Anda di halaman 1dari 23

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Ortopedi dan Traumatologi Makalah Dosen

2015

Displacement of The Hip (DDH)

Kadar, Pranajaya Dharma


Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/24065
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
Displacement of The Hip (DDH)

dr. Pranajaya Dharma Kadar, SpOT(K)


NIP. 197901142008121002

DEPARTEMEN ILMU BEDAH ORTHOPAEDI DAN


TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
rahmat-Nya, kami dapat menyusun karya tulis ilmiah yang berjudul “Developmental
Displacement of The Hip (DDH)”

Adapun maksud penyusunan karya ilmiah ini untuk menambah keilmuan dan guna
pendidikan bagi peserta didik khususnya di Departemen Orthopaedi & Traumatologi.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada semua yang turut membantu dalam
penyusunan karya ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Harapan saya
bahwa karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca dan semoga dapat
bermanfaat bagi semua orang.

Kami menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna dengan keterbatasan
yang saya miliki. Namun saya tetap akan berusaha untuk membuat karya ilmiah ini
menjadi sempurna dan dapat diterima oleh masyarakat semua. Terima kasih

Medan, 12 Januari 2015


Penulis

Dr. Pranajaya Dharma Kadar, SpOT(K)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 1


DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2
BAB 1 LATAR BELAKANG .................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………….. …………..................................... 5

2.1. Definisi dan Etiologi.................................................................... 5


2.2. Manifestasi Klinis……………………………………………………….………….. 6
2.3. Patogenesis................................................................................ 7
2.4. Diagnosis ................................................................................... 8
2.5. Penatalaksanaan ........................................................................ 12
2.6. Komplikasi.......................................................... ........................ 16
2.7. Prognosis.................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu kelainan kongenital dalam sistem muskuloskeletal yang
terpenting adalah congenital displasia of the hip, termasuk kelainan yang
berhubungan dengan congenital subluxation of the hip dan congenital dysplasia
(abnormal growth) of the hip. Meskipun istilah congenital dislocation of the hip
dan singkatan CHD telah digunakan selama beberapa abad, istilah yang lebih
diterima saat ini adalah developmental displacement of the hip (DDH). Klisic,
pada tahun 1989, merekomendasikan istilah ini karena “hal itu dianggap
mengindikasikan gangguan dinamis, berpotensi mampu, sebagai bayi yang
berkembang, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Namun, beberapa penulis
(terutama di Amerika Utara) menginterpretasikan DDH sebagai Developmental
Dysplasia of the Hip.1
Developmental Dysplasia of the Hip (HHD) adalah suatu kondisi dimana
caput femoris tidak terletak secara kongruen di dalam acetabulum.. Caput
femoris berada dalam acetabulum, namun dapat terdorong keluar dan sering
teraba atau terdengar bunyi (disebut juga sebagai “clicking hip”), panggul yang
subluksasi (kontak sebagian antara caput dan acetabulum), dan bentuk yang
terparah dimana panggul dislokasi dan irreducible.2
Prevalensi DDH di sebagian besar negara-negara maju bervariasi antara
1,5 dan 20/1000 kelahiran. Sebuah tinjauan skrining neonatal terbaru di Inggris
menunjukkan bahwa kejadian DDH umumnya sebanyak 1-2 per 1.000 kelahiran
hidup. Prevalensi DDH yang samar dikarenakan tidak adanya kriteria diagnostik
definitif dan berbagai variasi anatomi ringan sampai berat dalam spektrum DDH.
Prevalensi DDH telah meningkat secara signifikan sejak munculnya skrining klinis

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dan sonografi, menunjukkan kemungkinan overdiagnosis. Sebagian besar kasus
DDH diidentifikasi pada tahun pertama kehidupan, dan sebagian besar dalam
bulan pertama kehidupan. DDH lebih sering terjadi pada anak perempuan,
dengan 4 kali lipat peningkatan risiko dibandingkan dengan anak laki-laki. Di AS,
kondisi ini lebih umum di antara orang kulit putih daripada orang kulit hitam.
Kondisi ini juga lebih sering terjadi pada bayi yang sungsang.3
Diagnosis awal dan penatalaksanaannya merupakan aspek yang sangat
penting dari DDH. Skrining neonatal untuk kelainan inipada setiap bayi selama
beberapa hari pertama kehidupan efektif mengurangi insiden “missed”
dislocation, dan juga menurunkan jumlah anak-anak yang membutuhkan
tindakan operasi untuk penanganan DDH.1 Oleh sebab itu, pengetahuan
mengenai gejala klinis dan penegakan diagnosis pada anak dengan DDH sangat
diperlukan.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah
“Bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan pasien yang mengalami
Developmental Dysplasia of the Hip?”

