Anda di halaman 1dari 21

PEMBANGUNAN

MATA KULIAH : PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN

OLEH KELOMPOK VII :


ARLEN M. KORUA 18081103073
JORDAN M. RUMENGAN 18081103041
REVINA PELEALU 18081103031
HAYATI S. SALMON 18081103017
RITCHEL PUSUNG 18081103067

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
BAB VII

PEMBANGUNAN

A. Pengertian Pembangunan dan Pengembangan


Secara filosofis suatu proses pembangunan dapat diartikan sebagai “upayah yang
sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternative yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga
yang humanistik”. Dengan perkataan lain proses pembangunan merupakan proses
memanusiakan manusia. Istilah pembangunan seringkali lebih berkonotasi fisik
artinya melakukan kegiatan-kegiatan membangun yang bersifat fisik, bahkan
seringkali secara lebih sempit diartikan sebagai membangun infrastruktur/fasilitas
fisik. Pengertian dari “pemepilihan alternatif yang sah” dalam definisi pembangunan
di atas diartikan bahwasanya upaya pencapaian aspirasi tersebut dilaksanakan sesuai
dengan hokum yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan atau budaya yang dapat
di terima.
UNDP mendefinisikan pembangunan dan khususnya pembangunan manusia
sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. Dalam konsep
tersebut, penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir bukan alat, cara atau instrumen
pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia
sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai untuk mencapai tujuan itu.
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai suatu proses perbaikan yang
berkesinambungan atas suatu masyarakat atau suatu system sosial secara keseluruhan
menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan adalah
mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada.Menurut Todaro
(2000) pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai
basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling
hakiki yaitu,kecukupan memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri
atau jati diri, serta kebebasan untuk memilih.
Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial,
sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar
akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta
pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem secara
keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual
maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju
menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun
spiritual.
Menurut Anwar (2001a), mengarahkan pembangunan wilayah kepada terjadinya
pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan
keberlanjutan (sustainability). Konsep pembangunan yang memperhatikan ketiga
aspek tersebut, dalam proses perkembangannya secara evolusi dengan berjalan
melintas waktu yang ditentukan oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat, seperti
perubahan keadaan sosial, ekonomi, serta realitas politik. Pembangunan dapat
diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu Negara/wilayah untuk
mengembangkan kualitas hidup masyarakat. Jadi pembangunan harus dipandang
sebagai suatu proses dimana terdapat saling keterkaitan dan saling mempengaruhi
antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan tersebut dapat di
definisikan dan dianalisa dengan skema sehingga diketahui runtutan peristiwa yang
timbul yang akan mewujudkan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu
tahap pembangunan ketahap pembangunan berikutnya.

B. Pembangunan sebagai Proses Pertumbuhan


1. Tahap-tahap pembangunan menurut Rostow
Sebagai pakar ekonomi pembangunan berpendapat bahwa hakekat pembangunan
secara sederhana adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pendekatan
sejarah pertumbuhan Negara-negara di dunia, Rostow (1960) mencetuskan suatu
model tahapan pertumbuhan ekonomi. Menurut Rostow proses pertumbuhan dapat
dibedakan ke dalam lima tahap setiap Negara atau wilayah dapat di golongkan ke
dalam salah satu dari kelima tahapan. Adapun kelima tahapan itu yakni :
a. Masyarakat tradisional
Sistem masyarakat tradisional merupakan kondisi pada awal pertumbuhan
dimana struktur perekonomian berkembang dalam fungsi produksi per pekerja
sangat terbatas yang didasarkan pada teknologi, ilmu pengetahuan dan sikap
masyarakat seperti sebelum masa newton dengan cirri-ciri antara lain :
1). Sistem produksi yang reltif primitif, tingakt produksi perkapita dan
produktifitas per pekerja sangat terbatas, sumberdaya masyarakat dikerahkan
kedalam sektor pertanian.
2). Kehidupan dimasyarakat masih didasarkan atas nilai-nilai dan pemikiran
yang bukan rasional atau kebiasaan yang telah berlaku secara turun temurun .
3). Struktur sosial sangat hirarkis yang kurang memungkinkan terjadinya
mobilisasi vertikal, sehingga status sosial seorang anak sama dengan orangtua
dan nenek moyang.
4). Pusat kekuatan politik berada pada tangan tuan-tuan tanah diperdesaan,
sehingga kebijaksanaan pemerintah pusat selalu dipengaruhi oleh pandangan
tuan-tuan tanah tersebut.
b. Prasyarat lepas landas
Merupakan suatu masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya
atau dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai
kekuatan terus berkembang. Ciri-ciri tahapan ini :
1). Terciptanya kerangka landasan struktur sosial, politik , dan perekonomian
yang secara mantap menunjang lepas landas
2). Sektor pertanian memegang peranan penting hingga mencapai swasembada
dan mendorong terjadinya backward dan forward. Sehingga ,uncul beberapa
industry pemasok input dan pengolah hasil pertanian
3). Pengembangan prasarana umum yang dilakukan oleh pemerintah.
4). Terciptanya elite kepemimpinan baru yang lebih reactive nationalism,
yakni bereaksi secara positif terhadap tekanan/kritikan yang dating dari luar.
c. Lepas landas
Pada tahap ini sudah terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam
masyarakat, seperti revolusi politik, terciptanya inovasi-inovasi baru, peningkatan
penanaman modal dan pertumbuhan pendapatan wilayah melebihi pertumbuhan
penduduk. Ciri-ciri masa lepas landas ini menurut Rostow yakni:
1). Pertumbuhan investasi produktif lebih dari 10% dari produk nasional neto.
2). Terdapat satu atau beberapa industri dengan tingkat perkembangan yang
tinggi.
3). Adanya kerangka dara politik, sosial dan institusional yang mendorong
perluasan sektor modern dan potensi external economies dari kegiatan lepas
landas.
d. Gerakan kearah kedewasaan
Merupakan masa dimana masyarakat sudah menggunakan teknologi modern
pada sebagian besar faktor-faktor produksi dan sumberdaya alam. Dalam tahapan
ini perekonomian terus berkembang. Ciri-ciri dari gerakan ini adalah :
1). Terjadinya tranformasi structural yang nyata sehingga peranan relatif
sektor industry jauh lebih tinggi dari sektor pertanian dan ditunjang oleh
kemahiran para pekerja yang semakin tinggi.
2). Sifat kepemimpinan dalam perusahaan semakin ditentukan oleh manager
professional yang menggantikan pengusaha pemilik.
3). Masyarakat secara keseluruhan telah bosan dengan keajaiban
industrialisasi dan telah timbul kritik –kritik terhadapnya
e. Masa konsumsi tinggi
Pada tahap ini perhatian masyarakat sudah tidak ditekankan lagi pada produksi
tapi pada konsumsi dan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat saling
berkompetisi mendapatkan sumberdaya dan sokongan politik untuk :
1). Memperbesar kekuatan dan pengaruhnya ke luar wilayah dan berakhir
pada penaklukan atas wilayah-wilayah lain.
2). Menciptakan suatu welfare state yang lebih merata kepada penduduknya
dengan melakukan distribusi pendapatan makin tinggi tingkat pajaknya.
3). Mempertinggi tingkat konsumsi masyarakat diatas konsumsi utama yang
sederhana atas makanan, pakaian, dan perumahan yang meliputi barang-
barang mewah.

