Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PHLEGMON DI RUANG


MAWAR RUMAH SAKIT DAERAH BALUNG JEMBER

Oleh:

Rohmatun Nazila, S.Kep


NIM 192311101034

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................i


LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
LAPORAN PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Anatomi Fisiologi .............................................................................. 1
B. Definisi Plegmon ............................................................................... 3
C. Epidemiologi Plegmon....................................................................... 4
D. Etiologi Plegmon................................................................................ 5
E. Klasifikasi Plegmon ........................................................................... 6
F. Patofisiologi/ Patologi Plegmon......................................................... 8
G. Manifestasi Klinis Plegmon ............................................................... 9
H. Pemeriksaan Penunjang Plegmon....................................................... 11
I. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi ...................... 11
J. Clinical Pathway ............................................................................... 13
K. Konsep Asuhan Keperawatan ............................................................ 14
a. Assessment/ Pengkajian .............................................................. 14
b. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (PES).................... 17
c. Perencanaan/ Nuursing Care Plan ............................................. 18
L. Discharge Planning ...........................................................................21
M. Daftar Pustaka .................................................................................... 22
A. Anatomi Fisiologi

Ruang yang dibentuk oleh facia pada leher akan menghasilkan selulitis atau abses dan
menyebar melalui berbagai jalan termasuk melalui saluran limfe.

Gambar 2. Letak submandibular dan sublingual

Ruang submandibular adalah ruang diatas os hyoid (suprahyoid) dam m myohyoid,


dibagian anterior m myoyoid memisahkan rang ini menjadi 2 bagian yaitu ruang sublingual di
superior dan ruang submaksilar di inferior.adapula yang membaginya menjadi 3 diantaranya
yaitu ruang sublingual, ruang submental, dan ruang submaksilar.Ruang submaksilar dipisahkan
dengan ruang sublingual dibagian superiornya oleh m mylohyoid dan m hyoglussum. Dibagian
medialnya oleh corpus m styloylossus dan dibagian lateralnya berupa kulit, facia superficial,
dan m platysma superficialis pada facial servikal agian dalam. Dibagian inferiornya dibentuk
ole m digastricus. Dibagian anteriornya ruang ini berhubungan secara bebas dengan ruang
submental dan dibagian posteriornya terhbung dengan ruang pharyuyeal (Dewi et al, n,d).
Gambar 3: Letak detail submandibular dan sublingual

Gambar 4: Kelenjar saliva dan komponenya

Kelenjar saliva dibagi menjadi 3 komponen (Hagberg, Bogomolny, Gilmore, Gibson,


Kaitner, & Khurana, 2006), yaitu:

1. Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva terbesar yang berfungsi:

a) Mensintesis lebih banyak protein dibanding glikoprotein sehingga saliva dari


kelenjar parotis menurunkan karbohidrat.
b) Menyuplai 20% saliva ketika istirahat dan mencapai 50% ketika stimulasi.

2. Kelenjar submandibularis adalah kelenjar campuran dengan sekret yang dominan


yang berfungsi :
a) Mensintesis dan mensekresi sejumlah besar glikoproten dibandingkan protein.
b) Menyuplai lebih dari 65% ketika istirahat dan hanya 30% ketika terstimulasi
3. Kelenjar sublingualis adalah kelenjar terkecil yang berfungsi:

a) Mensintesis dan mensekresi sejumlah besar glikoproten dibandingkan protein.


b) Mensuplai kurang lebih hampir sama baik pada kondisi istirahat maupun saat
terstimulasi.

B. Definisi Phlegmon

Phlegmon/ Angina Ludwig didefinisikan Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan


serius jaringan ikat (selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup
penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari gigi. Karakter spesifik yang membedakan
Phlegmon dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua
ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi (bilateral), selanjutnya
menuju kavitas oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang

rahang.1 Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer
dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada
tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial,
dan subkutan servikal kemudian berkembangan menjadi phlegmon, yang apabila tidak segera
ditangani akan mengakibatkan kematian (Gupta et al, 2018).

