Karakteristik Siswa SMA ...................................................................... 21
2.3 Kerangka Berpikir ................................................................................. 22

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 25


3.1 Pendekatan Kualitatif ............................................................................ 25
3.2 Partisipan Penelitian .............................................................................. 26
3.3 Lokasi Penelitian ................................................................................... 27
3.4 Metode Pengambilan Data ..................................................................... 27
3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data .............................................................. 28
3.5.1 Pedoman Wawancara .................................................................. 28
3.5.2 Alat Perekam ............................................................................... 29

xi
3.6 Kredibilitas ............................................................................................ 30
3.7 Prosedur Penelitian ................................................................................ 31
3.7.1 Tahap Awal Penelitian................................................................. 31
3.7.2 Pelaksanaan Penelitian ................................................................ 32
3.7.3 Tahap Pencatatan Data ................................................................ 33
3.8 Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ................................................ 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 35


4.1 Hasil Penelitian ...................................................................................... 36
4.1.1 Partisipan Penelitian .................................................................... 36
4.1.2 Jadwal Penelitian ......................................................................... 40
4.1.3 Hasil Analisis Penelitian .............................................................. 41
4.1.4 Analisis Sintesis Tema Penelitian................................................ 72
4.2 Pembahasan ........................................................................................... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 83


5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 83
5.2 Saran ...................................................................................................... 83
5.2.1 Saran Metodologis ....................................................................... 83
5.2.2 Saran Praktis ................................................................................ 84

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85


LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbedaan Resiliensi Akademik dan Academic Buoyancy …………… 16


Tabel 3.1 Contoh Bentuk Rancangan Pertanyaan dalam Pedoman Wawancara ... 29
Tabel 3.2 Contoh Bentuk Pertanyaan dalam Pedoman Wawancara …………….. 29
Tabel 4.1 Deskripsi Diri Partisipan 1 (R) ……………………………………….. 36
Tabel 4.2 Deskripsi Diri Partisipan 2 (S) ……………………………………….. 37
Tabel 4.3 Deskripsi Diri Partisipan 3 (Z) ………………………………………. 39
Tabel 4.4 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Partisipan 1 (R) ……………………… 40
Tabel 4.5 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Partisipan 2 (S) ……………………… 40
Tabel 4.6 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Partisipan 3 (Z) ……………………… 41
Tabel 4.7 Tema Superordinat Academic Buoyancy Siswa SMA di Kota Padang ..72

xiii
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir ...………………………………...………..….…... 24


Bagan 4.1 Gambaran Academic Buoyancy pada Ketiga Partisipan ……….…….. 73

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Surat Izin Penelitian………….……………………….………..….. 94


Lampiran B. Pedoman Wawancara ……………….……...………………...…… 95
Lampiran C. Informed Consent ……………………………....…………………. 98

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses pembelajaran berkelanjutan secara

terstruktur dan bertujuan untuk merealisasikan konsepsi tertentu yang bernilai

positif (Sarid, 2017). Pendidikan menjadi hak dasar yang wajib diperoleh individu

untuk mengembangkan potensi dalam dirinya (Wahyudi dkk., 2022). Adanya

pendidikan membuat individu dapat berinovasi, terampil, dan memiliki daya saing

dalam menghadapi tuntutan global yang semakin kompleks (Oktarina, 2007).

Pendidikan menjadi indikator penting dalam suatu negara sebab membentuk

generasi yang unggul dan berkualitas merupakan investasi bermakna dalam

memajukan negara (Fitri, 2021).

Sektor pendidikan merupakan pokok penting pembangunan yang tertuang

dalam cita-cita Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa (Hermanto,

2020). Saat ini, sistem pendidikan di Indonesia sedang giat melaksanakan

pemulihan sebagai dampak terjadinya krisis pembelajaran (Kemendikbud, 2022).

Krisis pembelajaran terjadi sebagai dampak pandemi covid-19 yang menuntut

perubahan metode pembelajaran (Hanafiah dkk., 2022). Krisis pembelajaran

merupakan suatu kondisi dimana siswa mengalami hilangnya kemampuan

akademik baik dari segi pengetahuan atau keterampilan yang disebabkan oleh

kesenjangan situasi pembelajaran dalam kurun waktu lama yang berimplikasi pada

1
2

terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia secara menyeluruh setara dengan

hilangnya pengalaman belajar selama enam bulan untuk literasi, dan lima bulan

belajar untuk numerasi (Kemendikbud; dalam BPS, 2022).

Urgensinya, jika tidak segera ditangani maka dampak krisis pembelajaran

dapat berimbas pada penurunan kualitas siswa di masa mendatang (Furqoniyyah &

Rozas, 2022). Menurut Dorn dkk. (2021) krisis pembelajaran tidak bisa diatasi

hanya dengan mengembalikan metode pembelajaran seperti sediakala, namun

memerlukan kebijakan untuk melakukan pemulihan terlebih dahulu. Sehubungan

dengan itu, melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan

Teknologi Republik Indonesia nomor 262 tahun 2022 pemerintah mendorong

pengembalian metode belajar seperti sediakala disertai dengan opsi kurikulum

pembelajaran untuk menunjang proses pemulihan. Pemulihan krisis pembelajaran

dimulai sejak tahun 2022 dan direncanakan usai pada tahun 2024 (Nugraha, 2022).

Artinya, pada tahun 2023 ini proses pemulihan krisis pembelajaran sedang

berlangsung.

Berdasarkan penjabaran sebelumnya, pemulihan krisis pembelajaran

merupakan kondisi dimana siswa mengoptimalisasikan dan memperbaiki hilangnya

kemampuan akademik yang disebabkan oleh kesenjangan situasi pembelajaran

pada saat krisis pembelajaran terjadi. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya pada

masa krisis, efektivitas pembelajaran siswa menurun hanya mencapai 40% (“CNN

Indonesia,” 2021). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perbukuan

Kemendikbud, Suprayitno memaparkan bahwa dari hasil survei, mayoritas siswa

pada pembelajaran jarak jauh hanya belajar dua jam dalam sehari (Saputra, 2020).
3

Kondisi tersebut dapat memperluas kesenjangan akademik yang muncul pada

proses pemulihan krisis pembelajaran.

Salah satu jenjang pendidikan yang sedang berproses pada pemulihan krisis

pembelajaran adalah sekolah menengah atas (SMA). Tuntutan standar pendidikan

membuat proses pembelajaran pada masa SMA lebih kompleks jika dibandingkan

dengan jenjang pendidikan sebelumnya (Yudiana dkk., 2021). Berdasarkan Standar

Nasional Pendidikan, Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 siswa

SMA dituntut untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak,

dan keterampilan hidup mandiri serta sebagai batu lompatan dalam mengikuti

pendidikan lebih lanjut. Standar pendidikan mendorong munculnya ekspektasi pada

siswa baik itu dari sistem, sekolah, hingga orang tua. Meskipun bertujuan baik

namun seringkali siswa menemukan ekspektasi pembelajaran nampak tidak

realistis dan sulit diwujudkan, akibatnya siswa merasa tertekan dalam kehidupan

akademik (Guo dkk., 2022).

Sejalan dengan yang dipaparkan Andermann (2003) bahwa tuntutan

pendidikan menempatkan siswa pada lingkungan yang menekan dari segi kinerja

akademik dan nilai. Selain itu, tugas perkembangan siswa SMA selaku remaja

adalah menjadi lebih mandiri yang salah satunya ditandai dengan kemampuan

untuk mengatasi hambatan pembelajaran (Hadi & Farida, 2012). Menurut Hall

(dalam Bahr & Prendergast, 2007) dalam masa perkembangannya siswa akrab

dengan fase storm and stress, sehingga lebih reaktif dalam merespon berbagai

hambatan. Selain itu, siswa SMA juga ada di tahap identity vs confusion dimana

siswa mengeksplorasi banyak hal untuk menemukan tujuan dan peran mereka,
4

ketika dihadapkan dengan berbagai hambatan tanpa kemampuan penyelesaian

masalah yang solutif maka siswa menjadi kebingungan (Lerner & Steinberg, 2009).

Berdasarkan dinamika tersebut, masa pemulihan merupakan fase penting

dalam meminimalisir dampak krisis pembelajaran, bertujuan agar siswa dapat

mengejar ketertinggalan dan mengambil langkah maju, tanpa pemulihan siswa bisa

sangat tertinggal hingga meningkatkan resiko putus sekolah (“UNICEF Indonesia,”

2022). Akan tetapi, proses pemulihan krisis pembelajaran tidak serta merta berjalan

dengan lancar, ada kesenjangan yang muncul pada proses pemulihan. Kesenjangan

yang muncul pada siswa SMA di masa pemulihan dari aspek akademik lebih lanjut

dapat dilihat dari angka mengulang sebagai indikator hasil evaluasi belajar yang

mengindikasikan adanya penurunan nilai pada siswa (Siswantari dkk., 2020).

Dimana sejak tahun 2020 persentase angka mengulang siswa SMA terjadi sebesar

3,31%, di tahun 2021 meningkat menjadi 3,39%, kemudian di tahun 2022 juga

mengalami peningkatan signifikan menjadi 3,88% (BPS, 2020, 2021, 2022).

Data tersebut menunjukkan ada tren peningkatan angka mengulang pada

siswa SMA dari tahun ke tahun, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka

selisih persentase terbesar ada pada tahun 2022 sebanyak 0,49%. Hal ini

mengindikasikan pada awal masa pemulihan krisis pembelajaran, banyak siswa

mengalami penurunan nilai jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya saat krisis

pembelajaran sedang berlangsung. Penelitian lebih lanjut pada masa pemulihan

oleh Ningsih dan Ifdil (2023) dengan subjek sebanyak 237 siswa di salah satu SMA

Sumatera Barat menunjukkan bahwa krisis pembelajaran rata-rata berdampak di


5

level sedang. Berarti memang ditemukan bahwasanya ada permasalahan yang

muncul pada masa pemulihan sebagai imbas dari krisis pembelajaran.

Secara khusus, di kota Padang sendiri dampak krisis pembelajaran jika

dilihat dari angka mengulang, dimana pada tahun 2020 angka mengulang untuk

tingkat sekolah menengah atas/sederajat terjadi sebanyak nol siswa kemudian di

tahun 2021 meningkat menjadi 255 siswa (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota

Padang, 2021, 2022). Harlina (2021) memaparkan bahwa kota Padang memulai

pembelajaran tatap muka lebih awal sejak tahun 2021 sehingga dapat dilihat pada

awal masa pemulihan terjadi peningkatan angka mengulang, yang jika

dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya maka peningkatan angka

mengulang pada siswa SMA di kota Padang lebih besar.

Selain itu, Novanti dkk. (2022) memaparkan problematika lainnya yang

muncul pada masa pemulihan krisis pembelajaran meliputi penambahan beban

tugas, penurunan motivasi karena mulai terbiasa dengan metode pembelajaran

daring, hingga siswa mengalami penurunan nilai sebab saat mengerjakan tugas

terdapat siswa yang bermain atau menjawabnya secara instan dengan bantuan

internet. Ketidakmampuan siswa dalam menangani permasalahan tersebut dalam

proses pembelajaran dapat menimbulkan stres (Barseli ddk., 2017). Lebih lanjut,

penelitian terkait tingkat stres pada 192 siswa SMA di masa pemulihan

menunjukkan bahwa 52,6% siswa di level sedang (Irawati & Fahmawati, 2023).

Beberapa kondisi yang telah dipaparkan terjadi pada A, seorang siswi SMA

X di kota Padang yang saat ini berada di kelas XI. Semenjak pembelajaran daring,
6

A menemui berbagai hambatan pada saat belajar sehingga kesulitan menyerap

materi secara optimal yang berdampak pada penurunan nilai saat masa pemulihan.

Hal tersebut tergambarkan dari wawancara awal dengan A pada 20 Februari 2023:

Nilai jeleknya pas offline si kak, soalnya pas online sering instan pake
google, karena engga paham trus tugasnya banyak. Apalagi SMA ni beda
dari SMP, gabisa santai soalnya kalau santai bakal ketinggalan jauh. Jadi
sedih aja liat nilai turun, yang biasanya stabil trus tiba-tiba keluar dari 10
besar, kayak nyesel sering nyalahin diri sendiri. (komunikasi personal,
Februari 2023).

Permasalahan yang muncul pada A adalah mengalami penurunan nilai dan

ranking, menurut A hal tersebut terjadi karena kebiasaan menyelesaikan tugas

dengan cara instan melihat google, akibat penurunan nilai A merasa sedih dan

sering menyalahkan diri sendiri. Menurut Martin dan Marsh (2008),

ketidakmampuan siswa dalam mengatasi hambatan dapat membatasi potensi untuk

terus maju dan berkembang.

Sebaliknya, ada siswa yang tidak memperlihatkan dampak permasalahan

dalam proses belajar selama masa pemulihan. Hal ini dikarenakan adanya

kemampuan siswa untuk berhasil menangani hambatan dan kemunduran akademik

yang lazim ditemui pada kehidupan sekolah, diistilahkan sebagai academic

buoyancy (Martin & Marsh, 2008). Academic buoyancy menekankan bagaimana

kemampuan siswa merespon hambatan belajar sehari-hari, seperti nilai yang kurang

memuaskan, deadline yang mepet, tekanan ujian, serta tugas sekolah yang sukar

dikerjakan. Martin dan Marsh (2008) mencontohkan beberapa pengalaman terkait

peran academic buoyancy yaitu untuk mengatasi rendahnya performa kinerja dan

keterampilan akademik, stres karena tekanan akademik sehari-hari, rendahnya


7

kepercayaan diri, penurunan antusiasme dan keterlibatan belajar, serta umpan balik

negatif.

Menurut Anderson dkk. (2020) academic buoyancy berperan dalam

meningkatkan motivasi sehingga siswa bisa melewati hambatan yang ditemui

dalam proses pembelajaran. Karakteristik tersebut mengacu pada pengalaman salah

satu siswa SMA Y di kota Padang yang saat ini berada di kelas XI. Berikut

penggalan wawancara awal yang dilaksanakan pada tanggal 23 Januari 2023:

Kalau B nilainya rendah pas pandemi kak, soalnya waktu pandemi sekolah
online jadi cuma pergi absen sama di kasih tugas jadi setelah selesai itu
biasanya main jadi nggak fokus belajar kak, trus belajar juga malas ndak
semangat. Waktu mulai offline lagi gak ada penurunan nilai kak, rasanya
sekolah lebih baik karena semangat dan fokus belajar. Emang SMA lebih
banyak hambatan di banding SMP, tugas sangat banyak terus kan kalau
SMA sekarang boleh bawa hp kan kak kalau SMP dulu engga kak, jadi kita
bisa mengakses apa saja kak dan kapan saja ketika belajar. Jadi banyak
hambatan yang muncul, biasanya dijadiin motivasi dan pandai-pandai kita
dalam membagi waktu kita lagi kak. (Komunikasi personal, Januari 2023).

Berdasarkan penggalan wawancara dengan B dapat terlihat memang ada

permasalahan pada masa krisis pembelajaran, namun B tidak merasakan dampak

signifikan pada proses pembelajaran di masa pemulihan. B tidak mengalami

penurunan nilai, dan merasa bersemangat serta lebih fokus belajar di masa

pemulihan. Meskipun ada hambatan yang muncul dalam pembelajaran, B

menganggap hal tersebut sebagai motivasi. Selain itu, B juga menyiasati hambatan-

hambatan yang muncul dengan cara membagi waktu belajar, sehingga lebih fokus

dalam belajar.
8

Academic buoyancy sangat bermakna dalam membantu siswa menghadapi

hambatan yang kemudian muncul sebagai imbas krisis pembelajaran. Hambatan-

hambatan yang telah dijabarkan dapat menimbulkan resiko bagi siswa yang tidak

mampu mengatasinya (Martin & Marsh, 2008). Pada konteks ini, resiko yang

ditemui adalah tidak dapat pulih secara optimal dalam mengatasi krisis

pembelajaran. Penting untuk menghindari kondisi tersebut menjadi semakin

kompleks, sehingga perlu adanya academic buoyancy sebagai bentuk ketahanan

siswa dalam menghadapi hambatan dan kemunduran akademik (Putwain dkk.,

2020). Academic buoyancy menuntut siswa untuk menghadapi hambatan

pembelajaran dengan dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu (Martin & Marsh,

2008).

Adanya academic buoyancy dapat meminimalisir resiko yang dihadapi

siswa kedepannya (Martin & Marsh, 2008). Siswa dengan derajat academic

buoyancy rendah berpeluang mengalami kesulitan dalam menangani hambatan dan

kemunduran akademik. Sementara itu, siswa dengan derajat academic buoyancy

yang tinggi diyakini mampu menangani situasi yang penuh hambatan dan

kemunduran akademik (Martin & Marsh, 2019). Menurut Datu dan Yuen (2018)

academic buoyancy berperan membentuk ketahanan pada siswa sehingga secara

efektif dapat mengelola rintangan pembelajaran.

Pada masa pemulihan krisis pembelajaran, studi literatur Munawaroh dan

Nurmalasari (2021) menunjukkan bahwa ketahanan yang dibentuk siswa sangat

krusial dalam menunjang proses pemulihan krisis belajar. Sejalan dengan yang

dipaparkan ASEAN (2022) dalam Guidelines for ASEAN Countries untuk


9

mengembalikan sistem pendidikan penting membentuk ketahanan pada masa

pemulihan agar mampu bangkit dari hambatan tak terduga yang muncul dalam

proses pembelajaran. Ketahanan merefleksikan kesuksesan siswa dalam

menghadapi hambatan-hambatan belajar (Cassidy, 2016). Kegagalan siswa dalam

membangun ketahanan dapat mendorong krisis pembelajaran terus berlanjut

(Hanafiah dkk., 2022). Karena itu, peran academic buoyancy menjadi substansial

untuk membentuk ketahanan agar siswa dapat mengoptimalisasikan proses

pemulihan krisis pembelajaran.

Penelitian sebelumnya yang relevan dengan academic buoyancy

menunjukkan bahwa academic buoyancy memiliki pengaruh positif terhadap sense

of belonging siswa di sekolah (Bostwick dkk., 2022). Kemudian academic

buoyancy juga memberi pengaruh signifikan pada hasil kinerja akademik siswa

(Colmar dkk., 2019; Yun dkk., 2018). Academic buoyancy berpengaruh terhadap

peningkatan prestasi akademik pada siswa sekolah dasar (Miller dkk., 2013),

peningkatan motivasi pada siswa sekolah menengah (Datu & Yang, 2021), dan

penurunan perilaku menghindari hambatan akademik pada siswa sekolah dasar

(Hirnoven dkk., 2020).

Belum banyak penelitian terdahulu yang relevan dengan konteks penelitian

ini, yang mana mengangkat fenomena academic buoyancy siswa SMA pada masa

pemulihan krisis pembelajaran. Penelitian yang mirip dilakukan Analya (2014)

dengan urgensi persiapan ujian nasional pada siswa SMA tingkat akhir, bertujuan

untuk melihat gambaran derajat academic buoyancy. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa siswa dengan derajat academic buoyancy yang tinggi memiliki keyakinan
10

bahwa dirinya mampu menyelesaikan tugas dan ujian yang diberikan. Siswa

mampu membuat perencanaan, menentukan target nilai, merencanakan jadwal

belajar, dan memiliki kesungguhan untuk terus berusaha mengerjakan berbagai

tugas. Selain itu, siswa juga mampu mengatasi kecemasan dalam menghadapi

permasalahan yang muncul dalam proses belajar dan menganggap kegagalan atau

keberhasilan bergantung pada usaha diri sendiri. Jika dibandingkan dengan konteks

penelitian ini, maka penelitian Analya (2014) memiliki urgensi yang berbeda dan

tidak relevan dengan permasalahan masa ini.

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dapat dilihat bahwasanya siswa

secara menyeluruh mengalami krisis pembelajaran yang kemudian memunculkan

kesenjangan pada proses pemulihan krisis pembelajaran, terlihat dari munculnya

permasalahan dalam proses belajar. Namun, ada siswa yang berhasil menunjukkan

ketahanan dengan membentuk academic buoyancy sehingga tidak menemui

permasalahan berarti saat proses pemulihan krisis pembelajaran. Perbedaan respon

siswa dimaknai untuk melihat kebermanfaatan strategi yang digunakan dalam

menangani hambatan pembelajaran, sehingga dapat menjadi contoh dalam

membangun academic buoyancy. Menurut Zagoto dkk. (2019) dengan

mempertimbangkan adanya perbedaan pihak terkait dapat mengakomodasi

perbedaan individual setiap siswa.

Sehubungan dengan itu, guru dapat merespon pembelajaran secara fleksibel

disesuaikan dengan perbedaan individual, sehingga pembelajaran yang efisien dan

efektif dapat terwujud (Marlina, 2020). Berangkat dari krisis pembelajaran yang

sama akan tetapi dari wawancara pendahuluan terlihat bahwa setiap siswa memiliki
11

perbedaan strategi dalam merespon hambatan pembelajaran. Karenanya,

permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk menggali lebih lanjut strategi dan

keunikan yang dimiliki siswa dalam membentuk academic buoyancy, yang mana

dinamika keunikan setiap siswa dapat digali lebih dalam melalui penelitian

kualitatif. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

gambaran academic buoyancy siswa SMA di kota Padang pada masa pemulihan

krisis pembelajaran.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, maka

pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran academic

buoyancy siswa SMA di kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Bertumpu pada latar belakang dan pertanyaan penelitian, adapun tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran academic buoyancy siswa SMA

di kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian mengenai gambaran academic buoyancy siswa SMA di kota

Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran diharapkan dapat memberikan

kontribusi ilmu pengetahuan terutama dalam pemutakhiran kajian bidang ilmu

psikologi pendidikan. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
12

rujukan literatur bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mengkaji topik mengenai

academic buoyancy.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi

pihak terkait, diantaranya:

1. Memberikan informasi kepada siswa SMA terkait academic buoyancy

sebagai suatu bentuk kemampuan siswa untuk berhasil menghadapi

hambatan dan krisis pembelajaran, sehingga siswa secara efektif dapat

mendukung proses pemulihan krisis pembelajaran.

2. Memberikan gambaran dan informasi terkait academic buoyancy

kepada guru selaku pengawas dan pendidik dalam keseharian siswa

SMA di sekolah, sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi

untuk meningkatkan kualitas academic buoyancy siswa dalam

pemulihan krisis pembelajaran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Academic Buoyancy

2.1.1 Definisi Academic Buoyancy

Martin dan Marsh (2008) mendefinisikan academic buoyancy sebagai

“students ability to successfully deal with academic setbacks and challenges that

are typical of the ordinary course of school life.” (hal. 54). Dengan kata lain,

didefinisikan sebagai kapasitas siswa untuk berhasil menghadapi kemunduran

akademik dan hambatan yang lazim ditemui pada kehidupan sekolah. Putwain dkk.

(2012) menjabarkan bahwa academic buoyancy terkait dengan sikap keseharian

siswa yang positif, adaptif, dan responsif ketika dihadapkan dengan hambatan dan

kemunduran dalam lingkup akademik. Academic buoyancy memiliki andil positif

dalam membangun perilaku dan keyakinan siswa untuk melewati kemunduran dan

hambatan akademik di sekolah (Hirnoven, 2020).

Ketika dihadapkan dengan hambatan yang lazim ditemui sehari-hari,

academic buoyancy berperan membentuk ketahanan yang secara efektif dapat

menghindari kemunduran akademik pada siswa (Datu & Yuen, 2018). Dampak dari

interaksi negatif hingga penurunan motivasi dapat di resistansi oleh academic

buoyancy, yang membentuk karakteristik pada siswa agar bisa melewati hambatan

akademik (Anderson dkk., 2020). Menurut Yun dkk. (2018) academic buoyancy

dapat memotivasi siswa untuk beradaptasi dengan kondisi “ups and downs” yang

13
14

repetitif ditemui pada proses pembelajaran sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran terkait definisi academic buoyancy di atas, dapat

disimpulkan bahwa academic buoyancy merupakan kemampuan siswa untuk

membangun perilaku dan keyakinan positif sehingga membentuk ketahanan dalam

menghadapi hambatan yang lazim ditemui dalam konteks akademik. Lebih lanjut,

dalam academic buoyancy suatu persoalan dapat menjadi hambatan tergantung

daripada respon siswa, ketidakmampuan siswa menangani masalah pembelajaran

dapat menjadi hambatan belajar. Karenanya dalam academic buoyancy suatu

persoalan dapat menjadi hambatan ketika siswa tidak mampu mengontrol atau

merespon persoalan yang ditemui secara negatif. Hal ini dicontohkan dengan

adanya situasi dimana ada peningkatan jumlah tugas, situasi tersebut dapat menjadi

hambatan ketika siswa tidak mampu merespon dengan manajemen pengelolaan

tugas yang baik. Sehingga academic buoyancy menekankan bagaimana

kemampuan internal siswa untuk menangani persoalan yang berpotensi menjadi

hambatan dalam lingkup akademik.

Academic buoyancy merupakan konsep “daya apung” yang dibentuk siswa

ketika menghadapi situasi hambatan dan kemunduran akademik, pertama kali

diperkenalkan oleh Martin dan Marsh pada tahun 2008. Istilah academic buoyancy

muncul berdasarkan identifikasi permasalahan di sekolah, siswa kerap kali

menghadapi beragam hambatan, tekanan, dan kemunduran akademik yang repetitif

ditemui sehari-hari (Martin & Marsh, 2009). Permasalahan tersebut dimaknai untuk

melihat bagaimana respon siswa dalam menanganinya, ada yang terus mengalami

kemunduran dan ada juga yang mampu mentransformasi hambatan menjadi


15

tantangan untuk terus berprestasi (Martin & Marsh, 2009). Ketidakmampuan siswa

dalam mengatasi hambatan pembelajaran dapat membatasi potensi untuk terus maju

dan berkembang, sehingga siswa membutuhkan suatu kapasitas signifikan yang

dapat mendorong siswa agar pulih dan terus berproses saat menemui hambatan

dalam belajar, hal ini disebut sebagai ketahanan (Martin & Marsh, 2006, 2008,

2009).

Konsep mengenai ketahanan tradisional atau yang disebut sebagai

resiliensi, melihat sejauh mana kapasitas individu dapat beradaptasi secara positif

meskipun dihadang situasi mengancam dan penuh tantangan (Howard & Johnson,

2000). Lebih khusus pada konteks akademik, resiliensi akademik mengacu pada

kapasitas siswa secara efisien untuk tetap mempertahankan kinerja yang tinggi

meskipun dikelilingi oleh berbagai permasalahan yang sulit (Ye dkk., 2021).

Berdasarkan literatur dan penelitian terkait resiliensi akademik, Martin dan Marsh

(2009) mengidentifikasi bahwa konteks tersebut cenderung mencerminkan kondisi

hambatan yang akut dan kronis atau kesulitan intens, sehingga konsep ini lebih

cocok ditujukan pada siswa yang mengalami kesulitan ekstrem.

Oleh karena itu, academic buoyancy dinilai lebih mewakili mayoritas siswa

yang mengalami hambatan repetitif sehari-hari dalam konteks akademik,

kemampuan ini berguna untuk mengatasi kesulitan ringan atau sebagai langkah

intervensi awal agar tidak bertransformasi menjadi lebih akut dan kronis. Karena

ada kemiripan konsep dengan resiliensi akademik namun berbeda penempatan pada

bentuk hambatan yang ditemui, Martin dan Marsh (2008) juga mengistilahkan

academic buoyancy sebagai everyday academic resilience. Selanjutnya, Martin dan


16

Marsh (2009) membedakan resiliensi akademik dengan academic buoyancy

sebagai berikut:

Tabel 2.1

Perbedaan Resiliensi Akademik dan Academic Buoyancy

Resiliensi akademik Academic buoyancy


Berperan menghadapi penurunan Berperan menghadapi situasi sehari-
kinerja akademik yang berkelanjutan. hari saat nilai dan kinerja belajar
buruk.
Berperan menghadapi perasaan cemas Berperan menghadapi stres dan
berlebihan, diluar kapasitas yang biasa tekanan pada tingkat yang lebih umum
dilalui. ditemui sehari-hari.
Berperan menghadapi kesulitan dalam Berperan menghadapi penurunan
menerima kegagalan kronis. kepercayaan diri sebagai akibat dari
nilai yang buruk.
Berperan menghadapi kondisi klinis Berperan menghadapi stres dan
seperti anxiety dan depresi. kepercayaan diri tingkat rendah.
Berperan menghadapi situasi bolos dan Berperan menghadapi penurunan
ketidakpuasan terhadap sekolah. motivasi dalam keterlibatan belajar.
Berperan menghadapi situasi Berperan menghadapi interaksi kecil
mendalam seperti konsisten saat negatif seperti umpan balik negatif dari
mengasingkan diri atau menentang guru pada tugas sekolah.
guru.
Sumber: Martin dan Marsh (2009)

Academic buoyancy merupakan suatu konstruk yang unidimensional, terdiri

dari satu dimensi yaitu academic buoyancy sendiri (Martin, 2013).

Mengintegrasikan konsep everyday hassles dan coping, dimana everyday hassles

mencerminkan hambatan yang dihadapi siswa sehari-hari sementara coping adalah

upaya siswa dalam mengelola situasi yang penuh hambatan (Martin & Marsh,

2008). Academic buoyancy mendorong siswa untuk dapat mengelola hambatan


17

belajar yang sering ditemui, sehingga mencegah permasalahan tersebut

berkembang menjadi hambatan yang lebih kronis (Putwain dkk., 2020). Academic

buoyancy menekankan kemampuan siswa untuk membentuk ketahanan dalam

menghadapi hambatan akademik sehari-hari, misalnya nilai yang kurang

memuaskan, deadline yang mepet, tekanan ujian, serta tugas sekolah yang sukar

dikerjakan. Lebih lanjut, Martin dan Marsh (2008) mencontohkan beberapa

pengalaman terkait academic buoyancy yaitu rendahnya performa kinerja dan

keterampilan akademik, stres karena tekanan akademik sehari-hari, rendahnya

kepercayaan diri, penurunan antusiasme dan keterlibatan belajar, serta umpan balik

negatif.

Adanya academic buoyancy dapat meminimalisir resiko yang dihadapi

siswa kedepannya (Martin & Marsh, 2008). Siswa dengan derajat academic

buoyancy rendah akan mengalami kesulitan dalam menghadapi hambatan-

hambatan dan kemunduran akademik. Sementara itu, siswa dengan derajat

academic buoyancy yang tinggi mampu menghadapi hambatan dan kemunduran

akademik (Martin & Marsh, 2019).

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Academic Buoyancy

Martin dan Marsh (2008, 2009) memaparkan lima faktor yang dapat

mempengaruhi academic buoyancy pada siswa, diantaranya:

1. Self-efficacy

Self-efficacy didefinisikan sebagai suatu keyakinan terkait

kemampuan siswa untuk mengatur dan mengarahkan tindakan tertentu


18

dalam mencapai hasil atau tujuan yang dimaksud (Bandura, 1997). Menurut

Jerusalem dan Mittag (1995) siswa dengan self-efficacy tinggi yakin akan

kemampuannya dalam beradaptasi menghadapi tuntutan, hal ini mendorong

siswa untuk menafsirkan tuntutan sebagai tantangan yang harus dilewati

bukan sebagai ancaman yang sulit dikendalikan. Karenanya siswa mampu

melewati situasi menekan dengan percaya diri dan meningkatkan motivasi

untuk terus berproses, sebaliknya siswa dengan self-efficacy rendah rentan

merasa ragu, cemas, dan was-was ketika dihadapkan dengan kondisi

menekan. Self-efficacy mendorong siswa untuk tetap tekun menghadapi

kegagalan dan mentransformasi nya menjadi motivasi untuk menyelesaikan

tugas akademik, lebih lanjut dalam situasi menekan siswa dapat

mempertahankan kinerja akademiknya (Zimmerman, 1995). Menurut

Lianto (2019) self-efficacy membentuk siklus dimana keyakinan akan

kemampuan dapat mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses

akademik sehingga kinerja akademik meningkat yang diikuti kepercayaan

diri.

2. Engagement

Engagement merupakan manifestasi waktu dan energi yang

dioptimalisasikan siswa dalam mengikuti proses belajar di sekolah, serta

kebijakan yang digunakan pendidik untuk mendorong siswa berpartisipasi

aktif (Suh & Suh, 2006). Adanya engagement dapat mendorong siswa

menyelesaikan tugas sulit, berinisiatif, antusias, optimis, dan menunjukkan

minat positif dalam belajar (Groccia, 2018). Engagement dapat dilihat dari
19

perilaku siswa yang mematuhi aturan, tidak berperilaku menyimpang, aktif

berdiskusi, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, hingga mandiri dalam

belajar (Fredricks dkk., 2004). Secara emosional bentuk engagement dapat

terlihat dari reaksi siswa yang menunjukkan adanya minat, kecemasan,

senang, sedih, hingga bosan dalam proses belajar. Sementara itu, peran

kognitif siswa dalam engagement terlihat dari kemampuan siswa dalam

mengatur diri, memiliki strategi dan perencanaan dalam belajar, gigih

menghadapi kesulitan, serta termotivasi dalam melewati tantangan

(Fredricks dkk., 2004).

3. Anxiety

Anxiety merepresentasikan ketidakberdayaan siswa setelah melalui

kegagalan hingga berakhir menyerah dalam upaya melanjutkan tugas yang

diberikan, respon siswa terkait kegagalan akademik berimplikasi pada

kapasitasnya untuk mempelajari hal baru (Levine, 2008). Lebih lanjut,

ketika siswa menganggap kegagalan sebagai suatu kondisi mengancam

maka anxiety muncul sebagai hambatan dalam proses belajar. Anxiety dapat

mempengaruhi kinerja siswa yang mana hal ini dapat terlihat dari kesulitan

siswa menyelesaikan tugas, sulit memahami materi, kurang konsentrasi,

hingga sulit mengolah informasi (Astuti, 2016). Kemudian, anxiety juga

mencerminkan rasa takut akan kegagalan sehingga siswa merespon dengan

tingkat academic buoyancy yang rendah, siswa yang merasa anxiety ketika

dihadapkan dengan kompetisi atau tantangan maka di masa yang akan

datang terus berlanjut dengan kekhawatiran berbuat salah, tidak


20

menampilkan kinerja baik, pesimis, kalah, dan mendapat tanggapan yang

negatif (Matin dan Marsh, 2008). Lebih lanjut, siswa dengan low anxiety

mencerminkan academic buoyancy yang tinggi.

4. Control

Rotter (dalam Tyler dkk., 2020) menjabarkan control sebagai dasar

keyakinan siswa bahwa suatu hasil yang diperoleh bergantung pada

tindakan pribadi atau berdasarkan kekuatan dari luar. Secara internal siswa

yakin bahwa mereka memegang kendali atas hal yang akan terjadi

kedepannya dan percaya dapat mengarahkan hidup sesuai dengan kapasitas

yang dimiliki, siswa meyakini kegagalan sebagai akibat kurangnya

kemampuan, kapabilitas, dan usaha yang diberikan. Sementara itu, hasil

yang dipengaruhi oleh kekuatan luar dapat tercermin dari keyakinan akan

faktor diluar kapasitas siswa seperti kebetulan, keberuntungan, hingga nasib

(Tyler, 2020). Setiap siswa memiliki control yang berbeda dikarenakan ada

keberagaman karakteristik maka tantangan yang ditemui pada proses belajar

pun berbeda, control yang rendah mengarah pada penurunan motivasi

belajar, tidak mengerjakan tugas, pasif selama proses belajar di kelas, dan

lain-lain (Sujadi, 2020). Control membawa dampak positif pada

kemampuan siswa, dapat beradaptasi dengan perubahan, memotivasi

kinerja akademik, dan mempengaruhi suasana hati siswa dalam melakukan

tugas rutin (Abid dkk., 2016).


21

5. Teach-student relationship

Teach-student relationship atau hubungan antara guru dan siswa

dapat mempengaruhi proses belajar secara langsung maupun tidak

langsung, adanya hubungan yang positif dapat menjadi faktor utama

pembelajaran afektif sehingga siswa lebih menghargai guru (Frymier &

Houser, 2000). Teach-student relationship merefleksikan bagaimana

kapasitas guru dapat mendorong pengembangan siswa, hal ini berperan

sebagai dukungan fundamental baik itu secara komponen maupun

psikologis terhadap pengalaman siswa selama proses belajar (Pianta dkk.,

2012). Terciptanya ikatan emosional antara guru dan siswa mempengaruhi

keberhasilan proses belajar di kelas, siswa lebih cepat memahami materi,

berperilaku baik, dan meningkatkan motivasi belajar (Allen dkk., 2013;

Pianta dkk., 2012). Sementara itu, jika teach-student relationship tidak

terjalin dengan baik maka membawa dampak negatif pada proses belajar,

hal ini terlihat dari perilaku siswa yang pasif dalam belajar, kurang minat

dan motivasi, sulit konsentrasi, hingga merasa tertekan (Spilt dkk., 2012;

Syahabuddin dkk., 2020).

2.2 Karakteristik Siswa SMA

Pada konteks perkembangan, siswa SMA tergolong dalam fase middle dan

late adolescent dengan rentang usia syarat pendaftaran 15-21 tahun (Biro

Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

2018; Steinberg, 2005). Pada periode ini, lebih banyak perhatian ditujukan pada

domain pendidikan khususnya kompetensi akademik yang menjembatani


22

perencanaan, karir, dan tujuan masa depan (Ohannesian dkk., 2019; Zarrett &

Eccles, 2006). Menurut Hall (dalam Bahr & Prendergast, 2007) siswa dalam masa

perkembangannya dikenal sebagai storm and stress, menjadikan siswa lebih rentan

ketika dihadapkan dengan hambatan.

Sebagai pertimbangan siswa SMA juga ada di tahap identity vs confusion,

siswa mengeksplorasi banyak hal untuk menemukan tujuan dan peran mereka,

ketika dihadapkan dengan hambatan tanpa kemampuan penyelesaian masalah yang

solutif maka siswa menjadi kebingungan (Lerner & Steinberg, 2009). Siswa

menyadari bahwa sekolah merupakan lingkungan yang menekan dari segi kinerja

akademik dan nilai (Andermann, 2003). Kondisi ini dapat menempatkan siswa pada

kondisi stres hingga terjadinya depresi (Anderman, 2003; Ohannesian dkk., 2019).

2.3 Kerangka Berpikir

Pemulihan krisis pembelajaran merupakan kondisi dimana siswa

mengoptimalisasikan dan memperbaiki hilangnya kemampuan akademik yang

disebabkan oleh kesenjangan situasi pembelajaran pada saat krisis pembelajaran

terjadi. Tuntutan standar pendidikan membuat proses pembelajaran pada masa

SMA lebih kompleks jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan sebelumnya

(Yudiana dkk., 2021). Andermann (2003) memaparkan bahwa tuntutan pendidikan

dapat menempatkan siswa pada lingkungan yang menekan dari segi kinerja

akademik dan nilai. Selain itu, tugas perkembangan siswa SMA selaku remaja

adalah menjadi lebih mandiri yang salah satunya ditandai dengan kemampuan

untuk mengatasi hambatan pembelajaran (Hadi & Farida, 2012). Ketidakmampuan


23

siswa menangani berbagai hambatan secara solutif dapat membuat siswa menjadi

kebingungan (Lerner & Steinberg, 2009).

Pemulihan krisis pembelajaran menimbulkan permasalahan seperti

peningkatan angka mengulang, penurunan motivasi karena mulai terbiasa dengan

metode pembelajaran daring, hingga siswa mengalami penurunan nilai sebab saat

mengerjakan tugas ada siswa yang bermain atau menjawabnya secara instan dengan

bantuan internet (Novanti dkk., 2022). Masa pemulihan merupakan fase penting

dalam meminimalisir dampak krisis pembelajaran, bertujuan agar siswa dapat

mengejar ketertinggalan. Akan tetapi, ada siswa yang tidak memperlihatkan

dampak permasalahan dalam proses belajar selama masa pemulihan. Hal ini

dikarenakan adanya kemampuan siswa untuk berhasil menangani hambatan-

hambatan yang lazim ditemui pada kehidupan sekolah, yang diistilahkan sebagai

academic buoyancy (Martin & Marsh, 2008).

Menurut Datu dan Yuen (2018) academic buoyancy berperan membentuk

ketahanan pada siswa sehingga secara efektif dapat mengelola hambatan

pembelajaran. Karena itu, peran academic buoyancy menjadi substansial dalam

membentuk ketahanan agar siswa dapat mengoptimalisasikan proses pemulihan

krisis pembelajaran. Academic buoyancy dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

meliputi self-efficacy, engagement, control, anxiety, dan teach-student relationship.

Siswa dengan academic buoyancy yang tinggi cenderung tidak mengalami

hambatan berarti, lebih lanjut hambatan dalam belajar dapat ditangani secara positif

jika disertai dengan academic buoyancy yang tinggi (Martin & Marsh, 2019).

Dengan adanya academic buoyancy, siswa diharapkan membentuk ketahanan


24

dalam menghadapi hambatan dan krisis belajar sehingga dapat mengembangkan

kognitif, afektif, dan perilaku secara positif di kehidupan akademik (Martin &

Marsh, 2009).

Bagan 2.1

Kerangka Berpikir
Sistem pendidikan
Indonesia

Siswa SMA:

1. Tuntutan standar pendidikan membuat proses pembelajaran pada masa SMA lebih
kompleks jika dibandingkan dengan jenjang pendidikan sebelumnya, tuntutan pendidikan
dapat menempatkan siswa pada situasi yang menekan dari segi kinerja akademik dan nilai
2. Tugas perkembangan siswa SMA selaku remaja adalah menjadi lebih mandiri yang salah
satunya ditandai dengan kemampuan untuk mengatasi hambatan pembelajaran.
Ketidakmampuan siswa menangani berbagai hambatan secara solutif dapat membuat siswa
menjadi kebingungan.

Pembelajaran daring Pembelajaran luring

Krisis pembelajaran Pemulihan krisis pembelajaran

Permasalahan: adanya peningkatan angka mengulang, penurunan motivasi belajar karena


terbiasa dengan metode pembelajaran daring, mengalami penurunan nilai, terbiasa menjawab
soal dengan bantuan internet, peningkatan intensitas bermain ponsel pada siswa SMA.

1. Everyday hassles
Academic buoyancy: kemampuan
mencerminkan hambatan yang
siswa untuk membangun perilaku
dihadapi siswa sehari-hari.
dan keyakinan positif sehingga
2. Coping
membentuk ketahanan dalam
merupakan upaya siswa dalam
menghadapi hambatan yang lazim
mengelola situasi yang penuh
ditemui dalam konteks akademik.
hambatan (Martin & Marsh,
2008).

Keterangan:
: Alur berpikir
: Peralihan menuju
: Ditinjau dari
: Bagian yang diteliti
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, merupakan pendekatan

yang bertujuan untuk mendalami fenomena mengenai apa yang dialami partisipan

secara holistik dengan mendeskripsikannya melalui narasi (Moleong, 2018).

Menurut Azwar (2018) metode kualitatif menitikberatkan pada analisis dinamika

keterkaitan antar fenomena yang diteliti berdasarkan logika ilmiah. Untuk

mendalami suatu fenomena, upaya penelitian kualitatif bertujuan untuk

mengumpulkan pengalaman spesifik partisipan, menganalisis data secara induktif

dan deduktif, serta menginterpretasikan makna data (Cresswell, 2013). Penelitian

kualitatif digunakan sebab yang ingin diteliti adalah pengalaman subjektif

partisipan terkait gambaran academic buoyancy pada masa pemulihan krisis

pembelajaran.

