Anda di halaman 1dari 12

EKONOMI SDA DAN LINGKUNGAN

FOSIL AND NRE


Dosen : Dr. Ir. Amiluhur Soeroso, M.M., M.Si
UTS
Program Studi Ilmu Lingkungan

Disusun Oleh :
Rizky Bagus Anjana
18950325

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT TEKNOLOGI YOGYAKARTA
2019
Bahan bakar berbasis sayuran juga dapat mengurangi polusi lingkungan, membuatnya
lebih ramah lingkungan Sebagai tanaman sereal (biji-bijian), sorgum memiliki manfaat
multiuse. Selain itu, biji yang digunakan sebagai makanan, batang dan daun untuk pakan
ternak, gula yang terkandung dalam biji (karbohidrat) atau cairan / jus / batang getah (sorgum
manis) dapat diolah menjadi etanol (bioetanol). Getah yang terbuat dari sorgum dapat
digunakan untuk industri bioetanol yang telah dikembangkan di banyak negara seperti
Amerika Serikat, Cina, India dan Belgia. Saat ini, produktivitas bioetanol sorgum di Amerika
Serikat berjumlah 10.000 liter / ha, India 3000-4000 liter / ha dan Cina 7000 liter / ha.
Sebagai biofuel, sorgum bioetanol digunakan dalam berbagai keperluan, seperti dicampur
dengan bensin (premium) untuk kendaraan bermotor atau lebih dikenal dengan gasohol. Di
India, di samping gasohol, etanol sorgum juga digunakan sebagai bahan bakar untuk lampu
penerangan (lentera etanol bertekanan) yang disebut "Noorie" yang menghasilkan 1250-1300
lumens (setara dengan bola lampu 100 W). Bioetanol sorgum juga digunakan sebagai bahan
bakar kompor memasak (ethanol pressurized kompor) yang menghasilkan kapasitas panas 3
kW. Makalah ini menjelaskan tentang proses pembuatan sorgum bioetanol dan kelebihannya
untuk mengisi energi persyaratan di Indonesia. ndonesia masih berjuang meningkatkan rasio
elecrifikasi. Pada 2012, rasio elektrifikasi hanya 74%. Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah
menetapkan target untuk meningkatkan rasio elektrifikasi sebesar 2-3% pada tahun 2013.
Untuk mencapai target ini, pemerintah Indonesia menetapkan beberapa proyek dengan
membangun pembangkit listrik 10.000 MW. Kebanyakan

mereka akan datang dari pembangkit listrik tenaga batubara. Meskipun rasio
elektrifikasi rendah, konsumsi listrik di Indonesia juga telah meningkat pesat sejak 1990
(lebih dari 8,5% setiap tahun). Pangsa listrik dalam konsumsi energi kini meningkat menjadi
9% pada 2010 dari 3% pada 1990. Konstruksi pembangkit listrik sangat dibutuhkan.
Indonesia sendiri terletak di garis khatulistiwa bumi. Iklimnya tropis. Siang hari berlimpah di
daerah ini karena tersedia sepanjang tahun. Karenanya, energi matahari dapat menjadi salah
satu solusi terbaik untuk menyediakan listrik. Pemerintah sendiri telah berkomitmen untuk
meningkatkan rasio elektrifikasi dengan memaksimalkan pembangkitan listrik melalui energi
terbarukan terutama energi matahari. Pemerintah Indonesia telah menargetkan kapasitas
terpasang dari energi surya hingga 0,87 GW pada tahun 2025. Untuk mencapai target itu,
pemerintah telah memutuskan untuk memiliki tarif feed-in untuk energi surya sebagai
insentif untuk menumbuhkan minat dalam mengembangkan energi surya di Indonesia.
Kebijakan ini diharapkan meningkatkan pemasangan sistem photovoltaic (PV) yang
terhubung ke jaringan. Kebijakan tersebut telah diterapkan dan juga telah dipelajari di
sejumlah negara seperti Inggris, Ukraina, Australia, Spanyol, Taiwan, Jerman, bahkan di
Tanzania dan negara-negara lain. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menunjukkan
potensi energi matahari di Indonesia dan negara lain. Namun, tidak ada laporan yang
memasukkan feed-in tariff sebagai aspek dalam penelitian ini. Ini dapat diterima karena
kebijakan feed-in tariff cukup baru di Indonesia. Emisi gas rumah kaca telah menjadi masalah
besar untuk sementara waktu karena sangat terkait dengan perubahan iklim. Indonesia
mengandalkan sebagian besar pembangkit listriknya untuk pembangkit listrik berbahan bakar
fosil. Ini jelas akan meningkatkan gas rumah kaca ke atmosfer. Penggunaan energi terbarukan
seperti pembangkit listrik tenaga surya untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan
bakar fosil dapat mengurangi emisi gas rumah kaca. Sayangnya, tidak ada tulisan yang
melaporkan potensi aplikasi PV Solar dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca di
Indonesia.

Tabel Lokasi yang dipilih, status listriknya saat ini dan kapasitas pembangkit listrik
tenaga surya yang diusulkan

Provinsi Faktor Beban Permintaan Rasio kapasitas area yang


Beban Puncak Eletrifikasi pembangkit dibutuhkan
tenaga (m2)
surya
Aceh 89,2 92,12 2,92 87,21 3,79 25,608
Sumatera 7,91 20,07 12,16 80,11 15,81 106,824
Utara
Sumatra 19,42 23,67 4,25 76,21 5,52 37,297
Barat
Riau 49,33 139,73 90,4 54,8 117,52 794,054
Sumatera 4,3 4,74 0,44 65,18 0,57 3,851
Selatan
Bengkulu 13,84 17,91 4,07 64,48 5,29 35743
Kalimantan 174,45 282,68 108,23 64,86 140,69 950,608
Barat
Kalimantan 224,96 285,1 60,14 73,95 78,18 528,243
Selatan
Kalimantan 53,67 58,4 4,73 52,97 6,15 41,554
Tengah
Kalimantan 200,35 264,38 64,03 61,48 83,24 562,432
Timur
Gorontalo 19,5 116 96,5 67,38 125,45 847,635
Sulawesi 266,54 601,2 334,66 71,97 435,06 2,939,595
Selatan
Bali 2,23 2,45 0,22 68,63 0,29 1,959

Sebagian besar energi panas bumi telah digunakan di seluruh dunia, energi adalah
energi yang diekstraksi dari sistem hidrotermal, karena penggunaan sistem hotigneous dan
sistem yang didominasi konduksi membutuhkan ekstraksi teknologi tinggi. Sistem
hidrotermal adalah terkait erat dengan sistem dan pembentukan gunung berapi di zona batas
lempeng aktif yang terkandung aliran panas. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif,
yang memungkinkan panas dari sumur panas bumi yang dalam di Bumi dapat ditransfer ke
permukaan dengan sistem perpatahan. Ini menjadikan Indonesia strategis posisi sebagai
negara terkaya dalam sistem hidrotermal panas bumi yang tersebar di seluruh busur vulkanik
yang sebagian besar sumber energi panas bumi di Indonesia memiliki entalpi yang tinggi
yaitu cocok digunakan sebagai pembangkit energi panas bumi listrik.

Potensi energi panas bumi di Indonesia adalah yang terbesar di dunia, sekitar 40%
dari cadangan panas bumi dunia. Diperkirakan 219 juta BOE, setara dengan 27,00 GW.
Jumlah ini dapat digunakan untuk 2953,50 GWh sementara kapasitas terpasang baru 800,00
MW masih. Prinsip kerja pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hampir mirip dengan
pembangkit listrik tenaga uap, panas yang berasal dari perut bumi secara langsungdigunakan
untuk menghidupkan generator turbin untuk menghasilkan listrikenergi. Uap panas yang
keluar tidak langsung digunakan, tetapi perlu melalui proses karena uap skrining yang dirilis
masih mengandung bahan lain seperti seperti air, mineral, garam. Batuan panas untuk
menghasilkan uap menaikkan air ke dalam batu - batu panas di perut bumi sehingga menjadi
uap. Uap yang dihasilkan adalah kemudian dimurnikan dan kemudian digunakan untuk
memutar turbin dan pembangkit listrik kemudian ditransmisikan.

Biodiesel dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan 'untuk pengembangan negara
oping. Selain itu, biodiesel dapat memberikan insentif baru untuk investasi dalam penelitian
dan pengembangan pertanian, tawarkan sumber pendapatan petani dan merangsang hubungan
dengan pasar makanan yang saat ini tidak ada. Penggunaan biodiesel dapat membuat negara
bergantung pada tingkat tertentu, tetapi masih jauh di belakang untuk membuat perbedaan
yang signifikan dalam impor minyak mentah, yang merupakan kebutuhan saat ini. Prinsip-
prinsip keberlanjutan biodiesel terutama berasal dari prinsip-prinsip yang ada yang
dikembangkan oleh Roundtable on Sustainable Biofuels (RSB). Jumlah prinsip-prinsip ini
adalah sebagai berikut :