Wilhelm Fredrick von Ludwig pertama kali mendeskripsikan angina Ludwig ini pada
tahun 1836 sebagai gangrenous cellulitis yang progresif yang berasal dari region kelenjar
submandibula (Ugboko et al, 2005; Cossio et al, 2010).
C. Epidemiologi Phlegmon
Perluasan infeksi odontogenik atau infeksi yang mengenai struktur gigi (pulpa dan
periodontal) ke daerah periapikal, selanjutnya menuju kavitas oral dengan menembus lapisan
kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang. Fenomena ini biasanya terjadi di sekitar
gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio yang lebih jauh, karena
adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam hal ini, infeksi
odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan subkutaneus servikal kemudian
berkembangan menjadi selulitis fasial, yang akan mengakibatkan kematian kematian jika tidak
segera diberikan perawatan yang adekuat (Berini, et al, 1999). Selain itu infeksi odontogenik
merupakan fokal infeksi yang dapat menyebabkan Septic emboli, infeksi meluas melalui
pembuluh darah dan pembuluh limfe menyebabkan metastase bakteri sekunder ke paru-paru,
otak , hati, ginjal dan organ-organ lainnya. (Berini, et al, 1999) Karakter klinis dari selulitis
adalah suatu proses inflamasi yang disertai demam dan kondisi umum pasien yang buruk,
kelainan hematologik seperti peningkatan jumlah leukosit dan laju endap darah. Penanggannya
dengan pemberian antibiotik dan tindakan drainase jika diperlukan.
infeksi gigi merupakan penyakit yang umum terjadi, dengan prevalensi lebih dari 40%
pada anak usia 6 tahun pada gigi susu dan lebih dari 85% pada usia diatas 17tahun pada gigi
permanen. infeksi gigi kebanyakan ringan. Namun pada beberapa kasus dapat menyebabkan
komplikasi serius. salah satu komplikasi tersebut adalah plegomin atau angina ludwig. angka
kejaian penyakit sekitar 13% dari keseluruhan infeksi leher dalam. walaupun jarang terjadi ini
dapat mengancam jiwa.

D. Etiologi Phlegmon

Phlegmon biasanya disebabkan oleh infeksi odontogenik, khususnya dari gigi molar
kedua atau ketiga bawah. Gigi ini mempunyai akar yang berada di atas otot milohioid, dan
abses di lokasi ini dapat menyebar ke ruang submandibular . Infeksi biasanya disebabkan oleh
bakteri streptokokus, stafilokokus, atau bakteroides. Namun, 50% kasus disebabkan
disebabkan oleh polimikroba, baik oleh gram positif ataupun gram negatif, aerob ataupun
anaerob (Moorhead & Guiahi, 2010).

Penyebab lainnya yaitu sialadenitis, abses peritonsil, fraktur mandibula terbuka, kista
duktus tiroglossal yang terinfeksi, epiglotitis, injeksi intravena obat ke leher, bronkoskopi yang
menyebabkan trauma, intubasi endotrakea, laserasi oral, tindik lidah, tindik mulut, infeksi
saluran nafas bagian atas, abses peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan kista tiroglosus
yang terinfeksi dan trauma pada dasar mulut. Faktor predisposisi termasuk diabetes, keganasan
oral, karies gigi, alkoholisme, malnutrisi, dan status immunocompromised (An & Singhal,
2019).

E. Klasifikasi Phlegmon
Selulitis dapat digolongkan menjadi:
a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut
Selulitis yang terbatas pada daerah tertentu yaitu satu atau dua spasia fasial, yang tidak
jelas batasnya.Infeksi bakteri mengandung serous, konsistensinya sangat lunak dan
spongius.Penamaannya berdasarkan ruang anatomi atau spasia yang terlibat.
b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut
Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya infeksi bakteri
tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan berdasarkan spasia yang
dikenainya.Jika terbentuk eksudat yang purulen, mengindikasikan tubuh bertendensi
membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme resistensi lokal tubuh dalam mengontrol
infeksi.
c. Selulitis Difus Akut
Dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu:
 Ludwig’s Angina
 Selulitis yang berasal dari inframylohyoid,
 Selulitis Senator’s Difus Peripharingeal
 Selulitis Fasialis Difus
 Fascitis Necrotizing dan gambaran atypical lainnya
 Selulitis Kronis
Selulitis kronis adalah suatu proses infeksi yang berjalan lambat karena
terbatasnya virulensi bakteri yang berasal dari fokus gigi. Biasanya terjadi pada
pasien dengan selulitis sirkumskripta yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat atau tanpa drainase.
 Selulitis Difus yang Sering Dijumpai
Selulitis difus yang paling sering dijumpai adalah Phlegmone / Angina Ludwig’s.
Angina Ludwig’s merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia
sublingual, submental dan submandibular bilateral, kadang-kadang sampai
mengenai spasia pharingeal. Selulitis dimulai dari dasar mulut. Seringkali
bilateral, tetapi bila hanya mengenai satu sisi/ unilateral disebut Pseudophlegmon.

