Anda di halaman 1dari 6

A.

DEFINISI KESULITAN BELAJAR


Badan Penasehat Nasional Penyandang Cacat Amerika Serikat mendeinisikan
learning disability dalam rumusan berikut: “Specific Learning Disability” means a disorder
in one or more the basic psychological processes involvel in understanding or in using
language, spoken or written, which may manifest it self in an inperfect ability to listen,
think, speak, read, write, spell, or to do mathematical calculation. The term does not
include such condition as perceptual handicaps, brain injury, minimalbrain dysfunction,
dyslexia, and developmental aphasia. The term does not include children who have
learning problems which are primarily the result of visual, hearing, or motor handicaps, of
mental retardation, or emotional disturbance, or of environmental, cultural, or economic,
disadavantege.
Definisi lain dikemukakan oleh Samuael A.Kirk (1971) bahwa Childreen listed under
the caption of specific learning disabilities are children who cannot be grouped under the
traditional catrgories of execeptional children, but who show significant retardation in
learnig to talk, or who do not develop normal visual or auditory perception, or who have
great difficulty in learning to read, to spell, to write, or to make arithmetic calculations.
Haring (1974) menambahkan, “Learning disability is a behavioral deficit almost always
associated with academic performance and that can be remedialed by precise individual
instruction programming”.
Definisi-definisi yang dikeukakan para ahli di atas menunjukkan bahwa learning
disability (ies) tidak digiolongkan ke dalam salah satu keluarbiasaan seperti yang telah
dibahas sebelumnya melainnkan merupakan kelompok tersendiri. Kesulitan belajar lebih
didefinisikan sebagai gangguan perceptual, konseptual, memori, maupun ekspresif di
dalam proses belajar. Kendatipun gangguan ini bisa terjadi dalam berbagai tingkatan
kecerdasan,namun ‘kesulitan belajar’ lebih terkait dengan tingkat kecerdasan normal
atau bahkan di atas normal. Anak-anak yang berkesulitan belajar memiliki ketidak
teraturan dalam proses fungsi mental dan fisik yang bisa menghambat alur belajar yang
normal, menyebabkan keterlambatan dalam kemampuan berbahasa.umumnya masalah
ini tampak ketika anak mulai mempelajari mata-mata pelajaran dasar seperti menulis,
membaca, berhitung, dan mengeja.
Keragaman jenis kesulitan belajar yang mungkin dialami seseorang anak memang
menghendaki adanya klasifikasi yang cermat tentng kesulitan belajar ini. Oleh karena itu
muncul berbagai istilah atau sebutan bagi kesulitan belajar. Akan tetapi di dalam
kenyataan, kesulitan yang satu seringkali bersinergi oleh kesulitan lain sehingga terjadi
tumpang tindih antar kesulitan. Misalnya, pernah ada kasus di sebuah sekolah dasar (SD)
seorang siswa yang bernama Tommi yang mengalami agraphia, karena dia menunjukkan
kekurangmampuan dalam koordinasi gerak sehingga tulisannya menjadi tidak teratur;
tetapi juga dia menderita dyslexia karena dia mengalami kesulitan dalam membaca atau
menafsirkan kata. Demikian juga kasus Nani meruppkan contoh kasus attention deficit
dan hyperactive disorder karena kesulitan dalam memusatkan perhatian tetepi dia
menunjukkan aktivitas yang berlebihan sehingga menggangu lingkungan.
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar atau learning disabilities
merupakan istilah genetic yang merujuk pada keragaman kelompok yang mengalami
gangguan diman gangguan tersebut diwujudkan dalam kesulitan-kesulitan yang
signifikan yang dapat menimbulkan ganggau proses belajar.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MENIMBULKAN KESULITAN BELAJAR


