PEMBANGUNAN
Resolusi ECOSOC mengandung arti pengembangan wilayah hanay akan berarti jika
dilaksanakan dalam kerangka pengembangan masyarakat, sedangkan alat analisis ekonomi
regional dan ilmu regional hanya merupakan bagian dari kerangka reformasi holistik
kelembagaan.
G. Pengembangan Berkelanjutan
Adanya krisis tentang semakin terbatasnya sumberdaya lama yang tersedia dan
kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan
sumberdaya alam yang efisien.Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang
populer terutama sejak dipublikasikan laporan “Our Common Future” sebagailaporan World
Commission on Wnvironmental and Development yang dipimpin oleh G.H.Brutland di tahun
1987. Pada tahun 1992, pada KTT Bumi (United Nation Confrence on Environmental
Development, UNCED) di Rio de Jainero, pentingnya pendekatan pembangunan secara
berkelanjutan dipertegas.
Konsep pembangunan berkelanjutan terus mendapat sambutan yang luas dari para
pemerhati pembangunan dan lingkungan hidup. Lebih lanjut, keberlanjutan pembangunan
dilihat dalam tiga dimensi keberlajutan sebagaimana diemukakan oleh Serageldin (1996)
sebagai “a triangular framework”, yakni keberlajutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi.
Spangenberg (1999) menambahkan dimensi kelembagaan sebagai dimensi keempat
keberlajutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan.
H. PERGESERAN PERANAN PEMERINTAH MASYARAKAT SERTA
KECENDERUNGAN DESENTRALISASI PEMBANGUNAN
Government policy failure dapat terjadi akibat pelaksanaan pembangunan secara top-
down dan sentralistik, dimana pemerintah pusat seringkali tidak mengetahui kondisi
ekosistem dan tatanan nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Hal ini didorong
oleh kesalahan pengaturan dan perancangan (design) program dan proyek pembangunan yang
berdampak pada pemiskinan masyarakat pedesaan. Perencanaan pembangunan wilayah
sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana ”perencana mengarahkan masyarakat
untuk melakukan”. Lahirnya pandangan tersebut sebenarnya terutama sebagai akibat dari
proses pendekatan wilayah yang selama ini dilakukan pada umumnya dilakukan bersifat top-
down. Perencanaan wilayah umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana pihak pemerintah
dianggap memiliki kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate.
Padahal di balik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi
masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya.
Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan. Cara
pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis
peningkatan investasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik) yang didominasi
oleh peranan pemerintah, telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan
pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru
yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif
(participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan
dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.
Adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis merupakan tatanan sosial yang sering
menjadi ciri penting yang membedakan perkembangan wilayah di negara-negara yang sedang
berkembang dengan negara-negara di industri maju. Tatanan sosial yang terbagi atas
masyarakat tradisional dengan masyarakat yang lebih modern kerap ditemui secara bersama-
sama pada suatu wilayah.
Perkembangan sektor ekonomi modern, yang pada mulanya timbul sebagai akibat
perkembangan kegiatan perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, berimplikasi
terhadap perubahan kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor tradisional. Sehingga kegiatan tukar
menukar bertambah luas dan kegiatan produksi sektor tradisional sudah melangkah bukan
saja untuk keperluan sendiri (subsisten) tapi juga untuk pemasaran, baik dalam wilayah
maupun ekspor. Sebagai implikasi berlakunya keadaan tersebut di atas, maka muncullah
berbagai macam dualisme di dalam tatanan perekonomian negara-negara berkembang yakni
dualisme teknologi, finansial,, dan regional.
Berbagai tipe dualisme ekonomi tersebut ternyata berkaitan erat dengan aspek
kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di perkotaan sedangkan sektor
tradisional bercokol di pedesaan. Ketimpangan tingkat produktivitas antara kota dan desa
mengakibatkan ketimpangan penanaman modal dan pembangunan di kedua sub wilayah
tersebut. Sehingga terjadilah jurang yang bertambah lebar antara perkembangan wilayah
kota yang cukup pesat dengan perkembangan wilayah pedesaan yang lambat. Kenyataan
inilah yang dikenal dengan dualisme regional
Namun yang juga menarik perhatian para peneliti urbanisasi dan perkotaan di negara-
negara yang sedang berkembang adalah adanya dualisme ekonomi di kota-kota
besar/metropolitan, yakni sektor informal dan sektor formal. Peranan sektor informal di
berbagai kota-kota utama di negara-negara berkembang menjadi sangat penting karena
menjadi katup pengaman masalah pengangguran dan kemiskinan di perkotaan. Sektor
informal di perkotaan juga menjadi “jembatan” yang efektif untuk terjadinya aliran uang
hasil pendapatan pekerja informal perkotaan ke pedesaan. Hal ini menjadi sangat berarti
di tengah-tengah kecenderungan dimana pedesaan secara umum mengalami net capital
outflow, yakni aliran uang yang mengalir ke luar lebih banyak daripada uang/modal yang
masuk
Hasil Pertanian
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan