Anda di halaman 1dari 39

Tugas jurnal

 Konsep spiritual
 Konsep seksual
 Konsep stress dan adaptasi
 Konsep kehilangan kematian dan berduka,
dosen pengampuh
ns heriyana amir s.kep m.kep

Oleh
Nama : Anggi Nuraini A Gonibala
Nim : 01909010058
Kelas : keperawatan B Smester III
stikes graha medika kotamobagu
tahun akademik 2020\2021

KONSEP SPIRITUALITAS DAN


RELIGIUSITAS ( SPIRITUAL AND
RELIGION) DALAM KONTEKS
KEPERAWATAN PASIEN
DIABETES MELITUS TIPE 2
Iwan Ardian1
NURSCOPE
Jurnal Keperawatan dan
Pemikiran Ilmiah
Ardian, I (2016). Konsep Spiritualitas Dan
Religiusitas ( Spiritual And Religion)
Dalam Konteks Keperawatan Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. Nurscope. Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah. 2 (5). 1-9
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Islam Sultan Agung Semarang

ABSTRAK

Diabetes adalah salah satu gangguan kesehatan yang bersifat kronis dan paling berdampak psikologis pada pasien dan
sering dikaitkan dengan dengan beberapa gangguan kejiwaan. Pasien dengan diabetes dua kali lebih beresiko memiliki
status kecemasan,depresi dan masalah psikologis yang serius. Tekanan psikologis pasien yang mengalami diabetes militus
sering dikaitkan dengan kesejahteraan spiritual dan kepatuhan religus. Terbatasnya informasi yang berkaitan dengan
spiritualitas pasien dan keluarga serta adanya pandangan yang berbeda dalam menafsirkan spiritualitas dan religiusitas
menjadikan kurang optimal dalam meningkatkan kesejahteraan spiritual pasien yang pada akhirnya dapat membantu pasien
meningkat kualitas hidupnya. spiritualitas dan religiusitas dapatlah dibedakan bagaimana pasien diabetes yang mengalami
masalah spiritualitas dan pasien yang mengalami maslah religiusitas, karena keduanya memiliki konsep dan dimensi yang
berbeda.

Kata Kunci : Diabetes Militus, Religiusitas, Spiritualitas.

SPIRITUAL AND RELIGION CONCEPT IN NURSING FOR DIABETIC MELITUS


PATIENTS

ABSTRACT

Diabetes is one of the chronic health problems and the psychological impact on the patient and is often associated with with
several psychiatric disorders. Patients with diabetes were twice as likely to have status anxiety, depression and serious
psychological problems. The psychological pressure of patients with diabetes mellitus often associated with the spiritual
welfare and compliance religion. The limited information relating to the spirituality of the patient as well as their different views
in interpreting spirituality and religion make less than optimal in increasing the spiritual wellbeing of patients that can ultimately
help patients increase their quality of life. spirituality and religion how it can be distinguished patients with diabetes who have
problems of spirituality and religion of patients who experienced an issue, because both have different concepts and
dimensions.

Keywords: Diabetes mellitus, Religion, Spirituality.

Corresponding Author :
Iwan Ardian1, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Islam Sultan Agung, Jalan Raya Kaligawe Km 4, Semarang,
Jawa Tengah, Indonesia, Kode pos 50112

PENDAHULUAN

Tumbuh kembang manusia adalah merupakan proses yang berjalan seumur hidup yang ditandai
dengan pola pertumbuhan dan perkembangan fisik, psikis dan variasi interaksi yang meliputi semua
dimensi kebutuhan manusia. Dimensi pertumbuhan dan perkembangan meliputi dimensi fisiologis,
psikologis, sosial, kulktural dan spiritual. Setiap individu akan mengalami pola tumbang yang relatif
sama. Pada perjalanan tugas pertumbuhan dan perkembangan manusia akan dihadapkan pada
masalah kesehatan, masalah sakit dan penyakit. Pada kondisi sakit individu dihadapkan pada
masalah gangguan fisik yang berdampak gangguan yang lainnya seperti gangguan psikologis,
gangguan spiritual dan lainnya.

Masalah kesehatan akan selalu menjadi isue yang dominan dalam perjalanan kehidupan sampai
berakhirnya siklus kehidupan manusia. Masalah kesehatan yang paling sering di rasakan akhir-akhir
ini adalah masalah penyakit kronis yaitu penyakit Diabetes Millitus. Penyakit diabetes militus adalah
penyakit kronis yang dapat menimbulkan stress, Reiss (1986). Diabetes adalah salah satu gangguan
kesehatan yang bersifat kronis dan paling berdampak psikologis pada pasien dan sering dikaitkan

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 3
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

dengan dengan beberapa gangguan kejiwaan. Pasien dengan diabetes dua kali lebih beresiko
memiliki status kecemasan,depresi dan masalah psikologis yang serius. Tekanan emosional pasien
secara langsung dapat mempengaruhi hasil pengobatan mencakup kontrol glikemi dan komplikasi
yang timbul. Kepatuhan terhadap pengobatan, tingginya biaya pengobatan juga menjadi faktor yang
menjadikan tekanan psikologis pasien. (Najmeh, 2014)

Tekanan psikologis pasien yang mengalami diabetes militus sering dikaitkan dengan kesejahteraan
spiritual dan kepatuhan religus. Penelitian yang dilakukan oleh Najmeh,2014 yang berjudul Spiritual
Well-Being and Quality of Life of Iranian Adults with Type 2 Diabetes, menyebutkan bahwa kualitas
kesejahteraan spiritual yang buruk paling banyak menyebabkan pasien jatuh pada kondisi depresi.
Kondisi gangguan ini pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Sangat penting
perhatian kita pada penanganan spiritualitas dan religiusitas dalam manajemen diabetes militus.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kesejahteraan
spiritual dengan manajemen diabetes seperti kontrol glikemi dan manajemen diri.

Sebuah survei dengan melakukan wawancara pada 70 penderita diabetes militus tipe 2 di daerah
Afrika menyimpulkan bahwa tema paling dominan dan paling konsisten yang muncul pada kelompok
khusus ini adalah spiritualitas sebagai faktor penting dalam kesehatan umum, penyesuaian penyakit
dan mengatasi penyakit. Temuan ini menunjukan bahwa perilaku pengelolaan penyakit diabetes
militus dapat menjadi optimal apabila dipahami dari sudut pandang konteks sosial budaya dan
keluarga. Pengaruh spiritualitas menjadi sangat penting dalam pelaksanaan intervensi yang
bertujuan meningkatkan pengelolaan diri dan mengurangi dampak psikologis dari penyakit diabetes.
(Samuel & Hodge, 2000)

Terbatasnya informasi yang berkaitan dengan spiritualitas pasien dan keluarga serta adanya
pandangan yang berbeda dalam menafsirkan spiritualitas dan religiusitas menjadikan kurang optimal
dalam meningkatkan kesejahteraan spiritual pasien yang pada akhirnya dapat membantu pasien
meningkat kualitas hidupnya. Bagaimana sebenarnya konsep spirituality dan religion itu dalam
konteks keperawatan pasien dengan diabetes militus tipe-2 akan dibahas pada artikel berikut ini.

PEMBAHASAN

Pembahasan artikel ini lebih ditekankan kepada konsep kesejahteraan spiritual dan religiusitas
sehingga tidak membahas patologi penyakit diabetes militus tipe 2. Sebelum menjelaskan
kesejahteraan spiritual dalam konteks keperawatan keluarga dengan diabetes militus terlebih
dahulu perlu dijelaskan konsep religion dan konsep spirituality. Beberapa pengertian yang diajukan
untuk menjelaskan religion antara lain adalah sebagai berikut ;

Religion refers to a set of variously organized beliefs about the relationship between natural and
supernatural aspects of reality, and about the role of humans in this relationship.While religion is
difficult to define, one standard model of religion, used in religious studies courses, was proposed by
Clifford Geertz, who simply called it a “cultural system” (Clifford, 1973)

Religion/agama mengacu pada satu set berbagai keyakinan yang terorganisir tentang hubungan
antara alam dan aspek supranatural dari realitas, dan tentang peran manusia dalam hubungan ini.
(Clifford Geertz, 1973). Konsep religion memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 4
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

untuk menjelaskan makna hidup dan / atau untuk menjelaskan asal usul kehidupan atau alam
semesta. Dari keyakinan mereka tentang alam semesta, sifat manusia, asal usul kejadian manusia
dan sistem moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup.

Ada banyak agama di dunia, diperkirakan lebih dari empat ribu agama ada di dunia, dan
masingmasing agama tersebut memiliki kitab suci, tempat-tempat suci, kegiatan ritual, khotbah,
peringatan, pemujaan dan pengorbanan. Agama juga mengatur perilaku yang diharapkan dan
terorganisir dengan rapi, memiliki tokoh-tokoh agama yang dipatuhi, praktek agama juga dapat
mencakup upacara dan pemakaman jenazah, tata cara pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari,
layanan publik. Beberapa agama mungkin muncul karena faktor kebudayaan dan karena aspek
mythology.

Demikian kurang lebih penjelasan tentang religion sebagai pengantar sebelum menjelaskan tentang
spirituality, sehingga dapat memberikan kejelasan perbedaan konsep atau persepsi pemahaman
yang lebih mendalam tentang spirituality dalam konteks masalah yang kita pelajari.

Spiritualitas dapat dijelaskan dalam banyak cara dan telah dapat dibedakan dengan religiusitas
dimana religiusitas lebih mencerminkan individu terhadap ketaatan terhadap perintah dari luar dan
sangat terkait dengan tradisi iman tertentu, sedangkan spiritualitas lebih dari pengalaman batin,
Sinnot,1998 dalam (Cartwright, 2001).

Spiritualitas adalah konsep yang luas dengan berbagai dimensi dan perspektif yang ditandai adanya
perasaan keterikatan (koneksitas) kepada sesuatu yang lebih besar dari diri kita, yang disertai
dengan usaha pencarian makna dalam hidup atau dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat
universal dan menyentuh. Beberapa individu menggambarkan spiritualitas dalam
pengalampengalaman hidupnya seperti adanya perasaan terhubung/transendental
yang suci dan menentramkan, sebagaian individu yang lain merasaan kedamaian saat berada
di masjid, gereja, kuil atau tempat suci lainnya.

Beberapa ahli memberikan definisi tentang spiritualitas dengan pendekatan yang berbeda-beda
berpendapat bahwa spiritualitas adalah aspek kemanusiaan yang mengacu pada cara individu
mencari dan makna tersurat dan tujuan dan cara mereka mengalami keterhubungan mereka untuk
saat ini, untuk diri, orang lain, dengan alam, dan dengan kebermaknaan atau suci (Christina
Puchalski, MD, Director of the George Washington Institute for Spirituality and Health)

Menurut Mario Beauregard and Denyse O’Leary, researchers and authors of The Spiritual Brain
berpendapat bahwa Spiritualitas berarti pengalaman yang berpikir untuk membawa mengalaminya
ke dalam kontak dengan Tuhan (dengan kata lain, bukan hanya pengalaman yang terasa bermakna).
Ruth Beckmann Murray dan Judith Proctor menulis bahwa dimensi spiritual mencoba untuk menjadi
selaras dengan alam semesta, dan berusaha untuk jawaban tentang yang tak terbatas, dan datang ke
dalam fokus ketika seseorang menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau kematian.
(Krentzman, 2013)

Delgado (2002), mengidentifikasi empat karakteristik spiritualitas yang dianggap penting ; 1)


Spiritualitas memerlukan sistem kepercayaan (kemauan untuk percaya) dan apa yang diyakini

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 5
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

sebagai kebenaran ( keyakinan ada kekuatan yang lebih tinggi atau adanya agama berdasarkan
keyakinan inti), 2) Spiritualitas melibatkan kondisi individu dalam pencarian makna dan tujuan
keterikatan transenden atau misi individu yang merasakan terpanggil karena takdir atau nasib dan
bergeser dari nilai-nilai material kepada nilai-nilai idealis, 3) Spiritualitas meliputi kesadaran
keterikatan dengan orang lain yang didapatkan melalui instropeksi diri. Dalam konteks non religion,
kondisi ini dapat dijelaskan sebagai rasa kagum, apresiasi dan rasa hormat. Dalam konteks agama,
itu termasuk hubungan yang tinggi dengan Tuhannya yang di hubungkan dengan doa dan meditasi.
Spiritualitas melibatkan proses rekonsiliasi keyakinan dan praktek pada saat individu dihadapkan
pada kesulitan dan kondisi sakit, 4) Spiritualitas adalah kepercayaan bahwa seseorang dapat
melampaui batas dirinya dalam dimensi yang lebih tinggi, adanya keinginan untuk sebuah kebenaran
dan kesucian dan keyakinan bahwa seseorang dapat menyelesaikan kesulitan,kerugian dan rasa sakit
dengan kepercayaan tersebut. (Hanna, 2006)

Lebih lanjut Delgado dijelaskan bahwa, selain empat karakteristik tersebut, ada beberapa manfaat
yang dirasakan dari keterikatan spiritual (spiritual connections) yaitu ; 1) Meningkatkan perasaan
akan kedamaian diri dan kekuatan batin, meningkatkan kesadaran pribadi, penerimaan yang baik
tentang kehidupan dunia, kemampuan untuk mengatasi ketidakpastian hidup dan ambiguisitas,
kemampuan menerima kondisi seperti kemerosotan fisik karena usia, kondisi sakit terminal dan
keadaan stres. 2) Kemampuan beradaptasi dengan baik ( successful adaptation ) dan pemulihan
kesehatan bersama dengan harmoni alam sangat diperlukan untuk kesehatan. Upaya lain adalah
melalui restorasi doa dengan tuhan sebagai perantara perjanjian dengan tuhannya sehingga dapat
diberikan kesehatan.

Henery (2003, seperti dalam Delgado,2005) mengidentifikasi tiga asumsi tentang spiritualitas ; 1)
Spiritualitas semakin penting untuk teori dan praktek. 2) Spiritualitas biasanya di anggap bagian dari
pasien. 3) Memenuhi kebutuhan spiritual pasien adalah membantu pasien mengatasi penderitaan
(karena penyakit kronis) dan kehilangan. (Hanna, 2006)

Edvin Bru (2011), melakukan penelitian berkaitan penderitaan yang dialami pasien dewasa diabetes
militus tipe-2 yang dihubungkan dengan beberapa variabel internal pasien yang berkaitan dengan
spiritualitas antara lain gaya koping dan perasaan akan dukungan dibandingkan dengan indikator
klinis, menunjukan bahwa faktor yang terbesar mempengaruhi penderitaan pasien diabetes millitus
tipe-2 adalah kondisi internal pasien sebesar (40), dibanding dengan indikator klinis hanya (5,8%).
Penelitian ini membuktikan bahwa spiritualitas seseorang sangat menentukan keberhasilan
penatalaksanaan penyakit-penyakit kronis. (Karlsen & Bru, 2012).

Diabetes Militus tidak saja mengakibatkan kerusakan kondisi fisik pasien, tetapi juga mengancam
kondisi kehidupan sosial, fungsional, dan kondisi kesehatan emosional dari pasien. Kondisi ini
menyebabkan pasien merenung dan menanyakan kondisi pada dirinya sendiri tentang makna dan
tujuan hidup mereka. Diabetes dapat mengerahkan dampak negatif pada kualitas hidup karena
diabetes adalah penyakit kronis seumur hidup, pasien diabetes harus berurusan dengan penyakit
mereka sepanjang hari. Terapi medis, komplikasi diabetes, episode hipoglikemia, dan adanya
kecemasan dan ketakutan konsekuensi jangka panjang dapat menyebabkan penurunan kualitas
hidup (Najmeh,2014)

Hubungan spiritualitas dengan keadaan pasien diabetes militus kita sebut dengan istilah peran
spiritualitas (the role of spirituality). Peran spiritualitas dapat di jelaskan dalam konteks keyakinan

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 6
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

yang dieksplorasikan pada konsep keimanan. Dalam hal ini menjadi penting untuk mempelajari
istilah iman, tuhan,cobaan,rasa syukur dan nikmat sesuai keyakinan pasien. Hal lain yang juga
penting adalah sarana dan prasarana penunjang praktek keimanan seperti tempat ibadah dan kitab
suci yang digunakan pasien. Istilah-istilah tersebut berkaitan erat dengan peran spiritualitas dalam
memberikan kontribusi positif maupun dampak negatif dalam hal status kesehatan, kepuasan hidup,
dukungan sosial, teknik mengatasi masalah, dan manajemen stres. (Samuel & Hodge, 2000)

Peran konsep Tuhan bagi penderita diabetes sangat menentukan kondisi psikologis pasien berkaitan
dengan asal usul penyakit dan ketentuaan Tuhan, konsep ini memberikan ketenangan bagi pasien
bila selalu mengkaitkan bahwa kondisi yang dialami tidak bisa lepas dari kentutan tuhan dan
penyakit akan menjadi lebih baik karena kehendak dan ketetapan tuhan. Penelitian yang dilakukan
oleh Samuel 2000, menyebutkan bahwa beberapa responden menyebutkan "Allah" dalam konteks
kondisi status kesehatan yang mereka rasakan dengan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan
atas kesehatan mereka bahkan responden yang menderita diabetes merasakan tenang dalam
merawat diabetes mereka (terutama untuk pengobatan penyakit tanpa harus menggunakan insulin).
Spiritualitas adalah tema utama dalam semua kelompok fokus. Peserta melaporkan bahwa Allah
memainkan peran sentral dalam memberikan kekuatan untuk menghadapi tantangan sehari-hari,
termasuk yang berhubungan dengan diabetes. Spiritualitas mereka terlihat sebagai sumber
dukungan emosional, pengaruh positif pada kesehatan, dan berkontribusi terhadap kualitas hidup.

Hal ini sejalan dengan pendapat (Hana,2006) yang menyebutkan spiritualitas adalah kepercayaan
bahwa seseorang dapat melampaui batas dirinya dalam dimensi yang lebih tinggi (dengan
tuhannya), adanya keinginan untuk sebuah kebenaran dan kesucian dan keyakinan bahwa seseorang
dapat menyelesaikan kesulitan,kerugian dan rasa sakit dengan kepercayaan tersebut

Tempat ibadah, dapat memberikan nuasa ketenangan dan kebahagian psikologis bagi pasien saat
menyampaikan pengharapan-pengharapan atau saat seseorang merasakan dimensi yang berbeda
berada di tempat yang dianggapnya suci atau hanya sekedar menenangkan diri, bagi individu yang
lain menjadi pengurus dan berpartisipasi dalam kegiatan peribadatan meningkatkan keyakinan
bahwa tuhan akan memperhatikan setiap individu yang memperhatikan tempat suci sesuai
agamanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Delgado (2002) yang menyebutkan bahwa kemampuan
beradaptasi dengan baik ( successful adaptation ) dan pemulihan kesehatan melalui restorasi doa
dengan tuhan sebagai perantara perjanjian dengan tuhannya sehingga dapat diberikan kesehatan.

Membaca kitab suci, merupakan salah satu sarana berkomunikasi dengan Tuhannya atau dengan
kekuatan yang dianggap diatas kekuatan yang lain merupakan bagian dari strategi yang digunakan
untuk mengatasi tekanan dan perasaan menderita karena penyakit yang dideritanya. Sebagian
keyakinan mempercayai bahwa membaca kitab suci dapat menyembuhkan dan meringankan
penderitaan.

Dalam kontek keperawatan, perbedaan spiritualitas dan religiusitas dapat dijelaskan dengan
memahami konsep tersebut dalam pendekatan masalah keperawatan, spiritualitas dan religiusitas
berada pada kompartemen yang sama yaitu domain prinsip hidup dan berada pada kelas keyakinan
dan keselarasan nilai. Spiritualitas dalam kontek masalah keperawatan mempunyai tiga jenis
diagnosa keperaawatan yaitu ; 1) Kesiapan Meningkatkan Kesejahteraan Spiritual, 2) Distres
Spirituan dan, 3) Resiko Distres Spiritual. Religiusitas dalam kontek masalah keperawatan

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 7
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

mempunyai tiga jenis diagnosa keperawatan yaitu ; 1) Hambatan Religiusitas, 2) Kesiapan


Meningkatkan Religiusitas dan
Resiko Hambatan Religiusitas. (NANDA, 2012)

Perbedaan masalah keperawatan spiritualitas dan religiusitas pada pasien diabetes militus tipe-2
diarahkan pada bagaimana perawat memahami konsep tersebut sehingga dapat membedakan
inventarisasi data-data spesifik dari pasien dan perawat dapat menyimpulkan secara tepat masalah
apa yang sedang di hadapi pasien apakah masalah spiritualitas atau masalah religiusitas. Berikut
salah satu contoh bagaimana perawat membedakan masalah spiritualitas dan religiusitas.

Kesiapan Meningkatkan Kesejahteraan Spiritual, adalah pola yang dapat dikembangkan dimiliki
individu pada saat mengalami dan berusaha mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui
hubungan dengan diri sendiri,orang lain,seni,musik,literatur,alam,dan/atau kekuatan yang lebih
besar dari pada diri sendiri. Pasien diabetes militus dengan pehaman yang baik akan kondisi sakit
yang bersifat kronis dan memerlukan perawatan yang panjang akan mengungkapkan penerimaan
tentang penyakitnya, meningkatnya keinginannya akan harapan kesejahteraan dalam kondisi
sakitnya, serta mengungkapkan tentang makna dari sakit dan tujuan hidupnya adalah merupakan
data-data yang akurat untuk masalah ini. Data lain yang munkin ada adalah adanya keinginan pasien
untuk tetap ditemani orang terdekat, tokoh agama/spiritual, mendengarkan musik yang
menentramkan, berdoa dan mengungkapkan kekaguman akan dzat yang maha agung.

Kesiapan Meningkatkan Religiusitas, adalah kemampuan individu untuk meningkatkan kebergantuan


pada keyakinan agama dan/atau berpartisipasi dalam ritual tradisi kepercayaan tertentu. Pasien
diabetes militus dengan pehaman yang baik akan kondisi sakit yang bersifat kronis dan memerlukan
perawatan yang panjang akan mengungkapkan keinginan memperkuat keyakinan agamanya yang
dapat memberikan kenyamanan, meminta bantuan untuk meningkatkan partisipasi dalam keyakinan
agama yang diprogramkan seperti ritual,ibadah,perayaan keagamanan,berdoa dan yang lainnya.

Dari contoh dua masalah keperawatan tentang spiritualitas dan religiusitas dapatlah dibedakan
bagaimana pasien diabetes yang mengalami masalah spiritualitas dan pasien yang mengalami
maslah religiusitas, karena keduanya memiliki konsep dan dimensi yang berbeda.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN

Religiusitas mengacu pada satu set berbagai keyakinan yang terorganisir tentang hubungan antara
alam dan aspek supranatural dari realitas, dan tentang peran manusia dalam hubungan ini.

Spiritualitas adalah konsep yang luas dengan berbagai dimensi dan perspektif yang ditandai adanya
perasaan keterikatan (koneksitas) kepada sesuatu yang lebih besar dari diri kita, yang disertai
dengan usaha pencarian makna dalam hidup atau dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang
bersifat universal dan menyentuh.

Diabetes dapat mengerahkan dampak negatif pada kualitas hidup karena diabetes adalah penyakit
kronis seumur hidup, pasien diabetes harus berurusan dengan penyakit mereka sepanjang hari.

Perbedaan masalah keperawatan spiritualitas dan religiusitas pada pasien diabetes militus tipe-2
diarahkan pada bagaimana perawat memahami konsep spiritualitas dan religiusitas

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 8
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

DAFTAR PUSTAKA

Cartwright, K. B. (2001). Cognitive Developmental Theory and Spiritual Development. Journal of


Adult Development , Volume 8.

Chesla, C. A., & Fisher, L. (2010). Family and Disease Management in African-American Patients With
Type 2 Diabetes. San Francisco: Departement of Family Health Care Nursing, University of
California.

Clifford, G. (1973). Interpretation Of Cultures. Dalam Basic Books (hal. 87). New York: Inc,Publishers.

Hanna, H. H. (2006). THE INFLUENCE OF SELF-EFFICACY AND SPIRITUALITY ON SELF-CARE BEHAVIORS


AND GLYCEMIC CONTROL IN OLDER AFRICAN AMERICANS WITH TYPE 2 DIABETES. ProQuest
Information and Learning Compant , 22-24.

Karlsen, B., & Bru, E. (2012). The relationship between clinical indikators, coping styles, perceived
support and diabetes-realted distress among adults with type 2 diabetes. Journal of
Advenced Nursing , 391-401.

Krentzman, A. R. (2013). What Is Spirituality. Takingcharge.csh.umn.edu .

Najmeh, J. (2014). Spiritual Well-Being and Quality of Life of Iranian Adults with Type 2 Diabetes .
Evidence-Based Complementary and alternative medicine , 1-8.

NANDA. (2012). Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 2012 - 2014. Dalam H. T. Herdman,
Nursing Diagnoses : Definitions & Classification (hal. 501-525). Jakarta: EGC.

Samuel, & Hodge. (2000). Influences on day to day self-management of type-2 diabetes. Proquest
Nursing & Allied Health Source , 7.

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 9
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

PENGARUH PERSEPSI REMAJA TENTANG PERILAKU SEKS TERHADAP NIAT REMAJA


DALAM MELAKUKAN PERILAKU SEKS BERESIKO

The Influence of Teenagers’ Perception about Sex Behavior towards Their


Interest in Doing Risky Sex Behavior
Titik Sumiatin1, Hadi Purwanto2, Wahyu Tri Ningsih3
123
Poltekkes Kemenkes Surabaya Prodi Keperawatan Tuban
Jalan Dr. Wahidin S.H No. 2 Tuban, 62314
1
email : bojoneahsan@yahoo.com

ABSTRAK

Remaja mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi, diantaranya adalah masalah seksualitas.Keingintahuan
remaja tentang seksualitas disebabkan masa perkembangan remaja yang memasuki masa pubertas yang
ditandai dengan maturasi sistem reproduksi dan produksi hormon seks. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan persepsi remaja tentang perilaku seks dan niat remaja dalam melakukan perilaku seks
beresiko. Penelitian menggunakan desain analitik dengan pendekatan cross sectional.Sampel dalam penelitian
ini adalah sebagian siswa SMA wilayah kecamatan Tuban sebesar 349 orang dengan menggunakan simple
random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Uji statistik yang digunakan
adalah regresi logistic ordinal untuk menguji pengaruh antar variabel. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada
pengaruh persepsi terhadap intensi/niat remaja dalam berperilaku seks (p= 0,000). Jika sikap remaja memiliki
persepsi positif maka remaja tidak berniat dalam melakukan perilaku seks yang beresiko. Remaja dapat
mempertahankan dan meningkatkan pengetahuan dengan cara dapat memilah dan menyaring informasi yang
didapat dari media massa tentang perilaku seks

Keywords: Persepsi, perilaku seks, niat, remaja

ABSTRACT

Adolescents have high curiosity, including the issue of sexuality. Adolescent curiosity about sexuality due to the
development phase of teenagers is characterized by the maturation of the reproductive system and the
production of sex hormones. This study aims to determine the influence of perception toward adolescent
intention of doing risky sexual behavior. This study used analytic design with cross sectional approach. The
sample in this study was high school students in the districts of Tuban amounted to 349 people by using simple
random sampling. The data collection done by using the questionnaire. The statistical test used is ordinal
logistic regression to examine the influence between variables. The result showed that there was influence
adolescent attitudes toward intention in sexual behavior (p = 0.000). If the adolescent has positive perception,
the teen has no intention of doing risky sexual behavior. Teens can maintain and improve the knowledge and a
positive attitude so that they can sort and filter the information which was gathered from the mass media
about sexual behavior.

Keywords: Perception, adolescent, intention, risky sex behaviour

PENDAHULUAN
Remaja mempunyai rasa dilakukan oleh orang dewasa termasuk yang
keingintahuan yang tinggi, salah satunya berhubungan dengan masalah seksualitas
adalah keinginan menjadi seperti orang (Azinar, 2013). Keingintahuan remaja tentang
dewasa. Hal ini menyebabkan remaja ingin seksualitas juga disebabkan masa
mencoba melakukan apa yang sering perkembangan remaja yang memasuki masa

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 96
Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 10
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

pubertas yang ditandai dengan maturasi kuat niat untuk terlibat dalam perilaku maka
sistem reproduksi dan produksi hormon seks. semakin besar kemungkinan perilaku tersebut
Keingintahuan tentang sesksualitas harus dilakukan. Niat dipengaruhi oleh sikap,
diarahkan dengan memberi informsi yang pertimbangan subjektif individu terhadap
benar tentang seksualitas, bila tidak remaja pilihan dan dukungan orang lain, persepsi
akan jatuh ke perilaku seks yang tidak sehat. seseorang terhadap perilaku, dan latar
belakang individu.Penelitian ini bertujuan
Data Riset Kesehatan Dasar
untuk mengetahui penagruh sikap terhadap
(Riskesdas) 2010 menunjukkan, sebanyak 4,8%
niat remaja dalam melakukan perilaku seks
dari usia 10–14 tahun melakukan hubungan
beresiko.
seks di luar nikah, sebesar 0,5% sampai 1,5%
di antaranya hamil. Sebesar 41,8% pada usia Perilaku seksual pranikah merupakan
15–19 tahun melakukan hubungan seks di luar perilaku seksual beresiko. Tahap perilaku
nikah dan 13 % di antaranya hamil. Data seksual beresiko terdiri atas dimulai dari
Kesehatan Reproduksi Remaja Survey berpegangan tangan, cium kering, cium basah,
Demografi dan Kesehatan Indonesia (KRR berpelukan, memegang atau meraba bagian
SDKI) tahun 2012, didapatkan remaja laki-laki sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama
yang pernah melakukan hubungan seksual (sexualintercourse) (Irawati, 2005). Perilaku
sebanyak 8% dan pada remaja perempuan seksual pranikah mempunyai bermacam
sebanyak 1,0%. Sebanyak 2% dari perempuan dampak antara lain: (1) terjadinya kehamilan
dan 7% dari laki-laki, menyatakan bahwa yang tidak diinginkan (KTD); (2) putus sekolah
mereka menyetujui laki-laki yang melakukan (drop out), jika remaja tersebut masih sekolah;
hubungan seksual sebelum menikah (KRR (3) pengguguran kandungan (aborsi); (4)
SDKI, 2012). Data tersebut menunjukkan terkena penyakit menular seksual
bahwa remaja lakilaki lebih banyak yang (PMS/HIV/AIDS), dan (5) tekanan psikososial
melakukan hubungan seksual pra nikah dan yang timbul karena perasaan bersalah telah
menyetujui hubungan seksual pra nikah. melanggar aturan agama dan takut diketahui
oleh orangtua dan masyarakat (Handayani et
Penyebab perilaku seksual pra nikah
al., 2009).
pada remaja antara lain: 1) faktor personal:
pengetahuan, sikap terhadap layanan METODE PENELITIAN
kesehatan, gaya hidup, pengendalian diri, Desain penelitian yang digunakan dalam
aktifitas sosial, rasa percaya diri dan variabel penelitian ini adalah analitik dengan
demografi seperti, usia, agama; 2) karakteristik pendekatan cross sectional. Populasi dalam
lingkungan, antara lain akses dan kontak penelitian ini adalah seluruh siswa setingkat
dengan sumber informasi, sosial budaya, nilai sekolah menengah atas di wilayah Kecamatan
dan norma sebagai pendukung sosial untuk Tuban sejumlah 7 SMA dengan jumlah siswa
perilaku tertentu, 3) karakteristik keluarga: 2713 siswa. Sampel dalam penelitian ini
status orang tua dan pendidikan orang tua; 4) adalah sebagian siswa SMA wilayah
karakteristik teman sebaya antara lain perilaku kecamatan Tuban sebesar 349 orang. Teknik
seksual teman sebaya (Suryoputro, 2006; sampling yang digunakan adalah simple
Jackson, 2011). random sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Uji
Planned Behavior Theory menyatakan statistik yang digunakan adalah regresi logistic
perilaku dipengaruhi oleh niat individu dalam ordinal untuk menguji pengaruh antar
melakukan suatu perilaku tertentu. Semakin variabel.

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 11
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

HASIL DAN PEMBAHASAN Sangat dapat mengontrol 318 91,1


Mayoritas responden sudah 2
memdapatkan informasi tentang Dapat mengontrol 29 8,3
1
kesehatan reproduksi yaitu sebanyak 96, 85%.
Tidak Dapat mengontrol 2 0,5
Responden sebagian besar berjenis kelamin 7
perempuan sebanyak 234 orang (67, 05%), Sangat Tidak Dapat
0 0
berumur 16 tahun (31,81%). mengontrol
Total 349 10
Pendidikan ayah dan ibu sebagian besar 0
adalah SMA. Sebagian besar ayah bekerja, Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas
sebaliknya sebagian besar ibu tidak remaja mempunyai kontrol yang sangat
bekerja. Agama dan pendapatan ayah dan baik dalam memikirkan atau akan
ibu, sebagian besar beragama Islam dan melakukan perilaku seks. Pengendalian
berpenghasilan lebih dari 3 juta per bulan. diri remaja dilihat dari tiap pernyataan
persepsi remaja dalam mengendalikan
Tabel 1 Persepsi remaja dalam mengendalikan perilaku seks.
perilaku seks
PERSEPSI Jumlah %

Tabel 2 Pernyataan Persepsi Remaja dalam Mengendalikan Perilaku Seks


YA TIDAK
No PERNYATAAN
Jml % Jml %
Bila saya sedang memikirkan tentang seks saya akan mengalihkan 5,7
1 329 94,27 20
perhatian dengan kegiatan lain 3
Bila saya sedang memikirkan tentang seks saya akan menikmatinya 91,4
2 30 8,60 319
sampai puas 0
Bila saya sedang memikirkan tentang seks saya akan membuka 91,9
3 28 8,02 321
internet untuk membuka situs pronografi 8
Bila saya ingin melakukan perilaku seks (berciuman bibir, meraba
95,7
4 bagian bagian sensitif, berhubungan badan) dengan pasangan saya 15 4,30 334
0
akan merayunya
Bila saya ingin melakukan perilaku seks (berciuman bibir, meraba
99,4
5 bagian bagian sensitif, berhubungan badan) dengan pasangan saya 2 0,57 347
3
akan memaksanya
Bila saya ingin melakukan perilaku seks (berciuman bibir, meraba
5,7
6 bagian bagian sensitif, berhubungan badan) dengan pasangan saya 329 94,27 20
3
akan mengalihkan perhatian ke hal yang lain
Tabel 3 Intensi remaja dalam melakukan perilaku seks beresiko
INTENSI Jumlah %
Sangat tidak berniat 259 74,21
Tidak berniat 71 20,34
Berniat 18 5,16
Sangat berniat 1 0,29
Total 349 100
Tabel 4 Pernyataan Intensi remaja dalam melakukan perilaku seks
No Pernyataan STI TI I SI

jml % jm % jml % j %
l m
l
1 Pergi berkencan tanpa pengawasan 76 21,78 15 44,70 10 29,23 1 4,30
6 2 5

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 12
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view

2 Memegang tangan 28 8,02 13 39,26 16 45,85 2 6,88


7 0 4
3 Berciuman di bibir yang melibatkan 7
245 70,20 21,78 26 7,45 2 0,57
lidah 6
4 Meraba bagian pribadi pasangan 264 75,64 6 19,48 15 4,30 2 0,57
8
5 Diraba bagian pribadi Anda oleh 5
276 79,08 15,19 16 4,58 4 1,15
pasangan anda 3
6 Melakukan oral seks 282 80,80 5 16,62 9 2,58 0 0
8
7 Melakukan hubungan seks 270 77,36 5 16,33 17 4,87 5 1,43
7
8 Melakukan hubungan seks tanpa 4
289 82,81 13,18 12 3,44 2 0,57
kontrasepsi 6
STI=sangat tidak ingin, TI=tidak ingin, I=Ingin, SI=Sangat Ingin
Sebagian besar remaja tidak ingin pergi behavioral beliefs, norma subjektif
berkencan tanpa pengawasan (44,70%), ingin dipengaruhi oleh normative beliefs, dan PBC
memegang tangan lawan jenis (45,85); sangat dipengaruhi oleh beliefs tentang kontrol yang
tidak ingin berciuman yang melibatkan lidah dimiliki yaitu control beliefs (Baumgartner,
(70,20%); sangat tidak ingin meraba pribadi Valkenburg, & Peter, 2010).
oleh pasangan (75,64), dan diraba bagian
pribadi oleh pasangan(79,08%); sangat tidak Niat diasumsikan sebagai penangkap
motivasi yang mempengaruhi suatu
ingin: melakukan oral seks (80,80%),
melakukan hubungan seks (77,36%), dan
melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi
(82,81%). Menurut hasil uji statistik regresi
logistik ordinal sederhana didapatkan (p=
0,000), yang berarti bahwa ada pengaruh
persepsi terhadap intensi remaja dalam
berperilaku seks.