F. Patofisiologi/ Patologi Phlegmon

Phlegmon biasanya dimulai sebagai selulitis pada ruang submandibular. Infeksi biasanya
dimulai sebagai infeksi gigi pada gigi molar kedua rahang bawah atau ketiga. Sumber infeksi
lain termasuk penyebaran lokal dari abses peritonsillar atau parotitis supuratif. Infeksi
menyebar secara medial daripada lateral karena sisi medial tulang periodontal tipis. Infeksi
awalnya menyebar ke ruang sublingual dan berlanjut ke ruang submandibular. Karena infeksi
tidak menyebar melalui sistem limfatik, infeksi bersifat bilateral. Infeksi biasanya polimikroba
yang melibatkan flora oral. Organisme yang paling umum adalah Staphylococcus,
Streptococcus, Peptostreptococcus, Fusobacterium, Bacteroides dan Actinomyces. Pasien
dengan immunocompromised berisiko lebih tinggi terhadap angina Ludwig. Organisme yang
sering diisolasi pada pasien phlegmon yaitu Streptokokus viridians dan Stafilokokus aureus.
Bakteri anaerob juga sering terlibat, termasuk bakteroides, peptostreptokokus, dan peptokokus.
Bakteri gram positif lainnya yang berhasil diisolasi yaitu usobacterium nucleatum, Aerobacter
aeruginosa, spirochetes, and Veillonella, Candida, Eubacteria, dan Clostridium species.
Bakteri gram negative yang berhasil diisolasi termasuk Neisseria species, Escherichia coli,
Pseudomonas species, Haemophilus influenzae, dan Klebsiella sp (An & Singhal, 2019).

G. Manifestasi Klinis Phlegmon

Pasien dengan Angina Ludwig biasanya memiliki riwayat ekstraksi gigi sebelumnya atau
hygiene oral yang buruk dan nyeri pada gigi. Gejala klinis yang ditemukan konsisten dengan
sepsis yaitu demam, takipnea, dan takikardi. Pasien bisa gelisah, agitasi, dan konfusi. Gejala
lainnya yaitu adanya pembengkakan yang nyeri pada dasar mulut dan bagian anterior leher,
demam, disfagia, odinofagia, drooling, trismus, nyeri pada gigi, dan fetid breath. Suara serak,
stridor, distress pernafasan, penurunan air movement, sianosis, dan “sniffing” position. Dan
pada penelitian Lee dan kawan–kawan di Korea, melaporkan gejala klinis pada 158 kasus
infeksi leher dalam yaitu keluhan leher bengkak (74,7%), keluhan sakit pada leher (41,1%),
demam (14,6%), panas dingin (10,1%), sulit bernafas (10,1%), disfagia (6,3%), dan trismus
(1,9%) (Chou, Lee, & Chao, 2007).

Stridor, kesulitan mengeluarkan secret, kecemasan, sianosis, dan posisi duduk merupakan
tanda akhir dari adanya obstruksi jalan nafas yang lama dan merupakan indikasi untuk
dipasang alat bantu pernafasan. Pasien dapat mengalami disfonia yang disebabkan oleh edema
pada struktur vokalis. Gejala klinis ini harus diwaspadai oleh klinisi akan adanya gangguan
berat pada jalan nafas (Kulkarni, Pai, Battarai, Rao, & Ambareesha, 2008).
H. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan oral, elevasi dari lidah, terdapat indurasi besar di dasar
mulut dan di anterior lidah, dan pembengkakan suprahioid. Biasanya terdapat
edema submandibular bilateral. Pembengkakan pada jaringan anterior leher diatas
tulang hyoid sering disebut dengan bull’s neck appearance (Vieira, Allen, Stocks,
& Thompson, 2008).

Kewaspadaan dalam mengenal tanda-tanda angina Ludwig penting sangat


penting dalam diagnosis dan manjemen kondisi yang serius ini. Terdapat 4 tanda
cardinal dari angina Ludwig (Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008), yaitu :

a. Keterlibatan bilateral atau lebih ruang jaringan dalam


b. Gangrene yang disertai dengan pus serosanguinous, putrid infiltration tetapi
sedikit atau tidak ada pus
c. Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai struktur
kelenjar
d. Penyebaran melalui ruang fasial lebih jarang daripada melalui sistem limfatik
Adanya brawny induration di dasar mulut merupakan gejala klinis sugestif
bagi klinisi untuk melakukan tindakan stabilisasi jalan nafas dengan secepatnya
diikuti dengan konfirmasi diagnostik selanjutnya (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).

Foto polos leher dan dada sering menunjukkan pembengkakan soft-tissue,


adanya udara, dan adanya penyempitan saluran nafas. Sonografi telah digunakan
untuk mengidentifikasi penumpukan cairan di dalam soft-tissue. Foto panorama
dari rahang menunjukkan focus infeksi pada gigi (Vieira, Allen, Stocks, &
Thompson, 2008).
Gambar : Foto Polos menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik (tanda
panah)
Pemeriksaan Penunjang :
a. Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada
daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air
fluid levels, erosi dari korpus vertebra. Penebalan jaringan lunak pada
prevertebra setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm dan setinggi 14 mm
pada anak, lebih 22 mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses
retrofaring (Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008).

b. Rontgen panoramiks
Dilakukan pada kasus infeksi leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi
(Vieira, Allen, Stocks, & Thompson, 2008).

c. Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari abses (Vieira, Allen,
Stocks, & Thompson, 2008).

d. CT Scan
Berdasarkan penelitian Crespo dkk, dikutip dari Murray AD dkk, bahwa
dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa CT Scan mengakibatkan estimasi
terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. CT Scan
memberikan gambaran abses berupa adanya air fluid levels (Vieira,
Allen, Stocks, & Thompson, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan
pada 65 penderita infeksi leher dalam di Departemen THT-KL
Universidade Estadual de Campinas, São Paulo, Brazil,
pemeriksaan CT Scan dengan kontras adalah penting dalam
mengevaluasi lokasi infeksi pada ruang leher sehingga
mempermudah tindakan drainase dan pembedahan. John dan
kawan-kawan menggunakan pemeriksaan CT Scan dengan kontras
untuk mendiagnosis infeksi leher dalam pada anak- anak yang
akan diberikan terapi antibiotik intravena (McClay, Murray, &
Booth, 2003).

e. Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah
desinfeksi kulit, pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum
aspirasi atau dilakukan insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak
terkontaminasi dengan flora normal yang ada di daerah saluran
nafas atas atau rongga mulut. Spesimen yang telah diambil
dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril (Yang, Lee,
See, Huang, Chen, & Chen, 2008).

Gambar CT scan menunjukkan adanya pembengkakan supraglotik dan


adanya udara dalam soft-tissu
I. Penatalaksanaan Farmakologi dan Non Farmakologi

Angina Ludwig’s memerlukan penangganan sesegera mungkin, berupa:


rujukan untuk mendapatkan perawatan rumah sakit, antibiotik intravenous
dosis tinggi, biasanya untuk terapi awal digunakan Ampisillin dikombinasikan
dengan metronidazole, penggantian cairan melalui infus, drainase through and
through, serta penangganan saluran nafas, seperti endotracheal intubasi atau
tracheostomi jika diperlukan.

Apabila terdapat tanda-tanda seperti kondisi sistemik seperti malaise dan


demam tinggi, adanya disfagia atau dispnoe, dehidrasi atau pasien kurang
minum, diduga adanya penurunan resistensi terhadap infeksi, toksis
septikemia dan infiltrasi ke daerah anatomi yang berbahaya serta memerlukan
anestesi umum untuk drainase, diperlukan penanganan serius dan perawatan di
rumah sakit sesegera mungkin.

Jalan nafas harus selalu dikontrol, intubasi endotracheal atau tracheostomi


jika diperlukan. Empat prinsip dasar perawatan infeksi (Falace, 1995),
yaitu:menghilangkan causa (Jika keadaan umum pasien mungkinkan segera
dilakukan prosedur ini, dengan cara pencabutan gigi penyebab), drainase
(Insisi drainase bisa dilakukan intra maupun extra oral, ataupun bisa dilakukan
bersamaan seperti. Dalam pemberian antibiotik perlu diperhatikan apakah
pasien mempunyai riwayat alergi terhadap antibiotik tertentu, terutama bila
diberikan secara intravena untuk itu perlu dilakukan skin test terlebih dahulu.
Antibiotik diberikan selama 5-10 hari (Milloro, 2004)

Antibiotik per-oral efektif mengatasi infeksi odontogenik :

1. penisilin
2. ertromisin
3. klindamisin
4. sefadroksil
5. metronidazol
6. tetraksiklin
Suppotive Care, seperti istirahat dan nutrisi yang cukup, pemberian
analgesik & antiinflamasi (analgesik-antiinflamasi nonsteroid seperti
Diklofenak (50 mg/8 jam) atau Ibuprofen (400-600 mg/8 jam) dan jika
Kortikosteroid diberikan, perlu ditambahkan analgesik murni, seperti
Paracetamol antiinflamasi diberikan dalam (650 mg/4-6 jam) dan/atau Opioid
rendah seperti Kodein (30 mg/6 jam)), pemberian aplikasi panas eksternal
(kompres panas) maupun peroral (melalui obat kumur saline) dapat memicu
timbulnya pernanahan. Komplikasi yang seringkali menyertai selulitis fasial
antara lain: obstruksi pernafasan, septik syok, dan septikemia.