C. Masa depan pertumbuhan wilayah


Pandangan pesimistis tentang masa depan pertumbuhan wilayah telah
dikemukakan oleh David Ricardo. David Ricardo mengungkapkan bahwa pada
mulanya jumlah penduduk rendah dan kekayaan masih banyak sebagai akibat para
pengusaha memperoleh keuntungan. Keuntungan tinggi mengakibatkan peningkatan
investasi dan perluasan usaha, sehingga permintaan tenaga kerja naik. Hal ini akan
merangsang pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, sedangkan luas lahan tetap,
maka makin lama lahan yang digunakan memiliki kualitas yang lebih rendah dengan
luasan relatif yang semakin kecil keadaan demikian mengakibatkan produktifitas
pekerja semakin kecil sedangkan biaya-biaya yang meliputi sewa lahan besar.
Akhirnya keuntungan perusahaan menurun, kagairahan penanaman modal sangat
rendah, dan tingkat upah rendah sampai batas minimal sekali. Pada tahan ini
perekonomian mencapai stationary state. Perkembangan tekonologi selanjutnya tidak
dapat menghindari terjadinya stationary state tapi hanya mengundurkan waktu saja.
Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi disatu pihak juga diikuti oleh
pertumbuhan penduduk.
Pandangan lain yang lebih Optimistik diungkapkan oleh Hayami dan Ruttan
(1971). Kedua pakar ini merumuskan suatu model pengembangan wilayah yang
dikenal dengan “induced innovation model”. Pengembangan wilayah mau tidak mau
memang memanfaatkan sejumlah sumberdaya alam. Sampai tahap perkembangan
tertentu, bisa saja sumberdaya alam yang dirasakan semakin langka. Namum Hayami
dan Ruttan berkeyakinan bahwa kelangkaan sumberdaya tersebut akan selalu memacu
perkembangan teknologi untuk menanggulanginya.

D. Pergeseran paradigma pembangunan


Paradigma pembangunan, selama beberapa dekade terakhir terus mengalami
pergeseran dan perubahan-perubahan mendasar. Berbagai pergesaran paradigma
akibat adanya distorsi berupa “kesalahan” didalam menerapkan model-model
pembangunan yang ada selama ini adalah sebagai berikut :
1). Pergesaran dari situasi harus memilih antara pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan sebagai pilihan-pilihan yang tidak saling menenggang (trade off)
keharusan mencapai menjadi tujuan pembangunan tersebut secara “berimbang”
2). Kecenderungan pendekatan dari cenderung melihatpencapaian tujuan-tujuan
pembangunan yang diukur secara makro menjadi pendekatan-pendekatan regional dan
lokal.
3). Pergeseran asumsi tentang peranan pemerintah yang dominan menjadi pendekatan
pembangunan yang mendorong partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan
(baik dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian).

Di masa sekarang dan yang akan datang diperlukan adanya pendekatan


perencanaan wilayah yang berbasis pada hal-hal berikut : (i) sebagai bagian dari
uapaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upayah
untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak di inginkan, (ii) menciptakan
keseimbangan pembangunan antar wilayah, (iii) menciptakan keseimbangan
pemanfaatan seumberdaya dimasa sekarang dan masa yang akan datang
(pembangunan berkelanjutan), dan (iv) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan
masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun.

E. Dari pilihan antara pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan menuju


pembangunan berimbang
Setelah perang Dunia II, perekonomian jerman barat dan Negara-negara Eropa
lainnya jatuh. Dalam upayah memperbaiki, kongres Amerika Serikat melalui program
“Marshall Plan” melakukan program penyuntikan dana yang sangat besar. Kemajuan
perekonomian Jerman Barat segera terlihat dalam dua hingga lima tahun kemudian,
seiring dengan peningkatan PDRB-nya yang berada di atas 5% per tahun. Pengalaman
serupa ini menjadi contoh bagi pengembangan Negara-negara yang ingin
berkembang, sehinggah terilhami menjadikannya sebagai tolok ukur pembangunan.
Berdasarkan pengalaman Jerman barat, bebrapa Negara lain seperti Israel, Philipina,
Korsel dan Taiwan melakukan cara yang hamper sama yaitu penyuntikan dana
transfer modal secara besar-besaran.
Kemajuan seperti yang dialami Jerman Barat ternyata tidak selalu terlihat pada
berbagai Negara lainnya. Pertumbuhan ekonomi di kedua Negara serta beberapa
Negara berkembang khususnya di Amerika Latin ternyata diikuti oleh fenomena yang
tidak terduga, yaitu memburuknya distribusi pendapatan penduduk. Fenomena ini
sangat menonjol khusunya di Negara Amerika latin.
Pertumbuhan perekonomian yang tercermin melalui pertumbuhan PDRB per tahun
seyogyanya harus selalu lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan
PDRB tidak akan berarti jika presentasenya lebih rendah daripada presentase
pertambahan jumlah penduduk. Antara tahun 1970 hingga 1997, pertumbuhan
ekonomi Indonesia berkisar sekitar 6,5% dan jauh diatas pertumbuhan penduduk
yakni 2,4% yang terus menurun hinggah di bawah 2%. Peningkatan yang cepat ini
terutama didukung oleh “oil boom” dan sektor-sektor ekstraksi sumberdayaalam
lainnya. Meningkatkan harga minyak di dunia akibat berbagai krisis, secara drastis
meningkatkan pendapatan Negara-negara produsen minyak di dunia pada dekade 80-
an termasuk Indonesia.
Pada mulanya proses pemerataan pendapatan diduga akan berlangsung dengan
sendirinya melalui proses yang sering dikenal dengan “trickling down process”
(penetesan kebawah). Pada kenyataannya banyak sekali peristiwa ketegangan-
ketegangan sosial di beberapa Negara yang sedang berkembang timbul dari masalah
masalah-masalah kesenjangan pendapatan dan seringkali mengakibatkan jatuhnya
rejim-rejim pemerintahan yang berkuasa. Hal ini semakin memperjelas bahwa
pembangunan itu tidak hanya sekedar pertumbuhan tetapi juga memerlukan
pemerataan kesejahteraan. Pemerataan kesejahteraan juga dianggap sebagai salah satu
bentuk operasional keadilan sosial yang juga merupakan tujuan hakiki pembangunan.
Paradigma baru saat ini meyakinkan bahwa pembangunan harus diarahkan kepada
terjadinya pemerataan (aquity), pertumbuhan (efficiency), dan berkelanjutan
(sustainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi. Paradigma baru
pembangunan ini dapat mengacu kepada dalil kedua fundamental ekonomi
kesejahteraan, dimana dalil ini menyatakan sebenarnya pemerintah dapat memilih
taerget pemerataan ekonomi yang diinginkan melalui transfer, perpajakan dan subsidi,
sedangkan ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada mekanisme pasar.

F. Dari Fokus pendekatan Makro ke Gerakan Baru Pengembangan Wilayah di


negara-negara Dunia Ketiga
Belajar dari cara membangun kembali negeri Jerman Barat dan Jepang, maka
sifat bantuan-bantuan kebijakan di tahun 1950 dan 1960-an di dunia banyak didasarkan
pada model capital fundamentalism Harrod-Domar dengan pemahaman bahwa kunci
pertumbuhan GNP yang paling langka adalah faktor modal. Fokus bantuan negara
donor adalah mentransfer modal dari negara industri Barat ke Dunia Ketiga karena
percahya bahwa pertumbuhan GNP adalah ukuran utama untuk mencapai tujuan kinerja
ekonomi makro.
Banyak negara-negara Dunia Ketiga yang tumbuh sekitar 5% per tahun di
tahun 1960-an. Namun pertumbuhan makro ekonomi “tidak menetes” dalam
mengurangi permasalahan sentral Dunia Ketiga yaitu kemiskinan. Secara bersamaan
Dunia Ketiga mengalami ledakan penduduk s/d 2,2%, sementara itu kesenjangan
‘Utara-Selatan’ (negara-negara maju vs negara-negara Dunia Ketiga) ternyata semakin
melebar.
Skala prioritas pembangunan cenderung mengejar sasaran-sasaran makro pada
akhirnya dapat menimbulkan berbagai ketidakseimbangan pembangunan berupa
menajamnya disparitas spasial, kesenjangan desa-kota, kesenjangan structural, dan
sebagainya. Pendekatan makro juga cenderung mengabaikan plurality akibat
keberagaman sumber daya alam maupun sosial budaya. Pergeseran paradigma
pembangunan dalam spasial terutama menyangkut konsep strategi kutub pertumbuhan
(growth pole strategy : trickle down effect ke hinterland ( penetesan dampak ke daerah
belakang) ternyata net-effect malah menimbulkan massive backwash effect ( Lipton,
1977).
Pertemuan tahun 1965 di Dewan Ekonomi dan Sosial PBB memilih resolusi
1086C yang disebut pengembangan wilayah di negara-negara Dunia Ketiga. Dokumen
PBB yang lain secara bersamaan di terbitkan oleh Departemen Ekonomi dan Sosial
sebagai tambahan dokumen General Assembly, disokong dari pandangan yang sama
dari Myrdal (1968) dan Waterson (1965). Dalam laporannya berjudul Towards
Accelerated for Development: Proposals for The Second Decade, disusun oleh UN-
Committee for Development, secara tegas diusung tiga prasyarat terhadap perecepatan
pengembangan wialyah:
(i) mobilisasi serta pergerakan potensi dan sumberdaya domestic,
(ii) partisipasi masyarakat luas dalam proses pembangunan dan upaya
memenuhi standar hidup minimum masyarakat banyak, dan
(iii) mempraktekan “perencanaan partisipatif” untuk membangun
kapasitas sosial dan kelembagaan masyarakat yang dibutuhkan untuk
pembangunan berkelanjutan.
Mobilisasi sumberdaya ekonomi adalah upaya penggalian dan pemanfaatan
sumberdaya ekonomi, yaitu sumberdaya lahan (alam), sumberdaya manusia, teknologi,
modal, dan sumberdaya sosial bagi mereka yang memerlukannya. Upaya memobilisasi
sumberdaya ekonomi di Indonesia memiliki tantangan yang cukup berat karena kenyataan di
lapangan memperlihatkan bahwa sumberdaya-sumberdaya produtif di Indonesia banyak di
kuasai oleh sekelompok masyarakat elite yang dekat dengan penguasa. Penguasa ini telah
menimbulkan ketimpangan dalam memperoleh akses masyarakat banyak kepada sumberdaya
pembangunan tersebut dan selanjutnya berakibat kepada munculnya ketimpangan tingat
kesejahteraan antar kelompok dalam masyarakatnya. Data dilapangan juga menunjukkan
bahwa sumberdaya yang dikuasai tersebut tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh pihak lain
menguasai, sehingga menimbulkan inefisiensi sekaligus menutup akses kelompok
masyarakat lain yang lemah terhadap sumberdaya tersebut menimbulkan biaya sosial yang
tinggi.
Mobilisasi sumberdaya ekonomi ini diarahkan kepada peningkatan kesempatan kerja
dan pemerataan yang menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Dalam jangka pendek, redistribusi aset ini mungkin akan menyebabkan penurunan tingkat
pertumbuhan sebab pada tahap awal pelaksanaannya diperlukan biaya transaksi berupa biaya
negosiasi dan kemungkinan adanya ketidaksiapan sumberdaya manusia dalam mengelola
sumberdaya yang dilimpahkan kepadanya. Dalam janga panjang redistribusi aset yang
berkelayakan dapat meningatan efisiensi dan equality dari aloasi sumberdaya tersebut.
Tujuan menciptakan keseimbangan spasial, khususnya keseimbangan pembangunan
kota-desa tidak semata-mata masalah kepentingan memecahkan disparitas regional dalam
skala nasional, namun hal itu sangat berarti dalam konteks permasalahan hubungan Utara-
Selatan masa kini, khusunya mempertinggi kesadaran dominasi dan sobordinasi antara negara
kaya dan miskin.
Teori-teori pembangunan pada decade 1960-1970an yang dipelopori oleh Arthur
Lewis berpandangan bahwa modernisasi ekonomi diyakini dapat dicapai melalui
industrialisasi dan urbanisasi, atau suatu proses kumulatif memperkuat antara pertumbuhan
produksi industri urban dan peningkatan sistem supply pangan di perdesaan. Ketika
produktifitas pertanian naik sampai level tertentu, surplus tenaga kerja dikeluarkan dari
sistem produksi pangan dialihkan untuk perluasan sekkor urban, sementara sektor industri
yang berkembang di perkotaan memperkuat sistem pertanian dengan memasok input lebih
banyak dan lebih baik seperti peningkatan kesuburan dan produktifitas pertanian. Negara-
negara Dunia Ketiga ditekan oleh berbagai kepentingan dan keadaan seperti itu, mengekspor
bahan mentah, dan dalam prosesnya tertangkap dalam jaringan dominasi perputaran ekonomi
oleh industri di Barat dan badan hukum multinasional.
Pengembangan perdesaan seharusnya memegang posisi terpenting dalam kebijakan
pengembangan wilayah yang diformulasikan negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia
karena sebagian besar dari penduduk Dunia Ketiga tinggal di pedesaan, maka tidak mungkin
fasilitas proses self-sustain tanpa fokus pedesaan. Dapat dikatakan mungkin hal terpenting
dari spirit komitmen PBB di dalam pembangunan wilayah melalui ECOSOC 1582L dalam
pengembangan wilayah adalah pengembangan pedesaan. Target pengembangan pedesaan
adalah mengenai masyarakat desa yang sebagian besar adalah petani miskin dan melibatkan
program pengembangan yang komperhensif untuk meningkatkan produktifitas dan kondisi
kehidupannya. Sedangkan pengembangan pertanian utamanya menguatkan kapasitas
produktif dari sektor pertanian yang dapat lebih memilih memberi insentif terhadap petani
skala menengah dan besar untuk meningkatkan produktivitas dibandingkan meningkatkan
kesejahteraan petani kecil.
Selama ini aktivitas perkotaan yang didominasi oleh industri dan jasa memperoleh
perhatian besar elite politik dan pejabat karena memberikan surplus keuntungan yang besar.
Sedangkan aktivitas di pedesaan yang didominasi sektor primer dan pertanian kurang
diperhatikan bahkan diabaikan karena rent yang kecil. Disamping itu konsep hubungan
rural-urban telah mengalami perubahan mendasar namun kurangn dipahami. Theis Lipton
(1977) menyimpulkan bahwa: (a) kaum elite di kawasan urban mempertahankan keadaan
pedesaan seperti di atas dengan mengorganisasikan dan mengendalikan kekuasaan politik dan
ekonomi tersentralisasi. Di Indonesia pengendalian seperti ini dipertahankan semasa Orde
Baru, sehingga ketimpangan distribusi penguasaan suberdaya melebar, (b) meski secara
historis negara Asia mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi bagian masyarakat
pedesaan yang miskin jumlahnya tidak banyak berkurang, dan (c) secara umum telah terjadi
misalokasi sumberdaya antara perkotaan dan wilayah pedesaan.
Pemahaman teoritik mengenai prinsip-prinsip keseimbangan spasial dalam skala
global sebagai penyeimbang sasaran-sasaran ekonomi makri sudah lama dipahami, namun
gaungnya secara berarti dalam skala nasional nampaknya baru berkembang belakangan ini,
itupun terbatas di kalangan akademik/peneliti. Di kalangan birokrat dan pasar, pemikiran-
pemikiran urban bias masih cukup kuat. Di Indonesia, diberlakukannya kebijakan otonomi
daerah sejak tahun 2000 setidaknya sudah merupakan bagian dari kesadaran pada tataran
political will di tingkat nasional setelah sekian lama hanya ada dalam diskusi-diskusi ilmiah,
namun demikian pemahaman umum mengenai perspektif yang di uraikan di atas, khususnya
kaitan antara pengembangan wilaya/local, pengembangan makro dan keseimbangan global,
masih belum dipahami secara memadai.
Bila seseorang membuat suatu peraturan baru atau menciptakan institusi spesial di
negara berkembang, seseorang harus berpikir membuat scenario untuk memperkuat
mekanisme feedback, sebelum mencari model yang tepat yang ditiru dari negara maju.
Masalah kemiskinan adalah ciri dan pemandangan yang umum sebagian besar penduduk
pedesaan. Penyebab utamanya adalah karena tidak mempunyai posisi tawar (politik) untuk
mempengaruhi pemerintah pusat yang sentralistik (Nagamine, 2000).
Banyak orang menaruh harapan pada pendekatan pengembangan wilayah dimana
mereka percaya terhadap janji kemujaraban model pertumbuhan ekonomi makro mulai
goyah, kecewa dan frustasi. PBB kemudian melakukan resolusi yang dikenal sebagai
ECOSOC 1582L, yang mengusulkan suatu arahan kebijakan dan tujuan pengembangan
wilayah. Berdasarkan dokumen ini, pengembangan wilayah adalah “suatu instrument
potensial untuk integrasi dan promosi dari usaha pengembangan sosial dan ekonomi” suatu
negara yang sesuai dengan tujuan berikut:
(a) Merangsang perubahan structural secara cepat dan reformasi sosial, khususnya untuk
meningkatkan distribusi pembangunan secara lebih luas pada kelompok masyarakat
yang paling tertinggal.
(b) Meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam menetapkan tujuan pembangunan dan
di dalam proses pengambilan keputusan serta mengembangkan organisasi masyarakat.
(c) Menciptakan sistem kelembagaan dan struktur administrasi serta pendekatan
operasional untuk perencanaan pengembangan yang lebih efektif.
(d) Mencapai distribusi penduduk dan aktivitas masyarakat yang lebih baik melalui
integrasi yang lebih efektif dari pengembangan kota dan desa.
(e) Memasukan pertimbangan lingkungan secara efektif dalam program-program
pembangunan.

Resolusi ECOSOC mengandung arti pengembangan wilayah hanay akan berarti jika
dilaksanakan dalam kerangka pengembangan masyarakat, sedangkan alat analisis ekonomi
regional dan ilmu regional hanya merupakan bagian dari kerangka reformasi holistik
kelembagaan.
G. Pengembangan Berkelanjutan
Adanya krisis tentang semakin terbatasnya sumberdaya lama yang tersedia dan
kebutuhan manusia yang terus meningkat mengharuskan pendekatan pemanfaatan
sumberdaya alam yang efisien.Konsep pembangunan berkelanjutan menjadi konsep yang
populer terutama sejak dipublikasikan laporan “Our Common Future” sebagailaporan World
Commission on Wnvironmental and Development yang dipimpin oleh G.H.Brutland di tahun
1987. Pada tahun 1992, pada KTT Bumi (United Nation Confrence on Environmental
Development, UNCED) di Rio de Jainero, pentingnya pendekatan pembangunan secara
berkelanjutan dipertegas.
Konsep pembangunan berkelanjutan terus mendapat sambutan yang luas dari para
pemerhati pembangunan dan lingkungan hidup. Lebih lanjut, keberlanjutan pembangunan
dilihat dalam tiga dimensi keberlajutan sebagaimana diemukakan oleh Serageldin (1996)
sebagai “a triangular framework”, yakni keberlajutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi.
Spangenberg (1999) menambahkan dimensi kelembagaan sebagai dimensi keempat
keberlajutan, sehingga keempat dimensi tersebut membentuk suatu prisma keberlanjutan.
H. PERGESERAN PERANAN PEMERINTAH MASYARAKAT SERTA
KECENDERUNGAN DESENTRALISASI PEMBANGUNAN

Dalam pandangan keynesian, awalnya peranan pemerintah adalah mendorong


pembangunan untuk menanggulangi market failure (kegagalan pasar). Namun fakta empirik
juga menunjukkan bahwa di berbagai negara, proses pembangunan cenderung mengarah pada
government failure (kegagalan Pemerintah) yang dampaknya sering lebih parah dari market
failure karena menciptakan transaction cost tinggi yang menurunkan efisiensi ekonomi, serta
menghambat pemerataan dan pertumbuhan.

Government policy failure dapat terjadi akibat pelaksanaan pembangunan secara top-
down dan sentralistik, dimana pemerintah pusat seringkali tidak mengetahui kondisi
ekosistem dan tatanan nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Hal ini didorong
oleh kesalahan pengaturan dan perancangan (design) program dan proyek pembangunan yang
berdampak pada pemiskinan masyarakat pedesaan. Perencanaan pembangunan wilayah
sering disalahartikan sebagai suatu proses dimana ”perencana mengarahkan masyarakat
untuk melakukan”. Lahirnya pandangan tersebut sebenarnya terutama sebagai akibat dari
proses pendekatan wilayah yang selama ini dilakukan pada umumnya dilakukan bersifat top-
down. Perencanaan wilayah umumnya dilakukan secara asimetrik, dimana pihak pemerintah
dianggap memiliki kewenangan secara legal karena memegang amanat yang legitimate.
Padahal di balik amanat yang diterimanya, pemerintah berfungsi melayani/memfasilitasi
masyarakat yang berkepentingan secara langsung di dalam pemanfaatan sumberdaya.

Dalam paradigma perencanaan wilayah yang modern perencanaan wilayah diartikan


sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk
mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya yang terbaik untuk meningkatkan
produktifitas dan memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan. Awal dari
proses perencanaan wilayah adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan
perubahan sebagai akibat dari perubahan pengelolaan dan maupun akibat perubahan-
perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial, dan
lain-lain). Jadi pada dasarnya ada dua kondisi yang harus dipenuhi di dalam perencanaan
wilayah (clayton dan dent, 1993) :

i. Kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah


terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan
ii. Adanya political will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang
disusun

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan. Cara
pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis
peningkatan investasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik) yang didominasi
oleh peranan pemerintah, telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan
pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru
yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif
(participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan
dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.

 Beberapa Isu Utama Pengembangan Wilayah di Negara yang


sedang berkembang
I. Dualisme Ekonomi

Adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis merupakan tatanan sosial yang sering
menjadi ciri penting yang membedakan perkembangan wilayah di negara-negara yang sedang
berkembang dengan negara-negara di industri maju. Tatanan sosial yang terbagi atas
masyarakat tradisional dengan masyarakat yang lebih modern kerap ditemui secara bersama-
sama pada suatu wilayah.

Perkembangan sektor ekonomi modern, yang pada mulanya timbul sebagai akibat
perkembangan kegiatan perusahaan-perusahaan perkebunan dan pertambangan, berimplikasi
terhadap perubahan kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor tradisional. Sehingga kegiatan tukar
menukar bertambah luas dan kegiatan produksi sektor tradisional sudah melangkah bukan
saja untuk keperluan sendiri (subsisten) tapi juga untuk pemasaran, baik dalam wilayah
maupun ekspor. Sebagai implikasi berlakunya keadaan tersebut di atas, maka muncullah
berbagai macam dualisme di dalam tatanan perekonomian negara-negara berkembang yakni
dualisme teknologi, finansial,, dan regional.

 Dualisme teknologi dikemukakan oleh Higgins (1978) sebagai adanya suatu


ketimpangan penggunaan teknologi dan manajemen produksi antara sektor tradisional
dengan sektor modern yang lebih maju, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
ketimpangan tingkat produktivitas di antara kedua sektor tersebut. Faktor-faktor
penting penyebab ketimpangan tingkat produktivitas tersebut adalah penggunaan
modal, teknologi, manajemen dan tingkat pendidikan para pekerja yang tinggi pada
sektor modern. Sebaliknya pada sektor tradisional penggunaan faktor-faktor tersebut
sangat terbatas. Tingkat produktivitas yang rendah di sektor tradisional
mengakibatkan pendapatannya berada pada kisaran tingkat subsisiten
 Dualisme finansial dikemukakan oleh Myint (1967) untuk menyatakan adanya dua
tipe pasar uang yakni pasar uang yang tidak terorganisir secara sempurna (organized
money market) dan pasar uang yang tidak terorganisir pihak lain. Pasar uang yang
terorganisir terdiri dari bank-bank komersial dan badan-badan keuangan lainnya yang
pada umumnya terpusat di pusat-pusat perdagangan dan kota-kota, sehingga
penopang sektor ekonomi modern. Pasar uang yang tidak terorganisir terdiri atas tuan-
tuan tanah, ceti-ceti desa, pedagang-pedagang perantara dan pemilik-pemilik warung
di daerah-daerah sektor ekonomi tradisional.

Berbagai tipe dualisme ekonomi tersebut ternyata berkaitan erat dengan aspek
kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di perkotaan sedangkan sektor
tradisional bercokol di pedesaan. Ketimpangan tingkat produktivitas antara kota dan desa
mengakibatkan ketimpangan penanaman modal dan pembangunan di kedua sub wilayah
tersebut. Sehingga terjadilah jurang yang bertambah lebar antara perkembangan wilayah
kota yang cukup pesat dengan perkembangan wilayah pedesaan yang lambat. Kenyataan
inilah yang dikenal dengan dualisme regional

Namun yang juga menarik perhatian para peneliti urbanisasi dan perkotaan di negara-
negara yang sedang berkembang adalah adanya dualisme ekonomi di kota-kota
besar/metropolitan, yakni sektor informal dan sektor formal. Peranan sektor informal di
berbagai kota-kota utama di negara-negara berkembang menjadi sangat penting karena
menjadi katup pengaman masalah pengangguran dan kemiskinan di perkotaan. Sektor
informal di perkotaan juga menjadi “jembatan” yang efektif untuk terjadinya aliran uang
hasil pendapatan pekerja informal perkotaan ke pedesaan. Hal ini menjadi sangat berarti
di tengah-tengah kecenderungan dimana pedesaan secara umum mengalami net capital
outflow, yakni aliran uang yang mengalir ke luar lebih banyak daripada uang/modal yang
masuk

Situasi ini sering terjadi karena :

1. Sifat dasar industri-industri ekstraktif yang ada di kawasan pedesaan bersifat


enclave.
2. Lembaga-lembaga permodalan di pedesaan lebih banyak memiliki insentif untuk
mengumpulkan uang dibandingkan menyalurkan kredit.
3. Sektor-sektor jasa urban tidak memiliki insentif untuk lebih berkembang di
pedesaan atau kota-kota skala kecil-menengah dibandingkan di kota-kota
besar/metropolitan
4. Akibatnya untuk konsumsi barang-barang dan jasa-jasa fasilitas urban, orang desa
harus langsung berbelanja ke kota-kota besar yang hampir tidak menciptakan efek
multiplier yang signifikan pada ekonomi pedesaan. Sebaliknya hal ini lebih
memperluas capital outflow dari desa ke kota
5. Secara umum banyak kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah yang bersifat
urban bias, dimana sektor-sektor urban di perkotaan lebih mendapat insentif fiskal
(subsidi) dibandingkan sektor-sektor pertanian berbasis di pedesaan.
7.4.4. Perkembangan Inter-Sektor Tidak Berimbang
Teori pembangunan berimbang antar sektor telah dikembangkan oleh
Rosenstein-Rodan (1961) dengan analisis supply side. Lewis (1967) berpendapat
bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor
saja yang dikembangkan. Sebagai contoh, perkembangan sektor pertanian yang tanpa
diikuti oleh perkembangan sektor industri akan memperburuk term of trade sektor
pertanian tersebut akibat kelebihan produksi atau tenaga kerja. Akhirnya pendapatan
di sektor pertanian anjlok (depresif) dan rangsangan penanaman modal baru dan
pembaharuan tidak terangsang lagi.
Demikian juga pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang
mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan itu sendiri.
Kurang diperhatikannya sektor pertanian akan mengakibatkan semakin langkahnya
komoditi pertanian. Kenaikan harga komoditi pertanian akan mendorong kenaikan
upah di sektor industri, sedangkan harga-harga hasil industri tidak bisa ditingkatkan
untuk menjaga agar pasaran tetap tersedia. Atau jika pendapatan petani dipertahankan
supaya tetap rendah maka pasaran barang industri terbatas karena petani tidak
sanggup membelinya.
Dengan demikian, langkah yang paling tepat dalam pembangunan yang
seimbang antara kedua sektor tersebut, sehingga terjadi hubungan yang saling
menguntungkan. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.3

Hasil Pertanian

Pendapatan

Pertanian Hasil Industri Industri

Pendapatan

Produk- Produk Jasa

Pendapatan

Gambar 7.3. Hubungan fungsional antara sektor pertanian dan industri

Adanya sektor industri yang mampu menampung surplus produksi pertanian


akan meningkatkan pendapatan sektor pertanian. Demikian juga bila terjadi surplus
tenaga kerja di sektor pertanian yang dapat ditampung sektor industri akan tetap
menjaga tingkat pendapatan yang tinggi ditingkat pertanian. Tingkat pendapatan yang
tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barang-barang non pertanian. Kondisi
demikian bisa dimanfaatkan sebagai pasar bagi hasil-hasil industri. Akhirnya dari
hubungan sinergis antar kedua sektor tersebut dapat terus merangsang pertumbuhan
ekonomi wilayah. Dalam kaitannya dengan konsep pembangunan seimbang tersebut,
Rosenstein-Rodan dan Ragnar Nurkse lebih menekankan kepada pentingnya
pembangunan seimbang di berbagai sektor. Adanya stagnasi pertumbuhan sektor
pertanian yang terus disertai pertumbuhan penduduk di sektor tersebut mengakibatkan
sejumlah tenaga kerja berada pada kondisi pengangguran tak kentara.
Bila hanya sau sektor industri yang dikembangkan, permasalahan yang
dihadapi adalah terbatasnya sektor industri tersebut dalam menampung tenaga kerja.
Misalnya suatu sektor industri sepatu yang mampu menampung 20.000 pengangguran
tak kentara dari sektor pertanian. Dengan demikian, pendapatan mereka meningkat
dan mendorong peningkatan pengeluarannya. Tetapi, peningkatan pengeluaran para
pekerja tersebut hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk membeli sepatu
yang diproduksikannya itu. Sebagian besar pendapatannya dikonsumsikan untuk
membeli bahan makanan dan barang-barang lainnya. Maka, industri sepatu yang baru
dibangun akan menghadapi kekurangan permintaan (demand trap), karena para
pekerjanya tidak menggunakan seluruh pendapatannya untuk membeli sepatu, kecuali
jika memiliki daya saing untuk ekspor ke luar wilayah (sebagai sektorbasis). Idak
adanya perkembangan disektor-sektor lain menyebabkan para komsumen lainnya pun
tidak meningkatkan permintaan untuk sepatu. Keadaan demikian bisa ditanggulangi
bila dibangun beberapa industri sehingga mampu menampung seluruh pengangguran
tak kentara dari sektor pertanian.
Rosenstein-Rodan dan Ragnar Nurkse mencatat ada tiga hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pembangunan berimbang yakni:
1. Perluasan pasar
2. Industri yang outputnya berhubungan secara komplementer
3. Skala usaha yang ekonomis (economic of scale)
Perluasan pasar merupakan faktor terpenting dari kedua faktor lainnya.
Dengan pembangunan seimbang di berbagai sektor, pertumbuhan ekonomi lebih
terjamin karena setiap sektor akan mempunyai pasarnya secara memadai. Output dari
masing-masing sektor ekonomi berhubungan secara komplementer. Dengan demikian
lebih dijamin adanya pertumbuhan permintaan yang seimbang antara sektor, sehingga
pertumbuhan sektor akan terus berimbang. Masalah skala usaha juga tak kalah
pentingnya dalam peningkatan efisiensi melalui penghematan biaya rata-rata.
Sehingga pengembangan industri dengan skala usaha yang optimal bisa lebih
menjamn perolehan keuntungan yang lebih besar.

7.5. Strategi Pengembangan Wilayah Baru


Pengembangan wilayah dapat dianggap sebagai suatu bentuk intervensi positif
terhadap pembangunan disuatu wilayah. Diperlukan strategi-strategi yang efektif
untuk suatu percepatan pembangunan. Disamping strategi-strategi untuk wilayah yang
tengah berkembang, strategi pengembangan wilayah-wilayah baru seperti diluar
pulau Jawa menjadi sangat penting. Kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada
pilihan pendekatan pembangunan yang terbaik. Secara teoritis strategi pengembangan
wilayah baru dapat digolongkan dalam dua kategori strategi, yaitu demand side
strategy dan supply side strategy.

7.5.1. Strategi Demand Side


Strategi “demand side” adalah suatu strategi pengembangan wilaya yang
diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa dari masyarakat setempat
melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah
meningkatkan taraf hidup penduduk. Di dalam pendekatan demand side strategy
tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan
taraf hidup penduduk di suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan
akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya
peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri
dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut.
Program transmigrasi merupakan kasus yang sangat menarik dari demand side
strategy. Pada tahap pertama penduduk masuk dalam stadia sub-subsisten, selama
satu tahun. Tahap kedua, trasmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal
lahan pekarangan dan Lahan Usaha I diharapkan transmigran dapat berproduksi
hingga dapat memenuhi kebutuhan pangannya sendiri (subsisten).
Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan transmigrasi akan
memasuki stadia marketable surplus (hasil usaha taninya telah melebihi kebutuhan
keluarganya) terutama setelah dapat diusahakannya Lahan Usaha II. Hal ini
selanjutnya mengisyaratkan perlunya dikembangkan industri pengolahan terutama
untuk memenuhi permintaan atas barang-barang oalahan utama, karena itu diharapkan
telah masuk dalam stadia industri pertanian berskala kecil.
Selanjutnya masuk dalam stadia industri non pertanian dalam skala kecil yang
akan meningkatkan pendapatan dan permintaan barang kebutuhan sekunder. Terakhir
masuk dalam kelas stadia industri umum. Oleh karena itu secara teoritik pada
dasarnya daerah transmigrasi tidak hanya tergantung sektor pertanian saja.
Konsekuensi dari pendekatan strategi demand side adalah membutuhkan waktu yang
lama karena berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur
kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan
cara berpikir. Sedangkan keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan stabil dan
tidak mudah terpengaruh oleh perubahan diluar wilayah. Stabilitas ini berkaitan
dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.

7.5.2 Strategi Supply Side


Pengertian dari strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan
wilayah terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan
produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk
meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya
alam lokal. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang akhirnya akan
meningkatkan pendapatan lokal. Selanjutnya ini akan menarik kegiatan lain untuk
datang ke wilayah tersebut. Contoh dari strategi ini adalah strategi pengembangan
eksploitasi sumberdaya alam melalui penambangan, logging (HPH), dll.
Keuntungan penggunaan strategi supply side adalah prosesnya cepat sehingga
yang ditimbulannya cepat terlihat. Beberapa permasalahan yang sering muncul dari
digunakannya strategi ini adalah:
1. Timbulnya enclave karena keterbatasan kapasitas (pengetahuan, keahlian, dan
kompetensi) penduduk lokal sehingga seringkali hanya masyarakat tertenu dengan
jumlah yang terbatas atau pendatang dari luar kawasan saja yang menikmatinya.
2. Sangat peka terhadap perubahan-perubahan ekonomi diluar wilayah (faktor
eksternal).

Anda mungkin juga menyukai