 Biodiesel akan berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim oleh secara signifikan
mengurangi emisi gas rumah kaca siklus hidup sebagai dibandingkan dengan bahan
bakar fosil. Produsen harus berusaha untuk terus menerus meningkatkan pengurangan
itu.
 Produksi biodiesel harus mendukung hak asasi manusia dan tenaga kerja dan harus
memastikan kondisi kerja yang aman dan layak.
 Produksi biodiesel harus berkontribusi pada sosial dan ekonomi pengembangan
komunitas lokal.
 Produksi biodiesel harus berusaha untuk meningkatkan ketahanan pangan.
 Sepanjang rantai pasokan, industri biodiesel harus menerapkan sistem manajemen yang
memelihara dan berusaha untuk meningkatkan keanekaragaman hayati, area dengan nilai
konservasi tinggi, dan kualitas sumber daya alam seperti tanah, udara, dan air.
 Produksi biodiesel harus menghormati hak sumber daya alam, seperti sebagai hak atas
tanah dan air.
 Produksi biodiesel harus menghindari dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati,
ekosistem, dan area dengan nilai konservasi tinggi.

Saat ini, satu-satunya listrik yang bersumber dari pembangkit tenaga diesel dan
akumulasi limbah serta limbah rumah tangga dan limbah yang dihasilkan dari tempat-tempat
umum berkontribusi signifikan terhadap peningkatan CO2 di kota Kupang. Solusi mengenai
bagaimana mengintegrasikan sejumlah sumber daya manusia dan alam di Kupang adalah
wajib, dan solusi terbaik adalah dengan memperkenalkan RET dan WTP untuk mendukung
kegiatan ekonomi di Kupang. Kami juga memperkenalkan 27 sektor pencemar yang
terkandung dalam kegiatan ekonomi. Kami berasumsi dengan memperkenalkan teknologi
atau sistem ini dan sektor pencemar, emisi polutan termasuk emisi CO2 di kota Kupang akan
mudah diidentifikasi dan bagaimana membatasi setara CO2 (CO2e) dapat diobati juga.
Penjelasan tentang penggantian energi (dari Diesel ke RET) dimungkinkan sejauh listrik
yang dihasilkan oleh RET dapat dimasukkan ke dalam jaringan tenaga listrik saat ini di
Kupang. Sedangkan WTP tergantung pada permintaan untuk listrik lebih besar atau lebih
kecil dari listrik yang dihasilkan melalui proses perawatan; oleh karena itu, kemauan
membayar akan menjadi konsumen atau produsen listrik. Namun, kami masih menganggap
bahwa jika pembangkit listrik diesel dan RET dapat diintegrasikan satu sama lain menjadi
pembangkit listrik untuk menghasilkan listrik di kota Kupang, itu akan bermanfaat dan jelas
emisi CO2 akan berkurang juga. Seperti kita ketahui ketika tingkat produksi pembangkit
listrik tenaga diesel menurun, emisi CO2 juga menurun sementara tingkat kegiatan ekonomi
atau produk domestik regional bruto (PDRB) kota Kupang akan tetap pada tingkat yang
sama atau meningkat di atas tingkat sebelum pengenalan RET dan WTP. Oleh karena itu,
oleh memperkenalkan teknologi canggih dan sektor pencemar di kota Kupang dan
mempertimbangkan penawaran dan permintaan dan PDRB Kupang pada tingkat yang sama
atau tingkat yang lebih tinggi, adalah mungkin untuk mengurangi CO2.

Indonesia memiliki berbagai opsi mitigasi sektor energi yang dapat mencapai
pengurangan ini, yaitu langkah-langkah efisiensi, penyebaran energi terbarukan, dan
penggunaan tenaga nuklir dan teknologi batubara bersih (termasuk penangkapan dan
penyimpanan karbon, CCS). Opsi-opsi ini dapat dikumpulkan dan dianggap sebagai bagian
dari strategi sistem energi rendah karbon. Pengembangan energi menggunakan mitigasi ini
opsi melibatkan biaya yang umumnya lebih tinggi daripada biaya dalam skenario bisnis
seperti biasa (tanpa tindakan mitigasi). Di negara dengan kekayaan terbatas, dampak
ekonomi dari tindakan mitigasi merupakan faktor penting dalam memilih dan akhirnya
mengimplementasikan opsi-opsi ini.

