Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis dan analisis data secara

terus – menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak –

pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya

(DCP2, 2008).

Surveilans memantau terus – menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi

dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor – faktor yang mempengaruhi

kejadian penyakit, seperti perubahan – perubahan biologis pada agen, vektor dan reservoir.

Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat

dilakukan langkah – langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).

2.2 Tujuan Surveilans

Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan

populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons

pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Menurut Giesecke (2002) surveilans memiliki tujuan

khusus yaitu :

1. Memonitor kecenderungan (trends) penyakit.

2. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini outbreak.

3. Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease burden)

pada populasi.

4. Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi,

monitoring dan evaluasi program kesehatan.


5. Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan.

6. Mengidentifikasi kebutuhan riset.

2.3 Jenis Surveilans

a. Surveilans Individu

Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individu

– individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius. Surveilans individu

memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga

penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi

institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat

tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.

b. Surveilans Penyakit

Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus

terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan

sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta

data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan

individu.

c. Surveilans Sindromik

Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan

terus – menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing – masing

penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator – indikator kesehatan

individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans

sindromik mengamati indikator – indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-

gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber,

sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.


d. Surveilans Berbasis Laboratorium

Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor

penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti

salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri

tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap

daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

e. Surveilans Terpadu

Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua

kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota)

sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur,

proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang

diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit.

f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia dan

binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara.

Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara

maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi)

khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang

manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional

untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara.

Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk

pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).


2.4 Sistem Surveilans

Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi

pengambil keputusan dan manajer tentang masalah – masalah kesehatan yang perlu diperhatikan

pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk

mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai

menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian

keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2,

2008).

Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan secara

terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.

Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan

kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,

sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.
2.5 Manajemen Surveilans

Surveilans mencakup dua fungsi manajemen yaitu :

1. Fungsi Inti

Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah – langkah

intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan,

pelaporan data, analisis data, konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan –

balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera

(epidemic type response) dan respons terencana (management type response).

2. Fungsi pendukung

Fungsi pendukung (support activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan

sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi

(WHO, 2001).

Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan, karena itu sifat dari

masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai

contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut maka manajer program

kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu

sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan laboratorium.

Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, para manajer program kesehatan

hanya perlu memonitor perubahan – perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu.

2.6 Penyelenggara Surveilans Kesehatan

Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan

data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk

menghasilkan informasi yang objektif, terukur, dapat diperbandingkan antar waktu, antar

wilayah, dan antar kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.5


a. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan oleh Kementerian Kesehatan meliputi wilayah

negara dan/atau kawasan antar negara, dan pintu masuk negara di pelabuhan, bandar udara,

dan pos lintas batas darat negara.

b. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan oleh dinas kesehatan provinsi meliputi seluruh

wilayah kabupaten/kota termasuk kawasan dalam suatu provinsi.

c. Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota meliputi

seluruh wilayah kecamatan, desa/kelurahan atau kawasan dalam suatu kabupaten/kota.

Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan harus didukung dengan tersedianya beberapa hal

yaitu :

1. Sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang epidemiologi.

2. Pendanaan yang memadai.

3. Sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk pemanfaatan teknologi tepat guna.
Berdasarkan PMK no 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, ada
Koordinasi, Jejaring Kerja dan Kemitraan dalam penyelenggataan surveilans kesehatan terdapat
pada Pasal 21, yaitu :5

(1) Dalam rangka penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, dibangun dan dikembangkan


koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan antar instansi pemerintah dan pemangku
kepentingan baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. 5

(2) Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk: 5

a. identifikasi masalah kesehatan dan/atau masalah yang berdampak terhadap kesehatan;

b. kelancaran pelaksanaan investigasi dan respon cepat;

c. keberhasilan pelaksanaan penanggulangan KLB/wabah;

d. peningkatan dan pengembangan kapasitas teknis dan manajemen sumber daya manusia; dan

e. pengelolaan sumber pendanaan.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini. 5

Pada pasal 22 , dalam PMK penyelenggaran surveilans kesehatan PERAN MASYARAKAT


dalam surveilans kesehatan, yaitu :5

(1) Masyarakat berperan dalam penyelenggaraan Surveilans Kesehatan untuk meningkatkan


kualitas data dan informasi.5

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. penyampaian data dan informasi;

b. pemberian bantuan sarana, tenaga ahli, dan pendanaan;

c. pengembangan teknologi informasi; dan

d. sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan dan/atau


penyelenggaraan Surveilans Kesehatan.