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini diantaranya:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis DDH
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus DDH secara
langsung
3. Untuk memahami perjalanan gelaja klinis DDH

1.4. Manfaat Penulisan


Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini diantaranya:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


1. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit
dalam, khususnya mengenai DDH
2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut
topik – topik yang berkaitan dengan DDH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Developmental Dysplasia of the Hip


2.1.1. Definisi dan Etiologi
Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) adalah suatu kondisi dimana
caput femoris tidak terletak secara kongruen di dalam acetabulum. 2 DDH juga
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pertumbuhan abnormal dari
pinggul. Perkembangan abnormal dari pinggul termasuk tulang, seperti
acetabulum dan tulang paha proksimal, serta labrum, kapsul, dan jaringan lunak
lainnya. Kondisi ini dapat terjadi setiap saat, dari konsepsi sampai skeletal
matang.4 Dengan kata lain, DDH merupakan dislokasi panggul spontan yang
terjadi baik sebelum maupun selama persalinan atau beberapa saat setelahnya.5
Etilogi DDH masi belum jelas, namun kondisi ini muncul berhubungan
dengan sejumlah faktor yang berbeda.4 Faktor genetik dan faktor lingkungan
mempengaruhi. Satu faktor mungkin tidak selalu cukup untuk menyebabkan
dislokasi, kombinasi beberapa faktor lebih sering menyebabkan kelainan.6

2.1.2. Faktor Risiko


DDH dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
 Faktor genetik berperan penting dalam etiologi DDH, Wynne-Davics
(1970) mengidentifikasikan dua fitur yang diturunkan yang dapat menjadi
predisposisi ketidakstabilan pinggul: generalized joint laxity dan shallow
acetabula.7
 Faktor hormonal (misalnya level esterogen maternal, progesteron dan
relaxin pada beberapa minggu terakhir kehamilan) dapat memperburuk
kelemahan ligamen pada bayi. Hal ini dapat menjelaskan kelangkaan
ketidakstabilan pada bayi prematur, lahir sebelum hormon mencapai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


puncaknya.7 Pada perempuan relaxin (ligament-relaxing hormon)
disekresikan melalui fetal uterus dalam rangka merespon estrogen dan
progesteron yang masuk ke sirkulasi fetal. Hal ini mungkin juga
menjelaskan bahwa insiden dislokasi pada anak perempuan lebih besar
dibandingkan dengan anak laki-laki.6
 Malposisi intrauterin (terkhususnya posisi sungsang dengan kaki
ekstensi); disebut juga dengan ‘packaging disorder’ berhubungan dengan
tingginya insiden kelahiran pertama. Dislokasi unilateral biasanya
mengenai pinggul kiri; hal ini berkaitan dengan vertex presentation (left
occiput anterior) dimana pinggul kiri berdekatan dengan sacrum ibu,
menempatkannya dalam posisi adduksi.7
 Oligohidramnion merupakan salah satu penyebab yang membatasi ruang
uterus untuk perkembangan fetal.2
 Faktor posnatal juga berkontribusi dalam persistence of neonatal
instability dan acetabular maldevelopment.7 insiden DDH lebih tinggi
pada suku Eskimo yang mengikat bayi mereka ke papan dengan pinggul
diadduksikan, dibandingkan dengan orang Afrika yang membawa bayinya
di punggung dengan pinggul abduksi, mengindikasikan bahwa posisi
pinggul postnatal memiliki efek yang cukup besar dalam perkembangan
acetabular.6

2.1.3. Manifestasi Klinis


Anak perempuan berisiko enam kali lipat dibandingkan dengan anak laki-
laki. Sepertiga dari kasus mengenai kedua pinggul. Kelainan mungkin tidak terliat
sampai anak mulai berjalan, kecuali secara khusus memperhatikan kelainan yang
ada pada bayi – seperti yang seharusnya.6
Ada beberapa hal yang mungkin ditemui saat dilakukan pemeriksaan,
yaitu:2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