Beberapa studi telah membahas opsi masa depan untuk sistem energi Indonesia. Hasan et
al. mengkaji skenario energi secara komprehensif untuk Indonesia. Jupesta memproyeksikan
produksi biofuel hingga 2025 menggunakan model program linier dan menyimpulkan bahwa
kemajuan teknologi biofuel melalui penelitian dan pengembangan (R&D) dan peningkatan
skala akan mendukung transisi biofuel. Walaupun Fokus utama penelitian itu adalah biofuel,
beberapa opsi sistem energi dimodelkan. Studi lain, yang berfokus tidak hanya pada
Indonesia tetapi juga pada ASEAN (Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara) wilayah,
berusaha untuk mengklarifikasi implikasi opsi teknologi daya rendah karbon [3]
menggunakan model MARKAL (MARKet dan ALlocation). Kesimpulan mereka adalah
bahwa teknologi rendah karbon membawa banyak manfaat, seperti pengurangan pasokan
energi primer serta pengurangan emisi CO2 dan polutan udara. Studi lain yang
menggunakan MARKAL-JAWABAN yaitu (antarmuka Windows yang ramah pengguna
dengan kurva belajar yang lembut) mempresentasikan proyeksi sistem energi Indonesia pada
tahun 2050. Ada juga beberapa publikasi yang membahas kebijakan iklim jangka panjang
untuk negara tersebut. Sementara beberapa studi telah membahas skenario energi Indonesia
di masa depan, belum ada upaya untuk menilai Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional
(INDC).