A. Koordinasi

Koordinasi dalam penyelenggaraan Surveilans Kesehatan diarahkan untuk


menyelaraskan, mengintegrasikan, mensinergikan dan memaksimalkan pengelolaan data
dan/atau informasi agar proses pengambilan keputusan dalam rangka intervensi lebih berhasil
dan berdaya guna. Koordinasi dalam penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan oleh
seluruh unit surveilans kesehatan, maupun antar unit di instansi pemerintah serta pihak pihak
tertentu yang memiliki peran yang relevan dengan kegiatan surveilans. 5

B. Jejaring Kerja

Jejaring kerja surveilans adalah suatu mekanisme koordinasi kerja antar unit
penyelenggara Surveilans Kesehatan, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan
penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan Surveilans Kesehatan antar wilayah
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. 5

Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilaksanakan melalui jejaring kerja Surveilans


Kesehatan antara unit surveilans dengan sumber data, pusat penelitian dan kajian, program
intervensi kesehatan, dan unit surveilans lainnya. Jejaring kerja Surveilans Kesehatan bertujuan
untuk menguatkan kapasitas surveilans, tersedianya data dan informasi yang komperehensif,
meningkatkan kemampuan respon cepat terhadap kejadian penyakit dan faktor risiko dalam
rangka menurunkan angka kesakitan, kematian serta kecacatan. Jejaring kerja Surveilans
Kesehatan diselenggarakan oleh seluruh unit penyelenggara Surveilans Kesehatan baik di pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota berupa pertukaran data dan informasi epidemiologi, serta
peningkatan kemampuan Surveilans Kesehatan yang terdiri dari :

1. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara pelayanan kesehatan,


laboratorium dan unit penunjang lainnya.

2. Jaringan kerjasama antara unit-unit Surveilans Kesehatan dengan pusat-pusat penelitian dan
kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit surveilans lainnya.

3. Jaringan kerjasama unit-unit Surveilans Kesehatan antara kabupaten/kota, provinsi dan


nasional.

4. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait nasional, bilateral negara,
regional, dan internasional.

Penyelenggaraan jejaring kerja Surveilans Kesehatan dilaksanakan oleh unit penyelenggara


Surveilans Kesehatan baik di unit-unit utama pusat danUPT pusat (UPT Kementerian
Kesehatan), pusat-pusat penelitian dan pengembangan, pusat-pusat data dan informasi, Dinas
Kesehatan Provinsi dan UPT Dinas Kesehatan Provinsi, serta Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, baik pada kondisi normal maupun sedang terjadi
KLB atau wabah. 5

C. Kemitraan
Kemitraan merupakan hubungan kerjasama antar berbagai pihak yang strategis, bersifat
sukarela, dan berdasar prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling
menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan secara timbal balik. Dalam hal
kesehatan, kemitraan diperlukan untuk melaksanakan program kesehatan hingga mencapai
tujuan yang diharapkan.5 Untuk mengembangkan kemitraan di bidang Surveilans Kesehatan
secara konsep terdiri 3 tahap:

1. Kemitraan lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri

2. Kemitraan lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah

3. Membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sektor.

Lintas bidang dan Lintas organisasi yang mencakup :

a. Unsur pemerintah,

b. Unsur swasta atau dunia usaha,

c. Unsur LSM dan organisasi masa

d. Unsur organisasi profesi.