Dalam kamus besar psikologi, persepsi


diartikan sebagai suatu proses pengamatan
seseorang terhadap lingkungan dengan
menggunakan indra-indra yang dimiliki
sehingga ia menjadi sadar akan segala sesuatu
yang ada di lingkungannya. Sedangkan intensi
adalah niat yang mendasari seseorang untuk
melakukan sesuatu. Intensi dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu sikap individu terhadap
tingkah laku yang dimaksud (attitude toward
behavior), norma subjektif (subjective norm),
dan persepsi terhadap control yang dimiliki
(perceived behavior control). Masing-masing
faktor yang mempengaruhi intense (sikap,
norma subjektif dan PBC (perceived behavior
control)) dipengaruhi oleh anteseden lainnya,
yaitu beliefs. Sikap dipengaruhi oleh

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 13
P- ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view
perilaku. Secara umum, semakin kuat niat menyaring informasi yang didapat dari
untuk terlibat dalam perilaku maka media massa tentang perilaku seks. Dengan
semakin besar kemungkinan perilaku bertambahnya pengetahuan diharapkan
tersebut dilakukan. akan merubah persepsi remaja tentang
perilaku seks, dan diharapkan akan
Stinson (2010) menambahkan mempengaruhi niat remaja dalam
konstruk yang belum ada dalam TRA melakukan perilaku seks yang beresiko.
(Theory Reasoned Action), yaitu persepsi
terhadap pengendalian yang dapat DAFTAR PUSTAKA
dilakukan (perceived behavioral control). Azinar, M. (2013). Perilaku Seksual
Konstruk ini ditambahkan dalam upaya Pranikah Berisiko terhadap
memahami keterbatasan yang dimiliki Kehamilan Tidak Diinginkan. Jurnal
individu dalam rangka melakukan perilaku Kesehatan Masyarakat8 (2) (2013)
tertentu. 137-145.

Persepsi remaja tentang perilaku Badan Pusat Statistik (BPS), Badan


seks akan terbentuk melalui paparan Kependudukan dan Keluarga
pengetahuan yang mereka dapatkan baik Berencana Nasional (BKKBN) dan
dari sekolah, media sosial, orang tua Kementerian Kesehatan. (2012).
maupun sumber-sumber lainnya. Persepsi Survei Demografi dan Kesehatan
akan membentuk opini remaja tentang Indonesia: Kesehatan Reproduksi
sesuatu hal yang diyakini dan selanjutnya Manusia Laporan Pendahuluan.
dengan dukungan intensi atau niat akan Februari 2012.
direalisasikan dalam tindakan nyata. Bila
Badan Penelitian Dan Pengembangan
persepsi remaja tentang perilaku seks
Kesehatan Kementerian Kesehatan
positif berarti akan mempengaruhi niat
RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar:
remaja untuk tidak melakukan perilaku seks
Riskesdas 2010. Diakses 25
yang beresiko (Tenkoranga,
September 2012 dariKementerian
MatickaTyndaleb, & Rajultona, 2011).
Kesehatan RI Badan Penelitian Dan
KESIMPULAN DAN SARAN Pengembangan Kesehatan Riset
Berdasarkan hasil penelitian dapat Kesehatan Dasar 2010 website
disimpulkan bahwa persepsi remaja yang www.riskesdas.litbang.depkes.go.id/
positif mempengaruhi remaja untuk tidak d ownload/TabelRiskesdas2010.pdf.
berniat dalam melakukan perilaku seks
yang beresiko. Saran dalam penelitian ini Baumgartner, SE, Valkenburg, PM, &
adalah pihak sekolah meningkatkan kerja Peter, J. (2010). Assessing Causality
sama dengan dinas kesehatan, sebagai in the Relationship Between
pemegang program kesehatan remaja, dan Adolescents’ Risky Sexual Online
institusi pendidikan kesehatan dalam Behavior and Their Perceptions of
meningkatkan pengetahuan siswa tentang this Behavior, Journal Of Youth And
perilaku seks dengan cara penyuluhan Adolescence, 39 (10), 1226-1239.
secara berkala dan berkesinambungan;
Handayani, S., (2009). Efektivitas Metode
remaja dalam hal ini siswa dapat
Diskusi Kelompok Dengan
mempertahankan dan meningkatkan
Dan
pengetahuan dengan memilah dan
Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 100 P-
ISSN: 2086-3071, E-ISSN: 2443-0900 Versi online:
Volume 8, Nomor 1, Januari 2017 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/issue/view
Tanpa Fasilitator Pada Peningkatan Implikasinya Terhadap Kebijakan Dan
Pengetahuan, Sikap Dan Motivasi Layanan Kesehatan Seksual dan
Remaja Tentang Perilaku Seks Reproduksi. Makara Kesehatan,
Pranikah. Berita Kedokteran Vol.10, No.1, Juni 2006: 29-40.
Masyarakat, Vol. 25, No. 3, Diakses 9 Juni 2013 website
September 2009; 133-141. http://jornal.ui.ac.id/index.php/healt
h/ article/view/162/158
Irawati & Prihyugiarto, I. (2005).
FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Tenkoranga, EY, Maticka-Tyndaleb, E, &
Sikap Terhadap Perilaku Seksual Pria Rajultona, F. (2011). A multi-level
Nikah Pada Remaja Di Indonesia: analysis of risk perception, poverty
BKKBN. and sexual risk-taking among young
people in Cape Town, South Africa,
Jackson, K. (2011). Causes And
Health & Place, 17 (2), 525–535
Characteristics Of Pre-Marital Sex
Among The Youths Of Madudu
Subcounty, Mubende District.
Research Report Submitted To The
Department Of Distance Education,
Institute Of Adult And Continuing
Education In Partial Fulfilment Of The
Requirement Of The Award Of
Diploma In Common Wealth Youth
Development Programme Of
Makerere University.

Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian


Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Papalia et al (2011). Human Development


(Psikologi Perkembangan). Ed. 9.
Jakarta:Kencana.

Stinson, RD. (2010). Hooking Up in Young


Adulthood: A Review of Factors
Influencing the Sexual Behavior of
College Students, Journal of College
Student Psychotherapy, 24 (2),
98115.

Suryoputro, A, Ford, NJ, Shaluhiyah, Z.


(2006). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Seksual
Remaja di Jawa Tengah:
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Pengaruh Persepsi Remaja tentang Perilaku Seks terhadap Niat Remaja dalam Melakukan Perilaku Seks Beresiko 101

ISSN
: 2460-4917
E-ISSN : 2460-5794

STRES DAN CARA MENGATASINYA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI


MUSRADINUR1
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry e-mail:
musradinur49@gmail.com

Abstract: depression in daily life can give less flavor / discomfort, but it can also provide
a sense of comfort. As an element that gives a sense of comfort it can be utilized, can be
enjoyed, as well as the taste them, as well as a driving force to get ahead in life. As a
factor that gives disires, it will cause a lot of complaints, in a state of acute anxiety in the
form, in the form of chronic, physical or mental disorder, boredom, fatigue and
eventually death. Management of depression is certainly pursuant nature. When he
weighed on benefits in his life should be enjoyed. When he raises depression, in a state
of acute, there are various alternatives to resolve it, either to the stress itself or its
aftermath. In a state of chronic disorders that arise must be dealt with treatment. Here
the role of the cooperation of various fields of medicine necessary if the interference is
onganik. Psiklatri important role precisely in the face of such disorders. In the face of
psychiatric disorders mural there are options on how to face up to the psychotherapy
and pharmacotherapy.

Keywords: Stress, depression, Psychology, Perspective, impact

Abstrak: Stres dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa kurang/tidak nyaman,
tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai elemen yang memberikan
rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan, dapat dinikmati, selain sebagai pemberi rasa
tersebut, juga sebagai pendorong untuk maju dalam kehidupan. Sebagai faktor yang
memberi disires, ia akan menimbulkan banyak keluhan, dalam keadaan akut dalam
bentuk kegelisahan, dalam bentuk khronis, gangguan fisik maupun mental, kebosanan,
kelelahan dan akhirnya kematian. Penatalaksanaan stres tentunya sesual sifatnya. Bila
ia membebani manfaat dalam hidup ia selayaknya dinikmati. Bila ia menimbulkan
distres, dalam keadaan akut, tersedia berbagai alternatif untuk mengatasinya, baik
terhadap stresnya sendiri maupun dampak yang ditimbulkannya. Dalam keadaan
kronis, gangguan yang timbul tentunya harus dihadapi dengan pengobatan. Di sini
1 Pemerhati Pendidikan di Aceh

16
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

peran kerja sama dari berbagai bidang kedokteran perlu bila gangguan bersifat
onganik. Penting justru
______________

peran psiklatri dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut. Dalam menghadapi


gangguan psikiatrik mural terdapat pilihan cara menghadapi dan farmakoterapi hingga
kepada psikoterapi.

Kata Kunci: Stres, Psikologi, Perspektif, dampak

A. Pendahuluan
Dewasa ini perubahan tata nilai kehidupan berjalan begitu cepat karena
pengaruh globalisasi. Masyarakat menghadapi masalah yang semakin beragam sebagai
akibat modernisasi dan perkembangan dunia. Masalah hubungan sosial dan tuntutan
lingkungan seiring harapan untuk meningkatkan pencapaian diri ketidaksanggupan
pribadi untuk memenuhi tuntutan tersebut bisa menimbulkan stres dalam diri
seseorang. Beberapa faktor penyebab umum dari stres antara lain: masalah pekerjaan,
ujian, problem rumah tangga, sakit, kurang tidur dan banyak lainnya.

Perubahan psikososial dapat merupakan tekanan mental (stressor psikosial)


sehingga bagi sebagian individu dapat menimbulkan perubahan dalam kehidupan dan
berusaha beradaptasi untuk menanggulanginya. Stresor psikososial, seperti perceraian
dalam rumah tangga, masalah orang tua dengan banyaknya kenakalan remaja,
hubungan interpersonal yang tidak baik dengan teman dan sebagainya. Namun, tidak
semua orang dapat beradaptasi dan mengatasi stressor akibat perubahan tersebut
sehingga sehingga ada yang mengalami stres, gangguan penyesuaian diri, maupun sakit. 2

Penelitian menunjukkan bahwa stres memberi kontribusi 50 sampai 70 persen


terhadap timbulnya sebagian besar penyakit seperti
______________

penyakit kardiovaskuler, hipertensi, kanker, penyakit kulit, infeksi, penyakit metabolik


dan hormon, serta lain sebagainya. Ketika seseorang mengalami stres yang berat, akan
memperlihatkan tanda-tanda mudah lelah, sakit kepala, hilang nafsu, mudah lupa,
bingung, gugup, kehilangan gairah seksual, kelainan pencernaan dan tekanan darah
tinggi. Orang hidup tidak mungkin terhindar dari stres untuk itu kita harus dapat
menyikapi dan mengelola stres dengan baik sehingga kualitas hidup kita menjadi lebih
baik.

Stres merupakan istilah yang membingungkan karena adanya pendapat-


pendapat yang sangat beranekaragam. Dalam arti umum stres merupakan pola reaksi
serta adaptasi umum, dalam arti pola reaksi menghadapi stresor, yang dapat berasal
dari dalam maupun luar individu yang bersangkutan, dapat nyata maupun tidak nyata
sifatnya. Stres sendiri dapat berbentuk bermacam-macam tergantung dan ciri-ciri
individu yang bersangkutan, kemampuan untuk menghadapi (coping skills) dan sifat

2 Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya: Airlangga University Press, Hal. 24

17
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

stresor yang dihadapinya (Cameron dan Meichenbaum). ini semua menurut Kaplan dan
Sadock ditinjau dari segi dinamik, merupakan fungsi dan ego. Mereka menekankan pula
adanya sumbersumber pribadi serta mekanisme pertahanan sebagai ciri yang khusus
individu tersebut. Bila ego berfungsi baik maka semuanya berada dalam keseimbangan.
Apabila stresor yang dihadapi dapat diatasi secara memadai tidak akan timbul stres. Bila
terjadi ketidakmampuan, baru akan timbul stres. Tidak selamanya seseorang yang punya
kemampuan mengatasi berhasil dengan pengatasan stresor. Sesudah stresor dapat
diatasi individu akan cenderung kembali kepada keseimbangan semula.