Dua opsi untuk pengembangan energi rendah karbon di Indonesia dianalisis


menggunakan model AIM / CGE. Skenario ini disimulasikan menggunakan asumsi sosial
ekonomi yang sesuai dengan situasi aktual negara itu. Analisis hasil simulasi menunjukkan
bahwa sistem energi rendah karbon Indonesia pada tahun 2030 dapat dicapai dengan dua
pilar, yaitu, efisiensi energi langkah-langkah dan penyebaran lebih sedikit sistem energi
emisi karbon (yaitu, energi terbarukan di sektor listrik dan transportasi, dan gas alam di
sektor listrik dan transportasi). Pengurangan emisi juga akan dipenuhi melalui elektrik
konsumsi pengguna akhir, di mana penggunaan energi terbarukan dalam pembangkit listrik
akan menghilangkan karbonisasi pasokan listrik. Dalam skenario pengurangan emisi
moderat (skenario CM1), target pengurangan emisi 15,5% (dibandingkan dengan skenario
baseline) dapat dicapai. Pengurangan ini dapat dicapai dengan menggunakan langkah-
langkah efisiensi yang mengurangi permintaan energi total sebesar 4%, dengan penyebaran
enam kali lebih besar pembangkit listrik tenaga panas bumi dari pada baseline dan
penggunaan tenaga air empat kali lebih besar dari pada skenario baseline. Untuk
pengurangan karbon lebih lanjut (CM2), pengurangan 27% dapat dicapai dengan langkah-
langkah serupa tetapi dengan penetrasi yang lebih intensif: pengurangan permintaan energi
total 13%, penyebaran tujuh kali lebih besar dari pembangkit listrik tenaga panas bumi
dibandingkan dengan baseline, dan lima kali lipat dari jumlah tenaga air dari pada baseline.
Untuk mendekarbonisasi pasokan listrik, pangsa energi terbarukan dalam campuran daya
harus ditingkatkan menjadi 20%, dan 4% dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil harus
dilengkapi dengan Sistem CCS. Dalam CM1, pengurangan GHG pada tahun 2030 akan
menelan biaya US $ 16 per ton CO2. Pengurangan emisi lebih lanjut (yaitu, skenario CM2)
akan memiliki biaya yang jauh lebih tinggi (US $ 63 per ton CO2). Perkembangan energi
rendah karbon Indonesia, secara mengejutkan, akan memiliki implikasi makro-ekonomi
yang positif; mungkin ada beberapa perbaikan kecil (dibandingkan dengan skenario
baseline) sehubungan dengan pembangunan ekonomi (peningkatan 0,6% untuk CM1 dan
peningkatan 0,3% untuk CM2). Energi adalah input penting untuk pembangunan ekonomi
dan sosial. Namun, sektor energi Indonesia menghadapi tantangan dalam konteks
pembangunan berkelanjutan. Pertama, terlepas dari potensi energi terbarukannya yang
sangat besar, sektor energi Indonesia sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Pada 2014,
total konsumsi bahan bakar fosil Indonesia berjumlah 1.358 juta BOE, terhitung sekitar 96
persen dari total konsumsi energi primer (NEC, 2015). Dari Gambar 1, kita dapat melihat
bahwa minyak adalah kontributor utama bauran energi Indonesia sebesar 48 persen, diikuti
oleh batubara dan gas. Terlepas dari dominasinya terhadap sumber energi lain, pangsa
minyak dalam bauran energi nasional menunjukkan tren menurun. Dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata 9,9 persen per tahun, batubara telah berhasil secara bertahap
mengurangi pangsa minyak dalam bauran energi nasional, yang telah tumbuh pada tingkat
rata-rata yang lebih lambat 1,9 persen per tahun dalam dekade terakhir (BPPT, 2014). Begitu
pula yang tinggi Ketergantungan pada bahan bakar fosil ditemukan di sektor listrik. Pada
2014, total pembangkitan listrik adalah sekitar 288 TWh, 88 persen di antaranya dihasilkan
dari bahan bakar fosil, dengan batu bara menyumbang sekitar 52,8 persen dari jumlah total
(Gambar 2) (NEC, 2015). Untuk meningkatkan tingkat elektrifikasi hingga 100 persen pada
tahun 2020 dan untuk memastikan keamanan pasokan energi, yang diperlukan untuk
mendukung pembangunan ekonomi, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program Jalur
Cepat Listrik untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik. Di bawah program itu,
Pemerintah Indonesia mempercepat pembangunan pembangkit listrik baru dengan total
kapasitas 20 GW. Sedangkan fase pertama dari program ini sepenuhnya bergantung pada
pembangkit listrik tenaga batu bara, fase kedua dari program ini mendorong penggunaan
energi terbarukan untuk pembangkit listrik (BPPT, 2014; NEC, 2015). Setelah
menyelesaikan fase pertama program, pangsa batubara dalam bauran energi nasional
diperkirakan akan semakin meningkat. Kedua, sektor energi Indonesia sangat disubsidi
untuk memastikan ketersediaan dan aksesibilitas energi untuk semua tingkatan masyarakat.
Pada 2014, pemerintah mengalokasikan lebih dari 25 miliar USD untuk subsidi energi,
sekitar 26 persen di antaranya dialokasikan untuk listrik (NEC, 2015). Tingkat subsidi yang
tinggi ini telah memberikan dampak yang besar beban keuangan untuk APBN Indonesia.
Selain itu, telah menyebabkan konsumsi energi yang tidak efisien dan menghambat
pengembangan energi baru dan terbarukan (NRE) (NEC, 2014). Ketiga, Indonesia saat ini
mengalami berbagai masalah lingkungan termasuk ancaman perubahan iklim yang
kemungkinan disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat dan penggunaan sumber
daya alam yang luas, khususnya pembakaran bahan bakar fosil. Bank Dunia memperkirakan
bahwa kerugian ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim di Indonesia diperkirakan
mencapai 2,5-7,0 persen dari PDB pada tahun 2100. Sementara itu, dampak kesehatan dari
polusi udara dapat menelan biaya lebih dari $ 400 juta per tahun (Leitmann, 2009).
Gambar 1. Energi Primer Indonesia 2014

Gambar 2. Pembangkit listrik Indonesia 2014

Koefisien positif ln EC dan ln EC menyiratkan bahwa konsumsi energi secara positif


mempengaruhi tingkat emisi CO2 baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Ini
bukan hasil yang mengejutkan: Sektor energi Indonesia sangat bergantung pada bahan bakar
fosil sekitar 96 persen dari total konsumsi energi primer (NEC, 2015). Temuan ini konsisten
dengan Ang (2007) untuk kasus Perancis dan Saboori et al. (2012b) untuk kasus Indonesia.
Kami juga menemukan bahwa elastisitas konsumsi energi dalam jangka panjang lebih besar
daripada elastisitas dalam jangka pendek, menyiratkan inefisiensi dalam konsumsi energi.
Namun untuk kasus II, dengan mempertimbangkan TFP dalam model kami, kami hanya
menemukan sedikit peningkatan elastisitas energi konsumsi dalam jangka panjang. Koefisien
TFP yang negatif dan signifikan menunjukkan bahwa mengadopsi teknologi yang lebih
efisien memiliki efek menguntungkan bagi lingkungan, baik dengan secara langsung
mengurangi tingkat emisi atau dengan meningkatkan efisiensi konsumsi energi. Temuan ini
mendukung argumen Stern (2004), yang mengusulkan bahwa peningkatan TFP secara umum
memiliki efek samping yang menguntungkan bagi lingkungan melalui penurunan emisi per
unit output.

kami juga berusaha untuk mengevaluasi hubungan tipe EKC dengan menggunakan
model kuadratik tradisional (kasus III dan IV). Dari Tabel 4 dan 5, kita dapat melihat bahwa,
secara umum, model kuadratik memberikan hasil yang serupa, terutama untuk dampak
konsumsi energi, produksi listrik dari energi terbarukan dan TFP. Namun demikian, temuan
kami tentang dampak tingkat pendapatan pada tingkat emisi CO2 menunjukkan hasil yang
menarik. Untuk kasus III, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang,

koefisien ln Y dan ln Y2 secara statistik tidak signifikan. Ada kemungkinan bahwa


variabel-variabel ini gagal mencapai signifikansi statistik karena kehadiran multikolinieritas,
seperti yang disarankan oleh Narayan dan Narayan (2010). Namun, dengan memasukkan
variabel TFP ke dalam model kami (kasus IV), kami menemukan dampak signifikan tingkat
pendapatan terhadap emisi CO2 dalam jangka panjang. Koefisien negatif dan signifikan pada
Y2 menunjukkan hubungan berbentuk U terbalik antara tingkat pendapatan dan emisi CO2,
yang konsisten dengan EKChypothesis. Dari perkiraan jangka panjang, titik balik
diperkirakan 𝑒𝑥𝑝 (𝛽1 / | 2 𝛽2 |) ≅ 7,729 USD per kapita. Perkiraan titik balik relatif masuk
akal, meskipun terletak di luar periode sampel (nilai tertinggi PDB per kapita dalam sampel
kami adalah 1.570 USD). Beberapa penelitian sebelumnya, seperti Saboori dan Sulaiman
(2013) untuk kasus Malaysia dan Bölük dan Mert (2015) untuk kasus Turki, juga telah
melaporkan titik balik EKC yang berada di luar periode sampel yang diamati.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mulali, U., Saboori, B., Ozturk, I., 2015. Investigating the environmental Kuznets curve
hypothesis in Vietnam. Energy Policy 76, 123-131.

Ang, J.B., 2007. CO 2 emissions, energy consumption, and output in France. Energy Policy
35, 4772-4778.

Ang, J.B., 2008. Economic development, pollutant emissions and energy consumption in
Malaysia. Journal of Policy Modeling 30, 271-278.

Apergis, N., Payne, J.E., Menyah, K., Wolde-Rufael, Y., 2010. On the causal dynamics
between emissions, nuclear energy, renewable energy, and economic growth.
Ecological Economics 69, 2255-2260.

Arouri, M.E.H., Youssef, A.B., M'henni, H., Rault, C., 2012. Energy consumption,
`economic growth and CO 2 emissions in Middle East and North African countries.
Energy Policy 45, 342-349.

Beckerman, W., 1992. Economic growth and the environment: Whose growth? Whose
environment? World development 20, 481-496.

Bernard, J.-T., Gavin, M., Khalaf, L., Voia, M., 2015. Environmental Kuznets curve: Tipping
points, uncertainty and weak identification. Environmental and Resource Economics
60, 285-315.

Bölük, G., Mert, M., 2015. The renewable energy, growth and environmental Kuznets curve
in Turkey: An ARDL approach. Renewable and Sustainable Energy Reviews 52, 587-
595.

Edwards, L.M., Chilingar, G.V., Rieke III, H.H., Fertl, W.H. (1982) Handbook of
Geothermal Energy, Gulf Publishing Company, Houston, Texas
EKTRO INDONESIA. (1996) Berbagai Insentif bagi Swasta :Tantangan dan Peluang
Pembangunan Energi dan Tenaga Listrik Edisi ke lima,

EKTRO INDONESIA. (1996) Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di


Indonesia Edisi ke lima.

Indartoni, Y S. (2005) Krisis Energi di Indonesia:Mengapa dan Harus Bagaimana,


INOVASI Online Edisi Vol. 05/XII/November http://io.ppi-jepang.org

Hilal, Samsul & Marwan, Batubara. (2013) Masalah Pengembangan Energi Panas Bumi,

K.D, Herlina. (2013) Realisasi Subsidi BBM dan Listrik Membengkak, dari alamat web
http://nasional.kontan.co.id/news/realisasi-subsidi-bbm-dan-listrik-membengkak,

Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2004–2020.


Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Anda mungkin juga menyukai