TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis dan analisis data secara
terus – menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak –
pihak yang bertanggung jawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya
(DCP2, 2008).
dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor – faktor yang mempengaruhi
kejadian penyakit, seperti perubahan – perubahan biologis pada agen, vektor dan reservoir.
Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan respons
pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Menurut Giesecke (2002) surveilans memiliki tujuan
khusus yaitu :
pada populasi.
a. Surveilans Individu
penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat
tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
b. Surveilans Penyakit
data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan
individu.
c. Surveilans Sindromik
terus – menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing – masing
individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans
sindromik mengamati indikator – indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-
gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber,
penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti
tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap
daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
e. Surveilans Terpadu
proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang
maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi)
pengambil keputusan dan manajer tentang masalah – masalah kesehatan yang perlu diperhatikan
pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk
mencegah outbreak penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai
menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian
keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (DCP2,
2008).
terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau episodik.
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,
sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan tepat.
2.5 Manajemen Surveilans
1. Fungsi Inti
Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah – langkah
2. Fungsi pendukung
sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi
(WHO, 2001).
Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan, karena itu sifat dari
masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai
contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut maka manajer program
kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu
sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan laboratorium.
Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, para manajer program kesehatan
hanya perlu memonitor perubahan – perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu.
data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk
menghasilkan informasi yang objektif, terukur, dapat diperbandingkan antar waktu, antar
negara dan/atau kawasan antar negara, dan pintu masuk negara di pelabuhan, bandar udara,
yaitu :
3. Sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk pemanfaatan teknologi tepat guna.
Berdasarkan PMK no 45 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, ada
Koordinasi, Jejaring Kerja dan Kemitraan dalam penyelenggataan surveilans kesehatan terdapat
pada Pasal 21, yaitu :5
(2) Koordinasi, jejaring kerja, dan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk: 5
d. peningkatan dan pengembangan kapasitas teknis dan manajemen sumber daya manusia; dan
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
A. Koordinasi
B. Jejaring Kerja
Jejaring kerja surveilans adalah suatu mekanisme koordinasi kerja antar unit
penyelenggara Surveilans Kesehatan, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan
penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan Surveilans Kesehatan antar wilayah
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. 5
2. Jaringan kerjasama antara unit-unit Surveilans Kesehatan dengan pusat-pusat penelitian dan
kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit surveilans lainnya.
4. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sektor terkait nasional, bilateral negara,
regional, dan internasional.
C. Kemitraan
Kemitraan merupakan hubungan kerjasama antar berbagai pihak yang strategis, bersifat
sukarela, dan berdasar prinsip saling membutuhkan, saling mendukung, dan saling
menguntungkan dengan disertai pembinaan dan pengembangan secara timbal balik. Dalam hal
kesehatan, kemitraan diperlukan untuk melaksanakan program kesehatan hingga mencapai
tujuan yang diharapkan.5 Untuk mengembangkan kemitraan di bidang Surveilans Kesehatan
secara konsep terdiri 3 tahap:
a. Unsur pemerintah,
Secara skematis dapat digambarkan jejaring kerja Surveilans Kesehatan diantara unit-unit
utama di Kementerian Kesehatan dan Unit Pelaksana Teknis Pusat (UPT Kemenkes), pusat
penelitian dan pengembangan (Puslitbang) dan pusat data dan informasi, diantara unit kerja
Dinas Kesehatan Provinsi (lembaga pemerintah di Provinsi yang bertanggungjawab dalam
bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Provinsi, dan diantara unit-unit kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota (lembaga pemerintah di Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab
dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Jejaring Surveilans
Kesehatan juga terdapat antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota serta mitra nasional dan
internasional. 5
Dukungan data dan informasi sektoral diperlukan untuk penguatan surveilans kesehatan.
Misalnya proyeksi jumlah penduduk kelompok umur tertentu kabupaten kota tertentu dapat
diperoleh dari Badan Pusat Statistik, informasi curah hujan, suhu dan kelembaban dan
prediksinya dapat diperoleh dari Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika, dan sebagainya.
5
Sejak 20 April, Kemenkes telah mulai menyerahkan data surveilans mingguan COVID-
19 melalui portal International Health Regulation (IHR) WHO. Portal ini memungkinkan semua
Negara Anggota untuk melaporkan kasus COVID-19 kepada WHO secara tepat waktu,
memantau pandemi ini dan tingkat keparahannya, serta memberikan informasi untuk penilaian
risiko di tingkat nasional, regional, dan global untuk dapat digunakan dalam pengambilan
keputusan mengenai kesiapsiagaan dan respon.6
Pada 23 April, WHO berpartisipasi dalam rapat virtual dengan Direktorat Surveilans dan
Karantina Kesehatan, Kemenkes, dan petugas surveilans di tingkat provinsi dan kabupaten untuk
membahas Early Warning and Alert Respons System (EWARS) WHO dalam konteks COVID-
19. Rapat mingguan diselenggarakan untuk membahas tantangan-tantangan yang dihadapi dalam
pelaporan dan menggalakkan penggunaan EWARS secara konsisten untuk mendukung deteksi
dini COVID-19. 6
Ciri-ciri Pasien
1. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38oC) / riwayat
demam; batuk/ sesak nafas/ sakit tenggorokan/ pilek/ /pneumonia ringan hingga berat. Tidak ada
penyebab lain pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:7
a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;
2. Seseorang dengan demam (≥38oC) / riwayat demam / ISPA pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi / probabel COVID-19;
3. Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal di Indonesia**
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan tidak ada penyebab lain
Jika ditemukan kasus pasien dalam pengawasan, kegiatan surveilans dilakukan terhadap
kontak erat termasuk keluarga maupun petugas kesehatan yang merawat pasien. 7
a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;
2. Seseorang dengan demam (≥38oC) / riwayat demam / ISPA pada 14 hari terakhir sebelum
timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi / probabel COVID-19;
3. Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal di Indonesia**
yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain
Perlakuan Kasus
Orang dalam pemantauan wajib melakukan isolasi diri di rumah dan dilakukan
pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-2). 7
• Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian.
• Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan
• Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat dan tidak bergejala, ditetapkan
melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan
Kasus Probabel
Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19 tetapi inkonklusif (tidak dapat
disimpulkan).
Kasus Konfirmasi
Kontak Erat
adalah seseorang yang melakukan kontak fisik / berada dalam ruangan / berkunjung
(dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan, probabel / konfirmasi) dalam 2
hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. 7
1. Kontak erat risiko rendah (Bila kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan)
2. Kontak erat risiko tinggi (Bila kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel)
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat
kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala.
Kegiatan surveilans dan pemantauan kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak
kontak terakhir dengan pasien dalam pengawasan. Kontak erat ini wajib melakukan observasi.
Observasi yang dimaksud dalam pedoman ini adalah karantina. Kontak erat risiko rendah tidak
memerlukan pengambilan spesimen.7
• Kegiatan surveilans terhadap kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak
terakhir dengan probabel/ konfirmasi.
• Kontak erat ini wajib dilakukan observasi dan dilakukan pengambilan spesimen (hari ke-
1 dan hari ke-14).
• Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan.
• Apabila kontak erat menunjukkan gejala demam (≥38 0C) atau batuk/pilek/nyeri
tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka dilakukan isolasi rumah dan pengambilan
spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 oleh petugas kesehatan setempat yang berkompeten
dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan.
• Apabila hasil laboratorium positif, maka dilakukan rujukan ke RS rujukan untuk isolasi
di Rumah sakit.
• Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian.
• Jika pemantauan terhadap kontak erat sudah selesai maka dapat diberikan surat pernyataan
yang diberikan oleh Dinas Kesehatan.
• Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang tidak bergejala wajib melakukan
monitoring mandiri terhadap kemungkinan munculnya gejala selama 14 hari sejak
kepulangan.
• Setelah kembali dari negara/area transmisi lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang
tidak perlu dan menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain.
• Jika dalam 14 hari timbul gejala, maka segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan
terdekat dan membawa HAC.
• Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang tidak berisiko
dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang diberikan di pintu masu
negara.
• Petugas pintu masuk negara diharapkan melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat
sesuai dengan alamat yang tertera di HAC.
Kegiatan deteksi dini dan respon dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk mengidentifikasi
ada atau tidaknya pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, kasus probabel maupun
kasus konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini dan respon
dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs resmi WHO
atau melalui situs lain: 7
• Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah
• Peta penyebaran COVID-19 yang mendekati realtime oleh Johns Hopkins University -
Center for Systems Science and Engineering (JHU CSSE), dapat diakses pada link
https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd402994
23467b48e9ecf6
• Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah/ kementerian kesehatan dari negara
• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang
Kegiatan di pintu masuk negara meliputi upaya detect, prevent, dan respond terhadap
COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui
pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan yang datang dari wilayah/ negara
terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor
terkait. 7
Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans rutin dan
surveilans berbasis kejadian yang dilakukan secara aktif maupun pasif. Kegiatan ini dilakukan
untuk menemukan adanya indikasi pasien dalam pengawasan COVID-19 yang harus segera
direspon. 7
Bentuk respon dapat berupa verifikasi, rujukan kasus, investigasi, notifikasi, dan respon
penanggulangan. Bentuk kegiatan verifikasi dan investigasi adalah penyelidikan epidemiologi.
Kegiatan respon penanggulangan antara lain identifikasi dan pemantauan kontak, rujukan,
komunikasi risiko dan pemutusan rantai penularan.
Pusat dan Dinkes melakukan kesiapan sumber daya meliputi Sumber Daya Manusia
(SDM), Sarana dan Prasarana, serta Pembiayaan. Kegiatan penemuan kasus COVID-19 wilayah
dilakukan melalui penemuan orang sesuai definisi operasional. Penemuan kasus dapat dilakukan
di puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lain. 7
Deteksi di wilayah juga perlu memperhatikan adanya kasus kluster yaitu bila terdapat dua
orang atau lebih memiliki penyakit yang sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam
jangka waktu 14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, rumah sakit, ruang
kelas, tempat kerja dan sebagainya. 7
DAFTAR PUSTAKA
1. DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease
3. Last, JM (2001). A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc.
4. WHO (2001). An integrated approach to communicable disease surveillance. Weekly