Bila gangguan keseimbangan ini terjadi cukup lama akan timbul ansietas kronik. 3

Menghadapi stresor berarti memberi individu bersangkutan pelajaran agar lebih


trampil di kemudian hari dengan kemungkinan memperkembangkan berbagai
kemampuan dan strategi pengatasan stresor yang serupa. Ia dapat pula justru
memberikan ide-ide yang menakutkan yang bertalian dengan berbagai emosi tertentu
dan berkenaan dengan keharusan menghadapi stresor serupa. 4

Dalam hidup sehari-hari stres dapat kita temui dalam berbagai bentuk. Stres
yang akut dapat menimbulkan berbagai manifestasi ansietas yang menimbulkan ketidak-
nyamanan (discomfort). Keadaan ini akan bertahan tergantung dari lamanya stresor itu
berada. Kemudian bila stresor itu ada untuk waktu yang cukup lama kita akan jumpai
keadaan kelelahan dan adanya stres yang sudah berwujud patologi, seperti patologi fisik
serta kejiwaan.5

Namun perlu ditekankan disini, stress tidak selamanya membuat orang menjadi
tidak waras sehingga terpaksa harus berada di rumah sakit jiwa. karena stress
mempunyai beberapa tingkatan. Jadi selama individu tersebut masih mengalami stress
yang ringan, maka individu tersebut hanya akan sering memikirkannya dan berusaha
untuk memecahkan masalah yang menjadi penyebab stress. Tapi tidak juga menutup

______________

kemungkinan bahwa semua orang mungkin saja sekarang dalam keadaan stress. 6

B. Pembahasan 1. Defenisi Stres


Secara garis besar ada empat pandangan mengenai stres, yaitu: stres
merupakan stimulus, stres merupakan respon, stres merupakan interaksi antara individu
dengan lingkungan, dan stress sebagai hubungan antara individu dengan stressor. 7
3 Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychia try, Behavioral
Sciences, Clinical Psychiatry. seventhed. Baltimore: Williams & Wilkins, 2004, Hal. 1

4 Horowitz M, Stress response syndromes and their treatment in Handbook of Stress, Theoretical
and Clinical Aspects, GoIdbct Breznltz S (eds). New York: The Free Press, 2002, Hal. 711
5 Kaplan HI,…Hal. 181
6 Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's,…Hal. 182
7 Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Kaplan and Sadock's …, Hal. 200

18
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

a) Stres Sebagai Stimulus

Menurut konsepsi ini stres merupakan stimulus yang ada


dalam lingkungan (environment). Individu mengalami stres bila dirinya menjadi bagian
dari lingkungan tersebut. Dalam konsep ini stres merupakan variable bebas sedangkan
individu merupakan variabel terikat. Secara visual konsepsi ini dapat digambarkan
sebagai berikut.8

Gambar 1. Stress sebagai stimulus

Stress sebagai stimulus dapat dicontohkan: lingkungan sekitar yang penuh


persaingan, misalnya di terminal dan stasiun kereta api menjelang lebaran. Mereka yang
ada di lingkungan tersebut, baik itu
______________

calon penumpang, awak bus atau kereta api, para petugas, dst., sulit untuk menghindar
dari situasi yang menegangkan (stressor) tersebut. Hal serupa juga dapat diamati pada
lingkungan di mana terjadi bencana alam atau musibah lainnya, misalnya banjir, gunung
meletus, ledakan bom di tengah keramaian, dst.

b) Stres Sebagai Respon

Konsepsi kedua mengenai stres menyatakan bahwa stress


merupakan respon atau reaksi individu terhadap stressor. Dalam konteks ini stress
merupakan variable tergantung (dependen variable) sedangkan stressor merupakan
variable bebas atau independent variable. Berdasarkan pandangan dari Sutherland dan
Cooper, Bart Smet
menyajikan konsepsi stres sebagai respon sebagai berikut. 9

8 Horowitz M, Stress response syndromes and …, Hal. 732


9 Ibid

19
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Gambar 2. Stres Sebagai Respon

Respon individu terhadap stressor memiliki dua komponen, yaitu:


komponen psikologis, misalnya terkejut, cemas, malu, panik, nerveus, dst. dan
komponen fisiologis, misalnya denyut nadi menjadi lebih cepat, perut mual, mulut
kering, banyak keluar keringat dst. respon-

______________

repons psikologis dan fisiologis terhadap stressor disebut strain atau ketegangan.10

c) Stres Sebagai Interaksi antara Individu dengan Lingkungan

Menurut pandangan ketiga, stress sebagai suatu proses yang meliputi


stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan
lingkungan. Interaksi antara manusia dan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut
sebagai hubungan transaksional. Dalam konteks stres sebagai interaksi antara individu
dengan lingkungan, stres tidak dipandang sebagai stimulus maupun sebagai respon saja,
tetapi juga suatu proses di mana individu juga merupakan pengantara (agent) yang aktif,
yang dapat mempengaruhi stressor melalui strategi perilaku kognitif dan emosional.

Konsepsi di atas dapat diperjelas berdasarkan kenyataan yang ada.


Misalnya saja stressor yang sama ditanggapi berbeda-beda oleh beberapa individu.
Individu yang satu mungkin mengalami stres berat, yang lainnya mengalami stres ringan,
dan yang lain lagi mungkin tidak mengalami stres. Bisa juga terjadi individu memberikan
reaksi yang berbeda pada stressor yang sama.

Menurut Bart Smet, reaksi terhadap stres bervariasi antara orang


satudengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama, karena pengaruh
variabel-varibel sebagai berikut.11

10 Sari N, Stres Kerja, Available from: http://damandiri.or.id/file/novitasariadbab2.pdf.diakses


tanggal. 13 november 2010
11 Ibid

20
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

______________

1) Kondisi individu, seperti: umur, tahap perkembangan, jenis kelamin,


temperamen, inteligensi, tingkat pendidikan, kondisi fisik, dst.

2) Karakteristik kepribadian, seperti: introvert atau ekstrovert, stabilitas


emosi secara umum, ketabahan, locus of control, dst.

3) Variabel sosial-kognitif, seperti; dukungan sosial yang dirasakan,


jaringan sosial, dst.

4) Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima,


integrasi dalam jaringan sosial, dst.

5) Strategi coping.

Konsep stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan dapat


digambarkan sebagai berikut. Gambar 3 menggambarkan
reaksi individu terhadap stressor yang sama, ternyata bisa berbeda, dan gambar 4
menggambarkan reaksi beberapa individu terhadap stressor yang sama, ternyata juga
bisa berbeda-beda.12

Gambar 3. Reaksi individu terhadap stresor yang sama


pada waktu yang berbeda

______________

12 Horowitz M…, Hal. 732

21
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Gambar 4. Reaksi beberapa individu terhadap stresor yang sama


pada waktu yang sama

d) Stres Sebagai Hubungan antara Individu dengan Stressor

Stres bukan hanya dapat terjadi karena faktor-faktor yang ada


di lingkungan. Bahwa stressor juga bisa berupa faktor-faktor yang ada dalam diri
individu, misalnya penyakit jasmani yang dideritanya, konflik internal, dst. Oleh sebab
itu lebih tepat bila stres dipandang sebagai hubungan antara individu dengan stressor,
baik stressor internal maupun eksternal. Menurut Maramis, stress dapat terjadi karena
frustrasi, konflik, tekanan, dan krisis. 13

1) Frustrasi merupakan terganngunya keseimbangan psikis karena tujuan


gagal dicapai.

2) Konflik adalah terganggunya keseimbangan karena individu bingung


menghadapi beberapa kebutuhan atau tujuan yang harus dipilih salah
satu.

______________

3) Tekanan merupakan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan oleh


individu. Tekanan bisa datang dari diri sendiri, misalnya keinginan yang
sangat kuat untuk meraih sesuatu. Tekanan juga bisa datang dari
lingkungan.

4) Krisis merupakan situasi yang terjadi secara tiba-tiba dan yang dapat
menyebabkan terganggunya keseimbangan.
13 Surbakti EP, Stres dan koping Lansia pada masa pensiun di kelurahan Pardomuan, kec. Siantar
timur kotamadya pematang siantar. Available from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14286/1/09E01612.pdf. diakses pada tanggal 13
November 2010

22
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Konsep yang menyatakan bahwa stress merupakan hubungan


antara individu dengan stressor dapat diperjelas dengan visualisasi dengan bagan
berikut ini.

Gambar 5. Stres sebagai hubungan antara individu dengan stressor

2. Mekanisme Terjadinya Stres

Stress baru nyata dirasakan apabila keseimbangan diri terganggu. Artinya


kita baru bisa mengalami stress manakala kita mempersepsi tekanan dari stressor
melebihi daya tahan yang kita punya untuk menghadapi tekanan tersebut. Jadi selama
kita memandangkan diri kita masih bisa menahankan tekanan tersebut (yang kita
persepsi lebih ringan dari kemampuan kita menahannya) maka cekaman stress belum
nyata. Akan tetapi apabila tekanan tersebut bertambah besar (baik dari stressor yang
sama atau dari stressor yang lain secara bersaman) maka cekaman menjadi nyata, kita
kewalahan dan merasakan stress.14

Gambar 6. Persepsi daya tahan dan tekanan

3. Faktor yang mempengaruhi Stres


Sesuatu yang merupakan akibat pasti memiliki penyebab atau
yang disebut stressor, begitupula dengan stress, seseorang bisa terkena stress karena
menemui banyak masalah dalam kehidupannya. Seperti yang telah diungkapkan di atas,
stress dipicu oleh stressor. Tentunya stressor tersebut berasal dari berbagai sumber,
yaitu:15

a) Lingkungan

14 Danial, Apa itu Stres, available from: http://dr.danial.faithweb.com/konseling.htm. diakses


tanggal. 13 November 2010
15 Andreasen. N. C and Black. D. W, 2001, Introductory Textbook Of Psychiatry. 3rd ed. British
Library, USA, Hal. 335-342

23
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Yang termasuk dalam stressor lingkungan di sini yaitu:

1) Sikap lingkungan, seperti yang kita ketahui bahwa lingkungan


itu memiliki nilai negatif dan positif terhadap prilaku masing-
masing individu sesuai pemahaman kelompok dalam
masyarakat tersebut. Tuntutan inilah yang dapat membuat
individu

______________

tersebut harus selalu berlaku positif sesuai dengan


pandangan masyarakat di lingkungan tersebut.

2) Tuntutan dan sikap keluarga, contohnya seperti tuntutan yang


sesuai dengan keinginan orang tua untuk memilih jurusan
saat akan kuliah, perjodohan dan lain-lain yang bertolak
belakang dengan keinginannya dan menimbulkan tekanan
pada individu tersebut.

3) Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK),


tuntutan untuk selalu update terhadap perkembangan zaman
membuat sebagian individu berlomba untuk menjadi yang
pertama tahu tentang hal-hal yang baru, tuntutan tersebut
juga terjadi karena rasa malu yang tinggi jika disebut gaptek.

b) Diri sendiri, terdiri dari

1) Kebutuhan psikologis yaitu tuntutan terhadap keinginan yang


ingin dicapai

2) Proses internalisasi diri adalah tuntutan individu untuk terus-


menerus menyerap sesuatu yang diinginkan sesuai dengan
perkembangan.

c) Pikiran

1) Berkaitan dengan penilaian individu terhadap lingkungan


dan pengaruhnya pada diri dan persepsinya terhadap
lingkungan.

24
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

2) Berkaitan dengan cara penilaian diri tentang cara


penyesuaian yang biasa dilakukan oleh individu yang
bersangkutan.

Penyebab-penyebab stress di atas tentu tidak akan langsung


membuat sesorang menjadi stress. Hal tersebut dikarenakan setiap orang berbeda
dalam menyikapi setiap masalah yang dihadapi, selain itu stressor yang menjadi
penyebab juga dapat mempengaruhi stress. Menurut Kozier & Erb, dikutip Keliat B.A
dampak stressor dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: 16

1) Sifat stressor. Pengetahuan individu tentang


bagaimana cara mengatasi dan darimana sumber stressor
tersebut serta besarnya pengaruh stressor pada individu
tersebut, membuat dampak stress yang terjadi pada setiap
individu berbeda-beda.

2) Jumlah stressor yaitu banyaknya stressor yang diterima individu


dalam waktu bersamaan. Jika individu tersebut tidak siap
menerima akan menimbulkan perilaku yang tidak baik. Misalnya
marah pada hal-hal yang kecil.

3) Lama stressor, maksudnya seberapa sering individu menerima


stressor yang sama. Semakin sering individu mengalami hal yang
sama maka akan timbul kelelahan dalam mengatasi masalah
tersebut.

______________

4) Pengalaman masa lalu, yaitu pengalaman individu yang


terdahulu mempengaruhi cara individu menghadapi
masalahnya.

5) Tingkat perkembangan, artinya tiap individu memiliki tingkat


perkembangan yang berbeda.

16 Gabbard GO, Anxiety Disorders: The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,
Washington, 1994.

25
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

4. Jenis-jenis Stres
Seperti yang sudah disebutkan bahwa stressor dan sumbernya memiliki
banyak keragaman, sehingga dapat disimpulkan stress yang dihasilkan beragam pula.
Menurut Sri Kusmiati dan Desminiarti, berdasarkan penyebabnya stress dapat
digolongkan menjadi: 17

a) Stres fisik, disebabkan oleh suhu atau temperatur yang terlalu tinggi
atau rendah, suara amat bising, sinar yang terlalu terang, atau
tersengat arus listrik.

b) Stres kimiawi, disebabkan oleh asam-basa kuat, obatobatan, zat


beracun, hormone, atau gas. Stres mikrobiologik, disebabkan oleh
virus, bakteri, atau parasit yang menimbulkan penyakit.

c) Stres fisiologik, disebabkan oleh gangguan struktur, fungsi jaringan,


organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak
normal.Stres proses pertumbuhan dan perkembangan, disebabkan
oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi
hingga tua.

______________

5. Usaha-usaha mengatasi stress


a) Prinsip Homeostatis.

Stres merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan cenderung


bersifat merugikan. Oleh karena itu setiap individu yang mengalaminya pasti berusaha
mengatasi masalah ini. Hal demikian sesuai dengan prinsip yang berlaku pada organisme,
khususnya manusia, yaitu prinsip homeostatis. Menurut prinsip ini organisme selalu
berusaha mempertahankan keadaan seimbang pada dirinya. Sehingga bila suatu saat
terjadi keadaan tidak seimbang maka akan ada usaha
mengembalikannya pada keadaan seimbang.

Prinsip homeostatis berlaku selama individu hidup. Sebab keberadaan


prinsip pada dasarnya untuk mempertahankan hidup organisme. Lapar, haus, lelah, dll.
merupakan contoh keadaan tidak seimbang. Keadaan ini kemudian menyebabkan
timbulnya dorongan untuk mendapatkan makanan, minuman, dan untuk beristirahat.

17 Ibrahim A.S: Panik, Neurosis dan Gangguan Cemas, Jakarta: PT. Dian Ariesta, 2003

26
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Begitu juga halnya dengan terjadinya ketegangan, kecemasan, rasa sakit, dst.
mendorong individu yang bersangkutan untuk berusaha mengatasi ketidak seimbangan
ini. 18

b) Proses Coping terhadap Stres

Upaya mengatasi atau mengelola stress dewasa ini dikenal dengan proses
coping terhadap stress. Menurut Bart Smet, coping mempunyai dua macam fungsi, yaitu
: (1) Emotional-focused coping dan (2) Problem-focused coping. Emotionalfocused
coping dipergunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini
dilakukan melalui perilaku individu seperti penggunaan minuman keras,
______________

bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, dst. Sedangkan problem-


focused coping dilakukan dengan mempelajari keterampilan-keterampilan atau cara-
cara baru mengatsi stres. Menurut Bart Smet, individu akan cenderung menggunakan
cara ini bila dirinya yakin dapat merubah situasi, dan metoda ini sering dipergunakan
oleh orang dewasa. Berbicara mengenai uapaya mengatasi Stres, Maramis berpendapat
bahwa ada bermacam-macam tindakan yangdapat dilakukan untuk itu, yang secara garis
besar dibedakan menjadi dua, yaitu (1) cara yang berorientasi pada tugas atau task
oriented dan (2) cara yang berorientasi pada pembelaan ego atau ego defence
mechanism.

Mengatasi stres dengan cara berorientasi pada tugas berarti


upaya mengatasi masalah tersebut secara sadar, realistis, dan rasional. Menurut
Maramis cara ini dapat dilakukan dengan “serangan”, penarikan diri, dan kompromi.
Sedangkan cara yang berorientasi pada pembelaan ego dilakuakn secara tidak sadar
(bahwa itu keliru), tidak realistis, dan tidak rasional. Cara kedua ini dapat dilakukan
dengan : fantasi, rasionalisasi, identifikasi, represi, regresi, proyeksi, penyusunan reaksi
(reaction formation), sublimasi, kompensasi, salah pindah (displacement).

C. Penutup
Stres dalam hidup sehari-hari dapat memberikan rasa kurang/tidak nyaman,
tetapi dapat pula justru memberikan rasa nyaman. Sebagai elemen yang memberikan
rasa nyaman ia dapat dimanfaatkan, dapat dinikmati, selain sebagai pemberi rasa
tersebut, juga sebagai pendorong untuk maju dalam kehidupan.

Sebagai faktor yang memberi disires, ia akan menimbulkan banyak keluhan,


dalam keadaan akut dalam bentuk kegelisahan, dalam bentuk khronis, gangguan fisik
maupun mental, kebosanan, kelelahan dan akhirnya kematian. Penatalaksanaan stres
tentunya sesual sifatnya. Bila ia membebani manfaat dalam hidup ia selayaknya
dinikmati. Bila ia menimbulkan distres, dalam keadaan akut, tersedia berbagai alternatif
untuk mengatasinya, baik terhadap stresnya sendiri maupun dampak yang
ditimbulkannya.

18 Soewadi, Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, 1990

27
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Dalam keadaan kronis, gangguan yang timbul tentunya harus dihadapi dengan
pengobatan. Di sini peran kerja sama dari berbagai bidang kedokteran perlu bila
gangguan bersifat onganik. Penting justru peran psiklatri dalam menghadapi gangguan-
gangguan tersebut. Dalam menghadapi gangguan psikiatrik mural terdapat pilihan cara
menghadapi dan farmakoterapi hingga kepada psikoterapi.

DAFTAR PUSTAKA
Andreasen. N. C and Black. D. W, 2001, Introductory Textbook Of Psychiatry. 3rd ed.
British Library. USA.
Danial. Apa itu Stres. available from: http://dr.danial.faithweb.com/konseling.htm.
diakses tanggal.
13 November 2010
Gabbard GO. 1994. Anxiety Disorders: The DSM IV Edition, American Psychiatric Press,
Washington.
Gunarya A. Manajemen Stres. TOT Basic Study Skill tahun 2008. Afailable from:
http://www.unhas.ac.id/maba/bss2009/manajemen%20diri/ modul
%20MD08-Manajemen %20stres.pdf. diakses pada tanggal 13 november
2010
Horowitz M. 2002. Stress response syndromes and their treatment in Handbook of
Stress. Theoretical and Clinical Aspects. GoIdbct Breznltz S (eds). New York:
The Free Press.
Kaplan HI. Sadock BJ. Grebb JA. 2004. Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychia try,
Behavioral Sciences, Clinical Psychiatry. seventhed.
Baltimore: Williams & Wilkins.

Maramis. W.F. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.


.
Sari N. Stres Kerja. Available from: http://damandiri.or.id/file/novitasariadbab2.pdf.diakses
tanggal. 13 november 2010
Soewadi. 1990. Bahan Kuliah Ilmu Kedokteran Jiwa. Fakultas Kedokteran UGM.
Yogyakarta.

Surbakti EP. Stres dan koping Lansia pada masa pensiun di kelurahan Pardomuan, kec.
Siantar timur kotamadya pematang siantar.
Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14286/1/09
E01612.pdf. diakses pada tanggal 13 November 2010

Tingkat Kecemasan Terhadap Kematian Pada ODHA

Gina Nur Ahdiany1, Efri Widianti2, Nita Fitria3


1,2,3
Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Email: ahdianygina93@gmail.com

28
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

ABSTRACT
One of the psychological impact suffered by PLWHA after HIV-AIDS was death anxiety. Excessive
death anxiety would cause emotional function disorder such as neurotisma, depression, and
psychosomatic disorders. The purpose of research was to describe the level of death anxiety in
PLWHA in cilincing Puskesmas North Jakarta. The research was quantitative descriptive. The
population was PLWHA in Puskesmas Cilincing. The samples were 30 respondents with consecutive
sampling technique. The instruments used were Templer Death Anxiety Scale had done the validity
test with the results of a range of values from 0.30 to 0.74 and test the reliability of 0.734. Univariat
data were analyzed by frequency distribution. The results of this analysis, it is known that more than
half of respondents (56.7%) had high death anxiety, and almost half of respondents (43.3%) had low.
It could be concluded that the newly diagnosed PLWHA over the past year to experience anxiety
about the high mortality. Keywords: anxiety, death Anxiety, PLWHA

ABSTRAK
Salah satu dampak psikologis yang dialami ODHA setelah mengidap HIV-AIDS yaitu kecemasan
terhadap kematian. Kecemasan terhadap kematian yang berlebih akan menimbulkan gangguan
fungsi emosional seperti neurotisma, depresi, dan gangguan psikosomatis. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan tingkat kecemasan terhadap kematian pada ODHA di Puskesmas
Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Rancangan penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Populasi
penelitian ini adalah ODHA di Puskesmas Kecamatan Cilincing. Sampel pada penelitian ini sebanyak
30 responden dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Instrumen yang digunakan
yaitu Templer Death Anxiety Scale yang sudah dilakukan uji validitas dengan hasil rentang nilai 0,30-
0,74 dan uji reliabilitas sebesar 0,734. Analisis data univariat dilakukan dengan menggunakan
distribusi frekuensi. Hasil dari penelitian ini yaitu diketahui bahwa lebih dari setengah responden
(56,7%) mengalami kecemasan terhadap kematian yang tinggi, dan hampir setengah responden
(43,3%) lainnya mengalami kecemasan terhadap kematian yang rendah. Dapat disimpulkan bahwa
ODHA yang baru di diagnosa dalam satu tahun terakhir mengalami kecemasan terhadap kematian
tinggi. Kata kunci: Kecemasan, Kematian, ODHA

29
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

PENDAHULUAN
HIV merupakan virus yang dapat menyerang siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, status, ras,
maupun tingkat sosial (Wahyu, Taufik & Ilyas, 2012). Penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit kronis
paling berbahaya sekarang. Tidak bisa dipungkiri masalah HIV/AIDS ini tidak saja menjadi
permasalahan kesehatan, tetapi juga menjadi permasalahan dan konsekuensi pada aspek sosial,
spiritual, dan psikologis (Nursalam & Kurniawati, 2007). Permasalahan pada aspek psikososial dan
spiritual pada ODHA akan menimbulkan permasalahan yang kompleks yang dapat mempengaruhi
perjalanan penyakit dan kondisi fisik ODHA (Armiyanti, Rahayu & Aisah, 2015). Dampak HIV/AIDS
pada aspek sosial dan spiritual seperti stigma, diskriminasi, dan kehilangan iman pada ODHA akan
menambah beban pada aspek psikologis ODHA itu sendiri (Diatmi & Fridari, 2014). Maka dari itu,
penanganan pada aspek psikologis dianggap penting untuk menangani dampak-dampak yang terjadi
karena penyakit HIV/AIDS ini.

Gangguan psikologis yang dialami ODHA tersebut dikelompokkan menjadi empat kelompok oleh
Djoerban (1999, dalam Irawati, Subandi, & Kumolohadi, 2011) menjadi empat jenis gangguan, yaitu
gangguan afektif, gangguan kecemasan menyeluruh, keinginan untuk bunuh diri, dan gangguan otak
organik (delirium atau demensia primer) yang disebabkan adanya infeksi oportunistik. Hal utama
yang dirasakan pada saat ODHA pertama di diagnosa yaitu kecemasan terhadap kematian, walaupun
tidak mengesampingkan kecemasan lainnya (Irawati, Subandi & Kumolohadi, 2011).

Kecemasan terjadi saat individu merasa tidak nyaman padahal ia tidak mengetahui objek penyebab
terjadinya ketidaknyamanan tersebut (Comer,1992 dalam Videbeck, 2008).

Banyak faktor yang membuat seseorang merasakan kecemasan terhadap kematian diantaranya
yaitu manusia tidak mengetahui apa yang dihadapinya nanti setelah kematian, masyarakat yang
menganggap bahwa amalannya di dunia tidak menjamin kebahagiaan di akhirat nanti,
gambaran kepedihan pengalaman mati dan sesudah mati, khawatir pada keluarga yang akan
ditinggalkannya kelak, kurangnya pemahaman makna hidup dan mati, serta sebagainya (Lehto
&

Stein, 2009).

Sependapat dengan Henderson (2009) disebutkan bahwa usia, lingkungan, keyakinan agama,
dukungan sosial, dan integritas ego menjadi faktorfaktor yang mempengaruhi kecemasan
terhadap kematian. Pendapat lain menambahkan bahwa jenis kelamin (Schumaker, Barraclough
& Vagg, 1988), status pernikahan, kondisi fisik, dan budaya (Lehto & Stein, 2009) dapat menjadi
faktor yang mempengaruhi kecemasan terhadap kematian.

Terdapat perbedaan antara kecemasan secara umum dengan kecemasan terhadap kematian,
yaitu objek dari rasa ketidaknyamanan tersebut dan dampak yang ditimbulkannya. Kecemasan
terhadap kematian adalah kondisi individu yang tidak menyenangkan meliputi gelisah, sulit
tidur, bingung, was-was, dan tidak nyaman akibat objek yang tidak jelas atau bahkan belum
terjadi berupa peristiwa saat terlepas jiwa dari raga.

Satiadarma & Zamarlita (2008) menyatakan bahwa kecemasan terhadap kematian muncul pada
penderita penyakit kronis seiring dengan semakin melemahnya kondisi fisik, sosial, dan
psikologis penderita. Kecemasan terhadap kematian yang dirasakan ODHA membuat ODHA

30
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

menjadi sangat sensitif seperti gemetar, panas dingin, bahkan sampai kehilangan kesadaran,
jika mendengar atau melihat berita tentang bencana, berita berduka dari kerabat ataupun hal-
hal yang mendekati kematian.

Dampak lain yang membahayakan akibat kecemasan ialah pada gejala gangguan mental seperti
kurang konsentrasi, depresi, perasaan bersalah, menutup diri, pikiran tidak teratur, kehilangan
kemampuan persepsi, phobia, ilusi, dan halusinasi (Lutfa & Maliya, 2008). Kecemasan terhadap
kematian yang berlebihan akan menimbulkan gangguan fungsi-fungsi emosional normal manusia,
seperti neurotisma, depresi, dan gangguan psikosomatis (Feifel & Nagy,1981 pada Irawati, Subandi,
& Kumolohadi, 2011). Penelitian tentang kecemasan terhadap kematian dianggap penting untuk
mencegah dampak negatif yang muncul dari kecemasan tersebut yang seharusnya tidak perlu
terjadi.

Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat pertama jumlah penderita HIV terbanyak di Indonesia
dengan jumlah kasus 32.782 sampai September 2014 (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014). Jakarta
Utara merupakan salah satu daerah epidemi penyebaran virus HIV/AIDS. Puskesmas Kecamatan
Cilincing merupakan salah satu puskesmas dengan kasus HIV/AIDS yang tinggi di Jakarta Utara
(Komisi Penanggulangan AIDS Indonesia, 2015). Terhitung dari Januari 2016 sampai minggu pertama
April 2016 sudah terdapat 19 kasus baru HIV/AIDS. Jumlah ODHA baru sejak Januari 2015 menjadi
76 orang.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas

Kecamatan Cilincing kepada 7 ODHA, diperoleh hasil bahwa ketujuh ODHA mengalami gejala-
gejala kecemasan terhadap kematian seperti merasa tidak nyaman, gelisah, sulit tidur, bahkan
selalu terlintas kematian saat ingin tidur. Tidak hanya itu, para responden juga mengeluhkan
bahwa mereka mengkhawatirkan kondisi keluarga yang akan ditinggalkannya nanti ketika
kematian mereka datang dan mudah merasa gelisah saat mendengar pembicaraan tentang
bencana atau kematian. Dua responden dari 7 ODHA yang di wawancara juga mengatakan
bahwa dirinya merasa hancur setelah di diagnosa HIV/AIDS sehingga mengganggu aktivitas
sosial mereka karena mengucilkan diri dari lingkungan.

Perawatan paliatif menurut HIV/AIDS Palliative Care Guideance US Dept Of State (2006, dalam
Nugroho, 2008) yaitu tindakan pelayanan perawatan untuk mencegah, memperbaiki,
mengurangi gejala-gejala yang timbul dari HIV/AIDS, namun tidak untuk menyembuhkan, dan
bertujuan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal pada ODHA dan keluarganya dengan
meminimalisir kesakitan dengan perawatan klinis, psikolgis, spiritual, dan sosial sepanjang
perjalanan penyakit HIV/AIDS.

Perawat sebagai profesional kesehatan yang terlibat langsung dalam perkembangan kesehatan
klien khususnya klien dengan HIV/AIDS memiliki peran penting sebagai care provider,
advocator, dan health educator dalam membantu klien menjalani pengobatan. Perawat
merupakan faktor yang berperan penting dalam pengelolaan kecemasan khusunya dalam
memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi
dengan sakitnya (Nursalam & Kurniawati, 2007).

31
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Berdasarkan fenomena yang ditemukan pada studi pendahuluan, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai gambaran tingkat kecemasan kematian pada Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) di Puskesmas Kecamatan Cilincing Jakarta Utara dengan menggunakan
pendekatan teori Templer Death Anxiety Scale.

METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat kecemasan terhadap kematian pada ODHA di
Puskesmas Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Populasi penelitian ini adalah
ODHA di
Puskesmas Kecamatan Cilincing Jakarta Utara yang berjumlah 62 ODHA. Sampel pada penelitian ini
sebanyak 30 responden dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu consecutive
sampling dengan kriteria inklusi: ODHA yang baru di diagnosa dalam rentang waktu Januari
2015januari 2016, datang ke Puskesmas saat waktu pengumpulan data yaitu 13 Mei 2016, dan
kooperatif. Adapun kriteria ekslusi yaitu ODHA yang di diagnosa sebelum januari 2015 atau lebih
dari januai 2016, sedang sakit, dan menolak menjadi responden.

Instrumen yang digunakan yaitu Templer Death Anxiety Scale berupa 15 pernyataan mengenai
kecemasan terhadap kematian yang sudah dilakukan uji validitas dengan hasil rentang nilai
0,30-0,74 dan uji reliabilitas sebesar 0,734. Analisis data analisa data dilakukan secara univariat
yang bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari berbagai tingkat kecemasan pada
responden penelitian.

HASIL
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini yaitu Templer Death Anxiety Scale yang terdiri
dari 15 pernyataan yang berisi mengenai tandatanda kecemasan terhadap kematian, seperti
pada tabel 1. Berdasarkan distribusi frekuensi pada tabel 1, diketahui bahwa lebih dari setengah
responden mengalami ketakutan saat memikirkan sakaratul maut yang menyakitkan, dan
merasa ngeri ketika mendengar orang berbicara tentang bencana yang mungkin dapat
menyebabkan terjadinya kematian.

Gambaran tingkat kecemasan terhadap kematian pada ODHA di Puskesmas Kecamatan


Cilincing Jakarta Utara dapat diketahui pada tabel 1 dibawah ini:

32
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Instrumen

No Pernyataan Total Skor Mean


1. Saya sangat takut terhadap kematian 19 0,63
2. Pikiran tentang kematian jarang menganggu pikiran saya 17 0,57
3. Pembicaraan tentang kematian tidak membuat saya gugup 10 0,33
4. Saya takut ketika berfikir tentang tindakan operasi yang harus saya jalani 19
0,63
5. Saya sama sekali tidak takut terhadap kematian 11 0,37
6. Saya tidak teralu takut dengan penyait AIDS yang saya alami 11 0,37
7. Pikiran tentang kematian tidak pernah mengganggu saya 15 0,50
8. Saya sering merasa tertekan (stres) karena waktu berlalu begitu cepat 13 0,43
9. Saya takut mengalami sakaratul maut yang menyakitkan 20 0,67
10. Berfikir tentang kehidupan setelah kematia sangat mengganggu 13 0,43
11. Saya benar-benar takut terkena serangan jantung 19 0,63
12. Saya sering berfikir tentang betapa pendeknya hidup ini 16 0,53
13. Saya merasa ngeri ketika saya mendengar orang berbicara tentang bencana 20
0,67
14. Melihat mayat mengerikan bagi saya 15 0,50
15. Saya merasa tidak ada yang perlu saya takutkan tentang masa depan 7 0,23

Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat kecemasan terhadap kematian pada ODHA di


Puskesmas Kecamatan Cilincing
Jakarta Utara (n=30).

Kategori F %
Rendah 13 43,33
Tinggi 17 56,67

Berdasarkan tabel 2, tingkat kecemasan terhadap kematian pada 30 ODHA di


Puskesmas Kecamatan
Cilincing Jakarta Utara diketahui bahwa lebih dari setengah responden yaitu sebanyak 17 ODHA
(56,67%) mengalami kecemasan terhadap kematian tinggi, sedangkan 13 ODHA (43,33%) lainnya
mengalami kecemasan terhadap kematian rendah. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut dengan
melakukan tabulasi silang antara tingkat kecemasan terhadap kematian dengan sumber kecemasan
yang dirasakan didapatkan hasil seperti pada tabel 4 berikut ini:

Kecemasan terhadap kematian timbulkan dari beberapa faktor, salah satunya yaitu
proses kematian, kehidupan setelah kematian, dan
Tabel 3. Tabulasi silang tingkat kecemasan terhadap kematian dengan sumber kecemasan yang
dirasakan ODHA (n=30).

Kategori Kecemasan Total


terhadap Kematian
Rendah Tinggi
f % f % f %

Proses 9 69,2 6 35,3 15 50,


kematian 4 0 00
Kehidupan 2 15,3 0 0,00 2 6,6

33
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

setelah 8 7
kematian
Keluarga yang 2 15,3 11 64,7 13 43,
ditinggalkan 8 0 33
Total 13 100 17 100 30 10
0

keluarga yang ditinggalkan. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang sudah dilakukan
diketahui bahwa lebih dari setengah responden (64,70%) yang mengalami kecemasan
terhadap kematian tinggi mencemaskan keluarga yang ditinggalkannya kelak, dan lebih
dari setengah responden yang mengalami kecemasan terhadap kematian rendah
mencemaskan proses kematian dibandingkan dengan kehidupan setelah kematian
ataupun keluarga yang ditinggalkan.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan yang dirasakan
oleh 30 ODHA di Puskesmas Kecamatan Cilincing Jakarta Utara menunjukkan bahwa lebih dari
setengah responden yaitu sebanyak 17 ODHA (56,67%) mengalami kecemasan terhadap kematian
tinggi, sedangkan 13 ODHA lainnya (43,33%) mengalami kecemasan terhadap kematian rendah.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan terhadap kematian yang
dialami ODHA di Puskesmas Kecamatan Cilincing Jakarta Utara adalah lebih dari setengah responden
mengalami kecemasan terhadap kematian tinggi. Kecemasan kematian tinggi berdasarkan Templer
Death Anxiety Scale (1970) yaitu jika total skor responden dalam rentang 7-15. Kecemasan terhadap
kematian adalah kondisi seseorang yang menunjukkan rasa ketidaknyamanan yang terjadi terus
menerus secara konstan, dan individu tersebut sibuk memikirkan proses sakaratul maut, kehilangan,
ataupun yang akan terjadi setelah kematian nantinya (Langs, 1997 dalam Yuliana, 2015).

ODHA sebagai responden pada penelitian ini, menyadari bahwa rentang terhadap penyakit yang
akan menggangu kesehatan fisik mereka karena sistem imunitas yang menurun dan jika koping
individu tidak baik maka akan mengganggu kesehatan psikologi. Gangguan psikologi yang dirasakan
pada ODHA jika terjadi terus menerus akan berpengaruh pula pada kesehatan fisik ODHA, karena
membuat ODHA semakin rentan dengan infeksi sehingga kemungkinan terjadinya infeksi
oportunistik semakin tinggi dan resiko mengalami kematian lebih tinggi. Tidak hanya menyebabkan
menurunnya kondisi fisik, gangguan psikologis pada ODHA terutama kecemasan terhadap kematian
yang berlebih akan berdampak pada fungsi emosional normal individu seperti depresi. Sejalan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Christ (1961); Rhudick & Dibner (1961) yang menyatakan
bahwa indidvidu yang mengalami kecemasan terhadap kematian yang tinggi dipengaruhi oleh
masalah pada kesehatan fisik dan emosional yang buruk (Yuliana, 2015). Pendapat lain juga
mengemukakan bahwa satu dari tiga tantangan utama yang dihadapi oleh individu yang menderita
HIV-AIDS adalah mengembangkan koping individu efektif untuk mempertahankan kondisi fisik dan
psikis ODHA (Sari & Haryati, 2015). Kecemasan terhadap kematian dapat disebabkan oleh beberapa
hal salah satunya yaitu penyakit yang sedang dialami (Chan & Yap, 2009). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kondisi fisik menjadi salah satu faktor yang berpengaruh menimbulkan
kecemasan terhadap kematian.

34
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Kecemasan biasanya timbul saat individu baru di diagnosa suatu penyakit akut ataupun kronis
(Kirunda 2007). Sesuai dengan hasil pengumpulan data yang sudah dilakukan, diketahui bahwa
17 ODHA (56,7%) dari 30 responden yang baru didiagnosa dalam 1 tahun terakhir merasakan
kecemasan terhadap kematian yang tinggi. Sembilan (69,2%) dari tiga belas responden yang di
diagnosa pada bulan September 2015 sampai Januari 2016 mengalami kecemasan terhadap
kematian yang tinggi. ODHA yang baru di diagnosa akan mengalami proses berduka seperti
yang dikemukakan oleh Kubler Ross yaitu tahap denial, tahap kemarahan, tahap negosiasi,
tahap depresi, dan tahap penerimaan. Tidak semua individu dapat melewati kelima tahapan
berduka dengan baik, dan individu yang mengalami kegagalan adapatasi akan menyebabkan
reaksi-reaksi lain (Dalami, et al, 2009). Banyak hal yang dipikirkan oleh ODHA saat baru
didagnosa seperti kondisi kesehatannya mendatang, sisa usia yang ada, respon dari keluarga
serta lingkungan mengenai penyakitnya, pekerjaannya, dan lain sebagainya, sehingga emosi
yang dirasakan menjadi tidak stabil, dan salah satu akibat dari gangguan tersebut yaitu
timbulnya kecemasan.

Pada hasil penelitian ini diketahui bahwa hampir setengah responden yaitu 13 ODHA (43,3%)
mengalami kecemasan terhadap kematian yang rendah. Tingkat kecemasan yang rendah ini dapat
disebabkan oleh koping individu yang baik. Individu yang sudah menerima keadaannya cenderung
akan mempersiapakan kematiannya, seperti memanfaatkan waktu yang tersisa dengan melakukan
hobi, berkumpul dengan keluarga, meraih cita-cita yang belum tercapai, dan lain sebagainya.
Mereka mengganggap lebih baik memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik mungkin dibandingkan
dengan memikirkan hal-hal yang mengganggu kenyamanan mereka seperti kematian. Sesuai dengan
pendapat Ollich, et al dalam Winarto (2007) bahwa seseorang yang memiliki pertahanan diri yang
baik atau sering disebut mekanisme koping efektif akan menurunkan kemungkinan terjadinya
kecemasan dan depresi. Sependapat dengan Dalami, et.al (2009) bahwa individu yang berhasil
melewati proses berduka dapat menerima keadaanya dengan lapang dada, bahkan siap menghadapi
apapun yang terjadi dengan perasaan damai, walaupun sebelumnya ia melewati fase penerimaan
dengan berat hati.

Terdapat lima faktor komponen yang terbagi-bagi di dalam instrumen Templer Death Anxiety
Scale (Tavakoli, Ali, & Behrooz, 2011). Faktor pertama yaitu kecemasan terhadap kematian
mutlak yang terdiri dari penyataan nomor 1, 5, dan 7. Diketahui memiliki jumlah nilai 45 (50%),
yang berarti setengah dari responden merasakan kecemasan terhadap kematian melalui
pemikiranpemikiran dirinya sendiri. Kecemasan kematian yang dirasakan para ODHA
menimbulkan pikiran-pikiran tentang kematian yang mengganggu kehidupannya, bahkan pada
beberapa individu merasakan sulit tidur, gelisah, selalu terlintas tentang kematian, sampai
mengucilkan diri dari lingkungannya karena tahu bahwa dirinya sebentar lagi akan meninggal.
Seseorang yang mengalami kecemasan terhadap kematian akan merasakan ketidaknyamanan
seperti kegelisahan, ketegangan, dan pikiran penuh dengan bayangan proses sakaratul maut,
kehilangan, dan setelah kematian (Abdel-Khalek, 2005). Dapat disimpulkan bahwa individu yang
mengalami kecemasan kematian akan menimbulkan ketidaknyaman pada dirinya yang dapat
mengganggu aktivitas kesehariannya.

Dari beberapa sumber penyebab kecemasan terhadap kematian yang dikaji saat penelitian, dari
30 responden sebanyak 15 ODHA (50%) mengatakan bahwa ia mencemaskan proses kematian.
Tiga belas ODHA lainnya (43,3%) menyebutkan bahwa keluarga yang ditinggalkan menjadi

35
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

penyebab kecemasan terhadap kematian mereka. Dua responden lainnya (6,67%) mengatakan
mencemaskan kehidupan setelah kematian. Kematian merupakan suatu proses yang hakiki
yang akan dilewati oleh setiap orang, tidak mengenal usia, jenis kelamin, kondisi fisik atau
apapun latar belakangnya, dan kematian itu sendiri akan datang pada waktu yang tidak kita
ketahui. Sampai sekarang belum ada penjelasan secara ilmiah yang dapat menjelaskan
kepastian datangnya kematian pada seseorang (Zubair, 2008 dalam Wijayanti & Lailatushifah
2012). Hal tersebut sependapat dengan Shibab (2007) mengatakan bahwa kecemasan terhadap
kematian dirasakan oleh seseorang karena belum ada pengalaman tentang kematian pada diri
individu dan tidak adanya kepastian mengenai datangnya hari kematian pada individu tersebut
(Wijayanti & Lailatushifah, 2012). Individu yang mengalami kecemasan tidak dapat
menjelaskan dengan pasti objek dari rasa ketidaknyamanan yang dirasakan, termasuk pada
individu yang mengalami kecemasan terhadap kematian. Individu tersebut hanya dapat
menunjukkan tanda gejala mengalami kecemasan terhadap kematian seperti jantung berdebar-
debar, keringat dingin, gemetar, merinding, bahkan sampai pingsan saat mendengar atau
membayangkan hal-hal yang berkaitan dengan kematian misalnya bencana atau kabar
kematian dari kerabat.

Faktor kedua yaitu ketakutan dari kegelisahan dan nyeri, yang terdiri dari pernyataan nomor 4, 6, 9
dan 11. Pada penelitian yang sudah dilakukan faktor kedua ini memiliki jumlah skor 69 (57,5%),
sehingga diketahui bahwa lebih dari setengah responden merasakan ketakutan dari kegelisahan dan
rasa nyeri. Penyakit HIV-AIDS yang ODHA derita akan menyebabkan dirinya rentang terhadap
penyakit terutama pada infeksi oportunistik dan waktu kesembuhan pada ODHA menjadi lebih lama,
bahkan tidak sedikit ODHA yang menjadi mengalami komplikasi penyakit, keadaan ini akan
memungkinkan ODHA menderita sakit sampai datang waktu kematiannya. Ini menjadi beban
pemikiran ODHA, yang bila tidak ditangani dapat menyebabkan tekanan psikologis pada ODHA yang
bisa memperburuk kondisi kesehatannya. Penelitian ini sesuai dengan asumsi dari Abdel-Khalek
(2005) yang mengatakan bahwa kecemasan terhadap kematian berhubungan dengan kesakitan atau
penderitaan individu yang mungkin disertai dengan datangnya kematian dan juga cara kematian dari
individu tersebut.

Faktor ketiga yaitu kematian berhubungan dengan pemikiran terdiri dari pernyataan nomor 3,
10, dan 14. Faktor ketiga memiliki jumlah skor 38, maka kurang dari setengah responden
(42,3%) merasakan kecemasan kematian karena pemikiran mereka tentang kematian.
Lingkungan sebagai faktor eksternal sangat berpengaruh pada mekanisme koping manusia. Jika
suatu lingkungan tersebut terdapat banyak kasus kematian ataupun penyebab-penyebab
kematian akan meningkatkan kecemasan terhadap kematian. Ditambah lagi dengan
pengetahuan individu mengenai kematian yang kurang akan berpengaruh pada kecemasan
terhadap kematian yang dirasakan dan tak jarang justru akan meningkatkan kejadian
kecemasan terhadap kematian. Saat individu tidak mengetahui makna dari hidup dan mati,
individu tersebut akan menimbulkan kecemasan terhadap kematian. Sependapat dengan yang
dikemukakan oleh Lehto dan Stein (2009) bahwa manusia memiliki emosional negatif, sehingga
hanya dengan memikirkan atau membayangkan kematian atau melihat mayat saja dapat
menimbulkan kecemasan terhadap kematian. Dikatakan juga dalam teori Templer (1970) yang
menyebutkan bahwa salah satu faktor kecemasan terhadap kematian yaitu pengalaman
tentang kematian. Faktor tersebut didasari oleh prinsip belajar dan pengaruh lingkungan.

36
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Faktor keempat yaitu masa lalu dan kehidupan yang pendek terdiri dari pernyataan nomor 2, 8, dan
12. Dari 30 responden, lebih dari setengah responden (51,1%) merasakan kehidupan yang pendek
dan bermasalah dengan masa lalu. Berfikir tentang waktu kehidupan merupakan gejala yang
ditimbulkan dari kecemasan. Waktu kehidupan hanya sebagai objek yang tidak pasti akibat dari
kecemasannya terhadap kematian. Individu tersebut mencemaskan kedatangan kematian pada
dirinya sehingga ia beranggapan bahwa waktu yang ia jalani sangat pendek. Individu juga
beranggapan bahwa masih banyak hal yang belum dilakukan olehya seama masa hidupnya ini, dan
tak jarang keadaan ini membuat individu rentang merasakan gelisah.

Faktor terakhir yaitu takut masa depan yang terdiri dari pernyataan 13, dan 15. Hampir dari
setengah responden (45%) merasa takut terhadap masa depan. Hampir setiap orang yang
mendengar pembicaraan tentang bencana akan merasa takut, mereka membayangkan jika bencana
tersebut terjadi kepada dirinya ataupun keluarganya. Begitu pun yang terjadi pada ODHA, saat
pengumpulan data yang dilakukan 20 responden mengatakan bahwa dirinya merasa ngeri jika
mendengarkan ada orang yang membicarakan tentang bencana, mereka beranggapan bahwa
bencana yang terjadi sangat dekat dengan kematian, dan mereka merasa cemas jika mereka yang
mengalaminya. Kecemasan terhadap kematian hanya dialami pada individu yang tidak mempunyai
pengetahuan mengenai hakikat kematian, atau tujuan setelah datangnya kematian. mengetahui
hakikat kematian, atau tidak mengetahui tujuan setelah mati (Maskawaih dalam Zubair, 2008).
Individu kurang memaknai makna hidup mati menduga apa yang dikerjakan di dunia tidak akan
menjamin kebahagiaan di akhirat nanti.

KESIMPULAN
ODHA di Puskesmas
Kecamatan Cilincing Jakarta Utara lebih dari setengah mengalami kecemasan terhadap
kematian yang tinggi sedangkan responden lainnya mengalami kecemasan terhadap kematian
rendah. Kecemasan terhadap kematian tinggi dialami oleh seseorang yang merasakan
ketidaknyamanan yang terjadi secara terus menerus dan pikirannya dipenuhi dengan proses
sakaratul maut, kehilangan, atau yang akan terjadi setelah kematian. Puskesmas Kecamatan
Cilincing Jakarta Utara dapat melakukan program promotif dan preventif untuk menurunkan
tingkat kecemasan terhadap kematian kepada ODHA di Poli Infeksi Menular Seksual dengan
meningkatkan dukungan sosial dan spiritual.

DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Khalek, A. M., & Tomas-Sabado, J. (2005). Anxiety and death anxiety in Egyptian and
Spanish nursing students. Death
Studies, 29(2), 157-169.
Armiyati, Y., Rahayu, D. A., & Aisah, S. (2015). Manajemen masalah psikososiospiritual
pasien hiv/aids di kota semarang. In Prosiding seminar nasional & international.
548-556.
Chan, L. C., & Yap, C. C. (2009). Age, gender, and religiosity as related to death anxiety. Sunway
Academic Journal, 6, 1-16.
Diatmi, K., & Fridari, D. (2014). Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Kualitas Hidup pada Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) Di Yayasan Spirit Paramacitta.
Jurnal Psikologi Udayana, 1(2), 353-362.

37
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

Miller, A. K., Lee, B. L., & Henderson, C. E. (2012). Death anxiety in persons with HIV/AIDS:
a systematic review and metaanalysis. Death studies, 36(7), 640-663.
Irawati, D., Subandi, M. A., & Kumolohadi, R. (2011). Terapi Kognitif Perilaku Religius untuk

Menurunkan Kecemasan terhadap Kematian pada Penderita HIV/AIDS. Jurnal Intervensi


Psikologi, 3(2), 169186.
Kemenkes RI. (2014). Situasi dan analisis HIV AIDS. Jakarta: Pusat data dan
informasi Kemenkes RI.
Lehto, R. H., & Stein, K. F. (2009). Death Anxiety: An Analysis of an Evolving Concept. Research and
Theory for Nursing Practice: An
International Journal,
10.189/1541-6577.23.1.23, 2341.
Wahjudi, N. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.
Nursalam, D. K., & Dian, N. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV. Jakarta:
Salemba Medika.
Sari, M. D. I., & Hayati, E. N. (2015). Regulasi emosi pada penderita HIV/AIDS. EMPATHY Jurnal
Fakultas Psikologi, 3(1), 23-30.
Wijayanti, A., & Lailatushifah, S. N. F. (2012). Kebermaknaan Hidup dan Kecemasan terhadap
Kematian pada Orang dengan Diabetes Melitus. Jurnal
INSIGHT, 10(1), 49-63
Tavakoli, M, A & Behrooz, A. (2011). Investigation of validity and reliability of
templer death anxiety scale. Throught & behaviour in clinical
psychology 6 (21), 72-80.
Templer, D. I. (1970). The Construction and Validation of a Death Anxiety Scale. The Journal of

General Psychology, 82, 165177.


Viedebeck, S.L. (2008). Buku Ajar

Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC


Wahyu, S., Taufik, T., & Ilyas, A. (2012). Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi
HIV/AIDS. Konselor, 1(2), 1-12.
Yuliana. (2015). Mengatasi kecemasan terhadap kematian pada pasien sakit parah melalui
konseling kelompok. Psychology Forum UMM, 978-979-796-324-8, 458- 463.
Ziapour, S.S., Dusti, Y.A., & Asfajir, A.A. (2014). The Correlation Between Happines And Death
Anxiety: A Case Study In Health Personel Of Zareh Hospital Of Sari.

European Journal of
Experimental Biology, 4(2), 172177.

38
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 12, No.3 November 2017

39

Anda mungkin juga menyukai