 Gluteal fold asymmetry: sensitivitas rendah namun terkadang tertandai
oleh pekerja kesehatan atau orang tua ketika mengganti popok.
 Abduction range: test yang sederhana untuk mengecek jarak abduksi
kedua pinggul. Asimetris meningkatkan kecurigaan.
 Barlow’s test: mendeteksi pinggul yang mungkin mengalami dislokasi
posterior. Fleksikan pinggul dan lutut 900 dan secara perlahan tekan ke
belakang, rasakan adanya bunyi (‘clunk’)
 Ortolani’s test: test ini mendeteksi pinggul yang sudah dislokasi dan
dapat direduki. Abduksi panggul dan apply tekanan ke medial dengan
telunjuk untuk mereduksi pinggul kembali ke persendian dengan
‘palpable click’
 Galeazi test: fleksi pinggul dan lutut 900 dan lihat perbedaan tinggi
patella yang mengindikasikan leg length discrepancy.
Pada pemeriksaan, ciri utama pada kasus unilateral adalah asimetris
(yang ditandai pada lipatan paha), tungkai yang menderita lebih pendek, dan
keterbatasan abduksi saat fleksi. Pada kasus bilateral ciri yang dapat diamati
adalah pelebaran perineum dan ditandai lordosis lumbar. Pergerakan sendi
penuh kecuali untuk abduksi saat fleksi.6

2.1.4. Patogenesis
Meskipun Developmental Dysplasia of the Hip ini paling sering hadir pada
saat lahir, mungkin juga berkembang selama tahun pertama anak hidup.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bayi yang kakinya yang dibungkus erat
dengan pinggul dan lutut lurus berada pada risiko yang lebih tinggi terutama
untuk terjadinya Developmental Dysplasia of the Hip setelah lahir.8
Selama masa anak-anak, beberapa perubahan timbul, beberapa
diantaranya menunjukkan displasia primer pada acetabulum dan/ atau femur
proksimal, tetapi kebanyakan diantaranya muncul karena adaptasi terhadap
ketidakstabilan menetap. Caput femoris mengalami dislokasi dibagian posterior,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tetapi dengan ekstensi pinggul. Caput ini pertama-tama terletak posterolateral
dan kemudian superolateral pada acetabulum. Soket tulang rawan terletak
dangkal dan anteversi. Caput femoris yang bertulang rawan ukurannya normal
tetapi inti tulang terlambat muncul dan osifikasi tertunda selama masa bayi.
Caput teregang dan ligamentum teres menjadi panjang dan hipertrofi. Dibagian
superior, labrum, acetabulum dan tepi kapsul dapat didorong ke dalam soket
oleh caput femoris yang dislokasi. Libuskartilaginosa dapat menghalangi usaha
reduksi tertutup terhadap caput femoris. Setelah mulai menyangga badan,
perubahan-perubahan ini menjadi lebih hebat. Acetabulum dan colum femur
tetap anteversi dan tekanan dari caput femoris menyebabkan terbentuknya
suatu soket palsu di atas acetabulum dan otot psoas, menimbulkan suatu
penampilan jam pasir (hourglass). Pada saatnya otot disekelilingnya
menyesuaikan diri dengan memendek.9
Kondisi ini dapat terjadi setiap saat, dari konsepsi. Istilah yang lebih
spesifik sering digunakan untuk menggambarkan kondisi yang lebih tepat sebagai
berikut:4
 Subluksasi - kontak lengkap antara permukaan artikular caput femoralis
dan acetabulum
 Dislokasi - hilangnya lengkap kontak antara permukaan artikular caput
femoralis dan acetabulum
 Ketidakstabilan - Kemampuan untuk terkilir pada pinggul dengan
manipulasi pasif
 Teratologic dislokasi - dislokasi pinggul antenatal3

2.1.5. Diagnosis1
Anamnesis, klinis, dan radiografis yang ditemukan pada anak dengan DDH
dibedakan sesuai kelompok umur tertentu karena sangat beragamnya tampilan
yang dapat ditemukan sesuai kelompok umur tersebut. Diagnosis dini menjadi

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


sangat penting sehingga terapi dini dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
ataupun menetapnya kondisi ini pada anak dengan DDH.
 Lahir - 3 Bulan
Tanda dan gejala dapat ditemukan melalui pemeriksaan rutin pada bayi.
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan antara lain adanya lipatan kulit berlebih
pada bagian dalam paha, rotasi eksternal kaki yang abnormal, serta adanya
batasan pada gerakan adduksi pasif dari pinggul yang fleksi pada sisi yang
abnormal (setelah usia 1 bulan).
DDH dapat dideteksi dengan melakukan tes provokasi seperti tes Barlow,
yaitu dengan memfleksikan pinggul lalu menekannya ke bawah maka pinggul
yang fleksi akan adduksi. Jika pinggul yang fleksi ditarik ke atas maka pinggul
yang fleksi tersebut akan abduksi. Pada pinggul yang tidak stabil, pemeriksa akan
melihat dan merasakan pinggul yang mengalami dislokasi bergeser ke arah
posterior saat pinggul yang fleksi tersebut dalam keadaan adduksi dan akan
berkurang saat dalam keadaan abduksi. Tes Barlow yang positif mengindikasikan
pinggul yang dislocatable, bukan yang dislokasi.
Jika pinggul bayi sudah dislokasi, caput femoris berada posterior dari
acetabulum ketika pinggul difleksikan dan dapat direduksi dengan abduksi saat
menarik femur ke depan (reducible), hal ini disebut tanda Ortolani.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada bayi baru lahir - 3
bulan adalah dengan melakukan ultrasonografi. Ultrasonografi dapat dilakukan
secara dinamik ataupun statis. Ultrasonografi diindikasikan pada bayi usia di
bawah 6 bulan dengan klinis positif ataupun dengan risiko tinggi mengalami
DDH, seperti adanya riwayat keluarga mengalami DDH, bayi letak sungsang, dan
adanya kelemahan ligamen yang general.
Pada ultrasonografi yang dinilai adalah sudut alpha dan beta pada
pemeriksaan dinamik serta kestabilan sendi pinggul dengan melakukan tes
Ortolani saat melakukan ultrasonografi. Sudut alpha merupakan gambaran
kelandaian aspek superior dari acetabulum, normalnya di atas 60 ͦ . derajat

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ringan jika sudut alpha antara 43 ͦ – 60 ͦ dan derajat berat jika sudut alpha di
bawah 43 ͦ . Sudut beta menggambarkan komponen kartilago acetabulum,
normalnya di bawah 55 ͦ .

Gambaran USG Pinggul Normal

Sumber : http://radiopaedia.org/articles/developmental-dysplasia-of-the-hip. Accessed


at June 7,2015

 3 Bulan – 18 Bulan
Pada kelompok umur ini, kontraktur adduksi semakin terlihat dan
menyebabkan tanda fisik seperti adanya batasan saat abduksi pasif yang semakin
terlihat, adanya pemendekan kaki yang abnormal, serta penonjolan pinggul yang
semakin jelas dan progresif. Pada dislokasi unilateral, pemendekan paha paling
terlihat saat posisi supine pinggul difleksikan dan tinggi kedua lutut dibandingkan
yang akan memperlihatkan lutut yang abnormal lebih pendek (tanda Galeazzi).

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar Tanda Galeazzi

Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/1248135-workup#a0720
accessed at june 7, 2015
Dislokasi dikonfirmasi dengan merasakan pinggul yang keluar masuk dari
sendi pinggul saat melakukan tes Ortolani. Pada dislokasi komplit, manuver tarik-
dorong pada femur akan menampilkan fenomena teleskop saat femur bergerak
dari dan ke dalam paha.
Pada pemeriksaan penunjang radiografi dapat ditemukan kelandaian
eksesif dari bagian acetabulum yang sudah terosifikasi (indikasi dari displasia
acetabular dan maldireksi), ossifikasi yang terlambat pada caput femoris, dan
berbagai derajat dari caput femoris yang berpindah baik ke arah atas dan lateral.
 18 Bulan – 5 Tahun
Pada kelompok umur ini, anak sudah dapat berjalan dan tanda klinis yang
terlihat semakin jelas. Ketika anak diminta untuk berdiri pada satu kaki (yang
abnormal), otot abduksi pinggul tidak memiliki titik tumpu sehingga tidak dapat
menahan pada posisi pelvis sehingga jatuh ke arah yang berlawanan; anak, untuk
mempertahankan keseimbangannya, membengkokkan badannya ke arah yang
terlibat. Hal ini menandakan tanda Tredelenburg yang positif.
Anak juga berjalan pincang atau timpang, menandakan
ketidakseimbangan panjang kedua kakinya. Pada dislokasi unilateral, anak akan
berjalan dengan membengkokkan badannya ke arah yang abnormal saat