Penatalaksanaan Keperawatan
a. Untuk mengurangi edema dan nyeri, direkomendasikan untuk elevasi /
meninggikan dan mengistirahatkan ekstremitas yang mengalami keluhan.
b. Perlu dipertimbangkan hospitalisasi untuk monitoring ketat dan pemberian
antibiotik intravena pada kasus yang berat, pada bayi, pasien usia lanjut,
dan pasien dengan imunokompromis.
c. Pada kondisi yang sangat parah dengan nekrosis luas disertai supurasi,
perlu dipertimbangkan dilakukan debridement insisi dan drainase secara
bedah.
d. Memberikan edukasi kepada penderita yaitu diberikan informasi mengenai
perawatan kulit dan higiene kulit yang benar, misalnya mandi teratur,
minimal 2 kali sehari, jika terdapat luka hindari kontaminasi dengan
kotoran.
J. Clinical Pathway
K. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Umum
 Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
 Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluh nyeri pada leher, terkadang disertai demam,
menggigil dan malaise
b. Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan penyebab luka pada pasien dan pernahkah sebelumnya
mengidap penyakit seperti ini, adakah alergi yang dimiliki dan riwayat
pemakaian obat.
c. Riwayat penyakit sekarang
Terdapat luka pada bagian tubuh tertentu dengan karakteristik
berwarna merah, terasa lembut, bengkak, hangat, terasa nyeri, kulit
menegang dan mengilap
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya dikeluarga pasien terdapat riwayat mengidap penyakit
selulitis atau penyekit kulit lainnya
e. Pola Persepsi Fungsi GORDON
1) Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Perawat perlu mengkaji apakah klien mengetahui penyakit apa
yang dideritanya? Dan apa penyebab sakitnya saat ini?
2) Pola nutrisi dan metabolik
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena
nyeri saat menelan terdapat Inflamasi disekitar tenggorokan.
Tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
3) Pola eliminasi
Produksi urine bisa normal, tetapi jika pasien sudah dehidrasi berat
bisa terjadi anuria.
4) Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan
klien juga merasa nyeri disekitar leher atau nyeri saat menelan.
Klien dengan phlegmonaktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
5) Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan phlegmon biasanya istirahat dan tidurnya
terganggu, disebabkan oleh nyeri di leher dan sekitarnya, dimana
hal ini dapat mengganggu kenyamanan klien.
6) Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit phlegmon seringkali terganggu
integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi
pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan,
kacau mental, perubahan perilaku.
7) Pola kognitif- perseptual
Keadaan umum pasien phlegmon biasanya composmetis, sehingga
kognitif pasien normal pasien mampu mengingat segala sesuatu
tentang dirinya dan lingkungannya.
8) Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan phlegmon merasa rendah diri terhadap
penyakit yang diderita nya. Sehingga hal ini menyebabkan
kurangnya sosialisasi klien dengan lingkungan sekitar. Perawat
perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan
masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran selama klien
sakit?
9) Pola pertahanan diri dan toleransi stres
Pasien dengan phlegmon mengalami peningkatan stres karena
memikirkan pengobatan dan penyakit yang dideritanya
menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya,
bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegelisahan klien.
10) Pola keyakinan dan nilai
Pada pasien phlegmon perlu dikaji keyakinan dirinya terhadap
sesuatu yang terjadi pada dirinya dan menanyakan kepercayaan
terhadap Tuhan dan menanyakan bagaimana jika beribadah saat
sakit?
 Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah
TD                   : Hipotensi/Hipertensi
Nadi                : Bradikardi
Suhu               : Hipertermi
RR                  : Normal/Meningkat
a. Kepala     : Dilihat kebersihan, bentuk, adakah oedem atau tidak
b. Mata        : Tidak anemis, tidak ikterus, reflek cahaya (+)
c. Hidung    : Tidak ada pernafasan cuping
d. Mulut       : Kebersihan, tidak pucat
e. Telinga     : Tidak ada serumen
f. Leher       : ada pembesaran kelenjar
g. Jantung    : Denyut jantung meningkat
h. Ekstremitas : tidak Ada luka pada ekstremitas
i. Integumen  :
Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang terasa di suatu daerah
yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, dan
tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau d'orange). Pada kulit
yang terinfeksi bisa ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau
lepuhan besar berisi cairan (bula), yang bisa pecah.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah lengkap
b) Kultur pus
b. Rontgen: dapat menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak
c. USG: dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses.
d. CT-Scan: dapat mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta
derajat obstruksi jalan napas
e. MRI: menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak
dibandingkan dengan CT-scan

b. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (PES)


1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan tingkat metabolisme
penyakit
3. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan invasi pada
tubuh
4. Ansietas berhubungan dengan faktor fisiologis
c. Rencana Keperawatan

No Masalah Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC) Rasional


. Keperawatan
1. Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan MANAJEMEN NYERI 1. Dapat mengetahui keadaan nye
nyaman keperawatan selama 1x24 jam, Observasi pasien
diharapkan nyeri terkontrol 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, 2. Mengetahui tingkat nyeri yan
dengan kriteria hasil: durasi, frekuensi, kualitas, dirasakan pasien
Tingkat Nyeri intensitas nyeri 3. Mengetahui tanda-tanda nyeri secar
1. Keluhan nyeri berkurang 2. Indentifikasi skala nyeri nonverbal
2. Meringis tidak ada/ menurun 3. Identifikasi respons nyeri non verbal 4. Terapi komplementer untu
3. Sikap protektif tidak ada/ 4. Monitor keberhasilan terapi mengurangi nyeri
menurun komplementer yang sudah 5. Dapat mengetahui efek sampin
4. Gelisah tidak ada/ menurun diberikan penggunaan analgesik
5. Kesulitan tidur tidak ada/ 5. Monitor efek samping penggunaan 6. Teknik non farmakologis dap
menurun anlgetik mengurangi nyeri yang dirasaka
6. Frekuensi nadi membaik (60- Terapeutik klien
100) 6. Berikan teknik non farmakologis 7. Klien mengetahui penyebab nyeri
untuk mengurani rasa nyeri (mis. 8. Klien mengetahui strategi meredaka
Hipnosis, teknik nafas dalam, nyeri
distraksi, kompres hangat/dingin). 9. Analgesik dapat mengurangi nye
Edukasi yang dirasakan klien
7. Jelaskan penyebab, periode, dan 10. Teknik non farmakologis dap
pemicu nyeri mengurangi nyeri yang dirasaka
8. Jelaskan strategi meredakan nyeri klien
9. Anjurkan menggunakan analgetik 11. Kolaborasi pemberian analgesi
seara tepat dengan tenaga kesehatan untu
10. Ajarkan teknik nonfarmakologis meredakan nyeri
untuk mengrangi rasa nyeri
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
2. Hipertermia setelah dilakukan perawatan EDUKASI SEKSUAL 1. Suhu
60 10
selama 1x24 jam suhu tubuh Observasi 38 C – 41 C menunjukkan prose
pasien normal 360C-370C, kulit 1. Pantau suhu pasien penyakit infeksius akut
kemerahan hilang, dan tubuh 2. Pantau suhu lingkungan, batasi / 2. Suhu
disentuh tidak hangat lagi dengan tambahkan linen ditempat tidur ruangan / jumlah selimut haru
kriteria hasil: sesuai indikasi diubah untuk mempertahankan suh
1. Mengidentifikasi faktor – faktor Terapeutik mendekati normal
resiko terhadap hipertermia 3. Berikan kompres mandi hangat; 3. Dapat
2. Menghubungkan metode hindari penggunaan alkohol membantu mengurangi demam
pencegahan hipertermia Edukasi 4. Klien
3. Mempertahankan suhu tubuh 4. Jelaskan penyebab, periode, dan mengetahui penyebab hipertermi
normal pemicu hipertermi 5. Teknik
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis non farmakologis dapat mengurang
untuk menurunkan demam nyeri yang dirasakan klien
Kolaborasi 6. Digunaka
6. Kolaborasi : berikan obat untuk n untuk mengurangi demam denga
menurunkan demam aksi sentralnya pada hipotalamus
3. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan Observasi & Terapeutik 1. Drain sisi insisi di gunakan untu
integritas kulit / keperawatan selama 3 x 24 jam, 1) Periksa selang T – dan membuang cairan yang terkumpul
jaringan diharapkan luka dapat sembuh drainase insisi, yakinkan aliran 2. Mencegah iritasi kulit da
tepat waktu komplikasi dengan bebas memudahkan pengukuran haluaran
kriteria hasil: 2) Pertahankan drain pada Menurunkan resiko kontaminasi
1. M sistem penampungan tertutup 3. Kantong di gunakan untu
enunjukkan periaku untuk 3) Observasi warna dan penampungan drainase untu
meningkatkan penyembuhan / karakter drainase. Gunakan pengukuran lebih akurat tentan
mencegah keusakan kulit. kantong sekali pakai untuk haluaran dan melindungi kulit
2. M menampung drain luka 4. Menghindari terlepas dan / ata
engidentifikasi rasional untuk 4) Benamkan selang drainase, hambatan
pencegahan dan pengobatan. biarkan selang bebas bergerak, dan 5. Perlu untuk pengobatan abses
hindari lipatan dan terpelintir infeksi
Kolaborasi
5) Kolaborasi : berikan
antibiotik sesuai indikasi
4. Ansietas Setelah dilakukan tindakan REDUKSI ANSIETAS 1. Mengetahui tingkat
keperawatan selama 3 x 24 jam, 1. Identifikasi saat tingkat ansietas ansietas pasien
diharapkan ansietas terkontrol berubah (mis: kondisi, waktu, 2. Memfasilitasi keputusan
dengan kriteria hasil: stresor) yang diambil pasien
Tingkat ansietas 2. Identifikasi kemampuan mengambil 3. Dapat mengetahui tanda
1. Verbalisasi kebingungan keputusan ansietas secara nonverbal dan verba
menurun/ tidak ada 3. Monitor tanda ansietas (verbal dan 4. pasien akan lebih terbuk
2. Verbalisasi kekhawatiran akibat non verbal) jika sudah percaya kepada petugas
kondisi yang dihadapi menurun/ Terapeutik kesehatan
tidak ada 4. Ciptakan hubungan yang terapeutik 5. pasien merasa aman saa
3. Perilaku gelisah menurun/ tidak untuk menumbuhkan kepercayaan didampingi
ada 5. Temani pasien untuk mengurangi 6. mengurangi kecemasan
4. Perilaku tegang menurun/ tidak kecemasan pasien
ada 6. Pahami situasi yang membuat pasien 7. pasien merasa dihargai
5. Konsentrasi membaik cemas saat petugas kesehatan
6. Pola tidur membaik 7. Dengarkan dengan penuh perhatian mendengarkan pasien
8. Gunakan pendekatan yang nyamna 8. pasien merasa aman dan
dan meyakinkan percaya
Edukasi 9. pasien merasa percaya
9. Anjurkan keluarga tetap bersama diri dan aman saat bersama keluarga
pasien 10. dapat mengalihkan
10. Latih teknik pengalihan untuk perasaan ansietas pasien
mengurangi cemas (guide imagery) 11. dapat mengurangi rasa
11. Latih teknik relaksasi (nafas dalam, ansietas pasien
hipnosis 5 jari, dll) 12. mengurangi rasa ansieta
Kolaborasi pasien
12. Pemberian obat antiansietas, jika
perlu
L. DISCHARGE PLANNING:

1. pasien sebaiknya mengetahui obat-obat yang harus diajarkan setelah


pulang
2. pengajaran untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut
3. berikan informasi tentang kesehatan gigi dan mulut
4. anjurkan untuk membersihkan gigi sebelum tidur
5. anjurkan keluarga untuk memberikan dukungan yang positif kepada
pasien
DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, S., Dharma, A., & Turnip, M. (2017, Juni). JARINGAN SYARAF
TIRUAN PREDIKSI PENYAKIT LUDWIG ANGINA. JURITI PRIMA
(Junal Ilmiah Teknik Industri Prima), 1(1).
An, J., & Singhal, M. (2019, April 3). Ludwig Angina. (t. C. license, Ed.) NCBI.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M.
(2016).
Nursing Interventions Classification (NIC) (6th ed.). (I. Nurjannah, & R.
D. Tumanggor, Eds.) Yogyakarta: CV. Mocomedia.
Chou, Y. K., Lee, C. Y., & Chao, H. H. (2007, december). An Upper Airway
Obstruction Emergency Ludwig Angina. Pediatric Emergency Care, 23(12).
Cossio, P. I., Hinojosa, E. F., Cruz, M. M., & Perez, L. G. (2010). Ludwig's
angina and ketoacidosis as a first manifestation of diabetes mellitus. Med
Oral Patol Oral Cir Bucal, 1(15), 624-627.
Dewi, I. T., Putra, I. E., & Sucipta, I. W. (n.d.). Abses Ruang Submandibula
Sinistra Dengan Perluasanke Ruang Submental. Universitas Udayana, Ilmi
Kesehatan THT-KL. Denpasar: Fakultas Kedokteran.
Gupta, A. K., Singh, A. P., Tanger, R., & Mathur, V. (2018). Ludwig’s Angina:
Pediatric Case Report and Literature Review. Journal of Mahatma Gandhi
Institute of Medical Sciences, 23(2).
Hagberg, C., Bogomolny, Y., Gilmore, C., Gibson, V., Kaitner, M., & Khurana,
S. (2006). An evaluation of the insertion and function of a new supraglottic
airway device, the King LT, during spontaneous ventilation. Anesth
Analg(102), 621-625.
Hartmann, R. (2011). Ludwig's Angina In Children. Am Fam Physician(60), 109-
112.
Heavey, J., & Gupta, N. (2008). Ludwig’s Angina. The new england journal of
medicine, 359(14), 1501.
International, N. (2018). NANDA-I International nursing diagnoses : Definitions
and Classification 2018-2020 (11 ed.). (T. H. Herdman, S. Kamitsuru, Eds.,
B. A. Keliat, H. S. Mediani, & T. Tahlil, Trans.) Jakarta: EGC.
Kulkarni, A. H., Pai, S. D., Battarai, B., Rao, S. T., & Ambareesha, M. (2008,
June 20). Ludwig's angina and airway considerations: a case report. Cases
Journal, 1, 19.
McClay, J. E., Murray, A. D., & Booth, T. (2003). Intravenous Antibiotic Therapy
for Deep Neck Abscesses Defined by Computa Tomograhy. Archives of
Otolaryngol Head Neck Surgery, 11(129), 1207-1212.
Moorhead, K., & Guiahi, M. (2010). Pregnancy Complicated by Ludwig's Angina
Requiring Delivery. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Classification (NOC) (5th ed.). (I. Nurjannah, & R. D.
Tumanggor, Eds.) Yogyakarta: CV. Mocomedia.
Probst, R., Grevers, G., & Iro, H. (2006). Basic Otorhinolarylology: A Step by
Step Learning . Georg Thieme Verlag: Stuttgart, 84-85.
Rizzo, P., & Mosto, M. (2009). Submandibular Space Infection: a Potentially
Lethal Infection. International Journal of Infect Diseases(13), 327-333.
Ugboko, V., Ndukwe, K., & Oginni, F. (2005). Ludwig’ s Angina: An Analysis of
Sixteen Cases in a Suburban Nigerian T ertiary Facility. African Journal of
oral Health, 2, 16-23.
Vieira, F., Allen, S. M., Stocks, R. M., & Thompson, J. W. (2008). Deep Neck
Infection. Otolaryngologic Clinics of North America(41), 459-483.
Yang, S. W., Lee, M. H., See, L. C., Huang, S. H., Chen, T. M., & Chen, T. A.
(2008). Deep neck abscess: an analysis of microbial etiology and the
effectiveness of antibiotics. Infection and Drug Resistance, 1-8.
Berini, et al, 1997, Medica Oral: Buccal and Cervicofacial Cellulitis. Volume 4,
(p337-50).
Dimitroulis, G, 1997, A Synopsis of Minor Oral Surgery, Wright, Oxford (71-81)
Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.2008. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Doenges.2000. Rencana asuhan keperawatan; pedoman untuk perencanaan
danpendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC
Eron LJ. 2008. Cellulitis and Soft-Tissue Infections. American College of
Physicians.
Falace, DA, 1995, Emergency Dental Care. A Lea & Febiger Book. Baltimore (p
214-26) Milloro, M., 2004, Peterson’s of Principles Oral and Maxillofacial
Surgery, 2nd edition, Canada: BC Decker Inc.
Morris, AD. 2008. Cellulitis and erysipelas. University Hospital of Wales,
Cardiff, UK. 1708
Muttaqin Ariff. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin Ariff. 2008. Asuhan
Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.Jakarta: Salemba
Medika.
Neville, et al, 2004, Oral and Maxillofacial Pathology. WB Saunders, Philadephia
Pedlar, et al, 2001, Oral Maxillofacial Surgery. WB Saunders, Spanyotl (p90-100)
Peterson, et al, 2002, Oral and Maxillofacial Surgery. Mosby, St. Louis
Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. EGC : Jakarta 
Swartz MN. 2004. Cellulitis. New England Journal of Medicine. 350:904-12
Topazian, R.G & Golberg, M H, 2002, Oral and Maxillofacial Infection, WB
Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks.2008. color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill.

Anda mungkin juga menyukai