Kemudian berdasarkan jenis pendekatan kualitatif yang digunakan dalam

penelitian ini adalah fenomenologi. Fenomenologi fokus mengeksplorasi

pengalaman subjektif partisipan, dimana peneliti berusaha menggali dunia

konseptual partisipan sedemikian rupa sehingga memahami bagaimana partisipan

memaknai suatu peristiwa (Moleong, 2018). Tipe pendekatan fenomenologi yang

digunakan adalah Interpretative Phenomenological Analysis (IPA), menurut Kahija

(2017) peneliti menginterpretasikan bagaimana partisipan memberi makna pada

25
26

berbagai macam peristiwa dalam hidupnya, sehingga mendapatkan pengalaman

unik dari setiap partisipan.

3.2 Partisipan Penelitian

Penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual,

tujuannya untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari partisipan. Oleh sebab

itu dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, melainkan purposive sampling

(Moleong, 2018). Pemilihan partisipan dalam penelitian ini dilakukan dengan

metode purposive sampling yaitu partisipan dipilih berdasarkan kekhususan

masalah penelitian, sehingga data yang diperoleh lebih relevan untuk menjawab

masalah penelitian (Creswell, 2013). Selain itu, pada pendekatan fenomenologis

penting untuk memilih partisipan berdasarkan keterkaitan pengalamannya dengan

penelitian yang dipelajari (Creswell, 2013).

Jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif tidak hanya untuk sekadar

mempelajari partisipan, namun untuk mengumpulkan detail ekstensif dari setiap

partisipan (Creswell, 2013). Jumlah partisipan kualitatif tidak disarankan pada

jumlah yang besar, sebab jumlah partisipan yang besar tidak menjamin data yang

diperoleh memiliki akurasi, validitas, dan keberhasilan yang tinggi (Sarantakos;

dalam Poerwandari, 2018). Kahija (2017) menjelaskan bahwa dalam penelitian IPA

jumlah partisipan disarankan pada kisaran 3 - 6 orang.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka jumlah partisipan dalam penelitian

ini diambil sebanyak tiga orang yang sesuai dengan karakteristik penelitian.

Penelitian ini mengangkat permasalahan terkait gambaran academic buoyancy


27

siswa SMA di kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran, sehingga

karakteristik partisipan yang dibutuhkan adalah:

1. Siswa SMA yang bersekolah di kota Padang.

2. Siswa angkatan 24, pada tahun 2023 berada di kelas XII, semasa SMA

pernah melalui metode pembelajaran daring dan luring.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Padang, lebih lanjut lokasi penelitian

dilakukan di tempat yang telah disepakati dengan partisipan.

3.4 Metode Pengambilan Data

Pada penelitian kualitatif fenomenologis, metode pengambilan data yang

lazim digunakan adalah wawancara (Kahija, 2017). Wawancara merupakan

komunikasi yang dilakukan oleh dua pihak dengan maksud tertentu (Moleong,

2018). Kelebihan wawancara adalah dapat mengeksplorasi topik penelitian lebih

dalam, peneliti dapat memperoleh informasi subjektif yang dipahami partisipan

terkait topik penelitian (Poerwandari, 2018). Pendekatan wawancara yang

digunakan adalah wawancara semi terstruktur dengan ciri penggunaan pedoman

wawancara (Kahija, 2017). Pada wawancara semi terstruktur peneliti merancang

pedoman wawancara yang berisi pertanyaan pokok dan nantinya dapat

dikembangkan sesuai kebutuhan saat wawancara berlangsung (Kahija, 2017). Pada

penelitian ini, wawancara yang dilakukan kepada partisipan fokus untuk menggali

gambaran academic buoyancy pada masa pemulihan krisis pembelajaran serta

faktor-faktor yang mempengaruhi. Wawancara ini menggunakan pertanyaan


28

terbuka agar tidak membatasi jawaban partisipan, sehingga dapat diperoleh detail

ekstensif dari setiap pengalaman partisipan terkait academic buoyancy.

3.5 Alat Bantu Pengumpulan Data

3.5.1 Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara atau guideline interview merupakan kerangka atau

petunjuk pelaksanaan wawancara, berisi garis besar proses dan pokok-pokok

pertanyaan sehingga dapat mengakomodir pelaksanaan wawancara dengan jelas

(Moleong, 2018). Ini bertujuan agar peneliti tidak luput dari isu-isu yang

dipertanyakan dalam topik penelitian terkait gambaran academic buoyancy siswa

SMA di kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran. Menurut Smith

(dalam Poerwandari, 2018) ketika menyusun pedoman wawancara perlu

memperhatikan beberapa hal, yaitu pertanyaan harus bersifat netral, menghindari

istilah yang sulit di pahami, serta menggunakan pertanyaan terbuka untuk

mendorong partisipan menceritakan pengalaman lebih lanjut terkait topik yang

dibahas.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan tujuan penelitian yaitu untuk

melihat bagaimana gambaran academic buoyancy siswa SMA di kota Padang pada

masa pemulihan krisi pembelajaran. Berdasarkan teori academic buoyancy oleh

Martin dan Marsh (2008) pertanyaan wawancara dirumuskan dengan

mengintegrasikan aspek everyday hassles dan coping, dimana everyday hassles

mencerminkan hambatan yang dihadapi siswa sehari-hari sementara coping adalah

upaya siswa dalam mengelola situasi yang penuh hambatan (Martin & Marsh,

2008).
29

Tabel 3.1
Contoh Bentuk Rancangan Pertanyaan dalam Pedoman Wawancara
No Pertanyaan Aspek
1. Saudara pernah mengikuti pembelajaran daring saat Everyday hassles
pandemi, apa saja hambatan yang ditemui dalam
proses belajar?
2. Apa saja upaya dan strategi yang saudara terapkan Coping
ketika melalui hambatan dalam proses belajar
tersebut?

Setelah menyusun pedoman wawancara, peneliti melaksanakan uji coba

menggunakan partisipan yang mirip dengan karakteristik dibutuhkan dalam

penelitian ini. Berdasarkan hasil uji coba dan saran dari dosen pembimbing maka

dilakukan perbaikan dan penyederhanaan pada pedoman wawancara.

Tabel 3.2
Contoh Bentuk Pertanyaan dalam Pedoman Wawancara
No Pertanyaan Aspek
1. Setelah melewati berbagai metode pembelajaran, Everyday hassles
apa saja hambatan dalam belajar yang muncul saat
metode daring namun masih kerap ditemui saat
pembelajaran luring ini?
2. Seperti apa upaya dan strategi yang saudara terapkan Coping
dalam mengatasi hambatan yang muncul saat proses
belajar tersebut?

3.5.2 Alat Perekam

Analisis data pada penelitian kualitatif didasarkan pada hasil wawancara,

sehingga data yang diperoleh harus tepat. Alat perekam bertujuan untuk mengecek

kembali ketepatan informasi yang didengarkan peneliti pada saat wawancara

berlangsung. Hasil rekamanan dapat digunakan peneliti untuk memeriksa

kekurangan data penelitian, sehingga dapat menghubungi partisipan kembali terkait


30

hal-hal yang perlu diperjelas. Alat perekam juga memudahkan peneliti untuk lebih

fokus mewawancarai partisipan. Adapun alat perekam yang digunakan adalah

telepon genggam, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada partisipan untuk

merekam selama proses wawancara berlangsung.

3.6 Kredibilitas

Menurut Moleong (2018) kredibilitas merupakan teknik pemeriksaan

keabsahan data yang diperoleh dari analisis data secara kritis dan menyeluruh

sehingga penelitian dapat diyakini sebagai data aktual. Teknik pemeriksaan

kredibilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi,

merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan melibatkan beberapa

sumber yang berbeda, cara berbeda, dengan maksud menemukan kejelasan

mengenai suatu hal tertentu (Poerwandari, 2018). Lebih spesifik teknik triangulasi

yang akan peneliti gunakan yaitu:

1. Triangulasi dengan sumber, menurut Patton (dalam Moleong, 2018)

teknik pemeriksaan data ini dilakukan dengan membandingkan dan

mengecek kembali kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda. Hal ini dicapai dengan cara mengulang

kembali beberapa pertanyaan yang mirip dalam sesi wawancara berbeda

untuk melihat konsistensi jawaban partisipan atau cara lain dengan

memperlihatkan hasil olah data verbatim kepada partisipan untuk

mengkonfirmasi kebenaran data.

2. Triangulasi dengan teori, yaitu melakukan perbandingan antara analisis

data dengan teori relevan dari topik penelitian (Moleong, 2018).


31

3.7 Prosedur Penelitian

3.7.1 Tahap Awal Penelitian

Sebelum masuk ke pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan persiapan

terlebih dahulu dengan tahap-tahap berikut:

1. Pengumpulan data, yakni peneliti menghimpun berbagai data terkait

informasi, teori, dan konsep terkait academic buoyancy. Kemudian

peneliti juga menelaah fenomena dan karakteristik partisipan

berdasarkan sumber jurnal, penelitian terdahulu, hingga wawancara

pendahuluan dengan narasumber.

2. Menyiapkan pedoman wawancara yang berisi panduan, pedoman, dan

tata cara pelaksanaan. Pedoman wawancara memuat garis besar

pertanyaan yang disusun sesuai konteks penelitian, tujuannya agar

proses wawancara tidak lari dari permasalahan yang diangkat. Sebelum

digunakan, pedoman wawancara ditinjau terlebih dahulu oleh dosen

pembimbing, direvisi hingga finalisasi.

3. Melakukan pemilihan partisipan sesuai prosedur, setelah ditemukan

maka peneliti akan memperkenalkan diri, menjabarkan maksud dan

tujuan penelitian, serta menanyakan kesediaan partisipan untuk

berpartisipasi dalam penelitian.

4. Membangun rapport dan menjadwalkan wawancara sesuai kesepakatan

partisipan.

5. Menyiapkan lembar informed consent yang berisi pernyataan partisipan

untuk berpartisipasi dalam penelitian.


32

6. Peneliti mempersiapkan diri agar bebas dari asumsi dan penilaian yang

bisa mengganggu netralitas saat mendengarkan partisipan bercerita

(epoche).

3.7.2 Pelaksanaan Penelitian

Setelah melewati tahap persiapan, selanjutnya peneliti melaksanakan

penelitian. Pada tahap ini peneliti melaksanakan wawancara sesuai dengan

pedoman berikut:

1. Menghubungi partisipan untuk melakukan konfirmasi terkait jadwal dan

lokasi wawancara.

2. Menyiapkan alat dan berkas yang dibutuhkan dalam proses wawancara.

3. Menemui partisipan kemudian membangun rapport.

4. Menjelaskan kembali maksud dan tujuan diadakannya wawancara,

memaparkan prosedur, kesepakatan isu etika terkait kerahasiaan

identitas ataupun informasi yang diperoleh, meminta izin untuk

merekam selama proses wawancara berlangsung, dan meminta

partisipan untuk menandatangani lembar informed consent.

5. Melaksanakan penelitian sesuai pedoman wawancara.

6. Terkait kendala yang mungkin ditemui selama wawancara berlangsung

dapat berupa pemunduran jadwal, perubahan lokasi, kondisi lingkungan

wawancara yang kurang kondusif, hingga suasana kaku. Kendala ini

dapat diantisipasi terlebih dahulu dengan melakukan konfirmasi,

mencari tempat yang kondusif, dan membangun rapport.


33

3.7.3 Tahap Pencatatan Data

Selama wawancara berlangsung, peneliti mencatat dan menandai poin-poin

penting dari pernyataan partisipan. Kemudian untuk memperoleh narasi detail,

peneliti mencatat pernyataan partisipan dalam bentuk verbatim berdasarkan hasil

rekaman selama proses wawancara berlangsung.

3.8 Prosedur Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data kualitatif merupakan proses pengolahan data melalui tahap-

tahap sistematis mulai dari mengelompokkan, mensintesiskan, mencari dan

menemukan maksud dari informasi yang telah dihimpun (Moleong, 2018).

Prosedur analisis data dalam penelitian kualitatif ini menggunakan analisis data IPA

yang dikemukakan oleh Kahija (2017) yang terdiri dari beberapa tahap yaitu:

1. Peneliti mengolah hasil wawancara menjadi verbatim, kemudian

membaca berulang kali transkrip verbatim wawancara dengan tujuan

menjadi akrab dan menyatu dengan pengalaman partisipan.

2. Membuat catatan awal (initial noting), memberi tanda pada transkrip

berupa pernyataan interpretatif atau komentar eksploratis dari peneliti

terhadap pernyataan partisipan yang dirasa penting.

3. Membuat tema emergen, berupa pemadatan dari komentar yang peneliti

buat sebelumnya dalam bentuk kata atau frasa.

4. Membuat tema superordinat, yaitu menampung beberapa tema emergen

dalam satu tema yang lebih besar dengan ciri kemiripan makna.

5. Ketika hasil wawancara keseluruhan partisipan sudah dianalisis, peneliti

mencari pola-pola atau jalinan yang ada diantara tema-tema yang


34

diperoleh dari seluruh partisipan. Pada tahap ini, peneliti melihat pola-

pola yang menghubungkan pengalaman unik dari setiap partisipan.

6. Terakhir, penataan seluruh tema superordinat dengan memperhatikan

secara menyeluruh tema-tema yang sudah muncul pada partisipan,

kemudian merumuskan bagaimana pengalaman partisipan yang satu

terhubung dengan pengalaman partisipan yang lain.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil analisis data dan pembahasan

hasil penelitian masing-masing partisipan dalam bentuk narasi. Hal ini bertujuan

untuk mempermudah pembaca dalam memahami gambaran academic buoyancy

siswa SMA di kota Padang pada masa krisis pembelajaran. Informasi yang

dihimpun dari hasil wawancara partisipan nantinya akan dilakukan interpretasi,

analisis, dan dijabarkan berdasarkan tema-tema penelitian. Informasi tersebut akan

dipaparkan ke dalam tiga kategori, yaitu hasil penelitian partisipan 1 (R), partisipan

2 (S), dan partisipan 3 (Z).

Lebih rinci, hasil penelitian ini meliputi deskripsi umum beserta identitas

partisipan, aspek-aspek yang ditemukan, analisis tema penelitian, dan pembahasan

yang dikaitkan dengan penelitian sebelumnya serta teori-teori mengenai gambaran

academic buoyancy siswa SMA di kota Padang pada masa krisis pembelajaran.

Analisis dalam penelitian ini menggunakan kutipan beserta kode tertentu untuk

menyederhanakan penyajian hasil data penelitian dan mempermudah pembaca

dalam memahami hasil penelitian. Pengkodingan menggunakan unsur huruf dan

angka yang meliputi; (R) untuk partisipan 1, (S) partisipan 2, dan (Z) partisipan 3;

(W) wawancara; (B) baris. Contoh penggunaan kode dalam hasil analisis data

penelitian yaitu: (R/W.1/B.10-15) yang berarti analisis kutipan diperoleh dari

partisipan 1 (R), wawancara 1, baris 10 sampai 15.

35
36

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Partisipan Penelitian

1. Partisipan R

Tabel 4.1

Deskripsi Diri Partisipan 1 (R)

Dimensi Data Partisipan


Nama R
Usia 17 tahun
Jenis kelamin Lak-laki
Pekerjaan Pelajar
Kelas XII
Peminatan IIS
Agama Islam
Alamat Jl Griya Mawar
Anak ke 2

R merupakan seorang pelajar SMA negeri X di kota Padang kelas

XII dengan jurusan peminatan IIS (Ilmu-Ilmu Sosial). Semasa pembelajaran

daring R merasa kurang pengawasan sehingga terdistraksi dengan hal lain

yang membuatnya tidak fokus belajar, yaitu game online. Keterbatasan

sistem yang ditemui semasa pembelajaran daring membuat R merasa

banyak materi yang kurang dipahami sehingga mengalami penurunan nilai.

Saat semester awal SMA di kelas X, R masih mengikuti pembelajaran

metode daring, hambatan yang ditemui masih sama berupa kebiasaan

bermain game online, menunda tugas, kesulitan memahami materi, dan

berbagai hambatan lainnya. Pada semester II metode pembelajaran beralih

menjadi tatap muka terbatas, banyak waktu dimanfaatkan R untuk mengejar

ketertinggalan materi dengan mengikuti les di luar sekolah, selain itu R juga
37

mulai berupaya merubah kebiasaan-kebiasaannya dalam belajar. Sampai

akhirnya pembelajaran kembali normal sepenuhnya saat R di awal kelas XI

hingga saat ini.

Menurut R pembelajaran luring dinilai lebih baik akan tetapi dalam

kesehariannya masih ada berbagai hambatan yang ditemui, terutama terkait

game online yang menurut R masih sulit untuk dikontrol dan berdampak

pada fokus pembelajaran. Ada berbagai upaya yang diterapkan oleh R untuk

meminimalisir hambatan yang muncul dalam proses belajar, meskipun

hambatan dapat menjadi halangan namun R juga memandang hambatan

sebagai motivasi dalam proses belajar.

2. Partisipan S

Tabel 4.2

Deskripsi Diri Partisipan 2 (S)

Dimensi Data Partisipan


Nama S
Usia 17 tahun
Jenis kelamin Perempuan
Pekerjaan Pelajar
Kelas XII
Peminatan MIPA
Agama Islam
Alamat Jl. Alai Parak Kopi
Anak ke 2

S merupakan seorang pelajar SMA negeri Y di kota Padang kelas

XII dengan pilihan peminatan jurusan MIPA (Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam). Pembelajaran daring di masa SMA berlangsung sejak

awal kelas X, suasana yang dirasakan S tidak begitu terasa seperti sekolah
38

normal sebab S bisa bangun sesuka hati saat hendak mulai pembelajaran,

dengan kata lain tidak terjadwal secara ketat seperti sekolah normal. Ada

berbagai hambatan yang ditemui S semasa pembelajaran daring terutama

terkait kebiasaan candunya menggunakan ponsel, menumpuk tugas,

kesulitan memahami materi hingga mengalami penurunan nilai.

Orang tua S mengingatkan S untuk mengontrol kebiasaannya

sehingga S berupaya untuk mengatasi permasalahan yang berdampak buruk

dalam proses belajar, hasilnya kebiasaan tersebut berkurang, dan ada

peningkatan nilai. Pada semester II kelas X sistem pembelajaran menjadi

tatap muka terbatas, meskipun S merasa pembelajaran lebih mudah

dipahami dan beberapa hambatan yang muncul semasa daring berkurang

namun hambatan baru yang ditemui S berkaitan dengan lingkup

pertemanan. Karena mulai berinteraksi S merasa agak kurang fokus dalam

belajar sehingga berusaha untuk membiasakan diri.

Saat ini pembelajaran yang dilalui S sudah sepenuhnya normal, ada

berbagai perbaikan dan perubahan yang dialami S namun tak sepenuhnya

menghilangkan hambatan yang muncul dalam proses belajar. S masih kerap

menemui beberapa hambatan, salah satunya terkait kebiasaan S dalam

menumpuk-numpuk tugas yang membuatnya merasa stres dan berdampak

pada kosongnya nilai di beberapa mata pelajaran. Menurut S hambatan yang

ditemui dalam proses belajar dapat menjadi motivasi untuk merubah

kebiasaan belajar menjadi lebih baik, hingga saat ini S masih berupaya

untuk mengatasi hambatan yang lazim muncul dalam proses pembelajaran.


39

3. Partisipan Z

Tabel 4.3

Deskripsi Diri Partisipan 3 (Z)

Dimensi Data Partisipan


Nama Z
Usia 18 tahun
Jenis kelamin Perempuan
Pekerjaan Pelajar
Kelas XII
Peminatan MIPA
Agama Islam
Alamat Jl. Ujung Belakang Olo
Anak ke 2

Z merupakan seorang pelajar SMA negeri Y di kota kelas XII

dengan pilihan peminatan jurusan MIPA (Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam). Z mengikuti pembelajaran daring di SMA sejak kelas

X semester I, saat itu Z mengaku banyak menghabiskan waktu untuk tidur,

menurutnya daring merupakan proses pembelajaran yang tidak efektif sebab

keterbatasan interaksi membuatnya sulit dalam memahami materi.

Kemudian di semester II beralih metode pembelajaran menjadi tatap muka

terbatas, hambatan yang paling bermakna dirasakan Z adalah kesulitannya

dalam menyesuaikan tempo pembelajaran, ketika shift luring Z mendapat

banyak penjelasan materi secara langsung membuatnya mudah paham.

Sementara di minggu depannya saat mendapat shift daring Z merasa

diabaikan oleh guru yang lebih fokus pada siswa luring, Z merasa

kebingungan dan kesulitan untuk menyesuaikan pemahaman materi.


40

Pembelajaran kembali normal di awal kelas XII, meskipun sudah

melalui beberapa metode pembelajaran yang berbeda namun menurut Z

hambatan yang ditemui dalam proses belajar kurang lebih mirip setiap

harinya. Saat ini Z masih kerap menemui hambatan dalam pembelajaran

sehari-hari terutama terkait ketertinggalan materi sebagai dampak

perubahan metode belajar, yang sampai saat ini Z masih berupaya untuk

mengejar ketertinggalannya. Z ingin memiliki kemampuan yang lebih baik

dalam menangani hambatan belajar sehingga dapat mengurangi beban

pembelajaran kedepannya.

4.1.2 Jadwal Penelitian

1. Partisipan R

Tabel 4.4

Jadwal Pelaksanaan Penelitian Partisipan 1 (R)

Partisipan Tanggal Tempat Durasi Keterangan


R 12 Juni 2023 Rumah R 20 menit Rapport
R 17 Juni 2023 Rumah R 35 menit Wawancara 1
R 22 Juni 2023 Rumah R 30 menit Wawancara 2

2. Partisipan S

Tabel 4.5

Jadwal Pelaksanaan Penelitian Partisipan 2 (S)

Partisipan Tanggal Tempat Durasi Keterangan


S 12 Juni 2023 Ahmad Yani 30 menit Rapport
S 14 Juni 2023 Ahmad Yani 40 menit Wawancara 1
S 15 Juni 2023 Ampang 20 menit Wawancara 2
41

3. Partisipan Z

Tabel 4.6

Jadwal Pelaksanaan Penelitian Partisipan 3 (Z)

Partisipan Tanggal Tempat Durasi Keterangan


Z 12 Juni 2023 Rumah Z 20 menit Rapport
Z 17 Juni 2023 Rumah Z 35 menit Wawancara 1
Z 22 Juni 2023 Rumah Z 30 menit Wawancara 2

4.1.3 Hasil Analisis Penelitian

4.1.3.1 Tema Terkait Hambatan yang Dihadapi Siswa Sehari-hari dalam


Proses Belajar (Everyday Hassles)

Everyday hassles mencerminkan hambatan yang dihadapi partisipan sehari-

hari dalam proses belajar, setiap partisipan memiliki pengalaman berbeda terkait

bentuk-bentuk hambatan yang ditemui saat pembelajaran. Suatu permasalahan

dapat menjadi hambatan ketika partisipan tidak mampu mengontrol ataupun

merespon secara efektif permasalahan yang muncul, sehingga menjadi kendala

dalam membangun academic buoyancy. Adapun bentuk permasalahan yang

ditampilkan dalam tema ini sehingga menjadi hambatan dalam pencapaian

academic buoyancy partisipan diantaranya sebagai berikut:

1. Peningkatan beban tugas

Peningkatan beban tugas dapat menjadi hambatan dalam lingkup

akademik, mayoritas partisipan merasa dengan adanya peningkatan beban

tugas partisipan kesulitan dalam memanajemen waktu. Berdasarkan

wawancara yang dilakukan dengan partisipan R menyampaikan bahwa

tugas sekolah yang dibebankan sehari-hari tergolong banyak.


42

“Kalau di sekolah R si kak lebih banyak maksudnya tuh, di sekolah


R ni ya … pokoknya offline sama online tu sama aja kak. Banyak
tanggung banyak kak.” (R/W.1/B.286-288).
Partisipan R mengungkapkan bahwa beban tugas yang terbilang

banyak membuatnya kesulitan dalam memanajemen waktu antara bermain

dengan menyelesaikan tugas itu sendiri.

“O … kalau tugas-tugasnya, banyak si kak. Dibilang banyak,


banyak jadi susah juga si kak mengontrol, mengatur waktu juga
untuk buat tugas sama main waktu itu.” (R/W.1/B.56-58).

Partisipan R terus mengkhawatirkan kelanjutan tugas sekolahnya

namun tetap memprioritaskan game online. Sikap tersebut membuat pikiran

R merasa terusik, dirinya merasa sulit menjalani kondisi ketika ada tugas

yang harus diprioritaskan, namun di sisi lain R masih ingin bermain game

online.

“Kayak sulit untuk menjalani, apa sih tugas tu kak.” (R/W.1/B.113)


“Iya, dipikiran aja.” (R/W.1/B.115).
“O ga ada, kayak pikiran aja yang menggaduh kak.”
(R/W.1/B.117).
“Iya kak, ndeh baa tugas ko … tapi tetap jo main. Tapi akhirnya
dikerjakan juga.” (R/W.1/B.119).
Banyaknya tugas yang harus diselesaikan menempatkan R pada

situasi merasa jenuh sehingga R berupaya menghilangkan rasa jenuh dengan

bermain game online.

“O iya … gara-gara jenuh tu kak biasanya larinya nanti ke game tu


kak, jenuh, jenuh ya kan kak. Lari ke game, tu ndak fokus, tu
kemana-mana aja pikiran tu kak. Ke hp lain bukanya.”
(R/W.2/B.34-37).
43

Partisipan R menjelaskan bahwa saat bermain game online dirinya

cenderung kehilangan fokus saat belajar, R juga kehilangan semangat dalam

belajar meskipun sudah dinasehati oleh orang tua.

“Kendalanya tu ya … pasti lah main hp pergi-pergi main sama


teman. Jadi kayak gak fokus gitu kak. Biasanya belajar tu ada dalam
seminggu tu mungkin ada, tapi sekarang ga ada gitu kak. Dah
disuruh sama orang tua belajar-belajar lah lagi, belajar lah lagi,
tapi R nya gak mau doh. A … itu buat anjlok.” (R/W.1/B.250-254).

Karena itu, terkadang R cenderung menunda-nunda untuk

menyelesaikan tugas sekolah. R mengungkapkan bahwa dirinya merasa

malas dikarenakan tenggat waktu pengumpulan tugas masih panjang dan

memilih mengalokasikan waktu luang untuk bersantai dengan hiburan.

“Ada kadang-kadang nunda tugas gitu kak.” (R/W.2/B.118).


“Malas aja gitu, kayak gimana gitu ya … padahal tugasnya
seminggu lagi kan jadi kayak e … santai ajalah.” (R/W.2/B.121-
122).
“Karena tugasnya tu lama ngumpulnya kak … deadlinenya masih
panjang gitu, jadi tu otomatis R sebagai siswa yang teladan ini a …
jadi menunda dulu kak.” (R/W.2/B.137-139).
Perilaku R yang demikian membuat ia merasa terburu-buru untuk

menyelesaikan tugas dalam masa waktu singkat, saat ditanya peneliti

bagaimana perasaan R mengerjakan tugas di kondisi tersebut, R

menyampaikan bahwa ia merasa stres. Stres yang dirasakan R berupa

adanya beban pikiran, R merasa tugas sekolah menjadi lebih sulit untuk

diselesaikan karena diburu waktu.

“Itu agak gimana ya, greget. Greget R jadinya kalau mepet-mepet


gitu kak. Eh ini bentar lagi waktunya, apalagi kan clasroom kan kak,
pakai waktu. Kalau jam segini dah ditutup pengumpulannya kan
kak, gitu.” (R/W.1/B.124-127).
44

“Stres? Iya” (R/W.1/B.130).


“Dipikiran R aja kak, ini kok ini berat kali, susah kali.”
(R/W.1/B.132).

Peningkatan beban tugas juga dirasakan partisipan R di masa

pemulihan krisis pembelajaran ini. R menjelaskan bahwa di masa luring

lebih banyak tugas yang diberikan secara mendadak, sementara di masa

daring tugas biasanya sudah direncanakan oleh guru terlebih dahulu. Selain

tugas individu, juga ada lebih banyak penugasan secara berkelompok.

“Kalau offline ni kan, guru tu a … ketemu sama kita ni kayak udah


kepikiran aja semua tugas-tugas, semuanya aja dikasih langsung.
Jadi kita ga ada minta nanti tiba-tiba buat ini, buat makalah ini ya,
buat vidio ini gitu. Proyek-proyek kelompoknya juga lebih banyak,
kalau online kan cenderung lebih individu, jadi tugasnya cuma
untuk individu jadi guru tu ga terlalu banyak mikir untuk tugas.”
(R/W.2/B.151-157).

Lebih lanjut, partisipan S menjelaskan bahwa jumlah tugas yang

diberikan setiap harinya setara dengan jumlah mata pelajaran harian. Tidak

hanya tugas berupa tanya jawab soal namun juga ada tugas video, makalah,

hingga catatan.

“E … misalnya dalam sehari tu, misalnya ada lima mata pelajaran


kak, nanti ada kelima-limanya tu ngasih pr, dan pr nya tu bukan
yang cuma kayak satu soal, dua soal, ada yang ngasih pr makalah,
nanti ada yang ngasih tuga vidio, ngasih tugas catatan, catatannya
tu ada beberapa mata pelajaran kayak agama, ekonomi, tu
catatannya emang benar-benar satu buku gitu di catat kak, emang
dibagi per bab sih, tapi ujung-ujungnya juga satu buku tu di catat
kak. Jadi S tu tipikal yang malas catat soalnya udah ada di buku,
kenap harus di catat lagi.” (S/W.2/B.151-157).
Peningkatan beban tugas membuat S kesulitan dalam memanajemen

waktu pengerjaan tugas, dirinya merasa kesulitan menyelesaikan tugas


45

sesegera mungkin sehingga cenderung menumpuk-numpuk tugas yang

diberikan.

“Umm … sebelum puasa S masih ada numpuk-numpuk tugas, masih


dianggap remeh …” (S/W.1/B.313-316).
“Pas numpukkin tugas tu rasanya kayak, yaudahlah bisa nanti,
masih enteng-enteng ajalah kak.” (S/W.1/B.323-328).

Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa partisipan S merasa tugas

merupakan suatu hal yang belum genting sehingga cenderung meremehkan

penyelesaiannya dan memilih untuk mengerjakan di lain waktu.

Partisipan S menyebutkan banyak waktu pengerjaan tugas

dialokasikan untuk bermain ponsel, saat peneliti menanyakan apa dampak

yang dirasakan, partisipan S menjelaskan tidak ada permasalahan apapun

yang dirasakan, namun waktu bermain ponsel harusnya dibatasi untuk

mengerjakan tugas sekolah.

“Kalau yang S rasakan saat itu engga, tapi mama yang kayak risih
gitu, kok main hp terus, tugasnya engga dikerjain gitu, main hp nya
nanti ajalah …” (S/W.1/B.227-229).

Bahkan disaat tenggat waktu pengumpulan tugas mepet, S merasa

tugasnya tidak harus dikumpul saat itu juga. Partisipan S merespon dengan

santai dan lanjut menunda-nunda pengerjaan tugas. Perilaku tersebut masih

berlanjut meskipun batas tenggat waktu pengumpulan sudah lewat. Saat

ditanya apa yang dirasakan partisipan pada kondisi tersebut, S

mengutarakan bahwa saat menunda-nunda pengerjaan tugas tidak ada

perasaan cemas atau khawatir dengan nilai.


46

“S lebih, kalau misalnya terlalu dekat sama tugasnya tu belum harus


dikumpul saat itu juga a … waktu menunda-nunda masih santai aja,
kalau saat itu juga dikumpul, udahlah S nunda-nunda trus S gak
kayak cemas gitu kak, tugasnya e … gimana ya nilainya nanti …”
(S/W.1/B.336-340).
Imbas yang dirasakan S muncul saat pengumuman hasil penilaian,

sebagai contoh partisipan S menyebutkan bahwa pada beberapa mata

pelajaran, ia sempat tidak mendapat nilai akhir karena belum melengkapi

tugas sekolah.

“… sampai mid sempat ada dua mata pelajaran ekonomi sama pkn
nilai S kosong, itu tu karena tugas yang ga S kumpulin …”
(S/W.1/B.313-316).

Berkebalikan dengan sikap santai yang ditunjukkan sebelumnya,

saat memperoleh nilai akhir partisipan S mengutarakan bahwa ia merasa

kesal dengan perilakunya. Partisipan S mempertanyakan perilakunya yang

cenderung meremehkan tugas sekolah.

“… Pas dekat-dekat tenggat ngumpulin tugas mulai lah terasa lagi


kayak kesel gitu kenapa lah numpuk-numpuk dari kemaren-
kemaren, banyak tugas sekarang, orang mau ujian lagi. Kesel sama
diri sendiri kan kak, umm … terus a … ada juga gitu sih kak, kesal
…” (S/W.1/B.323-328).
Selain itu, S mengungkapkan bahwa dirinya merasa malu

menghadapi teman sekelas, karena hanya dirinya yang belum

menyelesaikan tugas hingga ditagih langsung oleh guru.

“Badmood, cemas, trus malu juga sama teman-teman. Soalnya udah


pada ngumpul, S masih santai-santai juga, S juga sempat di e … pas
gurunya masuk kayak dipanggil nama S, S belum ngumpulin tugas
gitu, jadi kayak malu sekelas tau gitu kak..” (S/W.1/B.453-459).
47

Lebih lanjut perilaku demikian menempatkan S pada kondisi stres

yang membuatnya cenderung merasa pasrah, stres yang muncul saat

berkaitan dengan tugas juga membuatnya kehilangan nafsu makan.

“E … S stresnya tu kayak, yaudahlah gausah buat lagi gitu.”


(S/W.1/B.376).

“Jadi malas makan kak, sempat waktu itu asam lambung S kambuh
…” (S/W.1/B.380).

“Itu stres karena banyak tugas …” (S/W.1/B.384)

Sementara itu, partisipan Z juga mengutarakan bahwa dirinya

merasakan ada peningkatan beban tugas dari sekolah. Z menjelaskan setiap

harinya tugas yang diberikan satu guru per mata pelajaran cukup beragam

sehingga dalam sehari tugas yang diberikan langsung menumpuk. Z merasa

seolah-olah tugas yang diberikan oleh guru tidak ada hentinya.

“Banyaknya tu a … lebih ke kayak semua guru tu ngasihnya tugas


aja nyo gitu, kayak satu guru ngasih tugas tu banyak, nanti kan
kalau sekarang ni kan sehari tu ada beberapa mapel kan. A … tarok
lah sehari tu ada enam mapel satu guru ngasih tugas banyak, nanti
per guru tu ngasih tugas jadi dalam satu hari tu tugas numpuk. A
trus … a … mungkin kalau misalnya belajarnya nanti ketemunya tu
minggu depan nanti deadline nya bisa minggu depan, kadang ada
yang ketemunya besok gitu jadi tugas tu harus diselesaiin besok,
nanti udah dikumpul besok kan a … besok tu ada beberapa mapel
lagi, dikasih tugas lagi, numpuk lagi, besoknya dikasih lagi tugas.
Jadi kayak tugas tu ndak berhenti-berhenti do, dari semua guru
gitu.” (Z/W.1/B.127-139).
Peningkatan beban tugas membuat partisipan Z merasa lelah bahkan

saat dirinya baru saja melihat daftar tugas yang diberikan.

“Capek sih ngeliat, ngeliat apa list tugas tu aja udah capek gitu.”
(Z/W.1/B.142).
48

Akan tetapi berbeda dengan kedua partisipan sebelumnya, pada

partisipan Z peningkatan beban tugas tidak menjadi masalah berarti karena

dapat ditangani dengan memperhatikan waktu penyelesaian tugas.

“Kalau Z I … gimana ya kak, kalau menurut Z tu kan Z bilang tadi


tugas tu anti telat-telat kan, menurut Z tugas Z yang tepat waktu …
itu tu membantu kali gitu a …” (Z/W.1/B.396-400).

2. Materi pembelajaran semakin rumit

Materi pembelajaran terus meningkat mulai dari materi dasar hingga

materi rumit, dalam proses memahami materi ketiga partisipan merasa ada

batasan tertentu dalam memahami materi pembelajaran, sehingga ada

beberapa materi yang dirasa partisipan sulit untuk dipahami dan menjadi

hambatan dalam proses belajar. Partisipan R mencontohkan pengalamannya

dalam memahami pelajaran matematika, R merasa materi hitungan memang

lebih sulit dipahami dibandingkan materi hafalan. R mengutarakan dirinya

cenderung menjadi ragu untuk bertanya saat materi tersebut sulit dipahami.

“Bisa, tapi ada yang bisa ada yang engga kak. Apalagi kalau
pelajaran seperti mtk. Kalau misalkan diterangin kayak a … mau
bertanya kan kita ragu pula gitu.” (R/W.1/B.51-53).
“Ada yang bisa ada yang engga, kayak mtk kalau mtk kan kalau liat
di google caranya kan ini gimana ya … tapi kalau kayak pelajaran
sejarah gitu lain-lain masih bisa.” (R/W.1/B.81-83).
Partisipan R menyatakan sejak awal sekolah di masa pembelajaran

daring, dirinya tidak mengerti materi apapun terkait matematika. Hal

tersebut menempatkannya pada situasi sulit, menurut R ketika tidak paham


49

dengan materi dasar matematika, maka untuk lanjut ke materi berikutnya

akan lebih sulit karena saling berkaitan satu sama lain.

“Ada si, waktu tu apasih kak, pelajaran mtk si kak jujur. Waktu tu
kayak gimana ya apalagi waktu kelas sepuluh tu kak, di nggak ngerti
apa-apa kak. Ini gimana sih caranya, tanyain situ, tanyain … tapi
kalau misalnya kita tau kan mudah gitu … tapi kalau kita gatau
materi kelas sepuluh sebelumnya susah nanti ke selanjutnya gitu
kak, tingkat selanjutnya mtk.” (R/W.1/B.428-434).

Selain itu, R mengutarakan bahwa bagaimana ia memahami materi

pembelajaran juga tergantung pada metode penjelasan guru. R

mencontohkan bahwa ada guru yang memaparkan materi secara detail

sehingga mudah dimengerti, namun ada juga guru yang penjelasannya

terlalu cepat sehingga sulit dipahami. Persoalan lainnya kadangkala ada

tulisan guru yang sulit dibaca, sehingga R kesulitan memaknai penjelasan

yang dipaparkan oleh guru.

“Ada, kak. Jadi guru tu ada jelasinnya kayak terlalu cepat, ada
terlalu detail kali. Detail tu mungkin kita paham hm … tapi kalau
yang terlalu cepat ni gabisa di toleransi … tu ada pula mungkin ya
kak tulisannya jelek, di papan tulis.” (R/W.1/B.328-331).
Kesulitan memahami materi juga menjadi hambatan bagi partisipan

S, kondisi tersebut menempatkannya pada persoalan baru di tengah proses

pembelajaran. S menyatakan bahwa ketika S belum memahami materi yang

diajarkan oleh guru sementara mayoritas teman sekelasnya paham, maka

ketidakpahaman S akan diabaikan. Ketika mayoritas kelas dapat memahami

materi maka pembelajaran akan terus berlanjut dan meninggalkan S yang

masih belum paham dengan topik tersebut.


50

“Kesulitan memahami materi sering, kak” (S/W.2/B.76).


“Iya, soalnya di sekolah tu sistemnya kan kalau misalnya a …
mayoritasnya udah paham, yang minoritas kan yang dianggap juga
paham kak, jadi kita yang gak paham ni jadi kayak ngikutin
mayoritas yang udah paham kak. Jadi S sulit ini.” (S/W.2/B.82-86).

Kemudian, pada partisipan Z kesulitan memahami materi sudah

dirasakan sejak metode pembelajaran daring, dirinya mengaku masih

merasakan dampaknya hingga saat ini. Ada materi dasar yang belum

dipahami dengan baik terutama pada bidang hitung-hitungan, untuk

melanjutkan ke materi berikutnya Z mengaku harus lebih ekstra belajar

dalam mengejar ketertinggalan.

“A … apa, kalau di pelajaran yang ga hitung-hitungan engga terlalu


merasa tertinggal si, tapi kalau hitung-hitungan agak ngerasa
tertinggal soalnya kan emang dasarnya kali Z ga paham do karena
online tu, Z engga les pula pas tu. Jadi kadang masih bingung pula
a … kalau misalnya a … materi yang sekarang tu ada campuran
sama materi awal gitu, jadi kadang guru kan kayak pas ia ngejelasin
ini, ini sama ni kayak materi pas ini, gitu ha. Tu Z kayak materi tu
aja Z ndak paham do berarti Z harus ekstra pula belajar yang ini,
soalnya yang awal Z engga paham kan. Kalau misal engga misal Z
belajar yang awal tu lagi sekarang tu gak bakal paham pula Z
materi yang ini do.” (Z/W.2/B.300-311).

Kesulitan memahami materi pembelajaran membuat Z merasa

dirinya memang tidak mampu menguasai pelajaran tersebut, terlepas

bagaimanapun usaha yang dilakukan partisipan Z menganggap

kemampuannya terbatas pada materi-materi standar.

“Hm … faktornya tu kadang itu, ndak bidang Z kayaknya pelajaran


itu tu, jadi kayak mau dicoba sekeras apapun, otak Z tu gabisa
menerima itu tu do. Jadi ga … bisa paham tapi pahamnya tu engga
yang pas dikasih soal yang lebih, tingkatan yang lebih sulit tu Z
gabisa do gitu. Jadi emang soal yang di mata pelajaran yang otak
51

Z bisa terima tu soal standar-standar aja nyo, yang bisa Z kerjain.”


(Z/W.2/B.361-367).

Lebih lanjut Z menjelaskan bahwa dirinya harus fokus belajar

karena tuntutan SMA menjadi lebih serius dalam menunjang masa depan,

karena itu partisipan Z merasa dirinya harus paham dengan materi yang

dipelajari sementara materi pembelajaran semakin rumit sehingga Z

kesulitan untuk menangani kondisi tersebut.

“Gimana ya … e … SMA ni kan a … apa jenjangnya tu dah gak


main-main lagi do, udah mau ke kuliah sedangkan Z untuk e … apa
untuk menaikkan nilai tu Z harus paham gimana-gimananya, untuk
apa dari dasar, dari semester satu tu Z harus paham materinya
gimana-gimana. Tapi gara-gara online Z ga paham, jadi nilai Z
yang semester awal tu beneran standar aja nyo. Standar beneran
standar gitu, jadi kurang puas sama hasilnya gitu.” (Z/W.1/B.88-
95).

3. Target nilai meningkat

Setiap partisipan memiliki target untuk meningkatkan nilai rapor,

elemen penilaian rapor dapat menjadi tuntutan dalam pembelajaran, tak

jarang ketiga partisipan merasa tertekan dalam proses untuk memenuhi

target nilai yang diharapkan. Partisipan R menyebutkan bahwa dirinya

memiliki target untuk menjadi juara kelas, hal itu membuat R merasakan

adanya tekanan untuk belajar lebih giat dibanding hari-hari biasanya.

Adanya target nilai yang lebih tinggi membuat beban pikiran bagi R, dirinya

menjadi khawatir menjalani proses ujian.

“Woeh, sering kak, kayak berat pikiran tu kak. Maksud tu dalam


pikiran ni, aduh mau ujian lagi. Berat aja pikiran tu kalau mau
52

ujian. Kayak ada tekanan untuk belajar kak, supaya bisa jadi juara,
jadi tekanan belajarnya tinggi kak.” (R/W.1/B.337-339).
Partisipan R menjelaskan bahwa tidak melulu dirinya mampu

memenuhi target nilai ditetapkan, kadangkala nilai R anjlok jauh dari

standar yang diharapkan.

“Jadi waktu tu nilai R biasanya bagus si kak, gara-gara sesuatu


kendala atau masalah jadi fokus belajar atau gimana main aja
kerjanya tu jadi anjlok nilainya turun gitu kak.” (R/W.1/B.246-
248).
Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa R melihat adanya hubungan

perilaku bermain game dengan hilangnya fokus belajar yang membuat R

mengalami penurunan nilai. Saat ditanya peneliti bagaimana perasaan R

saat nilai yang diperoleh tidak sesuai dengan target harapan, R

mengutarakan dirinya merasa sedih, mempertanyakan kemampuannya, dan

cenderung menyalahkan diri sendiri.

“Ooh … perasaannya tu sangatlah sedih kak, soalnya biasanya R


kan dibilang anak unggulan. Kok bisa anjlok kayak gitu kak, gara-
gara itulah main aja terus kak.” (R/W.1/B.96-98)
Adanya target nilai juga menjadi permasalahan bagi partisipan S.

Hal tersebut membuat S menuntut diri agar maksimal menjawab soal-soal

ujian dengan baik pada materi yang S gemari, akan tetapi persoalannya S

tidak mampu menjawab dengan baik sehingga ia merasa tertekan dengan

situasi tersebut. Selain itu, S juga dituntut untuk mendapat nilai maksimal

pada materi yang tidak dikuasai karena sudah diikutsertakan les, sehingga

membuat S merasa tertekan dalam menjalani proses ujian.


53

“Pernah kak, soalnya a … ada kayak beberapa mapel terutama


yang paling tertekan tu S di mapel a … mtk, mtk tu S paham
materinya, tapi tiba di ujian tu S kadang suka kayak tu yang jelek
lah, atau gak ada isilah jadi kan nilai ujiannya jadi berkurang kak
padahal S bisa, trus mapel kimia S juga tertekan soalnya S tu ga
suka kimia, tapi S dah les, udah les tapi masak masih ga bisa gitu
kata mama. Fisika juga susah juga susah juga menurut S jadi
tertekan S di dua mapel tu kak.” (S/W.2/B.37-43).
Selain itu, meskipun cenderung santai dalam menanggapi hambatan

lain namun saat dikaitkan dengan penilaian, partisipan S cenderung merasa

cemas karena mengkhawatirkan nilainya.

“Lebih ke cemas, takut sih kak nilainya kenapa-napa gitu.”


(S/W.1/B.342).
S menyatakan setiap tahunnya ia menjadi lebih fokus pada

peningkatan nilai dibandingkan dengan peningkatan ranking.

“Iya jadi untuk ranking S udah angkat tangan aja, yang penting
nilai S naik lah tiap tahunnya gitu.” (S/W.1/B.436-437).
Karena itu saat memikirkan nilai S cenderung merasa stres, ia

mengkhawatirkan pembicaraan orang-orang yang membandingkan nilai

untuk pemilihan jurusan. S mengutarakan dirinya cenderung kehilangan

nafsu makan saat melulu memikirkan nasib nilai rapor.

“Itu stres karena banyak tugas trus mikirin nilai raport juga,
mikiran kayak omongan-omongan orang, kayak udah mulai
bandingin nilainya, mau masuk jurusan apa gitu-gitu kak, jadi S
kayak stres pula jadinya kayak kebawa malas makan.”
(S/W.1/B.384-387).
Tuntutan memenuhi target nilai juga menjadi persoalan pada

partisipan Z, Z menjelaskan bahwa dirinya terus khawatir memikirkan

segala hal terkait nilai. Z merasa terbebani karena harus mempertahankan


54

kenaikan grafik nilai, di sisi lain dirinya merasa kesulitan untuk

meningkatkan nilai karena pemahamannya terhadap materi terbatas.

“Gimana ya … kayak berat aja gitu a, perasaan kalau perasaan tu


emang kayak berat aja gitu. Kayak semua … jadi overthinking
gampang overthinking semua dipikirin gitu, apalagi nilai ni kan a
… soalnya kalau misalnya SMA ni kan grafiknya emang harus naik
kan kak kalau mau masuk eligible jadi itu tu kayak agak terbebani
gitu ha, beneran dipikirin kali gimana cara ningkatin nilai
sedangkan Z tu materi tu kadang paham kadang engga gitu …”
(Z/W.1/B.378-385).
Mendekati masa-masa ujian Z mengutarakan dirinya rentan

mengalami stres. Hal ini dikarenakan tuntutan untuk belajar, menyelesaikan

tugas, dan penilaian harian meningkat sehingga rutinitas sekolah lebih padat

dibanding hari biasanya.

“Hm … ndak ta … ndak tau sih soalnya Z tu kayak ndak tau apa
yang Z stresin tu do, tapi Z tu stres. Gatau semua tekanannya tu apa
do, kayaknya Z tu a … anaknya santai aja nyo kak, kayak jalanin
ajalah gitu. Tapi, tapi Z stres gitu ha kayak stres gim … kayak gitu
sih orang-orang mau ke ujian, orang -orang mau ujian tu kan di
tekan kali, trus kayak sekolah Z tu tipe yang kalau orang mau ujian
tu emang di semakin di apa semakin banyak tugas yang ia kasih,
semakin banyak materi-materi yang ia kejar gitu. Jadi awalnya
santai, santai, santai, pas mau ujian tu di apain pepetin semua, UH
berdekatan, kayak sekali seminggu bisa UH gitu, tu jadinya tertekan
stres gitu. Itu sih …” (Z/W.2/129-140).
Kondisi tersebut membuat Z merasa lelah dan menjadi tidak

bersemangat saat berangkat sekolah. Tuntutan melengkapi nilai menjelang

masa-masa ujian membuat Z mengalami sakit kepala dan jenuh menghadapi

rutinitasnya yang padat.

“Jadi gampang capek ka … a … trus kayak a … ndak … lelah aja


kalau di sekolah tu jadinya, ndak ada … ndak semangat pergi
sekolah jadinya do … kepala tu sakit aja terus apalagi udah sekolah
jadwalnya padat itu materinya dipadat-padatin, tugas banyak, les
55

pula, pulang malam, nanti kayak tiba di rumah tu cuma tuk tidur aja
nyo, besok udah apa pula lagi, dah sekolah pula lagi jadi … di
rumah tu pulang les a … kerjain tugas, tidur, tu sekolah lagi, tu les,
kerjain tugas, tu tidur, gitu-gitu aja, capek jadinya.” (Z/W.2/145-
153).

4. Tuntutan sekolah favorit

Tuntutan dari sekolah yang dirasakan partisipan adalah terkait

dorongan untuk berprestasi, mayoritas partisipan merasa tuntutan yang

diberikan sekolah lebih besar dibanding sekolah lain. Karena ketiga

partisipan berasal dari sekolah favorit, pihak sekolah memiliki persaingan

sistem baik itu dari segi belajar maupun prestasi siswa. Pada partisipan R

mengungkapkan bahwa meskipun sistem pembelajaran di sekolah

umumnya sama namun R merasa sekolah lain lebih santai dibanding

sekolahnya, hal ini dicontohkan R dari segi tugas dan durasi belajar di

sekolah.

“Kalau sistemnya sih, sama si kak, soalnya kita provinsi. Jadi


provinsi tu semua sekolah tu kan sama, tapi membedakannya
tugasnya kak. Tugasnya tu pokoknya kami kan di sekolah sekolah
ini misalnya, sekolah, sekolah B misalnya. Sekolah B ni dia udah
selesai, maksudnya dia tu santai banget, sedangkan kami sekolah
kami, weh banyak kali tugas kami gitu kak. Sehingga kami tu kayak,
weh … kok bisa dia dapat tugas gitu santai-santai. Padahal kita
tugasnya banyak, pelajarannya juga banyak. Mereka sedikit, trus
pulangnya mereka cepat, kami kan agak lama sedikit kak.”
(R/W.1/B.447-456).

Partisipan R menyatakan bahwa adanya title sekolah terbaik di kota

Padang, membuat pihak sekolahnya mendorong siswa untuk terus

meningkatkan nilai.

“Ada, dapat nilai bagus kak. Tingkatkan terus, soalnya sekolah R


kan termasuk sekolah terbaik di padang. Jadi pas sekolahnya
56

mengharapkan agar siswa-siswanya terus meningkatkan nilainya.”


(R/W.1/B.465-469).

R menyebutkan bahwa pihak sekolah selalu mengumumkan siswa-

siswa berprestasi, ada kalanya partisipan R jadi membandingkan diri dengan

siswa berprestasi. Hal itu membuat partisipan R bertanya-tanya perbedaan

yang dimiliki, mengapa siswa tersebut lebih unggul. Ketika

membandingkan diri dengan siswa berprestasi, R menjadi ragu dengan

kemampuan yang dimiliki, sehingga berpengaruh pada penurunan motivasi

R dalam belajar.

“… melihat orang-orang yang kek wuih hebat mereka ni hebat nih,


kok aku gabisa kayak gitu, kayak ada orang-orang juara olimpiade
gitu, ia banyak dapat juara, diumumin gitu kak, jadi kayak insecure
gimana gitu ya kak. Aduh, kok bisa kayak gitu ia ya, apa sih makan
dia, apasih pelajaran ia yang dipelajari. Ya jadi menurun motivasi
belajarnya, kok bisa ya gitu kak …” (R/W.1/B.415-421).

Sementara itu, partisipan S menjelaskan bahwa sekolahnya

menuntut siswa untuk berprestasi dan diterima di universitas ternama.

Partisipan S merasakan bahwa guru menjadi kurang antusias saat siswa di

sekolahnya tidak diterima di universitas ternama, tuntutan tersebut menurut

S sekaligus menjadi pembeda dengan sekolah lain.

“Iya, tuntutan sekolah S tu kayaknya lebih ke segi prestasi sama segi


masuk kuliahnya kak. Kalau sekolah S ni lebih kayak memandang
universitas yang ternama, kayak misalnya UI, UNPAD, UGM. Dia
ga mandang jurusan tapi asal kita masuk fakultas tu dah kayak
bagus di mata mereka. Prestasi tu lebih di nomor satukan di sekolah
S a … maupun itu prestasi akademik ataupun prestasi non akademik
dibandingkan sekolah lain, mungkin sekolah lain tu kayak senyaman
siswa nya aja gitu kak. Apalagi kalau di sekolah S ni, menurut S
kalau ga masuk universitas ternama kayak guru tu kayak biasa-
biasa aja.” (S/W.2/B.166-177).
57

S mengungkapkan dirinya merasa tertekan dengan tuntutan yang

diberikan sekolah, namun di sisi lain ia merasa terpacu melihat jejak alumni

yang mampu memenuhi tuntutan sekolah, karena itu motivasi S menjadi

lebih meningkat dan optimis bahwa dirinya bisa memenuhi tuntutan

sekolah.

“Hm … dampaknya, S tertekan tapi juga merasa terpacu juga kak,


karena di dukung juga S a … alumni-alumni yang dulu aja bisa
ditekan gini, masa kita gabisa gitu kak. Trus a … yah motivasi S
juga lebih meningkat karena ya … alumninya tu dulu banyak yang
berhasil, kita juga pasti bisa kayak alumni-alumni itu.”
(S/W.2/B.179-184).

Meskipun demikian partisipan S mengutarakan dirinya pernah

mengalami penurunan kepercayaan diri terkait tuntutan kompetitif dari

sekolah, S mencontohkan persoalan tersebut dengan pengalamannya dalam

memilih minat jurusan perkuliahan. S menyatakan sejak awal berkeinginan

untuk menjadi dokter, kemudian dirinya membandingkan kemampuannya

terutama pada bidang biologi dengan teman lainnya. Hal itu memunculkan

anggapan pada diri S bahwasanya teman-teman lain lebih pintar dibanding

dirinya, dan mengecilkan kemampuan sendiri. S mengaku sudah

mengurungkan niatnya untuk memilih jurusan kedokteran dan memilih

jurusan lain yang dianggap ideal dengan kemampuannya.

“Um … penurunan kepercayaan diri. Pernah kak, karena


penurunan kepercayaan diri S tu sebagai contohnya yang S awalnya
dari awalnya tu pengen jadi dokter kan kak, diliat sampe sekarang
ternyata biologi S tu a … teman-teman tu masih banyak yang
nilainya diatas S semuanya, dan teman-teman S tu pada pintar-
pintar semua jadi S tu kayak gak PD lagi untuk jadi dokter, jadinya
ambil jurusan lain.” (S/W.2/B.61-67).
58

Partisipan Z menjelaskan tuntutan yang kompetitif terlihat dari sikap

sekolah yang tidak mau kalah dibandingkan sekolah favorit lainnya

sehingga cenderung menekan siswa untuk menjadi nomor satu dan disiplin,

menurut Z hal tersebut membuat dirinya merasa sedikit tertekan dalam

menjalani tuntutan sekolah.

“Hm … kayaknya … kalau dibandingkan sekolah favorit di kota


Padang ni, Z sekolah ni eh sekolah Z ni lebih gimana ya gamau
kalah do. Jadi emang dia tekanin kali muridnya untuk a … untuk
bisa sekolah ni jadi sekolah nomor satu gitu. Kayak beneran di
tekaninnya siswa tu jadi kayak kami tu juga anti libur gitu kak,
misalkan kayak sekolah lain tu kan boleh libur a … apa misalnya
ada tanggal-tanggal kejepit, a libur yang sebenarnya it … misalnya
a … ada ragu, orang tu sebenarnya libur atau ndak sih besok tu gitu
ha. Biasanya sekolah lain libur sekolah kami tu ndak gitu ha … agak
menekan murid sih menurut Z.” (Z/W.2/B.244-253).

4.1.3.2 Tema Terkait Upaya Siswa dalam Mengelola Situasi yang Penuh
Hambatan (Coping)

Ketiga partisipan memiliki strateginya sendiri dalam menangani hambatan-

hambatan yang muncul selama proses belajar, upaya tersebut membantu partisipan

dalam meresistansi hambatan serupa yang seringkali muncul. Upaya tersebut

membantu partisipan dalam mencapai academic buoyancy yaitu kondisi dimana

siswa berhasil menangani kemunduran akademik dan hambatan yang lazim ditemui

pada kehidupan sekolah. Adapun upaya partisipan dalam mengelola hambatan-

hambatan pembelajaran berupa:

1. Manajemen waktu

R menyebutkan bahwa dengan meningkatkan kemampuan dalam

memanajemen waktu belajar dapat membantunya mengelola tugas dengan


59

baik. Akan tetapi untuk game online, R sendiri mengaku masih kesulitan

untuk tidak menghabiskan banyak waktu belajar di game online.

“Kayak o … yang biasanya awalnya tugasnya banyak kan kak, tapi


sekarang dah bisa terkontrol lagi karena kita tu dah diatur jadwal-
jadwal kita untuk sekolahnya gitu kak ...” (R/W.1/B.178-182).

“Yah … sampai sekarang ada si kak, tapi diatur-atur aja lagi kak.
Ya, dikontrol lagi, dimonitor lagi. Dibagi-bagi waktunya gitu.”
(R/W.1/186-188).

“A … membagi waktu kak, sebenarnya game itu masih ada kak. Jadi
susah juga kak walaupun R membagi-bagi waktu juga, tapi aja juga
waktunya ke game aja terus. Sampai orang tua pun marah sama R.”
(R/W.2/B.184-187).

Perilaku R menggunakan ponsel di waktu belajar untuk bermain

game online semasa daring sudah jauh berkurang dibanding saat ini. R

menyadari bahwa dirinya harus fokus pada penjelasan guru dibanding

menggunakan ponsel sehingga dapat lebih memahami materi yang

dipaparkan.

“Online si kak, emang full banget kayak misalkan tugas muncul jam
tujuh, dah siap langsung chat teman, eh login-login. Ya, langsung a
… main hp kan kak ah … kira dah siap ni kan satu match, habis tu
ada lagi tugas kerjain dulu, langsung login lagi. Gitu terus kan
sampai malam-malam jam sebelas lah selesainya kak, baru tidur.”
(R/W.2/B.193-198).

“Kalau offline sekarang kayak a … dulu kan kayak gitu tadi kan,
tapi kalau sekarang masuk sekolah jam enam, jam 6.45 ya kita
sekolah boleh dibawaiin hp, tapi kan kalau misalkan kita main hp
pas guru lagi nerangin pasti ga ngerti kak, jadi terpaksa kita liat
guru … supaya ngerti, paham. Habis tu, itu kak.” (R/W.2/B.201-
206).

Bentuk manajemen waktu lainnya dicontohkan dengan upaya R

untuk menyusun waktu pengerjaan tugas, upaya ini mengarahkan R untuk

menyelesaikan tugas sesegera mungkin tanpa menunggu kesempatan lain.


60

“O … jadi kerjain misalnya tugasnya kan hari … rabu, jadi


dikasihnya hari senin jadi R kerjaiinnya hari itu juga. Selama kita
bisa ngerjain hari itu, ngapain besok-besok?” (R/W.1/B.300-302).

Kemudian saat peneliti menanyakan strategi R dalam menangani

tugas yang sulit dikerjakan, partisipan R menjelaskan dirinya menyiapkan

waktu luang untuk menenangkan pikiran sehingga lebih fokus mengerjakan

tugas.

“Biasanya ya … kita cari waktu, gimana ya kak, senggang. Jadi


tenangkan pikiran, baru nih ngerjain tugas.” (R/W.1/B.362-363).

Manajemen waktu juga diperlihatkan R dengan meluangkan waktu

untuk belajar atau mengaji minimal satu jam sehari sebelum bermain game

online, termasuk di hari libur.

“Ya … bagi waktu aja kak. Bagi waktu misalkan a … kita belajar
jam segini, biasanya orang tua ngasih nasihat juga kak. Belajar lah
dulu, agak misalnya dalam sehari tu minimal satu jam belajar.
Belajar atau mengaji baru boleh main.” (R/W.1/B.329-332).

“Biasanya kalau di hari libur tu kadang sejam sehari, jadi kalau


belajar tu misalkan hari libur kak. Hari libur tu kita belajar satu
jam sehari.Walaupun kita baca-baca, kayak baca sejarah gitu …
yang kita gatau gitu, belajar bahasa inggris, kosa kata, apa gitu
kak.” (R/W.1/B.397-398).

Pada partisipan S kesadaran untuk memanajemen waktu belajar

muncul ketika dirinya mengalami penurunan nilai, S berupaya memperbaiki

waktu belajar sehingga dapat membantu peningkatan progres nilai.

“Sedih kak, karena mama juga marah, papa juga kecewa, masuk
sekolah bagus-bagus eh masuk sekolah bagus tapi nilainya gitu
katanya, trus a … udah S coba untuk ubah waktu itu, perbaiki lagi
waktu belajar S, jadinya ya … sampai sekarang adalah meningkat
kak …” (S/W.1/B.109-112).
61

Perilaku menunda-nunda pengerjaan tugas meskipun masih kerap

muncul, partisipan S merasa dapat meminimalisir persoalan tersebut dengan

mengerjakan tugas sesegera mungkin.

“Cara belajaranya … S mmm … kayak numpuk-numpuk tugas gitu


S hindarin lagi kak, walaupun masih agak, tapi dihindarin, selagi
bisa dikerjaiin saat itu tugasnya S kerjaiin …” (S/W.1/118-123).

Kemudian di hari libur S membagi waktunya untuk mengerjakan

tugas dengan selingan hiburan. Menurut S strategi ini membantu

mengurangi jumlah tugas yang harus segera diselesaikan.

“Biasanya sabtu minggu libur kak, sabtunya S puas-puasin main,


sampai udah puas gitu sampai siang baru S kebut lagi tugas sampai
o … sampai tinggal dikit lagi tugasnya, ooo … apa refreshing dulu
dikit tu minggu S sambung lagi buat tugas, jadi a … S selang-seling
sama main lah kak biar ga terlalu bosan.” (S/W.1/B.303-307).

Menurut S strateginya untuk memanajemen waktu pengerjaan tugas

membuat beban yang dipikulnya berkurang dan merasa lebih lega terutama

mendekati masa ujian.

“Lebih lega kak, jadi alhamdulillah dekat-dekat ujian ni gaada


kayak beban untuk tugas ini tugas itu harus dikumpul gitu-gitu kan,
biasanya kayak S sebelum ujian ni mulai masuk-masuk masa stres,
e … tugas masih banyak yang belum, kamu mau ujian lagi, deadline
gimana nanti … kemaren ni e … masih ada satu dua tugas yang
kayak itu tu karena tugasnya tu diakhir-akhir gitu dikasih sama
gurunya kak … jadi belum selesai tu emang karena tenggatnya tu
diperpanjang sama gurunya jadi engga terlalu beban, udah mulai
terasa lega lah.” (S/W.1/B.365-373).

Disamping itu, penetapan jadwal pembelajaran membuat S merasa

terbantu dalam mengurangi intensitasnya bermain ponsel dibandingkan

dengan masa pembelajaran daring.

“Kalau yang pas offline ni, a … waktu untuk main hp S kan lebih
sedikit kak, sekolah udah dari pagi sampai jam empat, nanti jam
62

empat pulang sebentar, balik les lagi sampai malam, jadi S udah
bisa dibilang lebih banyak untuk belajar dari pada untuk main, jadi
udah terajar lah untuk meminimalisir main hp nya sampai
sekarang.” (S/W.1/B.277-283).

Sementara itu, manajemen waktu pada partisipan Z terlihat dari

perilakunya untuk mengerjakannya tugas dengan sistem mencicil. Menurut

Z dengan mengerjakan tugas sedikit demi sedikit menjadikan tugas tersebut

lebih ringan untuk diselesaikan.

“Tapi kalau misalnya Z kerjaiin satu-satu gitu engga terasa juga


kak. Maksudnya kayak Z … ngeluh-ngeluh tapi tetap Z ngerjain apa
kan pelan-pelan, nanti ga sadar aja dah tinggal satu aja list yang
belum. Engga … engga terlalu memberatkan do kalau dikerjainnya
pelan-pelan.” (Z/W.1/B.142-147).

Menurut Z strategi tersebut membuatnya dapat menyelesaikan tugas

tepat waktu sehingga berdampak positif pada nilainya.

“Kalau Z tugas tu anti telat-telat gitu, kak.” (Z/W.1/B.338).

“Kalau Z I … gimana ya kak, kalau menurut Z tu kan Z bilang tadi


tugas tu anti telat-telan kan, menurut Z tugas Z yang tepat waktu
sama kehadiran Z yang ga pernah bolong. Itu tu membantu kali gitu
a … jadi kayak yang guru tu kan kalau nilai ujian ga terlalu banyak
diambilnya presentase nilainya tu ga terlalu banyak diambilnya tapi
kalau tugas, kehadiran tu kan emang tinggi jadi itu tu membantu
kali gitu a … jadi nilai Z tu meningkat, meningkat aja gitu.”
(Z/W.1/B.397-404).

2. Berinisiatif belajar mandiri

Berinisiatif belajar mandiri merupakan upaya partisipan untuk

meningkatkan pemahaman yang dimulai dengan mengandalkan diri sendiri

untuk mempelajari materi, bertanya pada guru atau les, hingga berupaya

menggunakan sumber lain. Partisipan R mencontohkan strategi belajar

mandirinya dengan mempelajari materi menggunakan sumber utama dari


63

buku cetak, lks, dan buku catatan. R merasa strategi ini secara tidak

langsung membantunya mengingat kembali materi-materi lain yang

sebelumnya tidak diperhatikan.

“Usahanya untuk … kan tugas tu biasanya guru ngasih dari lks jadi
kita biasanya guru tu ia mencari soal dari lks kak, jadi kita langsung
aja liat lks langsung. Soalnya dari soal-soal tu mereka membuatnya
dari lks. Bisa kita temuin jawabannya dari lks atau buku cetak yang
lain. Sama buku catatan satu, cari sendiri.” (R/W.2/B.227-232).

“Iya, kalau itu tu kan kita butuh proses mencarinya bisa kita ingat
gitu kak.” (R/W.2/B.236-237).
menurut R mengerjakan tugas sembari mencari jawaban di buku

membuatnya dapat sekaligus memahami materi-materi yang sempat dibaca.

“Bisa kita mengingatnya se … apa lagi kak, lebih mudah mengingat


gitu kak. Kalau google tu kan cuma sebentar, gaada prosesnya cuma
mengetik keluar jawaban, tapi habis tu kan kita lupa lagi, tapi kalau
yang kita cari sendiri, kita baca kan kak oh … waktu ujian kan kak,
masuk itu kak, mudah di option nya … oh ini kemaren ini ini di lks
nih gitu.” (R/W.2/B.240-245).

Tidak hanya mengandalkan diri sendiri, saat merasa kesulitan R

menjelaskan bahwa dirinya akan berusaha bertanya pada guru sekolah dan

guru les.

“Bertanya si kak, bertanya sama guru. Sama itu si kak, les.”


(R/W.1/B.440).

Dengan adanya inisiatif belajar mandiri partisipan R

mengungkapkan bahwa dirinya mengalami peningkatan nilai dan lebih

dapat memahami materi jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya

terutama saat pembelajaran daring.

“Alhamdulillah kak, dapat ranking dua sekarang kak.”


(R/W.1/B.347).
64

“Alhamdulillah, ngertilah.” (R/W.1/B.443).

Pada partisipan S juga ditemukan adanya upaya untuk belajar dan

menyelesaikan tugas secara mandiri, saat S paham maka dirinya akan

mengandalkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas-tugas. Namun

jika dirasa sulit, S berupaya menggunakan sumber lain seperti buku bacaan

ataupun internet.

“Kalau untuk tugas kayak dalam mapel yang kayak full materi ga
ada yang kayak nyari-nyari um … S liat google kak, supaya lebih
mastiin jawabannya tu emang benar. Tapi untuk yang kayak mapel
hitung-hitungan kalau selagi S lebih paham dan yakin sama
pemahaman S, S kerjaiin sendiri, kalau ada yang ragu-ragu
masalah rumus, S liat catatan kelas mungkin, atau mungkin liat
google kak.” (S/W.1/B.354-360).

Selain itu, ketika belum memahami materi pembelajaran secara

maksimal partisipan S berusaha menanyakan kepada teman dan guru les

hingga benar-benar paham, namun jika masih belum paham S

mengandalkan diri sendiri untuk bisa mempelajari secara mandiri.

“Kalau ga ngerti pelajaran, selagi bisa S nanya sama kayak sama


teman S kalau ga sama guru S nanti les, terus kalau nanya, nanya
sampai benar-benar paham. Kalau misalnya udah ga bisa nanya
lagi, biasanya … yaudah S usaha aja sendiri untuk mahami sebisa
mungkin kak.” (S/W.2/B.201-206).

Menurut S jika dibandingkan dari waktu ke waktu, upaya S untuk

belajar mandiri dapat meningkatkan pemahamannya pada pelajaran yang

digemari namun untuk pelajaran yang kurang digemari, S merasa tidak ada

peningkatan signifikan.

“Umm … kalau untuk beberapa mata pelajaran pemahaman S


meningkat kak, kalau untuk pelajaran yang ga S suka emang dari
awal ga S suka, ya gitu-gitu aja kak.” (S/W.1/B.139-141).
65

“Kalau sekarang S dah lebih mudah nangkap materinya kak,


dibanding pas online, soalnya o … gurunya udah ngejelasin secara
langsung. Kalau online tu kan ada yang ngejelasin ada yang engga,
a … jadi sekarang ni udah lebih paham gitu lah kak.”
(S/W.1/B.346-351).

Partisipan S menjelaskan bahwa meningkatnya pemahaman

terhadap pada materi pembelajaran, membuat nilainya semakin meningkat.

Meskipun dari segi ranking menurun namun ada peningkatan rata-rata nilai

dari semester sebelumnya.

“Ada peningkatan kak, untuk rankingnya tu turun karena di kelas S


orang-orang pintar aja isinya semua kak.” (S/W.1/B.431-432).

Sementara itu, pada partisipan Z inisiatif belajar mandiri dapat

membantunya menyelesaikan tugas-tugas dengan tingkat kesulitan tinggi.

Saat belajar mandiri Z memanfaatkan aplikasi pembelajaran yang dapat

menguraikan penjelasan secara rinci melalui video pembelajaran sehingga

Z lebih mudah paham, namun tanpa penjelasan video Z mengaku terkadang

masih sulit paham.

“A … apa biasanya ada kalau Z liat google tu ada bukan google si


aplikasi belajar gitu, sistemnya tu ada vidionya gitu kalau misalnya
yang ada vidio tu lumayan paham si kadang sambil di dengerin kan
cara pengerjaannya gimana, gini-gini paham. Tapi kalau misalnya
a … gak ada vidionya kadang memang ndak paham juga si kak.”
(Z/W.2/B.291-296)

Tidak hanya dianggap membantu dalam menyelesaikan tugas,

strategi ini dianggap Z mampu mengembangkan tingkat pemahamannya

terhadap materi pembelajaran.

“Kalau misalnya dikasih tugas, kan kalau kita ngerjain tugas tu


sekalian baca materi gitu kan a … dan kalau misalnya gabisa
mungkin Z kan liat google atau liat colearn atau roboguru, lain-lain
66

gitu. Kalau itu-tu kan, kalau colearn tu kan ia tu berupa vidio, jadi
kan kita tu bisa nyimak cara ia ngejelasin gitu, jadi tu agak
membantu si menurut Z.” (Z/W.1/B.267-272).

Partisipan Z berupaya meningkatkan waktu belajar dan banyak

menanyakan materi-materi pembelajaran melalui tambahan les. Z

menyatakan strategi tersebut sangat membantu meningkatkan

kemampuannya dalam menghadapi penilaian harian.

“usaha Z tu a … Z belajar terus kok, di les Z tetap belajar, di les Z


juga bisa tambahan kan, jadi kalau mau UH tu tambahan terus gitu
ha … latihan-latihan soal. Nah di UH selanjutnya udah lumayan
meningkat lah dari UH sebelumnya.” (Z/W.2/B.58-62).

“Kalau Z lebih apa di les si kak, les Z tu kan bisa tambahan jadi Z
banyakin tambahan gitu. Jadi kayak Z sama guru les tu aja berdua
nyo, jadi Z lebih bisa banyak nanya ke guru les gitu.” (Z/W.2/B.315-
317).

Lebih lanjut, mengerjakan tugas secara mandiri membantu Z dalam

memahami materi pembelajaran, dirinya merasa sekaligus bisa mempelajari

materi baru.

“Maksudnya tu belajarnya tu sambil ngerjain tugas gitu a … kayak


tugas tu ag … tugas tu suatu hambatan kalau banyak gitu, tapi kalau
misalnya ga terlalu banyak dan ga semua mapel ada, ga semua
mapel di kasih tugas gitu dalam satu hari tu. Itu menurut Z agak
membantu sih, soalnya pas ngerjain tugas tu juga sambil belajar,
sambil mencari-cari materi baru gitu kan pas belajarnya tu.”
(Z/W.1/B.320-325).

Selain itu, di penghujung semester Z berinisiatif untuk bertanya

kepada guru terkait hal-hal yang dirinya bisa lakukan Z untuk meningkatkan

nilai, terutama pada mata pelajaran yang menurut Z sulit untuk dipahami.

Partisipan Z mengaku bahwa strategi ini sedikit membantunya dalam

meningkatkan nilai.
67

“Kalau kayak gitu Z apa ya … lebih apa ke guru, guru … mata


pelajaran itu kayak misalnya pas udah penghujung semester Z tanya
ada ga nilai Z tu yang sekiranya rendah, kalau misalnya ada e …
apa ada yang bisa Z kerjain tu a … ada yang bisa Z kerjain ndak
biar nilai tu terbantu dikit. Jadi lebih ke apa ke gurunya, lebih
ditanya lagi ke gurunya terutama ke map … ke guru mapel yang
mapelnya tu Z ndak ngerti-ngerti kali gitu ha.” (Z/W.2/B.336-344).

Menurut Z strategi yang diterapkannya bekerja efektif dalam

menangani kesulitannya dalam memahami materi, hal ini dicontohkan Z

dengan adanya peningkatan rata-rata nilai rapor semester dari waktu ke

waktu dan adanya peningkatan dari segi pemahaman terhadap materi

pembelajaran.

“Efektif sih, soalnya hasilnya emang meningkat.” (Z/W.1/B.408).

“Senang sih, soalnya setidaknya rata-rata Z tu naik, e … apa di


semester selanjutnya tu naik gitu kan jadi kayak kan te … mau
masuk eligible mau masuk itu tu kan, kuota eligible tu kan grafik
nilai emang harus naik dan rata-rata nilai Z tu emang naik.”
(Z/W.1/B.421-425).

“A … nilai sendiri … a … menurut Z meningkat sih, soalnya dari


rata-rata yang Z liat tu emang naik gitu. Pemahamannya juga a …
lebih paham si dari pada online.” (Z/W.1/B.282-284).

3. Memandang hambatan secara optimis

Memandang hambatan pembelajaran secara optimis merupakan

salah satu upaya partisipan dalam mengelola hambatan pembelajaran.

Seringkali hambatan yang dialami ketiga partisipan menjadi persoalan,

namun partisipan tetap optimis dalam menanggapi hambatan dengan

meyakini akan ada hal baik yang bisa dimaknai dari munculnya hambatan

tersebut.
68

Partisipan R menyatakan bahwa tugas yang diberikan guru pasti ada

tujuan, R mencontohkan dengan tugas proposal yang meskipun manfaatnya

belum dirasakan secara langsung namun R meyakini manfaat tersebut akan

terasa di masa depan seperti perkuliahan.

“Engga si kak, soalnya guru tu pasti memberi tugas tu pasti ada


tujuannya gitu. Kita misalnya kayak bikin proposal tu untuk anak
SMA mana ada, ga ada gunanya. Tapi kan masa kedepannya pasti
ada gunanya, kan kita kuliah.” (R/W.1/351-354).
Kemudian R mengutarakan akan tetap berusaha berpikiran positif

meskipun dalam prosesnya terkadang merasa kesal ataupun kesulitan.

“Iya tetap positif, walaupun R mendongkol ya kak. Waduh ini tugas


susah lagi, gimana caranya nih, gitu.” (R/W.1/356).
Pada partisipan S juga ditemukan perilaku memandang hambatan

pembelajaran secara optimis, S memiliki pendapat bahwa hambatan yang

kerap ditemui bisa menjadi motivasi dalam merubah kebiasaan belajar ke

arah yang lebih baik.

“Hambatan tu jadi motivasi S untuk berubah, berubah jadi lebih


baik, walaupun sekarang masih proses berubah lah, masih belum
yang bener-bener berubah jadi yang lebih baik tapi S pengen kayak
kedepannya gausah lagi kayak gitu, ubah lagi kebiasaanya.”
(S/W.1/B.391-395).
Sementara itu partisipan Z mengutarakan bahwa ia merasa hambatan

yang kerap ditemui dalam proses belajar adalah suatu hal yang membuatnya

merasa terganggu.

“Terganggu sih.” (S/W.1/B.86).


Partisipan Z mengungkapkan bahwa dirinya cukup memahami

permasalahan yang dirasakan selama proses belajar, hambatan yang muncul


69

berkisar dari permasalahan serupa. Meskipun sudah mengetahui cara

mengatasinya ada kalanya Z masih belum mampu menangani beberapa

hambatan yang muncul, sehingga perlu usaha yang lebih besar.

“Z … a … menurut Z, Z udah bisa sih mengatasi masalah tu cuman


Z tu bisa, Z tu tau gimana cara a … mengatasi hambatan tu cuma
kadang Z aja yang, emang Z nya aja yang agak kadang udah dicoba
masih ga paham, udah dicoba masih kayak gitu juga, jadi harus
ekstra lagi. Sebenarnya kalau mengatasi hambatan tu dah tau, dah
ngerti lah soalnya itu-itu aja hambatannya nyo.” (Z/W.2/B.349-
355).

4. Fokus pada tujuan

Fokus pada tujuan membuat partisipan melihat lebih jauh target apa

yang ingin dicapai dalam pembelajaran, hal ini membantu partisipan untuk

mengurangi perilaku yang tidak relevan dengan tujuan. Pada partisipan R

menjadi juara adalah tujuannya dalam melaksanakan ujian, tekanan yang

muncul karena ekspektasi nilai dapat membuat pikiran R merasa terbebani,

agar lebih tenang R melalui tuntutan tersebut dengan memperbanyak

ibadah.

“Yang pertama ya, pastinya salat kak. Salat, pasti salat duha,
tahajud, itu selalu kak. Trus ngaji juga pasti.” (R/W.1/B.344-345).

Ketika merasakan penurunan kepercayaan diri, partisipan R

berusaha melupakan pemikiran-pemikiran negatif terkait kemampuan

belajarnya, R mengingatkan bahwa ia harus menjadi diri sendiri dan fokus

pada tujuan, dengan begitu R mampu mengembalikan motivasi dan

meningkatkan kemampuan belajarnya.


70

“Iya, melupakan semua hal yang itu kak. Jadilah diri sendiri,
semangati diri sendiri.” (R/W.1/B.424-425).

“Motivasi diri, tingkatkan kak. Ngapain kamu di sini nih?”


(R/W.1/B.481).

“Ya terus meningkatkan kak, meningkatkan diri, meningkatkan skill


utamanya, trus a … meningkatkan belajar si kak itu aja.”
(R/W.1/B.486-487).

Fokus pada tujuan juga dianggap R efektif dalam menghalau

perasaan malas, R merenung untuk menemukan tujuan dan kemauannya

dalam belajar sehingga dapat mengarahkan diri supaya tidak lagi merasa

malas.

“R kalau malas memotivasi diri si kak.” (R/W.2/B.215).

“Seperti bikin tulisan, tu bisik-bisik dalam hati, iya kayak … ngapain


sih kamu kayak gini, gitu … mu mau gimana sih belajarnya gitu …”
(R/W.2/B.217-219).

Pada partisipan S menyampaikan bahwa bagaimanapun bentuk

hambatan yang ditemui, dirinya harus tetap menjalani dengan cara

meningkatkan motivasi dan fokus pada tujuan yang ingin dicapai.

“A … S jalanin aja walaupun mau gimana pun hambatannya, S


jalanin aja a … tingkatkan lagi motivasinya trus a … yang
terpenting sekarang untuk kelas dua belas ni yang paling penting S
pikirin tu masuk fakultasnya lagi, kak. Mama juga bilang S supaya
ya … usahain masuk negeri dulu, masuk fakultas yang bis ya …
meminimalisir pembiayaan yang mahal. Soalnya kuliah tu biayanya
ga main-main kak, jadi usahaiin nanti kalau bisa melalui nilai rapor
lah … gitu.” (S/W.2/B.190-197).

Sementara itu, partisipan Z mencontohkan bahwa dirinya memiliki

tujuan untuk mengurangi penggunaan ponsel selama belajar, Z berupaya

mengurangi perilaku tersebut dengan menghidupkan mode fokus,

mematikan data seluler, hingga memasukkan ponsel ke dalam tas. Upaya


71

ini dianggap Z efektif untuk memusatkan perhatiannya pada proses

pembelajaran.

“Kalau untuk main game, pokoknya aplikasi-aplikasi yang


menganggu pas pelajaran tu Z a … biasanya hidupin mode fokus di
handphone, jadi yang Z apain tu paling WA karena guru kan apa …
komunikasinya di sana ...” (Z/W.1/B.149-164).

“Z matik … matiin data pas lagi belajar tu, a … masukin hp ke


dalam tas. Kadang-kadang Z masukin hp tu kedalam tas, tapi yang
paling sering tu emang paket data Z matiin si.” (Z/W.1/B.301-303).

Fokus pada tujuan membantu Z mencapai target pembelajaran yang

diharapkan, tujuan dapat mendorong peningkatan manajemen waktu dan

inisiatif belajar mandiri sehingga upaya yang dilakukan Z dapat

mempertahankan tujuannya untuk meningkatkan grafik nilai.

“Senang sih, soalnya setidaknya rata-rata Z tu naik, e … apa di


semester selanjutnya tu naik gitu kan jadi kayak kan te … mau
masuk eligible mau masuk itu tu kan, kuota eligible tu kan grafik
nilai emang harus naik dan rata-rata nilai Z tu emang naik.”
(Z/W.1/B.421-425).

Selain itu, partisipan Z mengutarakan bahwa saat merasa jenuh ia

berusaha mengingat tujuan, merenungi perilaku belajar, dan

mempertimbangkan dampak yang akan dirasakan kedepannya, dengan

demikian Z mampu mengembalikan motivasi belajarnya.

“Tapi misalnya masa-masa jenuh kali tu kayak mikir kalau misalnya


kayak gini aja terus nanti kelas 12 susah, mau kuliah dimana. Nanti
adalah balik motivasi belajarnya lagi.” (Z/W.2/B. 121-124).
Partisipan Z juga mengutarakan tujuan kedepannya agar mampu

menangani hambatan dan meresistansi stres yang sering muncul, sehingga

proses belajarnya dapat berjalan dengan baik.


72

“Harapannya semoga a … hambatan dalam belajar Z tu berkurang


jadi Z gak gampang stres, engga banyak beban pikirannya di … di
pembelajaran. Pengennya tu kayak lancar jaya ajalah sekolahnya
pembelajaran ni, jadi biar kayak lancar ke depannya.”
(Z/W.2/B.383-387).

4.1.4 Analisis Sintesis Tema Penelitian

Tabel 4.7

Tema Superordinat Academic Buoyancy Siswa SMA di Kota Padang

No. Tema Terkait Tema Superordinat


1. Everyday hassles Peningkatan beban tugas
Materi pembelajaran semakin rumit
Target nilai meningkat
Tuntutan sekolah favorit
2. Coping Manajemen waktu
Berinisiatif belajar mandiri
Memandang hambatan secara optimis
Fokus pada tujuan
Bagan 4.1
Gambaran Academic Buoyancy pada Ketiga Partisipan
Fenomena:
Coping: Pemulihan krisis pembelajaran membuat siswa SMA Respon:
menghadapi hambatan lanjutan setelah masa
1. Manajemen waktu 1. Peningkatan beban tugas
pembelajaran daring. Academic buoyancy mendorong
R: belajar satu jam sehari sebelum bermain R: jenuh, bermain ponsel, menunda tugas.
siswa SMA untuk membentuk ketahanan dalam
game online, segera menyelesaikan tugas, S: bermain ponsel, menunda tugas.
menghadapi hambatan yang lazim ditemui dalam Z: kelelahan.
menyiapkan waktu luang.
konteks akademik, dalam prosesnya academic 2. Materi pembelajaran semakin rumit
S: memperbaiki waktu belajar, segera
buoyancy dipengaruhi oleh hambatan dan coping yang R: sulit memahami materi hitungan.
menyelesaikan tugas, mengerjakan tugas di
hari libur dengan selingan hiburan.
diterapkan. S: merasa diabaikan guru saat belum
Z: mengerjakan tugas dengan sistem menyicil. memahami materi di kelas.
2. Berinisiatif belajar mandiri Z: merasa kemampuannya terbatas terlepas
R: belajar dengan sumber buku, bertanya pada Everyday hassles: apapun usaha yang dilakukan.
guru dan les. 3. Target nilai meningkat
S: berusaha memahami sendiri, belajar dengan 1. Peningkatan beban tugas R: tertekan melalui masa ujian karena ingin
sumber buku dan internet, bertanya pada guru, 2. Materi pembelajaran semakin rumit jadi juara, menyalahkan diri saat nilai turun.
teman, dan les. S: tertekan karena tidak maksimal mejawab
3. Target nilai meningkat
Z: berusaha memahami sendiri, menggunakan soal-soal ujian, tertekan saat materi yang tidak
4. Tuntutan sekolah favorit dipahami muncul saat ujian, mencemaskan
aplikasi belajar, bertanya saat les.
3. Memandang hambatan secara optimis nilai, stres.
R: meskipun kesulitan pasti manfaat di masa Z: mengkhawatirkan nilai terus-menerus,
depan. Keinginan untuk Dampak: rentan mengalami stres, merasa lelah dan
S: menjadi motivasi untuk berubah ke arah jenuh.
memperbaiki 1. Penurunan nilai
yang lebih baik. 4. Tuntutan sekolah favorit
perilaku belajar. 2. Peningkatan
4. Fokus pada tujuan R: merasa jadwal sekolah lebih padat
R: merenungi kembali tujuan di masa depan, stres dibanding sekolah lain, membandingkan diri
memotivasi diri. 3. Penurunan dengan siswa lain.
S: fokus pada tujuan dengan meningkatkan Ada peningkatan nilai kepercayaan diri S: tertekan, merasa diabaikan guru jika tidak
motivasi. dan perubahan perilaku masuk universitas ternama, membandingkan
Z: menyiapkan upaya untuk mencapai tujuan belajar ke arah positif. diri dengan siswa lain.
belajar. Z: tertekan memenuhi tuntutan sekolah.

73
74

4.2 Pembahasan

Academic buoyancy merupakan kemampuan siswa untuk berhasil

menangani hambatan dan kemunduran akademik yang lazim ditemui pada

kehidupan sekolah (Martin & Marsh, 2008). Siswa dengan tingkat academic

buoyancy rendah akan kesulitan dalam menghadapi hambatan-hambatan dan

kemunduran akademik. Sementara itu, siswa dengan tingkat academic buoyancy

yang tinggi mampu menghadapi hambatan dan kemunduran akademik (Martin &

Marsh, 2019). Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana

gambaran academic buoyancy siswa SMA di kota Padang pada masa pemulihan

krisis pembelajaran. Berdasarkan analisis hasil wawancara terhadap ketiga

partisipan penelitian, dirumuskan dua tema utama yang menggambarkan academic

buoyancy siswa SMA di kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran.

Kedua tema tersebut adalah everyday hassles dan coping.

Everyday hassles mencerminkan hambatan yang dihadapi siswa sehari-hari

dalam prose belajar (Martin & Marsh, 2008). Berdasarkan analisis hasil wawancara

adapun bentuk-bentuk everyday hassles yang ditemukan pada ketiga partisipan

penelitian ini yaitu peningkatan beban tugas, materi pembelajaran semakin rumit,

target nilai meningkat, dan tuntutan sekolah favorit. Tema kedua yaitu coping,

upaya siswa dalam mengelola situasi yang penuh hambatan (Martin & Marsh,

2008). Adapun upaya-upaya yang diterapkan partisipan dalam menangani

hambatan yang kerap ditemui selama proses belajar yaitu manajemen waktu,

berinisiatif belajar mandiri, memandang hambatan secara optimis, dan fokus pada

tujuan. Hambatan yang ditemui tanpa ada kemampuan untuk menanganinya dapat
75

mendatangkan resiko berupa terjadinya kemunduran akademik, hal ini dapat

mempengaruhi kualitas academic buoyancy karena hambatan-hambatan yang

ditemui dapat membatasi potensi siswa untuk terus maju dan berkembang (Martin

& Marsh, 2009).

Peningkatan beban tugas menjadi hambatan karena membuat partisipan

merasa jenuh sehingga muncul kecenderungan untuk menunda-nunda pengerjaan

tugas. Sejalan dengan itu, Sholihat dkk. (2023) menjelaskan bahwa perasaan jenuh

membuat siswa tidak berkeinginan untuk mengerjakan tugas sekolah yang berujung

pada perilaku menunda-nunda. Saat merasa jenuh mayoritas partisipan berusaha

meminimalisir kondisi tersebut dengan bermain ponsel, namun tidak adanya

kontrol membuat perilaku bermain ponsel menjadi tidak terkendali. Menurut Pande

dan Marheni (2015) ketika siswa fokus bermain ponsel mereka cenderung

mengabaikan prioritas utama terkait tugas-tugas sekolah. Ketiga partisipan

menjelaskan bahwa pilihan mengabaikan pembelajaran untuk mengakses lebih

banyak hiburan membuat dampak lanjutan muncul seperti kehilangan fokus, cemas

dengan nilai, hingga memicu terjadinya stres. Penelitian Ursia (2013) memaparkan

bahwa siswa yang menunda-nunda penyelesaian tugas cenderung mengalami stres,

sulit berkonsentrasi, serta diliputi kecemasan untuk menyelesaikan tugas di waktu

batas akhir pengumpulan.

Karena adanya dampak lanjutan, ketiga partisipan berupaya menangani

persoalan tersebut dengan strategi manajemen waktu. Partisipan dalam penelitian

ini menyadari bahwa prioritas mereka adalah fokus pada pembelajaran, sehingga

berusaha untuk membagi waktu antara belajar dengan hiburan, mengerjakan tugas
76

sesegera mungkin, atau mengerjakan tugas dengan sistem cicilan. Upaya yang

dilakukan membuat partisipan dapat meminimalisir perilaku negatif saat belajar,

beban tugas lebih ringan, dan membuatnya lebih fokus pada hal-hal prioritas. Selain

itu partisipan juga fokus pada tujuannya, hal ini dicontohkan pada target perilaku

partisipan Z yang ingin mengurangi waktu bermain ponsel saat belajar, untuk

mencapainya Z berusaha menghidupkan mode fokus dan mematikan data seluler

sehingga lebih fokus dalam belajar. Menurut Pande dan Marheni (2015) dengan

melihat skala prioritas, siswa mampu memanajemen waktu untuk pembelajaran dan

melihat keterkaitan tindakan dengan hal-hal yang ingin dicapai, kemudian fokus

pada tujuan dapat mendorong siswa untuk mempertahankan skala prioritasnya.

Hambatan berikutnya yang ditemukan adalah materi pembelajaran yang

semakin rumit sehingga siswa kesulitan dalam memahami beberapa materi

pembelajaran. Martin dan Marsh (2008) menjabarkan bahwa kesulitan memahami

materi pembelajaran merupakan suatu kondisi yang menjadi hambatan dalam

pencapaian academic buoyancy. Pada partisipan R sulit memahami materi terjadi

karena pada materi tertentu butuh waktu lebih lama untuk dipahami, penjelasan

guru terlalu cepat, hingga tulisan guru yang sulit dibaca. Partisipan S merasa

cenderung diabaikan jika tidak paham disaat mayoritas temannya paham.

Sementara itu, pada Z kesulitan memahami materi membuatnya merasa stres dan

rendah diri. Meningkatkan keterampilan belajar membuat siswa dapat menguasai

lebih banyak konten materi sehingga mendorong peningkatan pemahaman belajar

siswa, namun siswa jurusan IIS dan MIPA memiliki keterampilan belajar yang

berbeda (Hayati & Sujadi, 2018).


77

Telaah lebih lanjut, Turhusna dan Solatun (2020) memaparkan bahwa

pemahaman siswa dalam belajar bervariasi dikarenakan adanya perbedaan

individual, perbedaan tersebut mendasari persoalan kesulitan memahami materi

ketika menghadapi materi pembelajaran yang semakin rumit. Hambatan tersebut

ditangani ketiga partisipan dengan upaya untuk berinisiatif belajar mandiri dimana

ketiga partisipan mengandalkan diri untuk mempelajari materi yang dianggap sulit,

bertanya pada guru atau les, hingga menggunakan bantuan dari sumber lain berupa

internet ataupun buku bacaan, dengan upaya tersebut ketiga partisipan merasa

terbantu untuk meningkatkan pemahamannya terkait materi yang sulit. Sejalan

dengan pemaparan Zakaria dan Ibrahim (2018) belajar mandiri mendorong siswa

untuk menganalisis kebutuhan dan strategi belajar yang sesuai, karakteristik siswa

yang belajar mandiri adalah berusaha mempelajari dengan bergantung pada diri

sendiri, jika kesulitan barulah siswa berusaha berdiskusi atau menggunakan sumber

lain, dengan upaya tersebut siswa dapat meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan belajar.

Selanjutnya, adanya target nilai juga dapat menjadi hambatan bagi ketiga

partisipan. Pada partisipan R merasa target nilai dapat menjadi tuntutan yang

menekan sehingga memunculkan beban pikiran. Partisipan S dan Z

mengkhawatirkan nilai terus menerus saat berkutat dengan ujian dan tugas, kondisi

tersebut menjadi tekanan yang membuat partisipan rentan mengalami stres.

Menurut Wardana dan Dinata (2016) Sebagai bekal untuk melanjutkan jenjang

pendidikan ke perguruan tinggi, nilai rapor menjadi aspek penting sehingga tak

jarang siswa mengalami stres karena dituntut untuk memiliki nilai terbaik. Stres
78

terjadi karena adanya respon negatif baik fisik, perilaku, pikiran, dan emosi

terhadap tuntutan akademik (Barseli & Ifdil, 2017).

Berdasarkan hasil wawancara ketiga partisipan berupaya untuk

meningkatkan intensitas belajar dan menyesuaikan sistem penilaian, namun

partisipan cenderung mengabaikan stres yang muncul ketika upaya yang dilakukan

tidak sesuai dengan target yang diharapkan. Misalnya pada partisipan Z yang ingin

meningkatkan nilai, Z belajar mandiri dan fokus pada penilaian tugas namun saat

pemahamannya terkait materi tidak begitu optimal untuk menunjang tujuannya, Z

cenderung merasa stres sehingga upaya tersebut tidak efektif menangani

hambatannya. Tuntutan penilaian akademik dapat menjadi hambatan ketika siswa

tidak mampu mentransformasinya menjadi tantangan dalam memacu kinerja

pembelajaran (Martin & Marsh, 2008). Menurut Pramesta dan Dewi (2021) saat

menangani tuntutan perlu adanya reframing, yaitu mengubah pikiran negatif

menjadi positif, sehingga siswa mentransformasi hambatan menjadi tantangan

untuk meningkatkan kinerja belajar bukan menjadikan tuntutan sebagai beban

pembelajaran.

Teknik reframing ditemukan efektif dalam menangani permasalahan pada

partisipan R dan S, dimana saat menemui tugas sulit R berusaha berpikiran positif

dan melihat kebermanfaatan yang diperoleh, sehingga tugas tersebut dapat

diselesaikan secara optimal. Sementara itu, partisipan Z kesulitan mempersepsikan

hambatan dari sudut pandang positif karena merasa terganggu dengan hambatan itu

sendiri dan beberapa upaya yang diterapkan tidak bekerja secara optimal sehingga

Z rentan mengalami stres. Menurut Barseli dkk. (2017) siswa yang tidak memiliki
79

keyakinan bahwa dirinya mampu menangani hambatan cenderung rentan

mengalami stres, sehingga pola pikir memainkan peran penting dalam memaknai

situasi yang dihadapi.

Hambatan selanjutnya yang ditemui ketiga partisipan adalah tuntutan

sekolah favorit, tuntutan dari sekolah mengharapkan partisipan dan siswa lainnya

untuk berprestasi, meningkatkan nilai, dan diterima di universitas ternama.

Tuntutan pada siswa mengarah pada persaingan belajar, sehingga siswa mengalami

kekhawatiran terkait pencapaian akademik (Barseli dkk., 2018). Mayoritas

partisipan merasakan bahwa tuntutan sekolah membuat memunculkan orientasi

bahwa siswa yang baik harus berprestasi, meskipun dapat menjadi pacuan semangat

namun ada kalanya siswa cenderung membandingkan kemampuan dengan siswa

lain sehingga partisipan menjadi tidak percaya diri dengan kemampuan yang

dimiliki. Menurut Tanjung dan Amelia (2017) siswa yang tidak percaya diri

memiliki konsep diri negatif dan cenderung kurang mempercayai kemampuan yang

dimilikinya. Terlihat dari partisipan R yang mempertanyakan kemampuannya, S

merasa kemampuannya tidak sebaik teman-teman, dan Z merasa tidak mumpuni

saat mempelajari beberapa materi. Penelitian Fiorentika dkk. (2016) memaparkan

bahwa teknik self-instruction, yaitu persuasi verbal secara berulang-ulang, efektif

untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa.

Temuan lainnya pada penelitian ini adanya hambatan-hambatan

pembelajaran yang bersumber dari faktor pendukung. Berdasarkan hasil wawancara

pada ketiga partisipan ditemukan bahwa faktor pendukung misalnya ponsel yang

dimanfaatkan sebagai fasilitas pembelajaran dapat disalahgunakan untuk


80

mengakses hiburan tanpa manajemen waktu yang jelas sehingga mengabaikan

prioritas pembelajaran. Tidak hanya itu, contoh lainnya pada partisipan S dimana

adanya dukungan belajar tambahan dengan mengikuti les dapat menjadi tekanan

dalam menyelesaikan soal-soal ujian, karena merasa dituntut untuk maksimal saat

dirinya tidak menggemari mata pelajaran tertentu yang diikutsertakan les. Selain

itu, ada coping yang diterapkan ketiga partisipan cenderung kurang efektif dalam

menangani hambatan yaitu coping avoidance, berusaha melepaskan diri dari

sumber hambatan dengan melakukan kegiatan lain (Folkman & Lazarus, 1988). Hal

tersebut terlihat dari perilaku partisipan saat merasa jenuh di tengah pembelajaran,

partisipan berupaya menghilangkan rasa jenuh dengan bermain ponsel sehingga

membawa dampak lanjutan seperti kehilangan fokus belajar. Sehubungan dengan

itu, Fatchuroji dkk. (2023) menjelaskan bahwa akan lebih efektif jika disaat merasa

jenuh, siswa diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, meditasi,

mengurangi distraksi, dan menerapkan metode belajar yang sesuai agar tetap

mempertahankan konsentrasi belajar.

Berdasarkan pemaparan diatas bentuk-bentuk everyday hassles yang

ditemui partisipan pada masa pemulihan krisis pembelajaran memang menjadi

persoalan dan memunculkan dampak-dampak lanjutan, akan tetapi dengan adanya

coping partisipan mampu mentransformasi hambatan menjadi dorongan untuk

memperbaiki diri sehingga berkembang ke arah yang positif. Sejalan dengan itu,

academic buoyancy membentuk ketahanan siswa saat menghadapi hambatan

karenanya dapat terus berproses dan tidak membatasi potensinya untuk terus maju

dan berkembang (Martin & Marsh, 2006, 2008, 2009).


81

Selanjutnya dari hasil penelitian, academic buoyancy partisipan R

cenderung efektif dalam menangani hambatan belajar sebab R memiliki coping

tidak hanya dalam bentuk tindakan seperti belajar satu jam sehari sebelum bermain

ponsel, namun juga ada coping untuk menangani masalah psikologis seperti

memperbanyak ibadah saat merasa tidak tenang dan memberi afirmasi positif saat

motivasi belajar menurun sehingga hasil yang terlihat, R mampu meningkatkan

nilai dan ranking pada setiap semester. Menurut Hirnoven (2020) academic

buoyancy dapat membangun perilaku dan keyakinan siswa sehingga lebih optimis

dalam merespon hambatan akademik.

Academic buoyancy pada partisipan S juga cenderung efektif dalam

membantu menangani hambatan pembelajaran, coping yang diterapkan S dapat

meminimalisir perilaku negatif dalam belajar seperti berkurangnya kebiasaan

menunda-nunda pengerjaan tugas, meskipun tidak banyak coping pada masalah

psikologis namun S mampu menjadi adaptif dalam menyesuaikan diri dengan

situasi yang tidak diharapkan seperti pemilihan jurusan, saat merasa

kemampuannya tidak cukup bersaing S memilih jurusan yang lebih relevan dengan

kemampuannya dan saat ranking menurun S memilih untuk lebih fokus pada

peningkatan rata-rata nilai. Putwain dkk. (2012) menjelaskan bahwa academic

buoyancy mendorong siswa untuk membentuk sikap keseharian yang positif dan

mampu beradaptasi ketika menemui hambatan dalam proses belajar.

Sementara itu, academic buoyancy pada partisipan Z cenderung kurang

efektif untuk membantu Z menangani hambatan pembelajaran, meskipun telah

menerapkan beberapa strategi atau upaya namun ada kalanya Z tidak memperoleh
82

hasil sesuai harapan seperti kesulitan memahami materi hingga saat ini Z masih

sering menemui situasi tersebut meskipun sudah berusaha belajar mandiri. Karena

itu, Z merasa tidak memiliki kemampuan yang mumpuni dalam belajar dan

khawatir terus-menerus terhadap nilai rapor, padahal nilai akademis Z tergolong

cukup baik dibandingkan S. Hal itu menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk

menangani hambatan namun respon Z terhadap hambatan itu sendiri cenderung

negatif, sulit menerima sehingga rentan mengalami stres, karena itu academic

buoyancy pada Z cenderung kurang efektif dibandingkan dua partisipan lainnya.

Sehubungan dengan itu, Analya (2014) memaparkan bahwa respon siswa dalam

menanggapi hambatan dapat tercermin dari academic buoyancy yang dimiliki,

siswa dengan derajat academic buoyancy yang tinggi memiliki kemampuan untuk

mampu mengatasi kecemasan saat menghadapi hambatan yang muncul selama

pembelajaran serta melihat gagal atau suksesnya suatu hasil bergantung pada upaya

yang diterapkan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran academic buoyancy siswa

SMA di kota Padang pada masa pemulihan krisis pembelajaran. Berdasarkan

analisis hasil wawancara dari ketiga partisipan penelitian ini, gambaran academic

buoyancy dapat dilihat dari dari dua tema. Tema pertama everyday hassles yaitu

menggambarkan hambatan yang dihadapi siswa sehari-hari dalam proses belajar.

Bentuk hambatan yang ditunjukkan adalah peningkatan beban tugas, materi

pembelajaran semakin rumit, tuntutan standar nilai, dan lingkungan belajar

kompetitif. Tema kedua adalah coping yaitu menggambarkan upaya siswa dalam

mengelola situasi yang penuh tekanan. Bentuk upaya yang dilakukan ketiga

partisipan adalah dengan manajemen waktu, berinisiatif belajar mandiri, dan fokus

pada tujuan.

5.2 Saran

5.2.1 Saran Metodologis

1. Penelitian selanjutnya yang ingin meneliti topik serupa diharapkan

sebisa mungkin menambahkan significant others seperti guru atau orang

tua untuk mengkonfirmasi data yang didapat karena ada kemungkinan

perbedaan pandangan dari significant others terkait perilaku belajar

partisipan yang dapat digunakan sebagai referensi untuk

mengkonfirmasi dan memperkaya sumber data penelitian.

83
84

2. Peneliti selanjutnya yang ingin meneliti gambaran academic buoyancy

menggunakan metode penelitian kualitatif diharapkan dapat

membangun lebih banyak rapport agar partisipan lebih terbuka dalam

proses wawancara sehingga peneliti dapat menggali lebih banyak

pengalaman-pengalaman partisipan.

3. Peneliti selanjutnya dapat menambahkan metode observasi saat

pengambilan data untuk memperdalam perilaku yang ditunjukkan

partisipan selama proses pembelajaran berlangsung.

4. Peneliti selanjutnya yang ingin meneliti topik serupa diharapkan dapat

mengambil partisipan dengan latar sekolah yang lebih beragam

sehingga dapat melihat bagaimana perbedaan lingkungan, tuntutan, dan

sistem sekolah dapat mempengaruhi academic buoyancy siswa.

5.2.2 Saran Praktis

1. Manajemen waktu dapat membantu siswa membagi skala prioritas

untuk fokus pada tugas yang harus diselesaikan.

2. Saat menghadapi hambatan belajar akan lebih efektif jika siswa

menerapkan coping stress adaptif dibanding coping stress maladaptif,

ketika menerapkan coping stress maladaptif siswa cenderung menemui

masalah lanjutan.

3. Memandang hambatan secara optimis mendorong siswa untuk

berpikiran positif sehingga meminimalisir perasaan negatif yang

muncul saat menemui hambatan belajar.


DAFTAR PUSTAKA

Abid, M., Kanwal, S., Nasir, M. A., Iqbal, S., & Huda, N. (2016). The Effect of
Locus of Control on Academic Performance of the Students at Tertiary
level. International Review of Management and Business Research, 5(3),
860-869. https://doi.org/10.30543/IRMBR
Analya, P. (2014). Studi deskriptif mengenai derajat academic buoyancy pada siswa
kelas XII di SMA ‘X’ Bandung. Jurnal Psikologi Humanitas, 1(1), 45-54.
https://doi.org/10.28932/humanitas
Anderman, L. H. (2003). Academic and social perceptions as predictors of change
in middle school students' sense of school belonging. The Journal of
Experimental Education, 72(1), 5-22.
http://dx.doi.org/10.1080/00220970309600877
Anderson, R. C., Beach, P. T., Jacovidis, M. J. N., & Chadwick, K. L. (2020).
Academic buoyancy and resilience for diverse students around the
world. Inflexion.
Astuti, D. (2016). Anxiety: Apa dan bagaimana? The Progresive and Fun
Education Seminar, 495-499.
Azwar, S. (2018). Metode penelitian psikologi (2nd ed). Pustaka Belajar.
Badan Pusat Statistik. (2020). Potret pendidikan Indonesia: Statistik pendidikan
Indonesia 2020.
https://www.bps.go.id/publication/2020/11/27/347c85541c34e7dae54395a
3/statistik-pendidikan-2020.html
Badan Pusat Statistik. (2021). Potret pendidikan Indonesia: Statistik pendidikan
Indonesia 2021.
https://www.bps.go.id/publication/2021/11/26/d077e67ada9a93c99131bcd
e/statistik-pendidikan-2021.html
Badan Pusat Statistik. (2022). Potret pendidikan Indonesia: Statistik pendidikan
Indonesia 2022.
https://www.bps.go.id/publication/2022/11/25/a80bdf8c85bc28a4e656666
1/statistik-pendidikan-2022.html
Bahr, Nan., & Pendergast, Donna. (2007). The millennial adolescent. Australian
Council for Educational Research press.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. W.H. Freeman and
Company. Bank dunia soroti learning loss RI akibat pandemi. (2021,
September 18). CNN Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210917131430-20-
695727/bank-dunia-soroti-learning-loss-ri-akibat-pandemi

85
86

Barseli, M., Ahmad, R., & Ifdil, I. (2018). Hubungan stres akademik siswa dengan
hasil belajar. Jurnal EDUCATIO: Jurnal Pendidikan Indonesia, 4(1), 40-
47. http://dx.doi.org/10.29210/120182136
Barseli, M., Ifdil, I., & Nikmarijal, N. (2017). Konsep stres akademik siswa. Jurnal
Konseling dan Pendidikan, 5(3), 143-148. https://doi.org/10.29210/119800
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. (2018). Kemendikbud dorong pemda terapkan PPDB yang
semakin akuntabel dan nondiskriminatif.
Bostwick, K. C., Martin, A. J., Collie, R. J., Burns, E. C., Hare, N., Cox, S., ... &
McCarthy, I. (2022). Academic buoyancy in high school: A cross-lagged
multilevel modeling approach exploring reciprocal effects with perceived
school support, motivation, and engagement. Journal of Educational
Psychology. https://doi.org/10.1037/edu0000753
Cassidy, S. (2016). The academic resilience scale (ARS-30): A new
multidimensional construct measure. Frontiers in Psychology, 7(1787).
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2016.01787
Colmar, S., Liem, G. A. D., Connor, J., & Martin, A. J. (2019). Exploring the
relationships between academic buoyancy, academic self-concept, and
academic performance: a study of mathematics and reading among primary
school students. Educational Psychology, 39(8), 1068-1089.
https://doi.org/10.1080/01443410.2019.1617409
Creswell, J. W. (2013). Qualitative inquiry and research design: choosing among
five approaches (3rd ed). Sage Publications.
Datu, J. A. D., & Yang, W. (2021). Academic buoyancy, academic motivation, and
academic achievement among Filipino high school students. Current
Psychology, 40, 3958-3965. https://doi.org/10.1007/s12144-019-00358-y
Datu, J. A. D., & Yuen, M. (2018). Predictors and Consequences of Academic
Buoyancy: a Review of Literature with Implications for Educational
Psychological Research and Practice. Contemporary School
Psychology, 22, 207-212. https://doi.org/10.1007/s40688-018-0185-y
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang. (2021). Profil pendidikan 2020.
https://disdik.padang.go.id/userfiles/file/Profil%20Pendidikan/2020/PROF
IL%20PENDIDIKAN%202020.pdf
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padang. (2022). Profil pendidikan 2021.
https://disdik.padang.go.id/userfiles/file/Profil%20Pendidikan/2021/PROF
IL%20PENDIDIKAN%202021.pdf
Dorn, E., Hancock, B., Sarakatsannis, J., & Viruleg, E. (2020). Covid-19 and
learning loss: disparities grow and student need help. McKinsey Global
Publishing.
87

Dorn, E., Hancock, B., Sarakatsannis, J., & Viruleg, E. (2021). Covid-19 and
education: the lingering effect of unfinished learning. McKinsey Global
Publishing.
Fatchuroji, A., Yunus, S., Jamal, M., Somelok, G., Yulianti, R., & Sihombing, M.
(2023). Pengaruh Tingkat Konsentrasi Terhadap Hasil Belajar. Journal on
Education, 5(4), 13758-13765. https://doi.org/10.31004/joe.v5i4.2388
Fiorentika, K., Santoso, D. B., & Simon, I. M. (2016). Keefektifan teknik self-
instruction untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa SMP. Jurnal Kajian
Bimbingan dan Konseling, 1(3), 104-111.
http://dx.doi.org/10.17977/um001v1i32016p104
Fitri, S. F. N. (2021). Problematika kualitas pendidikan di Indonesia. Jurnal
Pendidikan Tambusai, 5(1), 1617-1620.
Folkman & Lazarus (1988) Folkman S, Lazarus RS. Coping as a mediator of
emotion. Journal of Personality and Social Psychology. 1988;54:466–475.
https://doi.org/10.1037/0022-3514.54.3.466
Fredricks, J. A., Blumenfeld, P. C., & Paris, A. H. (2004). School engagement:
Potential of the concept, state of the evidence. Review of educational
research, 74(1), 59-109. https://doi.org/10.3102/00346543074001059
Frymier, A. B., & Houser, M. L. (2000). The teacher‐student relationship as an
interpersonal relationship. Communication education, 49(3), 207-219.
https://doi.org/10.1080/03634520009379209
Furqoniyyah, T., & Rozas, I. S. (2022). Analisa terhadap kemungkinan learning
loss di pondok pesantren tahfidhil qur’an al-ma’arij Jombang. Jurnal
Eduscience, 7(2), 128-134.
Groccia, J. E. (2018). What is student engagement? New directions for teaching
and learning, 2018(154), 11-20. https://doi.org/10.1002/tl.20287
Guo, J. P., Yang, L. Y., Zhang, J., & Gan, Y. J. (2022). Academic self-concept,
perceptions of the learning environment, engagement, and learning
outcomes of university students: relationships and causal ordering. Higher
Education, 83, 809-828. https://doi.org/10.1007/s10734-021-00705-8
Hadi, S., & Farida, F. S. (2012). Pengaruh minat, kemandirian, dan sumber belajar
terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran IPS kelas VII SMP
Negeri 5 Ungaran. Dinamika Pendidikan, 7(1).
https://doi.org/10.15294/dp.v7i1.4913
Hanafiah, H., Sauri, R. S., Mulyadi, D., & Arifudin, O. (2022). Penanggulangan
dampak learning loss dalam meningkatkan mutu pembelajaran pada sekolah
menengah atas. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(6), 1816-1823.
https://doi.org/10.54371/jiip.v5i6.642
88

Harlina, N. (2021). Pembelajaran tatap muka di tengah PPKM level 4 kota Padang.
Liputan6. https://www.liputan6.com/regional/read/4678523/pembelajaran-
tatap-muka-di-tengah-ppkm-level-4-kota-padang
Hayati, I. R., & Sujadi, E. (2018). Perbedaan keterampilan belajar antara siswa IPA
dan IPS. Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan, 14(1), 1-10.
https://doi.org/10.32939/tarbawi.v14i1.250
Hermanto, B. (2020). Perekayasaan sistem pendidikan nasional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Foundasia, 11(2), 52-59.
https://doi.org/10.21831/jjpip.v13i1.100000
Hirvonen, R., Putwain, D. W., Määttä, S., Ahonen, T., & Kiuru, N. (2020). The role
of academic buoyancy and emotions in students learning‐related
expectations and behaviours in primary school. British Journal of
Educational Psychology, 90(4), 948–
963. https://doi.org/10.1111/bjep.12336
Howard, S., & Johnson, B. (2000). What makes the difference? Children and
teachers talk about resilient outcomes for children at risk. Educational
studies, 26(3), 321-337. https://doi.org/10.1080/03055690050137132
Irawati, R., & Fahmawati, Z. N. (2023). Hubungan antara regulasi diri dalam belajar
dengan stres akademik siswa saat PTMT pada kelas XI di SMAN 1
Wonoayu.
Jerusalem, M., & Mittag, W. (1995). Self-efficacy in stressful life transitions. In A
Bandura (Ed.), Self-Efficacy in Changing Societies (pp. 177-201).
Cambridge University Press.
https://doi.org/10.1017/CBO9780511527692.008
Kahija, YF. L. (2017). Penelitian fenomenologis: jalan memahami pengalaman
hidup. PT Kanisius
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2022). Laporan
kinerja 2021.
https://kemdikbud.go.id/main/files/download/8504073353c0656
Lerner, R. M., & Steinberg, L. (2009). Handbook of adolescent psychology, volume
1: Individual bases of adolescent development (3rd ed). John Wiley & Sons.
Levine, G. (2008). A Foucaultian approach to academic anxiety. Educational
studies, 44(1), 62-76. https://doi.org/10.1080/00131940802225101
Lianto, L. (2019). Self-efficacy: A brief literature review. Jurnal Manajemen
Motivasi, 15(2), 55-61. http://dx.doi.org/10.29406/jmm.v15i2.1409
Marlina, M. (2020). Strategi pembelajaran berdiferensiasi di sekolah inklusif. Cv.
Afifa Utama.
Martin, A. J. (2013). Academic buoyancy and academic resilience: Exploring
everyday and classic resilience in the face of academic adversity. School
89

Psychology International, 34(5), 488-500.


https://doi.org/10.1177/0143034312472759
Martin, A. J., & Marsh, H. W. (2006). Academic resilience and its psychological
and educational correlates: A construct validity approach. Psychology in the
Schools, 43(3), 267-281. https://doi.org/10.1002/pits.20149
Martin, A. J., & Marsh, H. W. (2008). Academic buoyancy: Towards an
understanding of students everyday academic resilience. Journal of school
psychology, 46(1), 53-83. http s://doi.org/10.1016/j.jsp.2007.01.002
Martin, A. J., & Marsh, H. W. (2009). Academic resilience and academic buoyancy:
Multidimensional and hierarchical conceptual framing of causes, correlates
and cognate constructs. Oxford Review of Education, 35(3), 353-370.
https://doi.org/10.1080/03054980902934639
Martin, A. J., & Marsh, H. W. (2019). Investigating the reciprocal relations between
academic buoyancy and academic adversity: Evidence for the protective
role of academic buoyancy in reducing academic adversity over time.
International Journal of Behavioral Development, 44(4), 301-312.
https://doi.org/10.1177/0165025419885027
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
(2022). Surat keputusan nomor 262/M/2022 tentang perubahan atas
keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor
56/M/2022 tentang pedoman penerapan kurikulum dalam rangka pemulihan
pembelajaran.
Miller, S., Connolly, P., & Maguire, L. K. (2013). Wellbeing, academic buoyancy
and educational achievement in primary school students. International
Journal of Educational Research, 62, 239-248.
https://doi.org/10.1016/j.ijer.2013.05.004
Moleong, L. J. (2018). Metodologi penelitian kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
Munawaroh, E., & Nurmalasari, Y. (2021). Student resilience after pandemic:
learning loss recovery. Psikoeduko: Jurnal Psikologi Edukasi dan
Konseling, 1(2), 1-10.
Ningsih, L. F., & Ifdil, I. (2023). Conditions of learning loss in students during the
pandemic covid-19. Current Issues in Counseling, 1(1).
Novanti, N. T., Anggraeni, N. K., Utami, W. B., Alam, B. F., Fatoni, M., & Ajarini,
T. (2022). Problematika Pembelajaran Tatap Muka Terbatas Pada Siswa
Sekolah Dasar. Pituruh News.
https://www.pituruhnews.com/2022/06/problematika-pembelajaran-tatap-
muka.html
Nugraha, T. S. (2022). Kurikulum merdeka untuk pemulihan krisis
pembelajaran. Inovasi Kurikulum, 19(2), 250-261.
90

Ohannessian, C. M., Vannucci, A., Lincoln, C. R., Flannery, K. M., & Trinh, A.
(2019). Self‐competence and depressive symptoms in middle–late
adolescence: Disentangling the direction of effect. Journal of Research on
Adolescence, 29(3), 736-751. https://doi.org/10.1111/jora.12412
Oktarina, N. (2007). Peranan pendidikan global dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Dinamika Pendidikan Unnes, 2(3), 189-198.
Pande, N. P. A. M., & Marheni, A. (2015). Hubungan kecanduan game online
dengan prestasi belajar siswa SMP Negeri 1 Kuta. Jurnal Psikologi
Udayana, 2(2), 163-171. http://dx.doi.org/10.24843/JPU.2015.v02.i02.p05
Pianta, R. C., Hamre, B. K., & Allen, J. P. (2012). Teacher-student relationships
and engagement: Conceptualizing, measuring, and improving the capacity
of classroom interactions. In Handbook of research on student
engagement (pp. 365-386). Springer. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-
2018-7_17
Poerwandari E. K. (2018). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Pramesta, D. K., & Dewi, D. K. (2021). Hubungan Antara Efikasi Diri dengan Stres
Akademik pada Siswa di SMA X. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(7), 23-33.
Presiden Republik Indonesia. (2022). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 4 tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 57
tahun 2021 tentang standar nasional pendidikan.
Putwain, D. W., Connors, L., Symes, W., & Douglas-Osborn, E. (2012). Is
academic buoyancy anything more than adaptive coping?. Anxiety, Stress &
Coping, 25(3), 349-358. https://doi.org/10.1080/10615806.2011.582459
Putwain, D. W., Gallard, D., & Beaumont, J. (2020). Academic buoyancy protects
achievement against minor academic adversities. Learning and Individual
Differences, 83-84, 101936. https://doi.org/10.1016/j.lindif.2020.101936
Saputra, E. H. (2020, Juni 22). Kemendikbud: Mayoritas siswa hanya belajar 2 jam
per hari di rumah. KumparanNEWS.
https://kumparan.com/kumparannews/kemendikbud-mayoritas-siswa-
hanya-belajar-2-jam-per-hari-di-rumah-1tf7e33sCsY/full
Sarid, A. (2017). A theory of education. Cambridge Journal of Education, 48(4),
479-494. https://doi.org/10.1080/0305764X.2017.1356267
Seiring anak-anak Indonesia kembali ke sekolah, UNICEF serukan tindakan segera
untuk mengatasi krisis pembelajaran. (2022, Juli 13). UNICEF Indonesia.
https://www.unicef.org/indonesia/id/press-releases/seiring-anak-anak-
indonesia-kembali-ke-sekolah-unicef-serukan-tindakan-segera-untuk
Sholihat, R. N., Irwandi, D., & Nurulita, S. A. (2023). Hubungan student burnout
dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa pendidikan kimia selama
91

pembelajaran dalam jaringan. Dalton: Jurnal Pendidikan Kimia dan Ilmu


Kimia, 6(2), 144-151. http://dx.doi.org/10.31602/dl.v6i2.10625
Siswantari, S., Sumantri, D., & Suryawati, D. (2020). Solusi kontekstual untuk
mengurangi mengulang kelas dan putus sekolah di sekolah dasar. Pusat
Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
https://repositori.kemdikbud.go.id/21377/
Spilt, J. L., Hughes, J. N., Wu, J. Y., & Kwok, O. M. (2012). Dynamics of teacher–
student relationships: Stability and change across elementary school and the
influence on children’s academic success. Child development, 83(4), 1180-
1195. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2012.01761.x
Steinberg, L. (2005). Adolescence. McGraw-Hill Higher Education
Suh, S., & Suh, J. (2006). Educational engagement and degree attainment among
high school dropouts. Educational Research Quarterly, 29(3), 11-20.
Sujadi, E. (2020). Locus of control and student achievement. Indonesian Journal of
Counseling and Development, 2(1), 52-58.
https://doi.org/10.32939/ijcd.v2i01.872
Syahabuddin, K., Fhonna, R., & Maghfirah, U. (2020). Teacher-student
relationships: An influence on the English teaching-learning
process. Studies in English Language and Education, 7(2), 393-406.
https://doi.org/10.24815/siele.v7i2.16922
Tanjung, Z., & Amelia, S. (2017). Menumbuhkan kepercayaan diri siswa. Jurnal
Riset Tindakan Indonesia, 2(2), 1-4.
http://dx.doi.org/10.29210/3003205000
The Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). (2022). Reopen, Recover
and Resilience in Education: Guidelines for ASEAN Countries.
https://asean.org/book/reopen-recover-and-resilience-in-education-
guidelines-for-asean-countries/
Turhusna, D., & Solatun, S. (2020). Perbedaan individu dalam proses
pembelajaran. As-Sabiqun, 2(1), 18-42.
https://doi.org/10.36088/assabiqun.v2i1.613
Tyler, N., Heffernan, R., & Fortune, C. A. (2020). Reorienting locus of control in
individuals who have offended through strengths-based interventions:
Personal agency and the good lives model. Frontiers in Psychology, 11,
553240. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2020.553240
Ursia, N. R., Siaputra, I. B., & Sutanto, N. (2013). Academic procrastination and
self-control in thesis writing students of faculty of psychology, Universitas
Surabaya. Makara Human Behavior Studies in Asia, 17(1), 1-18.
https://doi.org/10.7454/mssh.v17i1.1798
92

Wahyudi, L. E., Mulyana, A., Dhiaz, A., Ghandari, D., Dinata, Z. P., Fitoriq, M.,
& Hasyim, M. N. (2022). Mengukur kualitas pendidikan di
Indonesia. Ma'arif Journal of Education, Madrasah Innovation and Aswaja
Studies, 1(1), 18-22.
Wardana, M. S., & Dinata, M. K. (2016). Tingkat stres siswa menjelang ujian akhir
semester di SMAN 4 Denpasar. Jurnal Medika Udayana, 9, 1-4.
Ye, W., Strietholt, R., & Blömeke, S. (2021). Academic resilience: Underlying
norms and validity of definitions. Educational Assessment, Evaluation and
Accountability, 33, 169-202. https://doi.org/10.1007/s11092-020-09351-7
Yudiana, W., Dewanti, A. L., Suherik, O. A., & Cahyadi, S. (2021). Efektifitas
career decision-making course dalam upaya menanggulangi kesulitan siswa
untuk mengambil keputusan karier. MEDIAPSI, 7(2), 95–106.
https://doi.org/10.21776/ub.mps.2021.007.02.2
Yun, S., Hiver, P., & Al-Hoorie, A. H. (2018). Academic buoyancy: exploring
learners everyday resilience in the language classroom. Studies in Second
Language Acquisition, 40(4), 805-830.
https://doi.org/10.1017/S0272263118000037
Zagoto, Magdalena M., Yarni, N., & Dakhi, O. Perbedaan individu dari gaya
belajarnya serta implikasinya dalam pembelajaran. Jurnal Review
Pendidikan dan Pengajaran, 2(2), 259-265.
https://doi.org/10.31004/jrpp.v2i2.481
Zakaria, D., & Ibrahim, S. (2018). Efektivitas bimbingan belajar mandiri dan
implikasinya terhadap hasil belajar pendidikan agama islam peserta didik di
SMK Negeri 3 Gorontalo. Jurnal Ilmiah AL-Jauhari: Jurnal Studi Islam
Dan Interdisipliner, 3(2), 1-18. https://doi.org/10.30603/jiaj.v3i2.538
Zarrett, N., & Eccles, J. (2006). The passage to adulthood: Challenges of late
adolescence. New directions for youth development, 2006(111), 13-28.
https://doi.org/10.1002/yd.179
Zimmerman, B. J. (1995). Self-efficacy and educational development. In A.
Bandura (Ed.), Self-efficacy in changing societies (pp. 202–231).
Cambridge University
Press. https://doi.org/10.1017/CBO9780511527692.009
93

LAMPIRAN
94

Lampiran A: Surat Izin Penelitian


95

Lampiran B: Pedoman Wawancara

PEDOMAN WAWANCARA

Tempat Penelitian :
Tanggal :
Pukul :
A. Identitas Partisipan
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenis kelamin :
4. Tempat/ Tanggal lahir :
5. Asal Sekolah :
6. Kelas :
7. Jurusan peminatan :
8. Alamat :
9. Anak ke :

B. Struktur Wawancara
1. Opening Interview
a. Memperkenalkan diri
b. Menjelaskan maksud dan tujuan wawancara
c. Menjelaskan kode etik kerahasiaan informasi
d. Meminta kesediaan partisipan membaca dan menandatangani informed
consent
e. Klarifikasi kesesuaian partisipan dengan karakteristik penelitian
96

2. Body Interview

a. Latar Belakang Siswa


No. Aspek Pertanyaan
1 Kondisi semasa 1. Bisa saudara ceritakan pengalaman saudara
pembelajaran selama masa pembelajaran daring?
daring
2 Kondisi semasa 2. Bisa saudara ceritakan pengalaman saudara
pembelajaran selama masa pembelajaran tatap muka
tatap muka terbatas?
terbatas
3 Kondisi semasa 3. Bisa saudara ceritakan pengalaman saudara
pembelajaran selama pembelajaran luring?
luring

b. Gambaran Academic Buoyancy


No. Aspek Indikator Pertanyaan
1 Everyday Hambatan yang 1. Setelah melewati berbagai metode
hassles dihadapi siswa pembelajaran hingga akhirnya
sehari-hari dalam kembali ke metode pembelajaran
proses belajar. luring, normal seperti biasa. Apa
perubahan yang saudara rasakan?
2. Apa saja hambatan yang saudara
temui dalam proses belajar?
Bagaimana hambatan tersebut
muncul, bisa saudara ceritakan?
3. Bagaimana perasaan dan sikap
saudara ketika menemui hambatan
atau permasalahan dalam proses
belajar? Bisa diceritakan?
2 Coping Upaya siswa 1. Bagaimana saudara memandang
dalam mengelola hambatan-hambatan yang muncul
situasi yang penuh dalam proses belajar?
tekanan 2. Bagaimana upaya, cara, atau
strategi saudara dalam mengatasi
perubahan tersebut?
3. Menurut saudara, bagaimana
kemampuan saudara dalam
mengelola hambatan yang muncul
dalam proses belajar?
97

4. Apa yang terjadi ketika saudara


menerapkan strategi tersebut?
(outcome/ hasil)
5. Apa yang terjadi ketika saudara
mampu mengatasi hambatan yang
muncul dalam proses belajar?
6. Apa yang terjadi ketika saudara
tidak mampu mengatasi hambatan
yang muncul dalam proses belajar?
Bisa saudara ceritakan pengalaman
saudara?

c. Closing Interview
1. Bagaimana harapan saudara terkait kemampuan saudara untuk mengatasi
hambatan belajar kedepannya?
2. Menyimpulkan pembicaraan
3. Mengucapkan terimakasih
98

Lampiran C: Informed Consent


99

Anda mungkin juga menyukai