Kephart (1967) mengelompokkan penyebab kesulitan belajar ini kedalam tiga
kategori utama yaitu: kerusakan otak, gangguan emosional, dan pengalaman.
Kerusakan otak berarti terjadinya kerusankan syaraf seperti dalam kasus-kasus
encephalitis, meningitis, dan toksik. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan fungsi
otak pada anak dan remaja. Demikian pula anak-anak yang mengalami disfungsi minimal
otak (minimal brain dysfunction) pada saat lahir akan menjadi masalah besar pada saat
anak mengalami proses belajar.
Faktor gangguan emosional yang menimbulkan kesulitan belajar terjadi karena
adanya trauma emosional yang berkepanjangan yang mengganggu hubungan
fungsional sistem urat syaraf. Dalam kondisi seperti ini perilaku-perulaku yang terjadi
seringkali seperti perilaku pada kasus kerusakan otak. Namun demikian tidak semua
trauma emosional menimbulkan gangguan belajar.
Faktor ‘pengalaman’ yang dapat menmbulkan kesulitan belajar mencakup faktor-
faktor seperti kesenjangan perkembangan atau kemiskinan pengalaman lingkungan.
Kondisi ini biadanya dialami oleh anak-anak yang terbatas memperoleh ransangan
lingkungan yang layak, atau tidak pernah memperoleh kesempatan menangani
peralatan dan mainan tertentu , dimana kesempatan semacam itu dapat mempermudah
anak dalam mengembangkan keterampilan manipulative dalam penggunaan alat tulis
seperti pensil dan ballpoint. Kemiskinan pengalaman lain seperti kurangnya ransangan
auditif menyebabkan anak kurang memiliki perbendaharaan bahasa (berkata-kata) yang
diperlukan untuk berpikir logis dan bernalar. Biasanya kemiskinan pengalaman ini
berkaitan erat dengan kondisi sosial ekonomi orang tua sehingga seringkali berkaitan
erat denga masalah kekuranga gizi yang pada akhirnya dapat mengganggu optimalisasi
perkembangan dan keberfungsian otak.
Pemahaman faktor penyebab ini memang penting , akan tetapi dalam kaitannya
dengan prndidikan adalah hal yang sangat membantu jika memahami alasan-alasan yang
ada dibalik masalah belajar, alih-alih berfokus pada sebabnya. Asumsinya ialah bahwa
perilaku bermasalah dalam belajar itu dapat diubah jika sekolah mengembangkan
strtuktur pengalaman yang dapat memenuhi kebutuhan khusus itu.
Faktor penyebab yang dibicarakan di atas menggambarkan suatu urutan tahapan
yang berkultimasi pada kondisi yang menimbulkan kegagalan belajar. Dalam perspektif
yang lebih luas, faktor penyebab kesulitan belajar dapat digambarkan seperti tampak
dalam bagan dibawah ini.

Menelusuri tahapan kesulitan belajar, diklasifikasikan kedalam empat tataran, dari


mulai penyebab sampai hasil. Tataaran I menunjukkan penyebab asli, baik terjadi pada
saat kelahiran maupun setelah lahir. Hasil dari tataran I ini terwujud dalam tataran II
yang mungkin berupa kerusakan otak, ketidakseimbangan kimiawi, hambatan
emosional, kesenjangan kematangan, dan/atau kemiskinan pengalaman yang dapat
menimbulkaan kesulitan dalam persepsi, pembentukan konsep, memori, dan proses
lainnya sebagaimna tampak dalam tataran III. Kesulitan-kesulitan yang terjadi pada
tataran IV. Jika ditilik dari proses tersebut maka suatu kesulitan belajar bisa disebabkan
oleh faktor ganda.

Dengan menilik fako faktor di atas, faktor pada tataran I dan II lebih banyak
menyangkut aspek medis, biologis, atau sosiologis sehingga bidang medis akan lebih
banyak terlibat dalam menangani maslah ini. Pada tataran III akan lebih banyak
malibatkan ahli diagnostik dan ahli psikologi; sedangkan pada tataran IV akan lebih
banyak melibatkan guru dan ahli pendidikan. Untuk kepentingan layanan pendidikan
dan psikologis di dalam diagnosis dan remedial, keragaman gaya belajar seperti tampak
pada tataran IV harus menjadi focus utama penyembuhan.

Gaya belajar seperti tampak pada tataran IV merupakan hal baru tetapi merupakan
dimensi yang amat penting dalam memahami faktor kesulitan belajar. Sebagai contoh
seorang anak yang mempunyai gaya belajar auditif tenru tidak akan evektif mencerna
informasi yang disajikan melalui rangsangan visual. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kekeliruan dalam gaya penyajian dapat menimbulkan kelambanan atau
kegagalan yang dialaminya dalam belajar pada saat ini. Oleh karena itu baik guru
maupun ahli diagnostic kesulitan belajar seyogyanya melakukan analisis tugas dan
perilaku anak sebagai dasar pengembangan program pengajaran yang sepadan dengan
gaya belajar dan gaya kognitif anak.

C. KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR


1. Karakteristik anak berkesulitan belajar
Menurut Clement yang dikutip oleh Hallahan dan Kauffman (1991:133)
terdapat 10 gejala yang sering dijumpai pada anak berkesulitan belajar, yaitu: (1)
Hiperaktif, (2) Gangguan Persepsi Motorik, (3) Emosi yang labil, (4) Kurang
koordinasi, (5) Gangguan Perhatian, (6) Impulsif, (7) Gangguan memori dan berpikir,
(8) Kesulitan pada akademik khusus (membaca,matematika, dan menulis), (9)
Gangguan dalam berbicara dan mendengar, dan (10) Hasil electroencephalogram
(EEG) tidak teratur serta tanda neurologis yang tidak jelas.
Hallahan menjelaskan bahwa tidak semua gejala selalu ditemukan pada anak
yang mengalami kesulitan belajar, adakalanya hanya beberapa ciri yang tampak.
Selanjutnya para peneliti mengelompokkan kesepuluh ciri tersebut dengan
menggabungkan hal-hal yang dianggap sejenis. Adapun pengelompokannya adalah
sebagai berikut.
a. Masalah persepsi dan koordinasi
Hallahan (1975) mengemukakan bahwa beberapa anak berkesulitan belajar
menunjukkan gangguan dalam persepsi penglihatan dn pendengaran. Masalah
ini tidak sama dengan masalah ketajaman penglihatan dan ketajaman
pendengaran, seperti yang di alami oleh seorang anak tunanetra dan tunarungu.
Disamping mengalami masalah dengan persepsi, pada anak berkesulitan
belajar ada yang mengalami masalah dalam koordinasi motorik, yaitu gangguan
keterampilan motorik halus, seperti gangguan dalam menulis dan ketrampilan
motorik kasar, seperti tidak dapat melompat dan menendang bola secara tepat.
b. Gangguan dalam perhatian dan hiperaktif.
Anak berkesulitan belajar mengalami kesulitan memusatkan perhatian dan
menjadi hiperaktif. Meskipun terdapat anak yang mengalami masalah dalam
perhatian dan hiperaktif tanpa disertai kesulitan belajar, jumlah kesulitan belajar
sangat tinggi diantara anak yang mengalami masalah perhatian dan hiperaktif.
c. Mengalami ganguan dalam masalh mengingat dan berpikir
Anak berkesulitan belajar kurang mampu mengguanakan srategi untuk
mengigat sesuatu. Serta kesulitan untuk mengigat materi secara verbal. Hal ini
terjadi karena mereka mempunyai masalah dalam pemahaman bunyi bahasa
sehingga sulit memaknai kata atau kalimat.
Berfikir meliputi kemampuan untuk memecahka masalah sampai kepada
pembentukan konsep atau pengertian. Anak berkesulitan belajar mengalami
kelemahan dalam masalah tersebut.
d. Kurang mampu menyesuaikan diri
Anak kesulian belajar menunjukkan gejala kurang mampu menyesuikan diri
dengan lingkngannya. Dampak dari hal ini yaitu anak menjadi kurang percaya diri,
merasa cemas, dan takut melakukan kesalahan yang akan menjadi bahan
cemoohan teman-temannya segingga ia menjadi ragu-ragu dalam berinteraksi
dengan lingkunganya atau mengasingkan diri.
e. Menunjukkan gejala sebagai siswa yang tidak akif
Anak berkesulitan belajat kurang mampu melakukan strategi untuk memecahkan
masalah akademis secara spontan. Hal ini terjadi karena mereeka sering
mengalami kegagalann. Contohnya, anak berkesulitan belajar tidak berani
menjawab peertanyaan guru atau menjawab soal papan tulis secara spontan.
f. Pencapaian hasil belajar yang rendah
Sebagian anak berkesulitan belajar memiliki ketidakmampuan dalam berbagai
bidag akademik, misalnya membaca, pengucapan, tulisan, menghhitung, dan
sebagian anak lagi hanya pada satu atau dua aspek saja.

2. Karaktristik khusus anak berkesulitan membaca


a. Gangguan membaca lisan
Anak berkesulitan belajar kurang mampu membedakan kata-kata yang
berbeda secara ortografis. Akan tetapi, daftar kata tersebut tulisannya
disamakan dan diklasifikasikan menurut tingkat kesulitannya, ternyata tidak ada
perbedaan di antara anak yang bukan berkesulitan belajar.
b. Gangguan ingatan jangka pendek
Pada anak berkesulitan membaca, proses perekaman fisiologi dalam ingatan
jangka pendek tidak dapat berlangsung secara sempurna. Beberapa pembaca
berkesulitan belajar cenderung mengalami kekurangan dalam menghafal dan
dalam strategi mengingat yang dapat member kemudahan dalam membaca.
c. Gangguan pemahaman

Anda mungkin juga menyukai