Secara skematis dapat digambarkan jejaring kerja Surveilans Kesehatan diantara unit-unit
utama di Kementerian Kesehatan dan Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPT Kemenkes), pusat
penelitian dan pengembangan (Puslitbang) dan pusat data dan informasi, diantara unit kerja
Dinas Kesehatan Provinsi (lembaga pemerintah di Provinsi yang bertanggungjawab dalam
bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Provinsi, dan diantara unit-unit kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota (lembaga pemerintah di Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab
dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Jejaring Surveilans
Kesehatan juga terdapat antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota serta mitra nasional dan
internasional. 5

Jejaring surveilans ditingkat pusat merupakan penggambaran situasi nasional, deskripsi


keadaan kawasan antar Negara dan wilayah, antar provinsi maupun antar kabupaten namun
dipotret dalam skala nasional. Interkoneksi dengan jejaring di provinsi, dan jejaring kabupaten
kota, sesuai dengan konsep dan tujuan program kesehatan. Interkoneksi ini penting untuk
memudahkan pertukaran data, perbandingan dan periodisasi di setiap Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, instansi kesehatan mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi dan instansi kesehatan
tingkat pusat yang menyelenggarakan surveilans kesehatan. 5

Dukungan data dan informasi sektoral diperlukan untuk penguatan surveilans kesehatan.
Misalnya proyeksi jumlah penduduk kelompok umur tertentu kabupaten kota tertentu dapat
diperoleh dari Badan Pusat Statistik, informasi curah hujan, suhu dan kelembaban dan
prediksinya dapat diperoleh dari Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika, dan sebagainya.
5

2.7 Surveilans Dalam Penanganan Covid-19 Di Indonesia

Pada tanggal 28 Mei, Pemerintah Indonesia mengumumkan 24 538 kasus konfirmasi


COVID-19, 1 496 kasus meninggal dan 6 240 kasus sembuh dari 412 kabupaten/kota di seluruh
34 provinsi.6

Pada bulan Maret, WHO bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes)


memberikan dukungan bagi aplikasi daring GOJEK, Halodoc, dan Tokopedia dalam
mempromosikan langkah-langkah perlindungan diri terhadap COVID-19 kepada masyarakat.
Aplikasi bersama ini menawarkan sistem skrining daring untuk konsultasi gejala-gejala COVID-
19. 6

Pada 5 April, pemerintah dengan dukungan WHO mengembangkan sistem surveilans


COVID-19 di Wisma Atlet, Jakarta Utara. Wisma Atlet adalah rumah sakit darurat COVID-19
terbesar di Indonesia. Sebuah sistem untuk notifikasi dan berbagi data juga telah dikembangkan.
6

Sejak 20 April, Kemenkes telah mulai menyerahkan data surveilans mingguan COVID-
19 melalui portal International Health Regulation (IHR) WHO. Portal ini memungkinkan semua
Negara Anggota untuk melaporkan kasus COVID-19 kepada WHO secara tepat waktu,
memantau pandemi ini dan tingkat keparahannya, serta memberikan informasi untuk penilaian
risiko di tingkat nasional, regional, dan global untuk dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan mengenai kesiapsiagaan dan respon.6
Pada 23 April, WHO berpartisipasi dalam rapat virtual dengan Direktorat Surveilans dan
Karantina Kesehatan, Kemenkes, dan petugas surveilans di tingkat provinsi dan kabupaten untuk
membahas Early Warning and Alert Respons System (EWARS) WHO dalam konteks COVID-
19. Rapat mingguan diselenggarakan untuk membahas tantangan-tantangan yang dihadapi dalam
pelaporan dan menggalakkan penggunaan EWARS secara konsisten untuk mendukung deteksi
dini COVID-19. 6

Surveilans terhadap pasien COVID-19

A. Pasien dalam Pengawasan (Suspek)

Ciri-ciri Pasien

1. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38oC) / riwayat
demam; batuk/ sesak nafas/ sakit tenggorokan/ pilek/ /pneumonia ringan hingga berat. Tidak ada
penyebab lain pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:7

a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;

b. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**

2. Seseorang dengan demam (≥38oC) / riwayat demam / ISPA pada 14 hari terakhir sebelum

timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi / probabel COVID-19;

3. Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal di Indonesia**

yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan tidak ada penyebab lain

Perlakuan Kasus Pasien

Jika ditemukan kasus pasien dalam pengawasan, kegiatan surveilans dilakukan terhadap
kontak erat termasuk keluarga maupun petugas kesehatan yang merawat pasien. 7

B. Orang dalam Pemantauan


Ciri-ciri Pasien

1. Seseorang yang mengalami demam (≥38oC) / riwayat demam, pilek/sakit tenggorokan/batuk.


Tidak ada penyebab lain pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu
kriteria berikut: 7

a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;

b. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**

2. Seseorang dengan demam (≥38oC) / riwayat demam / ISPA pada 14 hari terakhir sebelum

timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi / probabel COVID-19;

3. Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal di Indonesia**

yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain

Perlakuan Kasus

Orang dalam pemantauan wajib melakukan isolasi diri di rumah dan dilakukan
pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-2). 7

• Kegiatan surveilans terhadap orang dalam pemantauan dilakukan berkala untuk

mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari.

• Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten


dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan.

• Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP.

• Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif maka pasien di rujuk ke RS Rujukan.

• Apabila orang dalam pemantauan berkembang memenuhi kriteria pasien dalam


pengawasan dalam 14 hari terakhir maka segera rujuk ke RS rujukan untuk tatalaksana
lebih lanjut.
• Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon namun idealnya
melakukan kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan
harian.

• Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian.

• Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan

dinas kesehatan setempat.

• Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat dan tidak bergejala, ditetapkan
melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan

Kasus Probabel

Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19 tetapi inkonklusif (tidak dapat
disimpulkan).

Kasus Konfirmasi

Seseorang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan laboratorium positif.

Kontak Erat

adalah seseorang yang melakukan kontak fisik / berada dalam ruangan / berkunjung
(dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan, probabel / konfirmasi) dalam 2
hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. 7

Kontak erat dikategorikan menjadi 2, yaitu:

1. Kontak erat risiko rendah (Bila kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan)

2. Kontak erat risiko tinggi (Bila kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel)

Termasuk kontak erat adalah:


a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan ruangan di
tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.

b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat
kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala.

a. Kontak erat risiko rendah

Kegiatan surveilans dan pemantauan kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak
kontak terakhir dengan pasien dalam pengawasan. Kontak erat ini wajib melakukan observasi.
Observasi yang dimaksud dalam pedoman ini adalah karantina. Kontak erat risiko rendah tidak
memerlukan pengambilan spesimen.7

• Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan negatif COVID-19 maka kegiatan


surveilans dan pemantauan terhadap kontak erat dihentikan.

• Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan probabel/positif COVID-19 (konfirmasi)


maka pemantauan dilanjutkan menjadi kontak erat risiko tinggi.

b. Kontak erat risiko tinggi

• Kegiatan surveilans terhadap kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak
terakhir dengan probabel/ konfirmasi.

• Kontak erat ini wajib dilakukan observasi dan dilakukan pengambilan spesimen (hari ke-
1 dan hari ke-14).

• Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten


dan berpengalaman di lokasi observasi.

• Pengiriman spesimen disertai salinan formulir pemantauan harian kontak erat.

• Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan.
• Apabila kontak erat menunjukkan gejala demam (≥38 0C) atau batuk/pilek/nyeri
tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka dilakukan isolasi rumah dan pengambilan
spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 oleh petugas kesehatan setempat yang berkompeten
dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan.

• Apabila hasil laboratorium positif, maka dilakukan rujukan ke RS rujukan untuk isolasi
di Rumah sakit.

• Petugas kesehatan melakukan pemantauan melalui telepon, namun idealnya dengan


melakukan kunjungan secara berkala (harian).

• Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian.

• Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dengan berkoordinasi


dengan dinas kesehatan setempat.

• Jika pemantauan terhadap kontak erat sudah selesai maka dapat diberikan surat pernyataan
yang diberikan oleh Dinas Kesehatan.

C. Pelaku Perjalanan Dari Negara/Area Terjangkit

• Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang tidak bergejala wajib melakukan
monitoring mandiri terhadap kemungkinan munculnya gejala selama 14 hari sejak
kepulangan.

• Setelah kembali dari negara/area transmisi lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang
tidak perlu dan menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain.

• Jika dalam 14 hari timbul gejala, maka segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan
terdekat dan membawa HAC.

• Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang tidak berisiko
dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang diberikan di pintu masu
negara.

• Petugas pintu masuk negara diharapkan melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat
sesuai dengan alamat yang tertera di HAC.

• Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat meningkatkan kewaspadaan dan


diharapkan melakukan komunikasi risiko kepada pelaku perjalanan dengan
memanfaatkan teknologi seperti telepon, pesan singkat, dll.

D. Deteksi Dini dan Respon

Kegiatan deteksi dini dan respon dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk mengidentifikasi
ada atau tidaknya pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, kasus probabel maupun
kasus konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini dan respon
dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs resmi WHO
atau melalui situs lain: 7

• Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah

yang sedang terjadi KLB COVID-19.

• Peta penyebaran COVID-19 yang mendekati realtime oleh Johns Hopkins University -

Center for Systems Science and Engineering (JHU CSSE), dapat diakses pada link

https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd402994

23467b48e9ecf6

• Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah/ kementerian kesehatan dari negara

terjangkit (dapat diakses di www.infeksiemerging.kemkes.go.id )

• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang

berkembang terkait dengan COVID-19.

1. Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara

Dalam rangka implementasi International Health Regulation/ IHR (2005), pelabuhan,


bandara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan kegiatan karantina,
pemeriksaan alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan penyehatan.7
Implementasi IHR (2005) di pintu masuk negara adalah tanggung jawab Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi di pintu masuk negara. Kemampuan utama
untuk pintu masuk negara sesuai amanah IHR (2005) adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan
kapasitas dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
(KKMMD).7

Kegiatan di pintu masuk negara meliputi upaya detect, prevent, dan respond terhadap
COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui
pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan yang datang dari wilayah/ negara
terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor
terkait. 7

2. Deteksi Dini dan Respon di Wilayah

Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans rutin dan
surveilans berbasis kejadian yang dilakukan secara aktif maupun pasif. Kegiatan ini dilakukan
untuk menemukan adanya indikasi pasien dalam pengawasan COVID-19 yang harus segera
direspon. 7

Bentuk respon dapat berupa verifikasi, rujukan kasus, investigasi, notifikasi, dan respon
penanggulangan. Bentuk kegiatan verifikasi dan investigasi adalah penyelidikan epidemiologi.
Kegiatan respon penanggulangan antara lain identifikasi dan pemantauan kontak, rujukan,
komunikasi risiko dan pemutusan rantai penularan.

Pusat dan Dinkes melakukan kesiapan sumber daya meliputi Sumber Daya Manusia
(SDM), Sarana dan Prasarana, serta Pembiayaan. Kegiatan penemuan kasus COVID-19 wilayah
dilakukan melalui penemuan orang sesuai definisi operasional. Penemuan kasus dapat dilakukan
di puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lain. 7

Deteksi di wilayah juga perlu memperhatikan adanya kasus kluster yaitu bila terdapat dua
orang atau lebih memiliki penyakit yang sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam
jangka waktu 14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, rumah sakit, ruang
kelas, tempat kerja dan sebagainya. 7
DAFTAR PUSTAKA

1. DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease

Control Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf

2. Giesecke J (2002). Modern infectious disease epidemiology. London: Arnold.

3. Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
4. WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly

epidemiological record, 75: 1-8. http://www.who.int/wer

5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang

Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan

6. WHO Indonesia. 2020. Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19), Ikhtisar Kegiatan - 1.

7. ITC. 2020. Surveilans dan Respon terhadap pasien Covid-19. www.its.ac.id

Anda mungkin juga menyukai