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


menumpukan berat badannya pada sisi yang abnormal karena kakinya pada sisi
yang abnormal lebih pendek. Pada dislokasi bilateral, anak akan
membengkokkan badannya dari satu sisi ke sisi lainnya ketika berjalan,
memperlihatkan cara jalan yang bergoyang seperti bebek. Pada sendi yang
subluksasi, hal ini tidak terlalu terlihat kecuali saat ototnya capek akibat dipakai
terlalu lama sehingga ototnya menjadi lemah.

Gambar Gambaran Dislokasi Pinggul

Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/1248135-workup#a0720
accessed at june 7, 2015

2.1.6. Penatalaksanaan

1. 3-6 bulan pertama

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kebijakan yang paling sederhana adalah menganggap semua bayi dengan
latar belakang yang berisiko tinggi (riwayat keluarga atau kelahiran sungsang
dengan ekstensi), atau dengan uji Ortholani atau uji Barlow positif, harus
dicurigai dan merawatnya dengan popok dobel atau suatu bantal abduksi selama
6 minggu pertama. Pada stadium itu mereka diuji lagi, bayi yang panggulnya
stabil dibiarkan bebas tetapi tetap dalam pengawasan sekurang – kurangnya
selama 6 bulan hingga panggul itu stabil dan rontgen memperlihatkan bahwa
atap acetabulum berkembang dengan memuaskan (biasanya 3-6 bulan). 7
Tetapi karena 80 – 90% panggul yang tak stabil pada saat kelahiran akan
stabil secara spontan dalam 2-3 minggu, tampaknya akan lebih bijaksana bila
tidak memulai pembebatan dengan segera kecuali kalau panggul itu sudah
mengalami dislokasi. Hal ini mengurangi sedikit risiko (tetapi bermakna) akan
terjadinya nekrosis epifisis yang menyertai setiap bentuk pembebatan pembatas
pada neonatus. Karena itu kalau panggul dapat mengalami dislokasi tetapi
biasanya tidak terjadi dislokasi, bayi itu tidak diberi terapi tetapi diuji lagi setiap
minggu, jika setelah 3 minggu pinggul masih tak stabil, pembebatan abduksi
diterapkan. Kalau panggul sudah mengalami dislokasi pada pengujian pertama,
dengan hati – hati panggul di tempatkan pada posisi reduksi dan pembebatan
abduksi dilakukan dari permulaan. Reduksi dipertahankan hingga panggul stabil,
ini dapat berlangsung hanya beberapa minggu, tetapi tindakan yang paling aman
adalah mempertahankan pembebatan hingga rontgen memperlihatkan suatu
atap acetabulum yang baik. 7,10
Bila ada fasilitas untuk USG, dapat diterapkan protokol yang lebih baik.
Semua bayi baru lahir yang memiliki latar belakang berisiko tinggi atau diduga
memiliki ketidakstabilan pinggul diperiksa dengan USG. Kalau USG
memperlihatkan bahwa panggul dalam reduksi dan mempunyai struktur tulang
rawan yang normal, tidak diperlukan terapi tetapi anak itu tetap dalam
pengawasan selama 3- 6 bulan. Kalau secara anatomis kurang sempurna, panggul
dibebat dalam keadaan abduksi dan setelah 6 minggu USG dilakukan lagi.

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Sekarang pada beberapa kasus, panggul akan tampak normal dan tidak
membutuhkan terapi lanjutan, kecuali pemeriksaan rutin selama 3-6 bulan.
Sebagian di antaranya akan memperlihatkan kelainan yang menetap dan untuk
kasus ini pembebatan dalam keadaan abduksi dilanjutkan sampai USG
berikutnya dalam 3 bulan atau rontgen dalam 6 bulan memperlihatkan
terbentuknya atap acetabulum yang baik. 7,10

Pembebatan.
Tujuan pembebatan adalah mempertahankan panggul agak berfleksi dan
berabduksi; posisi ekstrim dihindari dan sendi – sendi harus dimungkinkan untuk
melakukan sedikit gerakan dalam bebat. Untuk bayi yang baru lahir, popok dobel
atau bantal abduksi yang empuk cukup memadai. Bebat Von Rosen adalah suatu
bebat lunak yang berbentuk – H yang bermanfaat karena mudah digunakan.
Pengikat pelvic (Pelvic Harness) lebih sulit dipakaikan tetapi lebih banyak
memberi kebebasan kepada anak sementara posisi masih dipertahankan. Cara
yang tidak terlalu rumit dan yang paling tidak disenangi ibu yaitu penggunaan
plaster lutut dengan batang melintang yang mempertahankan pinggul dalam 90o
fleksi dan sekitar 45o abduksi, atau 10o lebih besar dari sudut dimana sentakan ke
dalamnya dapat diraba.7,10
Tiga aturan pembebatan yang terbaik adalah :
1. Pinggul harus direduksi sebagaimana mestinya sebelum dibebat
2. Posisi ekstrim harus dihindari
3. Pinggul harus dapat digerakkan.

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar: Contoh penggunaan bidai dari Cambridge untuk koreksi dislokasi sendi panggul
bawaan.

Follow up
Tindakan apapun yang telah diambil, follow up tetap diteruskan hingga
anak dapat berjalan. Kadang – kadang sekalipun dengan terapi yang paling hati-
hati, panggul dapat memperlihatkan tingkat displasia acetabulum tertentu di
kemudian hari. 7,11

2. Dislokasi yang menetap 6 – 18 bulan


Kalau setelah terapi dini, panggul belum seluruhnya direduksi atau kalau
anak itu di belakang hari menunjukkan adanya dislokasi yang tersembunyi,
panggul itu harus direduksi terutama dengan metode tertutup tetapi kalau perlu
dengan operasi dan tetap direduksi hingga perkembangan acetabulum
memuaskan. 7

Reduksi tertutup
Cara ini ideal tetapi memiliki risiko rusaknya pasokan darah pada caput
femoris dan menyebabkan nekrosis. Untuk memperkecil risiko ini dilakukan
reduksi berangsur- angsur, traksi dilakukan pada kedua kaki secara vertikal dan

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


secara berangsur- angsur abduksi ditingkatkan hingga dalam 3 minggu, kedua
kaki terentang lebar- lebar. Manuver ini dapat mencapai reduksi konsentrik stabil
dan dicek dengan rontgen pelvis. 7,10
Pembebatan panggul yang direduksi secara konsentrik ditahan dalam
suatu spika gips dalam keadaan 60o fleksi, 40o abduksi dan 20o rotasi internal.
Setela 6 minggu spika digantikan dengan bebat yang mencegah adduksi tetapi
memungkinkan gerakan suatu pengikat Pavlik atau gips lutut dengan batang
melintang. Bebat ini dipertahankan selama 3-6 bulan lagi dan diperiksa dengan
rontgen untuk memastikan caput femoris tereduksi secara konsentrik dan atap
acetabulum berkembang dengan normal. 7,10

Operasi
Kalau setiap tahap reduksi konsentrik belum dicapai, diperlukan operasi
terbuka.

3. Dislokasi menetap 18 bulan ke atas.


Pada anak yang lebih tua, reduksi tertutup kemungkinan kurang berhasil;
banyak ahli bedah langsung melakukan atrografi dan reduksi terbuka.
Traksi dilakukan jika reduksi tertutup tidak berhasil. traksi membantu
melonggarkan jaringan dan menurunkan caput femoris berhadapan dengan
acetabulum.
Operasi kapsul sendi dibuka di bagian anteriornya, setiap limbus yang ke
dalam dibuang dan caput femoris ditempatkan pada acetabulum. Biasanya
diperlukan osteotomi derotasi.
Pembebatan dilakukan setelah operasi, panggul ditahan dalam spika gips
selama 3 bulan dan kemudian dengan bebat memungkinkan beberapa gerakan
pinggul selama 1- 3 bulan dan diperiksa dengan rontgen untuk memastikan telah
tereduksi dan sedang berkembang secara memuaskan. 7,10,11

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.1.7. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin dapat terjadi, termasuk redislocation,
kekakuan panggul, infeksi, kehilangan darah dan kemungkinan nekrosis paling
berat dari caput femur. Tingkat nekrosis caput femur bervariasi, pada penelitian
ini rentang tingkat dari 0% sampai 73%.
Nekrosis avaskuler pada epifisis femur kapital mungkin terjadi sebagai
komplikasi setelah reduksi, mungkin disebabkan oleh kerusakan paha atau
berkurangnya suplai darah untuk kepala femur. Membuat pangkal paha tidak
dapat bergerak dalam posisi abduksi yang ekstrim atau dipaksakan atau rotasi
internal mungkin merupakan penyebab paling penting nekrosis avaskuler kepala
femur.12
Penampilan radiografiknya dan perjalanan berikutnya akan sangat
menyerupai penampilan dan perjalanan penyakit Legg-Calve-Perthes, dan
perawatannya mengikuti prinsip yang sama dengan yang dijelaskan untuk
perawatan penyakit tersebut. 12
Penekanan karena menahan beban tubuh dan aktivitas sehari-hari pada
persendian yang tidak tepat, akan mempercepat terjadinya degenerasi tulang
rawan artikuler pada persendian pangkal paha. 12
Degenerasi ini mungkin berprogresi ke artritis degeneratif sekunder yang
berkembang penuh pada persendian pangkal paha dalam kehidupan dewasa,
yang memerlukan operasi rekonstruksi pangkal paha sekunder untuk
mengurangi nyeri dan disabilitas. 12
Banyak penelitian menunjukkan bahwa abduksi ekstrim, khususnya
dikombinasikan dengan ekstensi dan rotasi internal, menghasilkan nekrosis
avaskular yang lebih tinggi kecuali dikoreksi segera setelah lahir, penekanan
abnormal menyebabkan malformasi perkembanga tulang paha dengan gaya
berjalan pincang. Jika kasus kelainan panggul congenital terlambat diobati, anak
akan memiliki kesulitan berjalan yang dapat mengakibatkan rasa sakit seumur
hidup. Selain itu jika kondisi ini tidak diobati posisi pinggul abnormal akan

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


memaksa acetabulum untuk mencari posisi lain untuk menampung caput
femur.10

2.1.8. Prognosis
Dislokasi yang direduksi lebih awal memberikan prognosis lebih baik.
Bahkan di kondisi terbaik hanya sekitar setengah atau dua pertiga dari pasien
yang diobati setelah tahun pertama kehidupan yang bebas dari masalah secara
permanen. Redislokasi bertahap atau subluksasi yang sering, nyeri dari
perubahan degenerative sekunder sering berkembang setelah dewasa. Karena
itu, penting bahwa, melalui pemeriksaan yang cermat dari setiap bayi baru lahir,
dislokasi kongenital terdeteksi dalam minggu pertama kehidupan, ketika
pengobatan sederhana hampir selalu dapat menjamin perkembangan normal
dari pinggul.6

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

1. Salter R.B. Dislocation adn Subluxation of the Hip (Developmental


Displacement of the Hip; Developmental Dysplasia of the Hip). In: Textbook
of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System. 3rd ed. Lippincott
Williams & Wilkins: USA. p146-56. 1999
2. Willmott, H. Developmental Dysplasia of the Hip (DDH). In: Trauma and
Orthopaedics at a Glance. Wiley Blackwell: UK. p84-5. 2015
3. Epidemiology Developmental Dysplasia of the Hip. Available at
http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/742/basics/epidemiology.html
4. Tamai J. Developmental Dysplasia of the Hip. University of Cincinnati College
of Medicine. Medscape. 2014. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1248135-overview#showall
5. Gottlieb J.R., Uzelac P.P. Developmental Dysplasia of the Hip. In: SOAP for
Orthopaedics. Lippincott Williams & Wilkins: USA. p24. 2006
6. Hamblen D.L., Simpson A.H. Adam’s Outline of Othropaedics. 14th ed.
Churchill Livingstone Elsevier: UK. p343. 2010
7. Solomon L., Warwick D., Nayagam S. Developmental Dysplasia of the Hip . In:
Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. 9th ed. Replika Press: India.
p498-506. 2010
8. American Academy of Orthopaedic Surgeons. 2013
9. Apley Graham dkk. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktus Sistem Apley Edisi ke-7.
Jakarta. Widya medika. 1995
10. Sjamsuhidajat, Dejong Wim. Buku Ajar ilmu Bedah Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2005
11. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT. Yarsif
Watampone. 2007

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12. Gartland JJ. Congenital Dislocation of The Hip. Fundamental of Orthopaedics.
WB Saunders Company: 1987

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai